Anda di halaman 1dari 9

Pertemuan 11.

MAKNA SILA KEEMPAT: KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM
PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP DEMOKRASI
Tujuan Instruksional Umum : Mahasiswa dapat memahami tentang sila ke 4 Pancasila
dan hubungannya dengan demokrasi sehingga
menumbuhkan rasa untuk menerima perbedaan pendapat
dengan orang lain.

A. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, kata demokrasi (dari Bahasa Yunani) adalah bentukan dari dua kata demos
(rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Perpaduan kata demos dan cratos
membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai sebuah bentuk pemerintahan
rakyat (government of the people) dimana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan
secara langsung oleh rakyat atau melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang
berlangsung secara bebas. Secara substansial, demokrasi adalah – seperti yang pernah dikatakan oleh
Abraham Lincoln – suatu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Jadi secara bahasa demokrasi
adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat,
dan kekuasaan oleh rakyat.
Sedangkan secara istilah, demokrasi dapat dimaknai sebagai suatu bentuk atau mekanisme
sistem pemerintahan suatu negara dalam upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga
negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Sejalan dengan perkembangannya, demokrasi mengalami pemaknaan yang berkembang di
kalangan para ahli tentang demokrasi. Menurut Joseph A Schmitter, Demokrasi adalah perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah
bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusannya yang penting secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari warga negara
dewasa.
Sedangkan Sri Soemantri mengutip pendapat E.Barker, mengatakan : “Dilihat dari kata-katanya
demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yang kemudian diartikan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Meskipun kelihatan sederhana, akan tetapi sampai sekarang adalah sukar untuk
memberikan batasan yang dapat diterima semua pihak. Hal ini disebabkan pengertian demokrasi
tersebut telah dan akan mengalami perkembangan.”
Demokrasi menjadi sebuah kata yang paling diminati oleh siapapun di dunia kekuasaan. Bahkan
kata ini sering disalahartikan dan disalahgunakan oleh pemimpin pemerintahan paling otoriter
sekalipun. Mereka acapkali menggunakan slogan-slogan demokrasi demi memperoleh dukungan politik
dari masyarakatnya. Namun demikian, demokrasi juga tercatat telah mewarnai perubahan sejarah
perjuangan kebebasan umat manusia: dari masa negarawan Pericles di Kota Atena hingga Presiden
Vaclav Havel di era Modern Cekoslovakia; dari deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat oleh Thomas
Jefferson di tahun 1976 hingga pidato terakhir pemimpin Rusia Andrei Sakharov pada tahun 1989.
Dalam sejarahnya, demokrasi sering bersanding dengan kebebasan (freedom). Namun demikian,
demokrasi dan kebebasan tidaklah identik: demokrasi merupakan sebuah kumpulan ide dan prinsip
tentang kebebasan, bahkan juga mengandung sejumlah praktik dan prosedur menggapai kebebasan
yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat, demokrasi
merupakan bentuk institusionalisasi dari kebebasan. Bersandar pada argumen ini, untuk melihat apakah
suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis atau tidak terletak pada sejauhmana pemerintahan
tersebut berjalan pada: prinsip konstitusi, hak asasi manusia, dan persamaan warga negara di hadapan
hukum.
Dengan demikian, makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara
mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah
mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan
menentukan kehidupan rakyat. Dengan kata lain, bahwa negara yang menganut sistem demokrasi
adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat.
Berdasarkan uraian di atas, maka hakikat demokrasi (kedaulatan rakyat) sebagai suatu sistem
bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan
di tangan rakyat baik dalam penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Adapun kekuasaan di
tangan rakyat mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu : pemerintahan dari rakyat (government of the
people); pemerintahan oleh rakyat (government by the people); dan pemerintahan untuk rakyat
(government for the people).

B. Demokrasi menurut Pandangan Barat


Sesudah Perang Dunia II dapat dilihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar
dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam
tahu 1949 maka : “Mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama
yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pendukung-pendukung yang berpengaruh (probably for the first time in history democracy is claimed as
the proper ideal description of all systems of political and social organizations advocated by influential
proponents).”
Berbicara demokrasi dalam pandangan barat tidak bisa dilepaskan dari konteks historis, karena
konsep demokrasi sendiri memang berasal dari barat yang kemudian berkembang menjadi beberapa
fase, yaitu:
Pertama, Fase Klasik. Pada fase ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran filosofis dan
praksis politik dan ketatanegaraan sekitar abad ke 5 SM yang menjadi kebutuhan dari negara-negara
kota (city states) di Yunani, khususnya Athena. Munculnya pemikiran yang mengedepankan demokrasi
(democratia, dari demos dan kratos) disebabkan gagalnya sistem politik yang dikusai para Tyrants atau
autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap
warganya. Filsuf-filsuf seperti Thucydides (460-499 SM), Socrates (469-399 SM), Plato (427-347SM),
Aristoteles (384-322 SM) merupakan beberapa tokoh terkemuka yang mengajukan pemikiran-
pemikiran mengenai bagaimana sebuah Polis seharusnya dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan
para autocrats dan tyrants.
Dari buah pikiran merekalah prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi, yaitu persamaan
(egalitarianism) dan kebebasan (liberty) individu diperkenalkan dan dianggap sebagai dasar sistem
politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu. Tentu saja para filsuf Yunani tersebut
memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato,
misalnya, dapat dikatakan sebagai pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat
mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato mendukung
gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem politik dimana kekuasaan
mengatur Polis diserahkan kepada kelompok elite yang memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan
kekuatan fisik yang terbaik atau yang dikenal dengan nama “the philosopher Kings”. Sebaliknya,
Aristoteles memandang justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang
dan bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam pembuatan
keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan sebuah
demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena pengertian warga (citizens)
yang “egaliter” dan - bebas pada kenyataannya sangat terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang
berusia di atas 20 tahun, bukan budak, dan bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi
langsung di Athena dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga
yang benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan selebihnya
adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang asing! Demikian pula,
para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses politik karena mereka tidak tergantung secara
ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
Kedua, Pada fase Pencerahan (Abad 15 sampai awal 18M). Yang mengemuka pada fase ini
adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para raja Eropa dengan
legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527),
Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai
dengan munculnya pemikiran Republikanisme (Machiavelli) dan liberalisme awal (Locke) serta konsep
negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh, gagasan awal
tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan sebagai alternative dari model
absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan dan
Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem Monarki Absolut
dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi terbentuknya sistem demokrasi
modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan
sebuah sistem demokrasi liberal dan federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan
Revolusi Perancis mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia secara universal.
Ketiga, Fase Modern (awal abad 18 - akhir abad 20). Pada fase modern ini dapat disaksikan
dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan dengan teori-teori tentang
negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme, ideologi, hubungan antara negara dan
masyarakat dan sebagainya. Disamping itu, terjadi perkembangan dalam sistem politik dan
bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi
khusunya antara kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau (1712-
1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx (1818-1883), Friedrich
Engels (1820-1895), Max Weber (1864-1920), dan J. Schumpeter (1883-1946). Rousseau membuat
konsepsi tentang kontrak sosial antara rakyat dan penguasa dengan mana legitimasi pihak yang kedua
akan diberikan, dan dapat dicabut sewaktu-waktu apabila ia dianggap melakukan penyelewengan.
Gagasan dan praktik pembangkangan sipil (civil disobedience) sebagai suatu perlawanan yang sah
kepada penguasa sangat dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau. Mill mengembangkan konsepsi tentang
kebebasan (liberty) yang menjadi landasan utama demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan
modern (Parliamentary system) di mana Mill menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari
intervensi negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti pemikiran
Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De Toqcueville juga memberikan kritik
terhadap kecenderungan negara untuk intervensi dalam kehidupan sosial dan individu sehingga
diperlukan kekuatan kontra yaitu masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis-komunis yang
menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara dianggap sebagai - panitia
eksekutif kaum burjuis dan alat yang dibuat untuk melakukan kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh
negara masih merupakan alat kelas burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (withering away
of the state) dan digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator
proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan materialism
dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang diajukan oleh kaum liberal
adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan karenanya bukan sebagai wahana politik yang
murni (genuine) serta mampu mengartikulasikan kepentingan kaum proletar.
Max Weber dan Schumpeter adalah dua pemikir yang menolak gagasan demokrasi langsung ala
Marx dan lebih menonjolkan sistem demokrasi perwakilan. Mereka berdua mengemukakan demokrasi
sebagai sebuah sistem kompetisi kelompok elite dalam masyarakat, sesuai dengan roses perubahan
masyarakat modern yang semakin terpilah-pilah menurut fungsi dan peran. Dengan makin
berkembangnya birokrasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sistem pembagian kerja modern, maka
tidak mungkin lagi membuat suatu sistem pemerintahan yang betul-betul mampu secara langsung
mengakomodasi kepentingan rakyat. Demokrasi yang efektif adalah melalui perwakilan dan dijalankan
oleh mereka yang memiliki kemampuan, oleh karenanya pada hakekatnya demokrasi modern adalah
kompetisi kaum elit.
Perkembangan pemikiran demokrasi dan praksisnya pada era kontemporer menjadi semakin
kompleks, apalagi dengan bermunculannya negara-negara bangsa dan pertarungan ideologis yang
melahirkan blok Barat dan Timur, kapitalisme dan sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon
bagi kedua belah pihak dan hampir semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kenbdatipun
variannya sangat besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun otoriter di
seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman demokrasi semakin
mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata kelola pemerintahan (governance). Pemikir seperti
Robert Dahl umpamanya menyebutkan bahwa teori demokrasi bertujuan memahami bagaimana
warganegara melakukan control terhadap para pemimpinnya. Dengan demikian focus pemikiran dan
teori demokrasi semakin tertuju pada masalah proses-proses pemilihan umum atau kompetisi partai-
partai politik, kelompok kepentingan, dan pribadi-pribadi tertentu yan memiliki pengaruh kekuasaan.
Dengan hancurnya blok komunis/sosialis pada penghujung abad ke duapuluh, demokrasi seolah-
olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global. Fukuyama bahkan menyebut era paska
perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya,
menjadi pemenang terakhir. Pada kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan
yang cukup pelik karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian
dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun munculnya ideologi
alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah tampil sebagai pemain dan penantang
baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami
pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis. Munculnya berbagai pemikiran dan
gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi liberal, seperti gerakan
feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dan sebagainya. Termasuk juga gerakan anti kapitalisme
global yang bukan hanya berideologi kiri, tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut
terjadinya terobosan baru dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan disini
adalah upaya mencari jalan ke tiga (the Third Way) yang menggabungkan liberalisme dan populisme di
Eropa dan Amerika Serikat.
Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi sebagaimana
dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan lagi, diperlukan kemampuan dari para
pekerja demokrasi untuk mencari varian demokrasi yang compatible dengan konteks yang dihadapi.
Pemahaman tentang perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah
dunia akan sangat membantu dalam usaha tersebut.

C. Demokrasi menurut Pandangan Islam.


Sebagian besar pengkaji masa kini – yang telah membekali diri dengan ilmu hukum yang
bersumber dari Eropa – tidak memperhatikan perbedaan syura dalam pengertiannya yang luas dengan
demokrasi sebagai sistem politik (Barat).
Segi yang paling penting yang membedakan syura (dalam pengertian umum) dengan demokrasi
(Barat) ialah prinsip komprehensif syura yang melampaui ruang lingkup sistem pemerintahan dan
konstitusi negara. Syura lebih umum dari itu dan lebih luas ruang lingkupnya hingga termasuk di
dalamnya musyawarah dalam masalah-masalah fiqih, juga istisyarah sebagai prinsip akhlak dan perilaku
yang diatur oleh syari’ah. Sifat komprehensif syura dan masyurah merupakan hasil yang pasti dari akar-
akarnya yang syar’i dan sumber-sumbernya yang religius. Agama, seperti yang telah kita sama-sama
ketahui, tidak hanya terbatas pada undang-undang dan konstitusi. Prinsip-prinsip agama juga mencakup
prinsip-prinsip akhlak, pendidikan dan bimbingan.
Adapun syura atau tasyawur, dalam makna umum, mencakup bermacam-macam perkara;
menyangkut kewajiban moral maupun agama, anjuran, atau apa yang dianggap baik.
Selain istisyarah yang bersifat opsional, ada sebagian kondisi syura yang bersifat konstitusional
yang sinonim dengan apa yang dinamakan dengan demokrasi. Di luar itu ada macam ketiga yang berada
di antara istisyarah yang bersifat opsional dan syura yang bersifat konstitusional, yaitu masyurah dalam
fiqih, ijtihad, dan fatwa dalam masalah-masalah hukum.
Syura yang harus dipegang teguh secara undang-undang dan konstitusi adalah hak jamaah
dalam mengambil ketetapan-ketetapan yang berkaitan dengan uruan-urusannya yang penting.
Ketetapan-ketetapan itu tidak dipaksakan dari pihak asing atau dari minoritas yang mengambil
kekuasaan dengan kekerasan. Tujuannya ialah melindungi kemerdekaan jamaah dan hak nya dalam
menentukan nasib, juga dalam memelihara kewenangannya dalam mengatur urusan-urusannya serta
memelihara haknya dalam membatasi wewenang para penguasa dengan apa yang lazim untuk
mencegah kesewenang-wenangan dan pelanggaran-pelanggaran mereka yang mengancam hak-hak
pribadi dan kebebasan mereka.
Adapun masyura yang bersifat opsional dan istisyarah adalah tukar pendapat dan saling
memberi nasehat kendati dikatakan bahwa itu juga syura. Namun, tidak boleh diartikan bahwa hukum
syura berlaku pula pada masyurah opsional dan istisyarah ini. Sebabnya, syura diperintahkan oleh Islam
sebagai jalan jamaah mengeluarkan ketetapan mengenai urusan-urusan yang bersifat umum. Jadi, syura
yang menghasilkan ketetapan bersama adalah syura yang mengeluarkan ketetapan yang harus ditaati.
Adapun istisyarah atau masyurah yang bersifat opsional hanyalah merupakan musyawarah tentang
pendapat tertentu. Adapun dalam masalah-masalah fiqih, kita mengetahui bahwa fatwa adalah
pendapat atau masyurah ilmiah.
Prinsip musyawarah tidak disebut secara tegas dalam piagam Madinah. Tetapi, apabila dipahami
salah satu pasalnya, yakni di Pasal 17 yang menyatakan bahwa apabila orang mukmin hendak
mengadakan perdamaian harus atas dasar persamaan dan adil di antara mereka, mengandung konotasi
bahwa untuk mengadakan perdamaian itu harus disepakati dan diterima bersama. Hal ini tentu saja
hanya bisa dicapai melalui suatu prosedur, yaitu musyawarah diantara mereka. Tanpa musyawarat1 atau
syura2 persamaan dan adil mustahil dapat dipenuhi, karena di dalam musyawarah semua peserta
memiliki persamaan hak untuk mendapatkan kesempatan secara adil untuk mengungkapkan pendapat
dan pandangan masing-masing terhadap masalah yang dirundingkan. Maka klausa “harus atas dasar
persamaan dan adil di antara mereka” dalam ketetapan tersebut menghendaki adanya pelaksanaan
musyawarah atau konsultasi. Ini berarti, bahwa prinsip musyawarah walaupun secara implisit
diundangkan dalam Piagam Madinah sebagai salah satu peraturan dan sistem pengambilan keputusan
dalam roda pemerintahan negara Madinah di bawah kepemimpinan Muhammad SAW.
Sejalan dengan kehendak ketetapan tersebut, Muhammad SAW sebagai contoh teladan yang
paling baik bagi umat manusia dan kedudukannya sebagai kepala negara pemerintahan di Madinah,
telah membudayakan praktek musyawarah di kalangan para sahabatnya. Sejarah membuktikan bahwa
beliau seringkali bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk meminta saran dan pendapat mereka
dalam soal-soal kemasyarakatan dan kenegaraan.
Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 159 secara tegas menyebutkan bahwa “wa syawirhum fil amri”
(dan bermusyawarahlah dalam memutus suatu urusan). Kemudian didalam surat Asy-Syuraa, Allah SWT
menegaskan kembali “wa amruhum syuraa bainahum” (dan dalam urusan mereka diputuskan dengan
musyawarah diantara mereka).
Perkataan amr dalam ayat di atas menunjuk kepada semua urusan yang bersifat
kemasyarakatan, dan oleh karena itu juga kepada cara menegakkan pemerintahan negara, yakni prinsip
yang menjadi dasar dari seluruh kekuasaan pemerintah. Selanjutnya, ayat wa amruhum syura
bainahum, yang secara harfiah berarti urusan kemasyarakatan, adalah musyawarah di antara mereka,
bukan saja menjadikan pemecahan semua masalah politik sebagai hasil dari musyawarah tetapi sama
artinya dengan musyawarah itu sendiri. Hal ini mengandung makna bahwa kekuasaan legislatif negara
harus diserahkan kepada majelis yang dipilih oleh masyarakat khusus untuk maksud ini.
Jadi, hubungan isinya bahwa ungkapan “diantara mereka” dalam al-Qur’an surat Asy-Syuraa
ayat 38 tersebut adalah menunjuk kepada seluruh jamaah. Oleh karena itu, majelis peraturan
perundang-undangan atau dipakai dengan istilah sejarah Islam majelis asy-syuraa haruslah sungguh-
sungguh mewakili seluruh jamaah, baik pria maupun wanita yang hanya dapat diperoleh dengan
pemilihan yang bebas dan umum. Sehingga anggota-anggota majelis harus dipilih dengan hak pilih yang
1
Istilah musyawarat merupakan bentuk mashdar dari kata kerja syawara yusyawiru, berarti “menampakkan dan
menawarkan dan mengambil sesuatu”. Makna terakhir terdapat dalam ungkapan Syawartu fulanan fi amri
artinya saya mengambil pendapat si fulan mengenai urusanku. Abu al-Husain Ibn Faris bin Zakariya, Mu’jam
Maqayis al-Lughat, Jilid III, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir 1972, hlm. 226-227. Dikutip oleh J. Suyuthi
Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 208.
2
Syura berarti “dirundingkan, permusyawaratan, hal bermusyawarah, konsultasi”. Istilah ini juga berasal dari
kata kerja syawara-yusyawiru. Bentuk lain adalah asyara (member isyarat), syawir (mintalah pendapat). Jadi,
musyawarat atau syura berarti saling merundingkan atau meminta dan bertukar pendapat mengenai suatu
perkara. Ibid.,
seluas-luasnya, meliputi pria dan wanita. Luasnya hak pilih dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
para pemilih itu, demikian pula dengan syarat-syarat yang diminta dari calon-calon adalah penjelasan
yang dalam al-Qur’an maupun al-Hadits tidak menyediakan peraturan perundang-undangan yang jelas
dan lengkap tentang hal tersebut. Kemudian sebagai konsekuensinya hal itu diserahkan kepada
kebijaksanaan jamaah dengan mengingat kebutuhan masanya.
Cara pemilihannya dapat dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung, kemudian
apakah hak pilih boleh dipindahkan atau tidak, pilihan menurut daerah atau perwakilan proporsional
dan seterusnya, hal itu tidak ditetapkan dalam sya’riah. Oleh karena itu maka jamaahlah yang membuat
peraturannya.
Anggota-anggota majelis bukan saja mengetahui sebaik-baiknya nash-nash di dalam al-Qur’an
dan al-Hadits, tetapi juga mempunyai pengertian yang mendalam (ulul-albab), dan menyadari betul
tuntunan-tuntunan sosiologis masyarakat dan urusan keduniaan pada umumnya. Dengan kata lain,
pendidikan dan kematangan adalah syarat mutlak bagi calon-calon yang patut dipilih untuk majelis asy-
syura.
Masyarakat sekarang mempunyai kebebasan untuk menentukan bentuk dan sistem
musyawarah serta mekanismenya disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tempat serta kebutuhan
mereka. Tetapi, yang paling penting dalam pelaksanaan musyawarah itu dan prosedur pengambilan
keputusannya, mereka tetap berpegang teguh kepada prinsip-prinsip ajaran Islam, yaitu kebebasan,
keadilan dan persamaan dalam berbicara dan mengemukakan pendapat. Pendapat yang diajukan
keputusan bukan melihat kepada siapa yang mengemukakan pendapat itu, pendapat mayoritas atau
minoritas, melainkan bagaimana kualitas pendapat itu dan dampaknya bagi kemaslahatan umat, bukan
kemaslahatan yang bermusyawarah.
Teknis musyawarah merupakan masalah ijtihadiah yang memungkinkan disesuaikan dengan
karakteristik masing-masing bangsa di dunia, karena salah satu fungsi ijtihad merupakan respons umat
Islam terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Pada saat ini, di berbagai negara, musyawarah
dilaksanakan melalui suatu lembaga pemerintahan yang disebut Dewan Perwakilan atau apapun
namanya yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing bangsa di berbagai negara di dunia ini. Misalnya
di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, musyawarah dapat dilihat diantaranya dalam
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat
menyebutkan, bahwa menetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Sedangkan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945
menentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota
negara. Penjelasan Pasal 2 UUD 1945 ini menjelaskan supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh
daerah akan mempunyai wakil dalam majelis, sehingga Majelis ini akan betul-betul dapat dianggap
sebagai penjelmaan rakyat. Sedangkan yang disebut dengan golongan-golongan adalah badan-badan
seperti Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif. Di samping itu, Majelis ini kalau perlu
dalam lima tahun boleh bersidang lebih dari sekali dengan mengadakan persidangan istimewa.
Pelaksanaan musyawarah selanjutnya dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, yang
mengatur lebih lanjut bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Demikian juga
gambaran musyawarah dalam UUD 1945, terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan
Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR. Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
UUD 1945 menerangkan bahwa Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan legislative power
dalam negara.
Selanjutnya pelaksanaan musyawarah tergambar dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 yang
mengatur tentang prosedur usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh DPR kepada
MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat DPR tersebut
diajukan dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, yang hanya dapat dilakukan dengan dukungan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR. Jika MK telah memeriksa, mengadili, dan memutuskan
bahwa Presiden da/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan
pengajuan DPR, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskannya kepada MPR.
Selanjutnya MPR menyelenggarakan sidang untk memutuskan usul tersebut. Keputusan MPR atas usul
tersebut, harus diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Lembaga musyawarah di daerah, dapat di lihat dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah,
Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menerangkan di daerah-daerah yang
bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan
bersendi atas dasar permusyawaratan.
Pelaksanaan musyawarah dapat dilihat juga dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang
menetapkan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan Pasal 20 ayat (2) UUD
1945 menentukan bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. Kemudian Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 menjelaskan Presiden mengesahkan RUU yang telah
disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Selanjutnya Pasal 20A UUD 1945 menetapkan DPR
mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Di samping itu, DPR mempunyai
hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, setiap anggota DPR mempunyai
hak mengajukan pertanyaan, mengajukan usul dan pendapat. Adapun Pasal 21 UUD 1945 mengatur
anggota DPR berhak mengajukan usul RUU. Penjelasan Bab VII tentang DPR harus member
persetujuannya kepada tiap-tiap RUU dari pemerintah. DPR mempunyai hak inisiatif untuk menetapkan
undang-undang. DPR juga mempunyai hak begroting, jadi dapat mengontrol pemerintah.
Musyawarah juga dalam pelaksanaannya dapat di lihat dalam Bab XVI UUD 1945 tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar. Pasal 37 UUD 1945 mengatur usul perubahan pasal-pasal UUD 1945
dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah
anggota MPR. Usulan ini diajukan secara tertulis dan ditujukan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk
diubah dengan disertai alasannya. Perubahan ini dapat dilakukan melalui sidang MPR yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Kemudian putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD
1945 dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari
seluruh anggota MPR.
Beberapa pasal dalam UUD 1945 tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia musyawarah itu
dijamin secara konstitusional, hal ini sesuai dengan siola keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Selain itu, musyawarah juga
sesuai dengan pokok yang ketiga yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu negara yang
berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu,
sistem negara yang terbentuk dalam UUD 1945 harus berdasar atas kedaulatan rakyat yang berdasar
atas permusyawaratan perwakilan. Hal ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
Disamping itu, dalam Hukum Islam, musyawarah hanya boleh dilakukan untuk hal-hal yang
makruf dan tidak boleh untuk menetapkan sesuatu yang munkar, sebab tindakan yang mencegah
seseorang melakukan kezaliman terhadap orang lain dan menegakkan keadilan di muka bumi,
merupakan tujuan puncak dari risalah sosial Islam.
***

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:
A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Kencana, Jakarta,
2012.
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, RajaGrafindo Persada,
Jakarta,
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2009.
Radis Bastian, Sistem-sistem Pemerintahan Sedunia, IRCiSoD, Yogyakarta, 2015.
Salim Azzam, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Mizan, Bandung,
S.I. Benn dan R.S. Peters, Principles of Political Thought, Collier Books, New York, 1964.

Anda mungkin juga menyukai