2 Permasalahan Rendemen Tebu - Compress
2 Permasalahan Rendemen Tebu - Compress
2 Permasalahan Rendemen Tebu - Compress
2. 1 Definisi-definisi
Berdasarkan modul penentuan rendemen tebu (Harisutji, 2001) dan Cane Sugar
Handbook (Meade dan Chen, 1977) dapat didefinisikan istilah-istilah yang lazim
digunakan dalam penetapan rendemen tebu sebagai berikut :
Jumlah gula yang dapat dihasilkan setiap 100 bagian berat tebu. Pengertian
rendemen disini adalah rendemen sementara, karena masih belum dikoreksi.
Untuk menghitung rendemen sementara digunakan rumus Hommes (1932
dalam Meade dan Chen, 1977), yaitu :
b. INDIVIDUAL
Yang dimaksud dengan individual dalam penelitian ini adalah setiap lori atau
truk yang digunakan untuk mengangkut tebu yang akan digiling.
c. PETANI
Pemilik tebu yang tebunya akan digiling.dan dimuat dalam lori atau truk
secara sendiri-sendiri, tidak bercampur dengan tebu orang lain.
Satuan yang menyatakan persen berat/berat (b/b) zat padat terlarut suatu
larutan. Bila larutannya adalah sakarosa murni, maka brix = % sakarosa;
tetapi bila tidak murni, maka brix selain terdiri dari sakarosa juga mengandung
zat padat terlarut lainnya.
e. POL (% pol)
pol merupakan jumlah aljabar rotasi zat-zat penyusunnya. Untuk nira yang
“normal” kontribusi sakarosa sangat dominan, sehingga zat optik lainnya
dapat diabaikan.
100 oZ = putaran optik suatu larutan “normal” sakarosa yang diukur pada 587
nm, 20 oC dan tabung polarisasi 200 mm.
Larutan “normal” sakarosa adalah larutan sakarosa murni 26.000 gram dalam
air murni yang dilarutkan pada 20 oC hingga volume 100 ml.
f. GULA
Produk utama pabrik gula yang merupakan butiran kristal “sakarosa” yang
keluar dari masakan dan mengandung sedikit kotoran (impurities). Kualitas
atau jenis gula antara lain dibedakan menurut derajat pol-nya.
g. SAKAROSA
i. NILAI NIRA
Suatu gambaran teoritis jumlah gula yang dapat dikristalkan dari suatu larutan
gula (nira) dengan cara penghabluran/kristalisasi. Karena kristalisasi sangat
dipengaruhi oleh bahan-bahan bukan gula yang terbawa dalam larutan, maka
tidak semua gula dalam larutan tersebut dapat dikristalkan. Semakin besar
bahan bukan gula semakin kecil gula yang dapat dikristalkan.
9
Untuk menghitung nilai nira digunakan rumus Winter Carp (Meade dan Chen,
1977), yaitu :
Adalah nira yang keluar dari gilingan pertama, yang belum tercampur air
imbibisi atau bahan-bahan lain.
Dalam analisis nira tebu dikenal istilah brix, pol, Harkat Kemurnian (HK), nilai
nira, rendemen sementara, dan rendemen tebu giling (rendemen nyata, rendemen
realisasi atau rendemen efektif). Analisis Brix dan Pol merupakan dasar-dasar
perhitungan dan kontrol pabrikasi pabrik gula. Dengan melakukan analisis ini
dapat diperkirakan jumlah gula yang akan diperoleh seorang pemilik tebu yang
akan menggilingkan tebunya di pabrik gula.
Analisis brix bisa menggunakan 3 (tiga) cara dengan menggunakan alat yang
berbeda, yaitu (Harisutji W., 2001) :
(1) Cara refraktometris, dengan menggunakan alat refraktometer. Prinsip
kerja: sudut bias suatu sinar radiasi yang melalui larutan gula (nira)
tergantung pada konsentrasi dan temperatur dari larutan tersebut. Dengan
temperatur konstan, konsentrasi (brix) larutan gula (nira) dapat diketahui
dengan mengukur index bias larutan tersebut. Kalibrasi refraktometer brix
dengan menggunakan larutan sakarosa murni;
(2) Cara timbangan hydrometer (timbangan brix), dengan menggunakan alat
timbangan brix/brix weger/brix hydrometer. Prinsip kerja : gaya tekan ke
10
Salah satu cara melakukan analisis pol adalah dengan menggunakan alat yang
disebut polarimeter/sakarimeter/sakaromat. Prinsip kerja : berdasarkan
pengukuran sudut pemutaran bidang polarisasi oleh larutan gula. Besarnya sudut
putar tergantung pada konsentrasi larutan, ketebalan larutan yang dilewati sinar
(panjang tabung polarisasi), temperatur dan panjang gelombang. Kalibrasinya
dengan menggunakan standar tabung kwarsa yang mempunyai nilai putaran optik
yang tetap.
Perhitungan persen pol menurut Winter Carp (Meade dan Chen, 1977) :
% pol = { (26 x oZ) / (100 x BJ) } x (1,1).
BJ = berat jenis nira, dihitung dari tabel hubungan antara brix dan BJ
o
Z = pembacaan derajat polarisasi
Luas areal tebu dalam negeri cenderung terus menurun rata-rata 1,72 persen per
tahun selama tahun 1993-2004 (Sekretariat Dewan Gula, 2004). Penurunan areal
tanam yang cukup drastis terjadi pada tahun 1999, yaitu sebesar 9,9 persen,
sebagai akibat dari dihapuskannya kebijakan TRI serta adanya konversi lahan.
Penurunan areal juga diikuti dengan menurunnya produktivitas tebu dengan laju
sebesar 1,42 per tahun (Rusastra, et al. 2000). Pada tahun 1999, penurunan
produktivitas mencapai 12,26 persen, yaitu dari 71,8 ton/ha menjadi 62,8 ton/ha.
Semakin rendahnya luas areal dan produktivitas tebu menyebabkan produksi tebu
11
nasional juga semakin rendah, menurun hingga 3,01 persen per tahun.
Penghapusan TRI pada tahun 1999, menyebabkan produksi tebu menurun drastis
sebesar 1,25 persen (Tabel 1).
Rendahnya produksi gula nasional antara lain juga disebabkan tidak efisiennya
pabrik-pabrik gula (PG) yang ada (Husodo, 2000; Murdiyatmo, 2000; Woeryanto,
2000). Pada masa kejayaan industri gula di tahun 1930, Indonesia memiliki 179
Pabrik Gula (PG). Jumlah PG semakin menurun karena secara ekonomis tidak
menguntungkan. Jumlah PG per September 2003 tercatat sebanyak 58 unit PG
milik BUMN dan 6 PG milik swasta (Sekretariat Dewan Gula, 2004). Dari 58 PG
tersebut, 46 PG berada di Jawa dan 12 PG berada di luar Jawa. Pada umumnya
PG-PG beroperasi jauh dibawah kapasitas giling. Sebagian besar PG mempunyai
kapasitas giling yang kecil (<3.000 TCD) karena mesin yang telah berumur lebih
dari 75 tahun serta tidak mendapat perawatan yang memadai, sehingga
menyebabkan biaya produksi per kg gula tinggi (Arifin, 2000).
Rendemen yang dihasilkan PG-PG juga sangat menurun dan selama 10 tahun
terakhir (1993-2004) relatif berfluktuasi dengan rata-rata mencapai 7,24 %, jauh
12
Dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Thailand, Cina, India, Jepang
dan Philipina, rata-rata produktivitas tebu Indonesia sebenarnya relatif tinggi dan
mendekati produktivitas Amerika Serikat. Namun dalam hal rata-rata rendemen
dan rata-rata produktivitas gula, Indonesia menempati posisi terendah (Tabel 2).
Angka rendemen yang digunakan untuk menghitung hasil di pabrik gula adalah
rasio antara hasil gula kristal (hablur) dengan bobot tebu yang digiling disebut
rendemen nyata (Anonim, 1984; LP IPB, 2002; Purwono, 2002). Jika dihitung
dalam persentase, maka rendemen adalah kristal nyata diperoleh % tebu digiling
atau lebih dikenal dengan kristal nyata % tebu (Harisutji, 2001; Santoso dan
13
Bobot hablur
Rendemen nyata = ------------------- x 100
Bobot tebu
Dari perhitungan ini berarti gula yang diperoleh adalah hanya gula yang
dihasilkan dalam bentuk kristal selama satu periode proses. Kenyataannya,
selama proses terjadi kehilangan gula yang sangat dipengaruhi oleh efisiensi
pabrik gula. Kehilangan gula selama proses kemungkinan terbawa dalam bagase
(ampas), filter cake (blotong) atau molases (tetes) (LP IPB, 2002).
Gula yang dapat dikristalkan merupakan bagian dari total padatan terlarut yang
terkandung dalam tebu. Total padatan terlarut tersebut terdiri dari gula dan bukan
gula (Winter Carp dalam Meade dan Chen, 1977). Komposisi tebu secara umum
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
14
Komponen % tebu
Air 73 – 76
Zat padat : 24 – 27
Sabut 11 – 16
Zat padat terlarut 10 – 16
Komposisi Nira : % padat zat terlarut :
Gula 75 – 92
Sakarosa 70 – 88
Glukosa 2–4
Fruktosa 2–4
Garam-garam : 3,0 – 7,5
Garam asam anorganik 1,5 – 4,5
Garam asam organik 1,0 – 3,0
Asam-asam organik bebas : 0,5 – 2,5
Asam karboksilat 0,1 – 0,5
Asam-asam amino 0,5 2,0
Zat-zat organik non gula lain :
Protein 0,5 – 0,6
Amilum 0,001 – 0,050
Gum 0,3 – 0,60
Lilin, lemak 0,05 – 0,15
Lainnya 3,0 – 5,0
Sumber : Meade dan Chen (1977)
Penggilingan yang kurang baik menyebabkan sebagian gula masih terbawa dalam
bagase. Pada saat proses pemurnian nira kotor menjadi nira jernih dapat terjadi
kehilangan gula bersama dengan filter cake (blotong). Kehilangan gula lainnya
adalah pada saat pemisahan antara kristal gula dengan tetes (Santoso, 1998).
Kehilangan gula biasanya dinyatakan dalam pol % tebu, pada pabrik-pabrik gula
di Jawa Timur berkisar antara 1,5 hingga 2,5% (Dinas Perkebunan Jawa Timur,
2005). Pada Gambar 1 disajikan secara ringkas alur pengolahan gula dan
kemungkinan terjadinya kehilangan gula.
15
Tebu
Penggilingan
Pemurnian
Kehilangan
Nira kental gula
(1,5-2,5%)
Kristalisasi
Awalnya, usahatani tebu berada di bawah satu manajemen pabrik gula (Ananta,
1975). Angka rendemen hanya dibutuhkan oleh PG guna keperluan intern mereka,
terutama untuk mengukur kinerja proses. Sejak diberlakukannya program Tebu
Rakyat Intensifikasi tahun 1975 (Inpres No. 9/1975) tebu ditanam dan dikelola
oleh petani tebu rakyat (PTR), pabrik gula hanya menggiling tebu PTR dengan
sistem bagi hasil berdasarkan rendemen tebu. Berdasarkan kondisi tersebut maka
penentuan rendemen sebagaimana rumus Hommes di atas ditetapkan dengan SK
Menteri Pertanian No. 013/SK/MENTAN/BPB/3/76 tanggal 5 Maret 1976 tentang
Pedoman Penentuan Rendemen Tebu Rakyat Yang Diolah Pabrik Gula.
Berdasarkan SK Mentan di atas, nilai nira perahan pertama diambil dari setiap
contoh tebu yang minimal bisa memenuhi waktu giling 30 menit (Ananta, 1984)..
Pada PG berkapasitas 2000 – 3000 TCD dalam waktu giling 30 menit diperlukan
sekitar 60 ton tebu. Oleh karena itu, analisis nira perahan pertama dilakukan untuk
setiap 60 ton tebu (Santoso, 1998). Dalam konteks tersebut, jumlah tebu yang
dimiliki petani secara individu tidak dapat memenuhi kebutuhan analisis.
Terkait dengan faktor rendemen di atas, dikenal istilah Winter Rendemen (WR)
yang merupakan perbandingan sukrosa dalam gula hasil dengan sukrosa yang
terdapat dalam nira mentah (Meade dan Chen, 1977). Winter Rendemen
merupakan persentase jumlah hablur (sukrosa) akhir yang efektif dihasilkan
17
terhadap jumlah hablur yang terdapat dalam nira mentah yang diolah. Hablur yang
dimaksud dihitung sebagai standar gula pasir (equivalent sugar granulated) yakni
kristal 100% murni atau gula kristal putih.
dimana KNT : hasil kali kadar nira tebu, HPB : hasil pemerahan brix,
perbandingan setara harkat kemurnian nira mentah/nira perahan pertama (PSHK)
dan Winter Rendemen (WR).
Menurut Santoso dan Bahri (2004), rumus ini biasa digunakan di Indonesia.
Dalam rumus ini kualitas tebu didekati dengan NNPP x KNT x 10-2 dan efisiensi
pabrik didekati dengan HPB x PSHK x WR x 10-4 (Anonim, 1984; LRPI, 2004;
Santoso dan Bahri, 2004). Sehingga :
Jika mengacu kepada penentuan rendemen yang digunakan di Indonesia saat ini
{persamaan (1)} dan membandingkannya dengan persamaan (4), maka seharusnya
pendekatan yang terjadi adalah :
Pada musim giling 2003, PG Mojopanggung dengan kapasitas giling ± 2400 TCD
telah mengupayakan proyek percontohan penentuan rendemen individu yang
menghargai prestasi individu dengan model sampling “krepyak mini sampler
(KMS)” (Martoyo dan Santoso, 2003). Krepyak mini sampler ditujukan untuk
menetapkan titik sampel individu, sedangkan ultrasonic flowmeter untuk
menetapkan kadar nira perahan pertama (KNPP), sehingga rendemen ditetapkan
berdasarkan formula : Rendemen = NNPP x KNPP x Faktor Kristal. Upaya untuk
mengukur langsung NNPP dan KNPP untuk menilai kualitas tebu secara lebih
tegas merupakan langkah yang baik dalam rangka penyempurnaan penetapan
rendemen yang lebih berkeadilan.
Namun demikian, hasil kajian Martoyo dan Santoso (2004) menemukan lori
dengan berat tebu tinggi dan diperkirakan niranya tinggi namun kenyataannya
berat niranya rendah, begitu pula sebaliknya, sehingga menyebabkan rentang nilai
KNPP yang cukup besar, berkisar antara 20 – 85 %. Hal tersebut diduga karena
kesalahan sistem yang hanya mengukur jumlah NNPP berdasarkan jarak (waktu)
yang sama. Padahal, kenyataannya terjadi perbedaan jarak (waktu) untuk tebu
lonjoran di krepyak tebu I (krepyak mini I sampler) dengan jarak (waktu) untuk
tebu cacah di krepyak tebu II (krepyak mini II sampler), serta jarak (waktu) nira
mengalir di talang NNPP.
Dengan kondisi demikian, pada skala komersial untuk musim giling 2004 metode
ini masih mempunyai kendala dalam pelaksanaannya, khususnya pengukuran
KNPP dengan ultrasonic flowmeter. Untuk PG yang berkapasitas giling > 3000
19
TCD, dimana umpan tebu ke krepyak lebih dari 2 meja tebu, perlu dikaji tingkat
kevalidan sampel kaitannya dengan tercampurnya nira tebu antar individu
(Martoyo dan Santoso, 2004).
Alat yang digunakan dalam metode ini adalah refraktometer presisi yang sudah
dikalibrasi. Prinsip yang diterapkan adalah index bias larutan gula mempunyai
korelasi dengan konsentrasi larutan tersebut ((Harisutji, 2001). Metode ini bisa
digunakan untuk analisis macam-macam nira (npp, nira mentah, nira encer) atau
nira kental dan tetes dengan mengencerkannya terlebih dahulu setara dengan nira
encer.
Menurut Purwono (2002), diketahui bahwa terdapat korelasi yang nyata antara
nilai brix (B) yang diukur dengan rendemen (R) dengan r2 = 0.82 dan persamaan
regresinya adalah :
R = - 0.0254 + 0.4746 B.
Dengan demikian, cukup dengan memasukkan hasil pengukuran brix, maka dapat
langsung diketahui nilai rendemen suatu contoh tebu.
Hasil penelitian Santoso dan Martoyo (1994) di tiga pabrik gula menunjukkan
bahwa hasil pengukuran brix refraktometer dan hydrometer tidak berbeda untuk
contoh nira mentah dan nira encer. Semakin rendah kemurnian contoh, perbedaan
hasil pengukuran semakin besar. Walaupun terdapat perbedaan hasil pengukuran,
penggunaan refraktometer untuk pengawasan pabrikasi tidak menimbulkan
masalah berarti, bahkan menguntungkan. Cara pemakaian refraktometer lebih
20
Sistem kerja core sampler : sebuah pipa dengan diameter 8 – 10 dm, panjang ± 6m
diujungnya dilengkapi semacam gergaji diputar dengan 550 sampai 1250 rpm
21
Pendekatan Core Sampler (PCS) adalah metode penetapan rendemen dengan cara
mengambil sampel dengan pendekatan seperti pengambilan sampel dengan
menggunakan alat Core Sampler.
2.7.1. Varietas
Tanaman tebu yang berasal dari kebun bibit datar (KBD) disebut dengan plant
cane (PC). Tanaman ini langsung ditanam dari kebun pembibitan (Hendroko, et
al. 1987). Setelah panen, umumnya petani tidak lagi menanam bibit tebu baru,
melainkan dikepras dan ditumbuhkan kembali dari tunas-tunas yang masih ada.
Tanaman seperti ini disebut dengan ratoon atau tanaman keprasan. Menurut
survai yang dilakukan Ditjen BP Perkebunan Departemen Pertanian (2004), petani
menanam tanaman keprasan (ratoon) sampai lebih dari 15 kali. Tingginya tingkat
keprasan tersebut menurut Arsana, et al. (1997), disebabkan petani lebih suka
memelihara tanaman keprasan karena biaya tanaman (bibit dan pemeliharaan
awal) lebih murah meskipun produksinya relatif rendah yang antara lain
disebabkan oleh potensi varietas keprasan yang rendah.
2.7.3. Pemupukan
Unsur-unsur esensial seperti Nitrogen (N), Fosfat (P) dan Kalium (K) dibutuhkan
tanaman dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan ketersediaan yang terbatas di
dalam tanah, maka unsur-unsur tersebut perlu ditambahkan melalui pemupukan.
Oleh Dharmawan (1982) penggunaan pupuk dipandang sebagai cara yang paling
mudah dan terpercaya untuk meningkatkan hasil pertanian. Tanaman tebu
memerlukan ketersediaan hara untuk perkembangannya sejak satu hingga tiga-
enam bulan pertama masa pertumbuhannya (Pawirosemadi, 1996), pada periode
tersebut hara N, P dan K yang diperlukan sekitar 80 – 85% dari total
kebutuhannya.
Pada tebu, unsur N dibutuhkan dalam jumlah tertentu tergantung varietas dan
lokasi tempat tumbuhnya (Sahadi, 1997). Hasil penelitian Isro Ismail, Nugraharsi
dan Kunhartono (1996), menyebutkan bahwa pemberian unsur N secara
berlebihan dapat menghambat proses penimbunan gula dalam batang. Hal
tersebut berakibat pada rendahnya kadar gula, menurunnya kualitas nira dan
rendemen akan menurun.
Tebu wayu selain kehilangan berat karena penguapan juga kehilangan kadar gula
karena inversi, yaitu sukrosa diubah oleh enzim menjadi gula reduksi (Martoyo,
2000). Salah satu indikator tinggi-rendahnya rendemen tebu dan faktor terpenting
dari beberapa faktor penentu kualitas nira adalah nilai nira dan kadar gula reduksi
(Anonim, 1984). Pol merupakan resultan dari keberadaan sukrosa dan gula
25
reduksi dalam nira serta mempunyai hubungan langsung yang negatif dengan gula
reduksi (Meade dan Chen, 1977).
Hal tersebut menunjukkan bahwa jika kadar gula reduksi semakin tinggi maka pol
semakin rendah. Hasil penelitian Santoso, et al. (1996) menunjukkan bahwa
kenaikan kadar gula reduksi sangat dipengaruhi oleh tebu yang tertunda giling.
Setiap hari penundaan giling dapat meningkatkan kadar gula reduksi sebesar 0,35
poin dan 98,6% dari kenaikan kadar gula reduksi tersebut adalah kontribusi dari
penundaan giling. Akibatnya, setiap hari penundaan giling akan memberikan
kerugian penurunan rendemen sebesar 0,53 poin.
Kotoran tebu terdiri dari antara lain klaras, pucukan, sogolan, akar dan tanah.
Klaras atau daun kering tidak mengandung nira sehingga bila terikut dalam
jumlah yang banyak akan menyumbangkan sabut sehingga jumlah sabut atau
ampas per satuan tebu meningkat. Peningkatan kadar sabut akan mengurangi
ekstraksi nira dan mengurangi kapasitas stasiun gilingan, berarti juga mengurangi
gula yang diperoleh atau menurunkan rendemen (Martoyo, 2000).
Pucukan atau sogolan mengandung hanya sedikit gula tetapi banyak mengandung
bukan-gula, jika terikut dalam tebu giling akan berdampak mengurangi perolehan
gula karena penambahan bukan-gula akan menyebabkan gula terbawa ke dalam
tetes. Tanah yang terbawa ke dalam ampas akan menyebabkan ampas sulit
terbakar dan kapasitas stasiun ketel menurun, sedangkan jika tanah tersebut
terbawa ke stasiun proses akan mempengaruhi proses pengendapan pada
pemurnian nira karena bak pengendap (clarifier) penuh dengan lumpur sehingga
hasil nira jernih mutunya rendah.
Hasil penelitian Yates (1996, dalam Martoyo, 2000) kotoran tebu akan
menurunkan rendemen dengan kecepatan 0,125-0,25 poin per satuan (%) kotoran.
Penelitian terakhir di beberapa pabrik gula di Australia oleh Kent (1999, dalam
26
Rendemen adalah perbandingan antara kristal nyata yang diperoleh dengan tebu
digiling atau lebih dikenal dengan kristal nyata % tebu. Kristal nyata yang
dimaksud disini adalah gula dalam nira tebu yang dapat dikristalkan menjadi gula
kristal putih (GKP). Total gula dan kandungan bukan gula tersebut dikenal
sebagai brix, yaitu satuan yang biasa digunakan dalam industri gula yang
menyatakan persen berat/berat (b/b) zat padat terlarut suatu larutan (gula). Brix
selain terdiri dari gula juga mengandung zat padat terlarut lainnya (Harisutji,
2001).
Hommes (1932 dalam Meade dan Chen, 1977) menyatakan tidak semua gula
dalam nira tebu dapat dikristalkan, karena pengkristalan gula dipengaruhi oleh
kandungan bukan gula yang ada dalam nira tebu, dengan rumus :