Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH HUBUNGAN KERJA DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

HUBUNGAN INDUSTRI DAN HUKUM PERBURUHAN


DOSEN PENGAMPU:
Arini Rivai, S.E, M.M

KELOMPOK VIII
MANAJEMEN MALAM III
DISUSUN OLEH:

DINI SULASTRI (20612262)


HELDI SAPUTRA (20612269)
MUHAMMAD RYO DWI SATRIA (20612274)
NADYA ANDINI (20612277)
RUDY AFRIANDI (20612286)
YUDI STYAWAN (20612294)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PEMBANGUNAN TANJUNGPINANG
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunianya
kami dapat menyelesaikan Makalah ini yang berjudul Hubungan Kerja dan Pemutusan
Hubungan Kerja. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Hubungan Industri dan Hukum Perburuhan.
Meskipun dalam penyusunan makalah ini kami masih banyak menemukan kekurangan
dan kesulitan, tetapi karena motivasi dan dorongan dari beberapa pihak makalah ini dapat
diselesaikan.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang telah membaca
makalah ini yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat memenuhi syarat untuk memenuhi tugas
Hubungan Industri dan Hukum Perburuhan dan juga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membacanya. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas
dukungannya sehingga terwujudnya makalah ini.
Akhir kata, kami mohon maaf apabila ada kesalahan yang terdapat didalam makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi Penulis dan Pembaca. Atas perhatiannya kami ucapkan
Terimakasih.

Tanjungpinang, 26 Maret 2022

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Permasalahan................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................3
BAB II HUBUNGAN KERJA..........................................................................................4
2.1 Pengertian Tentang Tenaga Kerja................................................................4
2.2 Pengertian Tentang Hubungan Kerja..........................................................7
2.3 Unsur-Unsur Hubungan Kerja.....................................................................7
2.4 Perjanjian Kerja.............................................................................................9
BAB III PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA..............................................................16
3.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja.....................................................16
3.2 Alasan Pemutusan Hubungan Kerja............................................................16
3.3 Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja.....................................................17
3.4 Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja........................................................20
3.5 Larangan Pemutusan Hubungan Kerja.......................................................22
3.6 Hak Pemutusan Hubungan Kerja bagi Pekerja..........................................23
BAB IV PENUTUP............................................................................................................26
4.1 Kesimpulan......................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan, sehingga mampu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan
dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua,
karena tujuan dari pekerja melakukan pekerjaan adalah untuk dapat memenuhi kebutuhan
tersebut. Sebagaimana Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) menyebutkan bahwa:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”
Pekerjaan tersebut dapat setiap orang peroleh melalui usaha sendiri ataupun
mengikatkan dirinya dengan pihak lain, seperti instansi maupun perusahaan. Dalam hal orang
yang akan bekerja dengan mengikatkan diri pada pihak lain tentunya dibutuhkan adanya
campur tangan dari pihak pemerintah maupun pengusaha, karena tanpa adanya campur
tangan dari kedua pihak tersebut setiap orang tidaklah dapat mengikatkan dirinya untuk
bekerja agar memperoleh penghidupan yang layak. Seseorang dikatakan sebagai pekerja atau
buruh apabila bekerja dengan mengikatkan dirinya pada perusahaan atau swasta, dan
dikatakan pegawai apabila seseorang bekerja dengan mengikatkan dirinya pada pemerintah.
Banyaknya masyarakat yang bekerja dengan mengikatkan diri dengan pihak lain
khususnya pada perusahaan/swasta, maka hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan
tersebut yang didasarkan adanya suatu hubungan kerja. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.”
Dari pengertian hubungan kerja tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja
sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha.
Hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha berlangsung selama pekerja masih
mengikatkan dirinya untuk bekerja, dan hubungan kerja dapat berakhir setelah pekerja tidak
lagi mengikatkan dirinya untuk bekerja, sehingga hubungan kerja antara pekerja dengan
pengusaha tidak selamanya dapat berlangsung.
Salah satu hal krusial yang terjadi sampai dengan saat ini di dalam hubungan kerja
adalah pada saat hubungan kerja pekerja dengan pengusaha yang berakhir dengan jalan yang

1
tidak baik, karena adanya beberapa faktor dari pekerja maupun pengusaha itu sendiri.
Diantaranya pekerja yang merasa dirugikan dengan kebijakan dari pengusaha, maupun
pengusaha yang merasa dirugikan dengan sikap ataupun hasil pekerjaan pekerja. Dari faktor
tersebut, maka dapat memungkinkan adanya perselisihan antara pekerja dan pengusaha dalam
hal pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
“Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha.”
PHK merupakan perselisihan yang sulit untuk dihindari dalam bidang ketenagakerjaan,
dan lebih sering dilakukan oleh pihak pengusaha. Sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 bahwa pada prinsipnya semua pihak diupayakan
untuk menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja, tetapi pada data empiris hal
tersebut ternyata tidak dapat dihindari bahkan merupakan penyebab terjadinya perselisihan.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan dengan 2
(dua) cara penyelesaian, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan
industrial dan di luar pengadilan hubungan industrial yang meliputi penyelesaian secara
bipartit, konsiliasi, arbitrase maupun mediasi. Demikian halnya dalam penyelesaian
perselisihan PHK dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara penyelesaian tersebut, namun sebelum
perselisihan diselesaikan melalui pengadilan hubungan industrial wajib diupayakan
penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan hubungan industrial, baik melalui bipartit,
konsiliasi, arbitrase maupun mediasi.
PHK merupakan salah satu kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga
kerja, karena adanya PHK dapat menimbulkan perbedaan pendapat antara pihak mengenai
alasan PHK, sehingga menyebabkan beberapa permasalahan yang terjadi antara para pihak,
khususnya pihak pekerja yang merasa dirugikan dan ingin mendapatkan hak-hak yang
semestinya didapatkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Campur tangan pemerintah
dalam persoalan ketenagakerjaan tersebut sangatlah penting, karena pemerintah mempunyai
peran untuk menegakkan keadilan dalam hukum ketenagakerjaan.

2
1.2 Rumusan Permasalahan
1. Apa itu Tenaga Kerja
2. Apa itu Hubungan Kerja
3. Apa saja Unsur-Unsur Hubungan Kerja
4. Apa itu Perjanjian Kerja
5. Apa itu Pemutusan Hubungan Kerja
6. Apa saja Alasan Pemutusan Hubungan Kerja
7. Apa saja Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja
8. Apa saja Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
9. Apa saja Larangan Pemutusan Hubungan Kerja
10. Apa saja Hak Pemutusan Hubungan Kerja bagi Pekerja

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami Pengertian Tenaga Kerja
2. Memahami Hubungan Kerja
3. Memahami Unsur-Unsur Hubungan Kerja
4. Memahami Perjanjian kerja
5. Memahami Pemutusan Hubungan Kerja
6. Mengetahui Alasan Pemutusan Hubungan Kerja
7. Mengetahui Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja
8. Mengetahui Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
9. Mengetahui Larangan Pemutusan Hubungan Kerja
10. Mengetahui Hak Pemutusan Hubungan Kerja bagi Pekerja

3
BAB II
HUBUNGAN KERJA

2.1 Pengertian Tentang Tenaga Kerja


Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan yang memberi pengertian tenaga kerja adalah setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan baik dalam maupun diluar hubungan kerja guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuan masyarakat. Yang telah
disempurnakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
Pengertian tenaga kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan diatas sejalan dengan pengertian pada umumnya sebagaimana ditulis oleh
Payaman J. Simanjuntak bahwa pengertian tenaga kerja atau manpower adalah mencakup
penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan
pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga.
Tenaga kerja yang telah melakukan kerja baik bekerja membuka usaha untuk diri
sendiri maupun bekerja dalam suatu hubungan kerja atau dibawah perintah seseorang yang
memberi kerja (seperti perseroan, pengusaha maupun badan hukum) serta atas jasanya
bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain ini disebut
pekerjan (bagian dari tenaga kerja).
Suatu pekerjaan pada kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka
ragam sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup seseorang perlu bekerja, baik
bekerja dengan membuat usaha sendiri ataupun bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada
orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai
pegawai ataupun bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau pekerja
dengan bekerja mereka mendapat upah untuk biaya hidup. Karena bagaimanapun juga upah
merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja ataupun pegawai.

4
A. Macam-Macam Tenaga Kerja
Tenaga kerja dibagi menjadi empat macam yaitu: tenaga kerja tetap, tenaga kerja
harian lepas, tenaga kerja borongan dan tenaga kerja kontrak. Pengertian dari setiap
tenaga kerja di atas yaitu:
1. Tenaga Kerja Tetap
Yaitu pekerja yang memiliki perjanjian kerja dengan pengusaha untuk
jangka waktu tidak tertentu (permanent). Tenaga kerja tetap menurut
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang petunjuk
pelaksanaan Pemotongan Pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi, ditambahkan menjadi sebagai
berikut: pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus
ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang
bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang
pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan
tersebut. Tenaga kerja tetap ini termasuk kedalam Perjanjian Kerja untuk
Waktu Tidak Tertentu (yang selanjutnya disebut PKWTT) karena PKWTT
merupaka perjanjian kerja yang tidak ditentukan waktunya dan bersifat
tetap. Sesuai dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan. Tenaga kerja tetap akan dikenakan masa
percobaan yaitu selama tiga bulan sebelum diangkat menjadi tenaga kerja
tetap oleh suatu perusahaan.
2. Tenaga Harian Lepas
Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Tenga Kerja Nomor PER-
03/MEN/1994; menyebutkan bahwa tenaga kerja harian lepas adalah tenaga
kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu
yang berubah- ubah dalam hal waktu maupun kontinyuitas pekerjaan
dengan menerima upah didasarkan atau kehadirannya secara harian.
Contohnya seperti tenaga kerja yang bekerja sebagai tenaga kerja harian
lepas pada sebuah pabrik sandal. Tenga kerja tersebut diberi gaji
berdasarkan kehadirannya setiap hari kerjanya maka ia tidak akan
menerima upah. Maka tenaga kerja harian lepas menerima upah sesuai
dengan kehadirannya di tempat kerjanya.

5
3. Tenaga Kerja Borongan
Menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
03/MEN/1994; menyebutkan bahwa tenaga kerja borongan adalah tenaga
kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu
yang berubah- ubah dalam hal waktu dengan menerima upah didasaran atas
volume pekerjaan dibawah pengawasan seorang mandor, para pekerja
tersebut bekerja untuk menyelesaikan sebuah bangunan, pekerja tersebut
menerima upah seminggu sekali dan hubungan kerja berakhir bila bangunan
tersebut telah selesai dibangun.
4. Tenaga Kerja Kontrak
Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-
03/MEN/1994; menyebutkan bahwa tenaga kerja kontrak adalah tenaga
kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu
dengan menerima upah yang didasarkan atas kesepakatan untuk hubungan
kerja untuk waktu tertentu dan atau selesainya pekerjaan tertetntu. Tenaga
kerja kontrak termasuk kedalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu (yang
selanjutnya disebut PKWT) karena PKWT merupakan perjanjian kerja yang
terdapat jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ini sesuai
dengan Pasal 56 ayat (2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketengakerjaan.
PKWT harus dibuat secara tertulis dan harus menggunakan bahasa indonesia,
tidak dipersyaratkan untuk masa percobaan apabila PKWT ditetapkan masa percobaan
maka akan batal demi hukum, dan PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus. Perjanjian ini akan berakhir apabila
pekerja meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, adanya putusan
pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan adanya keadaan
atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja,
hal ini terdapat dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan.

6
2.2 Pengertian Tentang Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua
subjek hukum mengenai suatu pekerjaan. Menurut Hartono Wisoso dan Judiantoro (1992),
hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur
demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan
perjanjian kerja yang telah disepakati.
Tjepi F. Aloewir (1996), mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah
hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang
diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah
dan perintah.
Hubungan kerja menurut Imam Soepomo yaitu suatu hubungan antara seorang buruh
dan seorang majikan, dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara
kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh
bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha memperkerjakan pekerja/buruh
dengan memberi upah.
Selain itu Husnu dalam Asikin (2014) berpendapat bahwa hubungan kerja ialah
hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian
dimana pihak buruh mengikatkan dirinya pada pihak majikan untuk bekerja dengan
mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan si
buruh dengan membayar upah.

2.3 Unsur-Unsur Hubungan Kerja


Hubungan kerja mempunyai beberapa unsur yaitu sebagai berikut:
a. Perintah
Dalam perjanjian kerja unsur perintah ini memegang peranan yang pokok, sebab
tanpa adanya unsur perintah, hal itu bukan perjanjian kerja, dengan adanya unsur
perintah dalam perjanjian kerja, kedudukan kedua belah pihak tidak sama yaitu
pihak satu kedudukannya diatas (pihak yang memerintah) sedangkan pihak lain

7
kedudukannya dibawah (pihak yang diperintah). Kedudukan yang tidak sama ini
disebut hubungan subordinasi serta ada yang menyebutnya hubungan kedinasan.
Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa (1) pemberi kerja memerlukan tenaga kerja
dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksanaan
penempatan tenaga kerja; (2) pelaksanaan penempatan tenaga kerja sebagaimanan
yang dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen
sampai penempatan tenaga kerja; (3) pemberi kerja sebagai mana yang dimaksud
pada ayat (2) dalam memperkerjakan tenaga kerja wajib memberikan
perlindungan dan mencakup kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik
mental maupun fisik tenaga kerja.
Oleh karena itu kalau kedudukan kedua belah pihak tidak sama atau ada
subordinasi, disitu ada perjanjian kerja. Sebaliknya jika kedudukan kedua belah
pihak sama atau ada koordinasi, disitu tidak ada perjanjian kerja, melainkan
perjanjian yang lain.
b. Pekerjaan
Dalam suatu hubungan kerja harus adanya suatu pekerjaan yang diperjanjian dan
dikerjakan sendiri oleh pekerja. Pekerjaan mana yaitu pekerjaan yang dikerjakan
oleh pekerjaan itu sendiri, haruslah berdasarkan dan berpedoman pada perjanjian
kerja.
Pekerja yang melaksanakan pekerjaan atas dasar pejanjian kerja tersebut pada
pokoknya wajib menjalankan pekerjaannya sendiri, karena apabila pihak itu
bebas untuk melaksanakan pekerjaan tersebut untuk dilakukan sendiri atau
membebankan pekerjaan tersebut kepada orang lain maka akibatnya akan sulit
dikatakan sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.
Hal ini sudah diatur dalam Pasal 1603 a KUH Perdata yang berbunyi Buruh wajib
melakukan sendiri pekerjaannya; hanyalah dengan izin majikan ia dapat
menyuruh seseorang ketiga menggantikannya.
c. Adanya Upah
Upah menurut Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan adalah hak/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh
yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang- undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja.buruh dan
8
keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah dan/ atau akan
dilakukan.
Menurut Edwin B. Filippo (2003) dalam karya tulisan berjudul “Principles of
Personal Management” menyatakan bahwa yang dimaksud dengan upah adalah
harga untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi
kepentingan seseorang atau badan hukum.
Di dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa komponen upah terdiri dari upah pokok
dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit- dikitnya 75% (tujuh
puluh lima perseratus) dari jumlah pokok dan tunjangan tetap. Berkaitan dengan
tunjangan yang diberikan perusahaan pada pekerja/buruh dibagi menjadi 2, yaitu:
i. Tunjangan Tetap
Tunjangan tetap ialah tunjangan yang diberikan oleh perusahaan secara
rutin kepada pekerja/buruh per bulan yang besarnya relatif sama. Contoh:
tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan keahlian/profesi dan
lain-lain.
ii. Tunjangan tidak tetap
Tunjangan tidak tetap adalah tunjangan yang diberikan oleh perusahaan
kepada pekerja/buruh dimana penghitungannya berdasarkan kehadiran
kerja. Contoh: tunjangan transportasi, tunjangan makan, biaya operasional
dan lain-lain.

2.4 Perjanjian Kerja


Perjanjian kerja diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata) yang berbunyi Perjanjian adalah perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam
pengertian perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang
pihak yang atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya, dan sama sekali tidak
menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian tersebut dibuat.
Perjanjian dapat pula diartikan sebagai hubungan antara sesorang yang bertindak
sebagai pekerja/buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan. Dalam perjanjian
dikenal asas kebebasan berkontrak, yang dimaksud asas tersebut yaitu bahwa setiap orang
boleh membuat perjanjian yang berisi macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Pengertian perjanjian kerja pertama disebutkan

9
dalam ketentuan Pasal 1601 a KUHPerdata yang berbunyi perjanjian kerja ialah suatu
perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahya
pihak yang lain si majikan, untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan
menerima upah.
Kalimat “dibawah perintah pihak lain” menyatakan bahwa adanya hubungan antara
pekerja dengan majikan yaitu hubungan antara bawahan dan atasan, pengusaha memberikan
perintah pada pekerja untuk melakukan pekerjaan tertentu. Wewenang untuk memerintah
yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian lainnya. Menurut R. Imam
Soepoomo, perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan
diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri
untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah.
Prinsip yang menonjol didalam perjanjian kerja adalah adanya keterkaitan antara
seorang buruh kepada orang lain (pengusaha) untuk bekerja di bawah perintah dengan
menerima upah. Didalam prinsip perjanjian kerja terdapat unsur perjanjian kerja yang dapat
dianggap sah dan konsekuensinya telah dianggap sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, dalam setiap perjanjian terdapat dua macam subyek perjanjian, yaitu:
1. Seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk
sesuatu;
2. Seorang manusia atau badan hukum yang mendapatkan hak atas pelaksanaan
kewajiban itu.
Dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban
para pihak.

A. Syarat-Syarat Perjanjian Kerja


Sebelum kita membahas tentang syarat perjanjian kerja, kita lihat dulu syarat
sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi: untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya
Kata sepakat adalah bahwa kedua subjek yang membuat perjanjian itu harus
bersepakat, harus setuju dan seia sekata mengenai hal-hal pokok yang di
perjanjian, tanpa adanya suatu paksaan, kekeliruan, dan penipuan. Kata
sepakat merupakan unsur utama dari keempat syarat suatu perjanjian,

10
menurut Imam Soepomo, bahwa perjanjian kerja harus berdasarkan atas
penyataan kemauan yang disepakati kedua pihak.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pada Pasal 1330 KUHPerdata, menyatakan bahwa orang-orang yang
dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
 Orang yang belum dewasa;
 Mereka yang berada dibawah pengampunan;
 Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umunya semua orang kepada siapa telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
c. Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian harus mempunyai obyek tertentu, menurut Pasal 1333
KUHPerdata, suatu perjanjian harus dapat menentukan jenisnya baik
mengenai benda berwujud atau benda tidak berwujud, yang menjadi obyek
sebuah perjanjian harus ditentukan jenisnya atau suatu barang yang
kemudian hari bisa menjadi suatu obyek dari sebuah perjanjian, hal ini
terdapat dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata.
d. Suatu sebab yang halal
Dalam perjanjian kerja yang dimaksud dengan suatu sebab halal adalah
bahwa isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
moral, adat istiadat, kesusilaan dan sebagainya, ketentuan ini terdapat
dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, hal ini
dibedakan menjadi dua yaitu: Pasal 52 yang berisikan syarat-syarat materil
seperti kesepakatan antara kedua belah pihak, kemampuan atau kecapakan
melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan
pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban. “adanya
pekerjaan yang diperjanjikan” maksudnya semua orang bebas untuk
melakukan suatu hubungan kerja apabila pekerjannya jelas yaitu pekerjaan.

B. Isi Perjanjian Kerja


Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat dengan cara tertulis yang berisikan:

11
a. Nama, alamat, perusahaan dan jenis usaha,
b. nama,jenis kelamin, umur dan alamat pekerjaan,
c. jabatan atau jenis pekerjaan,
d. tempat pekerjaan,
e. besaran upah dan cara pembayarannya,
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha pekerja,
g. mulai jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja yang dibuat,
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

C. Bentuk dan Jangka Waktu Perjanjian Kerja


Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan/atau tertulis (Pasal 51 ayat 1
Undnag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Secara normatif
perjanjian tertulis manjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika
terjadi perselisihan antara para pihak maka sangat membantu dalam proses pembuktian.
Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan kerja
yang dibatasi jangka waktu berlakunya dan waktu tidak tentu bagi hubungan kerja yang
tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu disebut dengan perjanjian kerja
kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap, status pekerjanya yaitu pekerja tidak tetap atau
pekerja kontrak sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tentu
biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status pekerjanya adalah pekerja
tetap.
Dalam Pasal 1603 a ayat (1) KUHPerdata yang mengatur mengenai perjanjian kerja
untuk waktu tertentu. Jelaslah bahwa yang dinamakan perjanjian kerja untuk waktu
tertentu dibagi pula menjadi dua, yaitu:
a. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dimana waktu berlakunya ditentukan
menurut perjanjian,
b. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dimana waktu berlakunya ditentukan
menurut undang-undang.
Selain itu, perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara
tertulis (Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan). Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-

12
hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja, perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.
Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja dan kesungguhan,
kecakapan seorang calon pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam
masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin
dari pejabat yang berwenang).
Dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak tertentu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman;
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk terbaru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

D. Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja


Para pihak dalam perjanjian kerja disebut sebagai subyek hukum, karena kepada
para pihak dibebankan apa yang menjadi hak dan kewajiban. Pada ketentuannya, pihak
yang melakukan perjanjian kerja adalah pemberi kerja/pengusaha dan pekerja/buruh.
Namun sesuai dengan perkembangannya pihak dalam hukum ketenagakerjaan sangat
luas, yaitu tidak hanya pemberi kerja/penusaha dan pekerja/buruh tetapi juga pihak-
pihak lain yang terkait didalamnya. Luasnya kedudukan para pihak ini karena saling
berinteraksi sesuai dengan posisinya dalam menghasilkan barang dan/jasa. Uraian
tentang masing- masing pihak dalam pelaksanaan perjanjian kerja tersebut dijelaskan,
sebagai berikut:
1. Pekerja atau Buruh
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan pekerja atau buruh merupakan setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal
ini berbeda dengan makna dari pengertian tenaga kerja sebagaimana kita
ketahui berdasarkan Undang- Undang Ketenagakerjaan. Pengertian tenaga
kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13
13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian
tersebut mengandung dua unsur yaitu unsur orang yang bekerja dan unsur
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pada dasarnya perbedaan
tersebut terletak karena hubungan hukum dan peraturan yang mengaturnya
juga berlainan. Bagi pekerja/buruh hubungan hukum dengan pemberi kerja
merupakan keperdataan yang dibuat diantara para pihak yang mempunyai
kedudukan perdata. Hubungan hukum antara kedua pihak selain diatur
dalam perjanjian kerja yang ditanta tangani (hukum otonom) yang diatur di
dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh instansi/lembaga
yang berwenang untuk itu (hukum heteronom).
Pekerja/buruh merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang
bekerja didalam hubungan kerja, dibawah perintah pemberi kerja (bisa
perorangan, pengusaha, badan hukum, atau lembaga lainnya) dan atas
jasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain. Dengan kata lain, tenaga kerja disebut sebagai
pekerja/buruh bila telah melakukan pekerjaan didalam hubungan kerja dan
dibawah perintah orang lain dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Istiah pekerja/buruh secara yuridis sebenarnya sama, jadi tidak
ada perbedaan diantara keduannya. Kedua makna tersebut dipergunakan
dan digabungkan menjadi “pekerja/buruh” dalam undang-undang nomor 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan untuk menyesuaikan dengan istilah
“serikat pekerja/serikat buruh” yang terdapat didalam Undang-undang
Nomor 21 tahun 2000 yang telah daitur sebelumnya.
2. Pemberi Kerja atau Pengusaha
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha merupakan:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorang, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

14
c. Orang perseoranh, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b yang berkedudukan di luar ndonesia.
Berdasarkan pengertian pengusaha tersebut dapat diartikan adalah:
a. Orang perseorangan adalah orang pribadi yang menjalankan atau
mengawasi operasional perusahaan;
b. Persekutuan adalah suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum,
baik yang bertujuan untuk mencari keuntungan maupun tidak;
c. Badan hukum (recht person) adalah suatu badan yang oleh hukum
dianggap sebagai orang, dapat mempunyai harta kekayaan secara
terpisah, mempunyai hak dan kewajiban hukum dan berhubungan
hukum dengan pihak lain.
Pada prinsipnya pengusaha adalah pihak yang menjalankan perusahaan baik
milik sendiri maupun bukam milik sendiri. Secara umum istilah pengusaha
merupakan orang yang melakukan suatu usaha (entrepreneur), yang artinya
pemberi kerja/buruh merupakan majikan yang berarti orang atau badan
yang memperkerjakan pekerja/buruh. Sebagai pemberi kerja pengusaha
merupakan seorang majikan dalam hubungan dengan pekerja/buruh. Pada
kedudukan lain pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya
adalah seorang pekerja/buruh dalam hubungannya dengan pemilik
perusahaan atau pemegang saham karena bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain.

15
BAB III
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

3.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja


PHK adalah penghentian hubungan kerja yang disebabkan oleh keadaan tertentu yang
membuat terhentinnya hak dan kewajiban antara para pekerja dengan pengusaha. Hal tersebut
dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan, habisnya kontrak
kerja, dan lain-lain.
Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa perjanjian kerja
dapat berakhir pada saat:
a. pekerja telah tutup usia;
b. batas waktu perjanjian kerja telah berakhir;
c. kekuatan hukum tetap yang bersumber dari putusan pengadilan atau adanya
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial; dan
d. peristiwa tertentu yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama yang dapat mengakibatkan putusnya hubungan
kerja.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi ketika perjajian kerja telah berakhir. Ketentuan
tersebut juga berlaku bagi salah satu pihak yang mengakhiri perjanjian kerjanya sebelum
batas waktu selesai, maka hubungan kerja yang dimiliki juga berakhir. Pihak yang
mengakhiri hubungan tersebut secara sepihak, hukumnya wajib membayar kerugian kepada
pihak lain sebanyak uang pekerja yang dapat mereka dapatkan hingga batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja karena pekerja telah
melakukan tindakan yang bertentangan dengan perjanjian kerja. Pemutusan hubungan kerja
dilaksanakan oleh perusahaan setelah pekerja diberikan surat peringatan sebanyak 3 (tiga)
kali secara berurutan. Sanksi yang diberikan kepada pekerja sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

3.2 Alasan Pemutusan Hubungan Kerja


Undang-Undang No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan menjelaskan ada
beberapa keadaan yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Berikut ini
adalah peristiwa yang dijadikan alasan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerjanya:
16
a. pekerja melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan
dan perjanjian kerja bersama;
b. perusahaan yang mengalami perubahan kepemilikan akan berakibat pemutusan
hubungan kerja kepada pekerja, apabila dari pihak pekerja tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja;
c. pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja ketika
perusahaan tutup karena kerugian yang dialami oleh perusahaan secara
berkelanjutan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun;
d. pemutusan hubungan kerja dapat terjadi ketika perusahaan perusahan yang tidak
mampu membayar kewajibannya kepada pekerja (perusahaan pailit) sehingga
pihak perusahaan memutus hubungan kerja dengan pekerja karena
ketidakmaampuan tersebut;
e. pekerja mangkir adalah pekerja yang tidak masuk selama 5 (lima) hari berurut-
turut tanpa adanya keterangan yang tertulis sehingga keadaan tersebut
dikualifikasikan sebagai pemutusan hubungan kerja oleh pekerja sendiri atau
mengundurkan diri; dan
f. pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan
pekerja telah melakukan kesalahan berat, contohnya seperti pekerja melakukan
perbuatan asusila dan judi pada saat bekerja, pekerja yang melakukan kejahatan
seperti penipuan, pencurian, penggelapan barang dan atau uang milik perusahaan,
pekerja melakukan perbuatan yang memiliki ancaman pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih di lingkungan kerja, dan lain lain.

3.3 Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja


Pemutusan hubungan kerja secara teoritis dibagi menjadi 4 (empat) macam yaitu
pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, pemutusan hubungan kerja oleh pekerja,
pemutusan hubungan kerja demi hukum, dan pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan.
a. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja ketika
telah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja, seperti:
1) pekerja melakukan kejahatan seperti pencurian dan penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;

17
2) pekerja memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada
sehingga dapat merugikan perusahaan;
3) pekerja melakukan perjudian, tindak asusila, memakai dan/atau
mengedarkan narkoba dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
4) pekerja mengancam, menyerang dan menganiaya teman kerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
5) pekerja melakukan tindakan yang dapat merugikan perusahaan seperti
membocorkan rahasia perusahaan dan merusak barang milik perusahaan;
dan
6) pekerja melakukan tindak pidana di lingkungan perusahaan yang diancam
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja harus didukung dengan adanya
bukti, seperti:
1) kesalahan yang dilakukan oleh pekerja telah tertangkap tangan;
2) pekerja mengakui atas tindak kejahatan apa yang telah dilakukan; dan
3) laporan yang dibuat oleh pihak yang berwenang mengenai tindak kejahatan
yang dilakukan oleh pekerja dan didukung dengan adanya 2 (dua) orang
saksi.
Pasal 160 ayat (4) dan ayat (5) menjelaskan bahwa dugaan tindak pidana yang
dilakukan oleh pekerja akhirnya dinyatakan tidak bersalah selama 6 (enam) bulan
sejak ditahan, maka pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja tersebut.
Sementara itu, pekerja yang terbukti atas tindak pidana sebelum 6 (enam) bulan
sejak dirinya ditahan, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan pemberian uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak.
Dalam hal ini, pekerja belum dianggap terbukti bersalah apabila putusan
pengadilan pidana belum berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pemutusan
hubungan kerja oleh pengusaha harus mendapatkan penetapan terlebih dahulu
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Oleh sebab itu,
pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha tidak bisa dilakukan sesuai dengan
kehendak individu. Pemutusan hubungan kerja harus dilakukan dengan dasar dan
alasan yang kuat.
Pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dapat mendapatkan hanya
berupa uang kompensasi dari pengusaha. Pasal 160 ayat (7) menjelaskan bahwa

18
uang kompensasi yang didapatkan berupa uang penghargaan masa kerja dan uang
pengganti hak. Apabila pengusaha tidak memenuhi hak tersebut, maka pekerja
dapat menuntut untuk pemenuhan haknya.
b. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja
Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja dilakukan dengan mengajukan
permohonan pengunduran diri yang kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial. Pekerja melakukan pengunduran diri bukan tanpa suatu
alasan, beberapa diantaranya disebabkan oleh pengusaha, seperti:
1) pengusaha melakukan penganiayaan baik secara fisik ataupun verbal
kepada pekerja;
2) pengusaha membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk tidak menaati
peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku;
3) pengusaha tidak memenuhi pembayaran upah kepada pekerja lebih dari 3
(tiga) bulan;
4) pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang dijanjikan kepada pekerja
ataupun buruh;
5) pengusaha memberikan perintah kepada pekerja untuk melaksanakan tugas
di luar kewenangan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja; dan
6) pengusaha memberikan tugas yang beresiko kepada pekerja.
Pengunduran diri dilakukan atas keinginan dari pekerja sendiri dengan tidak
meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pekerja yang sudah mengundurkan diri berhak mendapatkan uang pengganti hak
dan uang pisah. Hak tersebut hanya bisa didapatkan bagi pekerja yang proses
pengunduran dirinya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Putusan MK Nomor 69/PUU-XI/2013 menjelaskan bahwa hak pekerja yang
mengundurkan diri atas kemauan sendiri bisa memperoleh uang pengganti hak
sesuai dengan ketentuan Pasal 154 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa pengusaha harus memberikan uang kompensasi secara adil
dan layak dalam hubungan kerja. Pekerja yang mengundurkan diri juga berhak
untuk mendapatkan uang pisah. Pasal 162 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2013 tentang Ketenagakerjaan juga sudah menjelaskan bahwa pekerja yang
mengundurkan diri atas kemauan sendiri selain mendapatkan uang pengganti hak,

19
uang pisah juga diberikan kepada pekerja yang tugas dan fungsinya tidak
mewakili kepentingan pengusaha secara langsung.

c. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum


Pemutusan hubungan kerja demi hukum adalah hubungan kerja yang tanpa
adanya penetapan pemutusan hubungan kerja dari lembaga yang berwenang.
Pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menjelaskan hal-hal yang menyebabkan PHK demi hukum:
Penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) diperlukan
dalam hal:
a. pekerja atau buruh masih dalam masa percobaan kerja, bila mana telah di
persyaratkan tertulis sebelumnya;
b. pekerja atau buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis
atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi tekanan atau intimdasi dari
pengusaha dan berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja;
c. pekerja atau buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam
perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; atau
d. pekerja atau buruh meninggal dunia.
d. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan terjadi karena adanya putusan
pengadilan perdata yang dilatarbelakangi alasan penting dari pihak yang
bersangkutan (orang meminta pemutusan hubungan kerja). Alasan pemutusan
hubungan kerja ini adalah pekerja mengalami perubaan situasi di dalam
lingkungan pekerjaan ataupun di dalam kehidupan pribadiannya dan alasan
tersebut dapat dijadikan dasar bagi pekerja dalam mengajukan gugatan ke
pengadilan. Pasal 1603 KUHPerdata menjelaskan bahwa pekerja memiliki
wewenang untuk mengajukan gugatan secara tertulis pada pengadilan terdekat
dari kediaman pekerja. Pemutusan hubugan kerja oleh pengadilan tidak
memerlukan izin P4D atau P4P. Prosedur tersebut juga berlaku untuk pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan. Apabila
Pengadilan Negeri telah menetapkan putusan, upaya hukum yang dapat ditempuh
adalah kasasi.

20
3.4 Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja
a. Prosedur PHK secara Umum
Pekerja berhak mendapatkan perlindungan hukum pada saat masih menjalin
hubungan kerja sampai dengan pemutusan hubungan kerja terjadi. Tahap pertama
adalah pengusaha, pekerja atau serikat pekerja, dan pemerintah berkewajiban
untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Hal tersebut dilakukan
untuk menjamin keberlangsungan pekerja dalam mencari nafkah dan
menghindarkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi kepada pekerja. Tahap kedua,
pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja melakukan perundingan guna
memperjelas tujuan pemutusan hubungan kerja. Tahap ketiga adalah penetapan.
Jika perundingan berhasil maka dibuatlah perjanjian bersama akan tetapi ketika
perundingan gagal, pengusaha dapat mengajukan permohonan penetapan kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
b. Prosedur PHK oleh Pengusaha
Prosedur pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pengusaha dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu PHK karena kesalahan ringan dan PHK karena kesalahan
berat.
1) PHK karena Kesalahan Ringan
Prosedur pemutusan hubungan kerja harus disesuaikan dengan perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama, seperti:
a) pekerja harus mendapatkan peringatan terlebih dahulu dari
pengusaha, baik peringatan lisan dan peringatan tertulis sebanyak 3
(tiga) kali;
b) pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja secara
langsung ketika pekerja tetap melakukan kesalahan setelah menerima
peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali;
c) pengusaha mengajukan permohonan penetapan PHK kepada
Pengadilan Hubungan Industrial setelah pekerja menyetujuinya; dan
d) jika pemutusan hubungan kerja yang tidak terselesaikan di luar
pengadilan, penyelesaian akan ditindaklanjuti melalui jalur
Pengadilan Hubungan Industrial.
2) PHK karena Kesalahan Berat
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara Nomor
012/PUU-I/2003 atas Hak Uji Materiil Undanng-Undang Nomor 13 Tahun

21
2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945, Pemutusan hubungan kerja atas kesalahan berat dapat
dilaksanakan setelah terbitnya putusan hakim yang bersifat tetap dan
mengikat.

c. Prosedur PHK oleh Pekerja


Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja dibagi menjadi dua yaitu PHK karena
permintaan pengunduran diri dan PHK karena permohonan kepada pengadilan
hubungan industrial. Kedua jenis PHK ini memiliki prosedur yang berbeda.
1) Prosedur PHK karena Permintaan Pengunduran Diri
Pengunduran diri dilaksanakan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan dalam Pasal 162 ayat (3), yaitu:
a) pekerja harus mengajukan permohonan pengunduran diri secara
tertulis dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum dimulainya
tanggal pengunduran diri;
b) pekerja tidak memiliki ikatan dinas; dan
c) pekerja tetap melaksanakan kewajiban seperti biasanya hingga
tanggal dimulainya pengunduran diri.
2) Prosedur PHK karena Permohonan kepada Pengadilan Hubungan Industrial
Pasal 169 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa
pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial. Pemutusan
hubungan kerja ini dilakukan pada saat pengusaha tidak membayarkan upah
tepat waktu kepada pekerja selama 3 (bulan) berturut-turut atau lebih,
menghina, menganiaya, melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, tidak melakukan kewajiban yang telah
dijanjikan kepada pekerja, memberikan pekerjaan yang membahayakan
jiwa, dan memerintahkan pekerja untuk melakukan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan.

3.5 Larangan Pemutusan Hubungan Kerja


Ada beberapa larangan dalam pelaksanaan pemutusan hubungan kerja, diantaranya:

22
a. pekerja yang tidak bisa menjalankan tugasnya karena sedang melaksanakan
kewajibannya kepada negara;
b. pekerja sedang menjalankan ibadah;
c. pekerja yang melangsungkan pernikahan;
d. pekerja memiliki hubungan persaudaraan dengan pekerja lain dalam suatu
perusahaan;
e. pekerja wanita yang sedang mengadung, melahirkan dan dalam masa
memberikan ASI eksklusif kepada anaknya;
f. pekerja tidak memiliki kesamaan dalam aliran politik, agama, golongan dan status
perkawinan; dan
g. pekerja mengalami kondisi cacat tetap, adanya surat keterangan dokter yang
menyatakan bahwa pekerja mengalami keadaan sakit dikarenakan kecelakaan
kerja.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan latar belakang diatas, maka
pemutusan hubungan kerja tersebut batal demi hukum. Akibat hukum lainnya adalah
pengusaha dituntut untuk mengembalikan kedudukan pekerja di perusahaan.

3.6 Hak Pemutusan Hubungan Kerja bagi Pekerja


Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menjelaskan bahwa pengusaha masih memiliki kewajiban kepada pekerja walaupun
pemutusan hubungan kerja telah terjadi. Kewajiban yang harus diberikan oleh pengusaha
terhadap pekerja yang mengundurkan diri adalah uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja.
Pasal 156 mengatur bahwa:
1. Dalam hal pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan dalam membayar
uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.
2. Perhitungan uang pesangon sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) paling
sedikit sebagai berikut:
a. masa keja kurang dari (1) satu tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua)
bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
23
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4
(empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5
(lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6
(enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun 7
(tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8
(delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
3. Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang tetapi kurang dari 9
(sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas)
tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas ) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua
puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua
puluh empat) tahun, 8 (tujuh) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
4. Uang pengganti hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

24
c. penggantian perumahan dan pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15
% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian bersama.
5. Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa
kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Hak lainnya yang bisa di dapatkan oleh pekerja adalah Uang pisah. Hak tersebut
diberikan kepada apekerja yang mengundurkan diri. Syarat ketentuan yang diatur dalam Pasal
162 ayat (2) Undang_undang Ketenagakerjaan.
Pasal 162 ayat (2) yang mengatur bahwa: Bagi para pekerja/buruh mengundurkan diri
atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha
secara langsung, selain menerima uang pengganti hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan bersama dan perjanjian kerja bersama.

25
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tenaga kerja yang telah melakukan kerja baik bekerja membuka usaha untuk diri
sendiri maupun bekerja dalam suatu hubungan kerja atau dibawah perintah seseorang yang
memberi kerja (seperti perseroan, pengusaha maupun badan hukum) serta atas jasanya
bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain ini disebut
pekerjan (bagian dari tenaga kerja).
Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua
subjek hukum mengenai suatu pekerjaan. Menurut Hartono Wisoso dan Judiantoro (1992),
hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur
demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan
perjanjian kerja yang telah disepakati.
Selain itu Husnu dalam Asikin (2014) berpendapat bahwa hubungan kerja ialah
hubungan antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja, yaitu suatu perjanjian
dimana pihak buruh mengikatkan dirinya pada pihak majikan untuk bekerja dengan
mendapatkan upah dan majikan menyatakan kesanggupannya untuk memperkerjakan si
buruh dengan membayar upah.
PHK adalah penghentian hubungan kerja yang disebabkan oleh keadaan tertentu yang
membuat terhentinnya hak dan kewajiban antara para pekerja dengan pengusaha. Hal tersebut
dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan, habisnya kontrak
kerja, dan lain-lain.
Pihak yang mengakhiri hubungan tersebut secara sepihak, hukumnya wajib membayar
kerugian kepada pihak lain sebanyak uang pekerja yang dapat mereka dapatkan hingga batas
waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

26
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/1264/5/108400141_file5.pdf
http://library.uir.ac.id/skripsi/pdf/161022015/bab2.pdf
http://eprints.ums.ac.id/64293/4/BAB%201.pdf
http://repository.uin-suska.ac.id/7102/4/BAB%20III.pdf

27

Anda mungkin juga menyukai