Anda di halaman 1dari 27

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua. Tak lupa salawat serta salam kepada junjungan besar
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan Kasus ”Anestesia Spinal pada Apendiksitis Akut” dalam rangka mengikuti
kepanitraan Klinik di bagian/SMF Anestesi RSUD Sekarwangi Cibadak

Pada kesempatan ini, penyusun ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:

1. dr. Edwin Haposan Martua, Sp.An.,M.Kes.AIFO selaku dokter pembimbing serta


Dokter Spesialis Ilmu Anestesi RSUD Sekarwangi Cibadak

2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penyusun

Akhirnya penyusun menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan
tambahan pengetahuan khususnya kepada penyusun dan kepada pembaca. Terimakasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Sekarwangi, Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................. 3

BAB I ........................................................................................................................ 4

PENDAHULUAN..................................................................................................... 4

BAB II ....................................................................................................................... 5

LAPORAN KASUS .................................................................................................. 5

2.1 Identitas Pasien .............................................................................................. 5


2.2 Anamnesis ..................................................................................................... 5
2.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................... 6
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 8
2.5 Diagnosis ....................................................................................................... 9
2.6 Pre-Operatif ................................................................................................... 9
2.7 Rencana Anestesi ........................................................................................ 10
2.8 Status Anestesi ............................................................................................ 10
2.9 Pelaksanaan Anestesi .................................................................................. 11
2.10 Post Operatif ................................................................................................ 13
2.11 Instruksi Pasca Operasi ............................................................................... 13
BAB III .................................................................................................................... 15

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 15

Anestesi ............................................................................................................... 15

Anatomi ............................................................................................................... 16

Persiapan analgesia spinal ................................................................................... 18

Peralatan analgesia spinal .................................................................................... 18

Teknik Analgesia Spinal ..................................................................................... 19

Anestesi lokal untuk anestesi spinal .................................................................... 20

Anastetik lokal yang sering digunakan ............................................................... 20


Komplikasi Tindakan .......................................................................................... 21

Komplikasi Pasca Tindakan ................................................................................ 23

Daftar pustaka ......................................................................................................... 25


BAB I
PENDAHULUAN

Filsuf Yunani Dioscorides, pertama kali menggunakan kata anestesi pada abad 1 Masehi,
untuk menggambarkan efek seperti narkotika pada tanaman Mandragora. Istilah ini kemudian
dalam Bailey’s An Universal Etymological English Dictionary (1721) didefinisikan sebagai
kehilangan sensasi, dan juga dalam Encyclopedia Britania, didefinisikan sebagai kekurangan
sensasi.1

Anestesi regional adalah penggunaan anestesi yang mengurangi sensasi di bagian tubuh
tertentu. Dengan mematikan rasa di area operatif, anestesi regional memungkinkan pasien
menjalankan operasi atau prosedur lainnya dalam keadaan sadar. 3

Anestesi regional membuat pasien tetap sadar, oleh karenanya manajemen jalan napas dan
ventilasi tidak diperlukan. Teknik ini juga memiliki lebih sedikit efek samping sistemik; karena
lebih aman digunakan pada pasien dengan komorbiditas. (Keat dkk., 2013)
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. M
Nomor RM : 642XXX
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Cibadak
Ruangan : CND
Tanggal Operasi : 30 Juli 021

2.2 Anamnesis

Keluhan utama

Pasien merasakan Mulas dari sejak pukul 01.00.


Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke RSUD sekarwangi dengan keluhan mulas sejak 4 jam SMRS. Mulas
hilang timbul dan tidak teratur. Saat ini pasien mengatakan bahwa ini adalah kehamilan
yang ke-4. Keluar air dan darah dari jala lahir disangkal. Gigi goyang dan pemakaian gigi
palsu disangkal.
Riwayat Operasi

Pasien pernah menjalani operasi sectio caesarea pada tahun 2016


Riwayat penyakit dahulu

Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes melitus disangkal, riwayat penyakit


kardiovaskular disangkal, riwayat penyakit pernapasan disangkal, riwayat asma
disangkal, riwayat alergi obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal adanya penyakit yang serupa pada keluarga pasien, hipertensi
disangkal, diabetes melitus disangkal
Riwayat Pengobatan

Riwayat pengobatan disangkal.


Riwayat Alergi

Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan, maupun


terhadap cuaca atau suhu tertentu.
Riwayat Psikososial

Pola makan pasien teratur, pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman
beralkohol.

Riwayat persalinan

No. Tanggal Tempat Umur Jenis Penolong Penyulit Keterangan


Persalinan partus kehamilan persalinan
1 2012 Rumahsakit - - - - abortus

2 2014 Rumah - - - - abortus


sakit
3 2016 Rumah 38 minggu SC letak dokter Lahir hidup
sakit sungsang Jenis
kelamin:
perempuan

2.1 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
BB / TB : 63 kg / 150 cm
IMT : 28.0 kg/m2 (overweight)

Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Pernafasan : 20 x / menit
Denyut nadi : 80 x / menit
Suhu : 36,7 oC
SpO2 : 98%
Status Obstetri dan Ginekologi
Pemeriksaan Luar
Inspeksi
 Abdomen : cembung (+), linea nigra (-), striae gravidarum (+), bekas operasi
(+).
 Genitalia : Sekret (+)
 Palpasi : TFU : 32 cm
 Auskultasi : DJJ 137 x/m

Pemeriksaan Dalam

 Uretra : Infeksi (-)


 Vulva : Pembengkakan kelenjar bartolin (-)
 Vagina : Tidak ada benjolan
 Portio : Tebal (4 cm)
 Pembukaan : 3 cm
 Bagian terendah : Kepala

Status Generalis

Kepala : Normocephal, rambut tidak mudah rontok, alopesia (-)


Mata :Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3 mm/3mm),
refleks cahaya langsung (+/+)
Hidung : Deviasi septum (-/-), sekret (-/-),
Telinga : Normotia, nyeri tekan (-/-),serumen (-/-), secret (-/-)
Mulut : Mukosa bibir lembab, mukosa buccal basah, mallampati score 1, Gigi
goyang (-) , gigi palsu (-), gigi ompong (-)
Leher : Pembesaran KG (-/-), abses (-), trakea teraba di
tengahTenggorokan : Faring hiperemis (+/+), Tonsil T1/T1

Thoraks
Inspeksi : Normochest, simetris dextra-sinistra, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus teraba sama dikedua lapang paru. Iktus cordis
teraba di ICS IVmidclavikula sinistra..
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Paru : Vesikular +/+, wheezing -/-, ronki -/-
Jantung : BJ I dan BJ II reguler. Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung (+) linea nigra (+) striae gravidarum (+) bekas
operasi (+) Auskultasi : Bising usus (+) 10x/menit
Perkusi : Timpani di seluruh
abdomenPalpasi : Supel, Nyeri tekan
(-)
Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+), edema (-/-/-/-) sianosis(-/-/-/-) CRT ≤ 2 detik

(+/+/+/+)Punggung : Tidak terdapat kelainan tulang belakang.


2.2 Diagnosis

Diagnosis Kerja : G4P1A2, 37 minggu dengan Pre-eklamsia


Penggolongan status fisik pasien menurut ASA : ASA II
Rencana Tindakan : Sectio Caesarea
Rencana Anestesi : Anestesi regional dengan teknik spinal

Resume : Pasien perempuan, 33 th, BB 63 kg, dengan keluhan Pasien merasakan


Mules dari sejak pukul 01.00 WIB dengan diagnosis G4P1A2, 37 minggu denga
pre-eklamsia, tindakan yang akan dilakukan adalah Sectio Caesarea. Pasien
dengan status ASA II. Rencana anestesi regional dengan teknik Spinal atau Sub
Arachnoid Blok (SAB) pada L3-L4.

2.3 Pre-Operatif

Ruang Persiapan Operasi


1. Identifikasi pasien
2. Memakai pakaian operasi yang sudah disediakan
3. Anamnesa
singkat Ruang
Operasi
1. Posisikan pasien di meja operasi
2. Pemasangan infus, manset, pulse oxymeter, dan nasal kanul
3. Pemeriksaan tanda vital pre operatif
4. Pemberian pre medikasi ondansentron 4
mgPersiapan alat dan bahan induksi
1. Sarung tangan steril
2. Spuit 3 cc dan 5 cc
3. Jarum spinocan No. 27G
4. Kasa steril
5. Betadine
6. Bupivacain HCL Monohydrate 0,5% 5 mg/mL
7. Cairan Ringer Laktat 500 mL
8. Menyiapkan obat resusitasi : atropin 0,25 mg, ephedrine 50 mg/mL, dan
adrenalin

2.4 Rencana Anestesi

 Anestesi regional dengan teknik anestesi spinal


 Riwayat konsul antar departemen :
o Ahli obsgyn : tidak ada kontraindikasi dilakukan tindakan.
o Ahli anestesi : acc tindakan. Puasa 6 jam sebelum op.

2.5 Status Anestesi

ASA : II
Hari/Tanggal : 30/07/2021
Ahli Anestesiologi : dr. Edwin Haposan Martua, Sp.An.,M.Kes.AIFO
Ahli Bedah : dr. Nila, Sp.OG
Diagnosa Pra Bedah : G4P1A2, Hamil 37 minggu dengan Pre-eklamsia
Makan : 6 jam yang lalu
terakhirTTV : TD = 110/80 mmHg HR =
80x/menit RR = 20x/menit Suhu = 36.7°C
SpO2 : 98 %

Jenis Anestesi : Spinal Anestesi (blok subaraknoid)


Anestesi Dengan : Bupivacain HCL Monohydrate 0,5% 5 mg/mL
Teknik Anestesi : Pasien duduk di meja operasi dan kepala menunduk, dilakukan
aseptik di sekitar daerah tusukan yaitu di regio vertebra
lumbal 3-4, dilakukan blok subaraknoid (injeksi Bupivacain
0,5% 10 mg dengan jarum spinal 27G pada median regio
vertebra antara lumbal 3-4, Cairan serebro spinal keluar
(+) jernih tidak berdarah, 1 x puncture dilakukan blok.
10
Pernafasan : Spontan
Posisi : Tidur terlentang
Infus : Tangan kiri, IV line abocath 18 G, cairan RL

500cc

Penyulit pembedahan : -

10
2.6 Pelaksanaan Anestesi

 Melakukan tindakan aseptik dengan menyemprotkan betadin dilokasi


penyuntikan lalu di bersihkan dgn kasa steril
 Menusukan lokasi penyuntikan dgn spinocan No.27 G memastikan CSF
keluar (saat penyuntikan tidak ada darah) memasukan obat anestesi
dari spuit yang berisikan obat anestesi setelah obat masuk, pasien
langsungdipersilahkan berbaring lagi
 Menilai blokade anestesi dengan meminta pasien mengangkat kedua kaki
dan menguji sensasi nyeri.
 Pre medikasi : ondansentron 4 mg
 Jenis Pembedahan : Sectio Caesarea
 Teknik Anestesi :
 Jenis Anestesi : Spinal Anestesi (blok subarakhnoid)
 Lokasi penyuntikan : L3 – L4
 Pendekatan median
 Ukuran jarum : Spinocan No.27G
 LCS : LCS (+), jernih tidak ada darah
 Jumlah puncture : 1x
 Obat anestesi : bupivacaine 0,5% 2 mL (10 mg)
 Lama operasi : 1 jam 12 menit (13.38 – 14.50)
 Infus : Cairan RL 500 mL, IV line aboccath 20 G, tangan kiri
 Monitoring TD, HR, Saturasi O2, obat-obatan dan cairan yang masuk ke
tubuh pasien setiap 15 menit
 Induksi : 08.50

 Insisi : 09.01
 Keadaan Bayi:
 Lahir jam : 9.08
 PB: 46.5 cm
 BB: 2600 gram
 Jenis Kelamin: Laki-laki
1
 Operasi selesai : 10.08

Tanda Vital Intraoperatif

Wakt TD HR SpO Cairan Obat IV


u 2
(mmHg) x/menit
(%)
8.45 120/80 80 98 RL 500 -

9.00 118/76 75 98 - Oxytocin 20 IU

9.15 100/58 62 97 - Asam traneksamat


10 ml
9.30 126/73 92 98 HES Efedrin 3 cc
6% 500
9.45 120/76 90 98 - -

10.00 120/62 98 99

Monitoring Cairan

 Perhitungan cairan : BB 63 kg
 Perhitungan cairan maintenance
o 10 Kg I : 10 x 4 ml/KgBB/jam= 40 ml/jam
o 10 Kg II : 10 x 2 ml/KgBB/jam= 20 ml/jam
o Sisanya 43 x 1 ml/KgBB/jam = 43 ml/jam
Total = 103 ml/jam

 Cairan stress operasi = derajat operasi × berat badan


o 6 ml/kgbb/jam
o 6 x 63 = 378 ml/jam
 Cairan pengganti puasa
o lama puasa x maintenance

o 6 jam x 103 ml/jam = 618 ml


 Cairan yang diberikan
o Jam I : Maintenance +( ½ x pengganti puasa) + stress operasi
 103 ml + 309 ml + 378 ml = 790 ml/jam
2
 Jam II : Maintenance + (¼ x pengganti puasa) + stress operasi
 103 ml + 154,5 ml + 378 ml = 635,5 ml/ jam
 Jam III : Maintenance + (¼ x pengganti puasa) + stress operasi
 103 ml + 154,5 ml + 378 ml = 635,5 ml/ jam
 Jam IV dan selanjutnya: Maintenance + stress operasi
 103 ml + 378 ml = 481 ml/jam

2.7 Post Operatif

 Masuk ruang pemulihan : 10.20


 Diberikan analgetik dalam drip RL 500 mL berisikan tramadol 200 mg +
ketorolac30 mg
 Monitoring tanda-tanda vital
 Kesadaran : composmentis
 TD : 130/80 mmHg
 HR : 81 x/menit
 RR: 20 x/menit
 SpO2 : 99%

 Bromage Score

2.8 Instruksi Pasca Operasi

 Pemeriksaan tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 2 jam


 Observasi KU dan perdarahan luka operasi
 Berikan infus RL 1500cc/24jam

3
 Bila kesakitan : berikan tramadol 200 mg + ketorolac 30 mg dalam drip
RL 500 mL/20 tpm
 Bila mual & muntah : berikan ondansentron 4 mg
 Th/ lain-lain sesuai terapi TS dr. Nila, Sp.OG
 Pasien boleh minum bertahap Pasien bedrest 24 jam dan head up 30°

4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANESTESI

Filsuf Yunani Dioscorides, pertama kali menggunakan kata anestesi pada abad 1 Masehi,
untuk menggambarkan efek seperti narkotika pada tanaman Mandragora. Istilah ini kemudian
dalam Bailey’s An Universal Etymological English Dictionary (1721) didefinisikan sebagai
kehilangan sensasi, dan juga dalam Encyclopedia Britania, didefinisikan sebagai kekurangan
sensasi.1

Anestesi regional adalah penggunaan anestesi yang mengurangi sensasi di bagian tubuh
tertentu. Dengan mematikan rasa di area operatif, anestesi regional memungkinkan pasien
menjalankan operasi atau prosedur lainnya dalam keadaan sadar. Komplikasi pada sistem
pernapasan yang berhubungan dengan penggunaan anestesi umum, sering kali tidak ditemukan
pada penggunaan anestesi regional, karena tidak membutuhkan ventilasi mekanik. Manfaat lain
dari anestesi regional adalah pasien dapat beralih ke perawatan lanjutan lebih cepat dan lebih
efisien, karena pasien dapat mengatur pernapasannya sendiri. 3

Anestesi regional membuat pasien tetap sadar, oleh karenanya manajemen jalan napas dan
ventilasi tidak diperlukan. Teknik ini juga memiliki lebih sedikit efek samping sistemik; karena
lebih aman digunakan pada pasien dengan komorbiditas. (Keat dkk., 2013)

5
3.2 ANESTESI SPINAL
A. Jarum Anestesi Spinal

Macam-macam Jarum Anestesi


Jarum anestesi spinal tersedia dalam beberapa ukuran, bevel, desain
ujung jarum yang berbeda. Jarum ini harus benar-benar tepat, untuk
menghindari kebocoran ruang subarachnoid. Secara umum, jarum anestesi
spinal terbagi menjadi jarum yang berujung tajam dan jarum berujung tumpul.
Jarum Quincke adalah jarum untuk memotong dengan injeksi diujungnya.
Jarum blunt tip (seperti pensil dengan titik ditengah) mulai diperkenalkan dan
mengurangi insidensi Postdural puncture headache (PDPH). Jarum tumpul
Whitacre mempunyai injeksi di bagian samping. Jarum Sprotte adalah jarum
dengan injeksi dibagian samping, dan mempunyai mulut jarum yang lebih
panjang. Jarum ini mempunyai keunggulan aliran CSF (Cerebrospinal fluid)
yang lebih kuat dibandingkan jarum lain. Namun jarum ini dapat
mengakibatkan kegagalan dalam memblok, jika pembukaan subarachnoid dari
distal (dengan aliran bebas CSF) dan bagian proximal tidak melewati dura dan
dosis anestesinya menjadi tidak sampai. 1

B. Teknik Anestesi Spinal


Secara teknik dari anestesi spinal dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa urutan langkah-langkah: Persiapan, posisi, projeksi, dan puncture
(menusuk).
a. Persiapan

6
Sebelumnya, informed consent harus disetujui terlebih dahulu
oleh pasien. Harus tersedia juga peralatan resusitasi, dan
pemantauan standar diperlukan. Yang paling terpenting adalah
karakteristik dari jarum untuk anestesi spinal, yaitu bentuk dari
ujung jarum dan diameter jarumnya. Menggunakan jarum yang
lebih kecil mengurangi insidensi dari PDPH dari 40% dengan
jarum ukuran 22-G, dan kurang dari 2% dengan jarum 29-G.
Walaupun begitu, angka kegagalan dengan jarum 29-G
meningkat. Jadi, jarum dengan ujung yang tumpul dari ukuran 25-
G. 26-G dan 27-G adalah pilihan yang optimal.5
Teknik dari asepsis, juga sangat penting. Salah satu organisme
penyebab dari post-spinal bacterial meningitis adalah
Streptococcus viridans. Kombinasi dari chlorhexidine dan
alcohol, adalah bahan efektif untuk melakukan asepsis. 5
Pada consensus guideline yang terbaru menyatakan bahwa
blok neuraxial harus dilakukan dengan keadaan pasien yang
5
sadar.
b. Posisi
Ada dua posisi utama yang sering digunakan dalam anestesi
spinal, yaitu lateral decubitus dan posisi duduk. Posis prone
sangat jarang digunakan. Posisi lateral decubitus memudahkan
untuk pemberian obat sedatif jika diperlukan dan posisi ini
mungkin lebih nyaman. Mengidentifikasi midline lebih mudah
dilakukan jika pasien dalam posisi duduk, terutama pada pasien
yang obesitas, scoliosis yang membuat anatomi tubuhnya sulit
untuk terlihat.5
c. Proyeksi dan Puncture (Menusuk)
Saraf tulang belakang berakhir pada L1-L2, jadi insersi jarum
di atas ini, harus dihindari. Intercristal line adalah garis yang
menggambarkan diantara dua krista iliaka. Tempat yang biasanya
dilakukan insersi jarum adalah L3-L4, L2-L3, atau L4-L5. Setelah
tempat untuk insersi telah terpilih, anestesi dilakukan dengan
7
sudut 10-15 derajat pada kulit, jaringan subkutan, dan ligament
supraspinous sampai pada ligament intraspinous. Jarum dengan
bevelnya sejajar dengan garis tengah, maju perlahan sampai ada
perubahan karakteristik dalam resistensi, terlihat ketika jarum
melewati ligamentum flavum dan dura. Stylet kemudian dilepas,
dan pada jarum injeksi terlihat CSF yang mengalir.
Pendekatan paramedian mungkin sangat berguna dalam
kalsifikasi difus ligamen interspinous. Kulit dinaikkan 1 cm
lateral dan 1 cm caudad untuk proses spinosus yang sesuai.
Pengantar tulang belakang dan jarum dimasukkan 10 sampai 15
derajat dari bidang sagital dalam bidang sefalomedial.

Gambar 3.2.1 Lokasi Injeksi Anestesi Spinal


Anatomi vertebralis dari garis tengah dan pendekatan
paramedian terhadap blok neuraxis sentral. Pendekatan garis
tengah yang terlihat pada gambar, membutuhkan proyeksi
anatomi hanya dalam dua bidang: sagital dan horizontal.
Pendekatan paramedian yang membutuhkan bidang miring
tambahan yang harus dipertimbangkan, meskipun teknik ini
mungkin lebih mudah pada pasien Lumbar lordosis. Jarum
paramedian dimasukkan 1 cm lateral dan 1 cm caudal ke tepi
caudal dari proses spinosus vertebra yang lebih superior. Jarum
paramedian dimasukkan sekitar 15 derajat dari bidang sagittal. 5

8
A. Komplikasi Anestesi Spinal

Komplikasi dari anestesi spinal terbagi menjadi komplikasi major dan


minor. Komplikasi major sangat jarang terjadi. Walaupun begitu, komplikasi
minor sering terjadi dan tidak boleh dilupakkan. Komplikasi minor termasuk
mual-muntah, hipotensi ringan, kejang, gatal, penurunan pendengaran dan
retensi urin. PDPH dan kegagalan anestesi spinal sangat jarang.

9
3.3 SEKSIO SESAREA
A. Definisi dan prevalensi
Istilah sectio caesarea berasal dari perkataan latin caedere, yang artinya
memotong. Pengertian ini semula dijumpai dalam Roman Law (Lex Regia)
dan Emperors Law (Lex Caesarea), yaitu undang-undang yang menghendaki
supaya janin dalam kandungan ibu yang sudah meninggal, harus dikeluarkan
dari Rahim.(Maita dkk., 2016)

Seksio sesarea merupakan persalinan buatan, di mana janin dilahirkan


melalui suatu insisi pada dinding perut dan rahim, dengan syarat rahim dalam
keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram. 7

Pada tahun 1985, World Health Organization (WHO) mengusulkan bahwa


tingkat persalinan seksio caesarea di tiap negara, antara 10% dan paling tinggi
15%. Namun ada variasi yang signifikan secara global berkaitan dengan
tingkan persalinan sesar. Angka kejadian seksio sesarea terus meningkat
dalam beberapa dekade terakhir. Presentase angka kejadian seksio sesarea
pada tahun 2015, di Afrika sebesar 10%, di Asia sekitar 20%, di Eropa 20-
30%, di Oceania dan Amerika Utara sebesar 30-40%, serta di Amerika Latin
dan Karibia sebesar > 40%. (Pasko, Subramaniam dan Tita, 2017; Chen dkk.,
2018)

Di Indonesia sendiri, pada penelitian yang dilakukan oleh Adelia S.


Ekwendi dan kawan-kawan, di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado, pada
bulan Januari tahun 2014, sampai Oktober 2015, 465 pasien yang melahirkan
secara seksio sesarea, sementara pasien yang melahirkan secara pervaginam
sebanyak 461 pasien.10 Sementara itu, Riskesdas tahun 2013, proporsi
persalinan sesar Indonesia sebesar 9,8%. Tertinggi pada provinsi DKI Jakarta,
yaitu sebesar 19,9% dan terendah provinsi Sulawesi Utara, sebesar 3,3%.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013)

B. Komplikasi Seksio sesarea


Ada beberapa komplikasi dama seksio sesarea,yaitu:
a. Infeksi puerperal (nifas):
 Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja,
10
 Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi
dan perut sedikit kembung,
 Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Infeksi berat
sering kita jumpai pada partus terlantar, sebelum infeksi nifas , telah
terjadi infeksi intrapartum karena ketuban yang pecah terlalu lama.
b. Perdarahan, karena:
 Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka,
 Atonia uteri.
 Perdarahan pada placental bed
c. Luka kandung kemih, emboli paru bila reperitonialisasi terlalu tinggi
d. Kemungkinan rupture uteri spontan pada kehamilan mendatang.(Maita
dkk., 2016)

3.4 ANESTESI PADA SEKSIO SESAREA


A. Pemilihan Jenis Anestesi

Pemilihan jenis anestesi pada seksio sesarea bergantung pada berbagai


faktor, seperti indikasi untuk persalinan secara operatif, keadaan yang
mendesak, permintaan pasien, pilihan dari dokter kandungan dan kemampuan
dokter anestesi. Pada persalinan sesar, lebih banyak menggunakan anestesi
regional. Di Amerika Serikat, seksio sesaria lebih sering digunakan dengan
anestesi spinal. Penggunaan anestesi regional dilakukan karena anestesi umum
lebih banyak menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas pada ibu.
Kematian pada ibu ini berkaitan dengan untuk terjadinya risiko aspirasi
maternal dari isi lambung, serta kesulitan dalam menajemen jalan napas, seperti
ketidakmampuan untuk melakukan intubasi, ventilasi atau aspirasi
pneumonitis, serta paparan anestesi yang lebih sedikit, mempunyai keuntungan
untuk membangunkan ibu, penempatan opioid neuraxial yang mengurangi rasa
sakit pasca operasi. 1,5

Keuntungan lain dari anestesi regional adalah (1) Pajanan obat depresan
terhadap neonatal yang lebih sedikit, (2) risiko dari aspirasi paru maternal yang
lebih sedikit, (3) ibu melahirkan anaknya dalam keadaan sadar, (4) penggunaan
opioid spinal untuk menghilangkan rasa sakit pascaoperasi. Anestesi spinal
11
mempunyai onset yang lebih cepat dan terprediksi; dapat memblok lebih
sempurna dan memiliki potensi untuk toksisitas sistemik obat yang lebih
sedikit, karena dosis anestesi local yang lebih sedikit. 1

B. Teknik Anestesi Spinal pada Seksio Sesarea


Pasien biasanya dalam posisi lateral decubitus atau posisi duduk, dan
diinjeksikan larutan lidocaine (50-60 mg) atau buvicaine 10-15 mg). Buvicaine
dipilih jika dokter yang melakukan tindakan, tidak selesai dalam 45 menit.
Gunakan jarum anestesi spinal pencil point (Whitacre, Sprotte atau Gertie
Marx) dengan ukuran 22-G atau lebih kecil, untuk menurunkan risiko insiden
terjadinya PDPH. Berikan 10-25 mcg fentanyl atau 5-10 mcg sufentanil pada
larutan anestesi lokal, akan meningkatkan intensitas blok dan memperpanjang
durasi anestesi, tanpa mempengaruhi hasil dari neonatal. Menambahkan
preservative-free morphine (0.1-0.3 mg) dapat menambahkan efek analgesia
postoperative lebih dari 24 jam, namun memerlukan pemantauan pernapasan
pascaoperasi. Terlepas dari agen anestesi yang digunakan, variabilitas yang
cukup dalam tingkat dermatomal maksimal anestesi harus diharapkan
Pada pasien obesitas, jarum anestesi spinal yang standar, dengan ukuran
3.5 in (9 cm) mungkin tidak akan cukup untuk sampai pada ruang
subarachnoid. Yang dibutuhkan adalah jarum anestesi spinal dengan ukuran
4.75 in (12 cm) sampai 6 in (15.2 cm). Untuk menghindari jarum yang panjang
ini menjadi bengkok, beberapa dokter anestesi lebih memilih untuk memakai
jarum dengan diameter yang lebih besar dari jarum Sprotte 22-G. Sebagai
alternatifnya, jarum Quincke ukuran 2.5 in (6.3 cm) dengan 20-G dapat
digunakan sebagai jarum anestesi spinal pengantar, dan jarum dengan tipe 25-
G pencil point sebagai jarum pemandunya. 1

3.5. AGEN ANESTESI SPINAL


Banyak anestesi lokal telah digunakan untuk anestesi spinal di masa lalu, tetapi
hanya sedikit yang saat ini digunakan (Tabel 45-4). Hanya larutan anestesi lokal bebas
pengawet yang digunakan. Penambahan vasokonstriktor (agonis -adrenergik, epinefrin
(0,1-0,2 mg)) dan opioid meningkatkan kualitas dan/atau memperpanjang durasi
anestesi spinal. Vasokonstriktor tampaknya menunda pengambilan anestesi lokal dari
12
CSF dan mungkin memiliki sifat analgesik tulang belakang yang lemah. Opioid dan
clonidine juga dapat ditambahkan ke anestesi spinal untuk meningkatkan kualitas dan
durasi blok subarachnoid.

Bupivakain hiperbarik dan tetrakain adalah dua agen yang paling umum
digunakan untuk anestesi spinal. Keduanya relatif lambat dalam onset (5-10 menit)
dan memiliki durasi yang lama (90-120 menit). Meskipun kedua agen menghasilkan
tingkat sensorik yang sama, tetrakain spinal lebih konsisten menghasilkan blokade
motorik daripada dosis ekivalen bupivakain. Penambahan epinefrin ke bupivakain
tulang belakang memperpanjang durasinya hanya sedikit. Sebaliknya, epinefrin dapat
memperpanjang durasi tetrakain lebih dari 50%. Fenilefrin juga memperpanjang
anestesi tetrakain, tetapi tidak berpengaruh pada blok bupivakain spinal. Ropivacaine
juga telah digunakan untuk anestesi spinal, tetapi pengalaman dengannya lebih
terbatas.

Lidokain dan prokain memiliki onset yang relatif cepat (3–5 menit) dan durasi
kerja yang singkat (60–90 menit). Durasi mereka hanya sedikit diperpanjang oleh
vasokonstriktor. Meskipun anestesi spinal lidokain telah digunakan di seluruh dunia,
beberapa para ahli tidak lagi menggunakan agen ini karena fenomena gejala neurologis
sementara dan sindrom cauda equina (CES). Dosis lidokain berulang setelah blok
"gagal" awal harus dihindari. Memang, penelitian telah menunjukkan bahwa
maldistribusi anestesi lokal dapat menyebabkan kegagalan tulang belakang meskipun
konsentrasi CSF anestesi lokal yang memadai. Salah satu agen alternatif, 2-
kloroprokain, telah digunakan di beberapa pusat dengan sukses besar.

Di Amerika Utara, anestesi spinal hiperbarik lebih umum digunakan daripada


teknik hipobarik atau isobarik. Tingkat anestesi kemudian tergantung pada posisi

13
pasien selama dan segera setelah injeksi. Pada posisi duduk, “saddle block” dapat
dicapai dengan menjaga pasien tetap duduk selama 3-5 menit setelah injeksi, sehingga
hanya saraf lumbal bawah dan saraf sakral yang diblokir.

Jika pasien dipindahkan dari posisi duduk ke posisi terlentang segera setelah
injeksi, agen akan bergerak lebih cephalad ke daerah dependen yang ditentukan oleh
kurva thoracolumbar. Anestesi hiperbarik yang disuntikkan secara intratekal dengan
pasien dalam posisi dekubitus lateral berguna untuk prosedur ekstremitas bawah
unilateral. Pasien ditempatkan secara lateral, dengan ekstremitas yang akan dioperasi
dalam posisi tergantung. Jika pasien dipertahankan dalam posisi ini selama sekitar 5
menit setelah injeksi, blok akan cenderung lebih padat dan mencapai tingkat yang lebih
tinggi pada sisi tergantung operasi.

14
DAFTAR PUSTAKA
1. Butterworth John F, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail Clinical
Anaesthesiology. Vol. 23, Quarterly bulletin. Northwestern University (Evanston, Ill.).
Medical. 2013.

2. Lewis NR, Fitz-Henry J. Anaesthesia explained. Bmj. 2001;322(Suppl S4):010494.

3. Pincus E. Regional Anesthesia: An Overview. AORN J. 2019;110(3):263–72.

4. Keat S, Bate ST, Brown A, Lanham S. Anasesthesia on The Move. Jakarta: PT. Indeks
Permata Puri Media; 2013.

5. Whitlock EL, Pardo Jr. MC. Choice of Anesthetic Technique. Basic Anesthesia. 2018.
213–219 hal.

6. Maita L, Ristica OD, Andriyani R, Ardhiyanti Y. Obsetri dalam Kebidanan. 2016;

7. Wiknjosastro H. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo; 2010. 133 hal.

8. Chen I, Opiyo N, Tavender E, Mortazhejri S, Rader T, Petkovic J, et al. Non-clinical


interventions for reducing unnecessary caesarean section. Cochrane database Syst Rev.
2018;9:CD005528.

9. Pasko D, Subramaniam A, Tita ATN. Textbook of Caesarean Section. Obstet Gynaecol.


2017;19(1):37.

10. Ekwendi AS, Mewengkang ME, Wagey FMM. Perbandingan Persalinan Seksio Sesarea
Dan Pervaginam Pada Wanita Hamil Dengan Obesitas. e-CliniC. 2016;4(1).

11. Ministry of Health Republic of Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (National Health
Survey) 2013. Minist Heal Repub Indones. 2013;(1):1–303.

15

Anda mungkin juga menyukai