Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Eksplorasi migas di dunia kini telah berganti haluan dari eksplorasi migas
yang konvensional menjadi non-konvensional. Hal ini dikarenakan jumlah
cadangan migas konvensional telah menurun secara dramatis sehingga membuat
kita harus mencari cadangan baru yang tentunya lebih sulit untuk menemukannya
sehingga membutuhkan teknologi dan pemikiran yang baru.
Seiring berjalannya waktu kebutuhan minyak dan gas bumi semakin
bertambah, akan tetapi jumlah cadangan akan keberadaan bahan bakar fosil
semakin berkurang. Eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia saat ini masih terfokus
pada energi konvensional hidrokarbon dibandingkan energi non konvensional
hidrokarbon seperti shale gas. Shale gas adalah salah satu energi non
konvensional yang kaya material organik dan mencapai kematangan, selain
berfungsi sebagai batuan induk, pada kondisi dan tipe tertentu mampu berfungsi
sebagai reservoir. Adapun proses yang diperlukan untuk mengubah batuan shale
menjadi gas, sekitar 5 tahun. Permeabilitas dan porositas primer pada shale
umumnya sangat kecil sehingga sering dianggap sebagai batuan penyekat dalam
sistem perminyakan (petroleum system). Namun perlu dicatat bahwa shale dapat
menyimpan hidrokarbon dalam jumlah besar sehingga menambah tingkat
keyakinan dan kepastian bawah permukaan. Menurut Kepala Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar, Indonesia
memiliki potensi shale gas sekitar 574 triliun standar kaki kubik (trillion cubic
feet/TCF) yang belum diproduksi menjadi gas. Jika diasumsikan produksi gas
mencapai 5 TCF per tahun, potensi tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan
lebih dari 115 tahun. Angka ini lebih besar jika dibandingkan CBM yang sekitar
453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF. Berdasarkan hasil identifikasi yang
dilakukan pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di Indonesia yang
mengandung shale gas dan 1 berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak
berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale
dan Gumai Shale, sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing-
masing berada di 2 cekungan, di Papua, berbentuk Klasafet formation.
Berdasarkan data Kementerian ESDM , cadangan shale gas Indonesia tersebar di
Pulau Sumatera (233 TCF), Jawa (48 TCF), Kalimantan (194 TCF), dan Papua
(90 TCF) (Hutagalung A, 2015). Shale gas adalah gas alam yang terdapat dalam
batuan shale, sejenis batu lunak (serpih) yang kaya migas. Amerika Serikat yang
telah memulai eksplorasi dan eksploitasi energi shale gas, dimana lingkungan
pengendapannya marine dengan umur Mesozoic, sedangkan karakteristik shale di
Indonesia pada umumnya memiliki lingkungan pengendapan lakustrin dengan
umur Tersier (Sumotarto T, 2015). Penulis mencoba untuk mengintegrasikan tiga
metode di antaranya menggunakan analisis geokimia organik, petrofisik dan
interpretasi seismik yang menjadi dasar untuk melihat hubungan Kekayaan
Material Organik, Kematangan Material Organik, dan Penyebaran pada potensi
shale gas di wilayah tersebut dimana telah memasuki zona matang (Mature).
Diharapkan penelitian tersebut dapat memberikan pemahaman dan informasi
dalam menentukan apakah batuan shale yang berada di suatu wilayah memiliki
potensi sumber daya gas yang cukup untuk dilakukan eksplorasi lebih lanjut atau
tidak dan aplikasinya dalam pengembangan lapangan yang ada di daerah
penelitian.
Berbeda dengan lapangan hidrokarbon konvensional pada umumnya,
lapangan hidrokarbon non konvensional, seperti shale gas membutuhkan
penanganan yang khusus. Shale gas mempunyai permeabilitas yang sangat kecil.
Agar dapat dilakukannya proses produksi dalam skala komersil pada lapangan
shale gas diperlukan adanya proses stimulasi seperti hydraulic fracturing untuk
meningkatkan permeabilitas pada rekahan sehingga gas dapat mengalir keluar.
Hampir semua ahli geologi tahu bahwa batuan di Indonesia relatif lebih muda
dibanding batuan di Amerika, dengan batuan yang lebih tua, maka batuan di
Amerika relatif lebih mudah dipecahkan (brittle) yang tentunya sangat
mempengaruhi teknik fracking yang diperlukan dalam mengambil gas (Rayner,
2014). Bukan berarti bahwa batuan muda tidak dapat dipecah, tetapi perlu riset
cukup lama dan teliti untuk mengetahui teknik fracking yang paling pas.
Meskipun demikian, kita perlu berkaca kepada Amerika Serikat yang telah
melakukan riset tentang batuan shale selama lebih dari 40 tahun yang dimotori
oleh United State Geological Survey (USGS), badan geologinya Amerika. Hasil
penelitiannya dipublikasikan dan menjadi milik publik. Kegiatan terpenting pada
eksploitasi shale gas adalah fracking. Kegiatan ini merupakan kegiatan mekanis
operasional yang lebih banyak melibatkan operasional engineering ketimbang
geosaintis. Hasilnya tahun 1986 multi-fracture horizontal well sukses dibor atas
kerjasama antara DOE-dan pengusaha swasta di Wayne County, West Virginia.
Indonesia perlu melakukan riset untuk mengetahui kondisi shale gas agar
diketemukan cara fracking secara efisien. Shale gas merupakan potensi energi
yang tidak dapat dilakukan dengan pemikiran konvensional. Batuan yang
mengandungnya berbeda dengan yang konvensional, cara pengambilan dan
teknologinya berbeda, profil produksinya jauh berbeda dan tentu konsekuensinya
menghasilkan profil keekonomiannya juga akan berbeda. Perbedaan-perbedaan ini
tidak dapat diakomodasi dengan sekedar memodifikasi dari pemikiran kegiatan
ekstraksi gas konvensional (Rayner, 2014).
Meskipun demikian Shale gas terdapat pada batuan induk (source rock)
yang sudah terbukti sebagai sumber gas konvensional. Diketahuinya keberadaan
source rock ini sudah sangat membantu dalam kegiatan eksplorasi sehingga dapat
dikatakan minim kegiatan. Kegiatan eksplorasi dalam pemanfaatan shale gas,
untuk sementara, dapat dikatakan tidak ada, atau minim dan sangat singkat.
Karena kebanyakan sudah diketahui potensinya dari penemuan gas konvensional.
Adapun hal menarik yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan shale gas pola
produksi gas yang sangat tinggi didepan dan menurun secara cepat, akan sangat
mempengaruhi keekonomiannya.

1.2. Maksud dan Tujuan


Maksud dari penyusunan skripsi ini adalah memberikan usulan strategi
pengembangan Lapangan Shale Gas “FRE” Sumatera Utara
Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah membuat perencanaan
pengembangan lapangan shale gas yang seekonomis mungkin.

1.3. Metodologi Penelitian


Metodologi yang dilakukan dalam penulisan dan penyusunan tugas akhir
ini berdasarkan data yang ada pada lapangan FRE” Sumatera Utara. Pengumpulan
data yang meliputi, hasil dari Rock Eval Pyrolisis, kondisi reservoir, data geologi,
geofisika, dan geokimia, serta kandungan mineral batuan, prosentase kerogen, dan
sifat fisik batuan. Kemudian penentuan sweet spot area untuk dilakukan perkiraan
besarnya In Place Shale Gas dengan metode sesuai dengan kondisi Lapangan.
Pengembangan Lapangan, dilakukan dengan menentukan panjang
pemboran horizontal terlebih dahulu, serta desain rekahan yang meliputi jarak
antar cluster dan fracture half length, yang mana disesuaikan dengan kemampuan
Indonesia saat ini namun tetap berkaca pada keberhasilan US Shale Gas.
Kemudian dilakukan perkiraan profil produksi sumuran selama 20 tahun,
dimulainya tahun pertama produksi setelah 10 tahun masa eksplorasi, dengan
bantuan software IHS Fekete Harmony, setelah didapat profil produksi dengan
desain komplesi terbaik serta memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia,
ditentukan jumlah sumur total hingga mampu memperoleh RF minimal 25% pada
lapangan Shale Gas tersebut, yang selanjutnya dihitung keekonomisan lapangan
tersebut dengan metode PSC Gross Split.

1.4. Sistematika Penulisan


Secara garis besar, penulisan skripsi ini terdiri dari enam bab yang
mencakup kajian teori dasar hingga penerapannya di lapangan. Bab I merupakan
bab pendahuluan. Bab II membahas mengenai tinjauan umum Lapangan ‘FRE”.
Bab III adalah teori dasar mengenai pengelolaan lapangan shale gas. Bab IV
membahas strategi pengelolaan lapangan shale gas “FRE”. Bab V adalah
pembahasan dan Bab VI adalah kesimpulan.

Anda mungkin juga menyukai