Anda di halaman 1dari 20

1

MAKALAH

PENYAKIT MENULAR HIV/AIDS

Oleh :

1) IWANG ANUGRAH PRATAMA (1826010016)


2) ALIYAH RESTUSUNDARI (1826010027)

Dosen Pengampu: Suryani, M.Kes(Epid)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

TRI MANDIRI SAKTI

BENGKULU

2019

1
2

KATA PENGANTAR

Keanugrahan inspirasi dari Tuhan Yang Mahamulia menjadi kekuatan kepada penulis untuk
segera menyelesaikan makalah ini secara sistematis dan tepat waktu. Oleh karena itu, tiada kata
yang pantas terucapkan selain ucapan syukur tak terhingga karena penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Makalah Penyakit Menular HIV/AIDS” Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKES) Tri Mandiri Sakti Bengkulu.

Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Disaster Manajement dalam
materi karakteristik bencana. Secara umum tujuan penulisan makalah ini untuk melatih
mahasiswa dalam penulisan karakteristik bencana, sedangkan secara khusus bertujuan supaya
mahasiswa dapat memahami dan menggali lebih lanjut tentang Penyakit HIV/AIDS.

Dalam penulisan makalah ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
khususnya kepada ibu Suryani,M.Kes(Epid) selaku dosen pengampu dan teman-teman yang
senantiasa mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu sumber pembelajaran
dalam penulisan Karakteristik Bencana yang benar, khususnya mahasiswa kesehatan masyarakat.

Bengkulu, September 2019

Penulis

2
3

DAFTAR ISI

Halaman judul
Kata penganter
Daftar isi
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar belakang
BAB II PEMBAHASAN
a. Pengertian
b. Tinjauan pustaka
c. Tipe HIV
d. Epidemiologi
e. Etiologi dan Patogenesis
f. Cara penularan
g. Faktor Resiko
h. Gejala Klinis
i. Sikap Masyarakat Terhadap Penderita HIV/AIDS
j. Mitos-Mitos HIV/AIDS

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
b. Saran

Daftar Pustaka

3
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan
penggunaan jarum suntik yang sering dikaitkan dengan kesehatan reproduksi terutama kelompok
perempuan. Kerentanan perempuan dan remaja putri untuk tertular umumnya karena kurangnya
pengetahuan dan informasi tentang HIV dan AIDS ataupun kurangnya akses untuk mendapatkan
layanan pencegahan HIV (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI, 2008). Pada tahun
2013 World Health Organization (WHO) mengumumkan 34 juta orang di dunia mengidap virus
HIV penyebab AIDS dan sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan dan di negara
berkembang. Data WHO terbaru juga menunjukkan peningkatan jumlah pengidap HIV yang
mendapatkan pengobatan. Tahun 2012 tercatat 9,7 juta orang, angka ini meningkat 300.000
orang lebih banyak dibandingkan satu dekade sebelumnya (WHO, 2013). Berdasarkan jenis
kelamin kasus tertinggi HIV dan AIDS di Afrika adalah penderita dengan jenis kelamin
perempuan hingga mencapai 81,7% terutama pada kelompok perempuan janda pada usia 60-69
tahun dengan persentase paling tinggi bila dibandingkan dengan kelompok beresiko lainnya
(Boon, 2009). 2 Berdasarkan data Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2014, kasus HIV dan
AIDS di Indonesia dalam triwulan bulan Juli sampai dengan September tercatat kasus HIV
7.335, kasus sedangkan kasus AIDS 176 kasus. Estimasi dan proyeksi jumlah Orang Dengan
HIV dan AIDS (ODHA) menurut populasi beresiko dimana jumlah ODHA di populasi wanita
resiko rendah mengalami peningkatan dari 190.349 kasus pada tahun 2011 menjadi 279.276
kasus di tahun 2016 (Kemenkes RI, 2013). Dilihat dari prevalensi HIV berdasarkan populasi
beresiko Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung (WPSTL) di Indonesia pada tahun 2007 mencapai
4,0% kemudian pada tahun 2009-2013 mengalami penurunan dari 3,1% menjadi 2,6% pada
tahun 2011, turun kembali menjadi 1,5% pada tahun 2013 (STBP, 2013). Meningkatnya jumlah
kasus HIV dan AIDS di Jawa Tengah tahun 2011 dan 2012 peringkat ke-6, tahun 2013 peringkat
ke-5 dan di tahun 2014 peringkat ke-4 dari 10 Provinsi di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Sumatra Utara, Sulauwesi Selatan, Banten dan Kalimatan Barat
dengan kasus HIV dan AIDS terbanyak bulan Januari-Desember. Provinsi Jawa Tengah pada

4
5

tahun 2014 ditemukan kasus HIV dan AIDS sebanyak 2.498 kasus, dengan perincian kasus HIV
2.069 orang dan AIDS 428 orang. Berdasarkan jenis kelamin laki-laki mencapai 61,48% dan
perempuan 38,52%. Dilihat dari distribusi kasus AIDS berdasarkan jenis pekerjaan, IRT dengan
HIV dan AIDS dalam beberapa tahun terakhir meningkat mencapai 18,4% dan menduduki
peringkat ke-2 (KPAN, 2014). 3 Kasus HIV dan AIDS berdasarkan wilayah pada bulan Oktober
2005-Juli 2015 yaitu Karanganyar sebanyak 17% kasus, Sragen sejumlah 15% kasus, Sukoharjo
sebanyak 13% kasus, Wonogiri sebanyak 8% kasus, Surakarta sebanyak 21% kasus, Boyolali
sebanyak 8% kasus, dan Klaten sebanyak 5% kasus, selain solo 14%. Data tersebut
memperlihatkan bahwa Surakarta memiliki persentase tertinggi kasus HIV dan AIDS (KPA
Surakarta, 2015). Jumlah penderita tertinggi kasus HIV dan AIDS berdasarkan jenis kelamin
adalah laki-laki, sedangkan pada faktor risiko adalah kelompok Heteroseksual, dan kelompok
Ibu Rumah Tangga (IRT) juga beresiko tinggi tertular oleh suami yang menderita HIV dan
AIDS. Hal ini terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi mengenai
pencegahan HIV dan AIDS (KPA Surakarta, 2014). Berdasarkan hasil pemetaan data populasi
kunci dan cakupan hasil KPA Surakarta, kasus HIV dan AIDS sampai bulan Agustus tahun 2015
pada ibu rumah tangga ditemukan sebanyak 417 kasus, tertinggi ke-dua setelah Laki-laki
Beresiko Tinggi (LBT) (KPA Surakarta, 2015). Perilaku pencegahan HIV dan AIDS pada IRT
sangat tergantung dengan tingkat pengetahuannya. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang
tidak didasari pengetahuan. Pendidikan memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas
manusia, dengan pendidikan manusia akan memperoleh pengetahuan dan informasi. Semakin
tinggi tingkat pendidikan 4 seseorang maka akan semakin berkualitas hidupnya (Efendi dan
Makhfudli, 2009).Upaya untuk menurunkan angka HIV dan AIDS salah satunya dengan
memberikan pendidikan dan informasi yang jelas tentang HIV dan AIDS, sehingga masyarakat
waspada dan merubah perilakunya untuk melakukan upaya pencegahan. Penelitian sebelumnya
telah membuktikan bahwa, metode diskusi kelompok lebih efektif dibandingkan dengan metode
ceramah untuk meningkatkan pengetahuan tentang menopause pada IRT di RW V Desa
Bumiharjo (Astuti, 2012). Pada hasil penelitian Handayani dkk (2009), menyatakan bahwa
pendidikan kesehatan dengan metode diskusi kelompok dengan fasilitator merupakan metode
yang lebih efektif. Meningkatnya pemahaman, sikap, dan akhirnya akan berpengaruh pada
kecenderungan perilaku yang lebih baik dalam mencegah PMS, HIV dan AIDS dikalangan

5
6

orang-orang berpotensi mempunyai risiko tinggi tertularnya HIV dan AIDS (Widodo dan
Muhammad, 2008). Meningkatnya kasus HIV dan AIDS pada IRT disebabkan karena kurangnya
pemahaman “konsep gender” dalam keluarga membuat posisi tawar perempuan sangat rendah
dalam pengambilan berbagai keputusan termasuk dalam aspek kesehatan dan kesehatan
repoduksinya (Dewi, 2008). Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa, ada pengaruh
pendidikan kesehatan dengan metode diskusi kelompok dengan fasilitator dan tanpa fasilitator
terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap. Pada penelitian terjadi peningkatan pengetahuan
dan sikap, yaitu pada kelompok dengan 5 fasilitator rata-rata nilai pengetahuan 16,56 menjadi
24,44 sedangkan sebelumnya rata-rata nilai sikap 75,19 menjadi 95,56 dan untuk kelompok
tanpa fasilitator rata-rata nilai pengetahuan 16,58 menjadi 22,85 sedangkan sebelumnya rata-rata
nilai sikap 77,61 menjadi 94,94. Di Surakarta sejak awal tahun 2000 KPA Surakarta bekerjasama
dengan Dinas Kesehatan telah memetakan keberadaan Wanita Pekerja Seks Tidak Lansung
(WPSTL) di batras, tempat hiburan malam dan tempat lain seperti taman, hotel, dan rusun.
Rusun Begalon merupakan salah satu rusun yang dijadikan sebagai pemetaan dalam pemeriksaan
mobile VCT yang bekerja sama dengan Puskesmas Manahan karena ditemukan sebagian IRT
disana bekerja menjadi WPSTL sebanyak 2,08%. Masalah kesehatan reproduksi seperti Infeksi
Menular Seksual (IMS) di rusun Begalon Kelurahan Panularan Kota Surakarta ditemukan kasus
IMS sebanyak 80% dari 30 IRT yang memeriksakan dirinya di mobile VCT (KPA Surakarta,
2015).

6
7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang sistem


kekebalan tubuh dan biasanya menyerang sel CD4 (Cluster of Differentiation 4) sehingga
mengakibatkan penurunan sistem pertahanan tubuh. Kecepatan produksi HIV berkaitan dengan
status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut (Bruner & Suddarth, 2002). HIV
umumnya ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, air mani, dan sekresi vagina
(McCann,dkk, 2007).

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala klinis yang


merupakan hasil akhir dari infeksi HIV dan menandakan infeksi HIV yang sudah berlangsung
lama (Price, 2006). Replikasi virus yang terus berlangsung mengakibatkan semakin beratnya
kerusakan sistem kekebalan tubuh dan kerentanan terhadap Infeksi. Infeksi yang timbul sebagai
akibat dari gangguan sistem imun dinamakan Infeksi Oportunistik (Bruner & Suddarth, 2002).

Secara global kasus HIV/AIDS terus bertambah sejak pertama kali dilaporkan pada tahun
1981. Hingga tahun 2012 diperkirakan 35.3 juta orang hidup dengan HIV. Jumlah kasus infeksi
HIV baru sebanyak 2,3 juta dan kematian AIDS sebanyak 1,6 juta orang (UNAIDS, 2013).

Kasus HIV/AIDS di Indonesia dari 1 Januari sampai 31 Desember 2013 dilaporkan


jumlah HIV positif sebanyak 29.037 orang dan AIDS sebanyak 5.508 orang. Secara kumulatif
dari 1 April 1987 hingga 31 Desember 2013 jumlah HIV positif sebanyak 127.416 orang dan
kasus AIDS sebanyak 52.348 orang dengan total kematian 9.585 orang. Sumatera Barat berada
pada urutan ke 12 jumlah kumulatif HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 2013 dengan jumlah
HIV positif sebanyak 923 orang dan AIDS sebanyak 952 orang (Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Triwulan IV, 2013).Kota Padang menduduki peringkat pertama kasus infeksi HIV dari kota dan
kabupaten di Sumatera Barat. Dari bulan April sampai Juni 2013 diketahui 59 orang terinfeksi
HIV di Kota Padang (Ditjen PP & PL Kemenkes RI Triwulan II, 2013).

Individu dengan HIV positif cenderung mengalami gangguan tidur dan memiliki kualitas
tidur buruk. Pada penelitian Mc.Daniel tahun 2011 tentang “Sleep Quality and Habits of Adult
with the HIV” dari 125 orang dengan HIV positif hanya 14% yang memiliki kualitas tidur yang
baik, 45% terkadang memiliki gangguan tidur, dan 40% memiliki kualitas tidur yang buruk. Hal
ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa yang bekerja dan mahasiswa dengan
presentasi kualitas tidur yang buruk 9% dan 15%.

7
8

Penelitian lain tentang kualitas tidur pada pasien rawat jalan HIV positif memperlihatkan
bahwa dari 122 responden 53,3% melaporkan kualitas tidur yang baik, 46,7% melaporkan
kualitas tidur yang buruk. Rata-rata jumlah jam tidur 7,3 jam, latensi tidur 23,3 menit, dan
efisiensi tidur 87,8% (Ferreira, 2012). Hal ini menunjukan hampir dari setengah responden pada
pasien rawat jalan HIV positif memiliki kualitas tidur yang buruk.

Kualitas tidur secara signifikan berhubungan dengan kesehatan dan kualitas hidup orang
dengan HIV/ADIS. Kualitas tidur yang buruk dapat berkontribusi pada peningkatan morbiditas
dan disabilitas individu dengan infeksi HIV (Robbins, 2004).Selain itu kualitas tidur yang buruk
dapat mengakibatkan kemerosotan mutu hidup karena dapat menyebabkan kelelahan pada siang
hari dan mempengaruhi status fungsional (Spiritia, 2006). Patofisiologi gangguan tidur diantara
orang yang terinfeksi HIV masih belum jelas. Namun hal ini dapat dihubungkan dengan
kemampuan virus HIV menginfeksi Sistem Saraf Pusat (SSP), pengaruh dari pengobatan
antiretroviral, infeksi oportunistik pada sistem saraf pusat, isu kesehatan jiwa, dan
ketergantungan zat (Omunowa, 2009; Vosvick, 2004 dalam Cianflone, 2012).

Pemahaman faktor yang berkontribusi dengan kualitas tidur pada orang dengan
HIV/AIDS dibutuhkan untuk mengembangkan intervensi holistik yang diperlukan dalam
mempromosilan kualitas tidur yang lebih baik (Robbins, 2004). Kualitas tidur pada ODHA dapat
dihubungkan dengan faktor fisiologis dan psikologis (Dabaghzadeh, 2013). Salah satu faktor
fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan kualitas tidur orang dengan HIV/AIDS yaitu
jumlah CD4 dan kecemasan. Faktor lain seperti terapi ARV juga dapat dihubungkan dengan
kualitas tidur pada orang dengan HIV/AIDS (Robbin, 2004).

Jumlah CD4 memberikan informasi mengenai status imonulogik pasien dan


mengevaluasi tahapan infeksi HIV (Price,2006). Klasifikasi HIV/AIDS dari CDC berdasarkan
jumlah CD4 dibagi menjadi 3 tahap. Tahap pertama dengan jumlah total CD4 ≥500 sel/mm³ atau
≥29% dari jumlah normal. Tahap ke dua jumlah total CD4 200-499 sel/mm³ atau tinggal 14-28%
dari jumlah normal dan tahap ke tiga jumlah total CD4 < 200 sel/mm³ atau kurang dari 14% sel
CD4 yang masih bertahan (Depkes RI, 2006). Jika jumlah CD4 telah kurang dari 200 sel/mm³
maka dapat dijadikan sebagai kriteria diagnosa AIDS (Price, 2006).

Pada penelitian Dabaghzadeh tahun 2013 terdapat hubungan yang signifikan antara
tahapan infeksi HIV dengan gangguan tidur. Pada penelitian ini didapatkan individu dengan
jumlah CD4 200 sel/mm³ memiliki kualitas tidur yang lebih baik daripada ODHA dengan jumlah
CD4 200-499 sel/mm³. Penelitian sebelumnya oleh Lee tahun 2012 juga mendapatkan ODHA
dengan jumlah CD4 >200 sel/mm³ memiliki kualitas tidur yang lebih baik daripada ODHA
dengan jumlah CD4>200 sel/mm³.

Phillips (2005) juga mengatakan bahwa peningkatan gangguan tidur terjadi sesuai dengan
perkembangan penyakit akibat HIV. Individu pada tahap HIV positif asimptomatik mengeluhkan
8
9

kesulitan untuk jatuh tidur dan tetap tertidur. Pada pemeriksaan polysomnography
memperlihatkan perubahan signifikan pada kualitas tidur dengan meningkatnya gelombang-
lambat tidur yang selama setengah periode tidur terakhir, dan mengubah siklus tidur REM dan
NREM.

Individu pada tahap HIV positif simptomatik mengeluhkan jatuh tidur yang lebih 5 susah
dan kelelahan disiang hari. Penurunan total gelombang-lambat tidur, penurunan efisiensi tidur,
peningkatan distorsi pada siklus tidur REM dan NREM diobervasi dengan polysomnography.
Pada tahap terminal pasien mengeluhkan gangguan tidur yang ekstrem, kelelahan, latergi, dan
kesulitan mempertahankan tidur, pada tahap ini gelombang-lambat tidur berkurang atau tidak
ada, efisiensi tidur secara nyata rendah, dan siklus tidur REM dan NREM tidak dapat dikenali.

Selain penurunan kondisi fisik akibat infeksi HIV, orang dengan HIV/AIDS juga
menghadapi masalah sosial dan emosional. Masalah sosial yang muncul biasanya berupa stigma
negatif masyarakat terhadap penyakit tersebut. Penurunan kondisi fisik serta adanya tekanan
sosial dari masyarakat dapat menjadi sumber stres yang menimbulkan masalah emosional bagi
orang dengan HIV/AIDS berupa penolakan, amarah, rasa takut, cemas, malu, menarik diri dari
pergaulan dan depresi (Bruner & Suddarth, 2002).

Kecemasan menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi


apabila tidak tidur. Kondisi ini menyebabkan seseorang terlalu keras untuk tertidur, sering
terbangun, atau terlalu banyak tidur (Potter & Perry, 2005). Individu dengan HIV positif yang
mengalami depresi dan kecemasan memerlukan waktu jatuh tidur yang lama, sering terbangun,
dan sedikitnya transisi pada tahap tidur REM (Robbin, 2004). Hal ini didukung oleh
Dabaghzadeh (2013) bahwa faktor psikologis seperti kecemasan memiliki hubungan yang
signifikan dan kuat dengan kualitas tidur pada orang dengan HIV/AIDS. Menurut Saberi (2011)
kualitas tidur orang dengan HIV positif juga berhubungan dengan kepatuhan terapi ARV. Pada
penelitian Lee tahun 2012 80% orang dengan HIV/AIDS yang mendapatkan terapi ARV
memiliki kualitas tidur yang baik. Namun hanya 20% orang dengan HIV/AIDS yang tidak
mendapatkan terapi ARV yang memiliki kualitas tidur yang baik. Selain itu pada penelitian
Saberi (2011) didapatkan bahwa tingginya gangguan kualitas tidur berhubungan dengan
peningkatan ketidakpatuhan terapi ARV. Dimana dilaporkan susahnya jatuh tidur, terbangun
terlalu pagi, dan terbangun saat malam hari lebih banyak pada orang yang tidak patuh
menjalankan terapi ARV. Pengkajian tentang kualitas tidur pada orang dengan HIV/AIDS
menjadi penting karena dapat mengevaluasi kepatuhan terapi serta tujuan klinis yang diharapkan.

9
10

B. TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian HIV HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang
salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut
terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi
yang masuk ke tubuh manusia.

Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (KPA, 2007c). Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan
kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-
masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang
cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan
kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

C. Tipe HIV
Virus HIV terbagi menjadi 2 tipe utama, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing tipe terbagi
lagi menjadi beberapa subtipe. Pada banyak kasus, infeksi HIV disebabkan oleh HIV-1, 90% di
antaranya adalah HIV-1 subtipe M. Sedangkan HIV-2 diketahui hanya menyerang sebagian kecil
individu, terutama di Afrika Barat.
Infeksi HIV dapat disebabkan oleh lebih dari 1 subtipe virus, terutama bila seseorang tertular
lebih dari 1 orang. Kondisi ini disebut dengan superinfeksi. Meski kondisi ini hanya terjadi
kurang dari 4% penderita HIV, risiko superinfeksi cukup tinggi pada 3 tahun pertama setelah
terinfeksi.

D. Epidemiologi

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987.
Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat
infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus
HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998). Sejak pertengahan tahun 1999 mulai
terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan
adalah pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan

10
11

kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan
(Djauzi dan Djoerban, 2007).

Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan
6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362
orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan
penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).

E. Etiologi dan Patogenesis

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus
ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari
HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung
3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen
tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus
terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.

Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV.
Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya
transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh
makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).

Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD) yang
kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD (transmembranosa).
Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai
peran yang sangat penting dalam membantu perlekatan virus dangan sel target (Borucki, 1997).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk
mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang
disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif (Borucki, 1997). Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa
dan viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini, virus
tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini telah terjadi
penurunan jumlah sel-T CD4.

Respon imun terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan
infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa
ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV
dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4 yang terinfeksi memiliki waktu

11
12

paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase
HIV yang berikatan, diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi
dalam basis harian (Brooks, 2005).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang
nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi
dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma
selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal
infeksi (Brooks, 2005). Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis
mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang
selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

F. Cara penularan

HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung
HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007c). Penularan HIV
dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang
infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu).
(Zein, 2006)

1. Seksual Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan


dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral
(mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada
pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan
prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja)
bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut
disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
6. Penularan dari ibu ke anak Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari
ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.

12
13

Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu pekerja
kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan spesimen/bahan terinfeksi
HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci, 2000). Tidak terdapat bukti yang
meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain
misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap
aktivitas HIV (Fauci,2000). Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak
dapat ditularkan antara lain:

1. Kontak fisik Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS,
bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan
dengan pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi,
tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang
tertular.
2. Memakai milik penderita Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan
makan maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

G. Faktor Resiko

AIDS disebabkan oleh HIV dan virus ini ditularkan melalui pertukaran cairan tubuh dari pasien
HIV, termasuk darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Untuk itu, berbagai hal yang bisa
meningkatkan risiko Anda terkena HIV/AIDS, yaitu:

 Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang positif HIV.
 Berbagi jarum suntik yang sama dengan orang yang positif HIV.
 Melakukan seks tanpa kondom dengan seseorang yang memiliki HIV.
 Melakukan tato tubuh di tempat yang alatnya tidak disterilkan.

H. Gejala Klinis

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)
dan gejala minor (tidak umum terjadi):

1. Gejala mayor

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan


b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati

13
14

2. Gejala minor

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan


b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.

a. Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda
infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
b. Fase lanjut Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar
getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.

Pengobatan Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para
penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat
disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan
protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan
seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non
nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease.

Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa
menghilangkan virus yang telah berkembang (Djauzi dan Djoerban,2006). Vaksin terhadap HIV
dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun
penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana
seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV,
menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun
perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang

14
15

terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer
(Brooks, 2005).

Pencegahan Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah
Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks, Setia (S) pada
pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan
penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang beresiko tertular virus
AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat
dengan PSK. Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan
pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi informasi untuk
meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang datang
dari lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998).

Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan tindakan
yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan atau vaksin yang
memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu melakukan pencegahan sejak
awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat
tidak mendapat berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak
masuk akal (Anita, 2000).

Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga


perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah
(intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan
berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome)
pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007) Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
tentang masalah AIDS adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di
Indonesia khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum
konsisten (Muninjaya, 1998).

Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat
strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis kelompok ini adalah
aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah dijangkau
adalah remaja di lingkungan sekolah (closed community) (Muninjaya, 1998). Keimanan dan
ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan remaja berusaha untuk melarikan
diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh
karena itu diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (BNN,
2009) Sebagian masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih merupakan hal yang tabu.
Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan seks. Akibatnya
jalur informasi yang benar dan mendidik sulit dikembangkan (Zulaini, 2000).

15
16

Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman yaitu dengan
melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina, anus, ataupun
mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan seksual maka resiko penularan akan
berkurang. Apabila ingin melakukan senggama dengan penetrasi maka seks yang aman adalah
dengan menggunakan alat pelindung berupa kondom (Yatim, 2006). Hindari berganti-ganti
pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya
infeksi. Hindari sexual intercourse dan lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi.
Jenis-jenis outercourse termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh
tanpa kontak vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995). Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan
memakai suntik, resiko penularan akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan
mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk
menghentikan penggunaan obat tersebut.

Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai pencegah
antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung muka atau masker, dan
pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan kebutuhan aktivitas pekerjaan yang
dilakukan tenaga kesehatan (Lyons, 1997). Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa
menularkan virus tersebut kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau
menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat
mengandung maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar
seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko lebih
besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006). Bila ibu yang menderita HIV
tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya
sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat pengobatan (MFMER, 2008).

I. Sikap Masyarakat Terhadap Penderita HIV/AIDS

HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak
orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh
lapisan masyarakat. Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan akan
mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan
keluarganya. (Kesrepro, 2007). Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif
mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang
didasarkan pada prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi
meliputi para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan
kepada ODHA; atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka
akan status HIV mereka; atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau

16
17

dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk
pelanggaran hak asasi manusia (Kesrepro, 2007).

J. Mitos-Mitos HIV/AIDS

Mitos adalah berita/informasi yang beredar di masyarakat yang diyakini oleh masyarakat
tetapi tidak terbukti kebenarannya. Banyak orang percaya bahwa HIV dan AIDS dapat ditularkan
melalui gigitan nyamuk, minum dari gelas yang sama dengan orang dengan AIDS, bergaul
sehari-hari dengan orang dengan AIDS yang batuk, dengan memeluk atau mencium orang
dengan AIDS, dan seterusnya. Hal ini menyebabkan terjadinya stigma dan diskriminasi pada
penderita HIV/AIDS (ODHA Indonesia, 2007).

Pengetahuan Menurut Notoadmojo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu
dan terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan
terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, indra pendengaran, indera
penciuman, indera perasa dan indera peraba. Pengetahuan seorang individu terhadap sesuatu
dapat berubah dan berkembang sesuai kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi
rendahnya mobilitas informasi tentang sesuatu dilingkungannya. Pengetahuan mempunyai 6
tingkatan yaitu:

a. Tahu (know) adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari adalah menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension) adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application) adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan
masih ada kaitanya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis) adalah kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek.

Sikap Menurut Notoadmojo (2007), sikap adalah reaksi atau respons seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan
ataupun aktivitas, namun merupakan pre-disposisi tindakan atau prilaku. Sikap terdiri dari 3
komponen pokok yaitu:

1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.


2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

17
18

3. Kecenderungan untuk bertindak.


Seperti pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yakni : a. Menerima
(receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan
(objek). b. Merespons (responding) yaitu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan merupakan suatu indikasi dari sikap. c. Menghargai
(valuing) yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah. Ini merupakan indikasi sikap tingkat tiga. d. Bertanggung jawab
(responsible) atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko. Ini merupakan
indikasi sikap yang paling tinggi.

18
19

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan HIV/AIDS
menjadi masalah serius karena bukan hanya merupakan masalah kesehatan atau
persoalan pembangunan, tetapi juga masalah ekonomi, sosial, dan lain-lain. Berdasarkan
sifat dan efeknya, sangatlah unik karena AIDS mematikan kelompok yang paling
produktif dan paling efektif secara reproduksi dalam masyarakat, yang kemudian
berdampak pada mengurangi produktivitas dan kapasitas dari masyarakat. Dampak yang
ditimbulkan AIDS terhadap masyarakat dapat bersifat permanen atau setidaknya
berjangka sangat panjang. AIDS secara sosial tidak terlihat (invisible) meski demikian
kerusakan yang ditimbulkannya sangatlah nyata. HIV/AIDS karena sifatnya yang sangat
mematikan sehingga menimbulkan rasa malu dan pengucilan dari masyarakat yang
kemudian akan mengiring pada bentuk-bentuk pembungkaman, penolakan, stigma, dan
diskriminasi pada hampir semua sendi kehidupan. Hampir semua orang yang diduga
terinfeksi AIDS tidak memiliki akses terhadap tes HIV, inilah yang membuat usaha-
usaha pencegahan dan penyembuhan menjadi sangat rumit. Program pencegahan
penyebaran HIV/AIDS harus segera dilaksanakan, tak terkecuali area Lembaga
Pemasyarakatan ataupun Rumah Tahanan.

B. Saran
Masa depan bangsa ini harus segera diselamatkan caranya adalah dengan
mendidik dan membimbing generasi muda secara intensif agar mereka mampu menjadi
motor penggerak kemajuan dan mendorong perubahan kearah yang lebih dinamis,
progesif dan produktif. Dengan demikian diharapkan kedepannya bangsa ini mampu
bersaing dengan negara lainya . Agar mencapai impian tersebut remaja Indonesia harus
tumbuh secara positif dan kontruktif, serta sebisa mungkin dijauhkan dari telibat
kenakalan remaja. Inialah tantangan riil yang kita hadapi sebagai guru dan orang tua.
Sudah sedemikian lama fenomena maraknya kenakalan remaja ini dibiarkan begitu saja,
seolah hanya di tangani dengan asal-asalan. Pemerintahan sebagai pemengang utama
kebijakan juga dapat menjalankan perannya, yaitu membuat undang undang pendidikan,
undang undang teknologi komunikasi (yang mengatur tayangan yang layak di akses di
internet, televisi, dan media massa), serta membangun aparat kepolisian yang kuat.
Dengan permasalahan remaja yang terkena HIV DAN AIDS dikalangan masyarakat
diakibatkan pergaulan bebas remaja yang tidak terpantau, dengan sebab itupenulis
berharap ada pengawasan dari orang yang bertanggung jawab.

19
20

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, M., Gaash, B., Kasur, R., and Bashir, S., 2003, Knowledge, Attitude

and Belief on HIV/AIDS Among The Female Senior Secondary

Students in Srinagar District of Kashmir, Health and Population, 26

(3): 101-109.

Abednego, H.M., 1996, Beberapa Pandangan dan Harapan Pemerintah

terhadap LSM Peduli AIDS, Program Book, Abstrak, Pertemuan

Nasional Pencegahan & Penatalaksanaan HIV/AIDS, Jakarta.

Davey, P., 2008, Infeksi HIV dan AIDS,. At a Glance Medicine, Erlangga,

Jakarta, 288-289.

Harahap, J., Andayani, L.S., 2004, Pengaruh Peer Education terhadap

Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa dalam Menanggulangi HIV/AIDS

di Universitas Sumatera Utara, (online),

(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16726/5/Chapter%20I

.pdf, diakses tanggal 18 Desember 2010)

20

Anda mungkin juga menyukai