Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
"Nasib ditentukan dari rahim mana engkau hadir dan terimalah kelahiranmu"
Dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh, Tarla terus berjalan dengan tongkat yang menopang
sebelah kakinya menuju rumah reot dipinggiran kota Surabaya. Rumah yang sangat kecil namun mampu
membuat Tarla bahagia karena disanalah proses kehidupannya di mulai.
Siang tadi, setelah pulang dari sekolahnya, SD Muhammadiyah. Tarla langsung menuju terminal Joyo-
Boyo untuk menjual gorengan, rutinitas yang setiap hari dijalani Tarla.
Tarla, 12 Tahun. Seorang gadis kecil yang duduk dibangku kelas 5 SD. Menderita cacat dan lumpuh pada
kaki kirinya sejak umur 3 Tahun, poliomyelitis (polio). Penyakit yang "lahir" dari kerajaan Mesir beribu-
ribu tahun lalu. Tidak begitu sulit mengenal gadis imut tersebut, dengan rambut sebahu yang bagian
ujungnya memerah karena dibakar matahari, kulit bersih namun berwarna kecoklatan dengan tas ransel
besarnya yang didapat dari pemberian sekolah.
Setiba dirumah beratap tepas, Tarla langsung disambut oleh Mbah Lela. Tarla hanya tinggal berdua
bersama Mbah Lela sejak orang tua Tarla tau bahwa Tarla terserang penyakit pada tingkat Strain 1
(paling paralitogenik/ganas). Bagi Suman, ayah Tarla. Polio adalah penyakit kutukan dan tidak akan bisa
di sembuhkan. Satu-satunya jalan adalah membuang Tarla, karena kelak Tarla akan sangat menyusahkan
keluarga. Mendengar kabar tersebut, Mbah Lela yang dulunya membantu persalinan Tarla, langsung
mendatangi keluarga Suman dan meminta untuk merawat Tarla.
Tak dapat dielakkan, hinaan bahkan cacian sering mendarat ditelinganya. Baginya biarlah Tuhan saja
yang membalaskan, karena cacian tersebut tidak seberat kehidupannya.
Senyum lebar Mbah Lela dengan guratan kesedihan yang tertahan di wajah, hampir saja Mbah Lela
mengeluarkan air matanya lagi untuk cucu angkatnya tersebut, Mbah Lela selalu miris setiap melihat
gadis kecil itu berjuang begitu keras untuk sesuatu yang dinamakan kehidupan.
“Semoga hari ini Indah ya, Nduk?” hibur Mbah Lela kembali
Setelah mengucapkan salam, Tarla tersenyum dan menyalam tangan Mbah Lela. “Masak apa hari ini,
mbah??” celetuk Tarla
“Wah hari ini kita makan spesial kesukaanmu, nasi sayur-ubi.” Jawab Mbah Lela
“Tarla shalat dulu ya mbah, ntar baru kita makan bersama” sambil tersenyum semangat Tarla meletakkan
segala barang dan segera shalat.
“Nasib tidak pernah berbicara semaunya, tapi nasib tetap tergantung tuannya"
Siang yang terik, begitu menggigit untuk saling bermusuhan, debu kota melompat-lompat, cacian mobil
mewah tak bertanggung jawab dan tidak bersahabatnya suasana hari itu memaksa Tarla untuk
mengeluarkan tenaga ekstra.
“Sabar dan ikhlas adalah kunci kehidupan, nduk.” Terngiang suara mbah lela yang masih lekat dalam
ingatan Tarla.
Dengan memakai pakaian seragam sekolah yang hampir berwarna kuning kusam. Dan sepatu hitam yang
rapuh. Ditemani tas dan bakul gorengan.
Belum ada satu gorengan Mbah Lela yang laku, Tarla tetap tidak mau putus asa, dia mencoba kembali
masuk ke dalam terminal. Dengan jalan yang terlunta, Tarla menyeberangi jalan Gunungsari. Dengan
semangat yang kembali membara. Tanpa melihat kanan-kiri jalan, Tarla menyebrang, kejadian begitu
cepat. Sepeda motor menyerempet bakul gorengan Tarla, semua terjatuh, tongkat sebagai pengganti
kakinya patah.
Tak ada jeritan yang keluar dari mulut Tarla, gadis itu hanya terduduk lesu dan beberapa kali
mengucapakan Istighfar. Berlahan airmatanya tertumpah, namun dihapusnya cepat-cepat takut orang lain
akan tau.
“Maaf dik, maaf. Kamu tidak apa-apa?” Aisyah menghampiri Tarla dengan gelisah
“Tadi kakak mau cepat, ibu kakak sedang berada dirumah sakit.” Suara lembut aisyah mengalir di balik
rasa kaget Tarla.
”Sudah kak, tidak apa-apa, pergi saja dulu saya tidak apa-apa.”
Jawab tarla dengan senyum yang mengembang yang takjub melihat kecantikan Aisyah
“Jualan kamu, tidak apa-apa,? Atau kamu ikut kakak ke RS?” Sela Aisyah cepat dan gelisah
Tarla baru sadar bahwa tongkatnya telah patah, dan yang lebih sakitnya lagi semua gorengan Mbah Lela
lenyap, tidak layak jual. Ditatapnya barang dagangan, setetes air hampir keluar dari mata beningnya.
Kembali Tarla mengusapnya dengan cepat, Tarla sangat takut airmatanya terjatuh.
Tarla membawa patahan tongkatnya, dia berjalan diringi senja yang mengantarkan malam dan nyanyian
dari masjid-masjid yang mengumandangkan adzan, kepenatan yang mulai merambah. Entah kemana
tujuannya. Dengan perut yang belum terisi sama sekali dan pikiran yang begitu tak beraturan, merasakan
beban yang seharusnya tidak dialami oleh anak seumurnya. Dia berjalan dengan luntaian kaki kiri yang
lumpuh-tanpa tongkat.
Langit menumpahkan tangisan kepedihan dengan ganas, petir menyambar dasar selatan dan pucuk utara.
Hujan yang begitu lebat. Tarla berlindung dari derasnya air hujan di sebuah ruko yang telah lama di
tinggalkan penghuninya. Matanya was-was mencari di mana masjid terdekat yang bisa di hampirinya,
namun semuanya seperti percuma mengetahui bahwa dengan keadaannya sekarang, tidak mungkin bisa
melewati hujan yang turun tanpa kompromi.
Di putuskannya mencari air jernih yang bersih, tepat di samping ruko ada sebuah kran air, diambilnya
wudhu. Tak tega dia kalau sampai kehilangan waktu maghribnya begitu saja. Ruko tidak terkunci
dibukanya dan shalatlah Tarla dengan mukena lusuhnya, di cari tempat paling bersih untuk melaksanaan
shalat tanpa penerangan yang memadai.
“Tuhan, hamba tau, hamba lahir bukan dari keluarga yang beruntung. Namun janganlah hal tersebut
membuat hamba lemah.”
“Tuhan, hamba tau, hamba adalah seorang gadis kecil. Namun janganlah hal tersebut membuat hamba
putus asa. Karena hamba yakin, Engkau selalu memberikan cobaan sesuai kemampuan hamba-hamba
Mu.”
“Tuhan…” Ingatannya berputar di kejadian siang tadi, tangis mulai membasahi wajah sayunya dan
kembali di hapusnya dengan cepat.
“Tuhanku, hamba tau hamba adalah seorang yang cacat. Tapi janganlah cacat hamba mengurangi niat
hamba untuk menjadi bermanfaat, janganlah membuat hamba jadi hina di hadapan Mu. Dan janganlah
hati hamba yang Kau buat cacat.”
“Ya Tuhan, mungkin Engkau bosan mendengar doa hamba. Doa yang di ajarkan Mbah Lela.”
“satu lagi Tuhanku. Ambillah air mataku, tidak ingin aku memilikinya
“Namun hamba yakin suatu saat nanti hamba akan menjadi orang yang beruntung dan bisa
membahagiakan Mbah Lela.”
Namun kali ini air mata itu mengalir begitu deras, hanya isak yang mampu ditahannya,
Setelah hujan mulai berdamai, Tarla mencari sebatang patahan kayu untuk menggantikan tongkatnya,
paling tidak sedikit mengurangi beban tubuhnya.
Dia periksan kantong, berharap menemukan sedikit uang untuk membeli roti, justru perutnya menjadi
hambatan. Dia dapati uang Rp. 400 untuk membeli sepotong roti.
Dengan wajah yang mulai memucat karena dingin, lapar dan sedikit senyum keterpaksaan untuk
menghibur diri sendiri. Keluar dari warung, matanya terpanah melihat seorang nenek dengan baju basah
kuyuh duduk diemperan. Tarla mendekatinya, bathinnya bergemuruh teringat Mbah Lela.
“Ndak punya rumah nduk, nenek ya tinggal diemperan.” Gaya bahasa yang hampir sama dengan Mbah
Lela ditambah senyum ikhlas yang lebar.
“Nenek tidak kedinginan?” Tarla seperti lupa bahwa yang di alaminya sama dengan nenek tersebut.
“Apa nenek sudah makan?” Dengan intonasi kekanak-kanakan dan senyum yang lues.
Tanpa berbasa basi lagi, setelah memberikan roti Tarla langsung pergi meninggalkan nenek. Sebuah
senyum hangat menghiasi senyum Tarla malam itu.
“Nasib cuma membutuhkan usaha dan kesabaran untuk merubahnya. Rubahlah…"
Tarla adalah seorang istri dari raja ketiga romawi tepat 121 SM, Raja Oddeypus. Nama tersebut di
berikan Suman kepada anaknya, agar anaknya dapat memiliki kepintaran seorang dewi Fortuna dan
kecantikan seperti Tarla yang disebut banyak orang sebagai kekasih Tuhan. Tepat sekali yang diharapkan
Suman, terjadi pada anak tersebut. Tarla tidak pernah melepaskan juara 1 dari genggamannya. Dan pada
kelas 5 SD, Tarla sudah meguasai 2 bahasa. Inggris dan Jepang. Walaupun masih belum terlalu lancar
dalam berbicara karena Tarla jarang membiasakannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dari fisik seorang
anak SD tarla memiliki aura khas di wajahnya, aura ketegaran dengan campuran kelembutan seorang
wanita.
Malam semakin larut, jalan gontai dengan patahan kayu itu akhirnya sampai juga di gubuk reot. Rasa
rindu kepada Mbah Lela tak tertahankan. Ingin rasanya Tarla memeluk Mbah Lela dengan kuat dan
mencium kening Mbah Lela seperti biasa, tetapi ada juga rasa takut atas apa yang dialami Tarla dan
gorengannya hari itu, perasaan yang bergulat menjadi satu. Solusinya yaitu langsung meminta maaf
kepada Mbah Lela.
“Pasti kalau lagsung minta maaf sama si mbah, dimaafkan. Mbahkan, satu-satunya nenek Tarla tercinta”
celetuknya dalam hati
Di bukanya perlahan pintu yang mengeluarkan bunyi derik kayu tua yang sudah di makan umur. Sedikit
takut dengan mata menyelidik kekanan dan kekiri. Kepala mungil itu masuk menyelinap disela pintu.
“mbah dimana? Kok lampu mati? Apa mungkin mbah sudah tidur? Kenapa mbah tidak menunggu ku?”
Tidak di dapatnya sosok Mbah di dalam gubuk. Semakin gelisah saja hati Tarla seperti kertas yang
diremuk tangan.
Tak habis pikir, Tarla berlari terluntai ke warung di ujung gang, berharap mbah sedang berada di sana
menunggunya ataupun sedang membeli sesuatu.
Namun nihil yang didapat Tarla, bahkan rasa kaget yang begitu keras menghantam seroik jantungnya
setelah mendegar kata dari pak Rusdy si pemilik warung.
“Nenek dari tadi keluar, katanya mau mencari kamu. Mungkin nenek ke Terminal.”
Gundah, resah, sedih, rindu, haru. Perasaan yang bercampur aduk tetapi bagai ombak yang menghantam
bertubi-tubi.
Dengan lontah lari kecil yang sulit karena membebankan setengah tubuhnya ke kayu yang tidak didesain
untuk orang cacat, Tarla menyusuri jalan menuju terminal. Tubuh mungil itu habis bermandikan keringat,
setelah siang kini giliran malam yang tidak bersahabat. Hanya ingin segera bertemu Mbah Lela cetus
bathinnya.
Sesampai diterminal, tidak juga di temukan sosok yang di cari Tarla. Di cobanya mengelilingi terminal,
hasil yang mengecewakan tetap di dapat.
Dengan langkah yang putus asa dan takut yang menggunung, Tarla mendatangi pos keamanan di terminal
yang seang berjaga malam. Kali ini tak banyak harapan.
“Wah, saya tidak kenal mbah kamu e.” pria itu menjawab sekenanya
Sambil meninggalkan pos kemanan, kekecewaan kembali didapatnya. Bathinnya masih bergemuruh, kini
rasa penyesalanlah yang menang. Ini semua karena kamu, Tarla, senggah bathinnya. Kalau terjadi sesuatu
engkaulah yang bertanngungjawab, kini bathinnya berbisik marah.
Namun khayalan itu lenyap seketika ketika penjaga keamanan tadi memanggil Tarla, seberkas cahaya
seperti menghampirinya.
“Tadi sewaktu hujan saya melihat seorang nenek mencari cucunya. Tidak beberapa jauh setelah
meninggalkan pos, si nenek jatuh pingsan, katanya sih kena sakit jantung.”
Kembali airmata itu menetes, dengan sigap dihapusnya. Nafasnya seperti terhenti, nadinya tak berdetak.
Tidak ada suara dari mulut Tarla.
“Si nenek di bawa ke rumah sakit yang di dekat lampu merah, coba saja kesana”
Tanpa perintah yang jelas tubuh itu lagsung bergerak menuju rumah sakit. Tidak banyak yang di pikirkan
namun beratnya menjadi beban yang tidak tertahankan. Tidak ada airmata, tidak ada suara, yang ada
hanya bayangan Mbah Lela.
Setiba di RS, Tarla langsung menemui mbah di Instansi Gawat Darurat. Tarla tidak paham kenapa kamar
mbahnya begtiu berbeda dengan kamar RS seperti biasanya. Dicobanya berkomunikasi lewat tatapan
mata yang terhalang kaca bening tebal.
Setelah nenek sadar dan di pindahkan ke sebuah kamar sederhana yang di huni 2 pasien lainnya. Sedikit
kelegaan menyirami hatinya yang mulai mengering. Di temuinya Mbah Lela, di peluknya kuat-kuat.
“Mbah kemana saja?” Bisikknya dengan air mata yang mulai membasahi.
“Mbah sehat-sehat sajakan? Tidak ada apa-apakan mbah” keluhnya di bahu Mbah Lela.
Mbah Lela hanya abisa tersenyum sayu sembari membelai rambut Tarla. Wajah Mbah Lela pucat, hanya
senyum ketir yang terlintas disana. Dinding retinanya kelihatan sangat tak berdahaga.
“Nduk kan sudah mbah bilang, air mata hanya bisa membuat kita lemah, jangan tunjukkan kelemahan itu.
Kuatkan luar dalam mu, Nduk.” Lembut suara Mbah Lela, kini tanggan mbah lela mengusap air mata
Tarla.
Semesta mencoba beristrahat sejenak, menunggu kabar dari angin laut dan fajar tak lagi ceriwis.
Pagi datang begitu cepat, malam seperti mengkhianati perjanjian sinatar. Isak tangis Tarla pecah, dinding
tak berkomentar, udara diam, angin membeku, langkah tak berderu, nafas tersengal, darah tah beraturan.
Sungguh sesak paru-paru Tarla. Mbah Lela meninggal dengan senyuman paling indah selama ini.
Berlari Tarla keluar kamar, diredamkan wajahnya di tembok putih bersih itu. Tangisnya jatuh tak
tertahan, isaknya pun tak mau kalah. Tarla kalah, bathinnya membisik. Tak sanggup lagi rasanya
perempuan mungil itu melakukan apa-apa. Kali ini hanya bisa menangis seperti langit telah runtuh
menimpa dada Tarla.
Semua diceritakan Tarla kepada aisyah, dari lahir hingga dia bisa berada dirumah sakit hari itu. Aisyah
tak pelak menahan airmatanya, jatuh begitu saja tanpa bisa dibendung.
Aisyah merasa harus membantu anak tersebut dan Aisyah juga merasa masih memiliki hutang karena
kemarin dialah yang menyerempet Tarla hingga anak tersebut kalut. Aisyah berjanji setelah neneknya
dimakamkan Aisyah akan meminta bantuan teman-temannya untuk bisa menyembuhkan penyakit Tarla
dan mencoba mengganti hari-hari Tarla dengan hari yang lebih indah untuk dilewati anak seusianya.