Anda di halaman 1dari 12

POLITIK HUKUM DAN SISTEM PENYUSUNAN PERATURAN DI INDONESIA

Fajar As Sidqi

Universitas Muhammadiyah malang

Email : assidqifajar4@gmail.com

PENDAHULUAN

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh
karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak
dapat dipisahkan dari membahas politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-
undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan pada
dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik.

M. Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama, pembangunan


hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk
penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.Sebagai Negara hukum, tentunya
Indonesia dalam pembentukan peraturan perundang-undang tidak dapat terlepas dari politik
hukum. Menurut M. Mahfud MD, politik hukum adalah kebijakan resmi (legal policy) negara tentang
hukum yang akan diberlakukan atau tidak akan diberlakukan (pembuat aturan yang baru atau
mencabut aturan yang lama) untuk mencapai tujuan negara.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
“Indonesia merupakan Negara hukum”. Konsep negara hukum yang digunakan Indonesia lebih
mengarah pada tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) yang mengutamakan hukum tertulis
dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai dasar setiap penyelenggaraan aktivitas
pemerintahan.

Konsepsi negara hukum yang diinginkan oleh founding father sejak awal perjuangan
kemerdekaan ini terlihat jelas dengan dimuatnya pokok-pokok pikiran dasar dalam pembukaan UUD
Tahun 1945, yaitu kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan dan pernyataan bahwa pemerintah negara
berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Hal ini memberikan arah dan harapan bahwa hukum akan
melindungi segenap rakyat, segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-
wenang. Hukum akan mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan
hak asasi manusianya terjamin.
Guna menciptakan hukum yang dapat melindungi rakyat, perlakuan adil, hukum yang
mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya terjamin tentu harus ada peraturan yang dijadikan
pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagai aturan pokok yang berlaku
untuk menyusun peraturan dari proses awal pembentukannya sampai dengan peraturan tersebut
diberlakukan kepada masyarakat. Sehingga dengan adanya aturan yang baku maka setiap
penyusunannya peraturan dapat dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan, dengan demikian peraturan dimaksud dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas
peraturan perundang-undangan yang baik.Proses pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

PEMBAHASAN

A.Pengertian politik hukum

Istilah politik hukum merupakan terjemahan Dari bahasa belanda yang berasal Dari
dual gabungan “reaches” Dan “politik”. Kemudian kata tersebut digabungkan menjadi
“reachtspolitiek” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu politik hukum. Dalam
bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa
Arab hukm yang memiliki arti kata jamaknya ahkam, yang berarti putusan, ketetapan,
perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-lain.

Berkaitan dengan istilah hukum sendiri , belum ada keputusan atau kesepakatan
pendapat di kalangan para ahli hukum tentang apa batasan dan arti hukum yang
sebenarnya. Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang
luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang dan memahami apa yang
disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai pedoman, secara sederhana kita dapat
mengatakan bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh pihak berwenang dan memiliki
sifat mengatur serta memaksa manusia guna menciptakan keteraturan sosial.

Penjelasan secara etimologis diatas mungkin kurang begitu jelas Dan memuaskan
Karena masih begitu sederhana dalam mengambil suatu pengertian. Sehingga untuk
melengkapi uraian diatas tentang apa itu politik hukum?, Saya akan menyajikan beberapa
definisi politik hukum yang dikemukahkan oleh seorang ahlinya yang dapat dipahami dan
diamati. Menurut Mahfud MD politik hukum adalah ”legal policy atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama,
dalam rangka mencapai tujuan Negara”. Sebelum kita melangkah lebih lanjut baiklah
mengenai hal itu kita dapat mengambil pendapat lain dari Teuku Mohammad Radhie, S,H.
(Prisma No 6 Thn ke II Des 1973) yang isinya sebagai berikut.

"Adapun politik hukum di sini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak
Penguasa Negara mengenal hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah ke mana
hukum hendak dikembangkan

Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang


diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksud untuk mencapai tujuan Negara seperti yang
tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Bahwa berdasarkan beberapa pendapat   politik hukum adalah serangkaian konsep,


asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik
pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik penerapan serta penegakan
hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum untuk menentukan
arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai tujuan Negara.

Di dalam UUD 1945 kita tidak menjumpai satu Pasal pun yang menyebutkan masalah
politik hukum negara Indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai
pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Lindang-Undang Dasar
1950, kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hukum negara Indonesia di
bawah UUD 1950, yaitu pada Pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut:

"Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana
militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan,
diatur dengan undang undang dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undang
menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang undang tersendiri.
B. LANDASAN DAN TUJUAN POLITIK HUKUM

Dari pengertian politik hukum menurut para ahli hukum di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan politik hukum adalah serangkaian konsep,
asas, kebijakan dasar, dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik
pembentukan hukum, politik penentuan hukum, dan politik penerapan, serta penegakan
hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum untuk
menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai
tujuan negara.

Produk hukum yang dimaksud dalam politik hukum adalah hukum positif (ius
constitutum) yang dibuat dengan memperhatikan gejala-gejala sosial lainnya, khususnya
gejala politik yang mempengaruhinya. Produk hukum tersebut dibuat oleh lembaga atau
pejabat-pejabat administrasi negara yangoleh peraturan perundang-undangan atau oleh
mandat dan atau delegasi dari penguasa yang berhak mengeluarkan produk hukum
tersebut. Selanjutnya, agar kebijakan (politik) penguasa dalam melahirkan suatu keputusan
(beschekking) atau peraturan (regeling) yang merupakan bentuk riil hukum positif haruslah
diuji dan diselaraskan dengan asas-asas hukum seperti asas untuk kepentingan umum agar
nantinya dinyatakan absah dan bermanfaat tanpa melanggar hak-hak asasi rakyat.

Dasar pemikiran dari berbagai definisi didasarkan pada kenyataan bahwa negara
mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan dilakukan dengan
menggunakan hukum sebagai alat untuk pemberlakuan dan atau penindakberrlakuan
hukum. Pemahaman politik hukum mencakup sebagai kebijakan resmi negara (legal policy)
tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak berlakukan dan digunakan untuk mencari
kebenaran dan memberi arti hukum. Semua peraturan yang bertujuan untuk kesejahteraan
merupakan resultante (produk kesepakatan politik) sesuai dengan situasi ekonomi dan
sosial pada saat dibuat.

Terkait dengan keadaan darurat, UUD 1945 memiliki struktur yang hampir serupa
dengan konstitusi Belanda, yang menganut rezim ganda dalam keadaan darurat, yakni
keadaan darurat perang serta keadaan bahaya. Namun demikian, pasal12 UUD 1945 tidak
secara detail dan tegas mengatur mengenai pengertian dan batasan keadaan bahaya atau
keadaan darurat. Sementara bila merujuk pada penjelasan UUD 1945 praamandemen,
dalam penjelasan pasal 12 dikatakan bahwa kekuasaan presiden dalam pasal ini ialah
konsekuensi dari kedudukan residen sebagai kepala negara. Merujuk pada pendapat Jimmly
Asshiddiqie (2007: 59), keadaan bahaya atau keadaan darurat menurut UUD 1945 dapat
dimaknai sebagai, suatu keadaan luar biasa atau di luar kebiasaan, di luar keadaan normal,
ketika norma-norma hukum dan lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara tidak
dapat berfungsi sebagaimana adanya menurut ketentuan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan dalam keadaan normal. Untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 12
UUD 1945 tersebut negara sudah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya, seperti halnya diatur dengan
UU Nomor 23/PRP/1959 tentang keadaan bahaya, juga beberapa perundang-undangan
lainnya.

Dalam praktik kenegaraan kekinian, khususnya yang berlangsung pasca-jatuhnya


rezim militer Orde Baru, pendekatan di atas juga telah secara konsisten digunakan, seperti
dalam pernyataan darurat sipil untuk wilayah Provinsi Maluku dan Maluku Utara, sebagai
upaya penyelesaian konflik sipil di wilayah tersebut, yang dideklarasikan melalui Keputusan
Presiden Nomor 88 Tahun 2000, dan kemudian dicabut melalui Keputusan Presiden Nomor
71 Tahun 2003. Begitu pula dalam pernyataan keadaan darurat di Aceh, baik dalam tingkat
darurat militer yang dideklarasikan melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2003, dan
diturunkan statusnya menjadi darurat sipil melalui Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun
2004 yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2004, serta kemudian dicabut
dengan lahirnya Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2005.

Dari berbagai uraian mengenai pengertian politik hukum di atas, dapat diambil hal
yang bersifat substansi atau unsur-unsur yang terkandung di dalamnya yaitu

1.Adanya produk hukum yang ditentukan

2. Adanya pihak atau organisasi yang berwenang

3.Adanya ketentuan atau asas Tertentu

4.Untuk mencapai tujuan negara.


Dari semuanya itu, hakikatnya dalam politik hukum hanyalah mengenai kebijakan
penguasa dalam pembaharuan hukum positif yang mengarah pada tujuan negara agar dapat
tercapai karena tujuan dari negara di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 alinea IV mengandung suatu cita-cita luhur Bangsa Indonesia
dalam mewujudkan perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan, dan kedamaian rakyat
Indonesia.Dengan demikian, sangat jelas bahwa politik hukum dibentuk dalam rangka
mewujudkan tujuan cita-icita ideal Negara Republik Indonesia. Politik hukum yang akan,
sedang, dan telah diberlakukan di wilayah yurisdiksi Republik Indonesia itu sangat penting,
karena hal itu akan menjadi sebagai pedoman dasar dalam proses penentuan nilai-nilai,
penerapan, pembentukan, dan pembangunan hukum di Indonesia. Artinya baik secara
normatif maupun praktis-fungsional, penyelenggara negara harus menjadikan politik hukum
sebagai acuan pertama dan utama dalam proses-proses di atas.

C. PERAN DAN FUNGSI POLITIK HUKUM

Peran dan fungsi hukum sangat dipengaruhi dan beberapa kali diintervensi oleh
kekuatan politik. Mahfud (2000) menjelaskan bahwa konfigurasi politik berkembang melalui
tarik-menarik antara yang demokratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk hukum
mengikutinya dalam tarik-menarik antara yang responsif dan yang konservatif.

Adanya konstelasi bahwa otonomi hukum di Indonesia cenderung selalu lemah


terutama jika ia berhadapan dengan sub sistem politik Dikatakan demikian jika program
pembentukan hukum dijadikan ukuran maka pembangunan struktur hukum telah berjalan
dengan cukup baik dan stabil, karena dari waktu ke waktu ada peningkatan produktivitas,
tetapi pada sisi lain dapat dilihat juga bahwa fungsi hukum cenderung merosot karena
minimal 2 (dua) hal.:

Pertama, struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik yang ditandai
dengan keberhasilan pembuatan peraturan perundang-undangan berbagai bidang hukum
tetapi pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung semakin lemah.
Kedua, ketidaksinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan
oleh terjadinya gangguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakan fungsi
hukum.

Dalam setiap pembentukan undang-undang, maka otomatis ada tujuan efektif yang
hendak dicapai negara dalam pembentukan undang-undang tersebut. Oleh karenanya,
semua materi muatan pasal dan/atau ayat dalam sebuah undang-undang haruslah
memenuhi kerangka logis konstitusional guna pencapaian tujuan undang-undang tersebut.
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, maupun harta benda.

Keanekaragaman, suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk
yang kurang-lebih 240 juta jiwa, lebih dari 500 etnis, dan 17.500 pulau. Pada satu sisi
merupakan satu kekayaan bangsa yang secara langsung atau tidak langsung dapat
memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat, namun
pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional
apabila dinilai masih terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan, dan
kesenjangan sosial ekonomi, kemiskinan, serta dinamika kehidupan politik yang tidak
terkendali.

Secara hukum, UUD 1945 sejak awal telah menegaskan dianutnya prinsip otonomi
daerah dalam penyelenggaan pemerintahan. Hal itu tercermin dalam amanat pasal 18 UUD
1945 praamandemen yang mengatur mengenai pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahan yang ditetapkan dengan undang-
undang. Di dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan adanya daerah-daerah yang
bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeens-chappen) dan pada daerah-daerah
tersebut akan diadakan badan perwakilan sehingga pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan. Prinsip ini juga kemudian dipertahankan di dalam UUD 1945 pasca
amandemen, dengan menegaskan sejumlah prinsip-prinsip baru dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah dan asas desentralisasi.

D. SISTEM PERATURAN DI INDONESIA

Proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur


dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Sebuah peraturan perundang-undangan dibentuk melalui 5 tahap sebagai berikut:

1. Perencanaan

Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan melalui program legislasi nasional yang


biasa disebut prolegnas, yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-
undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas memuat program
pembentukan undang-undang dengan judul rancangan undang-undang, materi yang akan
diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya

Penyusunan prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh
DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan
prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi,
komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.

Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan dan penetapan prolegnas jangka
menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR.

Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi prolegnas dan
ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Prolegnas ditetapkan dengan Keputusan DPR.

2. Penyusunan

Sebuah rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. Rancangan
undang-undang harus disertai naskah akademik. Naskah akademik adalah naskah hasil
penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu rancangan undang-undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat.

Rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta yang
diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. Rancangan Undang-Undang yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
rancangan undang-undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
terkait, membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang
yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.

Setelah selesai dilakukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi,


rancangan undang-undang diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Surat
tersebut memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presien dalam melakukan
pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR. DPR mulai membahas rancangan
undang-undang dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
Presiden diterima.
3. Pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang

Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan,


yaitu pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Pembicaraan tingkat II dalam
rapat paripurna.

Pembicaraan tingkat I, dilakukan dengan kegiatan pengantar musyawarah, yaitu Presiden


memberikan penjelasan, fraksi dan DPD memberikan pandangan terhadap rancangan
undang-undang yang berasal dari Presiden. Dalam pembicaraan tingkat I juga dilakukan
kegiatan pembahasan daftar inventarisasi masalah yang diajukan oleh DPR. Setelah
pembahasan daftar inventarisasi masalah selesai, dilakukan penyampaian pendapat mini
oleh fraksi, DPD dan Presiden, sebagai akhir pembicaraan tingkat I.

Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang


terdiri dari kegiatan penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi,
pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I, pernyataan persetujuan atau
penolakan dari tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat
paripurna, dan penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang
ditugasi.

Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut
disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan
wajib diundangkan.

4. Pengundangan

Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus diundangkan.


Untuk undang-undang dilakukan pengundangan dengan menempatkannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pengundangan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum. Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.

5. Penyebarluasan

Penyebarluasan undang-undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik


Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama-
sama oleh DPR dan Pemerintah.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan partisipasi


masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Masukan secara tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan
kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat disini adalah orang
perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan
peraturan perundang-undangan tersebut dan untuk memudahkan masyarakat dalam
memberikan masukajn, setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses
dengan mudah oleh masyarakat.

mengenai undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan sudah cukup baik dan clear, kenapa saya berbicara mengenai cukup
baik dan clear? Karena berdasarkan Undang-Undang yang lama (UU No. 10 Tahun 2004)
telah terjadi ketidakseimbangan, kerancuan, ketidakjelasan, Sehingga dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik paling sedikit harus memiliki tiga landasan, yaitu
landasan filosofis, landasan yuridis, landasan sosiologis untuk itu UU No. 12 Tahun 2011
merupakan pemaparan yang sudah jelas dan baik, UU nomor 12 tahun 2011 menjadikan
Hirarki tata urutan perundangan berubah dan UU No 10 tahun 2004 dinyatakan tidak
berlaku lagi. Adapun susunan tata urutan perundangan yang baru adalah:

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4.. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6.. Peraturan Daerah Provinsi

7. peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

beberapa hal dan ketentuan diatas merupakan suatu hal yang dianggap rancu,
karena dalam hierarki dan atau sususnan peraturan perundang-undangan yang lama,
kedudukan dari  Perpres dipertanyakan, sehingga perlu diperhatikan bahwasanya ketentuan
dari Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang  secara Eksplisit tertuang bahwa Presiden tidak menutup
kemungkinan untuk mengeluarkan suatu Regulasi dengan kata lain Perpress tentunya
diwajibkan pula untuk hak presiden sebagai seorang pemegang kekuasaan. Maka yang
dapat kita lihat adalah bahwa terdapat tiga hal yang berubah apabila kita bandingkan
dengan jenis hirarki Peraturan Perundang-undangan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1)
UU No. 10/2004 yaitu masuknya kembali Ketetapan MPR, Peraturan Daerah yang memiliki
tingkatan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
pada undang-undang sebelumnya adalah sejajar, serta yang terakhir dihapuskannya
Peraturan Desa dari Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang sebelumnya
peraturan desa tercantum dalam pasal 7 ayat (1) sebagai bagian dari hirarki peraturan
perundang-undangan. Secara hirarki, maka secara tidak langsung terkait dengan persoalan
rugulasi dan implementasi otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah. Suatu hal
yang baru dalam UU No. 12/2011 adanya peraturan lain dari jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup
peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MK, BPK, KY, BI, Mentri, Badan, Lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang. DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan
kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga/instansi diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan. Berbagai cara dapat ditempuh agar pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dapat dicapai. Berdasarkan Pendapat Prof.Dr.Syahrul dalam bukunya,
Selain berlandaskan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan. Peningkatan kualitas
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan
hal-hal sebagai berikut:

1. Kajian yang baik


2. Pemahaman tentang materi muatan peraturan perundang-undangan
3. Pemahaman tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
4. Peran serta masyarakat
5. Harmonisasi dan Sinkronisasi
6. Pemakaian bahasa yang tepat
7. Substansi Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa naskah akademik, yaitu
“Naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat”

Pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,


naskah akademik tidak merupakan suatu keharusan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Namun, dengan digantinya UU No. 10 Tahun 2004 dengan UU No. 12
Tahun 2011, maka naskah akademik merupakan suatu keharusan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, kecuali dalam peraturan tertentu. Sebagaimana yang
diatur pada Pasal 43 Ayat (3) “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden
atau DPD harus disertai dengan Naskah Akademik”.Ayat (4), berbunyi “Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang
mengenai”:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Penetapan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang, Pencabutan Undang-Uundang atau
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan adanya naskah
akademik dari setiap rancangan undang-undang diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai hasil penelitian ilmiah yang akan mendasari RUU yang kelak akan diajukan dan
dibahas di DPR. Naskah akademik memperlihatkan, bahwa suatu rancangan undang-undang
tidak disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak atau bukan dari
pemikiran yang mendalam. Melainkan dari  penelitian yang mendalam dan perenungan
yang matang. Naskah akademik juga berperan sebagai alat kontrol dalam menentukan
kualitas suatu produk hukum dan akan memberi arah kepada pemangku kepentingan dan
perancang dalam mengambil kebijakan dan acuan untuk dapat menentukan apa yang akan
diatur dan diterjemahkan kedalam kalimat hukum. .

Anda mungkin juga menyukai