Anda di halaman 1dari 9

ETIKA DALAM MENGUTIP SUMBER-SUMBER PESAN DAKWAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Materi Dakwah”

Dosen pengampu :
Azmi Mustaqim, M.A.

Disusun oleh :
PAI.D
Ali Mahmud 210317128
Lujeng Lutkuriyah 210317
Nurul Fitri 210317135

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari tanda-tanda komunikasi yang efektif tersebut, maka dapat dilihat perlunya
etika dalam sebuah komunikasi untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam
berkomunikasi antara komunikator dengan komunikan. Etika menjadi dasar
pijakan berkomunikasi antara individu dan kelompok. Etika memberikan
landasan moral dalam membangun tata susila terhadap

semua sikap dan perilaku individu atau

kelompok dalam komunikasi. Dengan

demikian, tanpa etika komunikasi itu

dinilai tidak etis


Berdaasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika komunkasi adalah
tata cara berkomunikasi yang sesuai dengan standar nilai moral atau akhlak
dalam menilai benar salah perilaku individu atau kelompok, kalau dihubungkan
dengan Islam, maka etika tersebut tentunya haruslah berdasarkan petunjuk
yang diisyaratkan oleh Alquran dan as Sunnah yang menjadi pedoman hidup
bagi agama Islam. Jadi dengan etika itu, maka secara tidak langsung
menunjukkan perlunya belajar dalam berkomunikasi dan berdakwah, agar
komunikasi dan dakwahnya lancar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang Dimaksud dengan Pesan Dakwah?
2. Bagaimana Etika dalam Mengutip Sumber-Sumber Pesan Dakwah?
C. Tujuan

Untuk Mengetahui Maksud Pesan Dakwah?

Untuk Mengetahui Etika dalam Mengutip Sumber-Sumber Pesan Dakwah?


BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Pesan Dakwah


Pesan (maddah/ message) adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh da’i kepada mad’u.
Pesan tersebut terdiri dari materi ajaran-ajaran Islam yang ada di dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya serta pesan-pesan lain yang berisi ajaran Islam. 1 Sumber pesan-pesan
dakwah adalah al-Qur’an dan al-Hadis serta ijtihad dan fatwa ulama. Demikian juga tentang
realitas kehidupan yang terjadi di masyarakat dapat dijadikan sebagai ‘ibrah atau materi
1
H. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), 140.
pelajaran bagi mad’u. Al-Qur’an dan al-Hadis menjadi sumber utama pesan dakwah,
sedangkan selainnya menjadi sumber penjelas/penguat terhadap al- Qur’an dan al- Hadis.
Pesan-pesan yang bertentangan dengan kedua sumber utama tidak dapat dikatakan pesan
dakwah. Pesan-pesan tersebut dapat berupa kata-kata, simbol-simbol, lambang, gambar dan
sebagainya yang diharapkan dapat memberikan pemahaman dan perubahan perilaku kalangan
mad’u.2
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an dan sunnah berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia dalam hal
keyakinan, peribadatan, mu’amalah serta dalam akhlak mulia. Al-Qur’an juga
mengandung ajaran kitab-kitab terdahulu serta menyempurnakan isi kandungannya
dan sekaligus menjadi pembeda (al-furqan) antara yang haqdan yang bathil.
Mempelajari al-Qur’an dimulai dari membaca, menulis, menterjemah serta
menafsirkan ayat-ayatnya sehingga dapat dipahami dan diamalkan. Untuk itu
dibutuhkan beberapa ilmu bantu seperti ilmu qiro’ah, bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu
hadis, usul fikih dan sebagainya.3 Beberapa etika mengutip sumber pesan dakwah dari
Al- Qu’an adalah:
1. Penulisan atau pengucapan ayat Al-Qur‟an harus benar. Kekurangan satu
huruf saja atau kesalahan tanda baca (syakl) dapat mengubah makna ayat Al-
Qur‟an. Begitu pula, pengucapan yang tidak sesuai dengan pedoman
pengucapannya (tajwid) akan dapat merusak maknanya. Dari sini pendakwah
wajib belajar Ilmu Tajwid.
2. Penulisan atau pengucapan ayat Al-Qur‟an sebaiknya disertai terjemahannya.
Hal ini dimaksudkan agar mitra dakwah dapat memahami arti ayat Al-Qur‟an.
Tidak semua orang mengerti bahasa Arab apalagi bahasa Al-Qur‟an. Bagi
pendakwah yang mampu menerjemahkannya sendiri dengan baik, ia lebih
baik menggunakan terjemahannya. Jika ia tidak mampu, maka ia harus
memilih terjemahan dari sumber yang terpercaya serta menulis atau
mengatakan sumber tersebut. Jika memungkinkan, secara baiknya pendakwah
menulis atau mengucapkan ayat Al-Qur‟an sesuai teks aslinya, tidak
menuliskan terjemahannya saja.
3. Sebaiknya ayat Al-Qur‟an ditulis pada lembaran yang tidak mudah diletakkan
pada tempat yang kotor atau mudah terinjak. Begitu pula, pengucapan ayat Al-

2
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Amzah Jakarta 2009), 88.
3
An Nawawi, At Tibyan Fi Adab Hamalah Al-Qur’an, (Damaskus: Darr Al Bayan, 1965), 123.
Qur‟an sebaiknya dilakukan dalam keadaan berwudhu (suci dari hadas). Ayat Al-
Qur‟an adalah suci dan mulia. Dengan cara tersebut, kita tidak bisa
memuliakannya.4
b. Hadis Nabi saw.
Al-Qur’an memuat secara gelobal seluruh ajaran Islam. Rasulullah saw. menafsirkan
dan menjelaskan al-Qur’an dengan berbagai hadis beliau, sehingga al- Qur’an
menjadi pesan yang jelas bagi kalangan mad’u. Dari segi kualitasnya hadis nabi saw.
terdiri dari hadis shahih, hadis hasan dan hadis dla’if. Kitab hadis terkenal yaitu kitab
yang ditulis oleh enam perawi hadis, yaitu Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i, Turmizi
dan Ibnu Majah. Da’i hendaknya mengenal kualitas hadis yang disampaikannya serta
memprioritaskan hadis shahih dari hadis hasan.5 Dalam mengutip hadis Nabi SAW,
ada beberapa etika yang harus diperhatikan oleh para pendakwah.

1. Penulisan atau pengucapan hadis harus benar. Kesalahannya dapat


menimbulkan perubahan makna. Namun kesalahan ini tidak lebih berat
disbanding dengan kesalahan penulisan atau pengucapan ayat Al-Qur‟an.
Untuk mengucapkan redaksi (matan) hadis, aturan ilmu tajwid tidak seketat
seperti pembacaan Al-Qur‟an.

2. Penulisan atau pengucapan matan hadis sebaiknya disertai terjemahannya,


agar pengertiannya dapat dipahami oleh mitra dakwah. Dalam terjemah harus
dapat membedakan antara matan hadis dan cerita perawinya. Bentuk kalimat
langsung lebih sering terungkap dalam matan hadis. Dengan terjemah yang
benar, mitra dakwah dapat merasakan kehadiran Nabi SAW. Serta
membayangkan peristiwa yang ada di sekitar Nabi SAW. Jika hadis tidak
disebut dan hanya terjemahan saja, maka hal itu tidak menjadi persoalan.
Tidak sedikit hadis yang diriwayatkan maknanya sja, sementara matan
merupakan redaksi perawi.6
c. Pendapat Para Sahabat
Sahabat yang pernah bertemu dengan rasul disebut sahabat nabi saw. Pendapat
sahabat memiliki nilai yang tinggi karena mereka pernah belajar langsung kepada
rasul saw. mereka ikut berdakwah dan berjihad di jalan Allah. Hadis-hadis nabi pada

4
Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group), 320.
5
Ibid.,323.
6
Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group), 321.
umumnya diriwayatkan oleh para sahabat senior. Namun demikian, dalam mengutip
pendapat sahabat harus memperhatikan etika berikut:
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
2. Menyebutkan nama sahabat yang dikutip.
3. Menyebut sumber rujukan.
4. Membaca do’a dengan kata radliyallahu ‘anhu/ ‘anha atau menuslisnya
dengan singkatan r.a. di belakang nama sahabat tersebut.7
d. Pendapat Ulama
Pendapat ulama dijadikan pesan adalah untuk mendukung dan merinci kandungan al-
Qur’an dan al-Hadis. Begitu juga dalam masalah yang belum ditetapkan oleh kedua
sumber utama, maka ulama berijtihad untuk menjawab masalah tersebut. Etika
mengambil pendapat ulama sebagai pesan dakwah hendaknya memperhatikan hal-hal
berikut:
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
2. Menyebut nama ulama yang dikutip.
3. Mengetahui argumentasinya agar terhindar dari taqlid.
4. Memilih pendapat yang tertulis dari pada yang melalui lisan.
5. Memilih pendapat yang paling kuat dasarnya dan paling besar manfaatnya bagi
masyarakat.
6. Menghargai setiap pendapat ulama walaupun tidak semua diikuti.Mengenal jati diri
ulama walaupun tidak sempurna sebelum mengutip pendapatnya.8

e. Kisah –Kisah Teladan


Dalam ajaran Islam terdapat beberapa kisah yang dapat dijadikan sebagai pesan dakwah.
Di antara kisah yang paling baik adalah kisah para nabi dan rasul. Sealain itu dalam al-
Qur’an terdapat beberapa kisah yang dijadikan ‘ibrah bagi kaum muslimin seperti kisah
Luqmanul Hakim, Ashabul Kahfi dan sebagainya. Demikian juga kisah penentang Islam
seperti Fir’aun, Namrudz, kisah Karun dan sebagainya. Kisah dijadikan pesan sebagai
media memudahkan pengertian mad’u dalam memahami materi dakwah. Kisah-kisah
lokal yang aktual juga dapat dijadikan sebagai pesan dakwah sehingga mad’u merasa
dekat dengan situasi kejadian, seperti kisah Wali Songo dan sebagainya.
f. Berita dan Peristiwa

7
Ibid., 323.
8
M. Quraish-Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 6.
Berita aktual dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat dapat diperoleh
melalui media-media sosial. Berita tentang peristiwa-peristiwa dalam berbagai aspek
kehidupan, baik menyangkut kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara dapat
menjadi pesan dakwah yang bertujuan untuk memperluas wawasan kalangan mad’u
dalam mencerna pesan. Berita yang dapat disampaikan adalah berita benar dan memberi
manfaat. Al-Qur’an mengistilahkan berita dengan an-Naba’, yakni berita yang penting,
terjadinya sudah pasti dan membawa manfaat yang basar. Berbeda dengan kata alkhabar
yang berarti berita sepele dan sedikit manfa’atnya. 9 Dalam menjadikan berita sebagai
penunjang pesan dakwah, terdapat beberapa etika yang harus diperhatikan:
1. Melakukan pengecekan berkali-kali sampai diyakini kebenaran berita tersebut.
2. Dampak dari suatu berita juga harus dikaji.
3. Sifat berita adalah datar, hanya hanya memberitahukan karenanya, sebagai pesan
dakwah, berita harus diberi komentar.
4. Berita yang disajikan harus mengandung hikmah.10
g. Karya Sastra
Dakwah yang disampaikan dalam bentuk pidato perlu didukung dengan karya sastra yang
bermutu sehingga lebih kalimat yang disampaikan lebih indah dan menarik. Karya sastra
dapat berbentuk sya’ir, pantun, puisi, qasyidah atau nasyid. Karya sastra memuat nilai
keindahan dan kebenaran. Keindahannya dapat menyentuh perasaan, sementara
kebijakannya menyentuh hati dan pikiran. Pesan dakwah yang disampaikan dengan sastra
yang dilantunkan serta penuh hikmah akan lebih mudah diterima mad’u dan lebih
berkesan dalam kalbunya.11 Karya sastra yang dijadikan pesan dakwah harus berlandaskan
etika sebagai berikut:
1. Isinya mengandung hikmah yang mengajak kepada Islam atau mendorong
berbuat kebaikan.
2. Dibentuk dengan kalimat yang indah.
3. Ketika pendakwah mengungkapkan sebuah sastra secara lisan, kedalaman
perasaan harus menyertainya, agar sisi keindahannya dapat dirasakan.12

9
Ibid., 6.
10
Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group), 328.

11
Imam Muslim Bin Al Hajjaj, Shohih Muslim, (Beirut: Darul Fikri 1988), 27-28.
12
Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group), 329.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Pesan (maddah/ message) adalah segala sesuatu yang disampaikan oleh da’i kepada mad’u.
Pesan tersebut terdiri dari materi ajaran-ajaran Islam yang ada di dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya serta pesan-pesan lain yang berisi ajaran Islam.
Etika mengutip Al-Quran
Penulisan atau pengucapan ayat Al-Qur‟an harus benar; Penulisan atau pengucapan ayat Al-
Qur‟an sebaiknya disertai terjemahannya; Sebaiknya ayat Al-Qur‟an ditulis pada lembaran
yang tidak mudah diletakkan pada tempat yang kotor atau mudah terinjak. Begitu pula,
pengucapan ayat Al-Qur‟an sebaiknya dilakukan dalam keadaan berwudhu (suci dari hadas).
Etika Mengutip Hadis;
Penulisan atau pengucapan hadis harus benar; Penulisan atau pengucapan matan hadis
sebaiknya disertai terjemahannya, agar pengertiannya dapat dipahami oleh mitra dakwah.
Etika Mengutip Pendapat Sahabat;
Tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Menyebutkan nama sahabat yang dikutip.
Menyebut sumber rujukan.
Membaca do’a dengan kata radliyallahu ‘anhu/ ‘anha atau menuslisnya dengan singkatan r.a.
di belakang nama sahabat tersebut
Etika Mengutip Pendapat Ulama;
Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
Menyebut nama ulama yang dikutip.
Mengetahui argumentasinya agar terhindar dari taqlid.
Memilih pendapat yang tertulis dari pada yang melalui lisan.
Memilih pendapat yang paling kuat dasarnya dan paling besar manfaatnya bagi masyarakat.
Menghargai setiap pendapat ulama walaupun tidak semua diikuti.Mengenal jati diri ulama
walaupun tidak sempurna sebelum mengutip pendapatnya.

Melakukan pengecekan berkali-kali sampai diyakini kebenaran berita tersebut.

Dampak dari suatu berita juga harus dikaji.


Sifat berita adalah datar, hanya memberitahukan karenanya, sebagai pesan dakwah, berita harus
diberi komentar.
Berita yang disajikan harus mengandung hikmah.

Isinya mengandung hikmah yang mengajak kepada Islam atau mendorong berbuat
kebaikan.

Dibentuk dengan kalimat yang indah.

Ketika pendakwah mengungkapkan sebuah sastra secara lisan, kedalaman perasaan


harus menyertainya, agar sisi keindahannya dapat dirasakan.

DAFTAR PUSTAKA

Amin,Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah. Amzah: Jakarta .


Anshari, H. Hafi. 1993. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya: Al-Ikhlas.
An Nawawi. 1965. At Tibyan Fi Adab Hamalah Al-Qur’an. Damaskus: Darr Al Bayan.
Aziz, Mohammad AlI. Tanpa tahun. Ilmu Dakwah. Jakarta: PT Kencana Prenada Media
Group.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Muslim Bin Al Hajjaj, Imam. 1988. Shohih Muslim. Beirut: Darul Fikri.

Anda mungkin juga menyukai