Anda di halaman 1dari 4

Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan pembinaan generasi penerus.

Salah satunya
ditegaskan oleh Allah SWT di dalam Alquran, Surat An-Nisa ayat 9, “Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Menurut Guru Besar Agama Islam IPB Bogor, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS, lemah yang
dimaksudkan dalam ayat di atas menyangkut beberapa hal. “Yang utama adalah jangan sampai kita
meninggalkan generasi penerus yang lemah akidah, ibadah, ilmu, dan ekonominya, Generasi penerus
atau anak di sini, tidak hanya anak biologis, melainkan juga anak didik (murid) dan generasi muda Islam
pada umumnya,” kata Kiai Didin saat mengisi pengajian guru-guru Sekolah Bosowa Bina Insani (SBBI) di
Masjid Al Ikhlas Bosowa Bina Insani, Bogor, Jawa Barat, Jumat (12/7).

Pertama, jangan sampai meninggalkan anak yang lemah akidahnya atau imannya. “Akidah merupakan
sumber kekuatan, kenyamanan dan kebahagiaan dalam hdup. Orang yg lemah akidahnya mudah sekali
terkena virus syirik dan munafik. Hidupnya mudah terombang-ambil, tidak teguh pendirian. Ia pun bisa
gampang menggadaikan iman,” ujar direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, dalam
rilis SBBI yang diterima Republika.co.id, Jumat (12/7).

Hal ini pun dicontohkan oleh Luqmanul Hakim saat mendidik anak-ankanya (lihat QS Luqman). “Yang
pertama ditekankan adalah soal akidah, yakni ‘janganlah engkau mempersekutukan Allah’. Barulah
kemudian Luqman membahas hal-hal yang lain kepada anak-anaknya,” paparnya.

Kedua, jangan sampai meninggalkan anak yang lemah ibadahnya. Orang yang istiqomah dalam
ibadahnya, insya Allah akan bahagia dan punya pegangan dalam hidupnya. Ia tidak mudah
terintenvensi oleh orang lain. “Sebaliknya, orang yang lemah ibadahnya atau menyia-nyiakan ibadah,
maka hidupnya tidak akan bahagia. Ia pun mudah diintervensi orang lain,” tuturnya.

Ketiga, jangan sampai meninggalkan anak yang lemah ilmunya. “Islam sangat menekankan pentingnya
ilmu pengetahuan. Rasulullah menegaskan dalam salah satu hadisnya, ‘Tidak ada kebaikan kecuali pada
dua kelompok, yaitu orang yang mengajarkan ilmu dan orang yang mempelajari ilmu’,” ujarnya.

Kiai Didin menyebutkan, dalam pendidikan ada materi, metode, dan guru. “Metode lebih baik daripada
materi. Guru lebih baik daripada metode. Semangat atau spirit guru lebih baik daripada guru itu sendiri,”
paparnya.

Keempat, jangan meninggalkan generasi yang lemah ekonominya. “Orang tua perlu menyiapkan
generasi yang kuat secara ekonomi, agar hidupnya tidak menjadi beban bagi orang lain,” ujarnya.
Kiai Didin menyebutkan, sebuah hadis yang menceritakan seorang lelaki punya seorang anak
perempuan. Karena sangat bersemangat bersedekah, ia berniat menyedekahkan 100 persen hartanya,
tapi Nabi melarangnya. Lalu, ia berniat menyedekahkan 50 persen hartanya. Hal itu pun masih dilarang.
Akhirnya ketika dia berniat menyedekahkan sepertiga hartanya, barulah Nabi mengizinkan. “Dengan
demikian, orang tua tadi tidak meninggalkan generasi yang lemah secara ekonomi. Hadis ini pun menjadi
dalil dalam pemberian wasiat, yakni harta yang diwasiatkan untuk disedekahkan, maksimal sepertiga
dari total harta warisan,” papar KH Didin Hafidhuddin.

: Damanhuri Zuhri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh ; Ustaz H Hasan Basri Tanjung, MA.

Sahabat Rasulullah Saw, Saad Bin Abi Waqqas yang kaya dan dermawan sedang sakit keras. Ia ingin
mewasiatkan seluruh hartanya bagi kemaslahatan umat. Rasulullah Saw melarangnya. Saad pun berniat
mewasiatkan separohnya. Itu pun tetap dilarang Rasulullah Saw.

Ia mewasiatkan sepertiganya. Rasulullah Saw lalu bersabda : “… dan sepertiga itu pun sudah banyak.
Sesungguhnya, jika engkau tinggalkan pewaris-pewarismu dalam keadaan mampu, lebih baik daripada
mereka dalam keadaan melarat, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia.” (HR. Bukhari
Muslim).

Hadits ini merupakan penjelas atas ayat ke 9 Surat an-Nisa. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-
orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka.”(QS.4:9.

Akhir-akhir ini, kita tersentak dengan berita seorang anak berusia 11 tahun di Jakarta meninggal dunia
karena mengalami kekerasan seksual. Diketahui kemudian, ternyata yang melakukannya adalah ayah
kandungnya sendiri.

Begitu pula seorang anak ingusan berusia empat tahun di Menes Pandeglang diculik dan diperkosa.
Seorang siswa SMA di Jakarta, mengalami pecehan seksual dari Wakil Kepala Sekolah. Lalu, seorang
Guru SLB di Garut mencabuli muridnya.
Ada pula buku paket yang beredar kepada murid SD berisi gambar dan cerita porno. Peredaran narkoba
yang semakin merajalela, termasuk kepada murid-murid SD. Situs porno begitu mudah diakses oleh
anak-anak yang lepas dari pengawasan orang tuannya.

Tawuran pelajar dan mahasiswa telah menewaskan puluhan orang sia-sia. Perilaku seks dan pergaulan
bebas di kalangan anak SD dan remaja telah merambah dari kota ke desa seakan menjadi trend dan
gaya.

Pemerkosaan terjadi di mana-mana yang merenggut kesucian dan masa depan, anak putus sekolah
semakin tinggi, kemiskinan dan kelaparan (kekurangan gizi) menjadi pemandangan yang nyata. Masya
Allah !

Pilu dan miris hati kita menyaksikannya. Kini, semakin nyata upaya sistematis dan massif untuk
menghancurkan satu generasi penerus dakwah dan agama.

Siapa yang paling bertanggung jawab? Orang tua adalah pilar dan penanggung jawab utama pendidikan
anak. Keluarga adalah al-Madrasah al-Uula (sekolah pertama dan utama). Orang tua khususnya Ibu
adalah Guru Utama dalam mendidik anak dalam keluarga.

Keluargalah yang akan melahirkan generasi dzurriyatan dhia’fan (anak cucu yang lemah) atau
sebaliknya, dzurriyatan thoyyibatan (anak cucu yang berkualitas). Untuk itu, orang tua harus bekerja
keras menyiapkan jalan penghidupan yang layak.

Artinya, meninggalkan anak keturunan yang berada, bukan yang papa. “Orang mukmin yang kuat lebih
dicintai Allah dari mukmin yang lemah”. Demikian Hadits Nabi Saw. Tapi, apakah warisan harta saja
sudah cukup? Tentu saja tidak.
Kecukupan ekonomi hanyalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), tapi belum bisa
menyelamatkan dari keburukan dan kekesengsaraan (QS. 66:6). Warisan yang lebih utama adalah iman
(akidah yang kuat), ilmu pengetahuan, ketaatan beribadah dan akhlak karimah.

Jika demikian, jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah, yakni lemah ekonomi, iman
(akidah), ilmu pengetahuan dan akhlak mulia. Namun, orang tua wajib mendidik anak-anaknya lebih
dahulu dengan akidah yang kuat sejak dini, ketaatan dalam ibadah dan keutamaan dalam akhlak mulia.
(QS. 31:13-19).

Insya Allah akan lahir dzurriyan toyyibatan, yakni an-naslu al-mubaarok (keturunan yang berkah) seperti
harapan Nabi Zakariya as. (QS.3:38).

Pribadi tangguh yang digambarkan Allah SWT laksana sebuah pohon yang baik (syajarotun toyyibah).
Yakni, akarnya menghujam ke perut bumi (akidah), batang dahannya menjulang ke langit (ibadah yang
benar) dan berbuah di setiap musim (akhlak karimah).

Keluarga yang berkualitas (khaira usrah) akan melahirkan pribadi yang berkualitas pula (khairul
bariyyah). Insya Allah, Amin.

Anda mungkin juga menyukai