Anda di halaman 1dari 4

LAVANYA

Rere terlihat sangat tertekan dengan sikap Bisma. Manusia itu benar-benar meresahkan, harus
dengan cara apa lagi supaya guru-guru paham mental siswi mereka. Apa harus bangkrut dulu
perusahaan ayahnya? Huh. Orang jahat memang hanya satu, tapi uang juga bisa membuat
orang jahat semakin berkembang. Bukankah lebih pantas jika mulut mereka ditutup dengan
lakban dibanding uang?

Rere diam tak bergeming sejak ke luar dari kantin tadi. Aku tak akan berbicara apapun sampai
Rere tenang. Menggenggam tangannya dengan erat, merupakan tindakan yang lebih dari cukup
untuk saat ini. Karena disituasi seperti ini, korban hanya butuh tiang untuknya sadar kembali.

Beberapa orang pasti akan mengatakan bahwa Rere yang merespon berlebihan. Tapi jika kita
berada diposisi Rere, yang notabennya memang bukan pemberani, maka akan merespon hal
yang sama. Tidak perlu menjadi korban untuk dapat memahami seseorang. Rere menaruh
kepalanya di atas pundak kiriku dengan tangan yang terus menggenggam.

Untuk saat ini, aku kehilangan sosok Rere yang periang, yang selalu menebar senyum, yang
selalu membuat mood ku naik. Tadinya aku memang mengantuk dan sangat lelah. Tapi
sekarang, energiku terisi seratus persen untuk menghajar manusia mesum itu. Nanti saja deh
ngehajarnya, aku fokus pada Rere dulu. Ku tepuk-tepuk pahanya sambil bersholawat agar
hatinya tenang. Tangannya terasa sangat dingin dan sedikit gemetar. "Jangan takut, ada aku
dan Allah. Rere gak sendirian. Rere punya aku di sini." Semoga kalimat itu menenangkan hati
Rere dan tak membuatnya cemas lagi.

"Lav." Akhirnya Rere mengeluarkan suara setelah hampir 30 menit kami duduk di parkiran
belakang ini. "Iya cantik." Dia membenarkan posisi duduknya menjadi tegap dan menatap lurus
ke depan. "Rere takut kalau kejadian waktu itu akan terulang lagi." Aku memeluknya dari
samping, mengelus lengannya dengan lembut, dan membisikkan kalimat penenang.

"Solat Dhuha yuk. Kita aduin kelakuan manusia itu ke Allah." Rere tak bersuara lagi, hanya
mengangguk. Sepanjang jalan menuju Masjid, Rere tak melepaskan genggamanku. Kami
melepas sepatu terlebih dahulu dan ambil wudhu dengan khidmat. Sholat Dhuha dua rakaat
sudah cukup, tapi kali ini Rere sholat delapan rakaat. Selesai sholat aku berdoa mengadahkan
tanganku dengan khusyuk.

Selesai berdoa, aku melipat mukena ku dan menaruhnya kembali di lemari. Rere masih berdoa
sesekali terdengar isak disela doanya. Aku duduk menyenderkan tubuhku di tembok, sambil
memerhatikan Rere dari belakang. Tak lama, Rere melipat mukenanya menandakan dia telah
selesai berdoa. Tapi saat dia akan berdiri, tubuhnya lunglai. Aku langsung menghampirinya dan
mengambil mukena itu untuk ku taruh di lemari. Aku membawanya duduk kembali. "Sini duduk
di sini aja ya." Rere patuh dengan ucapanku. Aku mengeluarkan ponselku dan mencari nama
Kahvi dikontakku.

Kahvi

Iya lat

Tolong izinin aku sama Rere ya

Tanpa diminta juga udah aku lakuin

Emang kalian lagi di mana?

Butuh sesuatu gak?

Kalau butuh langsung telpon aku aja ya

Kita lagi di Masjid kok

Iya Kahvi

Nanti aku kabarin ya kalau butuh bantuan

Rere gimana?

Masih shock?

Kamu gimana?

Iya

Rere masih diem aja dari tadi

Aku aman kok. Tadinya aku mau nonjok si mesum

Tapi aku mikirin Rere

Alhamdulillah

Kamu temenin Rere ya berarti

Nanti aku nyatet semua materi deh

Biar kamu sama Rere gak ketinggalan

Makasih ya Kahv

Sama-sama sobat
Beruntung sekali memiliki sahabat yang pengertian dan tidak pernah gegabah disaat situasi
seperti ini. Rere sekarang sedang tertidur. Aku biarkan dia seperti ini sampai waktu Dzuhur
datang nanti.

KAHVI

Aku mengepalkan tanganku dengan erat sampai buku-buku jariku memerah. Bisma memang
tidak pernah sadar diri kalau perbuatannya itu sangat salah. Akan percuma jika melaporkan hal
ini ke guru, karena mereka hanya mengiyakan saja tanpa bertindak. "Rere gimana Kahv?" Yogi
dan anak sekelas sama khawatirnya seperti diriku. Karena berita ini sudah menyebar dengan
cepatnya. "Alhamdulillah aman Gi kata Lava mereka lagi di Masjid." Jawabanku membuat Yogi
dan beberapa anak kelas yang duduk di sekitarku sedikit lega.

Guru PPKN sudah masuk kelas dan mulai menerangkan materi baru. Beliau tak sedikitpun
membahas ataupun menanyakan kabar Rere. Tidak mungkin jika berita ini belum sampai ke
ruang guru. Materi hari ini Pak Reno menjelaskan tentang HAM dan beserta pelanggaran
lainnya.

Aku muak dengan semua penjelasan Pak Reno yang membahas HAM secara materi, tapi
sekolah ini tidak bisa mewujudkan hal tersebut. Setelah Pak Reno selesai menjelaskan di tengah
materi, Beliau memberikan muridnya kesempatan untuk bertanya. Menurutku, ini adalah
kesempatan yang pas untuk membahas HAM di sekolah ini.

"Saya Pak." Tegasku dengan mengangkat tangan yang tinggi. "Silahkan Kahvi." Pak Reno
memersilahkanku dengan hangat dan kini aku menjadi pusat perhatian kelas. "Baik Pak terima
kasih. Saya ingin bertanya. Mengapa pelanggaran HAM dilingkungan pendidikan bisa terjadi?
Sedangkan sekolah mengajarkan tentang hal tersebut." Aku harus bisa menahan emosi agar
tidak terjadi keributan di kelas ini, karena mau sekeras apapun diriku melawan mereka. Akan
tetap kalah dengan segala kekuatan uang yang mereka kantungi.

"Terima kasih Kahvi. Pelanggaran HAM itu bisa terjadi karena beberapa faktor. Beberapa
diantaranya adalah sikap egois, rasa ingin balas dendam, tingkat kesadaran HAM yang rendah,
penyalah gunaan kekuasaan, kurangnya rasa empati, kondisi psikologis pelanggar, sistem
hukum yang kurang diperhatikan, dan masih banyak lagi." Pak Reno memberikan jawaban yang
cukup panjang. Tapi bukan jawaban itu yang aku mau. Bukan Kahvi namanya jika berhenti
sebelum mendapatkan jawaban yang diinginkan.

"Paham Pak. Lalu menurut Bapak, pelanggaran HAM yang terjadi di sekolah ini ada diposisi
faktor yang mana? Apakah peran guru penting dalam menindak lanjuti pelanggaran HAM?" Tak
ada yang bersuara setelah aku bertanya seperti itu. Karena mereka mengerti sasaran yang aku
maksud. Sedangkan Pak Reno, Beliau masih terdiam dan tak ada tanda-tanda Beliau akan
menjawab pertanyaanku.

Sudah tiga menit berlalu, tak ada yang bersuara sedikitpun. Dan tak lama Pak Reno berdiri dari
kursinya dan menjawab, "Semua. Yang terjadi di sekolah ini memiliki semua faktor tersebut.
Peran guru di sekolah ini tak ada gunanya diserap kasus yang terjadi." Terdengar ada
penyesalan dan rasa bersalah dari jawabannya. Pak Reno ini adalah guru yang sangat baik
sebenarnya. Guru baik seperti beliau harus tetap diam demi bisa terus mendidik murid-
muridnya.

"Pak. Apa yang harus kita lakukan jika hal itu akan terus terulang?" Yogi akhirnya bersuara dan
mencoba bertanya. "Kalian hanya perlu saling melindungi dan membela yang benar. Jika ada
yang salah, jangan diam saja. Harus kalian tindak lanjuti." Pak Reno memberikan solusi yang
tepat. Tapi nyatanya, ketika kita melakukan hal tersebut malah kita yang ditindas.

Saat aku ingin bertanya lagi, suara bel istirahat kedua berbunyi. Suara itu menandakan bahwa
mata pelajaran PPKN telah berakhir. "Baik anak-anak, terima kasih untuk hari ini. Semoga ilmu
yang bapak sampaikan menjadi berkah. Assalamualaikum." Pak Reno berpamitan dengan kami
dan segera meninggalkan kelas 11 IPS-3. "Wa'alaikumussalam, terima kasih pak."

Oh iya, aku melupakan Lava dan Rere. Katanya mereka ada di masjid kan, sekarang sudah adzan
Dzuhur berarti mereka masih di sana. "Situ sholat gak?" Riko merangkul ku dari belakang.
"Sholat kok. Tapi ini aku masih nunggu kabar dari Lava." Mataku masih tertuju pada room chat
dengan Lava. "Sholat aja dulu, sambil nunggu kabarnya mah. Pasti mereka aman kok. Kayak gak
tau Lava aja." Riko benar, seharusnya aku tidak perlu khawatir yang seperti ini. Aku percaya
kalau Lava bisa membuat Rere tenang kembali. Aku dan Riko berjalan menuju masjid sekolah
untuk menunaikan sholat dzuhur

Anda mungkin juga menyukai