Anda di halaman 1dari 17

PERMASALAHAN DALAM SISTEM PENGAIRAN PADA

BUDIDAYA TANAMAN PADI SAWAH (Oryza sativa)

(makalah)

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Budidaya Tanaman Pangan

Disususun oleh :

Nama Npm
Arbi Ma’ruf Amirudin 20110047
Dikri Pangestu 20110052
Hendra Firmansyah 20110059
Muhammad Maulana Yusuf 20210038
Rio Fatlah Ipan Kenedi 20210026

SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN (STIPER)


DHARMAWACANA METRO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan

pertolonganNya kami dapat menyelesaiakan tugas makalah Budidaya Tanaman

Pangan yang berjudul “Permasalahan dalam Sistem Pengairan pada Budidaya

Tanaman Padi Sawah". Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang kami

alami dalam proses pengerjaannya, tapi kami berhasil menyelesaikannya dengan

baik. Kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi

kita bersama. Makalah ini mungkin masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu

kami minta kritik dan saran yang bisa menyempurnakan makalah ini kedepannya.

Semoga makalah yang saya buat ini dapat membuat kita mencapai kehidupan yang

lebih baik lagi.

Terima kasih

Penulis

DAFTAR ISI

Hal
Halaman Judul…….……..………………………………………………….…...

Kata Pengantar...…….…………….…………………………….………….…...

Daftar Isi…………………………………...……………………………….…….

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…..….…………………………………………………….….5


1.2 Tujuan……………..…………………………………………………………7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Produktivitas Air………….……………………………………………….....8

2.2 Kebutuhan Air Irigasi………...……………………………………………...8

2.3 Kebutuhan Air Tan. dan Perkolasi….....………………………………….....9

2.4 Konsep Pengairan SRI……...………………………………………………10

BAB III. PEMBAHASAN

3.1 Permasalahan Sistem Pengairan.………………….………………………..11

3.2 Solusi Permasalahan……..…………………………………………………13

BAB IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………14
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang

Pembangunan pertanian di Indonesia dapat dilakukan secara bertahap dan


berkelanjutan dengan harapan meningkatkan produksi pertanian semaksimal mungkin
sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani dalam mencapai kesejahteraan
sebagai arah dan tujuan pembangunan pertanian (Admadja, 2010). Sektor pertanian
masih memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan nasional, baik bagi
pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan. Peran strategis sektor
pertanian bagi pertumbuhan ekonomi antara lain: Penyedia pangan bagi penduduk,
penghasil devisa Negara melalui Ekspor, penyedia bahan baku industri, peningkatan
kesempatan kerja dan usaha, pengentasan kemiskinan dan perbaikan SDM pertanian
melalui kegiatan penyuluhan pertanian (Deptan, 2008).

Program pemerintah dalam rangka menunjang swasembada pangan,


khususnya beras, diperlukan usaha untuk meningkatkan produksi beras yang
berkesinambungan. Berbagai upaya telah dilakukan antara lain melalui peningkatan
pendampingan penerapan paket teknologi, penyediaan sarana produksi, gerakan
olahan tanah dan tanaman padi, fasilitas penanganan panen dan pasca panen, fasilitas
pemasaran harga melalui gerakan seluruh skateholders mulai dari tingkat pusat
hingga desa (Kementan 2013).

Upaya lain yang dilakukan untuk meningkatkan produksi padi adalah melalui
pengembangan varietas unggul baru dan penambahan areal panel melalui peningkatan
intensitas penanaman (Daradjat 2001). Keberhasilan produksi pertanian sangat
tergantung pada kemampuan mengelola sumber daya lahan secara optimal dan
berkesinambungan (Hakim et. al, 1986).

Peningkatan produksi padi di Indonesia masih banyak kendala diantaranya


karena penerapan paket teknologi budidaya tanaman yang kurang tepat dan sebagian
besar lahan sawahnya adalah lahan tadah hujan yang sangat rentan terhadap
perubahan iklim. Pada lahan sawah tadah hujan perubahan pola hujan adalah
ancaman terbesar, karena begitu banyak petani padi sawah mengandalkan langsung
pada air hujan untuk kegiatan pertaniannya, setiap perubahan curah hujan
menyebabkan resiko besar pada produksi tanaman (Ruminta dan Nurmala, 2009;
Ruminta dan Handoko, 2016). Perubahan suhu yang menjadi lebih tinggi akan
mengancam sistem pertanian padi sawah. Tanaman padi sangat sensitif terhadap suhu
tinggi selama tahap kritis seperti berbunga dan perkembangan benih (Dorenboss and
Kassam, 1979). Seringkali dikombinasikan dengan kekeringan, suhu tinggi dapat
menyebabkan bencana untuk lahan pertanian. Suhu yang tinggi dibarengi dengan
kelembaban udara yang tinggi memicu peningkatan serangan hama dan penyakit
tanaman (Sianipar dkk., 2015). Banjir dan kekeringan juga mempengaruhi produksi
tanaman padi. Banjir dan kekeringan yang berkepanjangan akibat dari pengelolaan air
yang tidak baik dan kapasitas yang rendah mengakibatkan penurunan produksi yang
signifikan.

Pertanian lahan tadah hujan memerlukan perubahan praktek bertani agar


perubahan iklim tidak menjadi kendala musalnya dengan menerapkan paket teknologi
budidaya tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim. Kekeringan menjadi salah
satu kendala dalam budidaya tanaman padi di Indonesia, umumnya petani lebih
memilih menunda penanaman padi di lahan mereka apabila ketersediaan air irigasi
tidak cukup memenuhi kebutuhan sawah mereka. Seperti diketahui bahwa para petani
memiliki kebiasaan menggenangi lahan sawah dari awal musim sampai dengan
panen, akan tetapi tanaman padi dapat menghasilkan produksi yang lebih tinggi
apabila kebutuhan airnya dipenuhi secara tepat (Fonteh et al., 2013). Kebutuhan air
tanaman padi dari awal musim tanam sampai dengan panen menjadi topik utama
yang perlu diuji dalam penelitian. Ketersediaan air yang cukup merupakan salah satu
faktor utama dalam produksi padi sawah. Di sebagian besar daerah Asia, tanaman
padi tumbuh kurang optimum akibat kelebihan air atau kekurangan air karena curah
hujan yang tidak menentu dan pola lanskap yang tidak teratur (Rahman and Bulbul,
2014). Air merupakan kebutuhan dasar tanaman untuk dapat tumbuh, berkembang,
serta berproduksi dengan baik. Efisiensi dalam penggunaan air sangat dibutuhkan
sehingga dapat dihemat dan dapat meningkatkan hasil panen padi (Oliver et al., 2008;
Yang et al., 2017). Oleh karena itu, diperlukan pengembangan terknologi sistem
pengairan yang efisien pada budidaya padi agar kebutuhan air lebih sedikit tetapi
mampu menghasilkan produksi yang tinggi (Abu and Malgwi, 2012; Sugiono dan
Widyodaru, 2016). Menurut IRRI (1995) dikutip dari Setiobudi (2007), padi sawah
merupakan penggunaan air paling banyak yaitu 5000 liter air untuk menghasilkan 1
kg gabah kering. Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa kebutuhan air dalam
meningkatkan hasil gabah akan bertambah, sehingga efisiensi penggunaan air sangat
dibutuhkan demi tercapainya hasil padi yang maksimal dengan ketersediaan air yang
ada (Abu and Malgwi, 2012).

I.2 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami permasalahan yang mempengaruhi hasil


produksi tanaman padi di Indonesia

2. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi


produksi tanaman padi di Indonesia

3. Untuk menemukan solusi dari permasalahan yang mempengaruhi hasil produksi


tanaman padi di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produktivitas Air

Efisiensi penggunaan air mutlak diperlukan dalam upaya untuk meningkatkan


nilai ekonomi air irigasi, oleh karena itu salah satu strategi yang dapat dilakukan
adalah dengan mengubah paradigma nilai produktivitas lahan dari hasil produk
(produk komoditi) per satuan luas lahan menjadi produktivitas air yaitu hasil
persatuan volume air yang digunakan. Produktivitas air tanaman adalah perbandingan
antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang diberikan terhadap tanaman,
dengan satuan kg hasil per m3 air yang digunakan. Peningkatan produksi tanaman
dengan menggunakan air yang sedikit dapat dilakukan dengan penerapkan konsep
produktivitas air tanaman (CWP) melalui sistem irigasi (Prabowo & Wiyono, 2006).

2.2. Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi padi sawah meliputi kebutuhan untuk evapotranspirasi,


kehilangan air karena perkolasi dan rembesan, di samping itu untuk pengairan awal
dibutuhkan sejumlah air untuk penjenuhan tanah. Sedangkan pada tanaman selain
padi sawah kehilangan air karena perkolasi dan rembesan tidak termasuk kebutuhan
air irigasi. Fungsi air tanaman padi adalah untuk mengatur suhu tanaman dan kondisi
kelembaban serta mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Winarso,
1985). Menurut Rizal et al., (2014) kebutuhan air irgasi menggunakan sistem SRI
lebih hemat air dibandingkan dengan sistem konvensional hingga 35%. Nilai
kebutuhan air yang dilakukan dengan metode SRI yaitu 2,44 mm/hari dan metode
konvensional lebih tinggi yaitu 3,79 mm/hari.

2.3. Kebutuhan Air Tanaman dan Perkolasi

Kebutuhan air untuk tanaman adalah kebutuhan air untuk memenuhi


evapotranspirasi atau consumptive use tanaman, yaitu air irigasi yang diperlukan
untuk memenuhi evapotranspirasi dikurangi curah hujan efektif (Linsey & Franzini,
1979). Respons tanaman terhadap air tidak dapat diperlakukan secara terpisah dari
faktor agronomis lainnya yakni pemupukan, kerapatan tanaman dan perlindungan
tanaman, sebab faktor-faktor tersebut juga menentukan hasil aktual dan juga hasil
maksimum yang dapat dicapai. Faktor tanggapan hasil merupakan hasil perbandingan
antara nilai penurunan hasil relatif dan penurunan evapotranspirasi relatif.

Tanggapan hasil tanaman terhadap air (Yield response to water) merupakan


fungsi dari hubungan hasil tanaman terhadap pasokan air irigasi. Jumlah air irigasi
yang diberikan pada tanaman akan menentukan faktor hasil pada tanaman, karena
besarnya air irigasi menentukan besarnya nilai ETc (Setiawan et al., 2014). Besarnya
nilai evapotranspirasi dipengaruhi oleh faktor jenis tanaman dan tingkat
pertumbuhan. Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu, kelembaban udara,
kecepatan angin serta radiasi matahari dan garis lintang (Doonrenbos dan Pruit,
1977). Kebutuhan air tanaman penting untuk diketahui agar air irigasi dapat diberikan
sesuai dengan kebutuhan. Jumlah air yang diberikan secara tepat, akan merangsang
pertumbuhan tanaman dan meningkatkan efisiensi penggunaan air sehingga dapat
meningkatkan luas areal tanaman yang bisa diairi. Dalam perancangan sistem irigasi,
kebutuhan air untuk tanaman dihitung dengan menggunakan metode prakira empiris
berdasar rumus tertentu (Ditjen Pengairan, 1986; Purba, 2011). Pada saat ini
ketersediaan air merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kebutuhan air di
sawah.

Air yang tidak cukup menyebabkan pertumbuhan padi tidak sempurna bahkan
bisa menyebabkan padi mati kekeringan (Rizal et al., 2014). Defisit air yang terjadi
pada tahapan periode pertumbuhan tertentu, menyebabkan respons tanaman juga akan
berbeda tergantung pada kepekaan (sensitivity) tanaman pada tahapan pertumbuhan
tersebut. Secara umum tanaman lebih peka terhadap defisit air pada perioda
perkecambahan, pembungaan dan awal pembentukan hasil (yield formation) dari
pada awal vegetatif dan pematangan (Munir, 2012). Laju perkolasi sangat tergantung
pada sifat-sifat tanah, dan sifat tanah umumnya tergantung pada kegiatan
pemanfaatan lahan atau pengolahan tanah. Pada tanah bertekstur lempung berat
dengan karakteristik pengolahan (puddling) yang baik, laju perkolasi dapat mencapai
1-3 mm/hari. Pada tanah-tanah yang bertekstur lempung lebih ringan, laju perkolasi
bisa lebih tinggi. Kebutuhan air untuk mengganti lapisan air ditetapkan berdasarkan
Standar Perencanaan Irigasi 1986 KP-01. Besar kebutuhan air untuk penggantian
lapisan air adalah 50 mm/bulan (atau 3,3 mm/hari selama ½ bulan) selama sebulan
dan dua bulan setelah transplantasi (Triatmodjo, 2013).

2.4. Konsep Pengairan SRI

Konsep pengairan intermittent SRI hanya memberi air irigasi sesuai dengan
jumlah dan waktu yang dibutuhkan oleh tanaman. Saat genangan air disawah telah
habis tidak langsung diairi kembali, akan tetapi dibiarkan sampai sawah kondisi retak
atau mendekati titik stress tanaman baru sawah diairi kembali. Metode SRI dianggap
berhasil jika mampu meningkatkan produktivitas lahan dan mengefisienkan
penggunaan air. Metode irigasi SRI yang disertai dengan pengelolaan tanaman yang
baik dapat meningkatkan produtivitas tanaman hingga 30- 100% bila dibandingkan
dengan menggunakan metode irigasi konvensional (tergenang kontinyu) (Rizal et al.,
2014; Huda et al., 2012). Metode pemberian air secara terputus-putus dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan air pada lahan produksi pangan. Penurunan
kekritisan air dapat dilakukan dengan adanya jaringan irigasi yang baik (Ali et al.,
2013; Romero et al., 2012).

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan Sistem Pengairan dalam Budidaya Tanaman Padi

Berikut beberapa hal yang menjadi kendala serta permasalahan seputar


pengairan dalam proses budidaya tanaman padi:

1. Infrastruktur pengairan dan kualitas air yang tidak memadai


Hal ini paling dirasakan oleh petani sawah tadah hujan karena sangat
bergantung kepada hujan yang saat ini semakin tidak dapat diprediksi, sehingga
petani hanya mampu panen satu kali dalam satu tahun. Sebagian petani tadah hujan
yang memiliki uang lebih, mengupayakan untuk mengairi sawahnya dengan cara
menggunakan pompa air yang dimiliki secara individu atau menyewa pompa
sehingga menambah biaya produksi. Air yang mereka ambil berasal dari sungai dan
danau terdekat, sampai menyedot air dari irigasi.

2. Pengaturan pintu air irigasi yang berdampak pada proses penanaman

Pada wilayah yang kondisi airnya diatur dengan ketat, terdapat kesepakatan
lisan antar pengatur air di masing-masing desa melalui pembagian jadwal bergilir.
Meskipun begitu, masih sering terdapat pemilik lahan dari desa lain yang mencuri air
dengan cara membuat saluran baru untuk membelokan aliran air atau dengan
memasukan pipa kedalam tanah untuk menyedot air ke lahan mereka.

3. Pengaruh iklim
Permasalahan pada sawah tadah hujan yang utama adalah permasalahan air.
Tidak menentunya iklim menjadi salah satu faktor terbesar lemahnya produktivitas
padi. Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamik
dan sulit dikendalikan. Dalam praktek, iklim dan cuaca sangat sulit untuk
dimodifikasi/dikendalikan sesuai dengan kebutuhan, kalaupun bisa memerlukan biaya
dan teknologi yang tinggi. Iklim (cuaca) sering seakan-akan menjadi faktor pembatas
produksi pertanian. Karena sifatnya yang dinamis, beragam dan terbuka, pendekatan
terhadap iklim agar lebih berdaya guna dalam bidang pertanian, diperlukan suatu
pemahaman yang lebih akurat terhadap karakteristik iklim melalui analisis dan
interpretasi data iklim. Secara teknis dalam budidaya tanaman padi sawah, hampir
semua unsur iklim berpengaruh terhadap produksi dan pengelolaan tanaman. Namun
masing-masing mempunyai pengaruh dan peran yang berbeda tehradap berbagai
aspek dalam budidaya tanaman.
Keadaan iklim aktual (cuaca) pada periode tertentu sangat menentukan pola
tanam padi, jenis Varietas, teknologi usahatani, pertumbuhan , produksi tanaman,
serangan hama/penyakit dan lain-lainnya. Apalagi sistem usahatani pada lahan kering
seperti padi gogo, berbagai unsur iklim terutama pola dan distribusi curah hujan
sangat dominan terhadap produksi.

4. Kekeringan
Kekeringan menjadi salah satu kendala dalam budidaya tanaman padi di
Indonesia, umumnya petani lebih memilih menunda penanaman padi di lahan mereka
apabila ketersediaan air irigasi tidak cukup memenuhi kebutuhan sawah mereka.
Seperti diketahui bahwa para petani memiliki kebiasaan menggenangi lahan sawah
dari awal musim sampai dengan panen, akan tetapi tanaman padi dapat menghasilkan
produksi yang lebih tinggi apabila kebutuhan airnya dipenuhi secara tepat (Fonteh et
al., 2013). Kebutuhan air tanaman padi dari awal musim tanam sampai dengan panen
menjadi topik utama yang perlu diuji dalam penelitian. Ketersediaan air yang cukup
merupakan salah satu faktor utama dalam produksi padi sawah.

3.2 Solusi Pemecahan Masalah Sistem Pegairan Budidaya Tanaman Padi

1. Tersedianya infrastruktur yang dapat menunjang proses pengairan dalam budidaya


tanaman padi.
2. Adanya pengawasan serta pengelolaan infrastruktur irigasi di setiap daerah.

3. Pembagian air serta pembukaan pintu irigasi yang merata agar tidak terjadi
kekurangan pasokan air bagi lahan sawah yang cukup jauh dari infrastruktur
irigasi.

4. Diberlakukannya rekaya pengiran dan penggenangan sesuai dengan konsep


budidaya padi SRI guna upaya menghemat penggunaan air diluar musim
penghujan. Selain menghemat air, pengairan berselang dapat mengurangi emisi
gas metana dari lahan sawah dan pengairan macak-macak merupakan rekayasa
pengairan yang mampu memenuhi kebutuhan air tanaman pada kondisi
ketersediaan air yang sangat terbatas dan meningkatkan nilai daya guna air.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Peningkatan produksi padi di Indonesia masih banyak kendala diantaranya karena
penerapan paket teknologi budidaya tanaman yang kurang tepat dan sebagian
besar lahan sawahnya adalah lahan tadah hujan yang sangat rentan terhadap
perubahan iklim.

2. Permasalahan seputar pengairan dalam proses budidaya tanaman padi ialah seperti
Infrastruktur pengairan dan kualitas air yang tidak memadai (1) ; Pengaturan pintu
air irigasi yang berdampak pada proses penanaman (2) ; Pengaruh iklim (3) ; an
Kekeringan (4).

3. Terdapat beberapa solusi yang dapat diterakan, diantaranya seperti Tersedianya


infrastruktur yang dapat menunjang proses pengairan (1) ; Adanya pengawasan
serta pengelolaan infrastruktur irigasi di setiap daerah (2) ; Pembagian air serta
pembukaan pintu irigasi yang merata (3) ; Diberlakukannya rekaya pengiran dan
penggenangan sesuai dengan konsep budidaya padi SRI (4).

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.H., Abustan, I., & Puteh, A.B. (2013). Irrigation management strategies for
winter wheat using aquacrop model. Journal of Natural Resources and
Development, 3, 106-113.

Admadja, 2010. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Bumi Aksara, Jakarta.


Abu, S.T. and W.B. Malgwi. 2012. Effect of irrigation regime and frequency on soil
physical quality, water use efficiency, water productivity and economic
returns of paddy rice. ARPN Journal of Agricultural and Biological Science,
7(2): 86-99.

Departemen Pertanian. (2008). Kebijakan Teknis Program Pengembangan Usaha


Agribisnis Perdesaan. Jakarta : Departemen Pertanian.

Doonrenbos, J. & Pruitt, W.O. (1977). Guideline for Predicting Crop Water
Requirements. Roma: Food and Agriculture Organization.

Departemen Pertanian, (2013). Peraturan Menteri Pertanian No


82/Permentan/OT.140/8/2013. Kementerian Pertanian.

[Ditjen Pengairan] Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum.


(1986). Standar Perencanaan Irigasi KP 01. Bandung: Galang Persada.

Darajat Zakiah. 2001. Metodik KhususPengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi


Akasara.

Doorenbos, J. and A.H. Kassam. 1979. Yield response to water. FAO Irrigation and
Drainage Paper No.33. Rome, FAO.

Fonteh, M.F., F.Q.Tabi. A.M.Wariba, and J.Zie. 2013. Effective water manajemen
practices in irrigation rice to ensure food security and mitigate climate change
in a Tropical climate. Agriculture and Biology Journal of North America,
4(3): 284-290.

Hakim, N., Nyakpa, M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, M.A., Hong,
G.B.,Bailey, H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. 488
hal.

Huda, M. N., Harisuseno, D., & Priyantoro, D. (2012). Kajian Sistem Pemberian Air
Irigasi sebagai Dasar Penyusunan Jadwal Rotasi pada Daerah Irigasi Tumpang
Kabupaten Malang. Jurnal Teknik Pengairan, 3(2), 221-229.
Linsey, R.K, & Franzini, J.B. 1979. Water Resources Engineering. New York: Mc
Graw Hill Book Co.

Munir, A. (2012). Peningkatan produktivitas dan efisiensi air dalam pertanian


Madura. Agrovigor, 5(2), 125-131

Purba, J. H. (2011). Kebutuhan dan cara pemberian air irigasi untuk tanaman padi
sawah (Oryza sativa L.). Jurnal Sains dan Teknologi, 10, 145-155.

Prabowo A, Wiyono J. 2006. Pengelolaan Sistem Irigasi Mikro Untuk Tanaman


Hortikultura dan Palawija. Jurnal Enjiniring Pertanian. Vol IV, No.2

Ruminta dan Tati Nurmala. 2009. Analisis dampak perubahan pola curah hujan
terhadap sistem pertanian tanaman pangan lahan kering di Jawa Barat. Jurnal
Agrin, 20(2): 155-168.

Ruminta and Handoko. 2016. Vulnerability Assessment of Climate on Agriculture


Sector in The South Sumatra Province, Indonesia. Asian Journal of Crop
Science, 8(2): 31-42.

Romero, R., Muriel, J. L., García, I., & de la Pena, D. M. (2012). Research on
automatic irrigation control: state of the art and recent results. Agricultural
Water Management, 114, 59-66.

Rizal F., Alfiansyah, & Rizalihadi, M. (2014). Analisis perbandingan kebutuhan air
irigasi tanaman padi metode konvensional dengan metode SRI organik. Jurnal
Teknik Sipil, 3(4), 67-76.

Rahman, M.R. and S.H. Bulbul. 2014. Effect of alternate wetting and drying (AWD)
irrigation for Boro rice cultivation in Bangladesh. Agriculture, Forestry and
Fisheries, 3(2): 86-92.

Sianipar, M.S., L. Djaya, dan D.P. Simarmata. 2015. Keragaman dan kelimpahan
serangga hama padi (Oryza sativa L.) di dataran rendah Jatisari, Karawang
Jawa Barat. Jurnal Agrin, 19(2): 89-96.
Setiawan, W., Rosadi, B., & Kadir, M.Z. (2014). Respon pertumbuhan dan hasil tiga
varietas kedelai (Glicine max) pada beberapa fraksi penipisan air tanah
tersedia. Jurnal Teknik Pertanian, 3(3), 245-252.

Setiobudi, D. 2007. Teknik Pengelolaan Air Pada Padi Hibrida. BPTP Padi Subang.
pp. 209-217.

Sugiono, D. dan N. Widyodaru. 2016. Respon pertumbuhan dan hasil genotif padi
pada berbagai sistem tanam. Jurnal Agrotek Indonesia, 1(2): 105-111.

Triatmodjo, B. (2013). Hidraulika II. Cetakan ke-9. Yogyakarta: Beta Offset

Oliver, M.M.H., M.S.U. Talukder, and M. Ahmed. 2008. Alternate wetting and
drying irrigation for rice cultivation. Journal of the Bangladesh Agricultural
University, 6(2): 409- 414.

Winarso. 1985. Penentuan Kebutuhan Air Tanaman Padi dan Efisiensi Irigasi
pada Musim Kemarau di Petak Tersier Percontohan 1 Proyek Irigasi
Wonogiri Surakarta.

Yang, J., Q. Zhou, and J. Zhang. 2017. Moderate wetting and drying increase rice
yield and reduce water use, grain.

Anda mungkin juga menyukai