Anda di halaman 1dari 11

Penyelesaian Kredit Bermasalah pada Lembaga Perbankan

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Perbankan merupakan salah satu kegiatan terpenting dalam menggerakan dan


meningkatkan perekonomian pada suatu negara, disamping itu tujuan adanya kegiatan
perbankan adalah untuk mengumpulkan dana dari masyarakat berupa deposito atau tabungan
dan menyalurkannya kembali dalam bentuk perkreditan (fund lending). Kegiatan perkreditan
ini lah yang bisa dibilang merupakan penggerak kegiatan ekonomi bagi pelaku usaha yang
memerlukan modal untuk menjalankan dan mengembangkan bisnisnya.

Dalam memenuhi modal kerja untuk bisnis atau usaha umumnya masyarakat dunia
usaha atau yang dalam kegiatan ekonomi biasa disebut dengan pelaku usaha dapat memenuhi
kebutuhan modal dari pihak lembaga keuangan perbankan.1 Kredit menjadi pilihan
masyarakat untuk menemukan solusi seiring dengan meningkatnya kebutuhan sehari-hari
yang disebabkan pendapatan yang tidak mencukupi. Sehingga penyaluran kredit yang banyak
yang dilakukan dan khususnya banyak disalurkan dari lembaga keuangan bank. Kredit
menurut ketentuan Pasal 1 ayat (11) UU Perbankan:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga”

Asas-asas prekreditan yang sehat juga harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya adalah:

 Bank tidak diperkenankan memberikan kedt tanpa didahului dengan adanya perjanjian
tertulis antara debitur (peminjam/pelaku usaha) dengan kreditur (bank)
 Bank tidak diperkenankan memberikan peminjaman kepada pelaku usaha atau usaha
yang dipertimbangkan kurang sehat dan akan memberikan kerugian dikemudian hari
bagi lembaga bank itu sendiri
 Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham, daan modal
kerja yang bertujuan untuk membeli saham

1
Andrika Putra, Afriyeni. 2019. “Analisis Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Pt. Bank Perkreditan Rakyat Prima Mulia Anugrah Cabang
Padang”. Akademi Keuangan dan Perbankan “Pembangunan” (AKBP) Padang hal.1
 Memberikan peminjaman kredit dengan melampaui batas maksimum pemberian kredit
itu sendiri atau yang disebut legal lending limit. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
akan berakibat dikenakannya denda dan penilaian terhadap kesehatan bank
 Agunan berfungsi untuk melunasi utang debitur apabila dikemudian hari si debitur
tidak mampu membayar kredit atau wanprestasi. Menurut Prof. Subekti jaminan atau
agunan yang ideal adalah: 1. Yang mempermudah proses perolehannya bagi pihak
yang membutuhkan, 2. Tidak melemahkan posisi dan potensi pencari kredit, 3.
Memberikan kepastian kepada pemberi kredit artinya agunan atau jaminan yang
diperjanjikan dapat dieksekusi setiap waktu apabila debitur tidak dapat melunasi atau
wanprestasi dan untuk memudahkan melunasi utang tersebut.

Dalam praktiknya, bank dapat memberikan pinjaman, dan pinjaman mengandung


konsep "Degree of Risk", yang mewakili tingkat risiko tertentu, karena penerbitan pinjaman
mengandung risiko bagi pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. “Bank pemberi pinjaman
tidak pernah ingin pinjamannya berubah menjadi pinjaman yang jatuh tempo, dan untuk
tujuan ini bank akan mengambil semua tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mencegah
kredit macet, hasil terburuknya adalah pinjaman tetap macet atau bermasalah. 2

Dalam praktik perbankan yang sebenarnya, bank berusaha melakukan kegiatan


penyaluran kredit secara ketat dan hati-hati dengan masyarakat, dengan menggunakan kriteria
debitur (peminjam) yang berbeda dan berpegang pada prinsip-prinsip yang menjadi pedoman,
serta aturan internal perbankan. dan kebijakan yang cukup komprehensif dan ketat, tetapi
muncul sedikit dan mengarah pada kelayakan kredit yang buruk. Prinsip 5C yaitu character,
capital, capacity, provision and economic condition, telah menjadi tolak ukur dalam
penyediaan dana kredit yang diberikan oleh bank, namun tidak dapat mencegah timbulnya
salah satu masalah utama yang timbul dalam praktek perbankan yaitu kredit macet atau kredit
bermasalah. Kredit macet merupakan kondisi keuangan yang umum terjadi di lembaga
keuangan, khususnya perbankan. Jika penerima pinjaman mengalami kesulitan dalam
melunasi pinjamannya karena adanya kesengajaan atau kesengajaan dari debitur. Kredit yang
dianggap macet belum tentu dianggap kredit macet, sedangkan kredit macet tentu saja kredit
macet (Saputri 2015).3

2
I Made Jaya Nugraha, I Made Udiana. 2016. “Upaya Bank Dalam Penyelamatan Dan Penyelesaian Kredit Bermasalah”. Universitas
Udayana Bali hal. 2
3
Andrika Putra, Afriyeni. 2019. “Analisis Penyelesaian Kredit Bermasalah Pada Pt. Bank Perkreditan Rakyat Prima Mulia Anugrah Cabang
Padang”. Akademi Keuangan dan Perbankan “Pembangunan” (AKBP) Padang hal. 2
Memang masalah yang paling krusial dan berpengaruh terhadap eksistensi dari
Lembaga keuangan perbankan adalah terkait dengan kredit bermasalah ini, karena juga kredit
merupakan salah satu sumber pendapatan yang tergolong besar dalam dunia bisnis perbankan
disamping sumber-sumber pendapatan lainnya seperti pendapatan dari kegiatan operasional.
umber dana jalur kredit disediakan sebagai kegiatan penyaluran dana bagi usaha perbankan
dalam kegiatannya sebagai penghimpunan dana masyarakat. Karena menyangkut dana
masyarakat, maka segala bentuk penyaluran dana oleh lembaga keuangan ini merupakan
bagian dari kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, bank harus memberikan uangnya
melalui perhitungan yang cermat dan dengan prinsip kehati-hatian.4

Dapat dikatakan bahwa tidak ada lembaga bank yang terhindar dari permasalahan
kredit macet ini, artinya setiap lembaga bank yang ada setidaknya pernah mengalami adanya
kredit macet. Kredit macet yang akhir-akhir ini sering terjadi mengakibatkan kondisi
perbankan menjadi tidak sehat terutama berdampak pada kinerjanya. Apalagi hal ini sangat
berkontribusi terhadap penurunan kondisi perekonomian nasional negara, sehingga
menyebabkan terjadinya krisis ekonomi dan mata uang yang berkepanjangan yang sangat
sulit untuk dianalisis.5 Dampak dari hal ini akan sangat dirasakn oleh masyarakat tentunya,
mengingat sudah banyaknya kasus kredit macet yang terakumulasi. Sejarah perbankan
Indonesia mencatat masa abu-abu pada tahun 1998, dengan puluhan bank swasta nasional
dan bahkan sebagian besar bank pemerintah yang membutuhkan restrukturisasi ditutup, dan
empat bank pemerintah (ekspor, impor, bunidaya, Bappindo, dan Bank Dagang Negara)
Menjadi Bank Mandiri merupakan bukti nyata dampak dari masalah kredit macet yang belum
terselesaikan, sehingga status likuiditas bank sangat mengkhawatirkan.

Karena dampak yang ditimbulkan dari kredit macet termasuk besar bagi kelangsungan
hidup ekonomi negara terlebih lagi lembaga keuangan perbankan sebagai pusat bisnis
kegiatan ekonomi maka sangat diperlukan penelitian terhadap upaya-upaya yang efektif dan
efisien dalam mengatasi permasalahan kredit macet perbankan. Upaya-upaya ini juga harus
dibarengi dengan suatu kesadaran bahwa permasalahan ini sudah tidak terhindarkan di
kegiatan bisnis perbankan karena berbagai macam faktor sehingga dibutuhkan perhatian
serius tidak hanya dari pemerintah atau negara tetapi juga kita semua masyarakat dan juga
para pelaku usaha yang merupakan penggerak kegiatan ekonomi.

4
Suleman, Nenden Herawati. 2016. “Upaya Penyelesaian Kredit Macet”. Institut Agama Islam Negeri Manado
5
Suleman, Nenden Herawati. 2016. “Upaya Penyelesaian Kredit Macet”. Institut Agama Islam Negeri Manado
Terdapat satu instrument atau upaya yang dilakukan dalam rangka penyelamatan kredit
macet atau bermasalah pada bank, yaitu dilakukannya restrukturisasi kredit dimana akan
memberikan pembayaran utang yang dengan syarat yang lebih ringan, terlebih lagi dengan
adanya restrukturisasi ini debitur juga dapat menjalankan usahanya kembali dan tidak akan
kehilangan agunan yang diserahkan kepada Bank. Untuk lebih rinci dan lengkap lagi
mengenai upaya restrukturisasi kredit bermasalah ini akan dijelaskan di bagian pembahasan
artikel ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana langkah atau upaya yang tepat dalam mengatasi masalah kredit macet pada
lembaga perbankan menurut UU Perbankan?
2. Bagaimana penerapan upaya restrukturisasi dalam penyelesaian kredit macet?

II. Pembahasan

A. Tinjauan Pustaka

Pengertian Kredit

Kredit berasal dari bahasa romawi “Credere” yang artinya percaya kepada penerima
kredit bahwa jumlah kredit yang disalurkannya kepada debitur akan dikembalikannya
dikemudian hari sesuai dengan jumlah yang telah diperjanjikan. Artinya disini adalah bahwa
debitur mampu untuk memenuhi perikatan untuk mengembalikan kredit tersebut dan kreditur
diberikan kepercayaan dari pihak bank bahwa suatu waktu kreditur juga mampu
mengembalikan pinjamannya kepada bank.

Sedangkan kredit menurut UU No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat (11) menjelaskan bahwa
“kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan
itu,berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utang nya setelah jangka waktu
dengan pemberian bunga”.

Bunyi pasal tersebut mengandung makna hubungan hukum antara kreditur atau pihak
bank dengan debitur atau si peminjam kredit, Prosedur peminjaman ini hanya dapat diberikan
kepada pihak yang dipercayakan oleh bank untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar
kembali pinjaman tersebut, yang tentunya sebelum proses peminjaman untuk meyakinkan
bank bahwa nasabah benar-benar dapat dipercaya, dilakukan terlebih dahulu oleh pihak bank
langkah analisis bank kredit yang memiliki latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek
usahanya, jaminan yang diberikan, dan faktor-faktor lain.6

Untuk menghindari kredit macet dari adanya praktek pemberian atau penyaluran kredit
kepada debitur, setiap bank perlu melakukan pembinaan kredit sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut Hasanudin Rahman (1995), setiap kredit yang
disalurkan harus berpedoman kepada 3 hal, yaitu:

 Aman dalam arti legal risk setiap kredit yang di berikan telah terbebas dari segala
kekurangan ,baik mengenai kewenangan subjek hukum,objek hukum,maupun jaminan
dan yang menyangkut pihak-pihak lainya.bila di kemudian hari terjadi kredit
bermasalah bank telah mempunyai alat bukti sempurna dan kuat untuk menjalankan
suatu tindakan hukum bila dianggap perlu.
 Terarah dalam arti setiap kredit yang di berikan harus sesuai dengan peruntukan nya
baik dari sisi penerima kredit maupun dari segi kegunaan nya terutama di
hubungkan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam memajukan sektor usaha .
 Menghasilkan yaitu setiap penyaluran kredit akan memberikan keuntungan kepada
bank penerima kredit dan meningkatkan kesejahtraan rakyat banyak.(Abdulkadir
Muhamad:2000)

Namun demikian apabila terjadi kredit yang bermaslah(macet),maka upaya yang di


lakukan untuk penyelatan kredit tersebut dapat dilakukan penyelesaianya melalui negosiasi,
yaitu dengan cara penjadwalan ulang (rescheduling), penataan ulang (restructuring),
persyaratan ulang (reconditioning) maupun penyelesaian melalui Litigasi yaitu dengan cara
mengajukan gugatan kepengadilan atau penyelesaian melalui Panitia Urusan Piutang Negara
khusus bagi kredit yang menyangkut kekayaan negara.

Unsur-Unsur Pemberian Kredit

Dari pengertian pemberian kredit sendiri telah kita ketahui bahwa kepercayaan
merupakan unsur pertama dalam pemberian kredit. Namun jika ditelaah lebih lanjut ada
beberapa unsur dalam kesepakatan adanya pemberian atau penyaluran kredit, antara lain
adalah:

6
Supaijo. 2011. “Aspek-Aspek Hukum Perdata dalam Penyaluran Kredit Perbankan kepada Masyarakat”. UIN Raden Intan Lampung hal.
14
 Kesepakatan Pihak-pihak yaitu kesepakatan antara sipemberi kredit dan sipenerima
kredit. Hal mana kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian dimana
masing-masing pihak menyetujui hak dan kewajiban dalam perjanjian tersebut.
 Jangka waktu, bahwa dalam pemberian kredit telah disepakati tentang kapan seorang
debitur harus mengembalikan pinjamannya, dapat berbentuk jangka pendek,
menengah maupun jangka panjang.
 Resiko. Adanya tenggang waktu pengembalian yang telah di tentukan akan
menimbulkan suatu resiko,hal ini harus di sadari bahwa masadepan tidak dapat di
pastikan,oleh karena itu pihak bank selaku pemberi pinjaman sudah harus
memperhitungkan resiko yang akan di hadapi,seperti resiko kredit,resiko
infestasi,likuiditas,operasional,penyelewengan serta resiko fiducia.
 Balas jasa. Yaitu merupakan keuntungan atas pemberian kredit oleh bank sebagai
balas jasa dalam bentuk bunga dan administrasi kredit ini merupakan keuntungan
bank konvensional,sedangkan bank dengan prinsi syariah keuntungan nya berupa bagi
hasil
 Pertukaran nilai. Bahwa kredit tanpa perhutungan dalam bentuk pertukaran nilai
ekonomi tidak dapat di sebut transaksi,sebab jika tidak ada unsur pertukaran nilai
ekonomi berarti tidak terdapat kesinambungan nilai sehingga ada pihak yang di
rugikan.(Abdulkadir Muhammad:2000)7

Pertimbangan-Pertimbangan dalam Penyaluran Kredit

Menurut Dahlan Siamat(1999),memberikan suatu pemikiran dalam melakukan


pertimbangan untuk pemberian kredit adalah berdasarkan konsep 7 P Yaitu:

 Personality
 Purpose
 Prospect
 Payment
 Profitability
 Protection
 Party dan juga konsep 3 R yaitu Return,Repayment dan Risk bearing ability.(Dahlan
siamat.1999:110)
7
Supaijo. 2011. “Aspek-Aspek Hukum Perdata dalam Penyaluran Kredit Perbankan kepada Masyarakat”. UIN Raden Intan Lampung hal.
15-16
Disamping menggunakan konsep 7P dan 3R, penilaian kelayakan kredit adalah semua
kegiatan usaha debitur masa depan yang dikenal dengan studi kelayakan usaha, meliputi
aspek pemasaran dan teknis serta aspek finansial yang dilakukan dengan menilai semua aspek
yang ada menyangkut seluruh kegiatan usaha debitur.

Cara-Cara Memperoleh Kredit

Dapat dilihat dalam praktek perbankan bahwa bagi mereka yang mengajukan kredit
bank, nasabah biasanya harus mengisi formulir pinjaman yang disediakan oleh bank dan
melampirkan persyaratan yang ditentukan oleh bank. Apakah permohonan kredit dapat
disetujui atau tidak, apabila dinilai permohonan kredit dapat dilanjutkan, harus disetujui oleh
direksi, dan jika disetujui oleh direksi, disetujui untuk ditandatangani dalam bentuk perjanjian
kredit.

Melihat perjanjian kredit ini, nasabah (pemohon kredit) memiliki kesan enggan atau
rentan, dan seringkali harus menerima syarat dan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian
kredit yang telah ditentukan sebelumnya. Bank terpaksa melakukan ini sebagai kreditur
karena kebutuhan dana kredit secara tidak langsung memaksa mereka untuk menerima
syarat-syarat akad kredit, dan apakah ada proses negosiasi seperti proses akad pada
umumnya.

Berdasarkan penjenlasan diatas artinya pejanjian kredit bank telah berubah menjadi
perjanjian standar yang mana menyimpang dari aspek-aspek hukum perdata, Menurut
Prof.R.Subekti “Didalam KUH Perdata terdapat asas konsensualisme yang di langgar oleh
perjanjian standar. Oleh karena itu pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan
perjanjian itu tidak sah dan tidak terikat sebagai undang-undang bagi
pembuatnya.”(R.Subekti:1984). Sedangkan menurut pitlo menyatakan bahwa “perjanjian
standar adalah merupakan perjanjian memaksa (Dwang Contract) karena terdapatnyaatas sifat
terbuka dan kebebasan para pihak dalam hukum perjanjian.”(Hazniel Harun:1995).

Menurut pendapat para ilmuwan tersebut, ada gambaran bahwa perjanjian baku
menyimpang dari ketentuan KUHPerdata.Dalam prakteknya, sampai sekarang lebih sering
penetapan syarat-syarat perjanjian kredit bank masih ditentukan oleh pihak bank. Sebagai
kreditur. Jika pemerintah ingin memberlakukan undang-undang di sektor kredit di seluruh
negeri untuk menghasilkan bentuk pengaturan perjanjian kredit yang ideal, maka praktik ini
seharusnya sudah berakhir.
B. Pembahasan Rumusan Masalah

1. Penyelesaian Kredit Macet menurut UU Perbankan

Bank dalam menjalankan fungsinya yaitu menghimpun atau mengumpulkan dana dari
masyarakat dan menyalurkan atau mengedarkannya kembali ke masyarakat salah satunya lam
bentuk pinjaman atau kredit. Bank berkewajiban mengenbalikan dana masyarakat tersebut
berikut bunganya pada waktu yang dikehendaki atau yang telah diperjanjikan oleh mayarakat
yang menjadi nasabah penyimpan. Dengan demikian dana masyarakat tersebut disalurkan
kembali dalam bentuk kredit dengan pembebanan bunga yang lebih tinggi dari bunga yang
diberikan kepada kepada para penyimpan dana di bank.

Jika ternyata kredit yang disalurkan mact diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu, maka
artinya bank tidak lagi menerima kembalinya dana dan yang pasti adalah kehilangan
pendapatan mereka sedangkan bunga harus tetap dibayarkan kepada nasabah penyimpan
karena merupakan sebuahh kewajiban dari bank, sehingga situasi tersebut mengakibatkan
kerugian bagi bank. Pada umumnya kredit macet terjadi karena beberapafaktor dan hal-hal
lain yang tidak dapat diperkirakan, kecuali memang terjadinya sebuah penyaluran dana atau
kredit yang tidak sehat dari bank kepada debitur atau peminjam. Dalam praktek perbankan
dapatteridentifikasi gejalah-gejalah kredit bermasalah secara terlihat dalam hal :

 Nasabah debitus sudah mulai jarang melakukan penyetoran


 Sering terjadi cerukan, mengeluarkan warkat cek dan bilyrt giro (penarikan) tanpa
persediaan saldo yang cukup di bank
 Kondisi usaha menurun, tanpa usaha kelihatan sepi (kurang pengunjung atau aktivitas
usaha kurang).
 Adanya konflik rumah tangga atau adanya sengketa/perkara.

Penyelesaian kredit macet untuk memperoleh kembali dana kredit yang telah disalurkan
dapat melalui proses legitasi dan BUPLN yang mana kedua proses ini merupakan upaya
terkahir untuk memperoleh dana yang telah dipinjamkan tadi. Dalam proses ini, fokus
penyelesaian adalah pada eksekusi agunan, yaitu eksekusi agunan melalui pengadilan dan
lelang agunan di BUPLN. Dalam banyak hal yang dimaksud dengan “penegakan” adalah
“melaksanakan putusan pengadilan dengan paksa” dalam pelaksanaan jaminan eksekusi,
mengandung pengertian bahwa pihak yang kalah tidak mau menuruti putusan dengan
sukarela, sehingga putusan harus dijatuhkan pada dia dengan bantuan otoritas publik.
Kekuatan umum yang dimaksud di sini adalah polisi, dan kekuatan militer jika diperlukan.

Berdasarkan SEBI (Surat Edaran Bank Indonesia) No. 23/12/BPPP tanggal 28 februaru
1991 ditemukan beberapa kebijakan dalam penyelamatan kredit macet yang terbagi menjadi
3, yaitu:

 Rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu suatu upaya untuk melakukan perubahan


terhadap beberapa syarat perjanjiak kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran
kembali/jangka waktu kredit termasuk masa tenggang (grace period), termasuk
perubahan jumlah angsuran. Bila perlu denagn penambahan kredit.
 Reconditioning (persyaratan kembali) yaitu : melakukan perubahan atas sebagian atau
seluruh syarat-syarat perjanjian, tidak terbatas hanya pada perubahan jadwal angsuran
dan atau jangka waktu kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau
sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.
 Restructuring (penataan kembali) yaitu upaya berupa melakukan perubahan
syaratsyarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan
koncersi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi equity perusahaan, yang dilakukan
dengan atau tanpa rescheduling dan atau reconditioning.8

Adapun penyelesaian Kredit Macet umumnya dilakukan melalui:

 Badan Usaha dan Lelang Negara (BUPLN), biasanya apabila kredit macet menyangkut
Bank Milik Negara maka akan diserahkan upaya penyelesaiannya kepada BUPLN
apabila upaya penagihannya/penyelesaiannya secara kekeluargaan tidak berhasil,
untuk selanjutnya akan melakukan pelelangan/penjualan benda jaminan kecuali jika
bank telah memperoleh “surat kuasa menjual” maka bank dapat depat menjual harta
jaminan tersebut secara dibawah tangan.
Memperoleh pengembalian kredit dari hasil lelang tidaklah mudah dan cepat. Karena
pengalaman menunjukkan sulitnya mencari pembeli dan harga yang sesuai untuk
menjual agunan melalui proses lelang, sehingga bank cenderung memperoleh imbal
hasil kredit yang cukup besar. Agar tidak terlalu merugikan bank, dalam penyelsaian
redit macet pelelangan atau eksekusi ini, diatur dalam UU Perbankan yaitu UU No 7
Tahun 1992 jo UU No 7 Tahun 1992. Undang-undang 10 Tahun 1998 memberikan

8
Suleman, Nenden Herawati. 2016. “Upaya Penyelesaian Kredit Macet”. Institut Agama Islam Negeri Manado
kesempatan kepada bank (sebagai pembeli lelang) untuk ikut serta dalam pelelangan,
karena jika bank dapat menguasai agunan dalam pelelangan, bank dapat secara
perlahan menjual agunan tersebut berdasarkan harga pasar yang berlaku.
 Proses Litigasi di pengadilan, jika laporan kredit bank buruk, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui pengadilan. Proses gugatan merupakan kelangkaan paksa yang
dilakukan oleh bank apabila debitur dengan itikad baik dengan sengaja
menyembunyikan hartanya yang masih cukup untuk melunasi kreditnya. Namun,
proses legitimasi seringkali dinilai masyarakat membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Sementara itu, di sisi lain, lembaga yang pernah dianggap sebagai alat bantu
pemaksaan debitur untuk melunasi utangnya telah dilarang dari pelaksanaan Surat
Edaran Mahkamah Agung. 2 dari tahun 1964 jo. UU No. 4 tahun 1975. Proses litigasi
merupakan proses yang terpaksa bagi bank untuk melakukan penyelesaian kredit
macet ini.
 Arbitrase atau Pewarisan, dalam hal terjadinya kredit macet pada praktek kredit
perbankan, bank dan nasabah atau debitur dapat menuangkan klausula arbitrase yang
menyatakan bahwa jika terjadi sengketa antara bank dan nasabah (misalnya Kredir
Macet) maka akan diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase dapat
berupa badan yang telah lamadibentuk seperti Badan Arbitrase Negara Indonesia
(BANI) yan dibentuk oleh KADIN di tahun 1977. Dalam hal ini dalat juga ditunjuk
suatu panitia ad hoc yang dibentuk secara insidentil atas pilihan para pihak kusus
untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Keberadaan lembaga arbitrase di Indonesia diakui dalam preaktek peradilan
sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan Mahkama Agung antara lain :
a. Putusan Mahkama Agung Nomor. 225 K/Sip/1976 tanggal 30n September
1983 yang mengakui klausula arbitrase berlaku mutlak seperti undang-undang.
b. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 3992 K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 yang
menegaskanbahwa kewenangan memeriksa suatu sengketa yang timbul dari
perjanjian yang memuat klausula arbitrase “mutlak” menjai kewenangan
lembaga arbitrase, bahkan hal ini diperkuat dengan putusan Mahkama Agung
Nomor. 3179 L/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988 bahwa pengadilan Negeri tidak
berwenang memeriksa gugatan arbitrase dalam konvensi maupun rekonvensi.
2. Penerapan Upaya Restrukturisasi dalam Penyelesaian Kredit Macet

Anda mungkin juga menyukai