Makalah Teknik Interpretasi Hadist Jihad. Fix
Makalah Teknik Interpretasi Hadist Jihad. Fix
MAKALAH
Oleh:
NIM : 105011104220
PROGRAM PASCASARJANA
2021
Kata Pengantar
Puji syukur dengan tulus dipanjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena berkat taufik dan
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya meneladani
Makalah yang telah ditulis ini selain dalam rangka memenuhi tugas dari dosen
sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penulisan, maupun
analisisnya. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna penyempurnaan makalah akan
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad ialah seorang rasul yang diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk
bangsa Arab saja. Hal ini tertera dalam dua ayat berikut.
“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat
manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan tetapi
Kedua ayat di atas menunjukkan adanya kelayakan ajaran hadis yang dibawa
Rasulullah dan relevansinya untuk umat manusia di seluruh dunia dari masa ke masa.
Sehubungan dengan itu, hadis tentang akidah dan syari’at harus dipahami secara tekstual.
Akan tetapi, pemahaman hadis tentang masalah sosial interpretasi terus berkembang dengan
masyarakat.
Kehadiran hadis Nabi di setiap zaman dan peradaban manusia dituntut betul-betul
perkembangan zaman di satu sisi dengan tuntutan untuk tetap berpegang prinsip-prinsip
agama di sisi yang lain. Bukan sebaliknya, hadis menjadi penghalang dari setiap kemajuan
dan kemunduran. Bahkan pada tataran praktis, hadis nabi sering kali menjadi legalitas formal
terhadap “penzaliman” dan “penindasan” suatu kalangan terhadap kalangan lain. Padahal
sebagai sumber ajaran islam yang bersifat ilahiyah mestinya membawa kemaslahatan dan
Dalam konteks itulah, dalam makalah ini kami membahas tentang metode-metode apa
saja yang digunakan dalam menafsirkan hadis yang mana bertujuan agar manusia tidak salah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3. Untuk mengetahui metode apa saja yang ada dalam interpretasi hadis.
4. Untuk mengetahui sifat apa saja yang ada dalam interpretasi hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
berarti pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran, Jadi
Dengan demikian, metode interpretasi hadis dapat diartikan sebagai cara menafsirkan
sesuatu. Secara umum ada beberapa faktor yang melatar belakangi pentingnya menggunakan
beberapa teknik interpretasi terhadap hadis Nabi, antara lain: pertama, sebagian dari hadis
Nabi memuat kata-kata yang sulit (garib). Misalnya, Nabi pernah bertanya kepada sahabat-
yang dimaksud bukanlah bangkrut dalam arti harfiah tersebut atau orang yang mengalami
muflis menurut Nabi SAW ialah orang yang ibadahnya baik namun perilakunya tidak terpuji.
Dalam hal ini Nabi SAW menjelaskan di dalam hadisnya secara terperinci.
Kedua, sebagian dari hadis Nabi memuat pernyataan yang musykil. Misalnya, hadis yang
menyatakan bahwa, “Allah SWT akan turun pada dua pertiga malam…” Hadis yang
bersangkutan jika dipahami secara tekstual, maka dapat memberi kesan bahwa Allah SWT
berada pada tempat yang tinggi di langit dan akan turun ke tempat yang lebih rendah di bumi
padahal Allah suci dari ruang dan waktu. Karena itu, hadis bersangkutan harus ditakwilkan,
antara lain Allah akan menurunkan rahmatnya kepada orang yang beribadah pada dua pertiga
malam.
sebuah hadis sangat erat kaitannya dengan kondisi masyarakat tertentu, tetapi dalam hadis
Hadis ini menjelaskan secara harfiah bahwa masyarakat yang mengangkat perempuan
sebagai pemimpin mereka tidak akan mengalami kesuksesan. Dengan memahami teks hadis
pidana dan menjadi kepala negara. Abu Hanifah membolehkan perempuan menjadi hakim
pengadilan pidana, namun tidak menjelaskan bagaimana perempuan menjadi kepala negara.
Ulama yang melihat hubungan hadis tersebut dengan kondisi masyarakat pada zaman itu
berpendapat bahwa hadis tersebut berlaku untuk masyarakat yang belum menghargai
kedudukan perempuan sejajar dengan laki-laki. Apabila suatu saat perempuan telah
menunjukkan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki, maka kaum perempuan yang
Hadis seperti di atas barulah dapat dilakukan apabila hadis yang bersangkutan dikaji
hubungannya dengan sabab wurudnya, baik sabab wurud itu tercantum dalam teks matan
Keempat, adakalanya petunjuk sebuah hadis bersifat umum dan berhubungan erat dengan
keadaan masyarakat tatkala hadis itu terjadi. Misalnya, hadis Nabi yang berbunyi “Para
pemimpin (harus) dari suku Quraisy.” Secara harfiah, ulama memahami bahwa yang dapat
diangkat sebagai kepala Negara hanyalah orang dari suku Quraisy. Dalam sejarah islam,
pandangan tersebut telah berlangsung berabad-abad. Pandangan itu kemudian berubah setelah
ulama menghubungkan sabda Nabi tersebut dengan latar belakang masyarakat Quraisy di
secara lafal tetapi juga secara makna. Periwayatan hadis secara makna dimungkinkan terjadi
tidak hanya pada masa sahabat Nabi tetapi juga terjadi pada masa sesudahnya. Dinyatakan
demikian karena sebagian periwayatan hadis tidak ketat dalam meriwayatkan hadis secara
Ada beberapa ketentuan umum dalam memahami hadis secara benar; sesuai dengan
perkembangan zaman; dan utuh, baik secara tekstual maupun kontekstual. Menurut Al-
Qardhawi, berikut ini langkah-langkah memahami hadis secara tepat dan benar.
a. Memahami hadis sesuai petunjuk Al-Qur’an. Artinya, hadis tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur’an.
dianalisis.
bertema sama dikompromikan dengan cara memerinci yang global, mengkhususkan yang
umum, atau membatasi yang mutlak. Jika tidak memungkinkan, diambil yang lebih
unggul (tarjih).
dan tujuan. Misalnya, sabda Nabi dari Ibnu Abbas berikut ini.
Muttafaq ‘Alaih)
Pada waktu itu, bepergian jauh biasanya menggunakan unta atau keledai dengan
mengarungi padang pasir dan daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Kondisi seperti
ini cukup berbahaya bagi seorang wanita yang bepergian tanpa didampingi oleh mahramnya.
Berbeda dengan kondisi sekarang dimana seorang wanita dapat bepergian jauh dengan
mengendarai pesawat, kereta api, atau bus yang dapat mengangkut banyak orang dan teman.
Pada masa sekarang ini tidak ada lahi kekhawatiran terhadap keselamatan seorang wanita.
Oleh karena itu, jika ia bepergian tanpa mahram tidak dapat dianggap melanggar hadis
tersebut. Sebagian ulama memperbolehkan seorang wanita pergi haji bersama sejumlah
wanita yang dipercaya atau dalam rombongan yang aman; bahkan Imam Syafi’I
e. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan yang tetap. Sarana dan prasarana
dapat berubah dan berkembang sesuai dengan lingkungan, zaman, dan adat istiadat.
Meskipun demikian, tujuan harus tetap dijaga. Misalnya, hadis tentang berbekam yang
pengobatanmu”. (HR. Muslim)
sarana pengobatan. Sarana tersebut dapat terus, berkembang seiring dengan perkembangan
zaman. Akan tetapi tujuan pengobatan tetapa harus dijaga, yaitu menjaga kesehatan dan
kehidupan.
f. Membedakan makna hakikat dan majas. Hadis tentang panjang tangan ternyata diartikan
ُ ص َّد
ق ْ ََكان
َ َت تَ ْع َم ُل بِيَ ِدهَا َوت
Dari Aisyah-Ummul Mukminin berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling
cepat bertemu aku di antara kalian adalah orang yang paling panjang tangannya.”Aisyah
melanjutkan,” Mereka berlomba siapa diantara mereka yang paling panjang tangannya.”ia
lalu menambahkan, ”Zainab paling panjang tangannya karena ia banyak bersedeka”. (HR.
Muslim)
g. Membedakan antara alam ghaib dan semesta. Banyak hadis tentang berita ghaib, seperti
mizan, shirat, hisab, dan azab kubur. Berita alam ghaib untuk diimani dan tidak
h. Memastikan makna dan konotasi lafal. Makna dan konotasi lafal harus dijaga dan jangan
yang dikutib AL-Qardhawi bahwa kata fiqh, ‘ibn, tauhid, tadzkir, dan hikmah. Kelima
kata ini mengandung makna yang terpuji dan penyandangnya adalah orang-orang yang
memegang jabatan agama. Akan tetapi, kelima kata tersebut diselewengkan sehingga
Hadis didatangkan sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi Rasulullah SAW.
Adakalanya karena ada pertanyaan dari seorang sahabat atau ada kasus yang terjadi di tengah
masyarakat. Perlu ditegaskan bahwa objek yang dapat diinterpretasikan terhadap hadis nabi
adalah matan hadis, meliputi kosa kata (termasuk partikel-partikel atau huruf), frasa, klausa,
dan kalimat.
Hadis dilihat dari segi kondisi audiensi, tempat, dan waktu terjadinya. Adakalanya
bersifat universal, temporal, kasuistik, dan lokal. Demikian juga bahasa yang digunakan
Nabi, bisa saja mengandung bahasa hakikat atau kiasan. Teknik interpretasi sebagai metode
atau cara kerja memahami makna dari ungkapan verbal yang dapat dipergunakan dalam
pengkajian hadis
1. Tekstual
Kata tekstual berasal dari kata teks yang berarti nash, kata-kata asli dari pengarang,
kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran (alasan), atau sesuatu yang tertulis untuk dasar
memberikan pelajaran dan berpidato. Selanjutnya dari kata tekstual muncul istilah kaum
tekstualis yang artinya sekelompok orang yang memahami teks hadis berdasarkan yang
tertulis pada teks, tidak mau menggunakan qiyas dan tidak mau menggunakan ra’yu. Dengan
kata lain, maksud pemahaman tekstual adalah pemahaman makna lahiriyah nash (zhahir al-
nashsh).
Dasar menggunakan teks metode ini adalah bahwa setiap ucapan dan perilaku Nabi
Muhammad SAW tidak terlepas dari konteks kewahyuan, segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW, merupakan wahyu. Karena itu, apa yang dinyatakan secara ekaplisit
sebagai hadis Nabi seharusnya dipahami seperti apa adanya kecuali jika dijumpai kesulitan,
maka harus ditakwilkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk metode interpretasi tekstual
Dengan demikian, teknik interpretasi tekstual melahirkan makna formal sekaligus makna
Salah satu aspek yang terkadang diabaikan dalam teknik interpretasi tekstual adalah
segi periwayatan lafal dan makna. Oleh karena itu, dalam teknik interpretasi tekstual
terkadang melahirkan fikih hadis yang kurang selaras dengan misi kerisalahan Nabi
Muhammad SAW sebagai pembawa kerahmatan bagi seluruh alam semesta. Yang dimaksud
periwayatan hadis secara makna adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis seperti
yang telah diwurudkan atau diucapkan oleh Rasulullah SAW. Periwayatan lafal dan makna
terjadi karena hadis Nabi ada yang berupa sabda dan non-sabda. Hadis Nabi yang non-sabda
atau fi’liyah merupakan rumusan sahabat sendiri terhadap perilaku nabi sebagaimana yang
disaksikan.
Dengan adanya periwayatan hadis secara lafal dan makna, maka hadis Nabi yang
berupa sabda pun adanya yang asli dari Nabi dan ada yang tidak. Bahkan, tidak menutup
kemungkinan ada bahasa yang digunakan di dalam hadis-hadis Nabi termuat di dalam kitab
hadis yang tidak dikenal pada masa Nabi. Ini berarti bahwa matan hadis
yang gharib, disamping disebabkan oleh makna kata itu berbeda yang dipahami umumnya
sahabat dan hakikat yang dimaksud oleh Nabi, seperti kata al-Muflis, adapula yang
interpretasi tekstual juga perlu mempertimbangkan segi bentuk matan hadis. Sebuah matan
bahasa percakapan dan mengandung kosa kata yang gharib atau pernyataan yang musykil.
َ ًَخ ْذ َعة
ُ الح ْز
.ب
Dari Jabir, Rasulullah bersabda:”Perang itu siasat.” (HR. Jama’ah, Kecuali Abu
Dawud). Kalangan ulama menyatakan bahwa kata ًخ َْذ َعة dapat dibaca dengan tiga bacaan,
yakni khad’ah dan inilah yang terbaik karena bacaan itu yang digunakan oleh
dalam perang atas orang-orang kafir. Hal ini di dukung oleh hadis lain yang menyebutkan
Menurut Syuhudi, pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi
teksnya. Bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu, tegas
Syuhudi. Berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu. Perang yang
dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama
aplikasi makna formal dapab bersifat universal. Namun dalam beberapa contoh hadis lainnya
jika menggunakan metode interpretasi tekstual dapat berbenturan dangan misi kerahmatan
Rasulullah.
2. Kontekstual
Kata kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti sesuatu yang ada di depan atau
dari kata kontekstual muncul istilah kaum kontekstualis yang artinya sekelompok orang yang
memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di sekitarnya karena ada indikasi
makna-makna lain selain makna tekstual. Dengan kata lain, pamahaman makna kontekstual
adalah pemahaman makna yang terkandung di dalam nash (bathin al-nashsh). Sementara itu,
b. Konteks eksternal, seperti kondisi audiensi dari segi kultur, sosial, serta asbab al-wurud.
Sebagaian ulama menyebut makna tekstual dan kontekstual dengan sebutan mafhum al-
nashsh dan ma’qul al-nashsh; dan sebagian lain lagi ada yang menyebutnya manthuq al-
nashsh dan mafhum al-nashsh.
tertentu bagi disiplin ilmu kontemporer, seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis,
Aplikasi teknik interpretasi kontekstual dapat dilakukan dengan cara memahami kandungan
hadis dengan memerhatikan segi konteksnya, yaitu dilihat dari segi ada atau tidaknya sasab
al-wurud, yakni dilihat dari segi Nabi Muhammad SAW sebagai subyek hadis, yakni sebagai
Rasulullah, kepala negara atau pemimpin masyarakat, hakim, suami, dan/atau pribadi. Dilihat
dari segi obyeknya, yaitu pihak yang dihadapi. Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan
sabdanya sangat memerhatikan latar belakang budaya, kapasitas iman, kapasitas intelektual
fi’liyah dan tahririyah Rasulullah.
D. Contoh Hadis
Berikut contoh hadis yang dipahami secara tekstual dan kontekstual, baik dalam konteks
ع َْن َج ْعفَ ِر صلَّي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم اَ ْل َحرْ بُ خَ ْذعَة َ َع َْن َجابِرْ ىَقُوْ ُل ق
َ ِال َرسُوْ ُل ل أهلل
Dari Jabir RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Perang itu penipuan” ( HR.
Muttafaq’ Alaih ).
Setiap peperangan selalu memerlukan strategi ( menipu lawan ). Ketentuan berlaku secara
universal serta tidak pandang waktu dan tempat. Kalimat yang digunakan singkat dan padat,
tetapi memiliki makna yang luas karena strategi akan selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.
bangsa Quraisy. Ketika menghukumi perkara mereka adil, ketika berjanji mereka
memenuhinya, dan ketika diperlukan kasih sayang mereka pun berkasih sayang“ ( HR. Al-
Pada masa sahabat disepakati bahwa diantara persyaratan seorang khalifah harus
berketurunan Quraisy. Akan tetapi, karena kemampuan bangsa Quraisy semakin lemah, Abu
Bakar Al- Baqilani menggugurkan persyaratan tersebut dan Ibnu khaldun memberikan
interpretasi makna Quraisy menjadi suku yang kuat, cerdik, pandan, religius sehingga mampu
3. Hadist Kasuistik
kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari perang Jamal setelah aku mengikuti
pasukan Jamal dan aku berperang bersama mereka. “ ia melanjutkan, “ setelah berita
sampai kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia mengangkat putrid Kisra sebagai
penguasa, beliau bersabda, “ tidak akan menang sebuah kaum yang menyerahkan urusannya
Hadist di atas menyangkut kasus khusus, yaitu penduduk Persia yang mengangkat putri
Kirsa sebagai penguasa. Jika redaksinya dilihat seraca utuh, hadist ini tidak bersifat umum.
Hadist ini bukan larangan seorang wanita untuk menjadi seorang pemimpin, melainkan usaha
apapun yang dilakukan oleh musuh-musuh islam senantiasa sia-sia. Meskipun demikian,
ulama berbeda dalam menanggapinya. Mayoritas ulama melarang wanita menjadi hakim
dan memutuskan suatu perkara. Ibnu Al-Thaba’ menerima kesaksian wanita dan sebagian
asar dengan satu adzan dan dua iqamah di Arafah serta tidak membaca tasbih diantara
keduanya. Beliau juga melaksanakan sholat magrib di jamak dengan sholat isya’ dengan
satu adzan dan dua iqamah serta tidak bertasbih diantara keduanya. ( HR. Abu Dawud ).
Al-Bukhari juga meriwayatkan hadist dari Abdullah bin Umar bahwa jamak sholat
tersebut di Arafah adalah sunnah Rasulullah. Jumhur mempersyaratkan jamak sholat bagi
musafir yang memnuhi syarat. Sementara itu, Malik Al-Auza’I dan Al-Syafi’iyah
berpendapat bahwa sholat jamak di Arafah adalah karena ibadah haji, bukan karena musafir.
Hadist tersebut dilaksanakan secara konteks lokal, yaitu hanya berlaku di Arafah saja dan
bagi yang melaksanakan ibadah haji saja. Bagi musafir selain di Arafah dan bagi yang tidak
beribadah haji sekalipun di Arafah tidak diperkenankan melaksanakan shalat jamak, kecuali
ال َم ْن َكانَ يًْؤ ِم ُن بِاهللاِ َواليَوْ ِم اَأل ِخ ِر فَالَ يُْؤ ِذي َ َصلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق َ ع َْن َأبِي هُ َري َْرة َع ِن النَّبِ ِّي
ضلَ ِع اَعْاَل هُ فَا ِ ْن
ِ ضلَع َواِ َّن اَ ْع َو َج َش ْي ٍء فِ ْي ال ِ ارهُ َوا ْستَوْ صُوا بِالنِّ َسا ِء خَ ْيرًا فَاِنَّه َُّن ُخلِ ْقنَ ِم ْن َ َج
لَ ْم يَزَ لْ اَ ْع َو َج فَا ْستَوْ صُوْ ا بِاالنِّ َسا ِء َخ ْيرًا َُذهَبْتَ تُقِ ْي ُمهُ َك َسرْ تُهُ َواِ ْن ت ََر ْكتَه
“Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW beliau bersabda“ barangsiapa yang beriman
kepada Allag SWT dan hari akhir, tidak menyakiti tetangga. Berpesanlah dengan cara yang
baik kepada kaum wanita. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk ( Adam ) dan
sesungguhnya sesuatu yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang atas. Jika engkau
biarkan, ia akan selalu bengkok. Oleh sebab itu berwasiatlah kepada mereka dengan
oleh ulama kontemporer, bahkan ada yang menolak kebenarannya. Mereka yang memahami
makna metafora beralasan bahwa hadist tersebut memperingatkan kaum laki-laki agar
menghadapi kaum perempuan secara bijaksana karena ada karakter bawaan yang cenderung
bengkok seperti tulang rusuk. Mereka tidak mampu mengubah atau meluruskannya. Kalau
mereka tetap berusaha keras meluruskannya, tulang rusuk tersebut dapat patah.
M. Quraish Shihab mengutip pendapat ulama kontemporer seperti Al-Thaba’i bahwa QS.
An-Nisa’ ayat 1 menegaskan bahwa Istri Adam diciptakan dari jenis yang sama dan tidak
menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pemahaman hadist tersebut
memang membuka perbedaan antara ulama terdahulu dan ulama kontemporer karena
petunjuknya tidak pasti (zhanni) dan memang tidak ada dalil yang pasti (qhat’i), baik dari
Al-Qur’an maupun hadist, yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Dengan demikian hadist adakalanya dipahami dengan makna tekstual (harfiah) dan
PENUTUP
A. Kesimpulan
berarti pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran, Jadi
dianalisis.
dan tujuan.
a. Tekstual
b. Kontekstual
a. Universal
b. Temporal
c. Kasuistik
d. Lokal
e. Kiasan atau metafora.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Abdul Majid Khon, Takhrij & Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), 138.
[2] Arifuddin, Teknik Interpretasi Dalam Kajian Fikih Hadis, (Makassar: Al-Fikr, 2012), 2.
[3]Ibid., 3.
[4] Abdul Majid, Takhrij & Metode, 147.
[5] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaiman Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: Karisma, 1997), 136.
[6]Ibid., 196.
[7] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontesktual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 9
[8] W.J.S. Poerwadarminata, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 1035.
[9] Abdul Majid, Takhrij & Metode, 138.
[10] Arifuddin, Teknik Interpretasi, 5.
[11] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta:Bulan Bintang, 1994). 11.
[12]Arifuddin, Teknik Interpretasi, 7
[13]Abdul Majid, Takhrij & Metode, 521.
[14] Ibid.,147.