Fajar As Sidqi
Email : assidqifajar4@gmail.com
PENDAHULUAN
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh
karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak
dapat dipisahkan dari membahas politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-
undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan peraturan perundang-undangan pada
dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan
“Indonesia merupakan Negara hukum”. Konsep negara hukum yang digunakan Indonesia lebih
mengarah pada tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) yang mengutamakan hukum tertulis
dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai dasar setiap penyelenggaraan aktivitas
pemerintahan.
Konsepsi negara hukum yang diinginkan oleh founding father sejak awal perjuangan
kemerdekaan ini terlihat jelas dengan dimuatnya pokok-pokok pikiran dasar dalam pembukaan UUD
Tahun 1945, yaitu kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan dan pernyataan bahwa pemerintah negara
berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Hal ini memberikan arah dan harapan bahwa hukum akan
melindungi segenap rakyat, segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-
wenang. Hukum akan mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan
hak asasi manusianya terjamin.
Guna menciptakan hukum yang dapat melindungi rakyat, perlakuan adil, hukum yang
mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya terjamin tentu harus ada peraturan yang dijadikan
pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagai aturan pokok yang berlaku
untuk menyusun peraturan dari proses awal pembentukannya sampai dengan peraturan tersebut
diberlakukan kepada masyarakat. Sehingga dengan adanya aturan yang baku maka setiap
penyusunannya peraturan dapat dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-
undangan, dengan demikian peraturan dimaksud dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atas
peraturan perundang-undangan yang baik.Proses pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
PEMBAHASAN
Istilah politik hukum merupakan terjemahan Dari bahasa belanda yang berasal Dari
dual gabungan “reaches” Dan “politik”. Kemudian kata tersebut digabungkan menjadi
“reachtspolitiek” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu politik hukum. Dalam
bahasa Indonesia kata recht berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa
Arab hukm yang memiliki arti kata jamaknya ahkam, yang berarti putusan, ketetapan,
perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-lain.
Berkaitan dengan istilah hukum sendiri , belum ada keputusan atau kesepakatan
pendapat di kalangan para ahli hukum tentang apa batasan dan arti hukum yang
sebenarnya. Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang
luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam memandang dan memahami apa yang
disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai pedoman, secara sederhana kita dapat
mengatakan bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh pihak berwenang dan memiliki
sifat mengatur serta memaksa manusia guna menciptakan keteraturan sosial.
Penjelasan secara etimologis diatas mungkin kurang begitu jelas Dan memuaskan
Karena masih begitu sederhana dalam mengambil suatu pengertian. Sehingga untuk
melengkapi uraian diatas tentang apa itu politik hukum?, Saya akan menyajikan beberapa
definisi politik hukum yang dikemukahkan oleh seorang ahlinya yang dapat dipahami dan
diamati. Menurut Mahfud MD politik hukum adalah ”legal policy atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama,
dalam rangka mencapai tujuan Negara”. Sebelum kita melangkah lebih lanjut baiklah
mengenai hal itu kita dapat mengambil pendapat lain dari Teuku Mohammad Radhie, S,H.
(Prisma No 6 Thn ke II Des 1973) yang isinya sebagai berikut.
"Adapun politik hukum di sini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak
Penguasa Negara mengenal hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah ke mana
hukum hendak dikembangkan
Di dalam UUD 1945 kita tidak menjumpai satu Pasal pun yang menyebutkan masalah
politik hukum negara Indonesia. Tersurat memang tidak ada tetapi tersirat dapat kita jumpai
pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lain halnya pada Lindang-Undang Dasar
1950, kita dapat menjumpai suatu pasal yang memuat politik hukum negara Indonesia di
bawah UUD 1950, yaitu pada Pasal 102 yang berbunyi sebagai berikut:
"Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana
militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan,
diatur dengan undang undang dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undang
menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang undang tersendiri.
B. LANDASAN DAN TUJUAN POLITIK HUKUM
Dari pengertian politik hukum menurut para ahli hukum di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan politik hukum adalah serangkaian konsep,
asas, kebijakan dasar, dan pernyataan kehendak penguasa negara yang mengandung politik
pembentukan hukum, politik penentuan hukum, dan politik penerapan, serta penegakan
hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum untuk
menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk, hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun serta untuk mencapai
tujuan negara.
Produk hukum yang dimaksud dalam politik hukum adalah hukum positif (ius
constitutum) yang dibuat dengan memperhatikan gejala-gejala sosial lainnya, khususnya
gejala politik yang mempengaruhinya. Produk hukum tersebut dibuat oleh lembaga atau
pejabat-pejabat administrasi negara yangoleh peraturan perundang-undangan atau oleh
mandat dan atau delegasi dari penguasa yang berhak mengeluarkan produk hukum
tersebut. Selanjutnya, agar kebijakan (politik) penguasa dalam melahirkan suatu keputusan
(beschekking) atau peraturan (regeling) yang merupakan bentuk riil hukum positif haruslah
diuji dan diselaraskan dengan asas-asas hukum seperti asas untuk kepentingan umum agar
nantinya dinyatakan absah dan bermanfaat tanpa melanggar hak-hak asasi rakyat.
Dasar pemikiran dari berbagai definisi didasarkan pada kenyataan bahwa negara
mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan dilakukan dengan
menggunakan hukum sebagai alat untuk pemberlakuan dan atau penindakberrlakuan
hukum. Pemahaman politik hukum mencakup sebagai kebijakan resmi negara (legal policy)
tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak berlakukan dan digunakan untuk mencari
kebenaran dan memberi arti hukum. Semua peraturan yang bertujuan untuk kesejahteraan
merupakan resultante (produk kesepakatan politik) sesuai dengan situasi ekonomi dan
sosial pada saat dibuat.
Terkait dengan keadaan darurat, UUD 1945 memiliki struktur yang hampir serupa
dengan konstitusi Belanda, yang menganut rezim ganda dalam keadaan darurat, yakni
keadaan darurat perang serta keadaan bahaya. Namun demikian, pasal12 UUD 1945 tidak
secara detail dan tegas mengatur mengenai pengertian dan batasan keadaan bahaya atau
keadaan darurat. Sementara bila merujuk pada penjelasan UUD 1945 praamandemen,
dalam penjelasan pasal 12 dikatakan bahwa kekuasaan presiden dalam pasal ini ialah
konsekuensi dari kedudukan residen sebagai kepala negara. Merujuk pada pendapat Jimmly
Asshiddiqie (2007: 59), keadaan bahaya atau keadaan darurat menurut UUD 1945 dapat
dimaknai sebagai, suatu keadaan luar biasa atau di luar kebiasaan, di luar keadaan normal,
ketika norma-norma hukum dan lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan negara tidak
dapat berfungsi sebagaimana adanya menurut ketentuan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan dalam keadaan normal. Untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 12
UUD 1945 tersebut negara sudah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya, seperti halnya diatur dengan
UU Nomor 23/PRP/1959 tentang keadaan bahaya, juga beberapa perundang-undangan
lainnya.
Dari berbagai uraian mengenai pengertian politik hukum di atas, dapat diambil hal
yang bersifat substansi atau unsur-unsur yang terkandung di dalamnya yaitu
Peran dan fungsi hukum sangat dipengaruhi dan beberapa kali diintervensi oleh
kekuatan politik. Mahfud (2000) menjelaskan bahwa konfigurasi politik berkembang melalui
tarik-menarik antara yang demokratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk hukum
mengikutinya dalam tarik-menarik antara yang responsif dan yang konservatif.
Pertama, struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik yang ditandai
dengan keberhasilan pembuatan peraturan perundang-undangan berbagai bidang hukum
tetapi pelaksanaan fungsi atau penegakan fungsi hukum cenderung semakin lemah.
Kedua, ketidaksinkronan pertumbuhan antara fungsi dan struktur hukum itu disebabkan
oleh terjadinya gangguan oleh tindakan-tindakan politik terhadap upaya penegakan fungsi
hukum.
Dalam setiap pembentukan undang-undang, maka otomatis ada tujuan efektif yang
hendak dicapai negara dalam pembentukan undang-undang tersebut. Oleh karenanya,
semua materi muatan pasal dan/atau ayat dalam sebuah undang-undang haruslah
memenuhi kerangka logis konstitusional guna pencapaian tujuan undang-undang tersebut.
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, maupun harta benda.
Keanekaragaman, suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk
yang kurang-lebih 240 juta jiwa, lebih dari 500 etnis, dan 17.500 pulau. Pada satu sisi
merupakan satu kekayaan bangsa yang secara langsung atau tidak langsung dapat
memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat, namun
pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional
apabila dinilai masih terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan, dan
kesenjangan sosial ekonomi, kemiskinan, serta dinamika kehidupan politik yang tidak
terkendali.
Secara hukum, UUD 1945 sejak awal telah menegaskan dianutnya prinsip otonomi
daerah dalam penyelenggaan pemerintahan. Hal itu tercermin dalam amanat pasal 18 UUD
1945 praamandemen yang mengatur mengenai pembagian daerah Indonesia atas daerah
besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahan yang ditetapkan dengan undang-
undang. Di dalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan adanya daerah-daerah yang
bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeens-chappen) dan pada daerah-daerah
tersebut akan diadakan badan perwakilan sehingga pemerintahan akan bersendi atas dasar
permusyawaratan. Prinsip ini juga kemudian dipertahankan di dalam UUD 1945 pasca
amandemen, dengan menegaskan sejumlah prinsip-prinsip baru dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah dan asas desentralisasi.
1. Perencanaan
Penyusunan prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh
DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. Penyusunan
prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi,
komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan dan penetapan prolegnas jangka
menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR.
Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi prolegnas dan
ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Prolegnas ditetapkan dengan Keputusan DPR.
2. Penyusunan
Sebuah rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. Rancangan
undang-undang harus disertai naskah akademik. Naskah akademik adalah naskah hasil
penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu rancangan undang-undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta yang
diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. Rancangan Undang-Undang yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
rancangan undang-undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
terkait, membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang
yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut
disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan
wajib diundangkan.
4. Pengundangan
5. Penyebarluasan
5. Peraturan Presiden
beberapa hal dan ketentuan diatas merupakan suatu hal yang dianggap rancu,
karena dalam hierarki dan atau sususnan peraturan perundang-undangan yang lama,
kedudukan dari Perpres dipertanyakan, sehingga perlu diperhatikan bahwasanya ketentuan
dari Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 yang secara Eksplisit tertuang bahwa Presiden tidak menutup
kemungkinan untuk mengeluarkan suatu Regulasi dengan kata lain Perpress tentunya
diwajibkan pula untuk hak presiden sebagai seorang pemegang kekuasaan. Maka yang
dapat kita lihat adalah bahwa terdapat tiga hal yang berubah apabila kita bandingkan
dengan jenis hirarki Peraturan Perundang-undangan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1)
UU No. 10/2004 yaitu masuknya kembali Ketetapan MPR, Peraturan Daerah yang memiliki
tingkatan antara Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
pada undang-undang sebelumnya adalah sejajar, serta yang terakhir dihapuskannya
Peraturan Desa dari Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang sebelumnya
peraturan desa tercantum dalam pasal 7 ayat (1) sebagai bagian dari hirarki peraturan
perundang-undangan. Secara hirarki, maka secara tidak langsung terkait dengan persoalan
rugulasi dan implementasi otonomi daerah. Persoalan ini tentu menjadi masalah. Suatu hal
yang baru dalam UU No. 12/2011 adanya peraturan lain dari jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup
peraturan yang ditetapkan MPR, DPR, MK, BPK, KY, BI, Mentri, Badan, Lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang. DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kabupaten Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Kedudukan dan
kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga/instansi diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan. Berbagai cara dapat ditempuh agar pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dapat dicapai. Berdasarkan Pendapat Prof.Dr.Syahrul dalam bukunya,
Selain berlandaskan pada berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan. Peningkatan kualitas
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan
hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan bahwa naskah akademik, yaitu
“Naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah
tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat”