Edisi Kesatu
Cetakan pertama, Juli 2013 Cetakan kelima, Juni 2015
Cetakan kedua, November 2013 Cetekan keenam, September 2015
Cetakan ketiga, Januari 2014
Cetakan keempat, Juni 2014
336.2
MAT Materi pokok administrasi perpajakan; 1 – 9/ ADBI4330/ 3 sks /
m Mas Rasmini [et.al], -- Cet.6; Ed.1 --. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka, 2015.
502 hal: ill., 21 cm.
ISBN: 978-979-011- 782-2
Daftar Isi
Kegiatan Belajar 2:
Fungsi dan Syarat Pemungutan Pajak ............................................... 1.35
Latihan …………………………………………............................... 1.45
Rangkuman ………………………………….................................... 1.45
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 1.46
Kegiatan Belajar 2:
Teori dan Asas-asas Pemungutan Pajak ............................................ 2.23
Latihan …………………………………………............................... 2.34
Rangkuman ………………………………….................................... 2.35
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 2.36
iv
Kegiatan Belajar 2:
Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak ...................................................... 3.13
Latihan …………………………………………............................... 3.24
Rangkuman ………………………………….................................... 3.25
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 3.25
Kegiatan Belajar 3:
Pergeseran dan Keterkenaan Pajak .................................................... 3.27
Latihan …………………………………………............................... 3.36
Rangkuman ………………………………….................................... 3.36
Tes Formatif 3 ……………………………..…….............................. 3.36
Kegiatan Belajar 2:
Reformasi Perundang-undangan Perpajakan .................................... 4.18
Latihan …………………………………………............................... 4.25
Rangkuman ………………………………….................................... 4.25
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 4.26
Kegiatan Belajar 3:
Administrasi Pemungutan Pajak ....................................................... 4.28
Latihan …………………………………………............................... 4.37
Rangkuman ………………………………….................................... 4.38
Tes Formatif 3 ……………………………..…….............................. 4.38
Kegiatan Belajar 2:
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ................. 5.29
Latihan …………………………………………............................... 5.41
Rangkuman ………………………………….................................... 5.42
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 5.43
Kegiatan Belajar 3:
Pajak Daerah ...................................................................................... 5.45
Latihan …………………………………………............................... 5.62
Rangkuman ………………………………….................................... 5.63
Tes Formatif 3 ……………………………..…….............................. 5.64
vi
Kegiatan Belajar 2:
Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan ..................................... 6.24
Latihan …………………………………………............................... 6.53
Rangkuman ………………………………….................................... 6.54
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 6.55
Kegiatan Belajar 3:
Pajak Internasional ............................................................................ 6.57
Latihan …………………………………………............................... 6.65
Rangkuman ………………………………….................................... 6.65
Tes Formatif 3 ……………………………..…….............................. 6.66
Kegiatan Belajar 2:
Bea Meterai ....................................................................................... 7.28
Latihan …………………………………………............................... 7.38
Rangkuman ………………………………….................................... 7.39
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 7.40
Kegiatan Belajar 3:
Kepabeanan dan Cukai ...................................................................... 7.42
Latihan …………………………………………............................... 7.61
Rangkuman ………………………………….................................... 7.62
Tes Formatif 3 ……………………………..…….............................. 7.63
Kegiatan Belajar 2:
Amortisasi ......................................................................................... 8.25
Latihan …………………………………………............................... 8.32
Rangkuman ………………………………….................................... 8.34
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 8.34
Kegiatan Belajar 3:
Revaluasi Aktiva Tetap (Penilaian Kembali Aktiva Tetap) .............. 8.36
Latihan …………………………………………............................... 8.42
Rangkuman ………………………………….................................... 8.43
Tes Formatif 3 ……………………………..…….............................. 8.44
viii
Kegiatan Belajar 2:
Sanksi Hukum Bagi Wajib Pajak dan Aparatur yang Melanggar ..... 9.29
Latihan …………………………………………............................... 9.41
Rangkuman ………………………………….................................... 9.42
Tes Formatif 2 ……………………………..…….............................. 9.42
Selamat belajar!
xi
Peta Kompetensi
Administrasi Perpajakan/ADBI4330/3 sks
Modul 9
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Sanksi bagi Wajib
Pajak dan Fiskus yang Melanggar
Modul 8
Penyusutan, Amortisasi, dan Revaluasi dalam
Perpajakan
Modul 6 Modul 7
Modul 5 Pajak Penghasilan PPN dan PPNBM, Bea
PBB, BPHTB, dan Pajak Meterai, dan Kepabeanan
dan Pajak Daerah Internasional dan Cukai
Modul 4
Good Corporate
dalam Perpajakan
Modul 3
Penggolongan, Pengenaan,
dan Tarif Pajak
Modul 1 Modul 2
Pengertian Pajak, Administrasi Ruang Lingkup
Pajak, Fungsi dan Syarat Perpajakan
Pemungutan Pajak
Modul 1
PEN D A HU L UA N
P ada Modul 1 ini akan dibahas mengenai pajak dan administrasi pajak.
Sebelumnya akan dibahas sedikit tentang Ilmu Administrasi dengan
tujuan agar Anda lebih mudah dalam memahami apa administrasi pajak.
Berikutnya akan dibahas juga mengenai fungsi dan syarat pemungutan pajak.
Secara lebih rinci, modul ini akan membahas berikut ini.
1. Pengertian Pajak dan Administrasi Pajak.
a. Pengertian pajak.
b. Administrasi pajak dalam arti luas.
c. Administrasi Pajak dalam arti sempit.
d. Prosedur perpajakan.
2. Fungsi dan Syarat Pemungutan Pajak.
a. Fungsi Pajak.
b. Syarat-syarat Pemungutan Pajak.
c. Tarif Pajak.
Kegiatan Belajar 1
A. PENGERTIAN PAJAK
2. Philip E. Taylor
Dalam bukunya The Economist of Public Finance (1948) mengganti
without reference menjadi with little reference.
7. Prof. S. I. Djojoniningrat
Pajak menurut S. I. Djojoniningrat adalah sebagai suatu kewajiban
menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara di sebabkan suatu
keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi
bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara
secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum.
8. P. J. A. Adriani
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk
dan yang ada gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.”
B. ADMINISTRASI PAJAK
Dalam Kegiatan Belajar 1 (satu) ini kita akan membahas juga tentang
administrasi pajak yang dilaksanakan di Indonesia dilihat dari segi
kelembagaan, administrasi sumber daya manusia, maupun dari prosedur
perpajakan yang berlaku. Namun, terlebih dahulu akan disinggung sedikit
tentang Ilmu Administrasi agar Anda lebih mudah mempelajari administrasi
pajak.
C. ILMU ADMINISTRASI
D. ADMINISTRASI PAJAK
a. Fungsi.
b. Sistem.
c. Lembaga.
d. Manajemen Publik.
a. Sebagai fungsi
Administrasi pajak sebagai fungsi meliputi fungsi perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan.
1) Fungsi perencanaan
Administrasi pajak sebagai bagian dari administrasi publik merupakan
dan melakukan juga fungsi perencanaan, yakni merencanakan apa yang
akan dicapai fiskus, baik untuk jangka pendek, jangka menengah,
maupun jangka panjang. Praktik fungsi perencanaan ini terlihat dari
pasal-pasal dalam UUD 1945, amanat dalam GBHN, undang-undang
dan rencana penerimaan pajak di dalam REPELITA, PROPENAS, dan
RAPBN. Fungsi perencanaan meliputi pengajuan alternatif-alternatif dan
pengambilan keputusan terhadap apa yang akan dicapai, dengan cara
apa, siapa dan bagaimana. Jika diteliti misalnya dalam RAPBN tahun
2011 terdapat perencanaan penerimaan pajak yang terutang dalam
angka-angka sebagai berikut.
a) Pajak Penghasilan Rp414.493,0 triliun
b) Pajak Pertambahan Nilai Rp 309.335,1 triliun
c) Pajak Bumi dan Bangunan Rp 27.676,2 triliun
d) Cukai Rp 60.711,5 triliun
e) Pajak lainnya Rp 4.201,5 triliun
Jumlah Rp 839.540,3 triliun
2) Fungsi pengorganisasian
Administrasi pajak sebagai bagian administrasi publik melakukan juga
fungsi pengorganisasian dalam bentuk pengelompokan tugas, tanggung
jawab, wewenang dan para petugas (Sumber Daya Manusia) sedemikian
rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efisien.
Pengorganisasian dalam perspektif postmodern adalah menjadikan
organisasi sebagai organisasi pembelajar (learning organization) dengan
sasaran untuk mendapatkan inovasi.
Dalam praktik fungsi ini terwujud dalam struktur organisasi Direktorat
Jenderal Pajak sebagai bagian dari Organisasi dan Tata Kerja Direktorat
ADBI4330/MODUL 1 1.13
Kantor Pusat
a. Sekretariat Direktorat Jenderal.
b. Direktorat Peraturan Perpajakan I.
c. Direktorat Peraturan Perpajakan II.
d. Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
e. Direktorat Intelijen dan Penyidikan.
f. Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian.
g. Direktorat Keberatan dan Banding.
h. Direktorat Potensi Kepatuhan dan Penerimaan.
i. Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat.
j. Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan.
k. Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur.
l. Direktorat Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi.
m. Direktorat Transformasi Proses Bisnis.
n. Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.
o. Kantor Wilayah Wajib Pajak Besar dan Jakarta Khusus
Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar dan Madya.
p. Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
q. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.
1.14 Administrasi Perpajakan
ADBI4330/MODUL 1 1.15
1.16 Administrasi Perpajakan
ADBI4330/MODUL 1 1.17
1.18 Administrasi Perpajakan
ADBI4330/MODUL 1 1.19
1.20 Administrasi Perpajakan
ADBI4330/MODUL 1 1.21
1.22 Administrasi Perpajakan
ADBI4330/MODUL 1 1.23
1.24 Administrasi Perpajakan
3) Fungsi penggerakan
Administrasi pajak sebagai bagian dari administrasi publik melakukan
juga fungsi penggerakan dalam bentuk kegiatan mempengaruhi pegawai
untuk menjalankan tugasnya sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan
yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Fungsi penggerakan
menduduki tempat yang strategis karena fungsi inilah yang sangat
berhubungan erat dengan sumber daya manusia. Fungsi penggerakan
ADBI4330/MODUL 1 1.25
b. Sebagai sistem
Sebelum menguraikan administrasi pajak sebagai suatu sistem, perlu
melihat kembali pengertian sistem yang telah disajikan pada modul
terdahulu. Berikut ini beberapa penekanan saja.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan sistem sebagai berikut.
1) Seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas.
2) Susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya.
3) Metode.
c. Sebagai lembaga
Administrasi pajak dapat dilihat sebagai suatu lembaga, yaitu sebagai
salah satu Direktorat Jenderal pada Departemen Keuangan R.I., yang
terwujud pada adanya kantor-kantor mulai dari Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak di Jakarta, Kantor-Kantor Wilayah, Kantor Pelayanan Pajak,
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Penyuluhan dan
Pengamatan Potensi Perpajakan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
yang telah dibahas di atas.
Sangat disadari bahwa administrasi pajak tidak dapat secara jelas
dipisahkan sebagai fungsi, sistem, dan lembaga, memang tidak ada
pembagian/pemisahan yang demikian. Penyajian administrasi pajak apakah
sebagai fungsi, sistem, atau lembaga hanyalah sebagai alat kemudahan untuk
memahami dari segi-segi tersebut.
d. Manajemen publik
Administrasi pajak yang terdiri dari pimpinan, staf, peralatan,
pengetahuan, dan sistem yang ada, pada tataran makro pada hakikatnya
adalah manajemen publik yang merupakan pertautan antara manajemen,
politik dan hukum. Administrasi pajak pada tataran ini menuntut manajemen
tax bureau untuk mengelola, memanfaatkan dan menciptakan pengetahuan di
antara sumber daya yang ada untuk mencapai berbagai inovasi, antara lain
dengan cara mengubah organisasi yang hierarkis menjadi suatu organisasi
pembelajaran (learning organization).
Selanjutnya, menurut R. Mansury administrasi pajak meliputi 3 aspek
sebagai berikut.
1) The institution that is assigned to administer the tax system, i.e., the tax
department, or in Indonesia the Directorate General of Taxation.
2) The people working within Directorate, i.e., the tax officials.
3) The administrative activities performed by the staff of the Directorate.
The operation of any tax system and the attitude of taxpayers toward
it are strongly influenced by the quality of its administration. It is
often said that the defects of a bad tax may be substantially corrected
by good administration, while bad administration may convert a good
tax into an instrument of injustice. Good administration in this sense
involves on the part of those responsible for it high qualities of
intelligence, impartially and moral strength.
“The three basic task of any tax administration are to identify potential
taxpayers, to assess the appropriate tax on them, and to collect that
tax. In other words, the three E’s of administering taxes are to
enumerate, estimate and enforce”.
1.30 Administrasi Perpajakan
LAT IH A N
R A NG KU M AN
dalam arti sempit lebih tepat disebut tata usaha (clerical work, office
work).
Administrasi pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai fungsi,
sistem, lembaga, dan manajemen publik.
Administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan
pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik
penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus
maupun di kantor wajib pajak. Jadi, yang termasuk dalam kegiatan
penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording),
penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filing).
Sebagai unsur pelaksana Direktorat Jenderal Pajak di Kanwil Ditjen
Pajak terdapat Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak,
Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan.
TES F OR M AT IF 1
Kegiatan Belajar 2
A. FUNGSI PAJAK
1. Teori Asuransi
Menurut teori asuransi pembayaran pajak yang dilakukan oleh warga
negara (masyarakat) dipersamakan dengan pembayaran premi asuransi
kepada negara, oleh karena negara dalam tugasnya telah melindungi orang
dan segala kepentingannya, (dianggap seolah-olah sebagai asuransi).
Namun, pokok pikiran tersebut secara luas kurang dapat diterima dengan
alasan:
a. Negara tidak dapat dipersamakan dengan perusahaan asuransi, karena
apabila terjadi kerugian yang diderita masyarakat, negara tidak
mengganti.
b. Tidak adanya hubungan langsung yang dapat ditunjuk antara jasa-jasa
yang diterima dengan jumlah pembayar pajak.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori kepentingan, pembayaran pajak yang dilakukan oleh
masyarakat kepada negara merupakan perwujudan dari peran serta
masyarakat terhadap biaya kenegaraan dalam rangka menjaga dan
melindungi kepentingan masyarakat. Kepentingan tersebut termasuk
perlindungan atas jiwa dan harta bendanya. Sesuai dengan prinsip teori
tersebut, seharusnya semakin banyak kepentingan seseorang harus semakin
banyak pula membayar pajak. Namun, dalam kehidupan sehari-hari hal
tersebut sulit terlaksana karena misalnya orang yang miskin tentunya punya
kepentingan yang banyak (antara lain perlindungan jaminan sosial dan
sebagainya), tetapi mereka justru tidak membayar pajak. Oleh karena tidak
adanya hubungan langsung antara jumlah pajak yang dibayarkan dengan
kepentingan seseorang terhadap jasa pemerintah maka teori ini pun kurang
dapat diterima.
a. Syarat yuridis
Syarat yuridis menghendaki agar hukum pajak harus dapat memberikan
jaminan dan kepastian hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang
tegas, baik bagi negara (pemungut pajak) maupun untuk masyarakat
(pembayar pajak, wajib pajak). Di Indonesia sebagai negara hukum, dasar
pemungutan pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah
Amandemen ke-tiga Pasal 23A, yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat disusunlah undang-undang pajak,
1.40 Administrasi Perpajakan
b. Syarat ekonomis
Syarat ekonomis menghendaki agar pemungutan pajak tidak
menghalangi atau menghambat atau bukan menjadi kendala terhadap
keseimbangan dalam kehidupan perekonomian, bahkan sebaliknya justru
pajak harus menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi, hal tersebut
sesuai dengan fungsi mengatur yang melekat pada pajak. Oleh karena itu,
dalam kebijaksanaan perpajakan harus diusahakan agar pemungutan pajak
tidak menghambat lancarnya produksi dan perdagangan serta merugikan
kepentingan umum atau menghalangi usaha masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan. Syarat ekonomis ini dapat dipakai untuk mendorong atau
menunjang kebijaksanaan ekonomi pemerintah, misalnya untuk mendorong
pemerataan penghasilan diberlakukan tarif progresif untuk pajak penghasilan
dan sebagainya.
c. Syarat finansial
Syarat finansial menghendaki agar jumlah penerimaan pajak sedapat
mungkin cukup untuk menutup belanja pemerintah (fungsi budgetair), di
samping itu biaya pemungutan pajak hendaknya tidak terlalu besar, dan tetap
memperhatikan unsur efisiensi.
C. TARIF PAJAK
1. Tarif Tetap
Tarif tetap adalah tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun
dasar pengenaan pajaknya berbeda/berubah sehingga jumlah pajak yang
terutang di sini selalu tetap.
Contoh:
a. Tarif bea meterai untuk cek dan bilyet giro dengan jumlah berapa pun
adalah Rp3.000,00.
b. Nilai kuitansi Rp250.000,00 s/d Rp1.000.000,00 dikenakan bea meterai
Rp3.000,00.
c. Nilai kuitansi Rp1.000.000,00 ke atas dikenakan bea meterai
Rp6.000,00.
2. Tarif Progresif
Tarif progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin besar
apabila dasar pengenaan pajaknya meningkat. UU Nomor 17 Tahun 200
1.42 Administrasi Perpajakan
Contoh:
Tuan Handoyo mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp120 juta,
maka untuk menghitung besarnya pajak adalah sebagai berikut.
5% × Rp25 juta = Rp1.250.000
10% × Rp25 juta = Rp2.500.000
15% × Rp50 juta = Rp7.500.000
25% × Rp20 juta = Rp5.000.000
Jumlah pajak terutang = Rp1.250.000
Tarif pajak progresif sering pula disebut sebagai tarif berlapis karena
terdiri atas beberapa tarif yang meliputi berikut ini.
a. Tarif progresif – proporsional
Yaitu persentase pemungutan pajak yang semakin naik dengan semakin
besarnya jumlah yang harus dikenai pajak dan dengan kenaikan marginal
tetap, misalnya:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Kenaikan Pajak
Rp1 s/d 200.000,00 10% 0%
Rp200.000,00 s/d 400.000,00 11% 1,0%
Rp400.000,00 s/d 700.000,00 12% 1,0%
Rp 700.000,00 s/d 1.000.000,00 13% 1,0%
Rp1.000.000,00 s/d 1.400.000,00 14% 1,0%
ADBI4330/MODUL 1 1.43
d. Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang
dikenakan pajak semakin besar. Tarif ini menunjukkan dengan semakin
kecilnya persentase tarif, maka pajak terutang tidak selalu menjadi kecil
namun semakin besar tetapi kenaikannya tidak proporsional dengan
jumlah yang dikenakan pajak, yaitu sebagai berikut.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp25 juta 20%
Di atas Rp25 juta s.d. Rp50 juta 15%
Di atas Rp50 juta s.d. Rp100 juta 10%
Di atas Rp100 juta 5%
1.44 Administrasi Perpajakan
Contoh:
Tuan Bayu Indra mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp120
juta, maka untuk menghitung besarnya pajak adalah sebagai berikut:
20% × Rp25 juta = Rp 5.000.000
15% × Rp25 juta = Rp 3.750.000
10% × Rp50 juta = Rp 5.000.000
5% × Rp20 juta = Rp 1.000.000
Jumlah pajak terutang = Rp14.750.000
3. Tarif Sebanding/Proporsional
Tarif sebanding/proporsional adalah tarif persentase yang tetap terhadap
berapa pun jumlah yang dikenakan pajak sehingga besarnya pajak yang
terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenakan pajak.
Contoh:
UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai
mengenakan besarnya tarif sebesar 10% terhadap penyerahan barang kena
pajak di dalam daerah pabean.
ADBI4330/MODUL 1 1.45
Jadi, dalam tarif sebanding ini, besarnya tarif adalah tetap (dalam
persentase tetap). Sedangkan kalau dalam tarif tetap berarti jumlah pajaknya
tetap. Berapa pun besarnya objek pajak, maka dalam tarif sebanding ini akan
dikenakan pajak dengan persentase tetap tidak berubah karena perubahan
obyeknya.
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
2) Fungsi pajak dalam bentuk paket kebijakan insentif pajak terhadap para
investor adalah fungsi ....
A. pencegahan
B. budgetair (anggaran)
C. regulerend (mengatur)
D. sarana partisipasi masyarakat terhadap pembangunan negara
C. ketegasan
D. kesejahteraan
7) Tarif pajak dimana persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila
jumlah yang dikenakan pajak semakin besar adalah tarif ...
A. sebanding
B. degresif
C. tetap
D. progresif
8) Tarif tetap adalah tarif pajak yang dikenakan dengan ketentuan ....
A. tetap walaupun dasar pengenaan pajaknya berbeda/berubah
B. persentase yang tetap terhadap berapa pun jumlah yang dikenakan
pajak
1.48 Administrasi Perpajakan
9) Tarif pajak yang sering disebut sebagai tarif berlapis adalah tarif ....
A. tetap
B. progresif
C. agresif
D. sebanding
10) Tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin
besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan
kenaikan marginalnya semakin menurun adalah tarif .…
A. tetap
B. progresif-degresif
C. proporsional
D. sebanding
Tes Formatif 1
1) C. Administrasi merupakan suatu fenomena sosial, suatu perwujudan
tertentu di dalam masyarakat (modern), gejala yang muncul dalam
masyarakat modern.
2) B. Administrasi merupakan suatu fungsi tertentu untuk mengendalikan,
menggerakkan, mengembangkan dan mengarahkan suatu
“organisasi”, yang dijalankan oleh Administrator dibantu oleh tim
bawahannya, terutama para manager dan staffer.
3) D. Pendapat ini dikemukakan oleh Prayudi, di mana administrasi
merupakan suatu fungsi tertentu untuk mengendalikan,
menggerakkan, mengembangkan, dan mengarahkan suatu
“organisasi”, yang dijalankan oleh administrator dibantu oleh tim
bawahannya, terutama para manager dan staffer.
4) C. Merujuk pada beberapa pendapat ahli termasuk Prayudi maka dalam
arti luas administrasi menyangkut masalah fungsi, sistem, lembaga
dan manajemen publik, sedangkan pembukuan sederhana tidak
termasuk ke dalamnya karena sudah menyangkut masalah teknis dan
aplikasi.
5) C. Administrasi Pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan
pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak,
baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor
fiskus maupun di kantor wajib pajak. Jadi, yang termasuk dalam
kegiatan penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan
(recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filing).
6) A. Kantor Pelayanan Pajak mempunyai tugas melaksanakan pelayanan,
pengawasan administratif dan pemeriksaan sederhana terhadap
Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai,
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan Pajak Tidak Langsung
Lainnya dalam daerah wewenangnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7) B. Jadi, yang termasuk ke dalam fungsi birokrasi perpajakan ialah
assessment pajak, auditing pajak dan estimasi pajak, sedangkan
fungsi mengesahkan undang-undang perpajakan berada pada Dewan
Perwakilan Rakyat.
1.50 Administrasi Perpajakan
8) D. Selain kegiatan clerical works yang umumnya rutin dari hari ke hari,
masih ada fungsi lain yang harus dilakukan oleh tax bureau, yakni
assessment dan auditing. Assessment adalah fungsi tax bureau untuk
menghitung dan kalau perlu menetapkan jumlah pajak yang harus
dibayar oleh wajib pajak, baik sebagai perkiraan jumlah pajak dalam
tahun berjalan (estimated tax) maupun sebagai jumlah pajak yang
harus dibayar dalam SKPKB. Adapun penetapan keputusan dan
banding adalah fungsi BPSP.
9) C. Ketentuan tentang pemeriksaan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU
KUP 2000 yang menyatakan bahwa “Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
10) A. Tugas pokok kedua adalah estimation, yakni menghitung atau
mengestimasi berapa jumlah pajak yang akan terutang dan harus
dibayar oleh wajib pajak. Ketentuan mengenai estimation diatur
dalam Pasal 25 UU PPh. Pasal 25 ini dikenal juga dengan pelunasan
pajak pada tahun berjalan.
Tes Formatif 2
1) D. Fungsi pajak terdiri dari 3 hal, yaitu budgetair (anggaran), regulerend
(mengatur), sarana partisipasi masyarakat terhadap pembangunan
negara.
2) C. Fungsi pajak dalam bentuk paket kebijakan insentif pajak terhadap
para investor adalah fungsi mengatur.
3) A. Asas keadilan adalah asas pemungutan pajak menurut falsafah hukum
4) C. Dalam Teori Gaya Pikul maka pembayaran pajak oleh masyarakat
disesuaikan dengan gaya pikul masing-masing orang yang ukurannya
adalah besarnya penghasilan.
5) A. Syarat yuridis adalah syarat pembuatan UU Pajak yang menghendaki
hukum pajak dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum yang
perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik bagi negara selaku
pemungut pajak maupun untuk wajib pajak.
6) D. Pemungutan pajak tidak menghambat keseimbangan dalam
kehidupan perekonomian adalah syarat ekonomis, bukan syarat
finansial.
7) B. Tarif degresif adalah tarif pajak di mana persentase tarif yang
digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenakan pajak semakin
besar.
ADBI4330/MODUL 1 1.51
8) A. Tarif tetap adalah tarif pajak yang dikenakan dengan ketentuan tetap
walaupun dasar pengenaan pajaknya berubah.
9) B. Tarif progresif adalah tarif pajak berlapis karena terdiri atas beberapa
tarif misalnya tarif progresif- progresif, tarif progresif-proporsional,
dan progresif-degresif.
10) B. Tarif progresif-degresif adalah tarif pemungutan pajak dengan
persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang
digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan marginalnya
semakin menurun.
1.52 Administrasi Perpajakan
Daftar Pustaka
Jaime V. Caro, “Why I don‟t want to pay my tax” in. (1993). How to
influence the Taxpayer’s Tax Consciusness for Improving His
Behaviour”, Chile, in Inter American Centre of Tax Administration,
CIAT.
ADBI4330/MODUL 1 1.53
“System Analysis”, The Word Book Encycpedia, Woerd Book. Inc Vol. 18,
1984
"Tax Administation", Encylopaedia of the Social Sciences, The Mc Millan
Company. 1957.
PEN D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
A. PENGERTIAN PAJAK
Secara harfiah kata pajak tidak jauh berbeda dengan pengertian pungutan
karena kata pajak telah kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari, dan
hampir di semua segi kehidupan mengandung pajak. Bahkan di kehidupan
paling bawah pun pajak dapat ditemui dalam bentuk yang berbeda, tetapi
dengan muatan yang kurang lebih sama. Misalnya pungutan yang
mempunyai pengertian sama dengan pembayaran iuran sekolah dan pungutan
lainnya, pungutan sampah rumah tangga dan keamanan di lingkungan kita.
Pungutan yang dipaksakan secara sepihak oleh dan terutang kepada penguasa
(pemerintah) menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum. Masalah
pajak memang masalah yang sensitif karena menyangkut hubungan antara
warga negara dengan negara, DPR, Pemerintah, dan undang-undang. Pajak
juga merupakan salah satu penyebab kemerdekaan Amerika Serikat karena
adanya tuntutan no taxation without represantion, yaitu tidak akan membayar
pajak kalau tidak mempunyai wakil rakyat di Inggris.
Menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Pengantar Hukum Pajak
menyebutkan pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di
dalam masyarakat. Sedangkan masyarakat dapat berarti kumpulan manusia
yang pada suatu waktu berkumpul untuk tujuan tertentu. Baiklah mari kita
telaah bersama masing-masing pengertian mengenai masyarakat dan Negara.
Early Suandy dalam bukunya Hukum Pajak (2000), menjelaskan pengertian
masyarakat yang terdiri dari individu yang mempunyai hidup dan
kepentingan sendiri yang berbeda dengan hidup masyarakat dan kepentingan
masyarakat. Namun, individu tidak mungkin hidup berdiri sendiri tanpa
adanya masyarakat. Definisi pajak yang merupakan peralihan kekayaan dari
rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk
membiayai public investment. Dengan demikian, pungutan pajak merupakan
kewajiban masyarakat untuk menyerahkan sebagian kekayaannya ke kas
negara tanpa timbal balik langsung dari negara. Jadi, berbeda dengan
retribusi yang dibayar karena adanya suatu transaksi barang atau jasa karena
pungutan pajak merupakan kewajiban masyarakat. Kewajiban ini diatur
ADBI4330/MODUL 2 2.3
B. DEFINISI PAJAK
Selain terdapat pengertian pajak dari pandangan para ahli di atas, ada
juga pengertian pajak lain, yaitu dari dua sudut, yaitu perspektif ekonomi dan
perspektif hukum. Pajak dari perspektif ekonomi dapat berarti beralihnya
sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Penjelasan ini
memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi yaitu,
pertama berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya
untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya
kemampuan keuangan negara terutama dalam penyediaan barang dan jasa
publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara pemahaman pajak
dari perspektif hukum menurut Rochmat Soemitro (2000) yang didefinisikan
sebagai suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan
sejumlah penghasilan tertentu kepada negara karena negara mempunyai
kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan. Dengan menggunakan pendekatan hukum ini
memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-
2.8 Administrasi Perpajakan
undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai
pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Bila dihubungkan pada definisi Prof. P. J. A. Adriani, pajak dengan
istilah iuran wajib berarti ada harapan dengan terpenuhinya pajak yang
dipungut dengan bantuan dan kerja sama dengan wajib pajak sehingga dalam
setiap peraturan perlu dihindari penggunaan istilah paksaan. Karena suatu
kewajiban harus dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan. Dalam hal
kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka peraturan perundangan akan
menunjukkan cara pelaksanaan penagihan pajak yang lain. Selanjutnya kata
paksaan tidak hanya melekat pada kata pajak, tetapi juga pada bentuk
pungutan yang lain. Jadi, tidak berkelebihan kiranya, kalau mengenai pajak
selalu berhubungan dengan penekanan pada pentingnya paksaan itu; seakan-
akan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya. Dalam
hal ini, Prof. P. J. A. Adriani sudah menekankan bahwa pajak adalah Iuran
wajib bagi setiap warga negara; dengan pengertian tidak perlu tambahan kata
yang dapat dipaksakan. Adapun penjelasan mengenai kontraprestrasi, Dr.
Soeparman berpendirian bahwa justru untuk menyelenggarakan
kontraprestasi itulah perlu dipungut pajak; karena seperti diketahui bukankah
pembiayaan atas pengeluaran pemerintah untuk penyelenggaraan negara di
berbagai bidang seperti keamanan, kesejahteraan, kehakiman, pembangunan,
dan hal-hal lainnya sudah merupakan pemberian kontraprestasi bagi
pembayar pajak selaku anggota masyarakat?
1. Ciri-ciri Pajak
Dari definisi pajak di atas, baik pengertian secara ekonomis atau
pengertian secara yuridis, yaitu maka dapat disimpulkan mengenai ciri-ciri
yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut.
a. Dasar hukum pajak adalah Pasal 23 A Perubahan ketiga UUD 1945 yang
berbunyi "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dalam undang-undang‖. Jadi, Pajak dipungut
berdasarkan undang-undang dan pajak termasuk pula dalam kategori
pungutan lain yang dipungut oleh negara dan perangkatnya, yaitu
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berdasarkan kekuatan UU
serta peraturan pelaksanaannya.
ADBI4330/MODUL 2 2.9
Dari pengertian dan ciri-ciri pajak tersebut maka dapat dipahami kalau
aparat pajak selalu bersemangat dengan inovasi yaitu mencoba mengaitkan
pajak dengan patriotisme dan pembangunan. Tetapi, secara substansial
apakah mereka yang sudah membayar pajak merupakan patriot dan pahlawan
pembangunan yang sebenarnya, itu masih bisa diperdebatkan.
2. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal di atas maka pajak
mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut.
2.10 Administrasi Perpajakan
3. Pendekatan Pajak
Suandy (2000) menjelaskan mengenai perkembangan Pajak menjadi
objek studi yang dapat didekati dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai
berikut.
a. Segi ekonomi. Dalam pendekatan pajak dinilai berdasarkan fungsinya
dan dikaji dampaknya terhadap penghasilan seseorang, pola konsumsi,
harga pokok, permintaan dan penawaran.
b. Segi pembangunan. Pendekatan ini akan dinilai dalam fungsinya dan
mengkaji dampak pajak dalam pembangunan, idealnya jumlah pungutan
pajak harus lebih besar dari pengeluaran rutin sehingga terdapat public
saving yang dapat digunakan untuk pembangunan. Di sisi lain, pajak
dapat merupakan alat fiscal policy atau kebijaksanaan fiskal, di mana
kedua fungsi pajak dikombinasikan sedemikian rupa sehingga dapat
memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi negara.
c. Segi penerapan praktis. Pokok pembahasan pada segi penerapan praktis
ini adalah kepada siapa yang dikenakan, apa yang dikenakan, berapa
besarnya, bagaimana menghitungnya tanpa harus memperhitungkan
kepastian hukumnya.
d. Melalui pendekatan hukum lebih menekankan pada perikatan
(verbintenis), hak dan kewajiban wajib pajak, subjek pajak dalam
hubungannya dengan subjek pajak.
Sumbangan
Menurut Santoso Brotodiharjo, dalam sumbangan itu terkandung
pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah
tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak
ditujukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan hanya sebagian penduduk
saja. Oleh karena itu, maka hanya golongan tertentu dari penduduk ini sajalah
2.14 Administrasi Perpajakan
Seperti diketahui, Hukum pajak merupakan salah satu bagian dari hukum
tata usaha Negara (Hukum administratif Negara). Tetapi, dalam
perkembangannya, ada aliran yang menghendaki supaya hukum pajak
merupakan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri terlepas dari hukum
Administratif Negara. Sebagai pelopor dari aliran ini adalah Prof. P. J. A.
Adriani. Alasannya:
a. hukum mempunyai tugas yang bersifat lain dari pada pajak dapat
dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian;
b. hukum pajak mempunyai istilah-istilah tersendiri.
Akhir dari perkembangannya saat ini hukum pajak sudah berdiri sendiri
sejajar dengan hukum administrasi negara karena hukum pajak juga
mempunyai tugas yang bersifat lain dari pada hukum administrasi negara
pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk
menentukan politik perekonomian negara.
terakhir dari Bab VIII buku pertama mengenai Peraturan Umum KUHP
menunjukkan bahwa ketentuan pidana yang tersebar di luar kumpulan
KUHP, dinyatakan berlaku atau dapat diperlakukan sesuai ketentuan-
ketentuan KUHP sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. Dalam
kaitan ini, maka ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang pajak
dapat diperlakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam buku pertama
(peraturan umum) dari KUHP, kecuali undang-undang pajak dapat
diperlakukan sesuai dengan menentukan lain. Jika ditentukan lain, maka yang
berlaku adalah hukum pajak sebagai lex specialis.
Dalam peraturan pajak harus terdapat sanksi yang bersifat khusus,
misalnya pengenaan hukuman bagi badan hukum yang melanggar, walaupun
pengenaan hukum pidana ini lebih melekat pada perseorangan yang
bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut. Prof. Mr. J. E. Jonkers
dalam bukunya Handboek van Het Indonesisch Staatblad, menyebutkan
mengenai KUHP yang telah banyak memuat ancaman bagi pelanggaran
terhadap peraturan pajak, seperti yang tercantum dalam Pasal 322 KUHP
yang mengatur ancaman terhadap pegawai yang telah sengaja membuka
rahasia jabatan yang seharusnya disimpan baik-baik.
Kebutuhan untuk memasukan peraturan yang menyimpang dari
ketentuan hukum pidana fiskal, telah ternyata makin lama makin berkurang.
Kecenderungan (tendensi) ini mungkin sekali disebabkan oleh keinsafan,
bahwa pengertian modern mengenai tata tertib hukum ini meliputi segala
lapangan, lagi pula karena keyakinan bahwa diadakannya segala macam
hukuman adalah terdorong oleh keinginan dari pihak penguasa untuk
menyelamatkan kepentingan umum dalam segala lapangan, dengan sejitu-
jitunya.
Prof. Dr. Mr. J. van der Poel (Direktur Pajak Kerajaan Belanda dan
Direktur merangkap Guru Besar Akademi Pajak Rotterdam) dalam bukunya
Random Compositie en Compromis mengutarakan bahwa hukum pidana
sudah barang tentu tetap ada dan memiliki perbedaannya yang khusus karena
hukum pajak sangat membutuhkannya dalam rinciannya. Lagi pula,
sekalipun dasar hukumannya sama, namun dalam sejarah perkembangannya
agak menyimpang. Menurut pendapatnya, kira-kira setengah abad yang lalu,
pelanggaran pajak dianggap terlalu remeh (simplisitis) dan terlalu formal,
sedangkan teori dalam filsafat yang terbaru pun mengenai pelanggaran dalam
hukum pajak, hal itu tidak terlalu berbeda antara pencurian terhadap negara
dan pencurian terhadap individu.
ADBI4330/MODUL 2 2.19
Dalam soal pajak ini, negara berhadapan dengan wajib pajak sebagai
penguasa dalam menunaikan tugasnya untuk mengatur hubungannya dengan
warganya. Inilah sebabnya maka di muka dikatakan bahwa hukum pajak
merupakan bagian dari hukum administratif, yaitu peraturan mengenai
luasnya dan cara penunaian tugas pemerintah dan aparatur negara, pula
peraturan penyelenggaraannya.
Karena dalam penyelenggaraan hukum publik sangat diperlukan kontrol
oleh pemerintah terhadap pelaksanaan hukum itu, dan pengawasan tadi
diperketat dengan pemberian sanksi-sanksi yang sesuai secara pidana.
Maka masyarakat yang selalu berhubungan erat dengan instansi pajak,
yaitu Direktorat Jenderal Pajak dengan kantor cabangnya dan Direktorat Bea
dan Cukai dengan kantor-kantor cabangnya. Bagi hukum pajak, hubungan
semacam ini termasuk hubungan yang bercorak khusus, dan diatur dalam
masing-masing perundangan. Menurut Samidjo (1985), hukum pajak yang
merupakan bagian dari Hukum Pidana Khusus, yaitu suatu peraturan yang
hanya ditujukan bagi tindak pidana tertentu, seperti pemberantasan tindak
pidana ekonomi, korupsi, dan lain-lain. Dalam hal ini hukum pajak menganut
adagium yang dikenal dengan Lex specialis derograt lex generalis yang
berarti, hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana
umum.
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
2) Perubahan ketiga UUD 1945 merupakan dasar hukum pajak yang diatur
dalam Pasal ....
A. 33
B. 23 A
C. 2 ayat 3
D.
Kegiatan Belajar 2
Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah
untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan
mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak, baik dari segi
penghitungan maupun dari segi waktu.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Bagaimana pajak dipungut
akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem
yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban
pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi
para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran
pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan
semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
1) Bea meterai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi hanya 2
macam tarif.
2) Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif,
yaitu 10%.
3) Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang
berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi).
Dari keempat prinsip yang diajukan oleh Adam Smith maka dapat
disimpulkan bukan saja asas ekonomis finansial dan keadilan, tetapi asas
kesetiaan kepada negara (loyal) dan pertumbuhan masyarakat juga mendapat
perhatiannya dalam memiliki struktur perpajakan yang baik.
Prof. W. J. de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda
menyebutkan adanya tujuh asas pokok perpajakan yang ideal, yaitu sebagai
berikut.
1. Asas kesamaan, pengertiannya bahwa seseorang dalam keadaan yang
sama. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak.
2. Asas Daya Pikul, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap wajib
pajak hendaknya terkena wajib beban pajak yang sama. Ini berarti orang
yang pendapatannya tinggi dikenakan pajak yang tinggi, yang
pendapatannya rendah dikenakan pajak yang rendah dan pendapatannya
di bawah basic need dibebaskan dari pajak. Untuk mengetahui
kemampuan seseorang itu yang perlu diperhatikan adalah
penghasilannya (income), kekayaan (personal wealth) dan pengeluaran-
pengeluaran untuk konsumsinya.
3. Asas Keuntungan Istimewa, bahwa seseorang yang mendapatkan
keuntungan istimewa hendaknya dikenakan pajak istimewa pula.
Misalnya: warisan, pungutan atau izin mengusahakan tambang, dan lain-
lain.
4. Asas Manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah
didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barang-
barang dan jasa yang disediakan atau diproduksi oleh pemerintah. Di sini
pembayaran pajak disamakan dengan transaksi jual beli, yaitu seseorang
2.32 Administrasi Perpajakan
2. Asas Ekonomis
Pemilihan mengenai perpajakan yang sangat tepat apakah hanya
dikenakan pada pendapatan ataukah terhadap modal, dan atau
pengeluaran. Pada umumnya, yang paling adil untuk dikenakan pajak
bagi wajib pajak adalah pajak pendapatan.
3. Asas keadilan
a. Pajak hendaknya bersifat umum atau universal. Ini berarti bahwa
pajak tidak boleh bersifat diskriminatif, artinya seseorang dalam
keadaan yang sama hendaknya diperlakukan yang sama.
ADBI4330/MODUL 2 2.33
4. Asas Administrasi
a. Kepastian perpajakan, artinya bahwa pemungutan pajak hendaknya
bersifat ―pasti― dalam arti harus jelas disebutkan siapa atau apa yang
dikenakan pajak, berapa besarnya, bagaimana cara pembayarannya,
bukti pembayarannya, apa sangsinya jika terlambat membayar, dan
sebagainya.
b. Keluwesan dan penagihan, artinya dalam penggunaan atau
penagihan pajak hendaknya ―luwes‖ dalam arti harus melihat
keadaan pembayar pajak, apakah sedang menerima uang, apakah
tidak mengalami bencana alam, atau apakah perusahaannya
mengalami pailit dan sebagainya.
c. Ongkos pemungutan hendaknya diusahakan sekecil-kecilnya.
LAT IH A N
1) Baca dulu prinsip atau asas yang dikemukakan oleh Adam Smith, W. J.
de Langen, Ursula K. Hicks dihafalkan dulu baru kemudian dilihat
perbedaan dan persamaannya!
2) Baca materi mengenai asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan
Adam Smith! Telaah dan hafalkan!
3) Jawaban sebenarnya adalah ya, bahkan mutlak. Coba saudara pelajari
lebih baik materi yang berkaitan dengan teori kewajiban mutlak atau
teori bakti!
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
4) Pajak hendaknya bersifat umum atau universal, berarti bahwa pajak ....
(1) tidak boleh bersifat diskriminatif
(2) memperlakukan setiap orang dalam keadaan yang sama hendaknya
diperlakukan yang sama
(3) tidak ada penalti bagi wajib pajak yang melanggar
5) Berikut ini yang termasuk sebagai asas pokok perpajakan yang ideal
menurut W.J. de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda,
adalah ....
(1) asas kesamaan
(2) asas Daya Pikul
(3) asas Keuntungan Istimewa
Tes Formatif 1
1) D. Jawaban D yang berbunyi Pendapatan PT Kereta Api Indonesia dari
hasil usaha/operasi perkeretaapian bukan termasuk ruang lingkup
Keuangan Negara.
2) A. Jawabannya terletak pada perbedaan hukum pajak dengan retribusi
adalah dalam Retribusi prestasi kembalinya langsung.
3) A. Jawaban yang benar adalah Pasal 23 A perubahan ketiga UUD 945
yang berbunyi "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang‖. Jadi, Pajak
dipungut berdasarkan undang-undang dan pajak termasuk pula
dalam kategori pungutan lain yang dipungut oleh negara dan
perangkatnya, yaitu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
berdasarkan kekuatan UU serta peraturan pelaksanaannya.
4) D. Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara dapat
ditingkatkan melalui Intensifikasi, Ekstensifikasi dan Paksaan.
5) C. Yang termasuk ke dalam Hukum Publik, adalah bukan Hukum
Perdata, tetapi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi.
Tes Formatif 2
1) C. Ability to pay or equality of sacrifice, certarity, conveniency dan
economy merupakan jawaban yang benar merupakan salah satu dari
asas yang dikemukakan oleh Adam Smith dengan ajarannya yang
dikenal dengan nama Smith Canon’s.
2) B. Dengan memberikan pembebasan sebagai penghasilan yang perlu
untuk memenuhi kebutuhan primer dalam bentuk pendapatan tidak
kena pajak (PTKP) merupakan salah satu bentuk penerapan bestaan
minimum dalam undang-undang pajak penghasilan Indonesia.
3) A. Prinsip kesesuaian dan prinsip kesenangan merupakan dua asas
pemungutan pajak seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith
dalam bukunya Wealth of Nation yang lazim dikenal dengan four
canons taxation atau sering juga disebut the four maxims.
ADBI4330/MODUL 2 2.39
Daftar Pustaka
Bohari. (2006). Pengantar Hukum Pajak. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Dewano, Sony dan Rahayu, Siti Kurnia. (2006). Perpajakan: Konsep, Teori
dan Isu. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Rochmat Soemitro. (2006). Asas dan Dasar Perpajakan Jilid I s/d III.
Penerbit Eresco, Bandung,
Samidjo, SH. (1985). Ringkasan dan Tanya Jawab hukum Pidana. Bandung:
CV Armico.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan jo UU No. 16 Tahun 2000 jo UU No. 27 Tahun 2008 tentang
Perubahan Ketiga Terhadap No. 5 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan.
Utrecht dalam Kansil. (1983). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Anonim. (2006). Jenis & Macam Norma-norma Sopan Santun, Agama &
Hukum - Kebiasaan Yang Berlaku dalam Kehidupan Sehari-Hari - Ilmu
PMP dan PPKn. Sun, 06/08/2006 - 10:33pm.
http://organisasi.org/jenis_macam_norma_norma_sopan_santun_agama_
hukum_kebiasaan_yang_berlaku_dalam_kehidupan_sehari_hari_ilmu_p
mp_dan_ppkn diakses 27 Agustus 2009.
PEN D A HU L UA N
D alam menerapkan suatu pajak tidak dapat diterapkan begitu saja. Suatu
pajak perlu ditetapkan terlebih dahulu penggolongannya baru kemudian
ditentukan bagaimana pengenaannya, dan setelah itu ditetapkan tarifnya. Ada
beberapa kriteria yang dapat diterapkan sebelum pajak tersebut diterapkan,
yaitu:
1. pajak dikenakan atas apa;
2. siapa yang membayar pajak;
3. siapa yang menanggung beban pajak;
4. siapa yang memungut pajak.
Kegiatan Belaj ar 1
Penggolongan Pajak
Jenderal Pajak. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh
daerah, dalam hal ini Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).
1. Pajak Pusat
Merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai pengeluaran umum (negara).
Pajak yang pengelolaannya oleh Direktorat Jenderal Pajak, meliputi
berikut ini.
a. Pajak Penghasilan (PPh) yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan
yang diterima oleh wajib pajak baik perorangan maupun badan hukum.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM) atas penyerahan barang dan jasa baik ekspor maupun impor.
c. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu pajak yang dikenakan atas bumi
dan bangunan.
d. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
e. Bea Meterai yaitu pajak yang dikenakan atas bea meterai.
2. Pajak Daerah
Merupakan pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah
daerah guna membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah. Pajak daerah
meliputi pendapatan asli daerah yang terdiri atas:
ADBI4330/MODUL 3 3.5
Pajak yang dipungut oleh provinsi tersebut, baik besarnya tarif maupun
jenis pajaknya telah ditentukan secara limitatif oleh UU. Artinya, provinsi
tidak boleh menambah pajak baru atau menaikkan tarif pajak yang telah
ditentukan.
Tarif dan penagihan pajak daerah diatur dalam peraturan pajak daerah
yang bersangkutan. Peraturan pajak daerah juga dapat diadakan ketentuan
tentang keharusan wajib pajak untuk mengisi semacam SPT yang berupa
daftar isian yang disampaikan kepadanya yang dapat digunakan untuk
penetapan pajak. Penagihan pajak daerah dapat pula dilakukan dengan Surat
paksa yang ditandatangani oleh Kepala daerah setelah melalui peringatan dan
teguran terlebih dahulu. Pelaksanaan Surat Paksa dilakukan oleh Juru Sita.
Dalam hal wajib pajak keberatan atas ketetapan pajak maka dalam jangka
waktu 3 bulan sesudah ketetapan pajak diberikan atau dikirimkan, wajib
pajak dapat mengajukan keberatan secara tertulis yang ditujukan kepada
kepala daerah yang menetapkan pajak tersebut. Apabila keputusan atas
keberatan yang diajukan tidak dapat diterima oleh wajib pajak, maka wajib
pajak dapat mengajukan banding yang ditujukan kepada Peradilan Pajak di
Jakarta menurut ketentuan yang berlaku. Permohonan diajukan dalam jangka
waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan itu diterima.
B. BERDASARKAN GOLONGANNYA
C. BERDASARKAN SIFATNYA
1. Pajak Subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada diri orang yang
dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya,
kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus
ada hubungan antara negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi, yang
penting adalah subjeknya, yang dapat dibedakan antara perorangan dan badan
usaha.
Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal pada diri orang yang
dikenakan pajak. Pajak subjektif dimulai dengan menetapkan orangnya,
kemudian baru dicari objeknya. Dalam pemungutan pajak subjektif ini harus
ada hubungan antara Negara pemungut pajak dengan subjek pajak. Jadi yang
penting adalah subjeknya, yang dapat dibedakan antara perorangan dan badan
usaha.
2. Pajak Objektif
Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada obyek yang dikenakan
pajak dan untuk mengenakan pajaknya harus dicari objeknya. Pada pajak
objektif dimulai dengan obyeknya seperti keadaan, peristiwa, perbuatan dan
lainnya, baru kemudian dicari orangnya yang harus membayar pajaknya,
yaitu subjeknya. Dalam pemungutan pajak objektif harus ada hubungan
antara Negara pemungut pajak dengan objek pajak. Pajak objektif selalu
dipungut berdasarkan asas sumber, sedangkan pajak subjektif selalu dipungut
berdasarkan asas domisili dan asas nasionalitas.
Menurut Safri Nurmantu, penggolongan pajak juga dapat dilihat melalui
pajak pribadi dan pajak kebendaan. Yang termasuk pajak pribadi adalah
pajak yang pengenaannya memperhatikan kondisi wajib pajak, misalnya
apakah wajib pajak tersebut sudah menikah atau belum, apakah wajib pajak
tersebut mempunyai anak, seandainya punya ada berapa? Pajak pribadi ini
dapat kita lihat pertama pada Pajak Pendapatan 1944 yang dikenal dengan
Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP) yang memungkinkan seorang wajib
pajak menikmati pengurangan BPBP sampai dengan sepuluh anak. Kedua
pada Pajak Penghasilan 1983 yang diwujudkan dalam Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP), di mana jumlah maksimum pengurangnya adalah 3
anak/tanggungan.
Yang termasuk Pajak Kebendaan adalah pajak yang waktu
pengenaannya tidak memperhatikan keadaan wajib pajak. Pajak Kebendaan
ini terdapat pada Pajak Penjualan 1951 dan Pajak Pertambahan Nilai 1984 di
ADBI4330/MODUL 3 3.9
LAT IH A N
1) Untuk menjawab soal No. 1 ini, coba baca kembali pengertian pajak
langsung dengan pajak tidak langsung dan berilah masing-masing
contoh. Dari situ akan terlihat perbedaan antar pajak langsung dengan
pajak tidak langsung.
2) Untuk menjawab soal No. 2 ini, coba baca kembali pengertian pajak
subjektif dengan pajak objektif dan berilah masing-masing contoh. Dari
situ akan terlihat perbedaan antar pajak subjektif dengan pajak objektif.
3) Tax shifting terdiri dari dua, yaitu forward shifting dan backward
shifting. Contoh untuk keduanya adalah masalah bahan bakar kendaraan
bermotor (BBKB). Apabila Pak Amir beli bensin 20 liter dengan harga
Rp5.000 akan dikenai tarif 5% sehingga harus membayar sebesar
Rp100.000 untuk bensin dan Rp5.000 untuk BBKB dan jumlahnya
menjadi Rp105.000. Ini merupakan forward shifting. Namun, pada saat
akan diterapkan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah di mana salah satunya adalah pajak bahan bakar
kendaraan bermotor maka akan terjadi pajak ganda dan ini
memberatkan. Keputusan akhir pajak bahan bakar kendaraan bermotor
ditanggung oleh pengusaha kena pajak, yaitu Pertamina, dan ini
merupakan backward shifting.
3.10 Administrasi Perpajakan
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
3) Pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain disebut
pajak ....
A. pusat
B. langsung
C. subjektif
D. objektif
Kegiatan Belajar 2
A. PENGENAAN PAJAK
1. Subjek Pajak
Subjek Pajak dalam ketentuan UU dapat berarti orang (pribadi/person)
atau kumpulan orang-orang yang dapat bertindak sebagai person (Recht
Person). Kumpulan orang dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT),
Perseroan Komanditer (CV), koperasi, Yayasan dan sebagainya yang dalam
istilah UU disebut badan atau Bentuk Usaha Tetap (lihat UU No. 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana telah diubah dan
terakhir dengan UU No. 26 Tahun 2007). Kalau orang dapat dituntut dan
menuntut, maka kumpulan orang juga dapat dituntut dan menuntut. Demikian
juga apabila orang dapat memiliki harta dan atau kuasa menggunakan harta,
maka kumpulan orang pun demikian.
2. Objek Pajak
Yang dimaksud dengan objek pajak atau dikenal juga dengan istilah situs
pajak adalah objek atau tempat di mana pajak dikenakan. Dasar hukumnya
adalah bahwa Negara di mana subjek akan dikenakan adalah bahwa Negara
di mana subjek yang akan dikenakan pajak terdapat di dalam Negara,
mempunyai hak untuk memaksakan atau mengenakan serta mengumpulkan
(memungut) pajak. Objek pajak perlu dibahas karena subjek pajak yang dapat
memperoleh pendapatan, memiliki dan atau menguasai harta, mengadakan
transaksi, berada dalam suatu wilayah hukum Negara tersebut. Dengan
3.14 Administrasi Perpajakan
demikian, dapat dikatakan bahwa objek pajak adalah membahas tentang apa
yang terkena pajak tergantung kepada beberapa hal (faktor), antara lain:
a. sifat dan subjek pajak yang bersangkutan dengannya seperti orang, harta,
tindakan atau aktivitas;
b. kemungkinan keuntungan dan proteksi yang nantinya dimiliki baik oleh
pemerintah maupun wajib pajak;
c. tempat tinggal atau kewarganegaraan wajib pajak;
d. sumber pendapatan.
B. TARIF PAJAK
Setelah kita mengetahui siapa Subjek Pajak, dan apa Objek Pajak,
langkah berikutnya adalah menentukan Tarif Pajak. Adapun tujuan
pemungutan pajak adalah untuk mencapai keadilan dalam pemungutannya.
Salah satu cara untuk mewujudkan keadilan dapat ditempuh melalui sistem
tarif. Tarif pajak dapat dibedakan atas.
1. Tarif Tetap
Yang dimaksud dengan tarif tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya
dalam rupiah (atau dolar) bersifat tetap walaupun jumlah Objek Pajaknya.
Misalnya tarif Bea meterai yang berdasarkan pada UU No. 13 Tahun 1985
sebagai berikut.
a. Bea Meterai untuk cek dan bilyet giro yang dikenakan bea meterai
sebesar Rp3.000.
b. Nilai kuitansi Rp250.000 s.d Rp1.000.000 dikenakan Bea meterai
Rp3.000.
c. Nilai kuitansi atau tanda terima uang Rp1.000.000, Rp100.000.000,
Rp10.000.000 dan seterusnya dikenakan Bea Meterai Rp6.000.
ADBI4330/MODUL 3 3.15
Contoh:
Barnabas Suebu melakukan pembelian di sebuah toko elektronik berupa:
a. 1 unit Air Conditioner (AC) @ Rp6.000.000,-
b. 1 unit Handphone merk Nokia @ Rp1.900.000,-
Semua barang yang dibeli dibubuhi meterai oleh toko elektronik. Oleh karena
pembelian barang di atas Rp1.000.000,- maka dikenakan meterai Rp6.000
untuk satu kuitansi pembelian.
2. Tarif Proporsional
Tarif proporsional adalah tarif yang persentasenya tetap walaupun
jumlah objek pajaknya berubah-ubah. Contohnya adalah Pajak Pertambahan
Nilai/PPN di mana semua harga barang di tingkat akhir dikenakan pajak PPN
adalah sama sebesar 10%.
Contoh:
Barnabas Suebu melakukan pembelian di sebuah toko elektronik berupa:
a. 1 unit air Conditioner (AC) @ Rp6.000.000
b. 2 unit Handphone merk Nokia @ Rp1.900.000
Semua barang yang dibeli oleh toko elektronik dikenakan PPN 10%,
meskipun Barnabas Suebu membeli barang tersebut lebih dari 1 unit. Dalam
hal ini persentase tarifnya tetap (proporsional) walaupun jumlah barang yang
dibeli tidak tetap. PPN yang harus dibayar oleh Barnabas Suebu adalah:
untuk AC Rp600.000, untuk 2 handphone Rp380.000.-.
Dasar
Kenaikan
Pengenaan Tarif Pajak Jumlah Pajak
Tarif
Pajak
Rp10.000.000 s.d Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000 (10.000.000 x 10%)
Rp20.000.000 s.d Rp20.000.000 = 15% 5% Rp3.000.000 (20.000.000 x 15%)
Rp30.000.000 s.d Rp30.000.000 = 20% 5% Rp5.000.000 (30.000.000 x 20%)
Rp40.000.000 Di atas Rp30.000.000 = 20% 5% Rp10.000.000 (40.000.000 x 25%)
Dasar
Kenaikan
Pengenaan Tarif Pajak Jumlah Pajak
Tarif
Pajak
Rp10.000.000 s.d. Rp10.000.000 = 10% - Rp1.000.000 (10.000.000 x
10%)
Rp20.000.000 di atas Rp10.000.000 15% 5% Rp2.500.000 (20.000.000 x
s.d. Rp20.000.000 = 10% + 10.000.000 x 15%)
Rp30.000.000 s.d. Rp30.000.000 = 20% 5% Rp4.500.000 (10.000.000 x
10% + 10.000.000 x 20%)
Rp40.000.000 di atas Rp30.000.000 = 20% 5% Rp4.500.000 (10.000.000 x
10% + 10.000.000 x 15% +
10.000.000 x 20% +
10.000.000 x 25% )
4. Tarif Regresif
Merupakan tarif pajak yang makin tinggi objek pajaknya maka makin
rendah persentase tarifnya. Regressive tax adalah suatu jenis pajak yang tidak
memperhatikan keadaan subjek pajak, apakah dia itu kaya atau miskin, tetap
dikenakan tarif yang persentasenya sama. Sebagai contoh, Pajak
Pertambahan Nilai, dengan tarif umum sebesar 10% dikenakan pada
konsumen kaya dan miskin tanpa perbedaan. Tarif Pajak Penghasilan sesuai
UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan yang terdiri dari dua
macam, yakni yang pertama adalah tarif Pajak Penghasilan untuk wajib pajak
orang pribadi sebagaimana diatur pada Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan Tarif
Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak Badan sebagaimana diatur dalam Pasal
17 Ayat (1) huruf b sebagai berikut.
3.18 Administrasi Perpajakan
Tarif PPh Berdasarkan Pasal 17 UU No. 17 Tahun 2000 untuk Wajib Pajak
Orang Pribadi dan Badan dalam Negeri
Lapisan penghasilan yang dikenakan tarif pajak dalam tarif PPh disebut
sebagai lapisan-lapisan penghasilan kena pajak atau brackets. Dalam tarif
PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a yakni tarif PPh untuk Wajib Pajak orang
pribadi terdapat 5 buah brackets. Sedangkan pada tarif PPh Pasal 17 ayat (1)
huruf a, yakni tarif PPh untuk Wajib Pajak badan hanya terdapat 3 buah
brackets.
5. Tarif Degresif/Menurun
Dikatakan tarif degresif apabila persentasenya semakin menurun dengan
semakin besarnya taxable capacity-nya (potensi pendapatan wajib pajak atau
kemampuan membayar /ability to pay) wajib pajak. Dengan perkataan lain,
semakin besar kemampuan bayar wajib pajak, semakin kecil pula jumlah
pajak yang harus dibayar sesuai kenaikan objek pajak, namun besarnya
persentase kenaikan pajak semakin menurun dari tingkat ke tingkat. Tarif ini
pernah berlaku untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima
oleh ahli waris maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil. Tarif ini
sudah tidak berlaku lagi dikarenakan akan menimbulkan kesulitan di mana
pihak yang berpenghasilan besar akan bebas dari pajak sehingga disarankan
untuk tidak dipergunakan lagi.
Contoh Pajak Terutang:
6. Tarif Betham
Tarif Betham ini selintas mirip dengan tarif proporsional dengan suatu
persentase tetap seperti pajak yang berlaku terhadap pajak kekayaan.
Misalnya 5%, tetapi hanya dikenakan atas jumlah yang melebihi batas
minimum, yaitu Rp80.000.000,-
Tarif Pajak ini diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu
suatu jumlah yang berasal dari penghasilan kotor setelah dikurangi berbagai
potongan yang diperkenankan oleh undang-undang.
C. KEBIJAKAN TARIF
Tarif pajak juga dapat untuk tujuan politis, misalnya digunakan dalam
rangka pemilihan umum oleh partai-partai politik peserta pemilihan umum
dengan memberikan janji-janji jika terpilih nantinya (hal ini banyak
digunakan di Negara-negara maju). Di samping itu, dalam perjanjian-
perjanjian pajak baik bilateral maupun multilateral sering kali juga
mengandung muatan politis.
D. SISTEM TARIF
Setiap negara miliki hak untuk menentukan sistem tarif pajak yang
paling tepat untuk diterapkan di negaranya. Demikian juga dengan Indonesia
yang seperti kita lihat, yaitu menggunakan tarif progresif untuk Pajak
Penghasilan, tarif proporsional untuk Pajak Pertambahan Nilai, dan Bea
Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan menggunakan tarif Betham. Sementara tarif bea masuk terikat
dengan perjanjian General Agreement on Trade and Tariff (GAAT), suatu
konvensi internasional. Di samping itu, pemerintah masih menetapkan
beberapa tambahan misalnya Bea Masuk Tambahan. Sementara tarif ad
valorem yang merupakan tarif dengan persentase tertentu dipergunakan untuk
harga atau nilai barang.
E. UTANG PAJAK
Ada dua metode yang mengatur timbulnya utang pajak (saat pengakuan
adanya utang pajak), yaitu metode materiil dan formil.
1. Metode Materiil
Di sini dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena diberlakukannya
UU Perpajakan. Dalam metode ini seseorang akan menentukan secara
ADBI4330/MODUL 3 3.21
aktif apakah dirinya dikenai pajak atau tidak sesuai dengan peraturan
perpajakan yang berlaku. Metode ini konsisten dengan penerapan self
assessment system.
2. Metode Formil
Dalam metode ini dinyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Untuk menentukan
apakah seseorang dikenai pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang
harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya dapat diketahui
dalam surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini konsisten dengan
penerapan official assessment system.
F. PENAGIHANNYA
a. Surat teguran
Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal
jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran.
b. Surat paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat
Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Juru
Sita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa
sebesar Rp50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi
dalam jangka waktu 2 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh Juru
Sita Pajak.
c. Surat sita
Utang pajak dalam jangka waktu 2 24 jam setelah Surat Paksa
diberitahukan oleh Juru Sita Pajak tidak dilunasi, Juru Sita Pajak dapat
melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp75.000,00 (Tujuh puluh lima ribu
rupiah).
G. LELANG
Catatan:
Barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,- tidak harus diumumkan
melalui media massa.
3. Daluwarsa Penagihan
a. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu
10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang
bersangkutan.
3.24 Administrasi Perpajakan
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
Kegiatan Belajar 3
Nilai transaksi pada tingkat harga Rp20/unit = 2000 unit x Rp24 = Rp48.000
Dalam hal ini pengusaha tidak menaikkan harga sehingga antara harga
awal dan harga setelah pajak adalah sama, sementara permintaan tetap. Hal
ini terjadi karena persaingan yang ketat dan sifat barang yang tidak
memungkinkan menaikkan permintaan.
Harga awal Rp20/unit dengan permintaan 2000 = 2000 x Rp20 = Rp40.000,-
Harga kemudian Rp20/unit dengan permintaan 2000 = 2000 x Rp20 =
Rp40.000,-
Oleh karena harganya tetap maka seluruh beban pajak jatuh ke tangan
pengusaha.
Apabila perusahaan yang harus menanggung beban pajak, maka
pengusaha harus mempertahankan eksistensinya meski terasa berat dan sulit.
Untuk menghadapi masalah ini ada 3 macam cara bagi perusahaan untuk
tetap bertahan.
1. Mengurangi keuntungan bersihnya, hal ini dapat terjadi apabila
keuntungan sebelumnya lebih besar daripada pajak yang harus
dibayarkan.
2. Mengadakan cara kerja yang efisien sehingga diperoleh harga produk
yang dapat menutup pajak. Hal ini dapat terjadi apabila cara kerja
berproduksi yang efisien dapat menutup seluruh beban pajak.
3. Mengurangi keuntungan dan sekaligus efisiensi cara berproduksi. Hal ini
dapat dilakukan apabila tingkat keuntungan tidak cukup untuk menutup
beban pajak dan efisiensi cara kerja produksi tidak cukup besar untuk
menutup beban pajak.
Pergeseran dan keterkenaan pajak ini merupakan satu dari enam macam
pengelakan pajak yang biasa dipraktikkan dimana-mana, yaitu kapitalisasi,
transformasi, penyelundupan (evasion), penghindaran (avoidance), dan
pembebasan (exemption). Di samping keenam cara pengelakan pajak ini,
masih ada satu lagi cara yang tidak semata-mata sebagai pengelakan pajak,
tetapi penundaan pembayaran pajak.
3.30 Administrasi Perpajakan
Ada tiga konsep yang saling berhubungan dalam perpajakan yang perlu
dimengerti, yaitu dampak perpajakan (impact of taxation), pergeseran pajak
(shifting), dan insiden pajak (incidence of tax).
1 2 3
d. Kapitalisasi (capitalization)
Kapitalisasi pajak adalah merupakan pengurangan harga objek pajak
sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli
seperti yang berlaku dalam Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Pembeli harta tetap seperti tanah atau gedung dibebani pajak balik
nama. Agar beban ini tidak menjadi tanggungan pembeli, beban pajak
dialihkan kepada penjual. Dengan demikian, harga beli harta tetap menjadi
berkurang. Kapitalisasi ini termasuk pergeseran pajak ke belakang.
3.32 Administrasi Perpajakan
e. Transformasi (transformation)
Yaitu pengelakan pajak yang dilakukan oleh perusahaan industri dengan
cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Penghindaran
pajak ini lebih dikenal dengan mekanisme pemindahan hak (transfer pricing)
di mana harga jual diturunkan sesuai dengan kepentingannya sehingga pajak
yang dibayar oleh pembeli menjadi lebih kecil. Cara ini biasanya dilakukan
oleh produsen sehingga kenaikan harga jual tidak menurunkan pangsa
pasarnya. Agar keuntungan perusahaan tidak berkurang, maka perusahaan
melakukan efisiensi perusahaan. Pengelakan pajak di sini tidak dilakukan
dengan menggeser beban pajak melainkan dengan mengubah pajak
(transformasi) ke dalam keuntungan yang diperoleh melalui efisiensi
produksi
a. Menahan diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan
sesuatu yang bisa dikenai pajak.
Contoh:
1) Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau.
2) Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar
terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya,
menggunakan ikat pinggang dari plastik.
b. Pindah lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya
tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah.
Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin
menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak
semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang
transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitas yang menunjang
usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka
dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang
terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau
perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru
di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
3.34 Administrasi Perpajakan
dapat menuntut, maka pada exemption ini sama dengan bentuk avoidance.
Bedanya apabila pada avoidance masih terdapat kemungkinan wajib pajak
tidak membayar pajak, sedangkan pada exemption memang diberikan
kekebalan untuk tidak membayar pajak. Pemberian exemption ini adalah
kewenangan pemerintah. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi pajak yaitu
mengatur. Exemption ini dapat diberikan untuk sebagian (parsial) atau
seluruhnya (total), dapat terjadi untuk waktu sementara waktu atau
selamanya. Pada umumnya, pemerintah dapat memberikan kekebalan pada
warga negaranya yang bergerak di bidang sosial seperti pendidikan dan
keagamaan. Namun, tidak tertutup bagi yang bergerak di bidang bisnis
dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu meskipun sifatnya temporer.
Misalnya usaha baru dalam rangka PMDN dan PMA (tax holiday),
pembebasan untuk penghasilan yang menurut UU belum terkena pajak,
pembebasan untuk bea meterai dari suatu kontrak yang kurang dari jumlah
tertentu.
LAT IH A N
1) Wajib pajak dapat menggeser beban pajaknya pada orang lain untuk
jenis pajak tertentu misalnya pada Pajak Pertambahan Nilai.
2) Wajib Pajak dapat menggeser beban pajaknya ke belakang dan salah satu
caranya adalah dengan menekan harga/biaya tenaga kerja.
3) Proses shifting dapat berulang dengan jalan mereka yang terkena
pergeseran pajak membebankan pajaknya kepada konsumen yang
menggunakan produknya.
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 3
Tes Formatif 1
1) A. Yang termasuk pajak berdasarkan golongannya adalah pajak
langsung.
2) D. Pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan Wajib Pajak disebut
pajak subjektif.
3) B. Pajak langsung merupakan pajak yang harus ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan.
4) B. Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah.
5) A. Pajak Kendaraan Bermotor tidak termasuk kelompok pajak daerah
kabupaten/kota.
Tes Formatif 2
1) A. Tarif yang dapat ditetapkan sehubungan dengan perpajakan adalah
tarif progresif dan proporsional.
2) A. Yang dimaksud dengan tarif degresif adalah apabila persentase
pajaknya semakin menurun bila dibandingkan dengan semakin
meningkatnya taxable volumenya.
3) C. Pajak Penghasilan yang berlaku sekarang ini menganut tarif
proporsional.
4) C. Terhadap pajak langsung dalam upaya memenuhi asas keadilan
dapat diberlakukan tarif.
5) C. Pengenaan pajak yang bersifat spesifik pada hakikatnya sama
dengan tarif pajak proporsional.
Tes Formatif 3
1) A. Proses pengalihan pajak disebut dengan shifting.
2) B. Disebut forward shifting.
3) C. Perusahaan melakukan dengan menekan harga produksi.
4) D. Disebut dengan transformasi.
5) A. Fungsi mengatur.
3.40 Administrasi Perpajakan
Daftar Pustaka
Devano., Sonny dan Siti Kurnia Rahayu. (2006). Perpajakan: Konsep, Teori,
dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
PEN D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
dan pajak atas tanah yang pada Tahun 1963 di rubah menjadi Direktorat
Pajak Hasil Bumi dan kemudian pada Tahun 1965 berubah lagi menjadi
Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA).
1. Kantor Pusat
Kantor Pusat DJP yang modern sebagai induk organisasi yang mengelola
pajak di tanah air, secara terstruktur organisasi disesuaikan dengan struktur
kantor pajak di negara-negara maju, seperti Singapura, Jepang, dan beberapa
Negara Eropa. Dengan struktur sama dengan negara-negara maju ini,
diharapkan dapat dan mampu mengantisipasi serta mengikuti gerak era
globalisasi yang dengan cepat menyentuh semua aspek kegiatan masyarakat,
pelaku bisnis, dan institusi pemerintah.
Peran Kantor Pusat ini adalah sebagai unit pembuat kebijakan (policy
maker) dan pengembang organisasi juga proses kerja (transform). Kantor
Pusat tidak mengerjakan tugas dan fungsi operasional perpajakan, kecuali hal
yang bersifat khusus.
2. Kantor Wilayah
Dengan makin modernnya administrasi perpajakan maka perlu
pembenahan di bidang organisasi, tugas, dan fungsi antara Kantor Wilayah
dengan Kantor Pelayanan Pajak yang merupakan ujung tombak pelayanan di
lapangan. Tugas mereka adalah pelayanan perpajakan pada masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan good governance maka dilakukan pemisahan
tugas dan fungsi yang jelas antarkedua unit vertikal DJP tersebut yang
memperjelas pembagian kerja dan tanggung jawab keduanya. Sehingga
diharapkan tidak ada duplikasi pelayanan, juga sebagai bagian dari sistem
pengendalian intern (internal control) perpajakan nasional.
Peran kantor pusat di sini adalah sebagai pembuat kebijakan (policy
maker) dan pengembangan organisasi juga proses kerja (transform) sehingga
tidak mengerjakan tugas dan fungsi operasional perpajakan, kecuali hal yang
bersifat khusus. Dengan pola ini, karakteristik Kantor Pusat terdiri atas
organisasi, business process, teknologi komunikasi dan informasi, maupun
manajemen sumber daya manusia.
4.6 Administrasi Perpajakan
1. Kantor Wilayah DJP yang hanya menangani wajib pajak besar secara
nasional, yakni yang wajib pajaknya diadministrasikan dan dikelola oleh
KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Badan Usaha Milik Negara. Kantor
Wilayah ini disebut sebagai Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar,
yang hanya ada satu dan berkedudukan di Jakarta. Di kantor wilayah ini
tidak ada unit atau bidang yang menangani tugas ekstensifikasi wajib
pajak, karena wajib pajak yang dikelola KPP yang di koordinasi sudah
tetap jumlahnya dan sebelumnya sudah terdaftar yang berasal dari KPP
lain di seluruh tanah air.
2. Kantor wilayah DJP yang menangani wajib pajak khusus di bidang
usaha tertentu, yakni yang wajib pajaknya diadministrasikan dan dikelola
oleh KPP Penanaman Modal Asing, KPP Badan dan Orang Asing, dan
KPP Perusahaan Masuk Bursa. Kantor Wilayah ini disebut sebagai
Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan hanya ada satu yang
berkedudukan di Jakarta. Di Kantor Wilayah ini juga tidak ada unit atau
bidang yang menangani ekstensifikasi. Hal ini terkait dengan
karakteristik wajib pajak yang dikelola yang umumnya langsung
terdaftar di KPP tersebut, atau sebelumnya berasal dari KPP lain di
seluruh tanah air.
3. Kantor Wilayah DJP yang menangani wajib pajak terbesar dan
menengah ke bawah di tingkat Kantor Wilayah, yakni yang wajib
pajaknya diadministrasikan dan dikelola oleh KPP Madya, dan KPP
Pratama. Kantor Wilayah ini tersebar di seluruh Indonesia.
4. Kantor Wilayah DJP yang menangani wajib pajak menengah ke bawah
tingkat kantor wilayah, yakni yang wajib pajak seluruhnya
diadministrasikan dan dikelola oleh KPP Pratama. Kantor wilayah yang
umum ini juga tersebar di seluruh Indonesia
PPnBM, dan Bea Meterai. Kedudukannya hanya berada di Jakarta dan hingga
kini ada 3 kantor saja.
b. Account representative
Account Representative (AR) merupakan salah satu ciri khas dari KPP
modern. Tugasnya adalah pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban oleh
Wajib Pajak dan melayani penyelesaian hak Wajib Pajak. Apabila Wajib
Pajak memerlukan informasi atau hal lain yang terkait pelaksanaan hak dan
kewajiban perpajakannya, maka merupakan tugas AR untuk menjadi
mediator. Untuk itu, seorang AR haruslah profesional dan memiliki
knowledge, skills, dan attitude yang telah distandarisasi.
c. Help desk
Apabila Wajib Pajak mengalami kebingungan atau kesulitan dalam
masalah perpajakan, maka Wajib Pajak dapat mencari informasi pada bagian
ini yang di setiap KPP terletak di lobby gedung. Petugas yang ditempatkan di
help desk haruslah pegawai yang dianggap cakap dan memiliki pengetahuan
yang luas tentang perpajakan serta pandai berkomunikasi
d. Complaint center
Bagian ini menampung keluhan-keluhan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak yang terdaftar di KPP wilayah kerjanya. Permasalahan yang ditampung
adalah masalah pelayanan, pemeriksaan, keberatan, dan banding. Namun,
tidak dimaksudkan untuk melayani keluhan mengenai penyimpangan atau
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pegawai.
e. Call center
Bagian ini menyangkut pelayanan (konfirmasi, prosedur, peraturan,
material perpajakan dan lainnya) dan penanganan komplain dari Wajib Pajak.
g. Website
Untuk mempermudah akses informasi perpajakan kepada masyarakat,
DJP membuat website ini. Kanwil maupun KPP juga telah banyak membuat
website guna memberikan informasi dan pelayanan terhadap wajib pajak
yang dikelolanya.
h. Pojok pajak
Bagian ini merupakan sarana penyuluhan dan pelayanan bagi masyarakat
maupun wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
i. e-System perpajakan
Untuk mendukung modernisasi perpajakan dan dalam rangka
peningkatan pelayanan kepada masyarakat, maka dikembangkan
pemanfaatan dan penerapan e-system terkait dengan perpajakan.
j. e-SPT PPh
Wajib Pajak dapat melaporkan e-SPT Masa PPh dalam bentuk program
aplikasi yang digunakan untuk merekam, memelihara data, generate data,
dan mencetak SPT Masa PPh beserta lampirannya dan dapat dilaporkan
melalui media elektronik ke KPP
k. e-SPT PPN
Seperti halnya PPh, maka PPN pun dapat dilaporkan melalui e-SPT PPN
3. Intensifikasi Pajak
Dalam rangka pengawasan terhadap pelaksanaan self assessment oleh
wajib pajak maka perlu dilakukan intensifikasi dengan sistematik dan
terstandar. Ada beberapa hal yang harus dikembangkan oleh setiap Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), yaitu 1) membuat mapping dan profiling seluruh
wajib pajaknya; 2) mengoptimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP)
guna menguji kebenaran laporan wajib pajak; dan 3) aktivasi wajib pajak non
filler (WP terdaftar, tetapi tidak memasukkan SPT) yang dilakukan melalui
komunikasi telepon berbasis TI.
4. Ekstensifikasi
Meningkatkan kepemilikan NPWP bagi wajib pajak di seluruh
Indonesia. Perlu diketahui bahwa banyak masyarakat kita yang memiliki
penghasilan khususnya yang penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) belum memiliki NPWP. Untuk itu, perlu dicari jalan keluar
ADBI4330/MODUL 4 4.15
LAT IH A N
R A NG KU M AN
Modernisasi sejak awal dekade tahun 2000 telah menjadi salah satu
kata kunci yang melekat dan menjadi bahan pembicaraan di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan. Hal ini dikarenakan
4.16 Administrasi Perpajakan
TES F OR M AT IF 1
4) Jawatan pajak hasil bumi pada tahun 1965 berubah menjadi ....
A. Direktorat Pajak Hasil Bumi
B. Direktorat Iuran Pembangunan Daerah
C. Direktorat Pembangunan Daerah
D. Kantor Pelayanan pajak Bumi dan Bangunan
Kegiatan Belajar 2
B. REFORMASI PERPAJAKAN
menganut beberapa prinsip dasar yang baik dan telah terbukti dapat
meningkatkan penerimaan pajak secara mencolok dalam kurun waktu
sepuluh tahun. Namun, untuk lebih meningkatkan peranan penerimaan
negara dari sektor pajak dalam jangka menengah dan panjang, serta dalam
rangka menghadapi perkembangan perekonomian yang semakin pesat di era
globalisasi, dirasakan perlu adanya penyempurnaan atas ketentuan-ketentuan
perpajakan hasil reformasi 1984 agar lebih mencerminkan keadilan, lebih
memberikan kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajak,
meningkatkan efisiensi, serta mempertimbangkan perubahan-perubahan
tentang ketentuan perpajakan di negara-negara lain khususnya di kawasan
ASEAN. Reformasi berikutnya adalah melakukan perubahan dan
penyempurnaan sesuai dengan tuntutan perubahan sistem ekonomi. Adapun
UU yang dikeluarkan adalah sebagai berikut.
a. UU No. 9 Tahun 1994 tentang perubahan atas U No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b. UU No. 10 Tahun 1994 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
c. UU No. 11 Tahun 1994 tentang perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983
tentang Pajak Penambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah
d. UU No. 12 Tahun 1994 tentang perubahan atas UU No. 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan
negara kita mengalami krisis ekonomi yang cukup parah. Kelima undang-
undang ini, terdiri dari berikut ini.
a. UU No. 16 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
b. UU No. 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan.
c. UU No. 18 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas UU No. 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
d. UU No. 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
e. UU No. 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas U No. 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
f. UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
2) Pada saat reformasi pajak tahun 1983 UU baru berlaku mulai 1 Januari
1984, tetapi ada UU yang ditunda pelaksanaannya, yaitu ....
A. UU No. 6 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan
B. UU No. 7 tentang Pajak Penghasilan
C. UU No. 8 tentang Pajak Pertambahan Nilai
D. UU No. 12 tentang pajak Bumi dan Bangunan
5) Pada tax reform Tahun 2007, RUU pajak yang pertama kali disetujui
untuk diundangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah ....
A. UU Pajak Bumi dan Bangunan
B. UU Pajak Pertambahan Nilai
C. UU Pajak Penghasilan
D. UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan
Kegiatan Belajar 3
Selisih antara pajak yang terutang dengan kredit pajak dapat berupa:
1) kurang bayar, jumlah pajak terutang lebih besar dari kredit pajak;
2) lebih bayar, jumlah pajak terutang lebih kecil dari kredit pajaknya;
3) nihil, jumlah pajak terutang sama dengan kredit pajak.
4. Withholding System
Wewenang pemungutan pajak ada pada pihak ketiga. Dilaksanakan
secara efektif sejak tahun 1984.
Dari data di atas, dapat dijelaskan bahwa meskipun Indonesia telah
menggunakan system self assessment, namun bila diamati dari
perkembangannya sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa
pergeseran tersebut dilakukan secara bertahap, terutama pada jenis-jenis
pajak yang termasuk pajak langsung atau pajak subjektif. Sejak merdeka,
Indonesia menerapkan sistem perpajakan official assessment secara murni,
kemudian khusus terhadap pembayaran dalam tahun berjalan diubah menjadi
self assessment melalui sistem MPS dan MPO. Sistem ini dikenal sebagai
semi self assessment. Sejak tanggal 1 Januari 1984 untuk pajak atas
penghasilan, dan 1 April 1985 untuk pajak pertambahan nilai ditetapkan self
assessment secara murni.
Pengalihan dari system official assessment ke system self assessment
bukan karena salah satu di antara kedua sistem perpajakan tersebut lebih
baik, melainkan karena adanya upaya untuk menyesuaikan sistem perpajakan
dengan perkembangan dalam masyarakat sebagai pihak yang menopang
keberhasilan pemungutan pajak. Berhasil tidaknya pemungutan pajak
tergantung pada para pelaksana, baik petugas pajak maupun masyarakat
wajib pajak. Sedangkan perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada cara
pandang terhadap pelaksanaan perundang-undangan perpajakan. Official
ADBI4330/MODUL 4 4.35
LAT IH A N
R A NG KU M AN
Dalam sistem perpajakan dikenal official assessment system, self
assessment system, dan withholding tax system. Official assessment
system merupakan sistem di mana penetapan pajak dilakukan oleh
petugas pajak (fiskus). Self assessment system merupakan sistem
penetapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri, sedangkan
withholding tax system merupakan pemungutan pajak yang dilakukan
oleh pihak lain atau sistem pemungutan pada sumber objek pajak.
Di Indonesia, sistem perpajakan mengalami perkembangan yang
berarti, yaitu dari official assessment system menuju self assessment
system melalui masa transisi semi self assessment system. Perubahan ini
merupakan alur dari reformasi perpajakan di bidang administrasi
pemungutan pajak.
TES F OR M AT IF 3
5) Pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga dalam withholding
tax adalah pajak....
A. final
B. langsung
C. tidak langsung
D. yang dapat dikreditkan
Tes Formatif 1
1) A. KPP Pratama merupakan gabungan dari KPP, KPPBB, dan kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (KARIKPA).
2) D. Direktorat Jenderal pajak tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan
fungsi pelayanan, pengawasan, penagihan, dan pemeriksaan pajak.
3) A. Yang bertugas memungut pajak adalah Jawatan pajak.
4) B. Berubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah.
5) C. Pada saat ini berubah menjadi kantor Wilayah (KANWIL).
Tes Formatif 2
1) D. Memastikan wajib pajak memenuhi semua kewajiban pajaknya
tidak termasuk dalam sistem perpajakan yang baru.
2) C. UU yang belum diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1984 adalah
UU No. 8 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
3) A. Terdiri dari empat UU.
4) A. Sebanyak enam UU.
5) D. RUU yang pertama kali disetujui oleh DPR untuk diundangkan
adalah UU KUP.
Tes Formatif 3
1) A. Official assessment system.
2) B. Untuk PBB, digunakan official assessment system karena fiskus
lebih banyak berperan menetapkan pajak terutang.
3) B. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 dipergunakan
sistem official assessment.
4) A. Peran fikus dalam system withholding tax adalah dalam pemeriksaan
pajak.
5) D. Pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga dalam
withholding tax adalah pajak yang dapat dikreditkan.
ADBI4330/MODUL 4 4.41
Daftar Pustaka
Bawazier, Fuad, dan M.Ali Kadir. (2002). Kebijakan dalam Tax Reform 1994
dan Tax Reform 1997, dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan
Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.
Devano, Sonny, dan Siti Kurnia Rahayu. (2006). Perpajakan: Konsep, Teori,
dan Isu. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
PEN D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
P ada setiap bulan Maret dari kelurahan dibagikan surat Pajak Bumi dan
Bangunan kepada setiap ketua RW yang kemudian oleh ketua RW
dibagikan kepada warga melalui ketua RT masing-masing. Kemudian pada
bulan Agustus ada pemberitahuan baik melalui media masa maupun melalui
spanduk yang dipasang di berbagai tempat yang strategis dan isinya
mengingatkan kepada masyarakat batas akhir pembayaran PBB. Apa
sebenarnya PBB?
Pajak Bumi dan Bangunan atau lebih dikenal dengan PBB, adalah pajak
yang dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan/atau bangunan. Pajak
ini termasuk Pajak Negara (pusat) di mana pemungutannya dilakukan oleh
pemerintah pusat (dalam hal ini dilakukan oleh Ditjen Pajak) yang dalam
pelaksanaannya senantiasa bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Keterlibatan pemda dikarenakan persentase pembagian hasil penerimaannya,
sebagian besar dialokasikan ke pemerintah daerah. Mengapa PBB dalam
pemungutan dan pengalokasian dilakukan oleh Pemerintah Pusat? Hal ini
dilakukan untuk menjaga agar ada keseragaman dan keadilan dalam
pemajakannya. Apabila diserahkan kepada pemerintah daerah, dikhawatirkan
pemerintah daerah akan memutuskan besarnya pengenaan PBB semaunya
sendiri.
PBB merupakan pajak yang dikenakan karena kepemilikan, penguasaan,
dan pemanfaatan atas bumi dan bangunan. Hal ini mengakibatkan penduduk
yang miskin jika memiliki tanah di suatu tempat yang tergolong daerah elite
(misalnya daerah pusat kota) ikut menanggung beban pajak yang tinggi,
meskipun pekerjaannya hanya sebagai tukang ojek, pensiunan atau bahkan
tidak berpenghasilan.
PBB juga merupakan pajak langsung, dikategorikan sebagai pajak
langsung karena sifatnya yang kontra prestasi tidak langsung. Walaupun
termasuk pajak Negara, namun PBB ini memiliki kekhususan. Adapun sifat
kekhususannya terletak pada penggunaan dari hasil pungutan pajak yang
dipergunakan oleh daerah.
ADBI4330/MODUL 5 5.3
1. Subjek PBB
Sebagaimana dengan ketentuan perundang-undangan yang lain maka
jenis pajak ini juga diketahui yang menjadi subjek dari PBB adalah orang
atau badan yang secara nyata:
a. mempunyai hak atas bumi;
b. memperoleh manfaat atas bumi;
c. memiliki atau menguasai bangunan;
d. memperoleh manfaat atas bangunan.
2. Objek PBB
Dalam PBB yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
Pengertian bumi di sini adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan
perairan pedalaman, serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada
di bawahnya. Sementara itu, bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan.
Termasuk dalam pengertian bangunan yang dapat dikenakan pajak
adalah:
a. bangunan tempat tinggal (rumah);
b. gedung kantor;
c. hotel;
d. pabrik;
e. emplasemen, dan lain-lain.
a. Desa Pesawaran
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp8.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp5.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp8.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp5.000.000,00 (+)
Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp13.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 8.000.000,00 (-)
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Rp 5.000.000,00
b. Desa Rawalaut
Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp5.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp4.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak
5.8 Administrasi Perpajakan
1. Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan
sebesar 0,5%.
Contoh 2
Penghitungan PBB atas beberapa objek pajak pada lokasi yang berbeda tetapi
dimiliki oleh seorang wajib pajak. Burhanuddin memiliki rumah dan toko
yang letaknya terpisah, yaitu rumah di Kebayoran, sedangkan toko di
Cempaka Putih. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.
Rumah
- Tanah = 600 m2, kelas B.49 (NKOP/m2 = Rp3.745.000,00)
- Bangunan = 350 m2, kelas B.20 (NJOP/m2 = Rp1.516.000,00)
Toko
- Tanah = 300 m2, kelas A.15 (NJOP/m2 = Rp1.032.000,00)
- Bangunan = 200 m2, kelas A.3 (NJOP/m2 = Rp 823.000,00)
Rumah
NJOP Tanah 600 x Rp3.745.000,00 = Rp2.247.000.000,00
NJOP Bangunan 350 x Rp1.516.000,00 = Rp 530.000.000,00 (+)
NJOP Tanah dan Bangunan = Rp2.777.600.000,00
NJOP TKP = Rp 12.000.000,00 -
NJOP untuk perhitungan PBB = Rp2.765.600.000,00
NJKP 4% x Rp2.765.600.000,00 = Rp1.106.240.000,00
PBB 0,5% x Rp1.106.240.000,00 = Rp 5.531.200,00
Toko
NJOP Tanah 300 x Rp1.032.000,00 = Rp309.600.000,00
NJOP Bangunan 200 x Rp 823.000,00 = Rp164.600.000,00 (+)
NJOP Tanah dan Bangunan = Rp474.200.000,00
NJOP TKP = Rp 0,00
NJOP untuk perhitungan PBB = Rp474.200.000,00
NJKP 20% x Rp474.200.000,00 = Rp 94.840.000,00
PBB 0,5% x Rp94.840.000,00 = Rp 474.200,00
Contoh 3
Perhitungan PBB atas Rumah Susun. Rumah Susun Pulau Mas memiliki luas
tanah 4.000 m2 . Luas bangunan 10.200 m2, yang terdiri dari:
- tipe 21 sebanyak 200 unit = 4.200 m2
- tipe 36 sebanyak 100 unit = 3.600 m2
ADBI4330/MODUL 5 5.11
NJOP per m2
- Tanah Rp800.000,00 per m2
- Bangunan dan fasilitas yang melekat Rp300.000,00 per m2
- Lingkungan Rp 50.000,00 per m2
Perhitungan PBB
NJOP Tanah dan Bangunan:
Tanah 400 x Rp800.000,00 = Rp3.200.000.000,00
Bangunan
Rumah 10.200 x Rp300.000,00 = Rp3.060.000.000,00
Fasilitas 1.500 x Rp300.000,00 = Rp 450.000.000,00
Lingkungan 1.500 x Rp300.000,00 = Rp 450.000.000,00
Jumlah = Rp3.960.000.000,00
Contoh:
Pak Sobari tidak menyampaikan SPOP. Berdasarkan data yang ada Direktur
Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang berisi:
5.14 Administrasi Perpajakan
Contoh:
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp1.500.000,00
Berdasarkan pemeriksaan, pajak yang seharusnya terutang dalam SKP
Rp2.000.000,00 (-)
Selisih Rp 500.000,00
Denda administrasi: 25% x Rp500.000,00 Rp 125.000,00 (+)
Jumlah pajak terutang dalam SKP Rp 625.000,00
Contoh:
SPPT tahun pajak 2007 diterima pak Budiman pada tanggal 1 Maret
2007 dengan pajak yang terutang sebesar Rp200.000,00. Oleh Wajib
Pajak baru dibayar pada tanggal 1 September 2007. Terhadap Wajib
Pajak tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2%, yaitu
sebesar 2% x Rp200.000,00 = Rp4.000,00. pajak yang terutang yang
harus dibayar pada tanggal 1 September 2007 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi
Rp200.000,00 + Rp4.000,00. = Rp204.000,00
Dalam usaha menagih PBB, ada 3 hal yang harus diperhatikan, yaitu
berikut ini.
1. Keberatan
a. Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
Kepala KPPBB disertai dengan alasan yang jelas. Jika KPPBB telah
bubar (digabung ke KPP Pratama) maka surat keberatan ditujukan
kepada KPP Pratama. Jika disampaikan di TPT KPP Pratama maka
petugas TPT KPP Pratama akan Bukti Penerimaan Surat (BPS) dan
meneruskan permohonan kepada Pelaksana Seksi Pelayanan.
b. Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dalam batas waktu 3 bulan sejak diterimanya SPPT atau
SKP, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
c. Diajukan per Objek PBB dan per tahun pajak.
d. Melampirkan foto kopi:
1) bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat; dan/atau
2) bukti Surat Ukur/Rincik; dan/atau
3) akta Jual Beli; dan/atau
4) SPPT/SKP; dan/atau
5) izin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau
6) bukti pendukung (resmi) lainnya.
e. Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat
Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman
Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan
Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.
f. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan PBB.
g. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB dan
pelaksanaan penagihan.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak
tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah
lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Sebelum surat
5.20 Administrasi Perpajakan
2. Keputusan Keberatan
Keputusan keberatan dapat berupa:
a. menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam
pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti
kebenarannya;
b. menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam
pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian
terbukti kebenarannya;
c. menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan
keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti
kebenarannya;
d. menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan
dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan,
mengakibatkan peningkatan jumlah PBB-nya.
3. Banding
a. Atas keputusan keberatan, jika Wajib Pajak tidak puas, dapat
mengajukan banding ke Badan Penyelaian Sengketa Pajak (BPSP)
mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia selambat-
lambatnya 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan
surat keputusan keberatan.
c. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
4. Pengurangan
Pengurangan PBB dapat dilakukan dalam hal terdapat kondisi sebagai
berikut.
ADBI4330/MODUL 5 5.21
Besarnya
Alasan
Pengurangan
1. Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan
subjek pajak dan atau sebab-sebab tertentu lainnya yaitu:
a. Objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/ 0% s/d 75%
perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang
dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh Wajib pajak
orang pribadi.
b. Objek pajak yang dikuasai, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh
Wajib Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang
nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau
perkembangan lingkungan.
c. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata
berasal dari pensiunan sehingga kewajiban PBB-nya sulit
dipenuhi.
d. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga
kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.
e. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak veteran Pejuang dan Pembela Kemerdekaan,
termasuk janda atau dudanya.
f. Objek Pajak yang dimiliki atau dimanfaatkan oleh badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius
sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban
rutin perusahaan.
2. Wajib Pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajaknya Maksimal 100%
terkena bencana alam misalnya gempa bumi, banjir, tanah
longsor dan sebab lain yang luar biasa misalnya kebakaran,
kekeringan, wabah penyakit tanaman dan hama tanaman).
Pejabat yang ada hubungannya dengan objek pajak (Lurah, Kepala Desa,
Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan, Pejabat
Agraria, Pejabat Balai Harta Peninggalan, Pejabat lain yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan/Direktorat Jenderal Pajak), wajib memberikan keterangan
yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
Bagi pejabat yang tidak memenuhi kewajibannya dikenakan sanksi
menurut peraturan perundangan yang berlaku. Secara khusus, apabila pejabat
yang bersangkutan tidak memperlihatkan atau tidak menyampaikan dokumen
yang diperlukan, dan tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan
keterangan yang diperlukan, dipidana selama-lamanya satu tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp2.000.000,00.
ADBI4330/MODUL 5 5.23
1. Restitusi
Restitusi PBB adalah kelebihan pembayaran PBB yang terjadi dalam hal
pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak lebih besar dari jumlah PBB
yang seharusnya terutang.
Kelebihan pembayaran PBB bias terjadi dalam hal berikut ini.
a. Perubahan Peraturan.
b. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan.
c. Surat Keputusan Penyelesaian Keberatan.
d. Putusan Banding.
e. Kekeliruan pembayaran.
Besarnya PBB yang harus dibayar adalah 50% dari jumlah PBB yang
seharusnya terutang diberlakukan untuk Rumah Sakit Swasta yang
merupakan Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut.
1) Jumlah tempat tidur untuk pasien yang tidak mampu lebih besar dari
25%dari jumlah semua tempat tidur.
2) Sisa Hasil Usaha (SHU) untuk reinvestasi di dalam rumah sakit bukan
untuk pengembangan di luar rumah sakit.
LAT IH A N
1) Coba Anda jelaskan siapa yang menjadi subjek dan objek dari Pajak
Bumi dan Bangunan?
2) Dalam UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan terakhir
dengan UU No. 12 Tahun 1994, dikecualikan dari objek PBB atas tanah
berikut bangunan yang berdiri di atasnya. Apakah pengecualiannya ini
sesuai dengan fungsi dari pajak? Di samping itu, apa saja yang
dikecualikan dalam PBB?
3) Apakah fungsi SPOP? Apakah sama dengan SPPT?
4) Tuan Yasid seorang pensiunan TNI AD, di ungaran memiliki dua objek
pajak yang letaknya terpisah, yaitu rumah dan kebun bunga, dengan
rincian sebagai berikut.
a. Rumah dengan luas tanah/bangunan dan kelasnya:
Tanah = 900 m2 (NJOP = Rp2.000.000,00/m2)
Bangunan = 500 m2 (NJOP = Rp500.000,00/m2)
b. Kebun bunga, NJOPnya dua jenis/beragam:
Tanah - 1 = 250m2, NJOP seluruhnya Rp1.500.000.000,00
Tanah - 2 = 150m2, NJOP seluruhnya Rp750.000.000,00
Pertanyaan:
Berapa besarnya PBB tahun 2006 untuk masing-masing objek tersebut,
seandainya NJOP daerah Kabupaten Ungaran Rp8.000.000,00?
5.26 Administrasi Perpajakan
B. Tanah 1 = Rp1.500.000.000,00
Tanah 2 = Rp 750.000.000,00 (+)
NJOP = Rp2.250.000.000,00
NJOPTKP = Rp 0,00
NJOP PBB = Rp2.250.000.000,00
NJKP = 40% x Rp2.250.000.000,00 = Rp 900.000.000,00
PBB = 0,5% x Rp900.000.000,00 = Rp 4.500.000,00
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
4) Sanksi pidana dalam perpajakan dapat diterapkan apabila wajib pajak ....
A. tidak menyampaikan SPOP
B. melaporkan data objek pajak tidak benar
C. memperlihatkan surat palsu
D. tidak membayar pajak terutang saat jatuh tempo
5.28 Administrasi Perpajakan
5) Apabila pak Badu menerima SPPT tahun 2006 pada tanggal 1 Maret
2006 dengan pajak terutang sebesar Rp1.000.000,00. jika pak Badu
membayar pajaknya pada tanggal 3 November 2006, maka pajak yang
harus dibayarnya adalah ....
A. Rp 60.000,00
B. Rp 480.000,00
C. Rp1.060.000,00
D. Rp1.480.000,00
Kegiatan Belajar 2
B ea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau lebih dikenal dengan
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, yaitu perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan. Hak atas tanah dan atau bangunan ini termasuk hak
pengelolaan beserta bangunan di atasnya sebagaimana dimaksud dalam UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 16
Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan Ketentuan Peraturan Perundang-
undangan lainnya. Dasar hukum dari BPHTB ini adalah UU No. 21 Tahun
1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No. 20 Tahun 2000.
A. PERKEMBANGAN BPHTB
adalah pajak. Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun
1997, dan perubahannya, yaitu UU No. 20 Tahun 2000 yang menyatakan:
” ........ yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan bangunan yang selanjutnya disebut pajak”
Sedangkan yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah
perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis/tidak disengaja) yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah warisan karena pemilik
meninggal dunia.
Perolehan hak pada dasarnya ada dua, yaitu berikut ini.
1. Pemindahan Hak
Pemindahan hak berarti sebelum memperoleh hak, hak atas tanah dan
atau bangunan tersebut sebelumnya sudah ada di “orang” lain. Karena
perbuatan atau peristiwa tertentu, haknya berpindah kepada subjek hukum
Amir ke subjek hukum ke Budi.
Pemindahan hak terjadi karena berikut ini.
a. Jual beli.
b. Tukar menukar.
c. Hibah, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian
hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan
hukum tertentu.
d. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai
pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau
ADBI4330/MODUL 5 5.31
dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga.
Sesuai dengan Pasal 5 UU BPHTB, tari Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan merupakan tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan tarif tunggal
ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan penghitungan.
ADBI4330/MODUL 5 5.35
Apabila NPOP pada No. 1 sampai dengan 14 tidak diketahui atau lebih
rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun
terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB.
Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan,
besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan
telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
2. Tarif Pajak
Tarif pajak yang diterapkan pada pemungutan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan adalah tarif proporsional, dengan besarnya tarif 5%.
Tarif proporsional adalah tarif pajak yang menghasilkan besarnya pajak
terutang, semakin tinggi dasar pengenaannya, semakin tinggi pula pajak
terutangnya. Oleh karena itu, tarif proporsional terkenal sebagai tarif pajak
yang memperhatikan tingkat daya beli.
5.36 Administrasi Perpajakan
Bea yang terutang (pajak yang terutang) di atas harus dilunasi pada saat
terjadinya perolehan hak. Sedangkan tempat pajak terutang adalah di wilayah
Kabupaten atau kota atau propinsi yang meliputi letak tanah dan atau
bangunan.
5.38 Administrasi Perpajakan
3. Pelunasan BPHTB
Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
tersebut. Tempat terutang pajak adalah di wilayah kabupaten kota atau
propinsi. Dalam peristiwa ini, Wajib Pajak wajib membayar pajak yang
terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.
sendiri pajak yang terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
b. Pajak yang terutang dibayar ke Kas Negara melalui:
1) Kantor Pos;
2) Bank Persepsi;
3) Tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(SS-BPHTB).
c. Dalam hal SSB NIHIL, wajib pajak tidak perlu ke bank, cukup SSB
diketahui (ditandatangani) oleh pejabat PPAT/Notaris, Kepala Kantor
Lelang/Pejabat Lelang, atau Kantor Pertanahan Kotamadya.
Pajak Penghasilan untuk pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
merupakan pajak atas keuntungan yang diperoleh penjual.
LAT IH A N
1) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam
UU No. 21 tahun 1997 yang disempurnakan dengan UU No. 20 tahun
2000 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan. Perolehan Hak
5.42 Administrasi Perpajakan
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
1) Yang menjadi objek pajak dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah ....
A. perolehan hak atas tanah dan bangunan
B. penjualan tanah dan atau bangunan
C. pembelian tanah dan bangunan milik pemerintah
D. perolehan karena pembukaan lahan baru
4) Pada tanggal 1 Juni 2007 Arman mendaftarkan warisan berupa tanah dan
bangunan yang terletak di kota Serang dengan NPOP sebesar
Rp400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak untuk Serang
ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah ....
A. Rp100.000.000,00
B. Rp 10.000.000,00
C. Rp 1.000.000,00
D. Rp 500.000,00
5.44 Administrasi Perpajakan
Kegiatan Belajar 3
Pajak Daerah
A. DASAR HUKUM
Pajak yang dipungut oleh Provinsi tersebut, baik besarnya tarif maupun
jenis pajaknya telah ditentukan secara limitatif oleh UU. Artinya, Provinsi
tidak boleh menambah pajak baru atau menaikkan tarif pajak yang telah
ditentukan.
b. SPOPD diambil wajib pajak atau penanggung pajak, diisi dengan benar
kemudian ditandatangani untuk mendapatkan NPWPD atau No. Wajib
Pajak daerah.
c. Apabila tidak melaporkan objek pajak, maka Wajib Pajak atau
penanggung pajak bisa mendapat sanksi dan NPWPD dikeluarkan secara
sepihak oleh kepala dipenda secara jabatan.
Dalam Pasal 3 ayat (3), tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf j, dan huruf k ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Sedangkan Pasal 3 ayat (4) dijelaskan besarnya
pokok pajak dihitung dengan mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak.
ADBI4330/MODUL 5 5.49
3. Sistem Pemungutan
Ada beberapa sistem pemungutan pajak daerah yang ditetapkan oleh
gubernur, yaitu sebagai berikut.
a. Self assessment di mana pajak dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
b. Official assessment, di mana Nilai pajak ditentukan oleh gubernur.
c. Withholding/Joint Collection, di mana pajak dipungut oleh pemungut
pajak.
terutang, tidak atau kurang bayar dan apabila Surat Pemberitahuan Pajak
Daerah tidak disampaikan kepada Gubernur dalam jangka waktu yang sudah
ditentukan meskipun sudah ditegur secara tertulis.
Penggunaan sanksi administratif ditetapkan berdasarkan Peraturan
Daerah dan jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPPDKB
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan.
b. Tidak surut.
c. Tidak bertentangan dengan hukum yang tingkatnya lebih tinggi dan juga
tidak berseberangan dengan kepentingan umum.
d. Tidak dapat diborongkan.
7. Objek Pajak
8. Pengecualian
9. Subjek Pajak
11. Pemungut
Jakarta.
9. Pajak Air Bawah Tanah dan Air Pemda
Permukaan
10. Pajak Reklame Pemda
Untuk BUMN dan BUMD yang memberi pelayanan publik, pertambangan minyak
bumi dan gas alam ditetapkan oleh gubernur dengan pertimbangan mendagri
(menteri dalam negeri).
10. Pajak Reklame Nilai Sewa Reklame berdasarkan:
a. lokasi penempatan reklame yang terbagi atas
daerah protokol, ekonomi dan lingkungan
(ditetapkan dalam keputusan gubernur);
b. jenis reklame;
c. jangka waktu penyelenggaraan;
d. ukuran media reklame.
13. Tarif
selanjutnya.
f. 0,3% untuk kendaraan bermotor alat-alat besar dan
berat penyerahan selanjutnya.
g. 0,1% untuk kendaraan bermotor pribadi
penyerahan karena warisan.
h. 0,1% untuk kendaraan bermotor umum
penyerahan karena warisan.
i. 0,03% untuk kendaraan bermotor alat-alat besar
dan berat penyerahan karena warisan.
4. Pajak Kendaraan Tarif Pajak Kendaraan Bermotor:
Bermotor a. 1,5% = bukan kendaraan umum.
b. 1% = kendaraan umum.
c. 0.5% = alat-alat besar dan alat-alat berat.
Rumus Pajak Kendaraan Bermotor : Tarif X Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
5. Pajak Hiburan a. Bioskop film
1) HTM lebih besar dari Rp35.000 = 15%.
2) HTM Rp10.000 sampai Rp35.000 = 10%.
3) HTM di bawah Rp10.000 = 5%.
b. Pertunjukan atau keramaian seperti diskotek,
musik hidup, karaoke, ruang musik, klub malam,
balai gita (singing hall), ruang selesa musik (music
lounge), pub, klub eksekutif dan sejenisnya = 20%
c. Permainan ketangkasan manual, mekanik,
elektronik dan sejenisnya = 20%.
d. Permainan mesin keping = 20%.
e. Panti pijat, mandi uap, spa, steambath, dan
sejenisnya = 20%.
f. Pagelaran musik dan tari = 15%.
g. Hiburan insidental = 15%.
h. Biliar, boling (boling), dan sejenisnya = 10%.
i. Pertunjukan kesenian = 10%.
j. Pertunjukan/pertandingan olahraga = 10%.
k. Pertunjukan permainan dan atau keramaian tempat
wisata, taman rekreasi, taman hiburan keluarga,
pasar malam, pemancingan, ice skating, sirkus,
komidi putar, kereta pesiar, dan sejenisnya = 10%
l. Selain yang ada di atas = 15%.
Pokok Pajak Hiburan :
Tarif x DPP (dasar pengenaan pajak).
6. Pajak Hotel 10%
7. Pajak Restoran 10%
8. Pajak Penerangan Jalan a. Pelanggan bukan industri = 3%.
b. Pelanggan industri = 8%.
9. Pajak Air Bawah Tanah a. ABT/Air Bawah Tanah = 20%.
dan Air Permukaan b. AP/Air Permukaan = 10%.
Lokasi yang telah dijangkau oleh PDAM (perusahaan daerah air minum) harga air
5.60 Administrasi Perpajakan
bawah tanah dan air permukaan jatuh lebih mahal dari harga PDAM. Untuk
kelebihan penggunaan yang lebih besar akan nilainya naik menjadi lebih besar.
Rumus Menghitung Pajak Air Bawah Tanah/PABT:
Tarif x ( NPA = Kuantitas Air x Faktor Nilai Air x Harga Dasar Air/HDA)
10. Pajak Reklame 25%
Rumus Menghitung Pokok Pajak Reklame:
Tarif x DPP (Dasar Pengenaan Pajak)
Ketentuan Tarif Lain:
- Reklame rokok dan minuman alkohol ditambah 25% dari pokok pajak.
- Reklame yang menambah ketinggian sampai dengan 15 meter ditambah 20%
dari pokok pajak 15 meter pertama.
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 3
Tes Formatif 1
1) A. Merupakan UU tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), B.
merupakan UU tentang pajak daerah dan Retribusi Daerah, C.
merupakan UU tentang PPN & PPnBM, D. merupakan UU tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2) C. Memperoleh perlakuan timbal balik kepada Negara RI.
3) A. SPOP didasarkan pada SPOP.
4) A. Karena SPOP merupakan dasar SPPT karena dianutnya sistem self
assessment, kalau SPOP tidak benar baru dikeluarkan SKP,
sedangkan SPT hanya berlaku untuk Pajak penghasilan.
5) D. Cermati contoh perhitungan pajak terutang saat jatuh tempo.
Tes Formatif 2
1) A. Yang menjadi objek pajak dari BPHTB adalah perolehan hak atas
tanah dan bangunan.
2) C. Perolehan hak yang didapat melalui lelang, pelaksanaan perolehan
dilakukan di hadapan pejabat lelang.
3) C. Besarnya BPHTB yang terutang adalah 5% dikalikan dengan
NPOPKP.
4) A. Besarnya NPOPKP adalah Rp100.000.000,00.
5) D. Penagihannya dilanjutkan dengan penerbitan Surat paksa.
Tes Formatif 3
1) A. Pemerintah daerah perlu memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
2) B. Salah satu pajak negara yang diserahkan ke daerah berdasarkan UU
No. 10 Tahun 1968 adalah Pajak Bangsa Asing (UU No. 47 Tahun
1958).
3) C. Yang termasuk jenis pajak kabupaten/kota berdasarkan UU No. 34
Tahun 2000 adalah Pajak Penerangan Jalan.
4) D. Kriterianya adalah objek dan dasar pengenaan pajak tidak
bertentangan dengan kepentingan umum.
5) A. Diatur dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2002.
ADBI4330/MODUL 5 5.67
Daftar Pustaka
Ismail, Tjip. (2009). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: Modul
Universitas Terbuka.
PEN D A HU L UA N
pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari luar negeri dikenakan
Pajak Penghasilan Pasal 24 UU PPh.
Adanya pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan di Indonesia
maupun di luar Indonesia berakibat timbulnya Pajak Ganda (Double Tax).
Pajak Ganda ini muncul akibat adanya perbedaan prinsip perpajakan
internasional yang dianut di setiap negara. Untuk menghindari adanya Pajak
Ganda ini maka dibuat suatu perjanjian antara dua Negara atau lebih guna
memberikan banyak manfaat pada masing-masing Negara. Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda atau dikenal dengan Tax Treaty (P3B)
merupakan perjanjian bilateral yang mengatur mengenal pembagian hak
pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari
salah satu atau kedua Negara pada persetujuan (John Hutagaol : 2000).
Dalam Modul 6 ini akan dibahas mengenai Pajak Penghasilan secara
umum pada Kegiatan Belajar 1. Pada Kegiatan Belajar 2 dibahas mengenai
Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan, dan pada Kegiatan Belajar 3
dibahas mengenai Pajak Internasional.
Setelah mempelajari materi dalam Modul 6 ini, Anda diharapkan mampu
menguraikan apa yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan, Mekanisme
Pemungutan Pajak Penghasilan, dan Pajak Internasional.
Secara Khusus setelah mempelajari modul ini, Anda diharapkan dapat:
1. menjelaskan Pajak Penghasilan secara umum;
2. menghitung PTKP dan Penghasilan Kena Pajak;
3. menguraikan mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan;
4. menghitung Pajak Penghasilan final;
5. menjelaskan mekanisme pemungutan Pajak Internasional.
ADBI4330/MODUL 6 6.3
Kegiatan Belajar 1
c. Orang Pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, maka orang pribadi tersebut termasuk sebagai Wajib
Pajak dalam negeri.
d. Orang Pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
e. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.
f. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
bentuk apa pun. Pengertian penghasilan ini mempunyai arti bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk
menambah konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut
7) Iuran yang diterima atau diperoleh dari dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai.
8) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
9) Bagian laba yang diperoleh atau diterima anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi.
10) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin
usaha.
11) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut:
a) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;
b) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila telah diketahui subjek dan objek dari Pajak Penghasilan, maka
dapat dilakukan menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang.
Adapun komponen untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang
terutang adalah sebagai berikut.
sebagai tahun pajak 2005 karena bagian tahun 2005 lebih besar dari tahun
2006.
a. Tarif umum
Ketentuan yang mengatur tentang tarif umum adalah Pasal 17 UU Pajak
Penghasilan, sebagai berikut.
1) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sesuai Pasal 17 UU No. 17
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut.
5% x Rp25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00
35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00 +
Rp53.750.000,00
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
20% x Rp250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 +
Rp125.000.000,00
6.10 Administrasi Perpajakan
Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf a bagi
Wajib pajak badan dalam negeri dan BUT (untuk Tahun 2009) dapat
diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Sedangkan tarif pada Pasal 17 ayat (10) huruf b menjadi 25%
yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. Penyederhanaan tarif dari UU
PPh Tahun 2000 dengan Tahun UU PPh Tahun 2008 khususnya untuk Wajib
pajak badan dalam negeri dan BUT, dimaksudkan untuk mendorong wajib
pajak patuh serta menciptakan international best price. Bagi perusahaan yang
telah go public, tarif pajak masih diberi pengurangan 5% dari tarif normal
dengan kriteria paling sedikit 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia (dimiliki oleh masyarakat). Adanya perubahan ini diharapkan akan
mendorong lebih banyak perusahaan yang bersedia go public dan
mengembangkan good corporate governance sehingga perusahaan tersebut
mampu menggali sumber dana dan pasar modal.
b. Tarif khusus
Berbeda dengan tarif umum, pertama bahwa dasar pengenaan pajak tarif
khusus tidak bertingkat tingkat, tarifnya tarif tunggal berapa pun besarnya
penghasilan yang akan dikenakan pajak, tarif yang diterapkan adalah sama,
sesuai dengan yang ditetapkan dalam ketentuan yang mengatur tentang tarif
khusus tersebut dan pengenaan pajaknya bersifat final.
Penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final tidak digabungkan
dengan penghasilan yang akan dikenakan pajak, yaitu penghasilan yang
merupakan objek pajak yang dikenakan pajak dengan tarif umum, yaitu tarif
progresif.
Pemenuhan kewajiban pajak atas penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final, dilakukan dengan membayar sendiri atau melalui pemotongan
dan atau pemungutan pajak pihak ketiga.
Tarif khusus dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, pertama untuk
Pajak final terdapat pada Pasal-Pasal: Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, sedangkan
pengenaan pajak yang sifatnya tidak final ada pada Pasal 8 ayat (1), Pasal 19
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-
ADBI4330/MODUL 6 6.11
Contoh: 1
Agusto berstatus kawin (K/-) mendapatkan seorang anak tepat tanggal 1
Januari 2006, maka statusnya menjadi kawin dengan 1 tanggungan (K/1)
sehingga PTKP untuk tahun 2006 adalah sebesar:
Seandainya anak dari Agusto lahir pada bulan Mei 2006, maka tambahan
anak ini baru bisa diakui atau menambah PTKP pada tahun 2007.
Contoh: 2
Danu sudah menikah dan mempunyai 3 anak (K/3) bekerja pada PT Kecap
cap Bangau. Istri Danu yaitu Meinar bekerja sebagai guru matematika.
Berapa besarnya PTKP yang diperoleh Danu dalam tahun 2006.
Seandainya anak dari Agusto lahir pada bulan Mei 2009, maka tambahan
anak ini baru bisa diakui atau menambah PTKP pada tahun 2010.
Contoh: 2
Danang sudah menikah dan mempunyai 3 anak (K/3) bekerja pada PT Kecap
cap Bangau. Istri Danang, yaitu Mirna bekerja sebagai guru matematika.
Besarnya PTKP yang diperoleh Danu dalam Tahun 2009 adalah:
Contoh:
Contoh:
Marsudi (TK) pada tahun 2009 menjadi subjek pajak dalam negeri selama 3
bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar
Rp10.000.000,00 maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai
berikut.
Catatan:
a. Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran/penyetoran bertepatan dengan
hari libur, maka pembayaran/penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
b. Pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan
Pasal 26 memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti
pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar
PPh yang dipotong atau dipungut.
c. Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan bertepatan dengan hari libur,
maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. (Keputusan
Menteri Keuangan No:541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000).
6.20 Administrasi Perpajakan
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
1) Yang berikut ini yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah ....
A. orang pribadi yang tidak mempunyai penghasilan
B. perusahaan yang menderita kerugian
C. kedutaan besar negara-negara tetangga
D. yayasan di bidang keagamaan
2) Pajak penghasilan yang didasarkan pada UU No. dan Tahun 1983 adalah
pajak yang dikenakan atas ....
A. gaji
B. sewa
C. bunga
D. penghasilan
6.22 Administrasi Perpajakan
Kegiatan Belaj ar 2
Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang oleh Bank Devisa dan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak bersifat final, berarti yang
dipungut dalam hal ini importir tersebut dapat menggunakan pungutan
tersebut sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang pada akhir
tahun. Wajib Pajak dapat melunasi sendiri PPh Pasal 22 atas impor
terutang bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk. Dalam hal
pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh Pasal 22
terutang dilunasi pada saat penyelesaian Dokumen Pemberitahuan impor
untuk dipakai (PIUD).
Penyetoran atau Pelunasan dilakukan dengan cara berikut ini.
a) Pelunasan PPh Pasal 22 yang disetor oleh importir ke bank Devisa
dengan menggunakan formulir Surat Setoran pajak (SSP) yang
berlaku sebagai bukti pungutan pajak.
b) Dipungut dan disetor secara kolektif dengan menggunakan SSP oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal impor dilakukan tanpa
menggunakan Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP). Dirjen Bea
dan Cukai wajib menerbitkan bukti pungutan PPh Pasal 22 rangkap
3, yaitu sebagai berikut.
1) Lembar pertama untuk pembeli.
2) Lembar kedua untuk disampaikan kepada Dirjen Pajak (KPP
setempat) sebagai lampiran laporan bulanan.
3) Lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
Dirjen Bea dan Cukai harus menyetorkan pemungutan PPh
Pasal 22 atas impor dalam jangka waktu sehari setelah
pemungutan pajak dilakukan ke kantor pos dan giro atau Bank
Persepsi dan harus melaporkan hasil pemungutannya tersebut
secara mingguan selambat-lambatnya tujuh hari setelah batas
waktu penyetoran pajak berakhir ke Kantor Pelayanan pajak
(KPP).
hasil pemungutan PPh Pasal 22 yang dibiayai dari belanja negara atau
belanja daerah ke Kantor Pos atau Bank Persepsi pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang tersebut dengan
menggunakan SSP yang telah diisi oleh dan atas nama rekanan serta
ditandatangani oleh Bendaharawan yang berlaku sebagai bukti pungutan
pajak. Hasil pemungutan PPh Pasal 22 tersebut harus dilaporkan
selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir.
Contoh:
Pemerintah DKI membuat kontrak dengan PT. Adhikarya untuk
perbaikan saluran banjir kanal di Jakarta Pusat. Kontrak tersebut senilai
Rp 500.000.000,00 dan dibayar pada tanggal 20 Juli 2006 pada saat
kontrak ditandatangani.
Permasalahan:
a) Kapan pungutan tersebut harus disetorkan?
b) Hitung berapa PPh Pasal 22 yang harus dipungut?
Penyelesaian:
Dalam hal ini pungutan harus disetorkan pada tanggal 20 Juli 2006
sebesar Rp7.500.000,00 yang berasal dari (5% x Rp500.000.000,00).
Dalam hal penjualan rokok kretek maupun rokok putih oleh industri
rokok secara kanvas kepada pembeli perseorangan yang belum memiliki
NPWP maka NPWP pembeli pada bukti pemungutan PPh Pasal 22 diisi
dengan “0.000.000.0 kode KPP tempat pembeli berdomisili”.
PPh Pasal 22 atas penjualan rokok kretek atau rokok putih yang
dikembalikan (retur) setelah masa pajak terjadinya penjualan dapat
dikurangkan dari PPh Pasal 22 terutang dalam masa pajak terjadinya
pengembalian rokok putih ataupun rokok kretek tersebut, kecuali apabila
dalam masa pajak terjadinya pengembalian industri rokok menggantinya
dengan rokok yang sama baik dari segi fisik maupun jumlah harganya.
Apabila terjadi pengembalian maka pembeli wajib membuat nota retur
dalam masa pajak terjadinya pengembalian rangkap 3, yaitu:
a) lembar pertama dan kedua untuk pemungut pajak;
b) lembar ketiga untuk arsip wajib pajak pembeli.
SPT Masa PPh Pasal 22 harus dilampiri dengan lembar kedua dan Surat
Setoran Pajak (SSP) lembar ketiga.
ADBI4330/MODUL 6 6.31
Dari contoh di atas, CV. Berlian sebagai distributor tunggal dari industri
kertas PT. Meranti Kaltim tidak boleh memungut PPh Pasal 22 pada saat
menjual kertas kepada pedagang kertas. Hal ini dikarenakan:
a) CV. Berlian tidak ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 oleh
KPP;
b) CV. Berlian bukan merupakan industriawan.
Hal serupa berlaku juga untuk industri semen dan industri baja,
perbedaan terletak pada tarifnya.
Jumlah pajak atas penghasilan wajib pajak dalam negeri yang dibayar
atau terutang di luar negeri tersebut dihitung berdasarkan tarif pajak yang
berlaku di negara yang bersangkutan. Jumlah pajak yang dibayar atau
terutang di luar ngeri tersebut mungkin tidak semuanya dapat dikreditkan dari
total pajak terutang di Indonesia. Pasal 24 UU No. 17 Tahun 2000,
selanjutnya mengatur ketentuan besarnya pajak penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan dari total pajak
penghasilan terutang di Indonesia.
Pelunasan pajak pada akhir tahun yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah
pajak penghasilan yang terutang untuk satu tahun pajak dikurangi
dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 UU PPh. Untuk pajak penghasilan Pasal 29 paling
lambat disetor tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya, misalnya SPT
Tahun 2006 terdapat PPh Pasal 21 kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00,
maka harus disetor paling lambat tanggal 25 Maret 2007 ke bank
persepsi atau kantor pos.
2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan
pajak (SKPKB) ataupun Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Pajak penghasilan bersifat final adalah di mana seluruh pajak yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak pemotong/pemungut dianggap final (telah
selesai) tanpa harus menunggu perhitungan dari pihak fiskus, atau dapat
dikatakan bahwa pajak yang telah dipotong atau dibayar dianggap telah
selesai penghitungannya walaupun surat ketetapan pajak belum ada. Hal ini
dianggap benar secara hierarki selama berdasarkan Peraturan Pemerintah
sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1983
tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Dalam pengertian yang lebih spesifik,
pemungutan PPh bersifat final berarti jumlah pajak yang telah dibayarkan
dalam tahun berjalan melalui pemotongan (oleh pemberi kerja atau pemotong
yang lain) tidak dapat dikreditkan dari total PPh yang terutang pada akhir
suatu tahun saat mengisi Surat Pemberitahuan.
Pajak Penghasilan final sesuai Pasal 4 ayat (2) ini terdiri atas berikut ini.
2) Atas bunga deposito, tabungan, dan diskonto SBI untuk Wajib Pajak luar
negeri dikenakan pajak sebesar 20% dari jumlah bruto atau dengan tarif
berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang
berlaku dan bersifat final.
b. Pengecualian
Dikecualikan dari pemotongan pajak penghasilan adalah sebagai
berikut.
1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah
deposito dan tabungan serta diskonto SBI tersebut tidak melebihi
Rp7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.
2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
3) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang No. Tahun 1992
tentang Dana Pensiun.
4) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kapling siap bangun
untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun
sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
Pengenaan Pajak
Besarnya pengenaan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau
dipungut atas penghasilan berupa hadiah undian adalah sebesar 25% dari
jumlah bruto hadiah undian. Adapun pertimbangan dikenakan sebesar 25%
adalah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak
penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan berupa hadiah undian, baik yang diterima atau diperoleh orang
pribadi dan badan dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri dikenakan
pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan dengan pengenaan sebesar
25% dari jumlah bruto nilai hadiah.
Penghasilan berupa hadiah undian bukan merupakan suatu imbalan
secara langsung atas pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh wajib pajak,
dan cara memperolehnya juga tidak memerlukan biaya dan tenaga
sebagaimana yang terjadi seperti dalam imbalan atas pekerjaan. Karena
pertimbangan tersebut, atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama
dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut pajak penghasilan sebesar
25% dan bersifat final. Pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan
tersebut wajib dilakukan oleh semua penyelenggara undian. Pengertian dari
jumlah bruto nilai hadiah adalah jumlah bruto dari nilai uang atau nilai pasar
apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura, seperti hadiah mobil.
Contoh:
Marzuki pada tanggal 10 Oktober 2006 mendapat hadiah undian dari Bank
Danamon sebesar Rp100.000.000,00. Untuk itu Marzuki harus dikenai pajak.
Penyelesaian:
1) Atas pendapatan tersebut, Bank Danamon harus memotong PPh final
Pasal 4 ayat (2) sebesar 25% x penghasilan bruto undian.
2) Dengan demikian, uang yang diterima bersih Marzuki setelah pajak
adalah Rp7.500.000,00.
3) Bank Danamon menyetor Rp2.500.000,00 ke kas negara tanggal 10
bulan berikutnya dan melaporkannya ke KPP tanggal 20 bulan
berikutnya serta memberikan bukti potong tersebut kepada Marzuki saat
pembayaran atau pembebanan (KMK 639/KMK.04/1994).
4) Hadiah undian tidak mengenal apakah diberikan ke Wajib Pajak orang
pribadi atau badan, dan tidak mengenal batasan pendapatan atau saldo,
seluruhnya dikenakan pajak.
6.42 Administrasi Perpajakan
pengguna jasa lainnya selain pengguna jasa lainnya selain pengguna jasa
pada huruf a di atas;
3) dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 pada usaha kecil
besertifikat dengan ketentuan besarnya pajak penghasilan yang harus
dipotong oleh pengguna jasa seperti badan pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, pada saat pembayaran uang
muka atau termijn;
4) dikenakan pajak yang bersifat final pada usaha kecil besertifikat sesuai
dengan ketentuan besarnya Pajak Penghasilan yang harus disetor sendiri,
dengan cara menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang pada saat
menerima pembayaran uang muka dan termijn, dalam hal pemberi
penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain pengguna jasa pada
huruf c di atas.
b. Pengenaan pajak
Besarnya pengenaan pajak penghasilan yang terutang dan harus dipotong
oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh wajib pajak penyedia jasa yang
bersangkutan ditetapkan seperti di bawah ini.
1) Sebesar 4% dari jumlah bruto yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
perencanaan konstruksi.
2) Sebesar 2% dari jumlah bruto yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
pelaksanaan konstruksi.
3) Sebesar 4% dari jumlah bruto yang diterima Wajib Pajak penyedia jasa
pengawasan konstruksi.
Contoh 1:
PT Monzaria pada tanggal 10 Desember 2006 mendapat proyek jasa
konstruksi senilai Rp2.000.000.000,00 dari Pemda Surakarta.
Penyelesaian:
1) Atas pendapatan dari jasa konstruksi, Pemda Surakarta harus memotong
PPh Pasal 23 UU PPh sebesar 2% x penghasilan bruto.
2) Karena nilai per proyek di atas Rp1.000.000.000,00, objek PPh-nya
adalah Pasal 23. Dengan demikian uang yang diterima bersih oleh PT
Monzaria setelah dipotong pajak adalah Rp1.960.000.000,00.
3) Pemda Sukabumi berkewajiban menyetor Rp40.000.000,00 ke kas
negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan melaporkannya ke
6.44 Administrasi Perpajakan
Contoh 2:
PT. Bumikarsa pada tanggal 5 Januari 2006, mendapat proyek jasa konstruksi
dari pak Budiono (orang pribadi dan bukan pemotong PPh Pasal 23). Nilai
proyek adalah sebesar Rp100.000.000,00. Mengingat Pak Budiono bukan
pemotong PPh Pasal 23 maka PT. Bumikarsa harus melakukan penghitungan
pada akhir tahun.
Penyelesaian:
Atas pendapatan dari jasa konstruksi ini dihitung dalam laporan laba rugi dan
PPh yang dibayar adalah PPh Pasal 25 dan bersifat tidak final.
a. Pengenaan pajak
Besarnya pengenaan pemotongan Pajak Penghasilan ditentukan seperti
di bawah ini.
1) Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bong):
a) sebesar 20% dari jumlah bruto sesuai dengan masa kepemilikan
(holding period) obligasi bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap (BUT);
b) sebesar 20% atau tarif sesuai dengan ketentuan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku dari jumlah bruto
ADBI4330/MODUL 6 6.45
b. Pengecualian
Adapun pihak-pihak yang menerima penghasilan berupa bunga dan
diskonto obligasi yang tidak dikenakan pemotongan pajak penghasilan yang
bersifat final.
1) Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.
2) Dana Pensiun yang pendiriannya atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan.
3) Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasal Modal (Bapepam)
selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin
usaha.
4) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya
termasuk bunga dan diskonto obligasi tersebut dalam 1 (satu) tahun
pajak tidak melebihi jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
6.46 Administrasi Perpajakan
c. Mekanisme pemungutan
Apabila wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh
penghasilannya termasuk penghasilan berupa bunga dan diskonto obligasi
dalam suatu tahun pajak ternyata tidak melebihi jumlah Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP), wajib pajak yang bersangkutan dapat mengajukan
permohonan pengembalian jumlah pajak yang telah dipotong (restitusi).
Permohonan restitusi tersebut dapat diajukan ke Kepala Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wajib pajak yang
bersangkutan. Permohonan restitusi harus diajukan secara tertulis dalam
jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan pajak
penghasilan dengan dilampiri berikut ini.
1) Rincian sumber dan perhitungan besarnya penghasilan yang diterima
dalam waktu 2 tahun terakhir.
2) Bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan bunga diskonto
obligasi yang dimintakan restitusi.
3) Fotokopi SPPT/STTS Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir.
4) Fotokopi Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk.
Contoh:
Firman Kamal adalah seorang Notaris yang memperoleh surat penunjukan
sebagai pemungut pajak. Pada tahun 2006 menyewa gedung untuk kantor
dengan nilai Rp75.000.000,00. Berapakah PPh yang harus dipotong? dan
bagaimana cara penyetoran dan pelaporannya?
Penyelesaian:
PPh yang harus dipotong adalah sebesar 10% x Rp75.000.000,00
= Rp7.500.000,00. Notaris Firman Kamal harus menyetorkan PPh yang
dipotongnya menggunakan SSP a.n. dan NPWP Notaris Firman kamal paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dan membuat Bukti Pemotongan PPh
final sewa gedung sebanyak 3 lembar untuk penerima pembayaran, KPP, dan
ARSIP Notaris Firman Kamal. Pelaporan paling lambat dilakukan pada
tanggal 20 bulan berikutnya dengan menyerahkan:
a. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat(2);
b. SSP lembar ke 3;
6.48 Administrasi Perpajakan
Karena PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan pemotongan pajak yang bersifat
final maka firman Kamal tidak dapat mengkreditkan pajak yang dipotongnya.
Mekanisme Pembayaran
Pembayaran Pajak Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
dilakukan melalui berikut ini.
1) Pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah:
a) Badan Pemerintah;
b) subjek pajak badan dalam negeri;
c) penyelenggara kegiatan;
d) bentuk usaha tetap;
6.50 Administrasi Perpajakan
Mekanisme
Adapun besarnya tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di
bursa efek di pungut sebesar 0.01% dari nilai saham perusahaan pada saat
penutupan bursa di akhir tahun 1996.
Adapun pokok-pokok perubahan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun
1997 jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah sebelumnya
PP No. 41 Tahun 1994 adalah seperti di bawah ini.
1) Setiap transaksi penjualan saham di bursa efek akan dikenakan Pajak
Penghasilan sebesar 0.01% baik untuk saham biasa maupun saham
pendiri.
2) Tambahan Pajak Penghasilan untuk transaksi penjualan saham pendiri
yang sebelumnya dikenakan sebesar 5% pada saat penjualan saham
dilakukan, diubah menjadi dikenakan sebesar 0.05% dari nilai jual
saham.
3) Bagi perusahaan yang telah menjual sahamnya di bursa sebelum 1
Januari 1997, nilai jual saham pendiri ditetapkan sebesar nilai saham
pada saat perdagangan saham di bursa ditutup pada akhir Tahun 1996
(Tanggal 30 Desember 1996). Sedangkan bagi perusahaan yang menjual
sahamnya di bursa efek setelah 2 Januari 1997, nilai jual saham pendiri
ditetapkan sebesar nilai jual saham perusahaan pada saat penawaran
umum perdana (initial public offering).
4) Pemilik saham pendiri diberikan kemudahan untuk memenuhi kewajiban
pajaknya berdasarkan perhitungan sendiri sesuai dengan ketentuan di
atas. Dalam hal ini pemilik saham pendiri untuk kepentingan perpajakan
dapat menghitung final atas dasar anggapannya sendiri bahwa sudah ada
penghasilan. Namun, apabila pemilik saham pendiri tidak memanfaatkan
kemudahan tersebut maka penghitungan pajak penghasilannya dilakukan
berdasarkan tarif pajak penghasilan yang berlaku umum sesuai dengan
6.52 Administrasi Perpajakan
LAT IH A N
1) Yang dimaksud dengan tahun takwim atau tahun pajak adalah masa yang
diawali tanggal 1 Januari dan diakhiri tanggal 31 Desember.
2) Sedangkan saat terutangnya pajak adalah pada akhir tahun pajak yaitu
pada tanggal 31 Desember.
3) Pemungutan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan atau menganut
asas riil, yaitu asas kenyataan. Artinya, besarnya pajak yang terutang
harus berdasarkan objek pajak yang nyata-nyata diterima atau diperoleh
Wajib Pajak selama kurun waktu tahun pajak. Besarnya pajak terutang
6.54 Administrasi Perpajakan
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
2) Hasbi pada tanggal 10 Oktober 2007 mendapat hadiah undian dari Bank
Danamon sebesar Rp100.000.000,00. Untuk itu, Hasbi harus dikenai
pajak atas pendapatan tersebut, Bank Danamon harus memotong PPh
final Pasal 4 ayat (2) sebesar ....
A. 5% x penghasilan bruto undian
B. 10% x penghasilan bruto undian
C. 15% x penghasilan bruto undian
D. 25% x penghasilan bruto undian
Kegiatan Belajar 3
Pajak Internasional
D alam kegiatan belajar satu dan dua telah dibahas mengenai Pajak
Penghasilan dan Mekanisme Pemungutan Pajak Penghasilan, maka
dalam kegiatan belajar tiga ini dibahas uraian tentang perpajakan yang
khusus mempelajari perpajakan atas penghasilan yang didapat dari transaksi-
transaksi internasional yang lazim disebut perpajakan internasional.
Segala macam bentuk kegiatan dari wajib pajak dewasa ini
memungkinkan wajib pajak yang tinggal di Indonesia dalam waktu singkat
melakukan kegiatan transaksi bisnis di Singapura yang menghasilkan laba
dan dikenai pajak di negara tersebut atau negara lain. Dalam hal ini Indonesia
menganut asas domisili (domicily country atau home country) yang
mengenakan pajak penghasilan atas worldwide income. Sedangkan Singapura
sebagai tempat usaha merupakan negara sumber (source country atau host
country) juga akan mengenakan pajak. Jadi, wajib pajak akan dikenakan dua
kali, yaitu di negara sumber (source country atau host country), dan di negara
domisili (domicily country atau home country).
baru yang dikelola para profesional konsultan pajak yang bentuk-bentuk ahli
dalam permasalahan pajak internasional.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah pajak yang melewati batas
negara disebut sebagai perpajakan internasional yang merupakan bagian dari
studi perpajakan yang khusus mempelajari pengenaan pajak penghasilan atas
wajib pajak dalam negeri berkenaan dengan penghasilan yang didapat dari
sumber di luar negeri dan pengenaan pajak penghasilan atas wajib pajak luar
negeri dari penghasilan yang bersumber di dalam negeri. Secara garis besar
masalah yang termasuk dalam ruang lingkup perpajakan internasional adalah:
1. pengenaan pajak dari penghasilan yang sama oleh dua negara atau lebih;
2. pencegahan seminimal mungkin terjadinya pajak berganda;
3. kerja sama mengatasi penghindaran pajak dan penyelundupan pajak
internasional.
1. Pajak Berganda
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pajak berganda?. Pajak berganda
adalah pajak yang dikenakan dua kali atas objek yang sama. Hal ini dapat
terjadi apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba di
negara tempat usahanya (source country atau host country) yang atas laba
tersebut dikenakan pajak, kemudian atas penghasilan tersebut Wajib Pajak
tersebut dikenai pajak di negaranya sendiri. Dalam hal ini Wajib Pajak
dikenai dua kali, pertama kali oleh source country dan yang kedua oleh
domicile country yang dikenal dengan pajak berganda (double taxation).
Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak
mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara surga
pajak (tax haven country).
Pajak berganda dapat dibedakan menjadi berikut ini.
sama yaitu gaji dan subjek yang sama yaitu pak Budi dan terjadi di negara
yang sama yaitu Indonesia.
berganda, apakah berasal dari kombinasi dari berbagai jenis pajak atau
disebabkan oleh pembebanan pajak secara bersamaan oleh penguasa pihak
yang sama atau berbeda.
Secara sempit, pajak berganda dapat terjadi pada semua kasus
pemajakan, yaitu pengenaan pajak beberapa kali atas suatu subjek dan atau
objek pajak dalam suatu administrasi perpajakan yang sama. Pemajakan
ganda oleh administrator tunggal misalnya pemajakan atas bangunan atas
nilai jualnya (PBB).
2) Contoh:
Haneda adalah seorang ahli Kimia yang merupakan warga negara
Jepang. Pada bulan Juni 2006 memperoleh penghasilan dari Indonesia
sebesar Rp100.000.000,00, dari negara Singapura sebesar Rp250.000.000,00,
dan dari negara Filipina sebesar Rp150.000.000,00. Menurut peraturan
perpajakan di Indonesia, Haneda bukan Wajib Pajak Dalam Negeri. Oleh
karena itu, penghasilan Haneda yang dikenakan pajak di Indonesia pada
bulan Juni 2006 adalah hanya penghasilan yang bersumber dari Indonesia
saja yaitu sebesar Rp100.000.000,00.
ADBI4330/MODUL 6 6.65
LAT IH A N
1) Coba anda jelaskan apa yang dimaksud dengan pajak berganda dan
jelaskan model-model tentang penghindaran pajak berganda!
2) Adakah ketentuan yang mengatur mengenai batas maksimum dari
penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan di dalam negeri?
3) Abdulah adalah seorang ahli Kimia yang merupakan warga negara
Malaysia. Pada bulan Juni 2006 memperoleh penghasilan dari Indonesia
sebesar Rp100.000.000,00, dari negara Singapura sebesar
Rp250.000.000,00, dan dari negara Filipina sebesar Rp150.000.000,00.
Bagaimana pengenaan pajak terhadap Abdulah?
1) Pajak berganda adalah pajak yang dikenakan dua kali atas objek yang
sama. Pajak berganda dapat dibedakan menjadi pajak berganda internal,
pajak berganda internasional, pajak berganda yuridis, dan pajak
berganda secara ekonomis.
2) Dalam menghitung kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24) terdapat
ketentuan mengenai batas maksimum pajak luar negeri yang boleh
dikreditkan terhadap keseluruhan Pajak Penghasilan yang terutang di
dalam negeri atas penghasilan kena pajak (world wide income).
3) Menurut peraturan perpajakan di Indonesia, Abdulah bukan Wajib Pajak
Dalam Negeri. Oleh karena itu, penghasilan Haneda yang dikenakan
pajak di Indonesia pada bulan Juni 2006 adalah hanya penghasilan yang
bersumber dari Indonesia saja yaitu sebesar Rp100.000.000,00.
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 3
4) Tujuan utama dari tax treaties antara negara-negara terkait adalah ....
A. pengenaan pajak berganda
B. mencegah lolos pajak
C. pemeriksaan pajak antar negara
D. membuka peluang loopholes
Tes Formatif 1
1) C. Yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah Kedutaan Besar.
2) D. Gaji, sewa, dan bunga termasuk dalam pengertian penghasilan.
3) A. Besarnya PTKP untuk seorang karyawati status kawin dengan
tanggungan seorang anak kandung, seorang adik kandung dan
seorang anak tiri, dan suami bekerja pada tahun 2006 adalah
Rp13.200.000,00.
4) C. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menyelenggarakan pembukuan, diperoleh dari penghasilan neto
dikurangi dengan zakat, PTKP, Kompensasi Kerugian.
5) D. Tersebut di bawah ini termasuk Wajib Pajak badan yang
penghitungan penghasilan netonya dihitung dengan norma
penghitungan khusus, kecuali Cabang Bang Luar Negeri (BUT).
Tes Formatif 2
1) C. tanggal 25 Maret 2007 ke bank persepsi atau kantor pos.
2) D. Atas pendapatan tersebut, Bank Danamon harus memotong PPh
final Pasal 4 ayat (2) sebesar 25% x penghasilan bruto undian.
3) C. Karena nilai per proyek di atas Rp1.000.000.000,00, objek PPh-nya
adalah PPh Pasal 23.
4) C. Atas penjualan obligasi ini, PT Maju harus memotong PPh final
sebesar 20% x (Rp100.000.000,00 – Rp80.000.000,00)
= Rp4.000.000,00 dan bersifat final.
5) A. Karena Universitas Terbuka merupakan badan pemerintah.
Tes Formatif 3
1) C. Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak
mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara
surga pajak (tax haven countries).
2) C. Merupakan pengenaan pajak dua kali atau lebih terhadap subjek
dan objek yang sama oleh dua negara.
3) D. Termasuk dalam pajak ganda secara ekonomis.
4) B. Tax Treaty atau perjanjian antara negara-negara terkait ialah untuk
menghindarkan pajak berganda dan mencegah lolos pajak.
5) A. Hal ini merupakan contoh dari internal double taxation.
6.70 Administrasi Perpajakan
Daftar Pustaka
Markus, Muda & Lalu Henry Yujana. (2004). Pajak Penghasilan. Edisi
Revisi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai. Edisi Revisi 2006, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada.
Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak, Susunan Dalam Satu Naskah dari Undang-Undang
R.I. No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2008.
PEN D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
pajak
Bahan yang diproses memerlukan biaya sebesar Rp 4.000.000,00
Total biaya sebelum keuntungan perusahaan Rp15.000.000,00 (+)
Apabila pengusaha menginginkan laba sebesar
20% = 20% x Rp15.000.000,00 = Rp 3.000.000,00 (+)
Harga jual seluruh produk perusahaan B adalah
harga pokok penjualan ditambah dengan laba Rp18.000.000,00
perusahaan
Penjualan senilai Rp18.000.000,00 itu akan dikenakan pajak penjualan
sebesar 10% sehingga harga yang dibayar oleh konsumen menjadi
Rp18.000.000,00 + (10% x Rp18.000.000,00) = Rp19.800.000,00.
Pada dasarnya, harga yang dibayar oleh konsumen dapat lebih rendah
apabila tidak ada unsur pajak ganda. Pada contoh di atas adalah pajak yang
dikenakan atas pembelian bahan dan pada saat penjualan. Pengenaan pajak
yang mempunyai efek berganda pada pajak penjualan menyebabkan
timbulnya kepincangan dan hilangnya sifat netral pajak, baik dalam
hubungannya dengan perdagangan dalam negeri maupun perdagangan
internasional.
Dasar pertimbangan digantinya UU Pajak Penjualan Tahun 1951 dengan
UU PPN dan PPnBM Tahun 1983 adalah bahwa:
1. perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi
setiap warga negara yang merupakan sarana peran serta dalam
pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan nasional;
2. sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak
negara yang selama ini berlaku tidak sesuai lagi dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia;
3. sistem perpajakan, khususnya yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan
pajak tidak langsung yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan
peran serta semua lapisan Pengusaha kena pajak dalam meningkatkan
pendapatan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan
kelangsungan pembiayaan negara dan kelangsungan pembangunan.
4. sistem pajak penjualan yang berlaku selama ini sudah tidak sesuai lagi
sebagai sarana yang dapat menunjang kebutuhan tersebut.
PPnBM untuk memperlihatkan bahwa dua macam pajak yang diatur di sini
merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri.
Adapun kelebihan dari UU PPN dan PPnBM dari UU Pajak Penjualan
Tahun 1951 adalah sebagai berikut.
1. PPn dan PPnBM dalam pelaksanaannya bisa menghindari pengenaan
pajak berganda.
2. Dalam hal ekspor, diberikan pengembalian beban pajak yang melekat
pada waktu perolehan harga barang yang diekspor.
3. Dalam hal impor, jumlah pajak yang dipungut sama dengan jumlah pajak
yang dikenakan atas barang yang diproduksi di dalam negeri pada
tingkat harga yang sama, karena itu menciptakan persaingan yang sehat
untuk keuntungan konsumen.
4. Penerapan sistem tarif yang lebih sederhana atas PPN dan PPnBM dapat
dengan mudah melacak setiap bentuk penyelundupan pajak.
Kedua jenis pungutan pajak ini (PPN dan PPnBM) pada dasarnya antara
satu dengan lainnya saling melengkapi, dan merupakan satu kesatuan
pemungutan pajak atas konsumsi barang maupun jasa di dalam Daerah
Pabean. Pada PPN, sekalipun pengenaan pajaknya berkali-kali, namun
masalah pajak ganda dapat dibatasi karena pengenaannya hanya terhadap
pertambahan nilai yang timbul pada setiap penyerahan barang dan jasa pada
jalur perusahaan berikutnya, dengan cara mengkreditkan pajak yang telah
dibayarkan terlebih dahulu (Credit Method atau Indirect Substraction
Method). Sesuai dengan namanya, yaitu Pajak Pertambahan Nilai maka pajak
yang dipungut atau disetorkan kepada negara adalah pajak yang dikenakan
atas barang dan jasa karena adanya nilai tambah. Oleh karenanya, pajak ini
dikenal dengan nama value added tax. Pertambahan nilai itu sendiri timbul
karena dipakainya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam
menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang
atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen.
Contoh:
Pak Sabarudin seorang pengusaha garmen ingin menjual produk berupa
kemeja, maka pak Sabarudin akan memerlukan bahan baku berupa kain dan
bahan pembantu seperti benang, kancing, renda dan lainnya untuk diproses
menjadi produk pakaian jadi yang akan dijualnya. Adapun proses untuk
membuat bahan menjadi barang produk siap jual tidak terlepas dari faktor-
faktor produksi sebagai berikut.
1. Harta tetap, di mana ada biaya penyusutan dari harta tetap.
2. Modal, berkaitan dengan faktor bunga modal yang harus dibayarkan.
3. Tenaga kerja, berkaitan dengan pembayaran upah dan gaji.
4. Biaya-biaya kantor dan laba yang diharapkan.
Karena adanya empat faktor produksi ini, maka harga jual merupakan
penambahan antara harga beli, biaya-biaya produksi, dan tingkat laba yang
diharapkan. Penambahan biaya produksi dan tingkat laba inilah yang
sebenarnya merupakan pertambahan nilai yang dipungut pajaknya. Dengan
kata lain, biaya-biaya yang dikeluarkan berupa penyusutan, bunga modal,
gaji dan upah, biaya-biaya kantor dan tingkat laba yang diharapkan adalah
unsur-unsur pertambahan nilai. Sehingga besarnya pertambahan nilai secara
sederhana dapat diketahui dengan cara mencari selisih antara Harga Jual
dengan Harga Beli suatu barang atau jasa.
Selain pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan dalam upaya menuju
keadilan maka atas barang-barang mewah selain dikenakan PPN juga
dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Pemungutannya
dilakukan pada saat barang mewah tersebut diserahkan dari pabrikan atau
pada waktu impor, dengan tarif yang disesuaikan dengan kelompok barang
yang dikenakannya. Pengenaan PPnBM ini adalah untuk menekan pola
konsumsi dan mendorong masyarakat untuk hidup hemat. Namun, khusus
7.6 Administrasi Perpajakan
1. Subjek PPN
Subjek pajak dalam PPN adalah konsumen karena PPN merupakan pajak
tidak langsung. Namun, kesulitan akan terjadi apabila konsumen harus
membayar pajak dalam PPN sebagai salah satu jenis pajak tidak langsung.
Oleh karena itu, pengusaha sebagai penanggung pajak harus membayar pajak
terlebih dahulu yang nantinya akan dibayar kembali oleh pemikul pajak,
yaitu konsumen pada saat membeli barang.
Hal inilah yang kita lihat pada selebaran yang kita dapatkan dari suatu
toko dan supermarket bahwa harga sudah termasuk PPN, atau restoran yang
mencantumkan harga menu dengan tambahan bahwa harga belum termasuk
PPN.
3. Objek PPN
Pasal 4 UU PPN Tahun 1984 sebagaimana telah diubah dan terakhir
dengan UU No. 18 Tahun 2000, menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas:
a. penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha Kena pajak (PKP);
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. kegiatan membangun sendiri;
h. penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak.
ADBI4330/MODUL 7 7.9
Contoh:
Sartono seorang pengusaha yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak
menggunakan merek yang dimiliki pengusaha Naruto yang berkedudukan di
Jepang. Pemanfaatan merek tersebut oleh Sartono di dalam Daerah Pabean
akan terutang PPN, yaitu:
a. pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
b. ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
B. FAKTUR PAJAK
Setelah kita memahami tentang barang atau jasa yang dikenakan pajak
pertambahan nilai (PPN) dan saat terutangnya, selanjutnya kita perlu
memahami sarana apa untuk dijadikan sebagai bukti bahwa kita telah
memungut PPN. Adapun sarana yang dijadikan bukti untuk memungut PPN
tersebut adalah faktur pajak. Faktur Pajak dibuat oleh PKP karena
penyerahan BKP atau JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP
yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Beberapa hal yang perlu diketahui adalah sebagai berikut.
a. Pihak yang dapat membuat pajak adalah pengusaha yang telah memiliki
No. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP). Pengusaha ini dikenal
sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
b. Siapakah pembeli barang atau jasa yang kita jual?
c. Apakah pembeli memiliki NPWP atau SPPKP?
d. Apakah yang membeli merupakan instansi pemerintah, BUMN/BUMD
yang termasuk dalam kriteria pemungut PPN?
Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materiil.
Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar dan ditandatangani oleh
pejabat yang ditunjuk oleh pengusaha kena pajak untuk menandatanganinya.
Namun, untuk pengisian keterangan mengenai pajak penjualan atas barang
mewah hanya diisi apabila atas penyerahan barang kena pajak terutang pajak
penjualan atas barang mewah. Faktur pajak yang tidak diisi sesuai dengan
ketentuan ini dapat mengakibatkan pajak pertambahan nilai yang tercantum
di dalamnya tidak dapat dikreditkan. Faktur penjualan yang memuat
keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan ini dapat disebut
Faktur Pajak Standar.
Pajak dibuat pada saat pembayaran. Secara lebih rinci saat pembuatan Faktur
Pajak diatur sebagai berikut.
a. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) serta Kep-DJP No.
549/PJ/2000 jis Kep-DJP No. 323/PJ./2001 Kep-DJP No. 433/PJ./2002,
Dirjen Pajak menetapkan saat pembuatan Faktur Pajak Standar selambat-
lambatnya.
b. Setelah Pengusaha Kena Pajak membuat Faktur Pajak Standar, harus
dilaporkan sebagai PPN pajak keluaran di SPT Masa PPN dibuatnya
Faktur Pajak. Jika setelah diperhitungkan dengan PPN pajak masukan
terdapat PPN kurang bayar, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15
bulan berikutnya dan dilaporkan tanggal 20 bulan berikutnya.
c. Untuk penyerahan yang dilakukan kepada pemungut PPN, PKP wajib
membuat Faktur Pajak saat melakukan penagihan ke pemungut PPN, dan
pemungut PPN harus menyetor PPN yang dipungutnya dan disetorkan ke
kas negara selambat-lambatnya pada tanggal 7 bulan berikutnya dan
dilaporkan tanggal 14 bulan berikutnya. Karena ketidakpastian kita
menerima pembayaran dari pemungut PPN, faktur pajak dilaporkan di
SPT masa pada saat diterimanya pembayaran.
d. Pada saat dilakukan pemeriksaan, wajib pajak banyak yang tidak
menyadari arti penting faktur pajak sehingga mereka mengabaikan faktur
pajak masukan yang merupakan pengurang dari PPN pajak keluaran saat
kita menjual. Agar dapat dikreditkan, faktur pajak tidak boleh cacat
artinya jangan sampai ada coretan, tipp-ex, dan sejenisnya. Di samping
itu, agar Faktur Pajak tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak maka
harus berhubungan langsung dengan usaha, yaitu terkait dengan kegiatan
produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Latar belakang pengenaan PPnBM dapat kita lihat dalam penjelasan dari
Pasal 5 UU PPN 1983, yaitu:
1. PPN berdampak regresif
PPN merupakan pajak objektif namun memiliki dampak regresif dan ini
dapat dilihat dari:
a. PPN tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya, di mana
konsumen yang memiliki kemampuan yang tinggi dengan yang
memiliki kemampuan rendah disamakan perlakuannya;
7.14 Administrasi Perpajakan
Contoh:
Konsumen A yang berpenghasilan bersih Rp100.000.000,00,- setahun
membeli sebuah televisi dengan harga Rp5.000.000,00,- maka atas pembelian
tersebut dipungut PPN sebesar 10% x Rp5.000.000,00,- = Rp500.000,00,-.
Sedangkan konsumen B seorang PNS dengan penghasilan bersih setahun
Rp36.000.000,00,- membeli barang yang sama sebagaimana dibeli A juga
dikenakan PPN yang sama yaitu Rp500.000,00,-. Dalam kasus dua pembeli
ini dirasakan tidak adil karena keduanya dikenakan pajak yang sama.
1. Objek PPnBM
Selain PPN, PPnBM juga dikenakan terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan
oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong
ADBI4330/MODUL 7 7.15
Pengenaan pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor
Barang Kena pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut
dilakukan secara terus menerus atau hanya sekali saja. Selain itu, pengenaan
pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap suatu penyerahan Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari
Barang Kena Pajak tersebut telah dikenakan Pajak Penjualan atau tidak
dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada transaksi sebelumnya.
Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah kegiatan-
kegiatan sebagai berikut.
a. merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang
menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil,
barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya;
b. memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik
dicampur bahan lain atau tidak;
c. mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk
menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang
melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan
pemasarannya;
e. membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam
botol yang ditutup dengan cara tertentu;
7.16 Administrasi Perpajakan
Pajak penjualan atas barang mewah dikenakan hanya satu kali pada
waktu penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha
yang menghasilkan atau pada waktu impor.
Pengertian Pajak Masukan hanya dikenal dalam pajak pertambahan nilai,
untuk pajak penjualan barang mewah tidak ada. Oleh karena itu, pajak
penjualan atas barang mewah yang telah dibayar, tidak dapat dikreditkan
dengan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang. Dengan demikian,
prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu:
a. penyerahan oleh pabrikan atau produsen barang kena pajak yang
tergolong mewah;
b. impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
a. Tarif PPN
Tarif Pajak Pertambahan Nilai menurut Pasal 7 UU No. 18 Tahun 2000
adalah:
1) sebesar 10%
Tarif PPN barang kena pajak dan jasa kena pajak merupakan tarif
tunggal yang dikenakan terhadap semua jenis barang kena pajak dan jasa
kena pajak. dalam keadaan tertentu sesuai peraturan pemerintah, tarif
PPN dapat dinaikkan menjadi setinggi-tingginya 15% dan serendah-
rendahnya 5%.
2) sebesar 0%
Tarif PPN 0% dikenakan atas ekspor barang kena pajak. Hal ini
dimaksudkan untuk mendorong para pengusaha agar mampu
menghasilkan barang untuk diekspor sehingga dapat bersaing di pasar
luar negeri. Penerapan tarif PPN sebesar 0% bukan berarti pembebasan
dari pengenaan PPN, tetapi agar pajak masukan yang telah dibayar oleh
pengusaha pada saat pembelian barang ekspor tersebut dapat dikreditkan.
ADBI4330/MODUL 7 7.17
b. Tarif PPnBM
Tarif pajak penjualan atas barang mewah dapat ditetapkan dalam
beberapa kelompok tarif terendah sebesar 10% dan tarif tertinggi 75%.
Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada kelompok barang kena
pajak yang tergolong mewah yang atas penyerahannya dikenakan juga pajak
penjualan atas barang mewah oleh pengusaha yang menghasilkan barang
kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Atas ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak
dengan tarif 0%. Pajak Penjualan atas barang mewah adalah pajak yang
dikenakan atas konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah di dalam
daerah pabean. Oleh karena itu, barang kena pajak yang tergolong mewah
yang diekspor atau dikonsumsi di luar daerah pabean dikenakan pajak
penjualan atas barang mewah yang telah dibayar atas perolehan barang kena
pajak yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.
Contoh:
Pengusaha kena pajak Amir merupakan produsen mobil. Dalam
menghasilkan mobil, PKP Amir juga membeli tape dan AC yang akan
dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan tape dan AC
tersebut, PKP Amir telah membayar pajak penjualan atas barang mewah
sebesar Rp350.000,00 (Rp100.000,00 untuk tape dan Rp250.000,00 untuk
AC). Apabila Harga Produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan
7.18 Administrasi Perpajakan
Contoh:
Pengusaha kena pajak Andi membeli BKP yang tergolong mewah dari
pengusaha budi yang menghasilkan BKP tersebut sebagai berikut.
Harga Beli (sebagai Dasar Pengenaan Pajak) = Rp100.000.000,00
PPN = Rp 10.000.000,00
PPnBM misal dengan tarif 20% = Rp 20.000.000,00
Jumlah yang dibayar oleh PKP Andi Rp130.000.000,00
besarnya pertambahan nilai atas barang atau jasa tersebut. Jika dasar untuk
menghitung pajak pertambahan nilai adalah nilai tambah, pada setiap tahapan
produksi dan distribusi harus menghitung nilai tambah, penghitungan
tersebut menjadi sulit. Oleh karena itu, terdapat beberapa mekanisme dalam
menghitung pajak pertambahan nilai yang didasarkan pada suatu nilai yang
disebut dengan dasar pengenaan pajak (seperti harga jual, nilai impor,
penggantian, dan lain-lain). Secara umum, pajak pertambahan nilai yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar Pengenaan
Pajak.
Contoh:
a. Pengusaha Kena Pajak Amir menjual tunai barang kena pajak dengan
harga jual Rp25.000.000,00. Pajak pertambahan nilai yang terutang
adalah 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00. Pajak pertambahan
nilai ini merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh pengusaha kena
pajak.
b. Pengusaha kena pajak budi melakukan penyerahan jasa kena pajak
dengan memperoleh penggantian sebesar Rp20.000.000,00. Pajak
pertambahan nilai yang terutang adalah 10% x Rp20.000.000,00 =
Rp2.000.000,00. Pajak pertambahan nilai ini merupakan pajak keluaran,
yang dipungut oleh pengusaha kena pajak Budi.
c. Seorang mengimpor barang kena pajak dari luar daerah pabean dengan
nilai impor Rp15.000.000,00. Pajak pertambahan nilai yang dipungut
melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai adalah 10% x Rp15.000.000,00
= Rp1.500.000,00.
Pada Contoh 1, jika pengusaha kena pajak Amir membeli barang kena
pajak yang dijual tersebut dengan harga perolehan Rp10.000.000,00 dan atas
pembelian/perolehan ini membayar pajak pertambahan nilai (Pajak masukan)
sebesar Rp1.000.000,00. Pajak pertambahan nilai yang terjadi sebenarnya
tidak sebesar Rp2.500.000,00, tetapi hanya sebesar Rp1.500.000,00 atau tarif
10% x nilai tambah (Rp25.000.000,00 – Rp10.000.000,00).
Agar tidak menimbulkan unsur pemungutan pajak berganda,
penghitungan pajak pertambahan nilai yang didasarkan pada dasar pengenaan
pajak tersebut disesuaikan kembali dengan mekanisme penghitungan pajak.
Mekanisme penghitungan pajak yang secara umum digunakan oleh
pengusaha kena pajak adalah mekanisme kredit pajak murni atau metode
7.20 Administrasi Perpajakan
faktur pajak atau metode pajak masukan pajak keluaran. Namun demikian,
dalam kondisi tertentu mekanisme faktur pajak tidak digunakan, tetapi
menggunakan cara lain. Kondisi tersebut misalnya, pada saat terjadi
penyerahan kepada pemungutan PPN, penyerahan oleh pengusaha di bidang
tertentu, kegiatan membangun sendiri, pemberian cuma-cuma maupun
dipakai sendiri, dan lain-lain.
Atas dasar ketiga faktor tersebut di atas maka dalam hal PKP selain
pabrikan menyerahkan BKP yang tergolong mewah, sebelum 1 Januari 2001,
PPN yang terutang dihitung dari DPP yang ditetapkan berdasar harga barang
setelah dikurangi dengan unsur PPnBM yang terkandung di dalamnya.
Cara menghitung pajak penjualan atas barang mewah yang terutang
adalah dengan mengalikan harga jual, nilai impor, dan nilai lain yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif (terendah 10%,
dan tertinggi 75% serta 0% untuk kegiatan ekspor). PPnBM bukan
merupakan pajak masukan. Oleh karena itu, PPnBM dapat ditambahkan ke
dalam harga BKP yang bersangkutan atau dibebankan sebagai biaya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan pajak penghasilan.
Contoh: 1
PKP Amir mengimpor BKP dengan nilai impor Rp5.000.000,00. BKP
tersebut selain dikenakan PPN, juga dikenakan PPnBM dengan tarif 20%.
Contoh: 2
PKP “D” pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci
pakaian dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan
PPnBM dengan tarif 20%. Pada bulan Maret 2007, PKP “D” menjual 10
buah mesin cuci kepada PKP “O” seharga Rp30.000.000,00.
ADBI4330/MODUL 7 7.21
Pada bulan Maret 2007 PKP “O” menjual 10 buah mesin cuci tersebut di
atas seharga Rp40.000.000,00. PPN yang terutang = 10% x Rp40.000.000,00
= Rp4.000.000,00. PKP “O” tidak boleh memungut PPnBM karena PKP “O”
bukan pabrikan dan PPnBM dikenakan hanya satu sekali.
LAT IH A N
ini, penyerahan rumah tergolong pemakaian sendiri barang atau jasa. PT.
Bangun Persada harus membayar PPN ke Kas Negara.
5) Keramik termasuk barang mewah dan sesuai dengan asas destinaris,
impor keramik dari Korea tersebut dimaksudkan untuk dikonsumsi di
dalam daerah Pabean Indonesia. Dengan demikian, pada waktu
mengimpor keramik tersebut PT. Krakatao harus membayar PPnBM,
yang harus dilunasi bersama-sama dengan pelunasan bea masuk dan bea
lainnya yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Kemudian Pak Hardiman tidak boleh dibebani dengan PPnBM.
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
4) Dasar pengenaan PPnBM atas penyerahan BKP barang mewah adalah ....
A. nilai impor
B. nilai ekspor
C. harga jual
D. penggantian
Kegiatan Belajar 2
Bea Meterai
S elama ini kita sering kali membubuhkan meterai pada suatu dokumen
yang memang seharusnya memakai meterai. Pernahkah tebersit dalam
pikiran kita mengapa harus pakai meterai? Adakah aturan yang
mengharuskan kita menggunakan meterai? Apa sanksinya apabila kita tidak
membubuhkan meterai? Dokumen apa saja yang harus diberi meterai?,
karena pemberian meterai berarti biaya administrasi akan bertambah, dan
sebagainya.
1. Dasar Hukum
Dasar hukum dari Bea dan Meterai adalah Undang-undang No. 13 Tahun
1985 tentang Bea Meterai yang merupakan pengganti dari aturan bea meterai
1921 (tegel verordening 1921) yang merupakan produk zaman penjajahan
dan dalam pelaksanaannya telah mengalami berulang kali perubahan. Bea
meterai merupakan suatu jenis pungutan yang ditetapkan oleh pemerintah
atas dokumen dan dipungut pada saat terjadinya peristiwa atau perbuatan,
dan dikategorikan sebagai pajak tidak langsung.
muka pengadilan. Secara rinci dokumen yang menjadi objek bea meterai
adalah sebagai berikut.
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk
rangkap-rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu:
1) yang menyebutkan penerimaan uang;
2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam
rekening bank;
3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4) yang berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek.
f. Dokumen yang dikenakan bea meterai juga terhadap dokumen yang akan
digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan, yaitu surat-surat
biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula
tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, dan maksud semula.
1. Meterai Tempel
Cara melunasi bea meterai dengan meterai tempel sudah lazim kita
lakukan. Namun, ada baiknya bagaimana cara melunasi bea meterai dengan
meterai tempel.
a. Meterai tempel yang didapat dengan membeli di kantor pos direkatkan
seluruhnya secara utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan
bea meterai.
b. Merekatkannya di atas tempat yang disediakan untuk tanda tangan.
c. Pembubuhan tanda tangan di atas meterai dengan pencantuman tanggal,
bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis sehingga
sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai
tempel.
d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus
dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas
kertas.
ADBI4330/MODUL 7 7.31
2. Kertas Bermeterai
Selama ini kita mengenal kertas meterai sebagai kertas segel. Kertas
meterai ini biasanya banyak digunakan oleh notaris dan PPAT dalam
pembuatan Akta. Sebagaimana kita ketahui bahwa Akta Notaris beserta
rangkapnya merupakan dokumen yang menjadi objek Bea Meterai. Oleh
karenanya, pemeteraian dokumen lebih mudah apabila menggunakan kertas
meterai. Namun demikian, sering terjadi adanya salah persepsi bahwa
penggunaan kertas meterai belum merupakan pelunasan bea meterai sehingga
pemilik atau pengguna dokumen masih melakukan penempelan meterai
tempel di atas kertas meterai. Perlu ditegaskan apabila sudah menggunakan
kertas meterai maka tidak perlu lagi dibubuhi meterai. Cara melunasi bea
meterai dengan menggunakan kertas bermeterai adalah sebagai berikut.
a. Membeli kertas bermeterai di kantor pos.
b. Bentuk dan ukuran kertas bermeterai sudah ditentukan.
c. Menulis dokumen di atas kertas bermeterai dan ditandatangani (tidak
perlu lagi meterai tempel.
d. Dalam hal terjadi kelebihan naskah sehingga kurang kertas bermeterai,
dapat menggunakan kertas lain yang tidak bermeterai.
Catatan:
Penjelasan UU No. 13 Tahun 1985 yang mengatur tentang bea meterai
menegaskan, sehelai kertas bermeterai hanya dapat digunakan untuk sekali
pemakaian. Meskipun penggunaan kertas bermeterai hanya sebagian saja,
kelebihan tersebut tidak dapat diisi dengan dokumen lain. Jika kelebihan
(bagian yang kosong) tersebut dimanfaatkan untuk isi dokumen yang lain,
maka atas dokumen tersebut terutang bea meterai tersendiri yang besarnya
disesuaikan dengan besarnya tarif dimaksud Pasal 2 UU No. 13 Tahun 1985.
Dalam hal terjadi kertas bermeterai tidak jadi digunakan atau belum
ditandatangani oleh yang membuat atau yang berkepentingan, meskipun
terjadi ketelanjuran ditulis sebagian yang masih belum berbentuk suatu
dokumen, kertas bermeterai demikian dapat digunakan sebagaimana
mestinya dengan mencoret bagian yang terlanjur ditulis tersebut.
7.32 Administrasi Perpajakan
Cara melunasi bea meterai yang oleh Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE
50/PJ.5/1989, selain dengan cara pemeteraian cek dan bilyet giro, oleh bank
juga dapat dilakukan dengan menempelkan meterai dengan nominal
Rp1.000,00, menggunakan tanda lunas bea meterai, menggunakan mesin
teraan meterai atau dengan mencetak tanda lunas bea meterai.
Contoh:
Pak Badrudin seorang pengusaha dalam bulan April 2006 memiliki transaksi
bisnis sebagai berikut.
a. Membayar gaji karyawan dengan masing-masing karyawan memperoleh
Rp1.000.000,00.
b. Membayar utang kepada supplier atas pembelian 100 buah balok kayu
dengan masing-masing balok seharga Rp150.000,00.
c. Membayar pajak senilai Rp750.000,00.
d. Transfer intern bank untuk membayar kuliah anaknya di Bandung
Rp1.000.000,00.
e. Membuat akta PPAT atas pengalihan tanah milik Pak Badrudin di
Bandar Lampung.
7.36 Administrasi Perpajakan
3. Ketentuan Khusus
a. Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia
harus telah dilunasi bea meteri yang terutang dengan cara pemeteraian
kemudian.
b. Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, juru sita, notaris, dan pejabat umum
lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:
1) menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang bea
meterainya tidak atau kurang dibayar;
2) melekatkan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar
sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
3) membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen
yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar;
4) memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau
kurang dibayar sesuai dengan tarif bea meterainya;
5) pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi
administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
ADBI4330/MODUL 7 7.37
4. Sanksi Administrasi
Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang
mengakibatkan bea meterai yang harus dilunasi kurang bayar. Adapun cara
pengenaan sanksi administrasi dijelaskan sebagai berikut.
a. Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek bea meterai tidak
atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda
administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang
bayar.
b. Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf
(a) harus melunasi bea meterai terutang berikut dendanya dengan cara
pemeteraian kemudian.
5. Daluwarsa
Kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang
menurut UU No. 15 Tahun 1985 tentang bea meterai menjadi daluwarsa
setelah lewat waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal dokumen tersebut dibuat.
6. Ketentuan Pidana
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP.
a. Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai
atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan
meterai.
b. Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk
diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang
dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak.
c. Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan,
menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Neraca
Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda
sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-
olah meterai itu belum dipakai dana atau menyuruh orang lain
menggunakannya dengan melawan hak.
d. Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang
diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk
meniru dan memalsukan benda meterai.
e. Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU
Bea Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana
ini adalah bentuk kejahatan).
7.38 Administrasi Perpajakan
7. Contoh Kasus
PT. Berlian memiliki dokumen rata-rata 100 buah perhari yang harus
bermeterai. Perusahaan ini biasanya menggunakan mesin teraan untuk
mempermudah pelunasan bea meterai. Apabila perusahaan ini lupa
memeteraikan 100 dokumen yang merupakan tagihan untuk kliennya yang
nilai tagihan untuk masing-masing dokumen sebesar Rp1.000.000,00 dan
dokumen tersebut telah dipergunakan, berapa bea meterai yang harus dibayar
PT Berlian?
Jawab:
Dokumen yang belum dimeteraikan = 100 dokumen
Bea Meterai terutang untuk 1 dokumen = Rp 6.000,00
Bea Meterai terutang = Rp 600.000,00
Sanksi 200% = Rp1.200.000,00 (+)
Bea Meterai yang masih harus dibayar = Rp1.800.000,00
LAT IH A N
1) Bea meterai dikenakan atas surat yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata.
2) Pelunasan bea meterai yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan bea
meterai di Indonesia dengan catatan bahwa dokumen tersebut tidak
digunakan di Indonesia. Apabila dokumen tersebut akan digunakan di
Indonesia maka bea meterai yang terutang harus dilunasi terlebih dahulu
dengan tarif yang berlaku dan dengan cara pemeteraian kemudian oleh
Pejabat Pos tanpa dikenakan denda.
3) Perlakuan bea meterai atas dokumen-dokumen tersebut adalah ....
a) dokumen gaji yang merupakan bukti pembayaran gaji kepada
karyawan bukan merupakan dokumen yang terutang bea meterai;
b) dokumen pembayaran utang kepada suplier atas pembelian 100
buah balok kayu terutang bea meterai sebesar Rp6.000,00;
c) dokumen pembayaran pajak tidak terutang bea meterai;
d) dokumen transfer intern bank tidak kena bea meterai;
e) Akta PPAT yang dibuat oleh Pejabat PPAT beserta rangkapnya
merupakan dokumen yang terutang Bea Meterai masing-masing
sebesar Rp6.000,00.
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
C. Departemen Keuangan
D. percetakan lainnya yang ditunjuk oleh negara
Kegiatan Belajar 3
K epabeanan dan Cukai merupakan salah satu pajak tidak langsung yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Kepabeanan
dan Cukai merupakan suatu pengetahuan praktis yang penting untuk
dipahami karena sangat menunjang Pembangunan Nasional di bidang
ekonomi. Hal ini dikarenakan kepabeanan dan cukai selalu ada di semua
pelabuhan baik laut maupun udara dan tempat-tempat yang terdapat kegiatan
pemungutan bea masuk dan bea keluar yang tersebar di seluruh tanah air
Indonesia.
undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Kedua undang-undang ini sudah
menampung semua aspirasi masyarakat pengguna jasa Kepabeanan dan
Cukai dan aparat Bea Cukai sendiri.
Dalam hal tertentu, atas barang impor dilakukan penetapan tarif dan nilai
pabean untuk pemberitahuan bea masuk estela pemeriksaan fisik, tetapi
sebelum diserahkan pemberitahuan pabean, misalnya untuk barang
penumpang, pelintas batas, dan awal sarana pengangkutan.
Dalam rangka memberikan kepastian pelayanan kepada masyarakat, jika
pemberitahuan pabean sudah didaftarkan, penetapan besarnya bea masuk
oleh Pejabat Bea Cukai. Penetapan tersebut setelah dilakukan pemeriksaan
ulang terhadap pemberitahuan pabean tersebut. Hasil pemeriksaan ulang
tersebut dijadikan acuan dalam penetapannya bea masuk dan lain-lain.
Pada dasarnya, penetapan Pejabat Bea dan Cukai sudah mengikat dan
dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil pemeriksaan ulang atas
pemberitahuan pabean atau dokumen pelengkap pabean menunjukkan adanya
kekurangan atau kelebihan bea masuk, untuk mengamankan penerimaan
7.44 Administrasi Perpajakan
negara atau menjamin hak pengguna jasa, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dapat membuat penetapan baru.
Contoh 1:
Arman adalah importir barang elektronik yang mempunyai Angka Pengenal
Impor (API), mengimpor barang elektronik dari Jepang dengan nilai pabean
Rp100.000.000,00 dengan bea masuk 30%. Dari kegiatan ini Arman harus
menghitung bea masuk, PPN, dan PPh Pasal 22, yaitu:
Nilai Pabean
Tarif dan Pelunasan Cukai Rp100.000.000,00
Bea Masuk 30% = 30% x Rp100.000.000,00 Rp 30.000.000,00 +
Nilai Impor Rp130.000.000,00
PPN = 10% x Rp130.000.000,00 Rp 13.000.000,00
PPh Pasal 22 = 2.5% x Rp130.000.000,00 Rp 3.250.000,00
Penjelasan:
a. Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atas impor barang adalah 10% kali nilai impor. Sedangkan nilai
impor = Nilai Pabean + Bea Masuk = Pungutan lain yaitu cukai jika ada.
b. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
maka PPh atas impor yaitu PPh Pasal 22 impor ada dua alternatif:
1) jika importir mempunyai API tarifnya adalah 2.5% x Nilai Impor;
2) jika importir tidak mempunyai API maka tarifnya adalah 7.5 x Nilai
Impor;
c. Seandainya barang impor yang bersangkutan tergolong mewah maka
dikenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) berdasarkan UU
No. 18 Tahun 2000 dengan tarif yang beragam tergantung jenis
(golongan) barangnya.
d. Seandainya yang diimpor adalah Barang Kena Cukai (BKC) ada dua
alternatif:
1) impor hasil tembakau Misalnya rokok) maka terkena BM + PPN +
PPh Pasal 22 + Cukai Tembakau;
2) impor minuman keras maka dikenakan BM + PPN + PPnBM + PPh
Pasal 22 + Cukai alkohol;
Contoh di atas adalah apabila besarnya nilai pabean diketahui. Jika nilai
pabean tidak diketahui dan yang diketahui adalah harga barang yang dibayar
oleh importir maka ada tiga alternatif, yaitu:
a. CIF (Cost Insurance and Freigst).
b. CFR (Cost and Freight).
c. FOB (Free On Board).
7.46 Administrasi Perpajakan
Contoh 2 b:
Norman seorang importir namun belum punya API mengimpor hasil
tembakau (rokok) dari Jepang senilai CIF US $10.000 kurs US $1 =
Rp9.000,00. selain dikenakan BM 15% juga dikenakan cukai Rp500.000,00.
Adapun pungutan-pungutan impor yang dikenakan atas Norman adalah
sebagai berikut.
Nilai Pabean = CIF x Rp kurs = 10.000 x Rp9.000,00 = Rp 90.000.000,00
Bea Masuk 15% = 20% x RpNP = 15% x Rp90.000,00 = Rp 13.500.000,00
Cukai Rp 500.000,00 +
Nilai Impor Rp104.000.000,00
PPN = 10% x Rp104.000.000,00 = Rp 10.400.000,00
PPh Pasal 22 = 7.5% x Rp104.000.000,00 = Rp 7.800.000,00
Contoh 3:
Seorang importir tetapi Belum mempunyai API mengimpor minuman keras
dari Singapura senilai CFR US $10.000 dan insurance maka dengan mudah
diketahui bahwa harga CIF = US $10.000 + US $50 = US $10.050 seterusnya
sama yaitu dihitung Nilai Pabeannya. Bea Masuk dan seterusnya.
ADBI4330/MODUL 7 7.47
Contoh 5:
Murdani seorang importir dan telah memiliki API mengimpor barang dari
Prancis senilai FOB US $10.000 kurs UC $1 = Rp9.000. Bea Masuk 30%.
Berapakah Murdani harus membayar PPN dan PPh Pasal 22?
Cara menghitung:
Harga FOB US $10.000
Freight Prancis = 10% x FOB US $ 1.000 +
CFR US $11.000
Insurance = 0,5% x CFR US $ 55 +
CIF US $11.055
Nilai Pabean = 11.055 x Rp9.000,00 Rp 99.495.000,00
Bea Masuk 30% = 30% x Rp99.495.000,00 = Rp 29.848.500,00 +
Nilai Impor Rp 129.343.500,00
PPN = 10% x Rp129.343.500,00 = Rp 12.934.350,00
Ph Pasal 22 = 2.5% x Rp129.343.500,00 = Rp3.233.587.50,00
Untuk semua jumlah dalam rupiah selalu dibulatkan ke bawah, jika ada
angka di belakang koma, dibulatkan, menjadi rupiah penuh berapa pun
besarnya. Kita lihat pada contoh, yaitu Rp3.233.587.50,00 dibulatkan
menjadi Rp3.233.587,00, tetapi untuk mata uang asing (valuta asing = valas),
angka di belakang koma tidak dibulatkan sampai digit ke 4, dan digit ke 5
dihilangkan.
7.48 Administrasi Perpajakan
B. CUKAI
2. Pembebasan Cukai
Pembebasan Cukai dapat diberikan atas barang kena cukai, yaitu berikut
ini.
a. Yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam
pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan Barang Kena
Cukai.
b. Untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
c. Untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabat yang
bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik.
d. Untuk keperluan tenaga ahli bangsa asing yang bertugas pada badan atau
organisasi badan internasional Indonesia.
e. Yang dibawa oleh penumpang, awak pesawat pengangkut, pelintas batas
atau kiriman dari luar negeri dalam jumlah yang ditentukan:
1) yang digunakan untuk tujuan sosial;
2) yang dimasukkan ke dalam Tempat Penimbunan.
Pembebasan cukai dapat juga diberikan atas barang Kena Cukai tertentu
yaitu:
a. etil alkohol yang dirusak sehingga tidak baik untuk diminum;
b. minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau yang
dikonsumsi oleh penumpang dan awak sarana pengangkut yang
berangkat langsung keluar daerah pabean.
Di atas telah disebutkan bahwa BKC impor merupakan bagian dari objek
bea masuk maka jika ada importir yang mengimpor minuman keras atau hasil
tembakau juga harus dikenakan bea masuk dan pajak-pajak impor lainnya
ditambah cukai.
ADBI4330/MODUL 7 7.51
4. Penagihan
Penagihan cukai dapat dilakukan terhadap:
a. utang cukai yang tidak dilunasi pada waktunya;
b. kekurangan cukai karena kesalahan perhitungan dalam dokumen
pemberitahuan atau pemesanan pita cukai;
c. denda administrasi.
5. Tarif Cukai
Barang Kena Cukai (BKC) yang dibuat di Indonesia dikenai Cukai
berdasarkan tarif setinggi-tingginya sebagai berikut.
a. 250% dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan adalah
Harga Jual Pabrik.
b. 50% dari Harga Dasar apabila Harga Dasar yang digunakan harga jual
eceran.
6. Harga Dasar
Harga dasar yang dipergunakan untuk perhitungan cukai atas barang
kena cukai yang dibuat di Indonesia adalah harga jual pabrik atau harga jual
eceran.
7.52 Administrasi Perpajakan
Harga Dasar yang digunakan untuk perhitungan cukai atas barang kena cukai
yang diimpor adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau harga jual eceran.
Keterangan:
a. Laba penyalur tersebut relatif, kalau 15% dari HE maka PPN-nya 7,7%
karena PPN tersebut sudah termasuk di dalam HE maka apabila laba
penyalur sebesar 10% dari HE berarti PPN-nya 8,2%.
Included, artinya HE = Cost Price + Laba Penyalur + Cukai + PPN 10%.
b. Cukai alkohol berdasarkan tarif spesifik, yaitu Rp2.500,00 per liter.
1) Konsentrat yang mengandung etil alkohol (DN atau LN) cukainya
Rp25.000,00 per liter.
2) Minuman yang mengandung etil alkohol (DN atau LN) sebagai
berikut.
Harga Jual Eceran HJE Kadar Tarif Cukai per liter
s/d Rp4.000,00 s/d 2% Rp 500,00
> Rp4.000,00 – Rp10.000,00 > 2 – 7% Rp 750,00
> Rp10.000,00 – Rp60.000,00 > 7 – 20% Rp 1.500,00
> Rp60.000,00 – Rp200.000,00 > 20 – 45% Rp10.000,00
> Rp200.000,00 > 45% Rp50.000,00
Dalam hal pelunasan cukai dengan cara pelekatan pita cukai, cukai
dianggap tidak dilunasi apabila pelekatan pita cukai tidak dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Pengusaha Pabrik atau importir yang
melunasi cukainya dengan cara pelekatan pita cukai yang tidak dilunasi utang
cukai sampai dengan jangka waktu penundaan berakhir, selain harus
melunasi utang cukai dimaksud juga dikenakan sanksi administrasi berupa
denda sebesar sepuluh persen tiap bulan dari nilai cukai yang harus dibayar.
a. Kewenangan pabean
Wewenang Kepabeanan membahas tentang tugas dari seorang Pejabat
Bea Cukai dalam mengawasi barang yang keluar masuk daerah pabean.
Pejabat Bea Cukai berhak untuk melakukan pengawasan dan penyegelan,
memeriksa barang, pembukuan, bangunan dan tempat lain, pemeriksaan
sarana pengangkut, pemeriksaan badan, serta pencegahan. Pejabat ini juga
berwenang untuk mengambil tindakan administratif untuk menunda
pengeluaran, pemuatan, dan pengangkutan barang ekspor, di samping itu juga
melakukan penyegelan, mengunci, dan melekatkan tanda pengaman yang
diperlukan. Bahkan bila perlu menempatkan seorang petugas untuk
menjaganya di samping itu jika perlu dalam melaksanakan tugas, pejabat bea
Cukai dapat dilengkapi dengan senjata api yang sejenis dan syarat-syarat
penggunaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c. Ketentuan pidana
UU Kepabeanan telah mengatur atau menetapkan tata cara atau
kewajiban yang harus dipenuhi apabila seseorang mengimpor atau
mengekspor barang. Dalam hal seseorang mengimpor atau mengekspor
barang tanpa mengindahkan ketentuan atau prosedur yang telah ditetapkan
oleh ketentuan kepabeanan, diancam dengan pidana berdasarkan Pasal-Pasal
yang bersangkutan, dengan hukuman akumulatif berupa pidana penjara dan
atau denda. Penindakan terhadap barang dan atau sarana pengangkut serta
bangunan atau tempat lain adalah suatu wewenang kepabeanan yang bersifat
administratif dalam rangka menjamin hak-hak negara dan dipatuhinya
ketentuan larangan dan pembatasan.
Untuk menjamin hak-hak negara dan dipatuhinya ketentuan UU
Kepabeanan maka Pejabat Bea dan Cukai mempunyai wewenang untuk
melakukan penindakan di bidang Kepabeanan sebagai upaya untuk mencari
dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran terhadap
ketentuan UU Kepabeanan.
d. Sanksi administrasi
Sanksi administrasi ditujukan untuk memulihkan hak-hak negara dan
untuk menjamin ditaatinya aturan-aturan yang secara tegas telah diatur dalam
ketentuan UU Kepabeanan. Dengan demikian, sanksi administrasi tersebut
merupakan sarana fiskal yang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Untuk kepraktisan penyelenggaraannya, kewenangan Direktur Jenderal Bea
dan Cukai dalam menetapkan sanksi administrasi dapat dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Sanksi administrasi dapat berupa:
a. denda yang besarnya dinyatakan dalam nilai rupiah tertentu;
b. denda yang besarnya dinyatakan dalam persentase dari Bea masuk (yang
seharusnya dibayar);
c. denda minimum sampai dengan maksimum yang besarnya dinyatakan
dalam nilai rupiah;
d. denda minimum sampai dengan maksimum yang besarnya dinyatakan
dalam persentase tertentu dari kekurangan pembayaran bea masuk.
7.58 Administrasi Perpajakan
a. Penyegelan
Pejabat Bea dan Cukai berwenang untuk mengunci, menyegel dan/atau
melakukan tanda pengamanan yang diperlukan pada bagian-bagian dari
Pabrik. Tempat penyimpanan, tempat penjualan eceran, tempat-tempat lain
atau sarana pengangkutan yang di dalamnya terdapat barang kena cukai guna
pengamanan cukai.
2) Banding
Orang yang berkeberatan atas pencabutan izin bukan permohonan
sendiri dapat mengajukan banding dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal
7.60 Administrasi Perpajakan
3) Ketentuan pidana
Barang siapa tanpa memiliki izin, menjalankan usaha pabrik, tempat
penyimpanan atau mengimpor Barang Kena Cukai yang pelunasan cukainya
dengan cara pelekatan pita-pita yang mengakibatkan kerugian negara,
dipidana dengan penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak 10 kali
nilai cukai yang seharusnya dibayar. Barang siapa membuat, menggunakan,
atau menyerahkan buku atau dokumen cukai yang palsu atau dipalsukan,
dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak
Rp150.000.000,00. Demikian pula apabila menawarkan, menyerahkan,
menjual, atau menyediakan untuk dijual barang Kena Cukai yang tidak
dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai, dipidana
dengan pidana denda paling banyak 10 kali nilai cukai yang seharusnya
dibayar.
Barang siapa melawan hukum seperti di bawah ini dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling banyak 20 kali nilai
cukai yang harus dibayar, yaitu:
a) membuat, meniru, atau memalsukan pita cukai; atau
b) membeli, menyimpan, mempergunakan, menjual, menawarkan,
menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai
yang palsu atau dipalsukan atau dibuat secara melawan hukum; atau
c) mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan
untuk dijual, atau mengimpor pita cukai yang sudah dipakai.
dan atau denda paling banyak 10 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Barang siapa tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau
tanda pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00.
Barang siapa menawarkan, menjual atau menyerahkan pita cukai kepada
yang tidak berhak, atau membeli, menerima atau menggunakan pita cukai
yang bukan haknya, dipidana paling lama 4 tahun dan/atau denda paling
banyak 10 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar:
1) dalam hal pidana denda tidak dibayar oleh yang bersangkutan, diambil
dari kekayaan dan/atau pendapatan yang bersangkutan sebagai gantinya;
2) dalam hal penggantian tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti
dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan.
Tindak pidana dalam UU ini tidak dapat dituntut setelah lampau waktu
sepuluh tahun sejak terjadinya tindak pidana.
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 3
1) Harga sebenarnya yang dibayar atau akan dibayar untuk barang yang
akan di ekspor ke Daerah Pabean Indonesia disebut dengan ....
A. harga ekspor
B. nilai normal
C. harga impor
D. nilai sejenis
4) Kaset yang dijual tanpa dilekati pita cukai, maka penjualnya akan
dikenai denda sebanyak ....
A. lima kali nilai cukai yang harus dibayar
B. delapan kali nilai cukai yang harus dibayar
C. sepuluh kali nilai cukai yang harus dibayar
D. lima belas kali nilai cukai yang harus dibayar
Tes Formatif 1
1) B. Alasan, kalau pajak langsung dikenakan terhadap penghasilan dan
kekayaan maka pajak langsung dikenakan atas konsumsi dan lalu
lintas barang/jasa yang dapat dilimpahkan kepada orang dan tanpa
memperhatikan penerimaan negara.
2) C. Alasan, pajak langsung secara administratif mudah dilaksanakan
mengingat keadaan baik personil dan data masyarakat yang belum
sempurna. Di samping itu penarikan pajak tak langsung tidak
membutuhkan kohir.
3) D. Sifat pemungutan dari PPnBM adalah satu kali yaitu pada tingkat
pabrikan.
4) A. Dasar pengenaan PPnBM atas penyerahan BKP barang mewah
adalah nilai impor.
5) C. PPN terutang untuk Masa Pajak Mei 2007 adalah Rp1.500.000,00
dan PPnBM Rp10.000.000,00.
Tes Formatif 2
1) B. UU yang lama, yaitu ABM 1921 telah diganti dengan UU BM No.
13 Tahun 1985, sedang PP No. 2 1969 dan UU No. 7 Tahun 1969
adalah mengenai perubahan atas ABM.
2) D. Kuitansi dengan nilai di atas Rp250.000,00 dikenai Bea Meterai
Rp6.000,00.
3) D. Dengan alasan bahwa kesederhanaan dan kemudahan dalam
pembaharuan di bidang perpajakan yang tercermin dengan jumlah
Pasalnya sedikit, objeknya hanya dokumen yang bersifat perdata
saja, tarifnya yang hanya dua macam dan kemudahan dalam
pelunasan. Jadi, pilihan yang tepat adalah D.
4) D. Alasannya sesuai dengan Pasal 4 huruf UU No. 13 Tahun 1985 yang
tujuan utamanya untuk memperlancar arus barang dan penumpang
juga untuk penyesuaian dengan ekonomi biaya tinggi.
5) C. Karena sesuai yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) huruf b di mana
menetapkan hanya pemerintah RI atau Departemen Keuangan saja
yang dapat mengeluarkan benda meterai.
7.66 Administrasi Perpajakan
Tes Formatif 3
1) D. Nilai sejenis.
2) B. Tarif bea masuk tidak meningkat (progresif) ataupun menurun
(degresif).
3) D. Semua jawaban jelas berpengaruh terhadap bea masuk yaitu tarif
semakin tinggi/rendah, jenis komoditi, tidak nilai kurs valuta asing
tinggi/rendah dan terakhir yang paling tepat adalah harga patokan.
4) C. Sebanyak sepuluh kali nilai cukai yang harus dibayar.
5) B. Sanksi administratif yang dikenakan pada pengusaha atau
pengangkut yang tidak memberikan bantuan yang layak bagi
petugas Bea dan Cukai adalah sebesar Rp5.000.000,00.
ADBI4330/MODUL 7 7.67
Daftar Pustaka
Surojo, Arif dan Harmanti. (2003). Kepabeanan dan Cukai. Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka.
Surojo, Arif dan Sugianto. (2009). Kepabeanan dan Cukai. Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka.
Peraturan
PEN D A HU L UA N
S esuai Pasal 6 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa
kali diubah dan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan disebutkan bahwa penyusutan aktiva tetap dan amortisasi harta
tak berwujud dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan (biaya fiskal).
Adapun tujuan penyusutan dan amortisasi secara fiskal sama dengan menurut
komersial. Tujuan penyusutan dan amortisasi komersial dimaksudkan untuk
mengalokasikan nilai perolehan ke masa manfaat aktiva tetap dan harta tak
berwujud tersebut untuk dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung
laba neto.
Perbedaannya adalah dalam penggunaan metode di mana metode yang
digunakan dalam akuntansi ada banyak jenisnya sementara untuk
kepentingan penghitungan pajak telah diatur tersendiri dalam UU PPh
dengan tujuan agar ada keseragaman.
Setelah mempelajari materi dalam Modul 8 ini, Anda diharapkan mampu
menguraikan apa yang dimaksud dengan Penyusutan, Amortisasi, dan
Reevaluasi dalam bidang perpajakan. Secara khusus, Anda diharapkan dapat:
1. menjelaskan mengenai Penyusutan, Amortisasi, dan Revaluasi dalam
bidang perpajakan;
2. menghitung penyusutan, amortisasi, dan Revaluasi dalam bidang
perpajakan.
8.2 Administrasi Perpajakan
Kegiatan Belajar 1
Penyusutan
A. PENGERTIAN PENYUSUTAN
penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
disusutkan sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Tax Policy untuk penyusutan harus mempertimbangkan tiga hal (Early
Suandy, 2003, hal 30) yaitu berikut ini.
3. Administrasi (Administration)
Secara administrasi penyusutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
sederhana dan kompleks. Pemilihan jenis penyusutan baik yang sederhana
maupun yang kompleks tergantung pada beberapa hal, seperti besarnya biaya
administrasi, sumber daya manusia, dan kepatuhan wajib pajak.
Tarif Penyusutan
Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat
Garis Lurus Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12,5 %
Kelompok 4 20 tahun 5% 10 %
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10%
b. Nila residu
Yaitu nilai sisa suatu aktiva yang ditaksir pada akhir masa pemakaian
aktiva di perusahaan. Nilai sisa aktiva sering kali tidak signifikan dan dapat
diabaikan dalam perhitungan jumlah yang dapat disusutkan. Jika nilai sisa
signifikan, maka nilai tersebut diestimasi pada tanggal perolehan atau pada
tanggal dilakukannya revaluasi aktiva (sesuai ketentuan pemerintah). Dalam
perpajakan, nilai residu tidak diperhitungkan.
c. Sifat aktiva
Sifat dan cara penggunaan aktiva dalam kegiatan usaha sangat
berpengaruh pada penentuan besarnya biaya penyusutan. Misalnya mesin
atau kendaraan bermotor adalah aktiva yang sifatnya bergerak. Oleh karena
itu, cara penyusutannya berbeda dengan penyusutan atas gedung yang
bersifat statis.
d. Umur Aktiva
Yaitu masa pemakaian aktiva dalam usaha. Umur aktiva dapat dilihat
dari umur teknis dan umur ekonomis. Umur teknis adalah umur aktiva sesuai
dengan kriteria teknis aktiva. Sedangkan umur ekonomis adalah jangka
waktu pemanfaatannya secara ekonomis. Umur ekonomis bisa lebih pendek
8.8 Administrasi Perpajakan
dari umur teknis, mesin teknis diperkirakan dapat berumur 10 tahun. Jika
pada tahun ke-5 mesin tersebut tidak dapat digunakan lagi karena ketinggalan
zaman maka umur ekonomisnya menjadi lebih pendek daripada umur teknis.
3. Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk harta berwujud
dikelompokkan menjadi dua, yaitu penyusutan harta berwujud bangunan dan
harta berwujud selain/bukan bangunan. Untuk harta berwujud selain/bukan
bangunan, wajib pajak diperbolehkan memilih metode penyusutan garis lurus
(straight-line method) atau metode saldo menurun (declining balanced
method) asalkan dilakukan secara taat asas. Jika digunakan metode saldo
menurun maka nilai sisa pada akhir masa manfaat harta tersebut disusutkan
sekaligus (closed ended). Untuk harta berwujud bangunan, wajib pajak hanya
dapat menggunakan metode garis lurus.
2) PT. ABS pada bulan Mei 2001 membeli sebuah mesin dengan harga
Rp50.000.000,00. Mesin tersebut termasuk kelompok 2 dengan tarif
penyusutan sebesar 25%. Penyusutan mesin tersebut untuk 5 tahun
adalah sebagai berikut.
Pengurangan:
Mobil C karena terbakar dengan Nilai sisa buku Rp 2.000.000,00
Dasar penyusutan …………………………… Rp 8.000.000,00
Penyusutan tahun 2002 : 50% x Rp8.000.000,00 Rp 4.000.000,00
Saldo akhir 2002 …………………………… Rp 4.000.000,00
Saldo awal 2003 …………………………… Rp 4.000.000,00
Tambahan Mobil E …… .. Rp2.500.000,00
Mobil F ……... Rp3.500.000,00 … Rp 6.000.000,00
Rp10.000.000,00
Pengurangan : Mobil A dan B karena sebab biasa Rp 2.000.000,00
Dasar penyusutan ………………………….. Rp 8.000.000,00
Penyusutan tahun 2003 : 50% x Rp8.000.000,00 Rp 4.000.000,00
Saldo akhir 2003 ………………………….. Rp 4.000.000,00
Saldo awal 2004 …………………………. Rp 4.000.000,00
Tambahan ………………………………… Rp 0,00
Rp 4.000.000,00
Pengurangan:
Mobil D terbakar dengan nilai Sisa buku ….. Rp 1.500.000,00
Dasar penyusutan …………………………. Rp 2.500.000,00
Penyusutan tahun 2004 : 50% x Rp 2.500.000,00 Rp 1.250.000,00
Saldo akhir 2004 ………………………….. Rp 1.250.000,00
Saldo awal 2004 ………………………….. Rp 1.250.000,00
Tambahan ………………………………… Rp 0,00
Rp 1.250.000,00
Pengurangan : Mobil E dan F dijual dengan harga Rp 2.250.000,00
Dasar penyusutan (negatif) ………………. Rp 1.000.000,00
Penjualan mobil tersebut dianggap sebagai
Penghasilan tahun 2005 sebesar …………. Rp 1.000.000,00
a. Gol. I
Harga perolehan
- 2 mesin tik @ Rp600.000,00 …………….. Rp 1.200.000,00
- 2 mobil sedan @ Rp24.000.000,00 ……… Rp 48.000.000,00
Dasar penyusutan 1999 ……………………. Rp 49.200.000,00
Penyusutan 1999 = 50% x Rp49.200.000,00 Rp 24.600.000,00
NSB : Jumlah awal 2000 ………………….. Rp 24.600.000,00
Penambahan 2 mesin hitung @ Rp 800.000,00
Rp400.000,00
Pengurangan ……………………………… Rp 0,00
Dasar penyusutan tahun 2000 …………….. Rp 25.400.000,00
Penyusutan 2000 = 5% x Rp25.400.000,00 Rp 12.700.000,00
NSB 2000 : Jumlah awal 2001 Rp 12.700.000,00
Penambahan aktiva ……………………….. Rp 6.000.000,00
Pengurangan aktiva ………………………. Rp 6.000.000,00
Dasar penyusutan 2001 …………………… Rp 12.700.000,00
Penyusutan 2001 = 50% ………………….. Rp 6.350.000,00
NSB 2001 = Jumlah awal 2002 ………….. Rp 6.350.000,00
b. Gol. II
Harga perolehan 1999
- 3 mesin komputer @ Rp5.000.000,00 … Rp 15.000.000,00
- 2 mesin fotokopi @ Rp3.000.000,00 ….. Rp 6.000.000,00
- 5 truk @ Rp20.000.000,00 …………… Rp100.000.000,00
Dasar penyusutan 1999 …………………… Rp121.200.000,00
Penyusutan 1999 = 25% x Rp121.200.000,00 Rp 30.250.000,00
NSB 1999 = Jumlah awal 2000 ………….. Rp 90.750.000,00
Penambahan aktiva ………………………. Rp 0,00
Pengurangan aktiva = Rp2.000.000,00-
Rp200.000,00 Rp 1.800.000,00
Dasar penyusutan tahun 2000 …………… Rp 88.950.000,00
Penyusutan 2000 = 25% x Rp88.950.000,00 Rp 22.237.500,00
NSB 2000 : Jumlah awal 2001 …………… Rp 66.712.500,00
Dasar penyusutan 2001 …………………… Rp 66.712.500,00
Penyusutan 2001 = 25% …………………… Rp 16.678.125,00
NSB 2001 = Jumlah awal 2002 ……………. Rp 50.034.375,00
c. Gol III
Harga perolehan seperangkat mesin ……… Rp200.000.000,00
Penyusutan = 10% x Rp200.000.000,00 …… Rp 20.000.000,00
NSB 1999 = Jumlah awal 2000 ……………. Rp180.000.000,00
Penambahan aktiva ………………………… Rp 0,00
8.14 Administrasi Perpajakan
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
Kegiatan Belajar 2
Amortisasi
1. Metode Amortisasi
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk
perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna
bangunan, dan hak pakai) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun
diamortisasi dengan metode:
a. Metode Garis Lurus
Yaitu dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat
b. Metode Saldo Menurun
Yaitu dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara
menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku. Khusus untuk
amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo
menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud
atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
c. Metode Satuan Produksi
Yaitu metode penyusutan yang digunakan untuk usaha penambangan
dan penebangan hutan yang dihitung berdasarkan besarnya jumlah
produksi. Semakin besar produksi, semakin besar pendapatannya, dan
semakin banyak biaya penyusutan.
Amortisasi untuk harta tak berwujud berupa usaha penambangan dan
penebangan hutan (sumber alam) dapat dibedakan atas 2, yaitu:
1) Persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan
persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan
gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah
seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut dapat
diproduksi.
ADBI4330/MODUL 8 8.27
2. Biaya Amortisasi
a. Biaya pendirian, penambangan, dan perluasan modal
Amortisasi harus dilakukan karena masa manfaat atau potensi harta
tersebut makin berkurang, tetapi ada harta tidak berwujud yang
mempunyai masa manfaat tidak terbatas namun tetap diamortisasi secara
layak dan sistematis. Dasar perkiraan masa manfaat harta tidak berwujud
adalah taksiran sehingga ada kemungkinan umurnya berbeda dengan
kenyataan.
Harga perolehan harta tidak berwujud harus diamortisasi jika harta itu
dipakai untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan.
Harta tidak berwujud meliputi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan
hak pakai, hak penambangan, hak pengusahaan hutan. Selain itu adalah
hak paten, hak cipta, goodwill (hak istimewa), merek dagang, hak
pengarang, pola atau model, dan lain sebagainya. Setelah mengetahui
jenis-jenis harta tidak berwujud yang diamortisasi kemudian kita harus
mengetahui ketentuan biaya amortisasi. Adapun ketentuan biaya
amortisasi adalah sebagai berikut.
8.28 Administrasi Perpajakan
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
Kegiatan Belajar 3
1. Subjek Pajak
a. Yang boleh melakukan revaluasi aktiva tetap
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) Wajib
Pajak badan dalam negeri PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN/BUMD dengan dan dalam bentuk apapun, persekutuan,
perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis,
lembaga, dana pensiun, dan bentuk usaha lainnya.
Dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai
dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian
kembali. Kewajiban wajib pajak tersebut adalah semua kewajiban pajak dari
wajib Pajak yang bersangkutan, seperti PPh Badan (PPh Pasal 25/29), PPN,
PPn BM, Pemotongan/Pemungutan PPh pihak lain, yang terutang s/d masa
pajak sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
2. Objek Pajak
Aktiva yang boleh di revaluasi aktiva tetap berwujud yang terletak atau
berada di Indonesia, Dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan,
8.38 Administrasi Perpajakan
b. Tata cara
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan
nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap tersebut yang berlaku pada saat
penilaian kembali yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli
penilai yang diakui/memperoleh izin Pemerintah. Dalam hal nilai pasar atau
nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai
yang diakui oleh pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan keadaan
yang sebenarnya maka Direktur Jenderal Pajak akan menetapkan kembali
nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.
Kompensasi kerugian fiskal tetap harus dilakukan terlebih dahulu,
meskipun dalam tahun pajak dilakukannya penilaian kembali terdapat
penghasilan kena pajak dari keuntungan usaha dan atau sumber lainnya.
Atas selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula
setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal tahun-
tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Undang-undang
Pajak Penghasilan yang berlaku, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final sebesar 10%.
Pada tahun 2004 PT. Bumi Daya akan melakukan penilaian kembali aktiva
tetap perusahaan yang dilakukan oleh lembaga penilai resmi yang
menetapkan bahwa nilai pasar wajar aktiva tersebut sebesar
Rp800.000.000,00. Dengan demikian terdapat selisih lebih akibat penilaian
kembali aktiva tetap perusahaan sebesar Rp500.000.000,00
(Rp800.000.000,00 - Rp300.000.000,00). PPh Final atas selisih lebih akibat
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tersebut sebesar 10% x
Rp500.000.000,00 atau sama dengan Rp50.000.000,00.
Contoh 2:
Jika PT. Bumi Daya dalam contoh di atas pada tahun 2004 masih mempunyai
sisa kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan sebesar
Rp400.000.000,00, selisih lebih akibat penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan tersebut dikurangkan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal
tersebut. Dengan demikian, selisih lebih akibat penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan yang dikenakan PPh Final adalah Rp100.000.000,00
(Rp500.000.000,00 - Rp400.000.000,00). PPh Final atas selisih lebih akibat
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan tersebut sebesar Rp10.000.000,00
(10% x Rp100.000.000,00)
Contoh 3:
Aktiva berupa bangunan permanen yang dibangun dalam tahun1994 dan per
31 Desember 2004 mempunyai sisa masa manfaat 10 tahun dengan nilai sisa
buku sebesar Rp500.000.000,00 dilakukan penilaian kembali aktiva tetap
perusahaan pada Tanggal 31 Desember 2004 dengan nilai wajar sebesar
Rp1.500.000.000,00. Apabila atas penilaian kembali aktiva tetap perusahaan
tersebut telah disetor PPh final Rp100.000.000,00 dan neraca penyuaian telah
disahkan oleh Kepala KPP yang bersangkutan, masa manfaat baru dari
bangunan tersebut adalah dua puluh tahun. Dengan demikian, besarnya
penyusutan atas aktiva bangunan tersebut untuk tahun Pajak 2004 adalah
sebesar Rp75.000.000,00 (5% x Rp1.500.000.000,00).
LAT IH A N
1) Apa saja syarat sebuah Wajib Pajak Badan yang ingin melakukan
revaluasi (penilaian kembali) aktiva tetap perusahaannya?
ADBI4330/MODUL 8 8.43
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 3
Tes Formatif 1
1) C. Mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
2) B. Terutang pada Pajak Penghasilan.
3) A. Dasar perhitungan dari penyusutan adalah harga perolehan.
4) D. Merupakan unsur yang meringankan beban Wajib Pajak sesuai
dengan asas daya pikul.
5) C. Biaya sehari-hari yang pembebanannya sekaligus dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
Tes Formatif 2
1) A. Masa manfaatnya tidak lebih dari satu tahun.
2) A. Ditetapkan masa manfaatnya tidak lebih dari satu tahun.
3) A. Masa manfaatnya tidak lebih dari satu tahun.
4) C. Harus melalui amortisasi.
5) D. Melalui metode satuan produksi.
Tes Formatif 3
1) A. Penilaian kembali perusahaan dilakukan apabila nilai buku tidak
mencerminkan harga pasar.
2) B. Sebesar 10% dan bersifat final.
3) D. Selama 12 bulan kepada Kepala kantor Wilayah.
4) D. Sebesar Rp40.000.000,00.
5) C. Sebagai kerugian.
ADBI4330/MODUL 8 8.47
Daftar Pustaka
Peraturan:
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 109/KMK.04/1
Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Badan-Badan Usaha Pada
Tanggal 1 Januari 1979.
Modul 9
PEN D A HU L UA N
Kegiatan Belajar 1
1. Pendaftaran
Sesuai dengan sistem self assessment yang dianut oleh peraturan
perpajakan di Indonesia, wajib pajak mempunyai kewajiban mendaftarkan
diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan
Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal atau kedudukan wajib pajak dengan tujuan mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak atau lebih dikenal dengan NPWP dengan mengisi
formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi. Pada masa
ini, Direktorat Jenderal Pajak sudah banyak memberi kemudahan kepada
masyarakat sebagai calon wajib pajak agar mendaftarkan diri sebagai wajib
pajak, antara lain dengan telah dikembangkannya e-registration di website
Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id, yaitu suatu cara pendaftaran
NPWP melalui media elektronik online (internet). Sistem Pendaftaran Wajib
Pajak secara online (atau e-Registration) adalah sistem aplikasi sebagai
bagian dari Sistem Informasi Perpajakan di lingkungan kantor Direktorat
Jenderal Pajak dengan berbasis perangkat keras dan perangkat lunak yang
dihubungkan oleh perangkat komunikasi data yang digunakan untuk
mengelola proses pendaftaran wajib pajak. Sistem ini terbagi dua bagian,
yaitu sistem yang dipergunakan oleh wajib pajak yang berfungsi sebagai
sarana pendaftaran wajib pajak secara on line dan sistem yang dipergunakan
oleh petugas pajak yang berfungsi untuk memproses pendaftaran wajib
1
pajak. Pendaftaran secara online secara garis besar dapat dilihat dalam
lampiran modul Kegiatan Belajar 1 ini.
Ada dua kategori wajib pajak, yaitu wajib pajak orang pribadi dan wajib
pajak badan. Wajib pajak orang pribadi yang mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP adalah orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas, sedangkan orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan
berikutnya. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena
1
e-registration.
http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=71&Ite
mid=105
ADBI4330/MODUL 9 9.5
Catatan:
a. Bagi permohonan yang berstatus cabang, Orang Pribadi Pengusaha
tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus melampirkan fotokopi
Surat Keterangan Terdaftar Kantor Pusat/domisili/suami.
b. Apabila permohonan pendaftaran NPWP ditandatangani oleh orang lain,
harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.
Contoh : Ada sepasang suami istri yang sama-sama bekerja pada pemberi
kerja. Karena sadar pajak, sang istri sudah memiliki NPWP.
Sedangkan sang suami belum memiliki NPWP. Apakah Suami
dapat menggunakan NPWP Istri?
Jawaban: TIDAK. Sekali lagi bahwa Indonesia menganut asas entitas
keluarga (paternialisme). Jadi, hanya istri yang mengikuti NPWP
suami dan bukan sebaliknya, kecuali suami benar-benar tidak
memiliki penghasilan dan dapat dibuktikan dengan Surat
Keterangan (minimal dari Camat setempat). Suami tetap
mengajukan permohonan NPWP (secara langsung melalui KPP
domisili atau pemberi kerja). Setelah suami mendapatkan NPWP,
istri mengajukan Permohonan Penghapusan NPWP dengan
ADBI4330/MODUL 9 9.7
6) wajib pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam huruf
a dan huruf b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai wajib pajak.
Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT Masa dan SPT tahunan
adalah sebagai berikut.
Tabel 9.1.
Jenis SPT, Batas Waktu Pembayaran, dan Batas Waktu Pelaporan
a. Penyampaian SPT Masa, yang terdiri dari SPT Masa untuk Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan atau Pasal 26, dan SPT Masa Pajak
Penghasilan Pasal 25.
SPT Masa PPh Pasal 21/26. PPh Pasal 21 merupakan PPh yang terutang
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan,
jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21 wajib
dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu pemberi kerja,
bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan
penyelenggara kegiatan.
Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh
wajib pajak orang pribadi dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya,
namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur aka penyetoran dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan SPT
Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20
bulan berikutnya), apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka
penyampaian SPT Masa PPh pasal 21 harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.
SPT masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT masa yang wajib
disampaikan oleh wajib pajak badan meskipun tidak terdapat penyetoran PPh
Pasal 21 atau PPh Pasal 26 (SPT Nihil). Apabila wajib pajak tidak
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 maka akan dikenakan sanksi berupa
denda sebesar Rp50.000,- untuk satu SPT Masa. Ketentuan lebih lanjut
tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh
Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang
pribadi.
ADBI4330/MODUL 9 9.15
SPT Masa PPh Pasal 25, merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar pajak penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar di luar negeri yang dapat
dikreditkan dibagi 12.
Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak baru),
besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto
selama sebulan yang disetahunkan, kemudian dibagi 12.
Batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, dengan ketentuan apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka
pembayaran PPh Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak yaitu setiap tanggal 20 bulan berikutnya.
Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan
pada hari kerja sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-
hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat setoran pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh
Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa yang
wajib disampaikan oleh wajib pajak badan, meskipun tidak terdapat
pembayaran (SPT Nihil). Apabila wajib pajak tidak menyampaikan atau
terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 maka wajib pajak akan
dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp50.000 untuk satu SPT Masa.
Bagi wajib pajak badan selain yang bergerak di bidang usaha pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan, apabila melakukan transaksi pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan wajib menyetor PPh yang terutang atas
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Besarnya PPh yang terutang
adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai transaksi dengan nilai jual objek
pajak (NJOP). PPh yang terutang atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan merupakan uang muka pajak yang dapat dikreditkan dalam
PPh Badan pada akhir tahun.
9.16 Administrasi Perpajakan
B. SUNSET POLICY
Penjelasan lain untuk Pasal 37A Ayat (2) UU KUP di atas diberlakukan
untuk mereka yang sampai dengan akhir tahun 2007 belum mendaftarkan diri
dan pada tahun 2008 ini secara sukarela mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP. Tahun pajak yang dilaporkan adalah tahun pajak 2007
dan tahun pajak sepuluh tahun ke belakang. Selain itu, Peraturan Menteri
Keuangan No. 18/PMK.03/2008 mengatur bahwa pelaporan SPT Wajib
Pajak Orang Pribadi tersebut paling lambat 31 Maret 2009. Artinya, untuk
pelaporan Pembetulan SPT PPh Tahunan Orang Pribadi masih ada waktu
satu lagi.
Hal yang penting dan harus diingat bahwa sebelum Pembetulan SPT
(atau SPT sebagaimana dimaksud Pasal 37A UU No. 28 Tahun 2008)
disampaikan ke kantor pajak maka pajak yang kurang bayar (jika ada) akibat
pembetulan (atau pelaporan) tersebut harus dibayar lunas.
2. Penundaan Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan menunda pembayaran pajak.
9.20 Administrasi Perpajakan
3. Pengangsuran Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan mengangsur pembayaran pajak.
6. Pengurangan PBB
Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak
yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu
lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi
wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela
kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak
terutang.
7. Pembebasan Pajak
Dengan alasan-alasan tertentu, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan pajak penghasilan.
11. Keberatan
Wajib pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu
ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan, dan atas
keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan
paling lama dalam jangka waktu 12 bulan sejak surat keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan adalah sebagai berikut.
a. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala
Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB,
SKPN, serta Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak ketiga.
b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan
menyebutkan alasan-alasan yang jelas.
c. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat
ketetapan pajak, kecuali wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap
sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
12. Banding
Apabila wajib pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan
Keberatan atas keberatan yang diajukannya maka wajib pajak masih dapat
mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. Permohonan banding
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dalam waktu tiga bulan sejak
keputusan diterima dilampiri Surat Keputusan Keberatan tersebut. Terhadap
satu keputusan diajukan satu Surat Banding. Perlu diketahui bahwa wajib
pajak yang mengajukan banding harus membayar minimal 50% dari utang
9.22 Administrasi Perpajakan
Fiskus, yaitu Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Jendral Bea Cukai
yang telah diberikan oleh pembuat undang-undang harus dijamin dapat
dilaksanakannya dengan lancar karena telah diketahui oleh umum, bahwa
dalam prakteknya para wajib pajak akan mencoba dengan secara legal
ataupun tidak untuk menghindarkan diri dari yang telah ditentukan dalam
undang-undang pajak, keadaan semacam ini harus diatasi dengan
penggunaan peraturan-peraturan dalam undang-undang lengkap dengan
sanksi-sanksinya.
Seperti halnya wajib pajak, fiskus atau petugas pajak juga mempunyai
hak dan kewajiban yang secara jabatan untuk menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan perpajakan. Setiap petugas pajak
mempunyai kewajiban yang utama, yaitu dilarang mengungkapkan
kerahasiaan wajib pajak. Di samping itu, pihak lain yang melakukan tugas di
bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan wajib pajak,
termasuk tenaga ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk
ADBI4330/MODUL 9 9.23
Secara jabatan pula fiskus atau petugas pajak mempunyai hak untuk
mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan,
perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
LAT IH A N
1) Dua ketegori wajib pajak adalah wajib pajak orang pribadi dan wajib
pajak badan.
2) Fungsi nomor pokok wajib pajak (NPWP) adalah fungsi NPWP adalah
sebagai sarana dalam administrasi perpajakan, sebagai identitas wajib
pajak, menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan
administrasi perpajakan, dan dicantumkan dalam setiap dokumen
perpajakan.
9.24 Administrasi Perpajakan
3) Hak-hak wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan adalah
mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang
telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka
menjalankan ketentuan perpajakan.
Kerahasiaan wajib pajak meliputi:
a. data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
b. dokumen atau rahasia wajib pajak lainnya sesuai ketentuan
perpajakan yang berlaku.
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 1
2) Fungsi nomor pokok wajib pajak (NPWP) adalah berikut ini, kecuali .…
A. sarana dalam administrasi perpajakan
B. identitas petugas Pajak
C. menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan
administrasi perpajakan
D. dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan
5) Batas waktu pembayaran SPT Tahunan untuk PPh pribadi adalah ....
A. enam bulan setelah diterimanya SPT
B. dua belas bulan setelah diterimanya SPT
ADBI4330/MODUL 9 9.27
7) Berikut ini yang bukan merupakan hak-hak wajib pajak orang pribadi
dan wajib pajak badan adalah ….
A. pembebasan pajak
B. pengurangan pajak PPh Pasal 21
C. banding
D. peninjauan kembali
8) Apabila wajib pajak tidak puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas
keberatan yang diajukannya maka wajib pajak masih dapat
mengajukan ….
A. pembebasan pajak
B. permintaan insentif perpajakan
C. banding
D. peninjauan kembali
10) Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang atas penghasilan berupa gaji,
upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi, termuat dalam pasal ….
A. 21
B. 23
C. 25
D. 26
9.28 Administrasi Perpajakan
Kegiatan Belajar 2
Namun, sejak Januari 2009, surat edaran tersebut di atas sudah tidak
berlaku dan diganti dengan SE-10/PJ.04/2008 tentang Kebijakan
Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Surat edaran ini terdiri dari lima bagian, yaitu tentang kebijakan umum,
kebijakan pemeriksaan rutin, kebijakan pemeriksaan khusus, tata cara usul
pemeriksaan bukti permulaan dari pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak, dan LP2 dan kode
pemeriksaan. Perubahan ini diikuti kemudian dengan diterbitkannya:
1. Surat Edaran Dirjen Pajak - SE-02/PJ.04/2009 tentang Rencana dan
Strategi Penyelesaian Pemeriksaan Tahun 2009.
2. SE-116/PJ/2009 tentang Kebijakan Pemeriksaan untuk tujuan lain.
3. SE No. 34/pj/2010 tentang Pengantar Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No. Per-9/PJ./2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji
Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
4. Surat Edaran Dirjen Pajak - SE-112/PJ/2010 tentang Penegasan Tata
Cara Peminjaman Buku, Catatan, Data, dan Informasi dan/atau
Permintaan Keterangan Terkait dengan Penyelesaian Keberatan,
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau
Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak
benar, dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan atau Surat Ketetapan Pajak
Hasil Pemeriksaan.
5. Surat Edaran Dirjen Pajak – SE-120/PJ/2010 tentang Penjaminan
Kualitas Pemeriksaan Khusus.
2
Pengertian pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji
2
Mardiasmo. 2002. Perpajakan edisi Revisi 2008. Penerbit Andi, Yogyakarta
ADBI4330/MODUL 9 9.31
3
1. Tujuan Pemeriksaan
a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka
memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada wajib
pajak, yang dapat dilakukan dalam hal berikut ini.
1) Surat pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak,
termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak.
2) Surat pemberiahuan tahunan pajak penghasilan menunjukkan rugi.
3) Surat pemberiahuan tidak disampaikan atu disampaikan tidak pada
waktu yang telah ditetapkan.
4) Surat pemberiahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
5) Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada
poin 3) tidak terpenuhi.
b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketenuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, yangdapat dilakukan dalam hal:
1) pemberian nomor pokok wajib pajak (NPWP) secara jabatan;
2) penghapusan nomor pokok wajib pajak;
3) pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak;
4) wajib pajak mengajukan keberatan;
5) pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan
penghasilan netto.
3
Ibid hal. 51
9.32 Administrasi Perpajakan
4
Diana, Anastasia dan Settiawati, Lilis. 2009. perpajakan Indonesia: Konsep,
Aplikasi, dan Penuntun Praktis. Penerbit Andi. Yogyakarta
ADBI4330/MODUL 9 9.37
Di satu sisi, kebijakan ini bisa menciptakan iklim usaha yang lebih
bagus. Namun, di sisi lain ketentuan ini juga berpotensi menabrak UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 67 UU
PTUN disebutkan gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara serta
5
___. 2010. Kebijakan Menkeu tentangPajak Direspons Positip. Berita dalam
Investor Daily Online tanggal 18 Januari 2011.
http://www.investor.co.id/home/kebijakan-menkeu-tentang-pajak-direspons-
positif/3369 download tanggal 20 Februari 2011
6
___. Manajemen Pajak. Didownload dari
http://www.scribd.com/doc/32161931/MANAJEMEN-PAJAK-1 tanggal 11
Januari 2011
9.40 Administrasi Perpajakan
tindakan badan atau pejabat tata usaha negara yang digugat. Keputusan
pejabat Tata Usaha Negara, dalam hal ini pejabat pajak, harus dianggap
menurut hukum dan dapat dilaksanakan sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan sebaliknya.
Dalam pasal lain, penggugat dalam hal ini wajib pajak memang berhak
mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara
(TUN) itu ditunda selama pemeriksaan sengketa sedang berjalan, sampai ada
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Namun, permohonan untuk menunda eksekusi hanya bisa dikabulkan
oleh pengadilan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu
bila kerugian yang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang
dibandingkan dengan dengan manfaat bila keputusan pejabat tersebut tetap
dilaksanakan, atau pelaksanaan keputusan tata usaha negara yang digugat itu
tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka
pembangunan. Dalam hal keberatan pajak, dapat dipastikan yang menjadi
pokok perkara, yaitu ketetapan pajak kurang bayar, ada sangkut pautnya
dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan. Dengan
menggunakan logika UU PTUN, tidak pada tempatnya bila keberatan
maupun banding pajak kemudian menunda upaya penagihan. Bagaimana
jalan keluarnya?
Sebenarnya yang menjadi keluhan WP, seperti sering disampaikan Kadin
Indonesia, adalah ketidakseimbangan antara WP dan petugas pajak.
Ketidakseimbangan tersebut terletak pada kewenangan petugas pajak untuk
menetapkan pajak terutang meski ditolak WP. Sementara itu, hak WP untuk
mengajukan banding terhalang kewajiban melunasi 50% utang pajak yang
ditetapkan fiskus tadi. Mengapa DPR dan pemerintah tidak kembali saja ke
sistem peradilan lama saat Pengadilan Pajak masih bernama Majelis
Pertimbangan Pajak? WP dapat mengajukan keberatan dan banding tanpa
syarat macam-macam, terutama syarat melunasi utang pajak, tetapi di sisi
lain hak fiskus untuk memutuskan ketetapan pajak dan melakukan penagihan
tidak dikebiri. Bukankah ini lebih seimbang?
ADBI4330/MODUL 9 9.41
LAT IH A N
R A NG KU M AN
TES F OR M AT IF 2
Daftar Pustaka
Ahmadi, Wiratni. (2006). Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama.
Pardiat. (2008). Pemeriksaan Pajak Edisi Kedua. Jakarta: PT. Mitra Wacana
Media.
Subagio, Agus. (2008). Pajak Penghasilan II. Buku Materi Pokok. Jakarta:
Penerbit Universitas Terbuka.
Lampiran
C. CARA MELAKUKAN
home
ubah
account
bantuan
LOG OUT
9.56 Administrasi Perpajakan
Dokumen
Persyaratan
POS
Atau dapat datang langsung ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan
membawa berkas-berkas di atas (Formulir, SKTS dan Dokumen
Persyaratan).