Anda di halaman 1dari 28

TUGAS KARYA TULIS ILMIAH

disusun untuk memenuhi tugas Pelatihan Jabatan Fungsional Keperawatan

Nama : Wulan Purwanty

NIP : 199409202019022002

Instansi : RS Pusat Otak Nasional

Angkatan : V Cikarang

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA

2022
I. LAPORAN PENDAHULUAN

A. Epilepsi

1. Pengertian

Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak


yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari
pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang
ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas
motorik, atau gangguan fenomena sensori.

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karakteristik kejang


berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala


yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi.

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi


dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksimal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neron-neron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.

2. Epidemiologi

Pada tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia


berjumlah 50 juta orang, 37 juta orang diantaranya adalah epilepsi primer, dan
80% tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa
rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif diantara 1000 orang
penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka prevalensi
dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Hasil
penelitian Shackleton dkk (1999) menunjukkan bahwa angka insidensi kematian
di kalangan penyandang epilepsi adalah 6,8 per 1000 orang. Sementara hasil
penelitian Silanpaa dkk (1998) adalah sebesar 6,23 per 1000 penyandang.
3. Etiologi

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

o Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu


menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.

o Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

o Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

o Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.

o Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

o Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

o Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan


neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

o Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan


karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan
pada anak.

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak


ditemukan kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau
gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(Idiopatik). Sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah

(Tarwoto, 2007)

2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)

Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada


jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada
masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:

 fever / panas (these are called febrile seizures)

 genetic causes

 head injury / luka di kepala.

 infections of the brain and its coverings

 lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses


kelahiran.

 hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities)

 disorders of brain development / gangguan perkembangan otak.

4. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari


sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang
otak umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa


fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
 Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
 Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
 Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah


kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan
setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas
kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan.
Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara
kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.

1. Klasifikasi

1. Sawan Parsial

i.      Sawan parsial sederhana


ii.     Sawan parsial kompleks 

2. Sawan Umum

-         Sawan lena

-         Sawan mioklonik

-         Sawan klonik

-         Sawan Tonik

-         Sawan tonik-klonik

-         Sawan atonik

3.Sawan tak tergolongkan

5. Manifestasi Klinis

Sawan Parsial (lokal, fokal)

-         Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap


normal

1. Dengan gejala motorik

 Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian


tubuh saja

 Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh


dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi
Jackson.

 Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

 Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam


sikap tertentu

 Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang


terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
1. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca indera dan
bangkitan yang disertai vertigo.

 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-


tusuk jarum.

 Visual : terlihat cahaya

 Auditoris : terdengar sesuatu

 Olfaktoris : terhidu sesuatu

 Gustatoris : terkecap sesuatu

 Disertai vertigo

1. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi


epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil).

2. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

-  Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata,


kata atau bagian kalimat.

- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti


sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti
melihatnya lagi.

-  Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

-  Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil


atau lebih besar.

- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara,


musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.

- Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)


1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran
mula-mula baik kemudian baru menurun.

 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti


pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang


timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah,
menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara
tak menentu, dll.

 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran


menurun sejak permulaan kesadaran.

 Hanya dengan penurunan kesadaran

 Dengan automatisme

1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum


(tonik-klonik, tonik, klonik)

2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan


umum.

3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan


umum.

4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial


kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.

1. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)

1. Sawan lena (absence)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti,


muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak
ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama
¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.

1. Hanya penurunan kesadaran


2. Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan,
biasanya dijumpai pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau
otot-otot lainnya bilateral.

3. Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot


leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga
tampak mengulai.

4. Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot


ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala,
badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul
atau mengedang.

5. Dengan automatisme

6. Dengan komponen autonom.

7. Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai:

1. Gangguan tonus yang lebih jelas.

2. Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

2. Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,


dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

3. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,


tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
Dijumpai terutama sekali pada anak.

4. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya


menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan
dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.

5. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan
aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien
mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku
berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot
seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan
napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan
ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat
serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya,
dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau
langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah,
nyeri kepala.

6. Sawan atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak


melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau
menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

7. Sawan Tak Tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa


gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah, gerakan seperti
berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

6. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pungsi Lumbar

Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang


ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.

-         Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)

-         Mengalami complex partial seizure

-         Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48


jam sebelumnya)
-         Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)

-         Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk


hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.

-         Kejang pertama setelah usia 3 tahun

Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika
tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang
telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat
tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan
untuk dilakukan.

2. EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti


ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit
(kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG
yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan
setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa
yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang
abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif
terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,


kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada
kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk
mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

a. Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain


adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada
kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
b. CT Scan

Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,


serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral

c. Magnetik resonance imaging (MRI)

d. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

7. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi      : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan


pada gusi, purpura, memar, pembengkakan.

Palpasi        : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.

Perkusi        : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.

Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.

8. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan


untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang
aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan
pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi
(tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-
obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama
hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang
sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada


usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-
obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan
bagian dari rencana pencegahan ini.
Hal yang tak boleh dilakukan selama anak mendapat serangan :

¨      Meletakkan benda di mulutnya. Jika anak mungkin menggigit lidahnya


selama serangan mendadak, menyisipkan  benda di mulutnya kemungkinan
tak banyak membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan
Anda malah mematahkan gigi si anak.

¨      Mencoba membaringkan anak. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib


memiliki kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan
mendadak. Mencoba membaringkan si anak ke lantai bukan hal mudah dan
tidak baik juga.

¨      Berupaya menyadarkan si anak dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut


selama dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika
serangan berakhir, segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut 
jika si anak tak bernapas.

9. Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan


diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis
serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan
masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping
yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit
kepala, dll.

Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama


pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan
selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.
Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan
pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap


kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan
penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental
di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur
hidupnya.
10. Penatalaksanaan

 Farmakoterapi

-         Anti konvulsion untuk mengontrol kejang.

Tatalaksana yang dilakukan saat anak datang dalam keadaan kejang


adalah:
 Diazepam intravena 0.3 – 0.5 mg/kgBB bolus pelan 1 – 2 mg/menit (3 – 5
menit), dosis maksimal 20 mg.
 Bila belum terpasang akses intravena atau dilakukan di Rumah, bisa
diberikan diazepam rektal 0.5 – 0.75 mg/kgBB atau 5 mg untuk BB < 10 kg
dan 10 mg untuk BB > 10 kg
 Bila diazepam rektal diberikan oleh orang tua di Rumah, dengan 2 kali
pemberian diazepam rektal berselang 5 menit, kejang masih belum berhenti,
anjurkan ke Rumah Sakit dan diberikan diazepam intravena
 Bila kejang belum berhenti setelah tatalaksana awal, berikan Fenitoin
intravena dosis awal 10 – 20 mg/kgBB/pemberian (kecepatan 1
mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit)
 Bila kejang berhenti, fenitoin diberikan kembali 4 – 8 mg/kgBB/hari 12 jam
setelah dosis awal.
 Bila kejang belum berhenti, rawat ruang intensif untuk diberikan obat-obatan
anestesi.

 Pembedahan

Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya
anomali vaskuler

Jenis obat yang sering digunakan :

 Phenobarbital (luminal).

Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

 Primidone (mysolin)

Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan


phenyletylmalonamid.
 Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).

Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah


DPH. Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.

Tak berhasiat terhadap petit mal.

Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan


gangguan darah.

 Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan


bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang
mempunyaiefek psikotropik.

Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering


disertai gangguan tingkahlaku.

Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri,


ataxia, depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.

 Diazepam.

Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status


konvulsi.).

Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya


lambat. Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.

 Nitrazepam (Inogadon).

Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

 Ethosuximide (zarontine).

Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

 Na-valproat (dopakene)

Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.

Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.

Efek samping mual, muntah, anorexia


 Acetazolamide (diamox).

Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan


epilepsi.

Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak


menurun, influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan
hiperpolarisasi.

 ACTH

Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.

B. STATUS EPILEPTIKUS

Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau
serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali.
Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi
vital, meliputi mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan
jalan napas yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan
dengan pemberian diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per
rektum merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk
penatalaksanaan epilepsi sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat
menggantikan diazepam IV sebagai obat pilihan. Preparat ini memiliki masa
kerja yang lebih panjang dan lebih sedikit menyebabkan gawat napas pada anak-
anak di atas usia 2 tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis yang
memerlukan intervensi segera untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal
napas, dan kematian.

Penatalaksanaan gawat darurat

Kejang tonik-klonik

Selama kejang :

Waktu episode kejang

-         lakukan pendekatan dengan tenang

-         jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak

-         letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak
tersedia kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
-         Jangan :

1. Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan

2. Memasukkan apapun ke dalam mulut anak

3. Memberikan makanan atau minuman

-         Longgarkan pakaian yang ketat

-         Lepaskan kacamata

-         Singkirkan benda-benda keras atau berbahaya

-         Biarkan serangan kejang berakhir tanpa gangguan

-         Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu
sisi

Setelah kejang :

-         Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)

-         Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.

-         Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas,
lakukan pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.

-         Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau
kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan

-         Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring

-         Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya

-         Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar
dan refleks menelan pulih

-         Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan

-         Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)


11. Prognosis

Perjalanan dan prognosis penyakit untuk anak-anak yang mengalami


kejang bergantung pada etiologi, tipe kejang, usia pada awitan, dan riwayat
keluarga serta riwayat penyakit. Pasien epilepsi yang berobat teratur, sepertiga
akan bebas serangan 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan
terakhir, obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatakan telah
mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi.
Meskipun minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya
serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik klonik dan sawan parsial
kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah relaps sesudah remisi.

Faktor resiko yang berhubungan dengan kekambuhan epilepsi antara lain


usia 16 tahun atau lebih, minum lebih dari satu macam obat antiepilepsi,
mengalami kejang setelah pengobatan dimulai, memiliki riwayat kejang tonik-
klonik generalisata primer atau sekunder atau hasil EEG menunjukkan kejang
mioklonik dan memiliki EEG yang abnormal. Resiko kekambuhan kejang
menurun bila terjadi pemanjangan periode tanpa kejang.

Prognosis setelah dilakukan terapi status epileptikus lebih baik daripada


dilaporkan sebelumnya. Mayoritas anak kemungkinan tidak mengalami gangguan
intelektual. Kemungkinan besar anak yang menderita gangguan kognitif atau
meninggal dunia sudah memiliki riwayat keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan, abnormalitas neurologik, atau menderita penyakit serius yang
berulang.
II. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien


ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan
alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan
yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program
rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang
digunakan?

1. Identitas

Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku


bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian
dan diagnosa medis.

2. Keluhan utama

Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk


RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan
turun, demam, perasaan tidak enak badan, nyeri  pada ektremitas.

3. Riwayat penyakit sekarang

Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan
pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah
gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat pembesaran hati, limpa, dan
kelenjar  limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa
pembengkakan.

4. Riwayat penyakit dahulu

Adanya  riwayat  penyakit  sebelumnya  yang  berhubungan  dengan 


keadaan  penyakit  sekarang  perlu  ditanyakan.

5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.

Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita
oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan
aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada
anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya
aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui
keadaan anak setelah

6. Riwayat penyakit keluarga

Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan


penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu
diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor
hereditas misalnya kembar monozigot.

Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu


dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.

1. Selama serangan :

-         Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.

-         Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.

-         Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.

-         Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.

-         Apakah pasien menggigit lidah.

-         Apakah mulut berbuih.

-         Apakah ada inkontinen urin.

-         Apakah bibir atau muka berubah warna.

-         Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.

-         Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada
satu sisi atau keduanya.

2. Sesudah serangan

-         Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,


gangguan bicara

-         Apakah ada perubahan dalam gerakan.


-         Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.

-         Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi


denyut jantung.

-         Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.

3. Riwayat sebelum serangan

-         Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.

-         Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.

-         Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.

4. Riwayat Penyakit

-         Sejak kapan serangan terjadi.

-         Pada usia berapa serangan pertama.

-         Frekuensi serangan.

-         Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,


kurang tidur, keadaan emosional.

-         Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.

-         Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak

-         Apakah makan obat-obat tertentu

-         Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik

a. Aktivitas

Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.

Tanda : kelemahan otot, somnolen.


b. Sirkulasi

Gejala : palpitasi.

Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.

c. Eliminasi

Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine.

d. Makanan / cairan

Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.

Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi


gusi mengindikasikan leukemia monositik akut).

e. Integritas ego

Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.

Tanda : depresi, ansietas, marah.

f. Neurosensori

Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing,


kesemutan.

Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

g. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.

Tanda : gelisah, distraksi.

h. Pernafasan

Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.

Tanda : dispnea, takipnea, batuk.

i. Keamanan

Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan,


perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal.

Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati.
3. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan


2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.
4. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi
informasi.
6. Termoregulasi tidak efektif
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
8. Defisit perawatan diri
9. Gangguan persepsi sensori auditori

4. Intervensi

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama … pasien


tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :

-         RR dalam batas normal sesuai umur


-         Nadi dalam batas normal sesuai umur

Intervensi Rasional

1. Tanggalkan pakaian pada 1. Memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi dada


daerah leher/dada, abdomen
2. Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan memfasilitasi
2. Masukkan spatel lidah/jalan saat melakukan penghisapan lendir, atau memberi
napas buatan sokongan pernapasan jika diperlukan

3. Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia

Kolaborasi
3. Lakukan penghisapan sesuai 1. Dapat menurunkan hipoksia serebral
sesuai indikasi

Kolaborasi

1. Berikan tambahan O2

2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien


secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama … nyeri klien berkurang


dengan  kriteria hasil:

a) Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan


rasa nyeri  yang dialami.
b) Klien tidak menangis lagi.
c) Wajah klien tampak ceria

Intervensi Rasional

1. Kaji PQRST dengan


menggunakan media gambar

2. Berikan posisi yang nyaman


sesuai kebutuhan

3. Berikan lingkungan yang


nyaman bagi  klien

4. Libatkan keluarga untuk


mendampingi klien

5. Kolaborasi untuk pemberian


obat analgesic

6. Pengkajian yang benar akan


membantu dalam 
menentukan tindakan
keperawtan selanjutnya
7. Posisi yang nyaman dapat
memberikan efek malsimal
untuk relaksasi otot

8. Kehadiran keluarga
memberikan efek psikologis
pada anak untuk mengurangi
nyeri

9. Rangsang yang berlebihan


dari lingkungan dapat
memperberat rasa nyeri

10. Obat analgesic dapat


meminimalkan rasa nyeri

3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,


kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.

Kriteria hasil :

 Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien

Kriteria pengkajian fokus makna klinis

 Riwayat kejang

 Tingkatan kejangnya

Intervensi Rasional

1. Kaji karakteristik kejang Untuk mngetahui seberapa besar tingkatan kejang yang
dialami pasien sehingga pemberian intervensi berjalan
lebih baik

1. Jauhkan pasien dari benda benda Benda tajam dapat melukai dan mencederai fisik pasien
tajam / membahayakan bagi
pasien

1. Segera letakkan sendok di mulut Dengan meletakkan sendok diantara rahang atas dan
pasien yaitu diantara rahang rahang bawah, maka resiko pasien menggigit lidahnya
pasien tidak terjadi dan jalan nafas pasien menjadi lebih lancer

1. Kolaborasi dalam pemberian obat Obat anti kejang dapat mengurangi derajat kejang yang
anti kejang dialami pasien, sehingga resiko untuk cidera pun
berkurang

4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan :

1. pengetahuan keluarga meningkat

2. keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi

3. keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi
klien.

Intervensi

Kriteria pengkajian focus Makna klinis

1. Kaji tingkat pendidikan 1. pendidikan merupakan salah satu faktor penentu


keluarga klien. tingkat pengetahuan seseorang.
2. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang telah
2. Kaji tingkat pengetahuan
mereka ketahui,sehingga pengetahuan yang nantinya
keluarga klien.
akan diberikan dapat sesuai dengan kebutuhan
3. Jelaskan pada keluarga klien keluarga
tentang penyakit kejang 3. untuk meningkatkan pengetahuan.
demam melalui penkes. 4. untuk mengetahui seberapa jauh informasi yang sudah

4. Beri kesempatan pada dipahami.

keluarga untuk menanyakan 5. agar keluarga dapat memberikan penanngan yang tepat

hal yang belum dimengerti. jika suatu-waktu klien mengalami kejang


berikutnnya.
5. Libatkan keluarga dalam
setiap tindakan pada klien.
5. Evaluasi

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan.

 RR dalam batas normal sesuai umur.


 Nadi dalam batas normal sesuai umur

2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien


secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis.

 Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan


rasa nyeri  yang dialami.
 Klien tidak menangis lagi
 Wajah klien tampak ceria

3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,


kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.

 Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien


 Kriteria pengkajian fokus makna klinis
1) Riwayat kejang
2) Tingkatan kejangnya

4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.

 Pengetahuan keluarga meningkat.


 Keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi.
 Keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan
kondisi klien.
DAFTAR PUSTAKA

 Wong, Donna L., et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong.   Volume
2. Alih bahasa Agus Sunarta, dkk. EGC : Jakarta.

 Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis. Proses penyakit. Jakarta :


EGC

 www.pediatric.com

 IDAI. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta.


https://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-
Penatalaksanaan-Kejang-Demam.pdf

 Nanda NIC NOC. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan Nanda Nic Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta : Mediaction

 Rho, J.M. and Stafstrom C.E.2012. Epilepsy in Adults In : Biller, Jose (Ed).

 Batticaca, B.F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Persarafan.Jakarta: Salemba Medika.

 Kliegman, B. 2008. Nelson Ilmu Keperawatan Anak ed. 15, alih Bahasa

Indonesia, A.Samik Wahab. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai