Anda di halaman 1dari 5

Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah

I. Pendahuluan
Terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan dinamika dalam perkembangan Pemerintahan
Daerah dalam rangka menjawab permasalahan yang terjadi pada Pemerintahan
Daerah. Perubahan kebijakan Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan
dampak yang cukup besar bagi berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Pemerintahan Daerah, termasuk pengaturan mengenai
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Selain mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah
juga mengacu pada ketentuan peraturan perundangundangan lainnya, yaitu
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah ini
disusun untuk menyempurnakan pengaturan Pengelolaan Keuangan Daerah
yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, berdasarkan identifikasi masalah dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah yang terjadi dalam pelaksanaannya selama ini.
Penyempurnaan pengaturan tersebut juga dilakukan untuk menjaga 3 (tiga) pilar
tata Pengelolaan Keuangan Daerah yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas,
dan partisipatif.
Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan
alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan
berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar
utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber
daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan
vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah,
mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan
fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik
yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
Lahirnya UU HKPD yang menggantikan UU Nomor 33 Tahun 2004
bertujuan untuk menciptakan alokasi sumberdaya nasional yang efektif dan
efisien, serta mengatur tata kelola hubungan keuangan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang adil, selaras, dan akuntabel. UU ini diharapkan dapat
mewujudkan pemerataan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat dalam
penguatan desentralisasi fiskal di Indonesia. Upaya reformasi yang dilakukan
tidak sekedar dari sisi Fiscal Resource Allocation, namun juga bagaimana
memperkuat belanja daerah agar lebih efisien, fokus, dan sinergis dengan
Pemeritah Pusat. Ruang lingkup HKPD meliputi, pemberian sumber penerimaan
daerah berupa pajak dan retribusi, pengelolaan transfer ke daerah, pengelolaan
belanja daerah, pemberian kewenangan untuk melakukan pembiayaan daerah,
dan pelaksanaan sinergi kebijakan fiscal nasional.

II. Analisis Permasalahan


Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah didesain untuk memperkuat dan menjawab berbagai
tantangan dari pelaksanaan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal telah
menunjukkan berbagai kinerja positif. Namun demikian, masih terdapat
tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaannya, seperti pemanfaatan
transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang belum optimal dan struktur
belanja daerah yang belum memuaskan. Sementara itu, transfer ke daerah
masih belum optimal dari sisi kualitas belanja, maupun dari sisi sinkronisasi
antara policy fiskal pusat dengan daerah.
UU HKPD bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan
meningkatkan kualitas belanja daerah ditambah dengan harmonisasi kebijakan
fiskal daerah-daerah. Sehingga melalui UU HKPD terbentuk penguatan
desentralisasi dengan adanya perbaikan kualitas output dan outcome layanan
serta pemerataan layanan dan kesejahteraan. Alokasi sumber daya nasional
yang efektif dan efisien melalui HKPD yang transparan dan akuntabel yang terdiri
dari empat pilar, yakni ketimpangan vertikal dan horisontal yang menurun,
peningkatan kualitas belanja daerah, penguatan local taxing power, dan
harmonisasi belanja pusat dan daerah
Belanja daerah juga masih didominasi oleh belanja yang sifatnya adalah
untuk administratif atau dalam hal ini untuk membayar gaji pegawai. Belanja-
belanja untuk membangun infrastruktur dan perbaikan sosial masyarakat masih
sangat terbatas. Selain itu, tax ratio di daerah juga masih perlu ditingkatkan,
meski Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengalami peningkatan.
Terdapat beberapa aspek dalam UU HKPD yang berpotensi untuk
menimbulkan dampak positif sekaligus negatif. Aspek tersebut, meliputi upaya
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui skema opsen pajak, dan
penguatan sistem insentif dalam transfer pusat ke daerah. Skema opsen
berpotensi meningkatkan PAD, namun pengaturan sejumlah tarif pajak dan
retribusi daerah (PDRD) ini juga berpotensi untuk menimbulkan beban ekonomi
terhadap dunia usaha dan slum society atau masyarakat yang bermukin di
kawasan kumuh. Skema opsen pajak ini bisa mewajibkan wajib pajak (WP)
membayar setoran kepada dua pihak yaitu pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota. Oleh sebab itu, ada potensi peningkatan PAD dari skema bagi
hasil administratif antara kedua level pemerintahan. Opsen pajak meliputi pajak-
pajak tertentu seperti pajak kendaraan bermotor, bea balik kendaraan bermotor,
dan pajak mineral bukan logam dan batuan.
Selanjutnya skema transfer ke daerah (TKD) berbasis insentif dinilai bisa
memacu kinerja daerah, namun di sisi lain skema dana bagi hasil (DBH) yang
diatur dalam UU HKPD masih bersifat alamsentris. Pendekatan alamsentris
sangat kental dalam skema DBH, maka hal ini bisa mendorong daerah untuk
bertindak lebih eksploratif tanpa berpikir untuk beralih ke sektor lain.
UU HKPD ini menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan tujuan dari
sistem desentralisasi otonomi daerah, yaitu tercapainya kesejahteraan
masyarakat bersama. UU HKPD bisa menjawab sekaligus menyeimbangkan
fungsi regulerend dan budgeter di daerah.
Selain itu, adanya kebijakan opsen, yaitu ketentuan baru baik pemerintah
daerah dan kota menetapkan persentase tertentu atas beberapa pajak yang bisa
membantu perbaikan dalam pajak dan retribusi. Sisi positif lainnya yang dilihat
dari UU HKPD ini adalah adanya simplifikasi di sejumlah pajak dan retribusi
daerah antara lain jasa hotel, restoran, kesenian-hiburan, penggunaan listrik,
serta parkir yang masuk kedalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Dari segi belanja daerah, penganggaran belanja daerah disusun dengan
menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah;
penganggaran terpadu; dan penganggaran berbasis kinerja. Guna memastikan
kesejahteraan masyarakat, penganggaran difokuskan untuk pencapaian target
pelayanan publik daerah. Namun dengan keterbatasan sumber pendanaan maka
perangkat daerah tidak harus menganggarkan seluruh program/kegiatan yang
menjadi kewenangannya melainkan berfokus pada prioritas daerah yang
ditetapkan pada setiap tahun anggaran. Program dan kegiatan prioritas daerah
kemudian disinkronkan dan diharmonisasikan dengan program yang
dilaksanakan pemerintah.
Penyusunan anggaran setiap daerah didasarkan pada standar harga dan
analisis standar biaya. Pengaturan ini dapat meningkatkan value for money dari
belanja, sebab mempertimbangkan tingkat kepatuhan, kebutuhan dan kewajaran
standar harga. Selain itu penerapan standar harga satuan regional (unit cost
belanja) dalam rangka efisiensi dan penyeragaman satuan biaya
penyelenggaraan pemerintah daerah.
UU HKPD juga mengamanatkan belanja pegawai maksimal 30 persen dari
total APBD diluar tunjangan guru, meski ada batas waktu 5 tahun untuk
menyesuaikan porsi dalam APBD, namun bukan hal yang mudah untuk
dilakukan. Pemerintah pusat menilai bahwa belanja pegawai di daerah
proporsinya masih banyak yang melebihi 50 persen, hal tersebut akan berimbas
pada belanja pembangunan. Kebijakan tersebut memang akan memberatkan
hampir sebagian besar pemerintah daerah, khususnya daerah yang mempunyai
kapasitas fiskal terbatas, karena beban belanja pegawai di daerah masih besar
sedangkan kapasitas fiskalnya sangat terbatas. Hal ini yang menjadi pekerjaan
rumah bagi pemerintah daerah.
Selain itu, UU ini mengamanatkan batas minimal 40 persen alokasi belanja
infrastruktur pelayanan publik. Pengaturan ini menjadi stimulus ekonomi dan
pendorong efek ganda bagi sumber-sumber pertumbuhan lainnya (investasi)
terutama bagi daerah yang mengandalkan sektor primer sebagai basis
perekonomiannya. Sebab kebutuhan infrastruktur setiap daerah berbeda, dimana
Dimana daerah yang menggantungkan hidupnya pada sektor primer, kebutuhan
infrastrukturnya berbeda dengan daerah yang sumber ekonominya dari sektor
sekunder dan tersier. Pengalokasian belanja infrastruktur seharusnya
memperhatikan hal itu.
Fokus belanja daerah untuk layanan dasar publik guna mencapai standar
pelayanan minimal. Untuk itu, adanya mandatory spending bertujuan untuk
akselerasi pemerataan kualitas layanan publik dan kesejahteraan di daerah.
Dalam rangka mewujudkan tujuan UU HKPD, telah dirumuskan strategi
pencapaiannya, diantaranya: pertama, menguatkan sistem perpajakan daerah
dengan mendorong kemudahan berusaha di daerah, mengurangi retribusi atas
layanan wajib, opsen perpajakan daerah antara provinsi dan kabupaten/kota,
serta basis pajak baru, kedua, meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal
dengan reformulasi DAU, DBH yang berkeadilan, DAK yang fokus untuk prioritas
nasional, hingga sinergi pendanaan lintas sumber pendanaan, ketiga,
meningkatkan kualitas belanja daerah melalui penguatan disiplin dan sinergi
belanja daerah, peningkatan kapasitas SDM daerah, hingga TKD yang diarahkan
untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, keempat,
melakukan harmonisasi belanja pusat dan daerah melalui penyelarasan
kebijakan fiskal pusat dan daerah, pengendalian defisit APBD
hingga refocusing APBD dalam kondisi tertentu.

III. Peranan Kepemimpinan


Dari uraian dan permasalahan diatas, peranan kepemimpinan diantaranya
yaitu dengan cara melakukan penyesuaian arah kebijakan pemerintah pusat
dengan terus mencari inovasi-inovasi baru untuk meningkatkan kapasitas dan
kemampuan fiskal yang bersumber dari pendapatan asli daerah maupun dari
transfer pemerintah pusat dan pemerintah antar daerah. Dari sisi belanja daerah,
bagaimana menyeleraskan program kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah mulai dari proses perencanaan baik itu RPJMD, Renstra, Renja sampai
dengan proses penganggaran dalam APBD.

Anda mungkin juga menyukai