Anda di halaman 1dari 21

SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Objek formal

TERHADAP UPAYA PREVENTIF KEKERASAN SEKSUAL

Objek material

PADA ANAK DI INDONESIA

Ema Mar’ati Sholecha, Email: emamarati@gmail.com

Ahmat Saiful, Email: assaif654@gmail.com

ABSTRAK

Fenomena penting, alasan penulis tertarik. Cont : telah terjadi perbedaan


(kontroversi)/anatomi/konflik

Tujuan

Metode

Kesimpulan

150 – 200 kata

Tujuan dari penelitian ini terfokus pada sinkronisasi hierarki Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada tingginbya angka kasus kekerasan
seksual anak ( KSA) yang terjadi di Indonesia. Metode penelitian pada artikel ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conseptual approach). Hasil yang diperoleh dari pembahasan yaitu terdapat
beberapa poin. Dalam sinkronisasi vertikal dapat dilihat bahwa antara hierarki peraturan
perundang undangan tertinggi hingga terendah terdapat sinkronisasi. Namun dalam
sinkronisasi horizontal terdapat beberapa aspek yang kurang sinkron, yaitu aspek pidana
dan pendamping hukum yang bisa dikatakan tumpang tindih antara satu dengan lainnya.
Dari munculnya problematika tersebut, poin kedua berfokus pada penyelesaian dan
solusi dari pembahasan pertama serta upaya- upaya Preventif yang harus dilakukan.
Upaya lainnya bisa dengan edukatif, kuratif, dan rehabilitatif. Selain itu peran
orang tua, aparat, lembaga pendampingan anak sangat dibutuhkan dalam
mengatasi problematika kekerasan seksual anak (KSA) di Indonesia. Dibutuhkan
juga keterlibatan pemerintah dalam mengkampanyekan gerakan anti kekerasan
seksual pada anak dan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang
sanksi pidananya benar-benar membuat jera pada pelaku kekerasan seksual anak
(KSA).

Keywords: Sinkronisasi, Peraturan Perundang- Undangan, Upaya Preventif,


Kekerasan Seksual Anak

PENDAHULUAN

Tidak boleh ada yang ama dalam penulisan di abstrak

penomena

tidak boleh lebih 580 kata

Kekerasan seksual dapat diartikan sebagai kejahatan yang merenggut hak asasi
manusia dan melanggar hak kesusilaan Sejauh ini sudah banyak kebijakan peraturan
perlindungan tentang kekeraan seksual pada anak (KSA). Kekerasan seksual dapat
terjadi karena berbagai macam bentuk modus dan iming-iming yang merujuk pada
ancaman kepada korban. Dari data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
sebanyak 182 kasus pada tahun 2018, korban kekerasan seksual menjadi 190 kasus
terhitung pada tahun 2019. Kekerasan seksual per Desember 2020 tercatat sebanyak 419
kasus. Dan dapat diketahui bahwa jumlah kasus kekerasan seksual mengalami
peningkatan yang terhitung sejak 2019 menjadi 237 kasus. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) mencatat jumlah kasus pelanggaran hak anak selama 2021
mencapai 5.953 kasus, 859 kasus di antaranya merupakan kekerasan. Kasus
kekrasan seksual pada anak juga terjadi di berbagai pro vinsi yang ada di Indonesia.
Data dari Kompas.com, wilayah dengan kekerasan angka kekerasan anak tertinggi di
Indonesia, dimana Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan 562 korban anak,
di susul Jawa Tengah dengan 488 korban anak, Sulawesi Selatan dengan 398 korban,
DKI Jakarta dengan 369 korban, kemudian Jawa Barat dengan 359 korban.
(Catatan Hari Anak Nasional, Ada 5.463 Anak Alami Kekerasan Pada 2021
Halaman 2 - Kompas.Com, n.d.) Banyaknya kasus yan terjadi pun sudah
seharusnya menjadi peran serius Pemerintah dan sem ua pihak dalam mengatasi
permasalahan KSA yang angkanya terus naik. Dari peningkatan kasus tersebut dapat
dilihat bahwa kurangnya perhatian dari beberapa pihak dalam upaya menekan angka
KSA yang terjadi.
Kekerasan seksual menjadi momok menakutkan pada anak. Kekerasan seksual
anak (KSA) merupakan keterkaitan anak ke dalam kegiatan seksual yang dimana anak
tersebut belum mencapai cukup umur yang telah ditentukan oleh hukum negara, yang
mana orang dewasa justru memanfaatkannya untuk kesenangan seksual. KSA
(Kekerasan seksual anak) dapat diketahui dengan melibatkan, membujuk, atau memaksa
anak untuk berperilaku dalam ranah seksual yang tidak pantas, termasuk sudah terjadi
atau masih dalam bentuk usaha tindakan seksual dengan adanya interaksi seksual tidak
bersentuhan langsung dengan seorang anak oleh orang dewasa. Kekerasan seksual ini
diketahui dilakukan oleh orang terdekatnya dan tidak sedikitnya adalah orang yang
mendominasi atas korban seperti orang tua dan guru. Terjadinya kekerasan seksual pada
anak dapat disebabkan oleh adanya faktor rendahnya pendidikan dan ekonomi, faktor
lingkungan atau tempat tinggal, faktor minuman keras, faktor emosi yang ada dalam diri
pelaku, faktor pergaulan yang semakin bebas serta tingkat kontrol masyarakat yang
masih rendah.(Darmini, 2021)

Dampak yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual pada anak yaitu merasa
rendah diri, menimbulkan rasa trauma yang hebat, ada kebencian terhadap laki-laki,
merasa tidak aman, depresi, kecemasan, perilaku seksual yang tidak pantas, kehilangan
kemampuan bersosialisasi, gangguan kognitif, masalah citra tubuh, dan
penyalahwgunaan zat. Anak adalah sebuah asset bangsa dan negara untuk menjadi
generasi penerus. Ada kesamaan untuk memiliki hak asasi selayaknya manusia pada
umumnya.(Farida Kustanty, 2018) Berbagai peraturan pun telah dikeluarkan pemerintah
dalam mengatasi problematika tentang Kekerasan Seksual Anak(KSA). Namun dengan
bergonta-gantiya peraturan yang ada menjadikan tanda tanya di kalangan masyarakat
tentang apakah keberadaan Peraturan Perundang-undang sinkron dengan undang-
undang sebelumnya dan bagaimana upaya preventif dalam mengatasi problematika
tersebut?

Penelitian tentang sinkronisasi peraturan perundang undangan untuk upaya


preventif kekerasan seksual pada anak jarang ditemukan. Penelitian sebelumnya lebih
fokus pada upaya untuk mencegah kekerasan seksual pada anak. Sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui upaya dalam mencegah kekerasan seksual pada anak
dengan sinkronisasi daripada dibuatnya beberapa peraturan perundang undangan untuk
mencegah kekerasan seksual pada anak.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah yuridis-normatif yakni
menjelaskan secara deskriptif terkait permasalahan yang ada dengan mengaitkan aturan
perundang-undangan tentang perlindungan pada anak terhadap kekerasan seksual dan
kemudian dianalisis kedalam sinkronisasi peraturan perundang undangan sebagai upaya
preventif kekerasan seksual pada anak yang bersumber baik primer maupun sekunder.
Bahan-bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang Perlindungan Anak. Bahan-bahan sekunder meliputi jurnal-jurnal serta karya-
karya ilmiah yang menyinggung keberadaan peraturan perundang-undangan dalam
upaya preventif pada kekerasan seksual anak. Pendekatan penelitian yang digunakan
dalam artikel ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan
pendekatan konseptual (conseptual approach). Peneliti mengumpulkan bahan-bahan
hukum dengan cara membaca, mempelajari, serta memahami serta menganalisis baik itu
dari jurnal maupun literatur ataupun dari internet yang sesuai dengan topik pembahasan,
kemudian dilanjutkan dengan pengambilan atau pengutipan bagian dari hal yang
sekiranya penting.

Pada tahap analisis data, penulis ingin menggunakan metode analisis suatu kasus
dan sebisa mungkin mengaitkan kelebihan dan kelemahan yang belum dikaji secara
mendalam di masyarakat. Sesudah menganalisis data, artikel ini akan merujuk pada
perumusan masalah, tujuan, dan diskusi. Teknik analisis data yang digunakan dengan
cara menganalisis data penelitian yang diperoleh. Penelitan ini bersifat kualitatif, oleh
karenanya dengan analisis teknik deskriptif dimungkinkan memberikan gambaran
secara luas dan umum terkait sinkronisasi peraturan perundang undangan sebagai upaya
preventif dalam kekerasan seksual pada anak. Setelah mengumpulkan informasi,
kemudian menggunakan metode induksi, yaitu dari umum ke khusus, menuangkan dan
menganalisis hasil penelitian dalam bentuk tabel data dan deskripsi, sehingga dapat
menarik hasil dan menarik kesimpulan.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A.SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP


PERLINDUNGAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK(KSA)

Berlakunya suatu kebijakan peraturan yang dikeluarkan pemerintah harus


sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
sebagaimana Pasal 7 Undang-Undang No 12 tahun 2011 tentang Peraturan Per-
undangan undangan.(UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12
TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN, 2011) Yang mana harus merujuk pada peraturan yang lebih tinggi
diatasnya, dalam konteks ini adalah UUD 1945. Dalam peraturan yang mengatur
tentang kebijakan perlindungan anak juga merujuk pada aturan yang lebih tinggi
sebagai landasan konstitusional. Seiring berkembangnya kasus kekerasan pada anak
yang semakin kompleks terjadi, maka perlu adanya revisi atau perbaikan dalam
undang-undang yang telah disahkan. Namun dibutuhkan sinkronisasi dalam hal
perbaikan peraturan perundang-undangan tersebut. Terdapat dua pembagian dalam
sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan. Pertama sinkronisasi Vertikal adalah
sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang tertentu
yang sama tetapi derajatnya berbeda. Kedua sinkronisasi horizontal adalah
sinkronisasi terhadap peraturan perundang-undangan lain dalam hierarki yang sama.
Berikut dibawah ini tabel sinkronisasi vertikal dan horizontal terhadap kekerasan
seksual anak;
1. Tabel Sinkronisasi Vertikal Peraturan Perundang-undangan Terhadap Perlindungan Kekerasan Seksual Anak

Sinkroni Perppu/Undang- Peraturan Peraturan Peraturan Menteri Peraturan Daerah


Undang-
sasi Undang No. 35 Tahun Pemerintah No. 78 Presiden No.65 No. 13 Tahun Provinsi No. 2
Undang 1945
Vertikal 2014 Tahun 2021 Tahun 2020 2020 Tahun 2014

Definisi Setiap  orang  Pasal 1 ayat Anak Korban Kekerasan adalah Pelindungan Kekerasan Terhadap
Perlindu berhak  untuk  15a.Kekerasan adalah Kejahatan Seksual setiap perbuatan Anak adalah Anak adalah setiap
ngan hidup  setiap perbuatan adalah Anak yang terhadap Anak segala kegiatan perbuatan terhadap
KSA serta berhak m terhadap Anak yang mengalami yang berakibat untuk menjamin anak yang berakibat
empertahankan  berakibat timbulnya pemaksaan timbulnya dan melindungi timbulnya
hidup  kesengsaraan atau hubungan seksual, kesengsaraan atau anak dan haknya kesengsaraan atau
dan kehidupan penderitaan secara pemaksaan penderitaan agar dapat hidup, penderitaan secara
nya fisik, psikis, seksual, hubungan seksual secara fisik, tumbuh, fisik, mental,
dan/atau penelantaran, dengan cara tidak psikis, seksual, berkembang, dan seksual, psikologi,
termasuk ancaman wajar dan/atau tidak dan/atau berpartisipasi termasuk
untuk melakukan disukai, dan penelantaran, secara optimal penelantaran dan
perbuatan, pemaksaan, pemaksaan termasuk sesuai dengan perlakuan buruk
atau perampasan hubungan seksual ancaman untuk harkat dan yang mengancam
kemerdekaan secara dengan orang lain melakukan martabat integritas tubuh dan
melawan hukum. untuk tujuan perbuatan, kemanusiaan, merendahkan
martabat anak yang
dilakukan oleh
pihak-pihak yang
seharusnya
pemaksaan, atau bertanggungjawab
serta mendapat
perampasan atas anak tersebut
komersial dan/atau pelindungan dari
kemerdekaan atau mereka yang
tujuan tertentu. kekerasan dan
secara melawan memiliki kuasa atas
diskriminasi.
hukum. anak tersebut, yang
seharusnya dapat
dipercaya dan/atau
masyarakat pada
umumnya.

Batas 1.Usia: Anak adalah 1.Usia:Anak adalah 1.Usia: Anak 1.Usia:Anak 1.Usia: Anak adalah
Usia/Uns seseorang yang belum seseorang yang adalah seseorang adalah seseorang seseorang yang
ur-Unsur berusia 18 (delapan belum berusia 18 yang belum yang belum belum berusia 18
belas) tahun, termasuk (delapan belas) berusia 18 berusia 18 (delapan belas)
anak yang masih tahun, termasuk (delapan belas) (delapan belas) tahun, termasuk anak
dalam kandungan. Anak yang masih tahun, termasuk tahun, termasuk yang masih dalam
anak yang masih anak yang masih
dalam kandungan dalam kandung dalam kandungan. kandungan.
an.

Aspek Larangan: Pasal 76 Diatur dalam Diatur dalam Diatur dalam Diatur dalam
Pidana D Setiap Orang peraturan perudang- peraturan peraturan peraturan perudang-
dilarang melakukan undangan diatasnya perudang- perudang- undangan diatasnya
Kekerasan atau yaitu Undang- undangan undangan yaitu Undang-
ancaman Kekerasan Undang No. 35 diatasnya yaitu diatasnya yaitu Undang No. 35
memaksa Anak Tahun 2014 Undang-Undang Undang-Undang Tahun 2014
melakukan No. 35 Tahun No. 35 Tahun
persetubuhan 2014 2014
dengannya atau
dengan orang lain.
Ketentuan Pidana :
Pasal 81: (1) Setiap
orang yang
melangggar ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
76D dipidana dengan
pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan
denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) berlaku pula bagi
Setiap Orang yang
dengan sengaja
melakukan tipu
muslihat, serangkaian
kebohongan, atau
membujuk Anak
melakukan
persetubuhan
dengannya atau
dengan orang lain. (3)
Dalam hal tindak
pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh
Orang Tua, Wali,
pengasuh Anak,
pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka
pidananya ditambah
1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1).

Tujuan Setiap  Setiap anak berhak Untuk melaksanakan Untuk Untuk Untuk melaksanakan
anak berhak atas kelangsungan ketentuan Pasal 7lC melaksanakan melaksanakan ketentuan Undang-
atas  hidup, tumbuh dan Undang-Undang ketentuan ketentuan Undang Nomor 35
kelangsungan  berkembang serta Nomor 35 Tahun Undang-Undang Undang-Undang Tahun 2Ol4 tentang
hidup,  berhak atas 2Ol4 tentang Nomor 35 Tahun Nomor 35 Tahun Perubahan atas
tumbuh, dan b perlindungan dari Perubahan atas 2Ol4 tentang 2Ol4 tentang Undang-Undang
kekerasan dan Nomor 23 Tahun
erkembang  diskriminasi Perubahan atas 2OO2 tentang
Perubahan atas U
serta berhak at sebagaimana Undang-Undang Undang-Undang Perlindungan Anak,
U No. 23 Tahun
as perlindunga diamanatkan dalam Nomor 23 Tahun Nomor 23 Tahun
2OO2 tentang
n dari kekerasa Undang-Undang 2OO2 tentang 2OO2 tentang
Perlindungan
n dan diskrimi Dasar Negara Perlindungan Anak. Perlindungan
Anak,
nasi Republik Indonesia Anak,
Tahun 1945

Penjabaran tabel diatas merupakan sinkronisasi vertikal yang disesuaikan dengan hierarki peraturan perundang-undangan
tertinggi sampai terendah. Dari beberapa penjelasan pada poin diatas terdapat sinkronisasi, dimana peraturan dari yang tertinggi
sampai yang terendang saling melengkapi.
2. Tabel Sinkronisasi Horizontal Peraturan Perundang-undangan Perlindungan Kekerasan Seksual Anak
Sinkronisas UU NO.11 Tahun 2012 UU NO. 39
UU NO. 35 Tahun 2014 tentang UU NO.23 Tahun 2004
i tentang Sistem Peradilan Tahun 1999 tentang
Perlindungan Anak tentang PKDRT
Horizontal Pidana Anak Hak Asasi Manusia
Definisi Perlindungan Anak adalah segala Perlindungan adalah segala Anak yang menjadi Setiap anak berhak
Perlindung kegiatan untuk menjamin dan upaya yang ditujukan untuk korban Tindak Pidana Untuk mendapatkan
an KSA melindungi Anak dan hak- memberikan rasa aman yang selanjutya disebut Perlindungan hukum
haknya agar dapat hidup, kepada korban yang anak korban adalah anak Dari segala bentuk
tumbuh, berkembang, dan dilakukan oleh pihak yang belum berumur 18
berpartisipasi secara optimal keluarga, advokat, lembaga tahun yang mengalami Kekerasan fisik atau
sesuai dengan harkat dan sosial, kepolisian, penderitaan fisik, Mental,
martabat kemanusiaan, serta kejaksaan, pengadilan, atau mental, dan/atau Penelantaran,
mendapat perlindungan dari pihak lainnya baik kerugian ekonomi Perlakuan buruk,
kekerasan dan diskriminasi. sementara maupun disebabkan oleh tindak dan pelecehan
berdasarkan penetapan pidana seksual selama
pengadilan. dalam pengasuhan
orang tua atau
walinya, atau
pihak lain maupun
yang bertanggung
jawab atas
pengasuhan
anak tersebut
Batas 1.Usia:Anak adalah seseorang 1.Usia: Lingkup Rumah 1.Usia: Anak yang 1.Usia :Anak adalah setiap
Usia/Unsur yang belum berusia 18 (delapan tangga Undang-undang ini belum berusia 18 manusia yang berusia di bawah
-Unsur belas) tahun, termasuk anak yang meliputi; a. Suami, Istri tahun(UNDANG- 18 (delapan belas) tahun dan
masih dalam kandungan. dan Anak. UNDANG REPUBLIK belum menikah, termasuk anak
(UNDANG-UNDANG INDONESIA NOMOR yang masih dalam kandungan
REPUBLIK INDONESIA 11 TAHUN 2012 apabila hal tersebut adalah
TENTANG SISTEM demi
NOMOR 35 TAHUN 2014
PERADILAN PIDANA kepentingannya(UNDANG-
TENTANG PERUBAHAN
ANAK, 2012) UNDANG REPUBLIK
ATAS UNDANG-UNDANG
INDONESIA NOMOR 39
NOMOR 23 TAHUN 2002
TAHUN 1999 TENTANG HAK
TENTANG PERLINDUNGAN
ASASI MANUSIA, 1999)
ANAK, 2014)

Aspek Larangan: Pasal 76 D Setiap Pasal 8 Kekerasan seksual Pasal 89 Anak Korban Pasal 58 ayat 2
Pidana Orang dilarang melakukan sebagaimana dimaksud dan/atau Anak Saksi Dalam hal orang tua, wali, atau
Kekerasan atau ancaman Kekerasan dalam Pasal 5 huruf c berhak atas semua pengasuh anak melakukan
memaksa Anak melakukan meliputi : a. pemaksaan perlindungan dan hak segala bentuk penganiayaan
persetubuhan dengannya atau hubungan seksual yang yang diatur dalam fisik atau mental, penelantaran,
dengan orang lain. dilakukan terhadap orang peraturan perundang- perlakuan bentuk, dan
Ketentuan Pidana : yang menetap dalam undangan pelecehan seksual termasuk
lingkup rumah tangga pemerkosaan, dan atau
Pasal 81: (1) Setiap orang yang
tersebut; pembunuhan terhadap anak
melangggar ketentuan sebagaimana
Ketentuan Pidana: yang seharusnya dilindungi,
dimaksud dalam Pasal 76D
Pasal 46; Setiap orang yang maka harus dikenakan
dipidana dengan pidana penjara
melakukan perbuatan pemberatan hukuman.
paling singkat 5 (lima) tahun dan
kekerasan seksual Pasal 66 ayat 2
paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Hukuman mati atau hukuman
sebagaimana dimaksud
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar seumur hidup tidak dapat
dalam Pasal 8 huruf a
rupiah). (2) Ketentuan pidana dijatuhkan untuk pelaku tindak
dipidana dengan pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat pidana yang masih anak
penjara paling lama 12
(1) berlaku pula bagi Setiap Orang
(dua belas) tahun atau
yang dengan sengaja melakukan Pasal 66 ayat 4
denda paling banyak Rp
tipu muslihat, serangkaian Penangkapan, penahanaan, atau
36.000.000,00 (tiga puluh
kebohongan, atau membujuk Anak pidana penjara anak hanya
enam juta
melakukan persetubuhan boleh dilakukan sesuai dengan
rupiah).Pasal47 ;Setiap
dengannya atau dengan orang lain. hukum yang berlaku dan hanya
orang yang memaksa orang
(3) Dalam hal tindak pidana dapat dilaksanakan sebagai
yang menetap dalam rumah
sebagaimana dimaksud pada ayat upaya akhir.
tangganya melakukan
(1) dilakukan oleh Orang Tua,
hubungan seksual
Wali, pengasuh Anak, pendidik,
sebagaimana dimaksud
atau tenaga kependidikan, maka
dalam Pasal 8 huruf b
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dipidana dengan pidana
dari ancaman pidana sebagaimana
penjara paling singkat 4
dimaksud pada ayat (1).
(empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau
denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) atau denda
paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Tujuan Setiap anak berhak atas Mencegah segala bentuk Memberikan Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan kekerasan dalam rumah perlindungan pada anak perlindungan oleh orang tua,
berkembang serta berhak atas tangga, khususnya pada yang berhadapan dengan keluarga, masyarakat, dan
perlindungan dari kekerasan dan anak hukum negara yang telah tercermin
diskriminasi sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945
diamanatkan dalam UUD 1945

Penjabaran tabel diatas merupakan sinkronisasi horizontal perdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang sejenis tentang
KSA di Indonesia. Dari beberapa penjelasan pada poin diatas terdapat sinkronisasi, dimana peraturan dari hierarki yang sama.
Dimana dalam penjelasan diatas terdapat ketidaksinkronan antara UU satu dengan lainnya dalam aspek pidana dan pendamping
hukum maupun pembinaan pasca terjadi tindak kekerasan bagi anak yang menjadi korban KSA.
B. SOLUSI DAN UPAYA PREVENTIF TERHADAP SINKRONISASI
PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN KEKERASAN SEKSUAL ANAK
a.Problematika yang Muncul terhadap Sinkronisasi
Dari segi sinkronisasi vertikal tidak terdapat miss sinkronisasi. Karena antara
Peraturan dari yang tertinggi sampe yang terendah memiliki sinkronisasi dalam
beberapa aspek diatas. Namun dalam sinkronisasi horizontal terdapat permasalahan Hal
tersebut bisa dilihat pada:
1.Aspek Pidana
a. Undang-undang no. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang memberikan
sanksi 15 tahun penjara dan 5 miliar denda pada pelaku KSA.
b. Undang-undang PKDRT no.23 Tahun 2004 sanksi bagi pelaku KSA hanya 12
tahun penjara dan denda tiga ratus juta.
c. Undang-undang NO. 39Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada pasal
66 ayat 2 dapat dikenakan hukuman mati atau seumur hidup bagi pelaku KSA, kecuali
anak-anak(dibawah umur)

b.Upaya dan Solusi dalam Mengatasi Kekerasan Seksual Anak

Dengan mengetahui permasalahan diatas, maka selanjutnya dibutuhkan


beberapa upaya(tindakan) dan solusi yang dapat dilakukan diantaranya adalah :

1.Orang Tua dan Masyarakat

Orang tua, masyarakat dan Pemerintah harus berperan serta dalam


melindungi hak-hak anak; Prinsip kepentingan terbaik anak, bahwa kepentingan
terbaik anak harus dipandang sebagai ‘paramount importance’ atau prioritas
utama; Prinsip Ancangan Daur Kehidupan (life circle approach, harus terbentuk
pemahaman bahwa perlindungan terhadap anak harus dimulai sejak dini dan
berkelanjutan; Lintas Sektora, bahwa nasib anak sangat bergantung pada berbagai
faktor makro dan mikro, baik langsung maupun tidak langsung.
2.Lembaga Perlindungan Anak

Peranan lembaga perlindungan hukum atau lembaga advokasi, secara


umum dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu pertama, kebijakan perlindungan
anak, artinya dalam mendampingi korban kekerasan seksual, mendorong
pemerintah daerah untuk mengembangkan peraturan-peraturan daerah untuk
mewujudkan pemenuhan hak-hak terhadap anak. Kedua, Pendampingan Anak
diberikan: a) Pendampingan langsung dan perlindungan tidak lansung terhadap
anak yang sedang berhadapan dan terlibat dalam hukum, b) Memberikan
konseling serta pelayanan kesehatan bagi anak dan perempuan yang menjadi
korban kekerasan. Pendampingan merupakan sebagai suatu strategi yang umum
digunakan oleh pemerintah, pengacara, dan lembaga swadaya masyarakat dalam
menyelesaikan suatu perkara yang sedang dihadapi oleh anggota masyarakat.

Pendampingan yang dilakukan terhadap korban kekerasan seksual


didasarkan oleh Peraturan Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2011 BAB IV mengenai
Mekanisme Upaya Penanganan Anak Korban Kekerasan. Pendampingan oleh
lembaga perlindungan hukum atau lembaga advokasi adalah pendampingan
litigasi atau perlindungan hukum yaitu:

1) Berdasarkan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 17


ayat 2 yang menyatakan bahwa Setiap Anak yang menjadi korban atau pelaku
kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Sehingga anak korban kekerasan seksual yang terjaring razia dapat
terlindungi dari publikasi identitasnya.

2) Berdasarkan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


diatur bahwa setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. Pendampingan
secara Non-Litigasi yang diberikan yaitu :
1) Perlindungan fisik, yaitu dengan merujukan korban ke Unit Pelayanan
Terpadu Penanganan Korban Tindak Kekerasan (UPT PKTK) RSUAM,
kemudian,

2) Menempatkan anak ketempat rumah aman, ini merupakan bentuk


kerjasama antara lembaga advokasi dengan Dinas Sosial. Rumah aman
penggunannya didisesuaikan dengan kebutuhan korban. Apabila korban
dianggap tidak aman untuk tetap dilingkungannya, maka korban dirujuk
ke rumah aman.

3) Perlindungan Psikis, yaitu berupa pemberian konseling psikologis


dan sosiologis, terapi psikologis dilakukan untuk meminimalisir
gangguan psikologis yang muncul akibat kekerasan yang dialami anak
ketika menjalankan profesinya, sedangkan terapi sosiologis bertujuan
untuk membantu anak menghilangan rasa malu terhadap stigma negatif
yang didapatnya dari lingkungan.

Setelah dilakukan kegiatan konseling, proses selajutnya yang dilakukan


yaitu pembinaan. Pembinaan yang dilakukan yaitu berupa layanan pendidikan,
hal ini dilakukan karena meski banyak di antara anak anak korban kekerasan
seksual yang menyatakan rasa frustrasi dan keterbelakangan mental dengan
keadaan mereka saat ini, akan tetapi mereka tetap memiliki harapan terhadap
perubahan diri dan situasi yang melingkupi mereka. Jika mereka memperoleh
keterampilan hidup, peluang untuk meninggalkan profesi saat ini sangat
mungkin,layanan pendidikan yang diberikan terhadap anak-anak korban
kekerasan seksual, layanan pendidikan disesuaikan dengan minat anak, apabila
anak korban kekerasan seksual ingin melanjutkan pendidikannya maka kegiatan
yang difasilitasi oleh lembaga advokasi yaitu berupa Bridging Course yang
merupakan kegiatan untuk mempersiapkan anak mengikuti jenjang
pendidikannya. Apabila anak korban kekerasan seksual tidak ingin melanjutkan
pendidikannya maka lembaga advokasi memberikan pilihan sejumlah pelatihan
keterampilan. Proses terakhir yang diberikan kepada korban kekerasan seksual
yaitu eintegrasi anak ke keluarga dan lingkungan. Reintegrasi anak ke keluarga
yang tidak mengetahui bahwa anaknya menjadi korban kekerasan seksual
dilakukan yaitu dengan memberikan penguatan kepada keluarga dalam hal fungsi
pengawasan terhadap anak dan juga penguatan terhadap tanggung jawab keluarga
terhadap anak. Hal berbeda dilakukan apabila anak merupakan korban orang tua
sendiri, pendampingan yang dilakukan yaitu dengan mencarikan alternatif bagi
anak untuk mendapatkan institusi yang dapat dijadikan tempat tinggal yang tetap
bagi anak.(Lubis, 2017)

3. Pemerintah

Langkah pemerintah dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap


anak yakni dengan menerapkan sanksi yang lebih keras kepada pelaku sebaiknya
diikuti dengan beberapa langkah strategis lainnya. Di bidang pencegahan,
pemerintah bisa secara aktif melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat. Pemerintah juga dapat menerapkan pendidikan pengenalan organ
tubuh kepada anak di usia dini agar mereka tahu organ tubuhnya yang boleh/tidak
boleh dilihat atau disentuh orang lain dan cara terhindar dari kekerasan seksual.
Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika serta kepolisian dapat
secara aktif melakukan patroli siber dan penindakan terhadap konten-konten
pornografi di dunia maya. Dalam konteks penindakan, ada baiknya pemerintah
dan Dewan Perwakilan Rakyat membuat regulasi yang mewajibkan pemberi
layanan kesehatan memberikan informasi kepada polisi atas dugaan kekerasan
terhadap anak. Pemerintah juga perlu memperkuat efek jera kepada terpidana
kekerasan seksual terhadap anak dengan tidak memberikan hak-hak narapidana,
seperti remisi, pembebasan bersyarat, dan grasi. Ini dengan pertimbangan bahwa
pelaku memiliki potensi mengulangi kembali perbuatannya di kemudian hari.
(Budiardjo, 2009)

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa banyaknya kasus


kekerasan seksual pada anak disebabkan adanya hierarki Undang-Undang yang
tumpang tindih dalam sinkronisasi horizontal . Hal tersebut bisa dilihat dari
aspek pidana antara satu yang lain tidak sinkron. Dan juga penegakan hukum
oleh aparat yang terkesan lama dalam menangani kasus KSA. Selain itu,
pendampingan hukum terhadap anak korban kekerasan pun bisa di bilang kurang
begitu di perhatikan. Tentu hal tersebut di sebabkan oleh beberapa faktor mulai
dari kurangnya pengawas orang tua, masyarakat yang terkesan bersikap cuek
dengan kasus KSA, sampai pada penegakan hukum yang kurang maksimal yang
dilakukan oleh aparat hukum di Indonesia. Hal ini tentu membutuhkan upaya
dalam menyelesaikan kasus KSA yang semakin meningkat di Indonesia. Oleh
karena itu di butuhkan peran pemerintah dalam menegaskan kebijakan yang
dikeluarkan, guna dapat dijadikan payung hukum bagi korban KSA dan
pemberian hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku. Selain itu peran
masyarakat, orang tua dan keluarga dibutuhkan dalam pencegahan KSA. Serta
lembaga masyarakat atau perlindungan anak juga di butuhkan dalam
pendampingan korban KSA.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, M. (2009). DASAR-DASAR ILMU POLITIK (Cetakan Pe). Gramedia


Pustaka Utama.

Catatan Hari Anak Nasional, Ada 5.463 Anak Alami Kekerasan pada 2021 Halaman 2 -
Kompas.com. (n.d.). Retrieved February 27, 2022, from
https://www.kompas.com/tren/read/2021/07/23/204500965/catatan-hari-anak-
nasional-ada-5.463-anak-alami-kekerasan-pada-2021?
amp=1&page=2&jxconn=1*1nu2ync*other_jxampid*T0p0T01ibUgtcEgyWWNJ
QWV6RHN2N1Qtc2Q5aTZCcHpGVms2YjVnNVQ4blJBeC03WU41MllIb3hWZ
VNrNU9oWQ

Darmini. (2021). Peran pemerintah dalam pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.
QAWWAM: JOURNAL FOR GENDER MAINSTREAMING, 15(1), 45–68.
https://doi.org/10.20414/qawwam.v15i1.3387

Farida Kustanty, U. (2018). Pencegahan, Perlindungan dan Penanganan Kekerasan


Terhadap Anak dan Remaja. Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender, 14(2),
139–145. https://doi.org/10.15408/harkat.v1412.12817

Lubis, E. Z. (2017). Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Upaya Perlindungan Hukum


Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual. Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 9(2),
141–150.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012


TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, (2012).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011


TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,
(2011).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014


TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN
2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK, (2014).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999


TENTANG HAK ASASI MANUSIA, (1999).

Anda mungkin juga menyukai