Eksplorasi migas di dunia kini telah berganti haluan dari eksplorasi migas yang konvensional menjadi non-konvensional. Hal ini dikarenakan jumlah cadangan migas konvensional telah menurun secara dramatis sehingga membuat kita harus mencari cadangan baru yang tentunya lebih sulit untuk menemukannya sehingga membutuhkan teknologi dan pemikiran yang baru. Seiring berjalannya waktu kebutuhan minyak dan gas bumi semakin bertambah, akan tetapi jumlah cadangan akan keberadaan bahan bakar fosil semakin berkurang. Eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia saat ini masih terfokus pada energi konvensional hidrokarbon dibandingkan energi non konvensional hidrokarbon seperti shale gas. Shale gas adalah salah satu energi non konvensional yang kaya material organik dan mencapai kematangan, selain berfungsi sebagai batuan induk, pada kondisi dan tipe tertentu mampu berfungsi sebagai reservoir. Adapun proses yang diperlukan untuk mengubah batuan shale menjadi gas, sekitar 5 tahun. Permeabilitas dan porositas primer pada shale umumnya sangat kecil sehingga sering dianggap sebagai batuan penyekat dalam sistem perminyakan (petroleum system). Namun perlu dicatat bahwa shale dapat menyimpan hidrokarbon dalam jumlah besar sehingga menambah tingkat keyakinan dan kepastian bawah permukaan. Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar, Indonesia memiliki potensi shale gas sekitar 574 triliun standar kaki kubik (trillion cubic feet/TCF) yang belum diproduksi menjadi gas. Jika diasumsikan produksi gas mencapai 5 TCF per tahun, potensi tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 115 tahun. Angka ini lebih besar jika dibandingkan CBM yang sekitar 453,3 TSCF dan gas bumi 334,5 TSCF. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di Indonesia yang mengandung shale gas dan 1 berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak berada di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale, sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, shale gas masing- masing berada di 2 cekungan, di Papua, berbentuk Klasafet formation. Berdasarkan data Kementerian ESDM , cadangan shale gas Indonesia tersebar di Pulau Sumatera (233 TCF), Jawa (48 TCF), Kalimantan (194 TCF), dan Papua (90 TCF) (Hutagalung A, 2015). Shale gas adalah gas alam yang terdapat dalam batuan shale, sejenis batu lunak (serpih) yang kaya migas. Amerika Serikat yang telah memulai eksplorasi dan eksploitasi energi shale gas, dimana lingkungan pengendapannya marine dengan umur Mesozoic, sedangkan karakteristik shale di Indonesia pada umumnya memiliki lingkungan pengendapan lakustrin dengan umur Tersier (Sumotarto T, 2015). Penulis mencoba untuk mengintegrasikan tiga metode di antaranya menggunakan analisis geokimia organik, petrofisik dan interpretasi seismik yang menjadi dasar untuk melihat hubungan Kekayaan Material Organik, Kematangan Material Organik, dan Penyebaran pada potensi shale gas di wilayah tersebut dimana telah memasuki zona matang (Mature). Diharapkan penelitian tersebut dapat memberikan pemahaman dan informasi dalam menentukan apakah batuan shale yang berada di suatu wilayah memiliki potensi sumber daya gas yang cukup untuk dilakukan eksplorasi lebih lanjut atau tidak dan aplikasinya dalam pengembangan lapangan yang ada di daerah penelitian. Berbeda dengan lapangan hidrokarbon konvensional pada umumnya, lapangan hidrokarbon non konvensional, seperti shale gas membutuhkan penanganan yang khusus. Shale gas mempunyai permeabilitas yang sangat kecil. Agar dapat dilakukannya proses produksi dalam skala komersil pada lapangan shale gas diperlukan adanya proses stimulasi seperti hydraulic fracturing untuk meningkatkan permeabilitas pada rekahan sehingga gas dapat mengalir keluar. Hampir semua ahli geologi tahu bahwa batuan di Indonesia relatif lebih muda dibanding batuan di Amerika, dengan batuan yang lebih tua, maka batuan di Amerika relatif lebih mudah dipecahkan (brittle) yang tentunya sangat mempengaruhi teknik fracking yang diperlukan dalam mengambil gas (Rayner, 2014). Bukan berarti bahwa batuan muda tidak dapat dipecah, tetapi perlu riset cukup lama dan teliti untuk mengetahui teknik fracking yang paling pas. Meskipun demikian, kita perlu berkaca kepada Amerika Serikat yang telah melakukan riset tentang batuan shale selama lebih dari 40 tahun yang dimotori oleh United State Geological Survey (USGS), badan geologinya Amerika. Hasil penelitiannya dipublikasikan dan menjadi milik publik. Kegiatan terpenting pada eksploitasi shale gas adalah fracking. Kegiatan ini merupakan kegiatan mekanis operasional yang lebih banyak melibatkan operasional engineering ketimbang geosaintis. Hasilnya tahun 1986 multi-fracture horizontal well sukses dibor atas kerjasama antara DOE-dan pengusaha swasta di Wayne County, West Virginia. Indonesia perlu melakukan riset untuk mengetahui kondisi shale gas agar diketemukan cara fracking secara efisien. Shale gas merupakan potensi energi yang tidak dapat dilakukan dengan pemikiran konvensional. Batuan yang mengandungnya berbeda dengan yang konvensional, cara pengambilan dan teknologinya berbeda, profil produksinya jauh berbeda dan tentu konsekuensinya menghasilkan profil keekonomiannya juga akan berbeda. Perbedaan-perbedaan ini tidak dapat diakomodasi dengan sekedar memodifikasi dari pemikiran kegiatan ekstraksi gas konvensional (Rayner, 2014). Meskipun demikian Shale gas terdapat pada batuan induk (source rock) yang sudah terbukti sebagai sumber gas konvensional. Diketahuinya keberadaan source rock ini sudah sangat membantu dalam kegiatan eksplorasi sehingga dapat dikatakan minim kegiatan. Kegiatan eksplorasi dalam pemanfaatan shale gas, untuk sementara, dapat dikatakan tidak ada, atau minim dan sangat singkat. Karena kebanyakan sudah diketahui potensinya dari penemuan gas konvensional. Adapun hal menarik yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan shale gas pola produksi gas yang sangat tinggi didepan dan menurun secara cepat, akan sangat mempengaruhi keekonomiannya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan skripsi ini adalah memberikan usulan strategi pengembangan Lapangan Shale Gas “FRE” Sumatera Utara Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah membuat perencanaan pengembangan lapangan shale gas yang seekonomis mungkin.
1.3. Metodologi Penelitian
Metodologi yang dilakukan dalam penulisan dan penyusunan tugas akhir ini berdasarkan data yang ada pada lapangan FRE” Sumatera Utara. Pengumpulan data yang meliputi, hasil dari Rock Eval Pyrolisis, kondisi reservoir, data geologi, geofisika, dan geokimia, serta kandungan mineral batuan, prosentase kerogen, dan sifat fisik batuan. Kemudian penentuan sweet spot area untuk dilakukan perkiraan besarnya In Place Shale Gas dengan metode sesuai dengan kondisi Lapangan. Pengembangan Lapangan, dilakukan dengan menentukan panjang pemboran horizontal terlebih dahulu, serta desain rekahan yang meliputi jarak antar cluster dan fracture half length, yang mana disesuaikan dengan kemampuan Indonesia saat ini namun tetap berkaca pada keberhasilan US Shale Gas. Kemudian dilakukan perkiraan profil produksi sumuran selama 20 tahun, dimulainya tahun pertama produksi setelah 10 tahun masa eksplorasi, dengan bantuan software IHS Fekete Harmony, setelah didapat profil produksi dengan desain komplesi terbaik serta memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia, ditentukan jumlah sumur total hingga mampu memperoleh RF minimal 25% pada lapangan Shale Gas tersebut, yang selanjutnya dihitung keekonomisan lapangan tersebut dengan metode PSC Gross Split.
1.4. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penulisan skripsi ini terdiri dari enam bab yang mencakup kajian teori dasar hingga penerapannya di lapangan. Bab I merupakan bab pendahuluan. Bab II membahas mengenai tinjauan umum Lapangan ‘FRE”. Bab III adalah teori dasar mengenai pengelolaan lapangan shale gas. Bab IV membahas strategi pengelolaan lapangan shale gas “FRE”. Bab V adalah pembahasan dan Bab VI adalah kesimpulan.