Anda di halaman 1dari 19

TEKNIK INTERPRETASI HADIST

MAKALAH

Dikumpulkan sebagai tugas Mata Ulumul Hadis


Program Studi Magister Pendidikan Islam
Program Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Makassar
Tahun Akademik 2021

Oleh:

ABDUL GADRI JIHAD

NIM : 105011104220

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2021
Kata Pengantar

Puji syukur dengan tulus dipanjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena berkat taufik dan

hidayat-Nya, makalah yang berjudul Metode Interpretasi Hadis ini dapat selesai.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi Muhammad

SAW beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan diiringi upaya meneladani

akhlaknya yang mulia.

Makalah yang telah ditulis ini selain dalam rangka memenuhi tugas dari dosen

pengampu, namun juga untuk menambah pengetahuan bagi pembaca. Dan  disadari

sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penulisan, maupun

analisisnya. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna penyempurnaan makalah akan

penulis sambut dengan senang hati.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nabi Muhammad ialah seorang rasul yang diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk

bangsa Arab saja. Hal ini tertera dalam dua ayat berikut.

ِ َّ‫ َو َما اَرْ َسلنَكَ اَِآل كاَفّةَ الِن‬.


ِ َّ‫اس بَش ْيرًا َونَ ِذ ْيرًا َولَ ِك َّن اَ ْك َس َر الن‬
  َ‫اس الَيَ ْعلَ ُموْ ن‬

“Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat

manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba’(34): 28)

‫قُلْ يَايُّهَا النَّاسُ اِنِّى َرسُوْ ُ^ل هللاِ اِلَ ْي ُك ْم َج ِم ْي َعا‬.

“Katakanlah (Muhammad),”wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi

kamu semua” (QS. Al-A’raf (8); 158).

Kedua ayat di atas menunjukkan adanya kelayakan ajaran hadis yang dibawa

Rasulullah dan relevansinya untuk umat manusia di seluruh dunia dari masa ke masa.

Sehubungan dengan itu, hadis tentang akidah dan syari’at harus dipahami secara tekstual.

Akan tetapi, pemahaman hadis tentang masalah sosial interpretasi terus berkembang dengan

mempertimbangkan relevansinya dengan ilmu pengetahuan, peradaban, dan kehidupan

masyarakat.

Kehadiran hadis Nabi di setiap zaman dan peradaban manusia dituntut betul-betul

mampu menjawab setiap permasalahan umat sebagai konsekuensi dialektis antara

perkembangan zaman di satu sisi dengan tuntutan untuk tetap berpegang prinsip-prinsip

agama di sisi yang lain. Bukan sebaliknya, hadis menjadi penghalang dari setiap kemajuan

peradaban manusia, dengan menghakiminya sebagai bid”ah dhalalah, sumber perpecahan

dan kemunduran. Bahkan pada tataran praktis, hadis nabi sering kali menjadi legalitas formal
terhadap “penzaliman” dan “penindasan” suatu kalangan terhadap kalangan lain. Padahal

sebagai sumber ajaran islam yang bersifat ilahiyah mestinya membawa kemaslahatan dan

kerahmatan kepada semua umat dan bahkan kepada seluruh alam.

Dalam konteks itulah, dalam makalah ini kami membahas tentang metode-metode apa

saja yang digunakan dalam menafsirkan hadis yang mana bertujuan agar manusia tidak salah

dalam memahami isi dari hadis tersebut.

B. Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan interpretasi hadis?

2.      Apa saja langkah-langkah dalam interpretasi hadis?

3.      Apa saja metode dalam interpretasi hadis?

4.      Apa saja sifat-sifat yang ada dalam metode interpretasi hadis?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian dari interpretasi hadis.

2.      Untuk mengetahui apa saja langkah interpretasi hadis.

3.      Untuk mengetahui metode apa saja yang ada dalam interpretasi hadis.

4.      Untuk mengetahui sifat apa saja yang ada dalam interpretasi hadis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Interpretasi Hadis

Interpretasi dalam bahasa Inggris disebut interpretation terbentuk dari kata interpret yang

berarti pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran, Jadi

menginterpretasikan hadis berarti menafsirkan hadis.

Dengan demikian, metode interpretasi hadis dapat diartikan sebagai cara menafsirkan

sesuatu. Secara umum ada beberapa faktor yang melatar belakangi pentingnya menggunakan

beberapa teknik interpretasi terhadap hadis Nabi, antara lain: pertama, sebagian dari hadis

Nabi memuat kata-kata yang sulit (garib). Misalnya, Nabi pernah bertanya kepada sahabat-

sahabatnya tentang al-muflis atau mu’sir. Kata itu secara harfiah berarti “bangkrut”, tetapi

yang dimaksud bukanlah bangkrut dalam arti harfiah tersebut atau orang yang mengalami

kejatuhan di bidang ekonomi sehingga tidak memiliki uang. Yang dimaksud al-

muflis menurut Nabi SAW ialah orang yang ibadahnya baik namun perilakunya tidak terpuji.

Dalam hal ini Nabi SAW menjelaskan di dalam hadisnya secara terperinci.

Kedua, sebagian dari hadis Nabi memuat pernyataan yang musykil. Misalnya, hadis yang

menyatakan bahwa, “Allah SWT akan turun pada dua pertiga malam…” Hadis yang

bersangkutan jika dipahami secara tekstual, maka dapat memberi kesan bahwa Allah SWT

berada pada tempat yang tinggi di langit dan akan turun ke tempat yang lebih rendah di bumi

padahal Allah suci dari ruang dan waktu. Karena itu, hadis bersangkutan harus ditakwilkan,

antara lain Allah akan menurunkan rahmatnya kepada orang yang beribadah pada dua pertiga

malam.

Ketiga, adakalanya sabda Nabi berhubungan dengan kondisi masyarakat tertentu. Terkadang

sebuah hadis sangat erat kaitannya dengan kondisi masyarakat tertentu, tetapi dalam hadis

yang bersangkutan tidak dikemukakan hubungan dengan kondisi masyarakat tersebut.


Misalnya hadis Nabi tentang “seorang perempuan tidak akan berhasil dalam kepemimpinan”.

Hadis ini menjelaskan secara harfiah bahwa masyarakat yang mengangkat perempuan

sebagai pemimpin mereka tidak akan mengalami kesuksesan. Dengan memahami teks hadis

tersebut, maka ulama Syafi’iyah mengharamkan perempuan menjadi hakim pengadilan

pidana dan menjadi kepala negara. Abu Hanifah membolehkan perempuan menjadi hakim

pengadilan pidana, namun tidak menjelaskan bagaimana perempuan menjadi kepala negara.

Ulama yang melihat hubungan hadis tersebut dengan kondisi masyarakat pada zaman itu

berpendapat bahwa hadis tersebut berlaku untuk masyarakat yang belum menghargai

kedudukan perempuan sejajar dengan laki-laki. Apabila suatu saat perempuan telah

menunjukkan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki, maka kaum perempuan yang

memenuhi syarat dapat saja diangkat sebagai pemimpin masyarakatnya.

Hadis seperti di atas barulah dapat dilakukan apabila hadis yang bersangkutan dikaji

hubungannya dengan sabab wurudnya, baik sabab wurud itu tercantum dalam teks matan

yang bersangkutan maupun yang tidak tercantum dalam teks.

Keempat, adakalanya petunjuk sebuah hadis bersifat umum dan berhubungan erat dengan

keadaan masyarakat tatkala hadis itu terjadi. Misalnya, hadis Nabi yang berbunyi “Para

pemimpin (harus) dari suku Quraisy.” Secara harfiah, ulama memahami bahwa yang dapat

diangkat sebagai kepala Negara hanyalah orang dari suku Quraisy. Dalam sejarah islam,

pandangan tersebut telah berlangsung berabad-abad. Pandangan itu kemudian berubah setelah

ulama menghubungkan sabda Nabi tersebut dengan latar belakang masyarakat Quraisy di

tengah-tengah masyarakat Arab.

Kelima, bahasa memiliki sejarah perkembangannya. Hadis Nabi tidak hanya diriwayatkan

secara lafal tetapi juga secara makna. Periwayatan hadis secara makna dimungkinkan terjadi

tidak hanya pada masa sahabat Nabi tetapi juga terjadi pada masa sesudahnya. Dinyatakan
demikian karena sebagian periwayatan hadis tidak ketat dalam meriwayatkan hadis secara

makna yang berkaitan dengan masalah-masalah muamalah.

B.     Langkah-Langkah Memahami Hadis

Ada beberapa ketentuan umum dalam memahami hadis secara benar; sesuai dengan

perkembangan zaman; dan utuh, baik secara tekstual maupun kontekstual. Menurut Al-

Qardhawi, berikut ini langkah-langkah memahami hadis secara tepat dan benar.

a.       Memahami hadis sesuai petunjuk Al-Qur’an. Artinya, hadis tidak boleh bertentangan

dengan Al-Qur’an.

b.      Menghimpun hadis-hadis yang bertema sama dengan takhrij lalu kandungannya

dianalisis.

c.       Penggabungan dan pen-tarjih-an hadis-hadis yang kontradiktif. Hadis-hadis yang

bertema sama dikompromikan dengan cara memerinci yang global, mengkhususkan yang

umum, atau membatasi yang mutlak. Jika tidak memungkinkan, diambil yang lebih

unggul (tarjih).

d.      Memahami hadis dengan mempertimbangkan konteks latar belakang, situasi, kondisi,

dan tujuan. Misalnya, sabda Nabi dari Ibnu Abbas berikut ini.

‫الَ تُ َسافِ ِ^ر ال َمرْ اةُ االَّ َم َع ِذيْ َمح َر ٍم‬


Seorang perempuan tidak boleh bepergian jauh, kecuali disertai seorang mahramnya. (HR.

Muttafaq ‘Alaih)

Pada waktu itu, bepergian jauh biasanya menggunakan unta atau keledai dengan

mengarungi padang pasir dan daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Kondisi seperti

ini cukup berbahaya bagi seorang wanita yang bepergian tanpa didampingi oleh mahramnya.

Berbeda dengan kondisi sekarang dimana seorang wanita dapat bepergian jauh dengan

mengendarai pesawat, kereta api, atau bus yang dapat mengangkut banyak orang dan teman.

Pada masa sekarang ini tidak ada lahi kekhawatiran terhadap keselamatan seorang wanita.

Oleh karena itu, jika ia bepergian tanpa mahram tidak dapat dianggap melanggar hadis
tersebut. Sebagian ulama memperbolehkan seorang wanita pergi haji bersama sejumlah

wanita yang dipercaya atau dalam rombongan yang aman; bahkan Imam Syafi’I

memperbolehkannya pergi sendirian jika dalam keadaan aman.

e.         Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan yang tetap. Sarana dan prasarana

dapat berubah dan berkembang sesuai dengan lingkungan, zaman, dan adat istiadat.

Meskipun demikian, tujuan harus tetap dijaga. Misalnya, hadis tentang berbekam yang

kemudian dikembangkan menjadi ilmu kedokteran modern. Berikut ini hadis

Rasulullah dari Anas bin Malik.

‫الخجا َمةُ اَ ْو هُ َو ِم ْن اَمثَ ِل َد َواِئ ُك ْم‬ َ ‫اِ َّن اَ ْف‬.


ِ ‫ض َل َما تَ َدا َو ْيتُ ْم بِ ِه‬
“Sebaik-baik pengobatan yang kalian lakukan adalah berbekam atau ia adalah sebaik-baik

pengobatanmu”.  (HR. Muslim)

Nabi menganjurkan berbekam dan menggunakan habbah al-sauda’ (jintan hitam) sebagai

sarana pengobatan. Sarana tersebut dapat terus, berkembang seiring dengan perkembangan

zaman. Akan tetapi tujuan pengobatan tetapa harus dijaga, yaitu menjaga kesehatan dan

kehidupan.

f.       Membedakan makna hakikat dan majas. Hadis tentang panjang tangan ternyata diartikan

dermawan dan banyak kebaikan sebagaimana hadis berikut.

‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَس َْر ُع ُك َّن لَ َحاقً^^ا بِ ْي‬


َ ِ‫ال َرس ُْواُل هلل‬ ْ َ‫َع ْن َعاِئ َشةَ اُ ِّم ال ُمْؤ ِمنِي َْن قَال‬
َ َ‫ت ق‬
ْ َ‫ت ا‬
‫ط َولَنَا يَ^دًا َز ْينَبُ اِل َنّهَ^^ا‬ ْ َ‫ت فَ َكان‬ ْ َ‫ت فَ ُك َّن يَتَطَا َو ْل َن اَيَّتُه َُّن ا‬
ْ َ‫ط َو ُل يَدًا قَال‬ ْ َ‫ا‬
ْ َ‫ط َولُ ُك َّن يَدًا قَال‬

ُ ‫ص َّد‬
‫ق‬ ْ َ‫َكان‬
َ َ‫ت تَ ْع َم ُل بِيَ ِدهَا َوت‬
Dari Aisyah-Ummul Mukminin berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling

cepat bertemu aku di antara kalian adalah orang yang paling panjang tangannya.”Aisyah

melanjutkan,” Mereka berlomba siapa diantara mereka yang paling panjang tangannya.”ia
lalu menambahkan, ”Zainab paling panjang tangannya karena ia banyak bersedeka”. (HR.

Muslim)

g.      Membedakan antara alam ghaib dan semesta. Banyak hadis tentang berita ghaib, seperti

mizan, shirat, hisab, dan azab kubur. Berita alam  ghaib untuk diimani dan tidak

dirasionalkan, sadangkan alam lahiriah boleh dirasionalkan.

h.      Memastikan makna dan konotasi lafal. Makna dan konotasi lafal harus dijaga dan jangan

sampai terjadi penyimpangan. Misalnya, pendapat Abu Hamid Al-Ghazali sebagaimana

yang dikutib AL-Qardhawi bahwa kata fiqh, ‘ibn, tauhid, tadzkir, dan hikmah. Kelima

kata ini mengandung makna yang terpuji dan penyandangnya adalah orang-orang yang

memegang jabatan agama. Akan tetapi, kelima kata tersebut diselewengkan sehingga

menjadi tercela dan dijauhi oleh orang banyak. Misalnya, fiqh diartikan paham hukum

agama saja, tidak paham akidah dan akhlak. ‘Ilm dipelesetkan menjadi

‘ilmani atau  ‘almani yang artinya sekuler. Tauhid diartikan esa sehingga agama yang

memiliki banyak tuhan, tetapi berintegrasi tetap disebut esa. Tadzkir atau dzikr diartikan

ingat (eling) sehingga shalat cukup dengan mengingat.

B. Macam-Macam Metode Interpretasi Hadis

Hadis didatangkan sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi Rasulullah SAW.

Adakalanya karena ada pertanyaan dari seorang sahabat atau ada kasus yang terjadi di tengah

masyarakat. Perlu ditegaskan bahwa objek yang dapat diinterpretasikan terhadap hadis nabi

adalah matan hadis, meliputi kosa kata (termasuk partikel-partikel atau huruf), frasa, klausa,

dan kalimat.

Hadis dilihat dari segi kondisi audiensi, tempat, dan waktu terjadinya. Adakalanya

bersifat universal, temporal, kasuistik, dan lokal. Demikian juga bahasa yang digunakan

Nabi, bisa saja mengandung bahasa hakikat atau kiasan. Teknik interpretasi sebagai metode
atau cara kerja memahami makna dari ungkapan verbal yang dapat dipergunakan dalam

pengkajian hadis

1.      Tekstual

Kata tekstual berasal dari kata teks yang berarti nash, kata-kata asli dari pengarang,

kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran (alasan), atau sesuatu yang tertulis untuk dasar

memberikan pelajaran dan berpidato. Selanjutnya dari kata tekstual muncul istilah kaum

tekstualis yang artinya sekelompok orang yang memahami teks hadis berdasarkan yang

tertulis pada teks, tidak mau menggunakan qiyas dan tidak mau menggunakan ra’yu. Dengan

kata lain, maksud pemahaman tekstual adalah pemahaman makna lahiriyah nash (zhahir al-

nashsh).

Dasar menggunakan teks metode ini adalah bahwa setiap ucapan dan perilaku Nabi

Muhammad SAW tidak terlepas dari konteks kewahyuan, segala sesuatu yang disandarkan

kepada Rasulullah SAW, merupakan wahyu. Karena itu, apa yang dinyatakan secara ekaplisit

sebagai hadis Nabi seharusnya dipahami seperti apa adanya kecuali jika dijumpai kesulitan,

maka harus ditakwilkan. Pendekatan yang dapat digunakan untuk metode interpretasi tekstual

adalah pendekatan linguistik, teologi normative, dan teleologis  (kaidah-kaidah fikih).

Dengan demikian, teknik interpretasi tekstual melahirkan makna formal sekaligus makna

subtansial, sedangkan aplikasinya bersifat universal.

Salah satu aspek yang terkadang diabaikan dalam teknik interpretasi tekstual adalah

segi periwayatan lafal dan makna. Oleh karena itu, dalam teknik interpretasi tekstual

terkadang melahirkan fikih hadis yang kurang selaras dengan misi kerisalahan Nabi

Muhammad SAW sebagai pembawa kerahmatan bagi seluruh alam semesta. Yang dimaksud

periwayatan hadis secara makna adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis seperti

yang telah diwurudkan atau diucapkan oleh Rasulullah SAW. Periwayatan lafal dan makna

terjadi karena hadis Nabi ada yang berupa sabda dan non-sabda. Hadis Nabi yang non-sabda
atau fi’liyah merupakan rumusan sahabat sendiri terhadap perilaku nabi sebagaimana yang

disaksikan.

Dengan adanya periwayatan hadis secara lafal dan makna, maka hadis Nabi yang

berupa sabda pun adanya yang asli dari Nabi dan ada yang tidak. Bahkan, tidak menutup

kemungkinan ada bahasa yang digunakan di dalam hadis-hadis Nabi termuat di dalam kitab

hadis yang tidak dikenal pada masa Nabi. Ini berarti bahwa matan hadis

yang gharib, disamping disebabkan oleh makna kata itu berbeda yang dipahami umumnya

sahabat dan hakikat yang dimaksud oleh Nabi, seperti kata al-Muflis, adapula yang

disebabkan oleh periwayatan secara makna.

Disamping mempertimbangkan segi periwayatan lafal atau makna, penerapan metode

interpretasi tekstual juga perlu mempertimbangkan segi bentuk matan hadis. Sebuah matan

hadis dapat berbentuk jami’ al-kalim, menggunakan menggunakan bahasa perumpamaan atau

bahasa percakapan dan mengandung kosa kata yang gharib atau pernyataan yang musykil.

Contoh pemahaman hadis menggunakan metode interpretasi hadis secara tektual:

ِ ‫ َر‬ ُ‫هللا‬ ‫ َع ْن ُه َما‬ ‫قَا َل‬ ‫قَا َل‬ ‫النَّبِ ُي‬ ‫َعلَي ِهاللهصلى‬


ْ‫عَن‬ ‫ َجابِ ْر‬  ُ‫ ْبن‬ ‫ َع ْب ِدهللا‬ ‫ض َي‬

َ  ً‫َخ ْذ َعة‬
ُ ‫الح ْز‬
.‫ب‬
Dari Jabir, Rasulullah bersabda:”Perang itu siasat.” (HR. Jama’ah, Kecuali Abu

Dawud).  Kalangan ulama menyatakan bahwa kata       ً‫خ َْذ َعة‬ dapat dibaca dengan tiga bacaan,

yakni khad’ah dan inilah yang terbaik karena bacaan itu yang digunakan oleh

Nabi, khud’ah dan khuda’ah. Ulama sepakat membolehkan menerapkan siasat atau strategi

dalam perang atas orang-orang kafir. Hal ini di dukung oleh hadis lain yang menyebutkan

bahwa boleh berbohong dalam perang.

Menurut Syuhudi, pemahaman terhadap petunjuk hadis tersebut sejalan dengan bunyi

teksnya. Bahwa setiap perang pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu, tegas
Syuhudi. Berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu. Perang yang

dilakukan dengan cara dan alat apa saja pastilah memerlukan siasat. Perang tanpa siasat sama

dengan menyatakan takluk kepada lawan tanpa syarat.

Pemahaman dengan menggunkan metode interpretasi hadis di atas menunjukkan bahwa

aplikasi makna formal dapab bersifat universal. Namun dalam beberapa contoh hadis lainnya

jika menggunakan metode interpretasi tekstual dapat berbenturan dangan misi kerahmatan

Rasulullah.

2.      Kontekstual

Kata kontekstual berasal dari kata konteks yang berarti sesuatu yang ada di depan atau

di belakang (kata, kalimat atau ungkapan) yang membantu menentukan makna. Selanjutnya,

dari kata kontekstual muncul istilah kaum kontekstualis yang artinya sekelompok orang yang

memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di sekitarnya karena ada indikasi

makna-makna lain selain makna tekstual. Dengan kata lain, pamahaman makna kontekstual

adalah pemahaman makna yang terkandung di dalam nash (bathin al-nashsh). Sementara itu,

kontekstual dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a.       Konteks internal, seperti mengandung bahasa kiasan, metafora, serta simbol.

b.      Konteks eksternal, seperti kondisi audiensi dari segi kultur, sosial, serta asbab al-wurud.

Sebagaian ulama menyebut makna tekstual dan kontekstual dengan sebutan mafhum al-

nashsh dan ma’qul al-nashsh; dan sebagian lain lagi ada yang menyebutnya manthuq al-

nashsh dan mafhum al-nashsh.

Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi kontekstual adalah

pendekatan holistik dan multidisipliner atau beberapa pendekatan, dan/atau pendekatan

tertentu bagi disiplin ilmu kontemporer, seperti pendekatan historis, sosiologis, antropologis,

hermeneutika, semiotic dan semacamnya. Dengan demikian, teknik interpretasi kontekstual


juga dimaksudkan untuk menguatkan makna formal dan untuk menegaskan makna

subtansial.aplikasi teknik kontekstual dapat bersifat universal, lokal, dan/ataupun temporal.

Aplikasi teknik interpretasi kontekstual dapat dilakukan dengan cara memahami kandungan

hadis dengan memerhatikan segi konteksnya, yaitu dilihat dari segi ada atau tidaknya sasab

al-wurud, yakni dilihat dari segi Nabi Muhammad SAW sebagai subyek hadis, yakni sebagai

Rasulullah, kepala negara atau pemimpin masyarakat, hakim, suami, dan/atau pribadi. Dilihat

dari segi obyeknya, yaitu pihak yang dihadapi. Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan

sabdanya sangat memerhatikan latar belakang budaya, kapasitas iman, kapasitas intelektual

dan kondisi kejiwaan audiencenya, dilihat dari bentuk peristiwa, qauliyah,

fi’liyah dan tahririyah Rasulullah.

D.    Contoh Hadis

Berikut contoh hadis yang dipahami secara tekstual dan kontekstual, baik dalam konteks

internal maupun konteks eksternal.

1.      Hadis Bersifat Universal

‫ع َْن َج ْعفَ ِر‬  ‫صلَّي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم اَ ْل َحرْ بُ خَ ْذعَة‬ َ َ‫ع َْن َجابِرْ ىَقُوْ ُل ق‬
َ ِ‫ال َرسُوْ ُل ل أهلل‬
Dari Jabir RA, berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Perang itu penipuan” ( HR.

Muttafaq’ Alaih ).

Setiap peperangan selalu memerlukan strategi ( menipu lawan ). Ketentuan berlaku secara

universal serta tidak pandang waktu dan tempat. Kalimat yang digunakan singkat dan padat,

tetapi memiliki makna yang luas karena strategi akan selalu berkembang sesuai dengan

perkembangan zaman.

2.      Hadist Bersifat Temporal

‫ش اِ َذا َم^^^ا‬ َ ُ‫ص^^^لّى هللا َعلَي^^^ ِه َو َس^^^لَ َم قَ^^^ا َل اَألِئ َم^^^ ةُ ِم ْن ق‬


ٍ ‫^^^ر ْي‬ َ ‫َس ب ِْن َمالِ^^^ك اَ َّن َر ُس^^^وْ اَل هلل‬
ِ ‫ع َْن اَن‬
‫فَ َع َدلُوا َواِ َذا عَاهَ ُدوا َوفَوا َواِ َذا ا ْستُرْ ِح ُموْ ا َر ِح ُموا‬  ‫َح َك ُموْ ا‬
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Pimpinan itu harus berasal dari

bangsa Quraisy. Ketika menghukumi perkara mereka adil, ketika berjanji mereka
memenuhinya, dan ketika diperlukan kasih sayang mereka pun berkasih sayang“ ( HR. Al-

Nasa’I, Al-Hakim dan lain-lain ).

Pada masa sahabat disepakati bahwa diantara persyaratan seorang khalifah harus

berketurunan Quraisy. Akan tetapi, karena kemampuan bangsa Quraisy semakin lemah, Abu

Bakar Al- Baqilani menggugurkan persyaratan tersebut dan Ibnu khaldun memberikan

interpretasi makna Quraisy menjadi suku yang kuat, cerdik, pandan, religius sehingga mampu

menguasai suku-suku lain, mempersatukan umat, dan menjaga stabilitas pemerintahan.

3.        Hadist Kasuistik

‫ني هّللا ُ بِ َكلِ َم ٍة‬ ِ َ‫ف ع َِن ْال َح َس ِن ع َْن ءا‬


ٍ ‫بي بَ ْك َرةَ قا َ َل لَقَ ْد نَفَ َع‬ ٌ ْ‫َح َّدثَنا َ ُعثُما َ ُن ب ُْن اَ ْلهَ ْيثَ ِم َح َّدثَنا َ َحو‬
‫ب ْال َج َم ِل‬ ِ ‫ق بِاَصْ َحا‬ َ ‫ت اَ ْن اَ ْل َح‬ ُ ‫صلَّي َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَيا َّ َم ْال َج َم ِل بَ ْع َد َما ِك ْد‬ َ ِ ‫َس ِم ْعتُها َ ِم ْن َرسُوْ ِل هّللا‬
َ‫س قَ ْد َملَّ ُكوْ ا َعلَ ْي ِه بِ ْنت‬ َ ‫ار‬ِ َ‫صلَّي هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَ َّن اَ ْه َل ف‬ َ ِ ‫لَ َّم بَلَ َغ َرسُوْ اَل هّلل‬  ‫فَاُقَاتِ َل َم َعهَ ْم قَا َل‬
‫ال لَ ْن يُ ْفلِ َح قَوْ ٌم َولَّوْ ا َأ ْم َرهُ ْم‬َ َ‫سرى ق‬ َ ‫ِك‬
ً‫ا ْم َرَأة‬                                                                        
“Dari Abu Bakrah, ia berkata “ sesungguhnya Allah memberi manfaat kepadaku dengan

kalimat yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada hari perang Jamal setelah aku mengikuti

pasukan Jamal dan aku berperang bersama mereka. “ ia melanjutkan, “ setelah berita

sampai kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia mengangkat putrid Kisra sebagai

penguasa, beliau bersabda, “ tidak akan menang sebuah kaum yang menyerahkan urusannya

kepada seorang perempuan.” ( HR. Al-Bukhari )”

      Hadist di atas menyangkut kasus khusus, yaitu penduduk Persia yang mengangkat putri

Kirsa sebagai penguasa. Jika redaksinya dilihat seraca utuh, hadist ini tidak bersifat umum.

Hadist ini bukan larangan seorang wanita untuk menjadi seorang pemimpin, melainkan usaha

apapun yang dilakukan oleh musuh-musuh islam senantiasa sia-sia. Meskipun demikian,

ulama berbeda dalam menanggapinya. Mayoritas ulama melarang wanita menjadi hakim

dan  memutuskan suatu perkara. Ibnu Al-Thaba’ menerima kesaksian wanita dan sebagian

Al-Malikiyah memperbolehkannya secara mutlak.

4.      Hadist Bersifat Lokal


َ‫اح ٍد بِ َع َرفَ^^ة‬ِ ‫الظ ْه َر َوال َعصْ َر بِاَأ َذا ٍن َو‬ ُّ ‫صلَّى هَللا ُ َعلَ ْي ِه َ َسلَّ َم‬
َ ‫أن النَّبِى‬ َّ ‫ع َْن َج ْعفَ ِر ب ِْن ُم َح َّم ٍد ع َْن َأبِ ْي ِه‬
ْ‫ب َو ْال ِع َشا ِءش بِ َج ْم ٍع بِا َ َذا ٍن َوا ِح^ ٍد َواِقَ^^ا َمتَ ْي ِن َولَ ْم ي َُس^بِّح‬ َ ‫صلَّى ْال َم ْغ ِر‬ َ ‫َولَ ْم يُ َسبِّحْ بَ ْينَهُ َما َواِقَا َمتَب ِْن َو‬
‫بَ ْينَهُ َما‬
Dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Nabi SAW melaksanakan sholat dzuhur dan

asar dengan satu adzan dan dua iqamah di Arafah serta tidak membaca tasbih diantara

keduanya. Beliau juga melaksanakan sholat magrib  di jamak dengan sholat isya’ dengan

satu adzan dan dua iqamah serta tidak bertasbih diantara keduanya. ( HR. Abu Dawud ).

      Al-Bukhari juga meriwayatkan hadist dari Abdullah bin Umar  bahwa jamak sholat

tersebut di Arafah adalah sunnah Rasulullah. Jumhur mempersyaratkan jamak sholat bagi

musafir yang memnuhi syarat. Sementara itu, Malik Al-Auza’I dan Al-Syafi’iyah

berpendapat bahwa sholat jamak di Arafah adalah karena ibadah haji, bukan karena musafir.

Hadist tersebut dilaksanakan secara konteks lokal, yaitu hanya berlaku di Arafah saja dan

bagi yang melaksanakan ibadah haji saja. Bagi musafir selain di Arafah dan bagi yang tidak

beribadah haji sekalipun di Arafah tidak diperkenankan melaksanakan shalat jamak, kecuali

memenuhi syarat tertentu.

5.      Hadist dengan Bahasa Kiasan atau Metaforis

‫ال َم ْن َكانَ يًْؤ ِم ُن بِاهللاِ َواليَوْ ِم اَأل ِخ ِر فَالَ يُْؤ ِذي‬ َ َ‫صلَى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫ع َْن َأبِي هُ َري َْرة َع ِن النَّبِ ِّي‬
‫ضلَ ِع اَعْاَل هُ فَا ِ ْن‬
ِ ‫ضلَع َواِ َّن اَ ْع َو َج َش ْي ٍء فِ ْي ال‬ ِ ‫ارهُ َوا ْستَوْ صُوا بِالنِّ َسا ِء خَ ْيرًا فَاِنَّه َُّن ُخلِ ْقنَ ِم ْن‬ َ ‫َج‬
‫لَ ْم يَزَ لْ اَ ْع َو َج فَا ْستَوْ صُوْ ا بِاالنِّ َسا ِء َخ ْيرًا‬  ُ‫َذهَبْتَ تُقِ ْي ُمهُ َك َسرْ تُهُ َواِ ْن ت ََر ْكتَه‬
“Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW beliau bersabda“ barangsiapa yang beriman

kepada Allag SWT dan hari akhir, tidak menyakiti tetangga. Berpesanlah dengan cara yang

baik kepada kaum wanita. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk ( Adam ) dan

sesungguhnya sesuatu yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang atas. Jika engkau

biarkan, ia akan selalu bengkok. Oleh sebab itu berwasiatlah kepada mereka dengan

baik. ( HR. Al-Bukhari ).


      Hadist ini dipahami oleh ulama salaf secara harfiah. Namun dipahami secara metafora

oleh ulama kontemporer, bahkan ada yang menolak kebenarannya. Mereka yang memahami

makna metafora beralasan bahwa hadist tersebut memperingatkan kaum laki-laki agar

menghadapi kaum perempuan secara bijaksana karena ada karakter bawaan yang cenderung

bengkok seperti tulang rusuk. Mereka tidak mampu mengubah atau meluruskannya. Kalau

mereka tetap berusaha keras meluruskannya, tulang rusuk tersebut dapat patah.

      M. Quraish Shihab mengutip pendapat ulama kontemporer seperti Al-Thaba’i bahwa QS.

An-Nisa’ ayat 1 menegaskan bahwa Istri Adam diciptakan dari jenis yang sama dan tidak

menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pemahaman hadist tersebut

memang membuka perbedaan antara ulama terdahulu dan ulama kontemporer karena

petunjuknya tidak pasti (zhanni) dan memang tidak ada dalil yang  pasti (qhat’i),  baik dari

Al-Qur’an maupun hadist, yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk

Adam. Dengan demikian hadist adakalanya dipahami dengan makna tekstual (harfiah) dan

adakalanya dipahami dengan makna kontekstual (metafora )


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Interpretasi dalam bahasa Inggris disebut interpretation terbentuk dari kata interpret yang

berarti pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu, tafsiran, Jadi

menginterpretasikan hadis berarti menafsirkan hadis.

2.      Langkah-langkah interpretasi hadis:

a. Memahami hadis sesuai petunjuk Al-Qur’an.

b. Menghimpun hadis-hadis yang bertema sama dengan takhrij lalu kandungannya

dianalisis.

c. Penggabungan dan pen-tarjih-an hadis-hadis yang kontradiktif.

d. Memahami hadis dengan mempertimbangkan konteks latar belakang, situasi, kondisi,


 

dan tujuan.

e.    Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan yang tetap.

f. Membedakan makna hakikat dan majas.

g. Membedakan antara alam ghaib dan semesta.

h. Memastikan makna dan konotasi lafal.

3.       Metode interpretasi Hadis

a. Tekstual

b.  Kontekstual

4.      Sifat-sifat yang ada dalam interpretasi hadis.

a. Universal

b. Temporal

c. Kasuistik

d. Lokal
e. Kiasan atau metafora.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qhardhawi, Yusuf. 1997. Bagaiman Memahami Hadis Nabi SAW. Bandung: Karisma.


Arifudin. 2012. Teknik Interpretasi Dalam Kajian Fikih Hadis. Makassar: Al-Fikr.
Ismail, M. Syuhudi. 1994. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontesktual. Jakarta:Bulan Bintang.
Majid Khon, Abdul. 2014. Takhrij & Metode Memahami Hadis. Jakarta: Amzah
Poerwadarminata, W.J.S. 1984. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

[1] Abdul Majid Khon, Takhrij & Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), 138.
[2] Arifuddin, Teknik Interpretasi Dalam Kajian Fikih Hadis, (Makassar: Al-Fikr, 2012), 2.
[3]Ibid., 3.
[4] Abdul Majid, Takhrij & Metode, 147.
[5] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaiman Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: Karisma, 1997), 136.
[6]Ibid., 196.
[7] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontesktual, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 9
[8] W.J.S. Poerwadarminata, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 1035.
[9] Abdul Majid, Takhrij & Metode, 138.
[10] Arifuddin, Teknik Interpretasi, 5.
[11] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta:Bulan Bintang, 1994). 11.
[12]Arifuddin, Teknik Interpretasi, 7
[13]Abdul Majid, Takhrij & Metode, 521.
[14] Ibid.,147.

Anda mungkin juga menyukai