Anda di halaman 1dari 26

PERBANDINGAN STABILITAS AIR MATA ANTARA

PASIEN PASCA BEDAH KATARAK YANG DIBERIKAN

AIR MATA BUATAN SODIUM HYALURONAT 0,1%

DENGAN AIR MATA BUATAN YANG MENGANDUNG

ELEKTROLIT DI RSUP SANGLAH DENPASAR

PROPOSAL PENELITIAN

ALEXANDER BRAMANTYO LIMPOMO

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Katarak adalah segala kekeruhan pada lensa mata yang merupakan penyebab

kebutaan utama di seluruh dunia. Data World Health Organization

(WHO) memperkirakan terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia.

Prevalensi kebutaan usia >6 tahun di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan

Dasar tahun 2013 sebesar 0,4% dengan prevalensi katarak semua umur sebesar

1,8%.1

Berdasarkan usia saat kejadian, katarak digolongkan menjadi katarak

kongenital, juvenil dan senilis. Katarak senilis adalah katarak yang terjadi

karena proses degeneratif atau pertambahan usia dan terjadi mulai usia 50 tahun

keatas. Bentuk katarak ini adalah yang paling banyak terjadi, yaitu hampir 90%

dari keseluruhan katarak.2

Penanganan definitif katarak senilis adalah dengan bedah katarak yang terus

mengalami perubahan seiring perkembangan teknologi. Perkembangan tersebut

dimaksudkan untuk mencapai tujuan utama bedah katarak yaitu optimalisasi tajam

penglihatan setelah operasi, mempercepat penyembuhan luka setelah operasi dan

mengurangi komplikasi operasi.3

Komplikasi terhadap kornea akibat tindakan bedah intraokular telah banyak

menurun seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun angka

tindakan bedah intraokular, terutama bedah katarak, terus

1
meningkat karena tingginya prevalensi pasien katarak dengan gangguan fungsi

visual yang bermakna dan membutuhkan terapi definitif berupa tindakan bedah.
2
The Collaborative Eye Disease Prevalence memprediksi akan terjadi peningkatan

angka bedah katarak sebanyak 50% selama lebih dari dua dekade ke depan dari

6.7 juta pasien pada tahun 2000 menjadi 10 juta pasien pada 2020, sehingga

tingkat komplikasi yang rendah masih dapat mempengaruhi sejumlah besar

pasien. Keadaan dan penanganan komplikasi tersebut dapat menyebabkan beban

kualitas hidup dan finansial yang cukup berarti, oleh karena itu kewaspadaan

terhadap komplikasi kornea yang berhubungan dengan pembedahan penting

4-6
sehingga dapat dilakukan penanganan dan pencegahan yang sesuai.

Pasien yang telah dilakukan bedah katarak sering mengeluh gejala mata kering dan

iritasi. Keluhan tersebut dapat muncul segera setelah tindakan bedah dan mengalami

7-12
perbaikan pada waktu yang bervariasi.

Keluhan mata kering tersebut dapat terjadi karena kerusakan struktur kornea akibat

pembedahan, efek samping dari obat anestesi topikal, dan obat-obatan tetes mata

8-10
berpengawet, serta pajanan dari sinar mikroskop. Hal-hal tersebut dapat mendorong

lapisan air mata ke dalam suatu siklus yang saling berkaitan, yaitu instabilitas air mata,

11
hiperosmolaritas, apoptosis sel konjungtiva dan kornea, dan inflamasi.

Air mata buatan adalah terapi lini pertama untuk mata kering. Air mata buatan

meningkatkan volume air mata, meminimalisir desikasi, dan melubrikasi permukaan okular,

sehingga memberikan perbaikan gejala iritasi pada berbagai keadaan mata 3

13,14
kering. Beberapa diantara jenis air mata buatan yang tersedia adalah air mata buatan

yang mengandung sodium hyaluronat dan air mata buatan yang mengandung elektrolit.
Penelitian sebelumnya mengenai penggunaan beberapa jenis air mata buatan, seperti

HPMC, CMC, dan HP-Guar, pada pasien pascabedah katarak sudah pernah dilakukan dan

memberikan hasil yang baik. Penggunaan sodium hyaluronat pada pasien dengan sindroma

11,15-17
mata kering juga menunjukkan pengaruh yang baik. Air mata buatan dengan

kandungan elektrolit terbukti membantu memperbaiki permukaan kornea yang rusak dan

4-6,8-14,18-23
memperbaiki stabilitas air mata.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik suatu permasalahan yaitu adakah

perbedaan stabilitas air mata antara pasien pasca bedah katarak yang diberikan air mata

buatan sodium hyaluronat 0,1% dengan air mata buatan yang mengandung elektrolit

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk membandingkan pengaruh pemberian air mata buatan yang mengandung

sodium hyaluronat 0,1% dengan larutan yang mengandung elektrolit terhadap stabilitas air

mata pasien pasca bedah katarak.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui nilai TBUT (tear break up time) dan nilai tes Schirmer I pasien

pasca bedah katarak dengan penggunaan air mata buatan yang mengandung

sodium hyaluronat 0,1%.

2. Mengetahui nilai TBUT (tear break up time) dan nilai tes Schirmer I pasien

pasca bedah katarak dengan penggunaan air mata buatan yang mengandung

elektrolit

3. Membandingkan nilai TBUT (tear break up time) dan nilai tes Schirmer I

pasien pasca bedah katarak dengan penggunaan air mata buatan yang

mengandung sodium hyaluronat 0,1% dan air mata buatan yang mengandung

elektrolit.
4

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi nilai TBUT (tear break

up time) dan nilai tes Schirmer I pasien pasca bedah katarak dengan penggunaan air mata

buatan yang mengandung sodium hyaluronat 0,1% dan air mata buatan yang mengandung

elektrolit sehingga memberikan manfaat sebagai pertimbangan rekan sejawat dalam

pemberian air mata buatan pada pasien pasca bedah katarak.

1.5 Orisinalitas

Penelitian mengenai perbandingan pengaruh pemberian dua jenis air mata buatan

terhadap stabilitas air mata pasien pasca bedah katarak pernah dilakukan oleh Anita

Oktaputri, Mayang Rini, Budiman pada tahun 2017 yang berjudul perbandingkan pengaruh

pemberian air mata buatan yang mengandung sodium hyaluronat 0,1% dengan larutan yang

mengandung elektrolit terhadap stabilitas air mata pasien pasca bedah katarak. Penelitian

yang diusulkan mempunyai perbedaan dengan penelitian diatas antara lain penelitian Anita

Oktaputri dilakukan di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung sedangkan penelitian ini

dilakukan di RSUP Sanglah. Perbedaan lainnya ialah pada penelitian Anita Oktaputri bedah

katarak yang dilakukan menggunakan metode fakoemulsifikasi sedangkan pada penelitian

ini bedah katarak yang dilakukan menggunakan metode SICS. Secara garis besar, perbedaan

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah variabel kontrol dan objek penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katarak

Penyakit katarak merupakan penyakit mata yang ditandai dengan kekeruhan

lensa mata sehingga mengganggu proses masuknya cahaya ke mata.24 Katarak

dapat disebabkan karena terganggunya mekanisme kontrol keseimbangan air dan

elektrolit, karena denaturasi protein lensa atau gabungan keduanya.25 Sekitar 90%

kasus katarak berkaitan dengan usia; penyebab lain adalah kongenital dan trauma.25

2.1.1 Anatomi Lensa Mata

Lensa adalah bagian dari bola mata yang berbentuk bikonveks, avaskular,

transparan, terletak di belakang iris dan di depan vitreus, ditopang oleh Zonula Zinii

yang melekat ke korpus siliaris (Gambar 1). Lensa terdiri dari kapsul, epitel, korteks,

dan nukleus (Gambar 2). Kapsul lensa yang bersifat elastik berfungsi untuk

mengubah bentuk lensa pada proses akomodasi.24-26

2.1.2 Epidemiologi

Pada tahun 2010, prevalensi katarak di Amerika Serikat adalah 17,1%.


6
27
Katarak paling banyak mengenai ras putih (80%) dan perempuan (61%). Menurut
hasil survei Riskesdas 2013, prevalensi katarak di Indonesia adalah

1,4%, dengan responden tanpa batasan umur.28

2.1.2.1 Kebutaan Akibat Katarak

Definisi kebutaan menurut WHO yaitu visus < 3/60 pada mata terbaik

dengan koreksi terbaik.29 WHO memperkirakan sekitar 18 juta orang mengalami

kebutaan kedua mata akibat katarak.29 Jumlah ini hampir setengah (47,8%) dari

semua penyebab kebutaan karena penyakit mata di dunia. Penyebab kebutaan

lainnya adalah kelainan refraksi tidak terkoreksi, glaukoma, Age-Related Macular

Degeneration, retinopati DM, kebutaan pada anak, trakoma, onchocerciasis, dan

lain-lain.29 Indonesia menduduki peringkat tertinggi prevalensi kebutaan di Asia

Tenggara sebesar 1,5% dan 50% di antaranya disebabkan katarak.25 Jumlah ini

diperkirakan akan meningkat karena pertambahan penduduk yang pesat dan

meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia.28

2.1.2.2 Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko katarak dapat dibedakan menjadi faktor individu,

lingkungan, dan faktor protektif. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin,

ras, serta factor genetik.24,25 Faktor lingkungan termasuk kebiasaan merokok,

paparan sinar ultraviolet, status sosioekonomi, tingkat pendidikan, diabetes

mellitus, hipertensi, penggunaan steroid, dan obat-obat penyakit gout.25,30,31 Faktor

protektif meliputi penggunaan aspirin dan terapi pengganti hormon pada wanita.25
7
2.1.3 Klasifikasi Berdasarkan Usia

2.1.3.1 Katarak Kongenital

Sepertiga kasus katarak kongenital adalah diturunkan, sepertiga berkaitan dengan

penyakit sistemik, dan sisanya idiopatik.25 Separuh katarak kongenital disertai

anomaly mata lainnya, seperti PHPV (Primary Hyperplastic Posterior Vitreous),

aniridia, koloboma, mikroftalmos, dan buftalmos (pada glaukoma

infantil).25

2.1.3.2 Katarak Senilis

Seiring berjalannya usia, lensa mengalami kekeruhan, penebalan, serta penurunan

daya akomodasi, kondisi ini dinamakan katarak senilis. Katarak senilis merupakan

90% dari semua jenis katarak.25 Terdapat tiga jenis katarak senilis berdasarkan

lokasi kekeruhannya24,32, yaitu :

2.1.3.2.1 Katarak nuklearis

Katarak nuklearis ditandai dengan kekeruhan sentral dan perubahan warna lensa

menjadi kuning atau cokelat secara progresif perlahan-lahan yang mengakibatkan

turunnya tajam penglihatan. Derajat kekeruhan lensa dapat dinilai menggunakan

slitlamp. Katarak jenis ini biasanya terjadi bilateral, namun dapat juga asimetris.

Perubahan warna mengakibatkan penderita sulit untuk membedakan corak warna.

Katarak nuklearis secara khas lebih mengganggu gangguan penglihatan jauh

daripada penglihatan dekat.24 Nukleus lensa mengalami pengerasan progresif yang

menyebabkan naiknya indeks refraksi, dinamai miopisasi. Miopisasi menyebabkan

penderita presbiopia dapat membaca dekat tanpa harus mengenakan

kacamata, kondisi ini disebut sebagai second sight.24, 25, 32


8
2.1.3.2.2 Katarak Kortikal

Katarak kortikal berhubungan dengan proses oksidasi dan presipitasi protein pada

sel-sel serat lensa. Katarak jenis ini biasanya bilateral, asimetris, dan menimbulkan

gejala silau jika melihat ke arah sumber cahaya. Tahap penurunan penglihatan

bervariasi dari lambat hingga cepat. Pemeriksaan slitlamp berfungsi untuk melihat

ada tidaknya vakuola degenerasi hidropik yang merupakan degenerasi epitel

posterior, dan menyebabkan lensa mengalami elongasi ke

anterior dengan gambaran seperti embun.24, 25, 32

2.1.3.2.3 Katarak Subkapsuler

Katarak ini dapat terjadi di subkapsuler anterior dan posterior. Pemeriksaannya

menggunakan slitlamp dan dapat ditemukan kekeruhan seperti plak di korteks

subkapsuler posterior. Gejalanya adalah silau, penglihatan buruk pada tempat

terang, dan penglihatan dekat lebih terganggu daripada penglihatan jauh.24, 32

2.1.4 Maturitas Katarak

2.1.4.1 Iminens/Insipiens

Pada stadium ini, lensa bengkak karena termasuki air, kekeruhan lensa masih

ringan, visus biasanya > 6/60. Pada pemeriksaan dapat ditemukan iris normal, bilik

mata depan normal, sudut bilik mata normal, serta shadow test

negatif.24, 25, 32
9
2.1.4.2 Imatur

Pada tahap berikutnya, opasitas lensa bertambah dan visus mulai menurun

menjadi 5/60 sampai 1/60. Cairan lensa bertambah akibatnya iris terdorong dan bilik

mata depan menjadi dangkal, sudut bilik mata sempit, dan sering terjadi

glaukoma. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test positif.24, 25, 32

2.1.4.3 Matur

Jika katarak dibiarkan, lensa akan menjadi keruh seluruhnya dan visus

menurun drastic menjadi 1/300 atau hanya dapat melihat lambaian tangan dalam

jarak 1 meter. Pada pemeriksaan didapatkan shadow test negatif.24, 25, 32

2.1.4.4 Hipermatur

Pada tahap akhir, korteks mencair sehingga nukleus jatuh dan lensa jadi

turun dari kapsulnya (Morgagni). Lensa terlihat keruh seluruhnya, visus sudah

sangat menurun hingga bisa mencapai 0, dan dapat terjadi komplikasi berupa uveitis

dan glaukoma. Pada pemeriksaan didapatkan iris tremulans, bilik mata

depan dalam, sudut bilik mata terbuka, serta shadow test positif palsu.24, 25, 32

2.1.5 Tatalaksana

Tatalaksana definitif untuk katarak saat ini adalah tindakan bedah. Beberapa

penelitian seperti penggunaan vitamin C dan E dapat memperlambat

pertumbuhan katarak, namun belum efektif untuk menghilangkan katarak.24,25

Tujuan tindakan bedah katarak adalah untuk mengoptimalkan fungsi penglihatan.

Keputusan melakukan tindakan bedah tidak spesifik tergantung dari derajat tajam

penglihatan, namun lebih pada berapa besar penurunan tersebut mengganggu

aktivitas pasien.24 Indikasi lainnya adalah bila terjadi gangguan stereopsis,


10
hilangnya penglihatan perifer, rasa silau yang sangat mengganggu, dan simtomatik

anisometrop.25 Indikasi medis operasi katarak adalah bila terjadi komplikasi antara

lain: glaucoma fakolitik, glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik, dislokasi

lensa ke bilik depan, dan katarak sangat padat sehingga menghalangi pandangan

gambaran fundus karena dapat menghambat diagnosis retinopati diabetika ataupun

glaukoma.25
2.2 Dry Eyes
2.2.1 Definisi

Dry eye syndrome (sindroma mata kering) juga biasa disebut

keratokonjungtivitis sicca atau sindroma disfungsi lapisan air mata didefinisikan

oleh National Eye Institute pada tahun 1995 merupakan sebuah gangguan lapisan

air mata akibat defisiensi air mata atau penguapan air mata yang berlebihan yang

mana kondisi tersebut menyebabkan kerusakan permukaan interpalpebral mata

dan berhubungan dengan gejala ketidaknyamanan mata. Sedangkan menurut

International Dry Eye Workshop pada tahun 2007 mendefinisikan dry eye

syndrome sebagai penyakit multifaktorial pada lapisan air mata dan permukaan

mata dengan gejala ketidaknyamanan, gangguan ketajaman mata, dan

ketidakstabilan lapisan air mata dengan kerusakan potensial pada permukaan

mata. Kondisi tersebut disertai dengan hiperosmolaritas pada lapisan air mata dan

inflamasi pada permukaan mata.58

2.2.2 Faktor Resiko

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dry eye

merupakan kelainan yang bersifat multifaktorial. Berikut ini disajikan tabel yang

memperlihatkan faktor-faktor risiko untuk terjadinya dry eye menurut Dry Eye

Workshop Commite, 2007.

2.2.3 Mekanisme Dry Eyes Syndrome

Gambar 3. Mekanisme Dry Eye

Gambar tersebut menunjukkan bahwa hiperosmolar dapat menyebabkan

kerusakan pada permukaan epithelium dengan mengaktifkan aliran inflammatory di

permukaan mata dan melepaskan mediator inflamasi kedalam air mata. Dry eye

dapat menstimulasi saraf mata sehingga menyebabkan luka pada epitel. Hilangnya
12
normal musin pada permukaan mata menyebabkan naiknya resistensi friksi antara

kelopak mata dan bola mata. Selama periode ini terjadi inflamasi neurogenik di

dalam kelenjar. Penyebab utama hiperosmolar pada air mata adalah penurunan

aliran air mata (low lacrimal flow) akibat kegagalan kerja kelenjar lakrimal dan

peningkatan penguapan cairan air mata. Meningkatnya penguapan dapat

dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dengan kelembapan rendah, aliran udara yang

tinggi dan keadaan pasien yang mengalami Meibomian Gland Dysfunction

(MGD), kondisi tersebut menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata.

Gangguan penghantaran dari kelenjar lakrimal ke kantung konjungtiva

menyebabkan menurunnya aliran air mata.59

Penghantaran air mata dapat terhalangi oleh jaringan parut konjungtiva atau

hilangnya reflek sensoris yang menuju jaringan lakrimal dari permukaan mata.

Kerusakan kronis pada permukaan mata kering menyebabkan sensitifitas kornea

dan reflek sekresi air mata menurun. Berbagai etiologi dapat menyebabkan mata

kering melalui mekanisme blok reflek sekretoris termasuk bedah refraktif (LASIK

mata kering), memakai kontak lensa, dan penyalahgunaan anestesi topikal.59

2.2.4 Klasifikasi Dry Eyes


13
Gambar 4. Klasifikasi Dry Eye Berdasarkan National Eye Institute / Industry Workshop

Berdasarkan National Eye Institute / Industry Workshop pada tahun 1995

dry eye syndrome diklasifikasikan menjadi dua yaitu Aqueous Deficient Dry Eye

(ADDE) dan Evaporative Dry Eye (EDE). Pada ADDE terjadi gangguan fungsi

lakrimal sehingga mengakibatkan suatu pengurangan arus dan volume cairan mata.

Pada kondisi ini air mata memiliki komposisi tertentu sehingga menyebabkan

terjadi penguapan dengan cepat. Pada pasien dry eye syndrome hanya ditemukan

10% yang mengalami ADDE, 35% mengalami EDE sedangkan sisanya adalah

campuran atau termasuk golongan yang tidak dikenali.59

Tabel 6. Grading Dry Eyes

Tabel 7. Grading Dry Eyes

Berdasarkan International Dry eye Workshop yang dilaksanakan pada tahun

2007, dry eye syndrome dibagi menjadi tiga berdasarkan gejalanya yaitu ringan

(mild), sedang (moderate) dan berat (severe) (Lemp et al., 2007). Pada kasus ringan

(mild), gejala yang muncul adalah scratchiness, terbakar, atau menyengat, dan

pengaburan ringan ketika lapisan air mata terganggu. Pada kasus sedang (moderate)

ditandai dengan ketidak nyamanan mata, dan ketajaman mata secara visual

terganggu. Sedangkan pada kasus berat (severe) keadaan mata kering semakin

parah, lapisan air mata cepat terputus, lapisan air mata mengalami debris, kelopak

mata terlihat lebih meniskus, meningkatnya mukosa dalam air mata, pewarnaan

kornea dan konjungtiva, filament mengalami keratitis dan kehilangan corneal

cluster.60

2.2.5 Diagnosis

2.2.5.1 Pemeriksaan Subjektif

Kuesioner seperti Ocular Surface Disease Index merupakan kuesioner yang

paling sering digunakan sebagai alat untuk menilai dry eye. Telah digunakan pada

beberapa penelitian yang berhubungan dengan kondisi kondisi tertentu ataupun


14
digunakan untuk menilai efektivitas pengobatan dry eye. Kuesioner ini pertama kali

diperkenalkan tahun 1997 oleh the Outcome Reaserch Group (Allegran

Inc.,Irvine,CA). Terdiri dari 12 bagian yang menilai gejala , batas fungsi, dan faktor

lingkungan yang berhubungan dengan dry eye


BAB III
KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Katarak atau kekeruhan dari lensa kristalina termasuk age related cataract

yang juga merupakan salah satu penyebab kebutaan di atas umur 40 tahun

merupakan kondisi umum yang tidak dapat di cegah. Diperkirakan hampir sekitar

18 juta orang di dunia menderita buta akibat katarak bilateral, namun intervensi

operasi katarak merupakan kondisi yang paling cost –effective dan memberikan

perbaikan visus yang cukup cepat.84

Pada operasi katarak umumnya menyebabkan terpotongnya saraf sensorik

kornea dengan konsekuensi dapat menurunnya sensitifitas kornea sehingga

berpotensi mengganggu mekanisme umpan balik sensorik yakni cabang dari nervus

trigeminal pada permukaan kornea yang berperan mengirimkan impuls ke sistem

saraf pusat yang kemudian sinyal efferent ke glandula lakrimal, proses normal ini

dibutuhkan untuk kestabilan lapisan air mata dan produksi basal air mata.56

Penurunan sensitifitas kornea dapat menyebabkan dry eye. Walaupun adanya

beberapa jahitan bila diperlukan,pemakaian antibiotik dan steroid topikal pasca

operasi serta durasi operasi juga berkontribusi mengakibatkan dry eye sehingga

memberikan hasil operasi yang mengecewakan.53

Dry eye syndrome ditandai dengan gejala berkurangnya cairan air mata,

gangguan pada permukaan mata, dan gejala tidak nyaman pada mata. Faktor

resiko penyakit mata kering adalah umur, defisiensi androgen, terapi estrogen

54
pada wanita posmenopause, pengguna antihistamin sistemik, bedah refraktif,

terapi radiasi, defisiensi vitamin A, infeksi hepatitis C, dan transplantasi stem sel

hematopoietic.85

Mekanisme terjadinya dry eye syndrome diakibatkan oleh adanya

hiperosmolar dan ketidak stabilan air mata. Hiperosmolar menyebabkan

kerusakan pada permukaan sel epitel. Kerusakan epitel melibatkan kematian

secara apoptosis, hilangnya sel goblet, dan gangguan sel musin, sehingga

menyebabkan ketidak stabilan air mata. Ketidak stabilan ini memperburuk

permukaan mata dan mempengaruhi penglihatan. Selain itu adanya kerusakan

pada sel epitel merangsang saraf kornea untuk memberikan gejala

ketidaknyamaan dan meningkatkan jumlah kedipan. Gangguan sel musin pada

permukaan mata menyebabkan gejala meningkatnya gesekan antara permukaan

dan kelopak mata.86

Terdapat beberapa tindakan terapi yang dilakukan. Salah satunya adalah

pemberian artificial tears (air mata buatan) sebagai pengganti air mata. Namun

penggunaan artificial tears juga perlu diperhatikan oleh karena artificial tears

dengan kandungan pengawet thimerosal dapat menyebabkan reaksi

hipersensitifitas, benzalkonium klorida mengganggu fungsi sel epitel kornea dan

perubahan epitel musin sehingga mempengaruhi penglihatan, klorobutanol dapat

menyebabkan perubahan sel epitel kornea dan mempengaruhi perubahan

penguapan cairan mata, EDTA dapat menyebabkan alergi dan keratitis pada kornea

dan epitel konjungtival.60

Untuk mengetahui perbedaan keadaan mata pasien dry eye syndrome


56
sebelum dan setelah pemberian artificial tears digunakan parameter pemeriksaan

TBUT dan schirmer’s test.


17
3.2 Skema Kerangka Konsep
Komplikasi Operasi Katarak
• Edema Kornea
• Perdarahan
• Glaucoma sekunder
• Uveitis kronik
• Edema macula kistoid
• Ablasio retina
• Endoftalmitis
• Toxic anterior segmen syndrome
• Posterior capsule opacification
• Single induced astigmatism
• Dislokasi LIO
• Dry eye

Dry Eye Syndrome

Terjadi kerusakan permukaan mata



• Pewarnaan kornea dan konjungtiva

Terbentuknya jaringan parut pada konjungtiva

• Infeksi padapermukaan mata


• Inflamasi pada permukaan mata
• Keratitis pada filament

Tindakan terapi

Perawatan pembedahan
topikal sistemik

Terapi air mata buatan (artificial tears)

Gambar 12. Kerangka Konsep

3.3 Hipotesis
1. Didapatkan perbedaan stabilitas air mata pada pasien yang diberikan air mata
buatan sodium hyaluronat 0,1% dengan pasien yang diberikan air mata
buatan yang mengandung elektrolit.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah Diagnosis Medis Ilmu Kesehatan Mata.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Waktu penelitian berlangsung pada 2021-2022. Penelitian dilaksakan pada RSUP

Sanglah Denpasar.

4.3 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis desain paralel tanpa matching

tersamar ganda. Pengambilan data dilakukan secara langsung pada pasien pasca

operasi katarak dengan metode SICS

4.4 Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah pasien yang telah menjalani Tindakan

SICS di RSUP Sanglah Denpasar.

4.4.1 Kriteria Inklusi

Sampel diambil dengan kriteria inklusi sebagai berikut:

- Pasien berusia 30-65 tahun


19
- Pasien telah menjalani tindakan SICS dengan anastesi topikal

58
4.4.2 Kriteria Eksklusi

- pasien dengan penyakit mata kering berat sebelumnya (nilai TBUT


<5

dan nilai tes Schirmer I <5)

- pasien dengan penyakit yang mempengaruhi sekresi air mata


(sindroma

Sjögren, sindroma Steven-Johnson, diabetes melitus, penyakit tiroid)

- Pasien dengan Riwayat operasi

- Pasien dengan trauma mata

- Pasien dengan Riwayat alergi sebelumnya

- Pasien dengan Riwayat penggunaan lensa kontak

- Pasien dengan riwayat penggunaan obat yang mempengaruhi sekresi

dan stabilitas air mata (antiglaukoma, antihistamin, antidepresan, air

mata buatan)

- Pasien dengan penyakit mata lainnya (glaukoma, uveitis, kelainan

kelopak mata dan jalur nasolakrimal, pterigium, blefaritis)

- Pasien dengan Riwayat merokok dan mengkonsumsi alcohol

- Pasien dengan total waktu operasi > 20 menit

- Pasien dengan komplikasi pasca bedah pada mata yang diteliti

- Pasien yang tidak kooperatif

4.4.3 Cara Sampling

Sampel dipilih berdasarkan urutan kedatangan (consecutive admission) kemudian

dibagi menjadi 2 kelompok secara blok permutasi acak, yaitu kelompok yang
diberikan air mata buatan sodium hyaluronat 0,1% dan kelompok yang diberikan

air mata buatan yang mengandung elektrolit.

4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Variabel Bebas o Air mata buatan yang

mengandung sodium hyaluronat 0,1% o Air mata

buatan yang mengandung Elektrolit

4.5.2 Variabel Terikat

Stabilitas air mata pasien pasca bedah katarak

4.6 Definisi Operasional


No Variabel Unit Scale

1. Artificial Tears ml Nominal

Artificial tears berfungsi untuk


mengurangi gejala umum mata
kering. Artificial tears yang
digunakan dalam penelitian ini
ialah yang mengandung sodium
hyaluronat 0,1% dan yang
mengandung elektrolit

2. Stabilitas air mata - Nominal

Stabilitas air mata dapat

ditentukan dengan dilakukan tes

Schirmer’s dan tes TBUT

Tabel 10. Definisi Operasional


21

4.7 Cara Pengumpulan Data

4.7.1 Bahan

1) Tes Schirmer’s: Schirmer’s Strip

2) Tes TBUT: Fluorescein

4.7.2 Alat

1) sinar cobalt blue

2) timer

3) penggaris

4.7.3 Cara Kerja

4.7.3.1 Tes Schirmer I

o meletakan strip Schirmer pada sepertiga lateral palpebral inferior o

Pasien diminta untuk melihat kedepan dan berkedip secara normal

selama strip dipertahankan selama 5 menit. o Jumlah strip yang dibasahi

oleh air mata diukur dalam milimeter. Bila hasilnya kurang dari 10 mm,

adanya kecenderungan adanya defisiensi lapisan akuos dari air mata.

4.7.3.2 Tes TBUT

o Meneteskan fluoresen pada mata


22

o Amati menggunakan filter cobalt blue pada slit lamp o Batas

normal TBUT 20-30 detik, nilai < 10 detik menunjukkan adanya

kelainan stabilitas air mata

4.8 Alur Penelitian

1) Pasien telah dilakukan Tindakan SICS

2) Pasca bedah seluruh pasien diberikan terapi obat tetes kombinasi tetap

antibiotic dan steroid tanpa pengawet sebanyak enam kali dalam satu

hari selama satu minggu dan dosis tapering off pada minggu

selanjutnya serta diberikan terapi tambahan tetes air mata buatan tanpa

pengawet sesuai dengan kelompoknya sebanyak empat kali dalam satu

hari selama empat minggu pascabedah, tanpa mengetahui obat apa yang

akan diberikan (blinding).

3) Pasien yang termasuk ke dalam kriteria inklusi dan bersedia untuk

berpartisipasi dalam penelitian dievaluasi oleh seorang dokter spesialis

mata untuk menyingkirkan adanya penyakit mata lainnya.

4) Pada kedatangan kontrol satu hari pascabedah, pasien dilakukan

pemeriksaan biomikroskop lampu celah untuk menulau keadaan

segmen anteruir mata, kemudian dilakukan pemeriksaan variable

terikat tahap pertama, yaitu tes TBUT dan tes Schirmer I oleh dokter

spesialis mata.

5) Pemeriksaan TBUT dan Schirmer I tahap kedua dilakukan pada kontrol

4 minggu pascabedah
23

6) Untuk memastikan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, akan

dilakukan konfirmasi melalui telepon setiap minggunya dan

pengecekan sisa kemasan obat yang dimiliki pasien.

7) Pengaruh air mata buatan yang lebih baik dinilai dengan melihat

persentase kenaikan nilai TBUT dan nilai tes Schirmer I pada minggu

ke-4 dibandingkan dengan hari ke-1 pascabedah antar kedua kelompok.

Gambar 13. Alur Penelitian 4.9


Analisis Data
24

Data di analisa dengan langkah-langkah :

a. Pengolahan data yang dikumpulkan

b. Data cleaning, pengecekan data untuk mengetahui kesalahan dalam

pengambilan data

c. Tabulasi data, ditampilkan dalam tabel

d. Analisis data

Uji statistik yang digunakan adalah uji t tidak berpasangan untuk membandingkan

dua rata-rata perbedaan (antar kelompok); atau uji MannWhitney jika data tidak

berdistribusi normal. Kemaknaan hasil uji ditentukan berdasarkan nilai p <0,05.

Semua perhitungan akan menggunakan program SPSS for Windows versi 15.0.

4.10 Etika Penelitian

Seluruh pengumpulan data dan penelitian akan di selesaikan di bawah ijin

Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai