Kode/Nama Mata Kuliah : PDGK4401/Materi & Pembelajaran PKn SD
Kode/Nama UPBJJ : 12/ Medan
Masa Ujian : 2020/21.2 (2021.1)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS TERBUKA 1. syarat-syarat dasar agar suatu negara dapat disebut menjalankan pemerintahan yang demokratis di bawah rule of Law, yaitu: unsur-unsur rule of law itu meliputi : 1) Berlakunya supremasi hukum (hukum menempati kedudukan tertinggi; semua orang tunduk pada hukum),sehingga tidak ada kesewenang-wenangan. 2) Perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap warga negara. 3) Terlindunginya hak-hak manusia oleh Undang-Undang Dasar serta keputusan- keputusan pengadilan. syarat-syarat suatu Negara dan pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah adanya : 1) Perlindungan secara konstitusional atas hak-hak warga Negara 2) Badan kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak 3) Pemilihan umum yang bebas 4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat 5) Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi 6) Pendidikan kewarganegaraan 2. langkah-langkah yang dapat dikembangkan oleh guru untuk mengadakah proses pembelajaran demokratis, yaitu: Cara-cara pembelajaran demokratis yang dapat diterapkan dalam sekolah dasar antara lain dengan model pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif yaitu: 1) Siswa dibagi dalam kelompok kecil @3-5 orang siswa 2) Setiap anggota kelompok di beri tugas yang berbeda 3) Tiap siswa dalam kelompok membaca bagian tugas yang diperolehnya 4) Guru memerintahkan siswa yang mendapat tugas yang sama berkumpul membentuk kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan tugas tersebut 5) Setiap siswa kelompok-kelompok baru mencatat hasil diskusinya untuk dilakukan kepada kelompok semua (kelompok lama) 6) Selesai diskusi sebagai tim ahli, masing-masing kembali ke kelompok asal untuk menyampaikan hasil diskusi ke anggota kelompok asal dan secara bergiliran atau bergantian dari tim ahli yang berbeda tugasnya 7) Setelah seluruh siswa selesai melaporkan, guru menunjukkan salah satu kelompok untuk menyampaikan hasilnya, dan siswa lain di beri kesempatan untuk menanggapinya 8) Guru dapat mengklarifikasi permasalahan serta disimpulkan 3. Perbedaan antara ”delik” dan ”wanprestasi” dan berikan contohnya, yaitu: 1) Delik Delik merupakan perbuatan pelanggaran hukum perundang-undangan maupun hukum pidana. Contohnya melakukan tindakan pencurian sehingga dikenai pasal pidana berupa hukuman penjara sesuai dengan keputusan peradilan. 2) Wanprestasi Sedangkan wanprestasi merupakan tindakan pelanggaran hukum dan pidana atas perbuatan pelanggaran sebuah perjanjian yang telah disepakati. Contohnya ada dua belah pihak yang saling membuat perjanjian kerjasama dibidang bisnis hasil dari perolehan keuntungan akan dibagi rata sebesar 25% masing-masing kepada kedua belah pihak sedangkan 50 % sisanya gunakan untuk memperluas usaha bisnis. Namun seiring perjalanan waktu pihak pertama menginkari janji dengan mengambil sisa keuntungan yang diperuntukan untuk pengembanhan bisnis disalah gunakan untuk kepentinganya sehingga pihak kedua menuntut pihak pertama hingga ke meja peradilan. Penjelasan: Delik merupakan suatu perbuatan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang telah mengarah pada pelanggaran tidak hukum pidana sehingga pelaku perbuatan tersebut mendapatkan sanksi atas perbuatannya. Dilik dapat juga didefenisikan sebagai perbuatan yang dapat merugikan banyak pihak dan dapat dikenai hukum pidana. Macam-macam delik yaitu: Delik kejahatan, Delik pelanggaran, Delik formil, Delik materil, Delik umum, Delik khusus, Delik biasa, Delik dolus, Delik kulpa, Delik berkualifikasi, Delik sederhana, Delik berdiri sendiri, Delik berlanjut, Delik komisionis, Delik omisionis, Delik aduan. Sedangkan Wanprestasi merupakan pelanggaran peraturan pidana atas perbuatan melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati. Selain itu wanprestasi dapat didefisikan sebagai pelanggaran atas perjanjian yang telah disepakati maupun tidak melakukan sebagaimana yang telah dijanjikan dalam sebuah perjanjian. Penyebab terjadinya wanprestasi, yaitu: Adanya kelalaian yang dilakuan oleh salah satu pihak, Adanya pemaksaan yang dilakukan oleh pihak lain maupun pihak yang saling melakukan perjanjian. 4. Di dalam konteks mematuhi aturan hukum, pandangan Kohlberg untuk tahapan pada level pra konvensional dan konvensional dan contohnya: Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris. Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme. Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, sebagai contoh “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu”. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral. Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik. Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik. 5. Identifikasikan lima (5) ciri-ciri manusia antar budaya yang ada di seluruh dunia, namun juga dapat diterapkan untuk kondisi sosial budaya di Indonesia, yaitu: Sistem sosial budaya Indonesia adalah sebagai totalitas nilai, tata sosial, dan tata laku manusia Indonesia harus mampu mewujudkan pandangan hidup dan falsafah negara Pancasila ke dalam segala segi kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas yang melandasi pola pikir, pola tindak, fungsi, struktur, dan proses sistem sosial budaya Indonesia yang diimplementasikan haruslah merupakan perwujudan nilai- nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, transformasi serta pembinaan sistem sosial budaya harus tetap berkepribadian Indonesia.