Anda di halaman 1dari 9

Nama : Jean H.W.

Bengngu
Kelas : 9A
Tugas IPS
1. Jenderal Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo pada tanggal


19 Juni 1922. Awalnya Jenderal Ahmad Yani mengikuti
pendidikan Heiho di Magelang dan PETA (Pembela Tanah
Air) di Bogor.

Ahmad Yani mengikuti militer sampai ikut dalam


pemberantasan PKI Madiun tahun 1948, Agresi Militer
Belanda II, dan penumpasan DI/TII di Jawa Tengah. Ahmad
Yani terbang ke London, Inggris. Kepergiannya suatu hari
pada 1959 itu mengemban tugas penting.Indonesia tengah
berkonfrontasi dengan Belanda dalam perebutan Papua
Barat. Yani, yang kala itu menjabat Deputi II Kepala Staf
Angkatan Darat, ditunjuk menjadi Ketua Staf Operasi.

Ia bertanggung jawab memperkuat persenjataan, mengantisipasi kemungkinan operasi militer.


Yani melakukan safari ke negara-negara Eropa, menjajaki pembelian senjata. Perjalanan itu
kemudian dikenal dengan Misi Yani. Di Inggris, ia dibantu Atase Militer KBRI Kolonel Sutojo
Siswomihardjo. Yani menjalin kontak dengan Alvis Car and Engineering Company. Dari
perusahaan otomotif itu, Indonesia membeli dua jenis kendaraan lapis baja.

"Ayah saat itu Atase Militer RI di London, menyaksikan penandatanganan nota pembelian
panser buatan Inggris tahun 1959," kata Anak Sutojo, Nani Nurrachman Sutojo, dalam Kenangan
Tak Terungkap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965. Salah satu jenis kendaraan yang dibeli adalah
FV603 Saracen. Panser pengangkut personel berkapasitas 11 orang ini masuk rumpun Alvis
FV600.

Dengan bobot 11 ton, Saracen dipersenjatai 16 mm Rolled homogeneous armour. Mesin Rolls-
Royce B80 mampu memacu panser hingga 72 Km/jam. Panser Saracen tergolong baru pada
masa itu. FV603 Saracen pertama kali diproduksi 1952. Nani Nurrachman Sutojo menceritakan
pesanan kendaraan taktis dari Inggris baru tiba di Indonesia menjelang 1965. Tak lama
kemudian, terjadilah pemberontakan PKI. Enam jenderal diculik. Panser Saracen tampil di
momen penting penumpasan Pemberontakan PKI.

Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyerbu basis pasukan pemberontak di
Halim Perdana Kusuma, 2 Oktober 1965. Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo
memimpin operasi yang dimulai sejak dini hari itu. "Kolonel Sarwo Edhie Wibowo masuk
pertigaan HEK dengan menumpang APC FV603 Saracen Kompi B Kostrad," tulis Hendro
Subroto, dalam buku Sintong Pandjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

RPKAD bersama Batalyon 330 Kujang/Siliwangi memenangkan pertempuran. Halim berhasil


direbut pagi hari pukul 06.00. Tak jauh dari Halim, di Lubang Buaya, jenazah enam jenderal
yang diculik PKI ditemukan. Beberapa hari setelah percobaan kudeta yang gagal itu, tepat di hari
ulang tahun TNI, 5 Oktober 1965, iring-iringan militer keluar dari Aula Departemen Angkatan
Darat. Sejak semalam sebelumnya, tujuh jenazah Pahlawan Revolusi disemayamkan di sana.
Selain enam jenderal, ada pula jenazah perwira Pierre Tendean yang turut ditangkap saat
peristiwa penculikan. Pasukan Cakra Birawa yang menculiknya mengira Tendean adalah
Jenderal Nasution. Harian Kompas 6 Oktober 1965 menggambarkan tiga puluh truk RPKAD
berjalan di depan rombongan. Konvoi bergerak ke arah Taman Makam Pahlawan, tempat tujuh
Pahlawan Revolusi akan dimakamkan. Iringan berjalan tenang membelah jalanan Jakarta. Sekitar
pukul 12.30 WIB mereka tiba di tujuan. Tank-tank berjejer di kanan kiri jalan menjelang
Kompleks Taman Makam Pahlawan. Formasi itu penghormatan pada iringan kereta merta yang
membawa tujuh Pahlawan Revolusi.

"Para jenazah diturunkan dari kendaraan-kendaraan panser yang membawa mereka ke tempat
istirahat terakhir," tulis Harian Kompas. Tujuh peti jenazah berbalut bendera merah putih
diletakkan di atas panser yang tak lain FV603 Saracen. Jenazah Jenderal Anumerta Ahmad Yani
dan Mayjen Anumerta Sutojo Siswomihardjo berada di antara tujuh jenazah Pahlawan Revolusi
yang dimakamkan hari itu.

"Panser-panser ini adalah peralatan yang dibeli Bapak dalam Misi Yani," kenang Amelia Ahmad
Yani dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI. Di London, pada 1959, keduanya mungkin tak
menyadari tengah membeli kereta merta yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir tujuh
tahun kemudian.

2. Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto

Letnan Jenderal TNI Anumerta R Suprapto, seorang pahlawan


revolusi Indonesia yang menjadi korban dalam G30SPKI pada
1965 dan kini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta.

Lahir di Purwokerto 20 Juni 1920, R. Suprapto mengikuti kursus


Pusat Latihan Pemuda, latihan Keibodan, seinendan, dan
syuisyintai. Kemudian dia bekerja di kantor Pendidikan
Masyarakat.

Kemudian dia masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat


di Purwokerto. Itulah awal R. Suprapto menjadi anggota militer
Belanda yang bernama Koninklijke Militaire Akademie di
Bandung.

Akan tetapi, Suprapto tidak menyelesaikan pendidikan militernya dikarenakan oleh serbuan Jepang ke
Indonesia. Ia bahkan sempat menjadi tahanan Jepang pada saat itu, namun Suprapto berhasil melarikan
diri. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Suprapto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Ia juga turut serta dalam pertempuran melawan Jepang di Cilacap dan berhasil melucuti senjata
para tentara Jepang.

Pria asal Purwokerto ini juga pernah diangkat menjadi ajudan dari Panglima Besar Sudirman pada 1946.
Pada September 1949, ia lalu diangkat menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (TST) IV/Diponegoro
di Semarang dan pada 1951 pindah ke Markas Besar TNI di Jakarta sebagai Staf Angkatan Darat. Pada 1
Oktober 1965 dini hari, Suprapto yang saat itu tidak bisa tidur karena sakit gigi didatangi oleh sekawanan
orang.

Mereka mengaku sebagai pengawal kepresidenan (Cakrabirawa) yang mengatakan bahwa ia dipanggil
oleh Presiden Sukarno untuk menghadap. Suprapto kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke
Lubang Buaya, daerah pinggiran kota Jakarta, bersama dengan 6 orang lainnya. Malam harinya, Jendral
Suprapto dan keenam orang lainnya ditembak mati dan dilemparkan ke dalam sebuah sumur tua.

Baru pada 5 Oktober, jenazah para korban pembunuhan tersebut bisa dikeluarkan dan dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata. Di hari itu juga, Presiden Sukarno mengeluarkan Kepres nomor
111/KOTI/1965 yang meresmikan Suprapto bersama korban Lubang Buaya yang lain sebagai Pahlawan
Revolusi.

3. Letjen S.Parman

Dikenal dengan nama Siswondo Parman merupakan petinggi TNI


Ada ketika orde lama. Dia lahir di Wonosobo, Jawa Tengah 4
Agustus 1918.

Ketika awal masa sekolah, ia masuk di Eurospeesch Lagere School


(ELS) pendidikan setingkat sekolah dasar yang merupakan sekolah
bentukan pemerintah Belanda. Selanjutnya, ia melanjutkan
pendidikan setingkat sekolah umum di Hoogere Burgerschool
(HBS), yang juga sekolah bentukan Belanda.

Kemudian, ketika Jepang menguasai Indonesia setelah Belanda, MT


Haryono masuk di sekolah kedokteran Ika Dai Gakko, tetapi tidak
sampai selesai. Singkat cerita, ketika kemerdekaan RI berkumandang,
MT Haryono yang sedang berada di Jakarta bergabung dengan pemuda-pemuda lainnya demi
mempertahankan Indonesia.

Semangatnya tersebut membawa ia berserikat dengan masuk ke organisasi Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Pada awal pengangkatannya, ia menduduki jabatan sebagai Walikota di TKR. Prestasinya yang
semakin gemilang, membuat MT Haryono berkali-kali naik pangkat hingga mendapatkan jabatan Letnan
Jenderal. Dan pada peristiwa G30S/PKI, MT Haryono menjadi salah satu korban dari insiden di Lubang
Buaya, Jakarta Timur. Pengalamannya di bidang intelijen bermanfaat bagi TNI terutama mengetahui
rencana PKI. Namun pada 1 Oktober 1965, dia diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya.

4. Letjen M.T. Haryono

Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di


Surabaya, 20 Januari 1924. Termasuk salah satu dari 7 pahlawan
revolusi.
Merupakan anggota di Politbiro CC PKI, semacam dewan penasihat partai. Meski seorang seorang
insinyur sipil, dia pernah menyandang pangkat letnan kolonel pada awal kemerdekaan.

Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan menulis, Sakirman bersama DN Aidit,
Lukman, dan Sidik Kertapati sempat bergabung dalam Barisan Pelopor Istimewa, semacam pengawal
pribadi Bung Karno pada masa pendudukan Jepang.

Sementara, S Parman merupakan tentara yang brilian dalam bidang intelijen. Berpangkat terakhir sebagai
Mayor Jenderal, Parman sempat mengenyam pendidikan di Koninklijke Militaire Academie di Breda,
Belanda. Di masa mudanya, pria kelahiran Wonosobo, 4 Agustus 1918 itu juga terlibat dalam Agresi
Militer II. Kala itu, Parman ikut bergerilya di luar kota.

Di masa pendudukan Jepang, dia juga pernah ditempatkan sebagai penerjemah pemerintah Jepang untuk
bahasa Inggris. Meski membantu Jepang, rasa nasionalisme Parman tetap tinggi. Dia disebut terus
berhubungan dengan teman-temannya yang berjuang melalui gerakan bawah tanah.Parman dan Sakirman
menjadi seteru politik yang nyata. Satu TNI, satu PKI. Fakta ini membuat seorang indonesianis asal
Amerika Serikat, Benedict Anderson, yang sempat bertemu Parman, menjadi heran.

"Si kakak adalah anggota Politbiro PKI, sementara adiknya Kepala Intelijen Angkatan Darat. Sulit
membayangkan hal ini terjadi di Barat," ujar Ben Anderson dalam memoarnya Hidup di Luar
Tempurung. Jabatan resmi Parman adalah Asisten I/Intelijen Menpangad.Ketika bertemu di Jakarta,
Parman sempat mengira Ben sebagai agen CIA.

"Karena ia sesumbar punya mata-mata hebat dalam tubuh PKI sehingga dalam hitungan jam, ia bisa tahu
keputusan-keputusan Politbiro," kenang Ben.Sebagai salah satu elite di PKI, Sakirman berjuang keras dan
berupaya meyakinkan Presiden Sukarno agar segera dibentuk Angkatan kelima yang terdiri dari kaum
Buruh dan Tani yang dipersenjatai.

Berbeda dengan adiknya S Parman. Saat isu mengenai pembentukan Angkatan Kelima mencuat, Parman
justru menjadi salah satu yang terdepan menolak. Sebagai seorang petinggi di intelijen Angkatan Darat,
Parman menganggap keberadaan Angkatan Kelima malah memicu perang saudara.Pada 1 Oktober 1965
malam, melalui sebuah operasi senyap, enam Jenderal senior, termasuk S Parman dan beberapa orang
lainnya diculik pasukan Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden, yang loyal kepada PKI.

Di Lubang Buaya, Parman mengembuskan napas terakhir. Jasadnya ditemukan 4 Oktober 1965 dan
dimakamkan pada keesokan harinya di TMP Kalibata.

5. Mayor Jenderal D. I. Panjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac panjaitan, lahir di


balige Sumatera Utara 19 Juni 1925. Dia meninggal di umur 40
tahun pada 1 Oktober 1965. Meski demikian, perjuangan DI
Panjaitan dalam mempertahankan Tanah Air tak bisa dianggap
remeh dan patut diacungi jempol. DI Panjaitan adalah sosok
pahlawan yang pernah mengenyam bangku kuliah di Associated
Command and General Staff College, Amerika Serikat.
Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI.DI Panjaitan menduduki jabatan
sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi KOmandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di
Bukittinggi pada 1948. Setelah itu menjabat sebagai Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen
Tentara Sumatra.

Jabatan sebagai pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pun
berhasil diraihnya ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi.Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir,
beliau diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di
Medan yang kemudian saat dipindah ke Palembang menjabat Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.

Usai pulang menuntut ilmu di Amerika Serikat, DI Panjaitan membongkar rahasia PKI akan pengiriman
senjata dari Republik Rakyat China yang dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan. Senjata-senjata
tersebut diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk melancarkan aksi pemberontakan.Aksi di Panjaitan
atas pembongkaran rahasia PKI menyulut api kemarahan dari pihak PKI dan akhirnya pada 1 Oktober
1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September datang ke rumah Panjaitan.

Ketika DI Panjaitan berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal dunia.
Mayatnya kemudian dibawa dan dibuang di Lubang Buaya. Lalu pada 4 Oktober, mayat Panjaitan
diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta.Panjaitan mendapatkan gelar Pahlawan
Revolusi oleh pemerintah Indonesia berkat keberaniannya membela negara.

6. Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo Siswomiharjo lahir di di Kebumen, Jawa Tengah, 28


Agustus 1922. Dia adalah seorang perwira tinggi di TNI-AD.
Brigjen Sutoyo pernah menjadi atase militer di Inggris pada
1956-1959.

Sutoyo Siswomiharjo mengecap pendidikan HIS dan AMS di


Semarang. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Balai
Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta. Sebelum menjadi tentara,
Sutoyo bertugas sebagai Pegawai Menengah/III di Kabupaten
Purworejo.

Karirnya di bidang militer dimulai dengan menjabat sebagai Polisi Tentara saat perjuangan kemerdekaan
1945. Setelah itu karirnya terus menanjak sehingga pada 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan
menjabat sebagai IRKEHAD. Lalu pada 1964 dinaikkan pangkatnya menjadi Brigjen.

Pak Toyo, panggilan akrab Sutoyo, dikenal masyarakat Indonesia saat dirinya menjadi korban G30S/PKI
pada 1 Oktober 1965. Menjelang peristiwa tersebut Pak Toyo mengalami beberapa firasat yang tidak
enak. Namun di tengah perasaan kurang enak itu, dia memerintahkan untuk membuat rencana peringatan
Hari ABRI 5 Oktober 1965 secara cermat kepada ajudannya.

Firasat itu ternyata terbukti pada 1 Oktober jam 04.00 Brigjen TNI Sutoyo diculik oleh pasukan yang
dipimpin oleh Serma Surono dari Men Cakrabirawa dengan kekuatan 1 peleton. Dengan todongan
bayonet, mereka menanyakan kepada pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju
kamar tengah.

Setelah pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke dalam
rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Kedua orang itu
membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada Serda Sudibyo.
Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan
meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya. Pak Toyo gugur dianiaya di
tempat tersebut dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.

7. Kapten (Anumerta) Pierre Tendean

Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean lahir pada 21 Februari


1939. DIa adalah seorang perwira militer di Indonesia dan merupakan
ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab) Jenderal AH
Nasution.

Saat Kasab Jenderal AH Nasution yang kala itu menjadi Menhankam


sedang memberikan ceramah di depan sebuah kampus, para
mahasiswi tak bisa memalingkan matanya dari podium. Rupanya, ada
Pierre Tendean, pria berkulit putih dan bertubuh atletis yang berdiri di
belakang AH Nasution. Pierre Tendean memang dikenal ganteng,
hingga di kalangan mahasiswi ada sebuah lelucon.

"Telinga untuk Jenderal Nasution, tapi mata untuk Letnan Tendean," kata para mahasiswi kala itu. Saat
menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD), Pierre Tendean juga membuat
mojang Bandung terpesona. Bahkan, ia dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner adalah
bintang film terkenal pada era 1950-an, sementara Panorama adalah nama daerah di Bandung tempat
ATEKAD berlokasi.

Namun, sang adik Roosdiawati mengingat, tak ada gadis yang dipacari kakaknya saat sekolah di
ATEKAD. Pierre kelihatan lebih serius menekuni sekolah militernya daripada jalan-jalan dengan para
mahasiswi itu. Pendidikan di ATEKAD menitikberatkan pada bidang konstruksi dan teknik sipil selain
bidang kemiliteran. Lama pendidikan untuk menjadi perwira zeni adalah empat tahun.

Jadi tentara memang pilihan hidup Pierre Tendean. Setelah lulus SMA di Semarang, dia enggan
mengikuti jejak ayahnya Dr AL Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa. Konon kabarnya, Pierre
sengaja mengerjakan tes asal-asalan saat mengikuti ujian Fakultas Kedokteran agar tak lolos.

Namun ketika mendaftar akademi militer, Pierre mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ia pun
berasil lolos menjadi taruna angkatan darat pada 1958. Walau pada saat itu yang mendukung Pierre hanya
Mitzi, kakak sulungnya. Ibu Pierre adalah Maria Elisabeth Cornet, seorang wanita Indonesia berdarah
Prancis. Dari ibunya, Pierre memperoleh kulit putih dan tubuh tinggi.
Pierre Tendean memiki 2 saudara kandung, yaitu kakaknya Mitzi Farre dan adiknya Roosdiawati. Ia
merupakan anak laki-laki satu-satunya. Operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera menjadi
pengalaman tempur pertama bagi Pierre. Saat itu Pierre masih Kopral Taruna. Dia diberi kesempatan
magang untuk merasakan medan pertempuran sesungguhnya.

Pada 1962, Pierre lulus dari ATEKAD dan menyandang pangkat Letnan Dua. Jabatan pertamanya sebagai
Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Kodam II di Medan. Pierre tak lama menjadi komandan
peleton. Saat persiapan Dwi Komando Rakyat, konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris, dia ditugaskan
mengikuti sekolah intelijen di Bogor. Pierre kemudian ditugaskan di garis depan untuk menyusup ke
Singapura dan Johor menyamar sebagai turis.

Dengan postur seperti bule, imigrasi tak curiga pria ini sebenarnya intelijen yang sedang mengumpulkan
data. Tugas menantang bahaya seperti ini rupanya disenangi Pierre. Namun, sang ibu selalu khawatir. Dia
meminta anaknya tak lagi bertugas di garis depan. Akhirnya, Pierre mau menerima tugas sebagai ajudan
Menhankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution. Dia bertugas mulai 15 April 1965.

Nasution dan istri memang sudah kenal dekat dengan keluarga Tendean. Ibu Nasution bahkan sudah
mengenal Pierre sejak kecil. Selama di Bandung, Pierre juga sempat tinggal di kediaman keluarga
Nasution. Faktanya, tak hanya Jenderal Nasution yang ingin Pierre menjadi ajudannya. Jenderal Hartawan
dan Jenderal Dandi Kadarsan juga menginginkan Pierre Tendean.

"Hanya untuk satu tahun saja, setelah itu saya akan minta dipindah," kata Pierre pada salah satu rekannya.
Pierre agaknya lebih nyaman menjadi perwira tempur lapangan daripada menjadi ajudan pejabat yang
harus kental memegang protokoler. Namun, baru enam bulan bertugas, terjadilah tragedi maut G30S/PKI.
Sekelompok tentara Tjakrabirawa menerobos masuk ke kediaman Jenderal AH Nasution.

Ironisnya, Pierre saat itu sebenarnya sudah turun piket. Dia sudah berencana pulang ke Semarang untuk
merayakan hari ulang tahun ibunya yang jatuh pada tepat 30 September. Pada 30 September sore, dia
berencana langsung pulang ke Semarang, tapi dicegah keluarga Nasution. "Besok pagi saja. Bermalam
dulu, tak aman pergi malam-malam," ujar Edi Suparno, penjaga Museum Jenderal Besar AH Nasution,
menirukan suasana sore itu.

Lantas, ketika jelang tengah malam, Pierre bangun karena mendengar suara ribut. Seorang anak Nasution
berlari untuk berlindung ke kamar paviliunnya. Pierre mengenakan jaket dan keluar menyandang
senapan. Tak jelas, di mana ajudan pengganti yang seharusnya bertugas menggantikan Pierre pada malam
itu. "Siapa di sana. Letakkan senjata!" bentak para penculik sambil menodongkan senjata.

"Saya Nasution," katanya gagah pada para penculik. Sementara itu Jenderal Nasution bisa
menyelamatkan diri dengan cara melompat tembok ke Kedutaan Besar Irak yang berada di sebelah
rumahnya. Pierre segera diikat dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana sudah berkumpul
tentara dan pemuda rakyat pendukung Gerakan 30 September.

Pierre sempat melawan saat mau ditembak. Akhirnya dia didudukkan paksa dan ditembak empat kali dari
belakang. Jenazah Pierre dimasukkan paling akhir ke sumur tua itu. Sebelum ditutup tanah, seorang
tentara merah memberondongkan senjata ke dalam lubang untuk memastikan semua korban tewas.
Usia Pierre baru 26 tahun saat dibunuh. Dia menjadi korban termuda dan satu-satunya perwira pertama
yang jadi korban penculikan gerombolan Letkol Untung. Anak laki-laki satu-satunya kesayangan sang
Ibu pun tak pernah lagi pulang ke Semarang.

1. Jenderal Ahmad Yani

Anda mungkin juga menyukai