Anda di halaman 1dari 77

Definisi Stres, Keterkaitan Antara Stres Dengan Lingkungan Dan Pengaruh Stres Terhadap Perilaku Individu Dalam Lingkungan..

STRES
A. Definisi Stres Istilah stres ditemukan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunaan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikoogis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Menurut Lazarus (1976) stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan kerena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Sedangkan menurut Korchin (1976) keadaan stres muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Stres tidak hanya kondisi yang menekan seseorang ataupun keadaan fisik atau psikologis seseorang maupun reaksinya terhadap tekanan tadi, akan tetapi stres adalah keterkaitan antara ketiganya (Prawitasari, 1989). Karena banyaknya definisi mengenai stres, maka Sarafino (1994) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu : 1. Stimulus Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stresor menjadi tiga : a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi. b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai. c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising. 2. Respon Respon adalah reaksi sesorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis. a. Komponen psikologis, seperti perilaku, pola pikir dan emosi b. Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat dan sakit perut. Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan. 3. Proses

Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya. B. Jenis Stres. Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psychological stress. 1) Systemic Stress

Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya racun kimia atau temperatur ekstrim, sebagai stressor. Selye mengidentifikasikan tiga tahap dalam resspon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS). Tahap pertama adalah alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk didalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bsa diartikan sebagai pertahanan tubuh. Selanjutnya tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau adaptasi, yang didalam nya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik. Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi apabila stressor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat. 2) Psychological Stress

Psychological stress terjadi ketiksa individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya (dalam Heimstra & McFarling, 1978). Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stress dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti ditempat kerja, di lingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah atau tempat kerja. C. Sumber Stres (Stressor).

Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stress, yaitu : 1. Fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir, dan sebagainya. 2. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian. 3. Daily hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja atau masalah-masalah lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.

KETERKAITAN ANTARA STRES DENGAN LINGKUNGAN. (STRESS LINGKUNGAN)


Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stress dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhankebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam. Pengandaian kedua adalah bahwa variable transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stress psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang kontrol, pengaturan ruangan dan kualitas lain dapat menjadi variable transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stress atau tidak. Bangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial akan merupakan sumber stress bagi penghuninya. Apabila perumahan tidak memperhatikan kenyamanan penghuni, misalnya pengaturan udara yang tidak memadai, maka penghuni tidak dapat beristirahat dan tidur dengan nyaman. Akibatnya penghuni sering kali lelah dan tidak dapat bekerja secara efektif dan ini akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mentalnya. Demikian pula apabila perumahan tidak memperhatikan kebutuhan rasa aman warga, maka hal ini akan berpengaruh negatif pula. Penghuni selalu waspada dan akan mengalami kelelahan fisik maupun mental. Hubungan antar manusia sangat penting, untuk itu perumahan juga sebaiknya memperhatikan kebutuhan tersebut. Pembangunan perumahan yang tidak menyediakan tempat umum dimana para warga dapat berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit berhubungan satu sama lain. Atau

perumahan yang tidak memperhatikan ruang pribadi masing-masing anggotanya akan dapat merupakan sumber stress bagi penghuninya (Zimring dalam Prawitasari, 1989). Fontana (1989) menyebutkan bahwa stress lingkungan berasal dari sumber yang berbeda-beda seperti tetangga yang rebut, jalan menuju bangunan tempat kerja yang mengancam nilai atau kenikmatan salah satu milik/kekayaan, dan kecemasan financial atas ketidakmampuan membayar pengeluaran-pengeluaran rumah tangga. Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada di dalamnya (Holahan, 1982). Stressor lingkungan, menurut stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.

PENGARUH STRES TERHADAP PERILAKU INDIVIDU DALAM LINGKUNGAN


Stres bisa mempengaruhi perilaku individu dalam lingkungan. Stokols (dalam Brigham, 1991) menyatakan bahwa apabila kepadatan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stress pada individu. Stress yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stress. Individu yang mengalami stress umumnya tidak mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain (intensi prososial). Penelitian-penelitian tentang hubungan kepadatan dan perilaku prososial di daerah perkotaan dan pedesaan telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Milgram (1970) ditemukan bahwa orang yang tinggal di kota sedikit dalam memberikan bantuan dan informasi bagi orang yang tidak dikenal dari pada orang yang tinggal di daerah pedesaan. Begitu pula dalam mengizinkan untuk menggunakan telepon bagi orang lain yang memerlukan (Fisher, 1984). Adapun proses tersebut dapat menunjukkan bahwa kepadatan mempunyai hubungan terhadap perilaku prososial seseorang. Hal ini dapat dijelakan oleh teori stimulus overload dari Milgram (dalam Wrightsman & Deaux, 1984). Dalam teori ini menjelaskan bahwa kondisi kota yang padat yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor seperti perbedaan individu, situasi dan kondisi sosial kota mengakibatkan individu mengalami stimulus overload (stimulus yang berlebihan), sehingga individu harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus-stimulus yang akan diterima, memberi sedikit perhatian terhadap stimulus yang masuk. Hal ini dilakukan dengan menarik diri atau mengurangi kontak dengan orang lain, yang akhirnya dapat mempengaruhi perilaku menolong pada individu. Adapun contoh lain perilaku individu yang mengalami stres, yaitu :
y

Individu menjadi lebih sensitif dan mudah marah

y y y y y

Individu tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas dan lebih sering terlihat diam dan murung. Individu lebih suka menyendiri Individu menarik diri dari lingkungan Individu sering menunda ataupun menghindari pekerjaan/tugas Individu mengkonsumsi narkoba atau minuman keras.

Sumber Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma. http://id.wikipedia.org/wiki/Stres http://www.baliusada.com/content/view/333/2/ Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS
Oleh: devianggraeni90 | April 21, 2011

Pengaruh Privasi Terhadap Perilaku Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mecatat bahwa pengelolahan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan. Sedangkan Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang sulit. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari dan kita juga dapat melakukan evaluasi diri serta membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri. Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.

Personal Space (Ruang Personal)


Menurut Sommer (dalam Alt man, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang dengan batasan-batasan yang tidak jelas dimana seseoramg tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak / daerah di sekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkn orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri. Beberapa definisi ruang personal secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain : 1. Ruang personal adalah batasan-batasan yang tidak jelas antara seseorang dengan orang lain.

2. Ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. 3. Pengaturan ruang personal merupakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. 4. Ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, maka dapat berakibat kecemasan, stress, dan bahkan perkelahian. 5. Ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain : berhadapan, saling membelakangi, dan searah. Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat 4 zona spasial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak publik. Kajian ini kemudian dikenal dengan istilah Proksemik (kedekatan) atau cara seseorang menggunakan ruang dalam berkomunikasi (dalam Altman, 1975).

Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkap bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya / area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain. Menurut Sommer dan de War perbedaan ruang personal dengan teritorialitas adalah ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi dan tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain. Sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah dengan batasanbatasan yang nyata. Karakter dasar dari suatu teritori yaitu 1. 2. 3. 4. Kepemilikan dan tatanan tempat. Personalisasi atau penandaan wilayah. Taturan atau tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan Kemampuan berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar, psikologis, sampai kepuasan kognitif dan kebutuhan estetika.

Hubungan antara privasi, ruang personal dan teritorialitas dengan lingkungan.


Hubungan antara privasi, ruang personal, dan teritorialitas dengan lingkungan yaitu : manusia memerlukan privasi untuk dirinya sendiri agar ia merasa nyaman dan orang lain tidak mengetahui aktivitas apa yang dilakukan dan manusia juga membutuhkan ruang personal agar mereka bisa terlepas dari kepenatan dan kesesakan serta bisa menjadi suatu tempat dimana manusia menarik dirinya dari kerumunan orang sekitarnya. Selain itu manusia juga memerlukan teritorialitas dimana mereka mempunyai tempat untuk dirinya sendiri dan orang-orang terdekatnya. perilaku teritorialitas dalam hubungannya dengan lingkungan dapat dilihat pada penggunaan elemen-elemen fisik untuk menandai demarkasi teritori yang dimiliki seseorang, misalnya pagar halaman. Teritorialitas ini terbagi sesuai dengan sifatnya yaitu mulai dari yang privat sampai yang publik. Intinya seseorang memerlukan privasi, ruang personal dan

teritorialitas untuk mendapatkan kenyamanan untuk dirinya. Ketika individu mempresepsikan daerah teritorinya sebagai daerah kekuasaannya, itu berarti mempunyai kemungkinan untuk mencegah segala kondisi ketidaknyamanan terhadap teritorinya. sumber : Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma. Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS
Oleh: devianggraeni90 | Maret 27, 2011

Kepadatan dan Kesesakan


Kepadatan dan Kesesakan
KEPADATAN A. Pengertian Kepadatan Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstradan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992). Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalamWorchel dan Cooper, 1983). Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah. Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan. Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu. Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-rnenolong sesama anggota kelompok. Ketiga, terjadi penurunan ketekuuan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks. Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative. pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi. B. Kategori Kepadatan Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi :
y y y y y

Jumlah individu dalam sebuah kota Jumlah individu pada daerah sensus Jumlah individu pada unit tempat tinggal Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.

Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu :
y y y y

Jumlah individu pada setiap ruang Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal Jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian Jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman.

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :

Kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang. Kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Sedangkan Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :


y y

Kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar. Kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah. Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu: 1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah. 2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah. 3. Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi. 4. Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.

C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi Rumah dan lingkungan pemukiman akan memberi pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal, Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stres dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal di sana (lttelson, 1974). Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan McFarling, 1978) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi sosial. Para mahasiswa yang bertempat tinggal di asrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung untuk menghindari kontak sosial dengan orang lain. Penelitian yang diadakan oleh Karlin dkk, (dalam Sears dkk., 1994) mencoba membandingkan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam dalam satu kamar. Kesemuanya itu tinggal dalam kamar yang dirancang untuk dua orang. Temyata mahasiswa yang tinggal bertiga melaporkan adanya stres dan kekecewaan yang secara nyata lebih besar dari pada mahasiswa yang tinggal berdua. Selain itu mereka yang tinggal bertiga juga lebih rendah prestasi belajamya. Pengaruh ini ternyata lebih berat dihadapi pada mahasiswi yang lebih banyak mengubah lingkungan untuk menyesuaikan diri, sebaliknya pada mahasiswa pada umumnya lebih banyak mengubah perilaku untuk menyesuaikan diri. Para mahasiswi berusaha membuat bagian ruang yang sudah sempit tersebut agar dapat menjadi ruang yang menyenangkan, sementara para mahasiswa lebih banyak menggunakan waktunya di luar. Penelitian terhadap kehidupan dalam penjara juga membuktikan tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Penelitian DAtri dan McCain (dalam Sears dkk., 1994) membuktikan bahwa narapidana yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan narapidana yang tinggal dalam penjara tipe asrama. Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila dihuni oleh sejumlah besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negatif pada penghuninya (Jain, 1987). Hal ini terjadi karena dalarn rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu

merasa tidak mampu rnengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhimya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut. Menurut Heimstra dan McFarling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis.
y

Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan Mefarling, 1978). Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987). Akibat secara psikis antara lain:

1. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982). 2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987). 3. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984). 4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982). 5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhimya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982). Di pemukiman padat, individu umumnya akan dihadapkan pada keadaan yang tidak menyenangkan. Di samping keterbatasan ruang, individu juga mengalarni kehidupan sosial yang lebih rumit. Keadaan padat ini memungkinkan individu tidak ingin mengetahui kebutuhan individu lain di sekitamya tetapi lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingannya serta kurang memperhatikan isyarat-isyarat sosial yang muncul. Salah satu akibat negatif yang terjadi sebagai respon individu terhadap stresor lingkungan seperti lingkungan padat yaitu menurunnya intensi prososial individu. Penelitian-penelitian tentang hubungan kepadatan dan perilaku prososial di daerah perkotaan dan pedesaan telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan Milgram (1970) ditemukan bahwa orang yang tinggal di kota sedikit dalam memberi bantuan dan informasi bagi orang yang tidak dikenal dari pada orang yang tinggal di daerah pedesaan. Begitu pula dalam mengizinkan untuk menggunakan telepon bagi orang lain yang memerlukan (Fisher, 1984). Adapun proses tersebut dapat menunjukkan bahwa kepadatan mempunyai hubungan terhadap perilaku prososial seseorang. Hal ini dapat dijelaskan oleh teori beban stimulus dari Milgram

(dalam Wrightsman & Deaux, 1984). Dalam teori ini menjelaskan bahwa kondisi kota yang padat yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor seperti faktor perbedaan individu, situasi dan kondisi sosial di kota mengakibatkan individu mengalami stimulus overload (stimulus yang berlebihan), sehingga individu harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus-stimulus yang akan diterima, memberi sedikit perhatian terhadap stimulus yang masuk. Hal ini dilakukan dengan menarik diri atau mengurangi kontak dengan orang lain, yang akhimya dapat mempengaruhi perilaku menolong pada individu. Proses tersebut diatas dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :

KESESAKAN A. Pengertian Kesesakan Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil, Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang.

Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982). Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:
y y y y

Karakteristik seting fisik Karakteristik seting sosial Karakteristik personal Kemampuan beradaptasi

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial dan kesesakan sosial :
y

Kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu di mana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit. Kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak.

Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar


y y

Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota, sedangkan Kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok keeil dan kejadian-kejadian interpersonal.

Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda. Besar kecilnya ukuran rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rurnah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989). Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang di sini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.

Pendapat lain datang dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasamya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terIalu banyak. B. Teori-teori Kesesakan Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga.model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku dan teori ekologi (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982). 1. Teori Beban Stimulus. kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti :
y y y y y

Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat Suatu percakapan yang tidak dikehendaki Terlalu banyak mitra interaksi Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama

Individu akan melakukan penyaringan atau pemilahan terhadap informasi yang berlebihan tersebut. Stimulus yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya akan diabaikan. Stimulus yang penting dan bermanfaat bagi dirinyalah yang akan diperhatikan (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982). 2. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia : 1. Teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal batik antara orang dengan lingkungannya. 2. Unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. 3. Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.

Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak. atau pesta ulang tahun. Analisis terhadap seting meliputi : 1. Maintenance Minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4 x 3 meter bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar. 2. Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan). 3. Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
y y

Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri. Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga.

3. Teori Kendala Perilaku. Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya. C. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak, sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologis, dan menurunnya kualitas hidup (freedman, 1973). Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja

dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius. Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakitpenyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983). Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial,.berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982). Gove dan Hughes (1983) mendapatkan adanya korelasi antara kesesakan dalam rumah tangga dengan hubungan perkawinan dan hubungan sosial dengan tetangga yang kurang harmonis, serta kurangnya perhatian terhadap anak. Ditambahkan oleh Ancok (1989), perasaan sesak (crowding) di dalam rumah akan menimbulkan beberapa permasalahan antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. Menurunnya frekuensi hubungan sex. Memburuknya interaksi suami isteri. Mcmburuknya cara pengasuhan anak. Memburuknya hubungan dengan orang-orang di luar rumah. Meningkatnya ketegangan dan gangguan jiwa.

Penyebab terjadinya kelima permasalahan di atas adalah karena kebutuhan ruangan yang sifatnya personal tidak terpenuhi. Hal ini menyebabkan banyak perilaku untuk memenuhi keinginan (goal directed behavior) tidak terselesaikan. Selanjutnya oleh Ancok dijelaskan bahwa rumah yang dalam keadaan sesak akan berakibat stres pada orang tua, selanjutnya akan berakibat pada perlakuan buruk terhadap anak, sehingga anak akan merasa tidak aman. Perasaan tidak aman itu selanjutnya besar kemungkinannya berakibat pada perkembangan kepribadian yang patologis pada anak. Pertumbuhan kecerdasan anak sangat dipengaruhi pada stimulasi mental yang dapat diperoleh anak dalam lingkungannya. Pada fase balita atau perkembangan awal, anak-anak sangat memerlukan ruangan yang dapat digunakan untuk berlari, bergerak, dan bermain. Dalam bermain, anak-anak pada hakikatnya melakukan beberapa eksperimen untuk memperkaya pengalaman pribadinya. Hasil penelitian Gump menunjukkan bahwa anak-anak yang bertempat tinggal di rumah yang sesak akan mengalami keterlambatan kemampuan membaca, sering bolos sekolah, dan mengalami ketegangan yang menyebabkan apatis hingga membuat mereka menjadi malas (dalam Ancok, 1989). Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk.(1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian, Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olah raga atau menghadiri reuni atau resepsi. Artikel yang berhubungan dengan dampak kesesakan dan kepadatan penduduk, khususnya di lingkungan tempat tinggal terhadap perilaku individu. Bentrokan Antarpemuda di Tanahtinggi

Joharbaru, Warta Kota BENTROKAN antarpemuda yang terjadi di Kelurahan Tanahtinggi, Joharbaru, Jakarta Pusat, Minggu (26/9) tengah malam, bukan baru kali ini terjadi. Tawuran sudah menjadi bagian dari keseharian warga salah satu kawasan permukiman padat dan kumuh di Jakarta Pusat tersebut, sebagaimana diungkapkan Ketua RW 12 Samsudin. Menurut Samsudin, bentrokan terjadi di Jalan Tanah Tinggi 12 dan melibatkan pemuda dari RT 13 RW 7 dan RW 6,8, serta 12. Saya sendiri nggak tahu penyebab pastinya apa dan dari kelompok mana yang memulai duluan. Tetapi biasanya karena masalah sepele seperti salah paham saat futsal atau saling ejek saja, katanya.

Samsudin menambahkan bahwa kerapnya terjadi bentrokan bisa jadi lantaran tingkat pendidikan warga yang rendah dan masalah ekonomi. Pasalnya, orangtua dari kalangan miskin sibuk mencari nafkah sehingga tidak sempat memberikan pendidikan kepada anak-anaknya yang banyak berkeliaran di malam hari. Apalagi kondisi rumah umumnya hanya berukuran sekitar 3 meter x 4 meter dan didiami dua keluarga. Samsudin berharap masalah bentrokan itu ditangani langsung oleh polisi, camat, lurah, dan wali kota dengan langsung turun menyentuh tingkat sosial masyarakat terendah. Selama ini yang didekati hanyalah RT dan RW serta kelurahan, namun pemuda dan ABG tidak disentuh. Jadi seharusnya dilakukan pendekatan sosiologis. Ajak pemuda dan ABG di sini untuk berorganisasi atau adakan kegiatan bersama. Jadi mereka merasa terlibat dalam satu kelompok. Sehingga saling mengenal, terangnya. Selain itu, kata Samsudin, diharapkan polisi meningkatkan razia di malam hari, seperti razia senjata tajam atau yang lainnnya sehingga membuat segan para pemuda dan ABG untuk nongkrong di pinggir jalan. Jangan cuma mendekati pemimpin di tingkat struktural saja, tapi turun langsung ke masyarakat, tutur Samsudin. Kelurahan Tanahtinggi seluas 62,40 ha tergolong wilayah padat dengan jumlah penduduk sekitar 38.000 jiwa. Pengajar Antropologi Perkotaan dari Universitas Indonesia, Rusli Cahyadi, mengatakan, konflik di wilayah permukiman padat dan kumuh kerap melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Untuk mengatasi itu, aparat wilayah harus bisa memetakan para pemangku kepentingan yang kemungkinan memiliki motif ekonomi dan politik di wilayah tersebut. Bandar narkoba misalnya, selalu punya kepentingan untuk memicu konflik. Karena itu dengan pendekatan motif politik-ekonomi pada berbagai tingkatan di masyarakat, dapat dicapai solusi yang tepat. Untuk jangka pendek, polisi dan bila perlu tentara turun tangan menangani para pemangku kepentingan yang terlibat, tuturnya. Rusli juga melihat Operasi Yustisi yang digelar Pemprov DKI tepat bila diterapkan di kantong permukiman padat penduduk seperti Tanahtinggi untuk merapikan sistem administrasi wilayah. Tawuran kemarin terjadi hampir sepanjang malam dan baru dapat dihentikan polisi dari Polsektro Joharbaru dan Porestro Jakarta Pusat sekitar pukul 03.00. Solusi penanganan konflik Tanah Tinggi
y y y y y y

Pemetaan sosial-politik-ekonomi wilayah setempat Tetapkan siapa saja pemangku kepentingan yang berpotensi memicu konflik Pembenahan sistem administrasi kependudukan wilayah Perbanyak kegiatan yang melibatkan unsur pemuda setempat Optimalisasi peran RT-RW dan tokoh masyarakat dengan insentif yang layak Penegakan hukum yang tegas terhadap pengedar narkoba dan pemicu konflik

sumber :

Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Jakarta : penerbit Gunadarma. http://www.wartakota.co.id/detil/berita/30632/Bentrokan-Antarpemuda-di-Tanahtinggi

Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS


Oleh: devianggraeni90 | Februari 26, 2011

Tugas Psikologi Lingkungan


Tugas Psikologi Lingkungan

Psikologi Lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam. Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaan dan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia. Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan. Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh psikologis historis suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya. Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka. Sebagai contoh, tengok saja yang terjadi di zaman sekarang. Kini, banyak orang yang tinggal di dalam lingkungan baik dan religius, namun perilakunya sangat tidak mencerminkan lingkungan

tempat dia tinggal. Meskipun orang tersebut sangat kenal dengan moral yang baik, belum tentu orang tersebut akan berlaku baik. Karena ternyata lingkungan sosial di zaman sekarang tidak bisa membentuk pribadi seseorang. Seseorang bisa saja tinggal dalam lingkungan pesantren yang selalu diajarkan akidah dan akhlak yang baik. Namun, sifat dasar manusia selalu penasaran dan ingin mencari kebenaran sendiri dengan mencari perbandingan sendiri. Pengaruh Teknologi Teknologi sekarang sudah sangat canggih. Alat telekomunikasi seperti internet dan telepon memeberi pengaruh besar kepada pribadi seseorang. Sehingga orang yang tinggal di lingkungan pesantren bukan tidak mungkin berpandangan liberal dan kebarat-baratan. Ternyata, pengaruh dunia maya sangat besar dalam membentuk pribadi seseorang. Pada masa sekarang ini, Indonesia sedang mengalami transformasi besar-besaran, baik akibat perubahan kondisional, seperti pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa, maupun interaksi yang intensif antara kebudayaan asli dengan kebudayaan mancanegera, khususnya melalui jaringan telekomunikasi yang sangat canggih seperti, televisi dan internet. Perubahan penduduk yang pesat telah membawa dampak perubahan perilaku yang dahsyat. Semula, komunitas primordial dapat memenuhi kebutuhan pokok anggota-anggotanya. Kini, pertambahan penduduk yang pesat menghancurkan kepentingan komunitas tersebut. Pertambahan penduduk ini juga berdampak pula pada pola-pola migrasi. Urbanisasi makin deras sehingga menimbulkan penumpukan penduduk di kota-kota. Penumpukan warga kota yang semakin padat menyebabkan lapangan pekerjaan semamikin menyempit. Hal ini akan menimbulkan kemiskinan. Kemiskinan akan menyebabkan perilaku yang beringas di perkotaan dan meningkatnya tindak kriminalitas, seperti pencopetan, penodongan, dan tindak kekerasan lainnya. Perubahan perilaku yang deras juga terjadi akibat interaksi antara sistem kebudayaan yang berbeda-beda. Ambilah contoh perilaku masyarakat desa yang sudah pindah ke kota besar. Mereka cenderung menjadi orang-orang yang hedonis, konsumtif dan kapitalis karena beranggapan bahwa sikap semacam itulah yang dinamakan sikap manusia modern. Lingkungan kota sangat berbeda dengan lingkungan desa. Jika lingkungan kota adalah lingkungan pekerja yang dekat dengan teknologi canggih, seperti karyawan pabrik yang akrab dengan mesin-mesin pabrik dengan teknologi tinggi atau karyawan kantor yang akrab dengan media komputer, sementara masyarakat desa akrab dengan lingkungan alam karena kebanyakan mereka bekerja sebagai petani. Maka jelaslah secara perilaku akan jauh berbeda, meskipun tidak menutup kemungkinan masyarakat desa pun sudah mengenal teknologi seperti internet sehingga pengaruh budaya luar dengan mudah masuk ke dalam isme mereka.

Sistem kebudayaan masyarakat kota itu sudah sangat terkontaminasi dengan pengaruh budaya asing sehingga perilaku masyarakat kota lebih individualis daripada masyarakat desa. Perilaku ini sangat dipengaruhi oleh interaksi, interelasi, dan interdepensi dari berbagai budaya yang membawa perubahan dari yang paling profan sampai yang paling sakral. Interaksi ini terjadi pada hampir semua sektor kebudayaan, seperti ekonomi, sosial, politik, juga pada agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan kesenian. Perubahan ini tidak bisa dianggap sebagai perubahan yang serasi, selaras dan seimbang, tetapi lebih berupa konflik. Value Confusion Dari konflik inilah muncul apa yang disebut Value Confusion, ketika nilai-nilai yang berbeda bahkan bertentangan dianggap sama sahnya. Misalnya nilai rukun dan nilai kebebasan. Terkadang muncul pula suasana kosong nilai atau anomi, karena tak ada lagi nilai-nilai yang dapat dijadikan pegangan. Mencermati hal di atas maka perilaku masyarakat kota itu cenderung lebih bebas karena sudah tidak mengindahkan nilai-nilai yang ada. Mungkin dapat dikatakan bahwa perilaku masyarakat kota itu lebih tidak bermoral daripada masyarakat desa.

Analisis
Lingkungan dapat mempengaruhi atau merubah perilaku individu, perubahan tersebut terjadi karena individu harus menyesuaikan diri/beradaptasi dengan lingkungan dimana ia berada. Bila individu tidak beradaptasi dengan lingkungannya, maka akan terjadi konflik antara individu tersebut dengan lingkungannya.

Teori Lingkungan
1. Teori Level Adaptasi

Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negatif bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku optimal pula (Veitch & Arkkelin, 1995). Dengan demikian dalam teori ini dikenal perbedaan individu dalam level adaptasi. Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi di dalam suatu sistem, artinya ketidakseimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan. Salah satu teori beban lingkungan adalah teori adaptasi stimulasi yang optimal oleh Wohwill (dalam Fisher, 1984) menyatakan bahwa ada 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan yaitu :
y

Intensitas. Terlalu banyak orang atau terlalu sedikit orang disekeliling kita, akan membuat gangguan psikologis. Terlalu banyak orang menyebabkan perasaan sesak (crowding) dan terlalu sedikit orang merasa terasing (socialisolation).

Keanekaragaman. Keanekaragaman benda atau manusia berakibat terhadap pemrosesan informasi. Terlalu beraneka membuat perasaan overload dan kekurangan anekaragaman membuat perasaan monoton. Keterpolaan. Keterpolaan berkaitan dengan kemampuan memprediksi. Jika setting dengan pola yang tidak jelas dan rumit menyebabkan beban dalam pemrosesan informasi sehingga stimulus sulit diprediksi, sedangkan pola pola yang jelas menyebabkan stimulus mudah diprediksi. Teori Stres Lingkungan ( environment stress theory )

2.

Teori ini merupakan aplikasi teori stres dalam lingkungan. Stres terdiri atas 3 komponen stressori, proses dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas, atau kepadatan. Respon stres adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas diri. Istilah stres tidak hanya merujuk pada sumber stres, respon terhadap sumber stres saja, tetapi saling terkait antara ketiganya. 3 Beberapa Ekologi ( ecological theory )

Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem ( Hawley dalam Himmam & Faturrochman, 1994 ),yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut :
y y y y

Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan. Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia dan lingkungan Interaksi manusia dan lingkungan bersifat dinamis. Interaksi manusia dan lingkungan terjadi dalam berbagai level dan tergantung pada fungsi.

Pengaruh Lingkungan terhadap Individu


Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya. Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut : 1. Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusiamanusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya. Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan

bertingkah laku dengan sesamanya. Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali. 2. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya. Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai : 1. Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung ke rumah. 2. Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya. 3. Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin. 4. Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga di kamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya.

Sumber http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm http://new.surabaya-metropolis.com/lingkungan/pengaruh-lingkungan-terhadap-individu.html

Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS


Oleh: devianggraeni90 | Februari 23, 2011

Artikel Perilaku Agresif


Artikel Perilaku Agresif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (dalam Masykouri, 2005: 12.7) sekitar 5-10% anak usia sekolah menunjukan perilaku agresif. Secara umum, anak laki-laki lebih banyak menampilkan perilaku agresif, dibandingkan anak perempuan. Menurut penelitian, perbandingannya 5 berbanding 1, artinya jumlah anak laki-laki yang melakukan perilaku agresif kira-kira 5 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan. Lebih lanjut Masykouri menejelaskan, penyebab perilaku agresif diindikasikan oleh empat faktor utama yaitu gangguan biologis dan penyakit, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan pengaruh budaya negatif. Faktor-faktor penyebab ini sifatnya kompleks dan tidak mungkin hanya satu faktor saja yang menjadi penyebab timbulnya perilaku agresif Keempat faktor penyebab anak berperilaku agresif adalah sebagai berikut: A. Faktor Biologis Emosi dan perilaku dapat dipengaruhi oleh faktor genetic, neurologist atau faktor biokimia, juga kombinasi dari faktor ketiganya. yang jelas, ada hubungan antara tubuh dan perilaku, sehingga sangat beralasan untuk mencari penyebab biologis dari gangguan perilaku atau emosional. misalnya, ketergantungan ibu pada alcohol ketika janin masih dalam kandungan dapat menyebabkan anak berkebutuhan khusus dan berbagai gangguan termasuk emosi dan perilaku. Ayah yang peminum alkohol menurut penelitaian juga beresiko tinggi menimbulkan perilaku agresif pada anak. Perilaku agresif dapat juga muncul pada anak yang orang tuanya penderita psikopat (gangguan kejiwaan). Semua anak sebenarnya lahir dengan keadaan biologis tertentu yang menentukan gaya tingkah laku atau temperamennya, meskipun temperamen dapat berubah sesuai pengasuhan. Selain itu, penyakit kurang gizi, bahkan cedera otak, dapat menjadi penyebab timbulnya gangguan emosi atau tingkah laku.

B. Faktor Keluarga Faktor keluarga yang dapat menyebabkan anak berkebutuhan khusus dan berperilaku agresif, dapat diidentifikasikan seperti berikut. 1. Pola asuh orang tua yang menerapkan disiplin dengan tidak konsisiten. Misalnya orang tua sering mengancam anak jika anak berani melakukan hal yang menyimpang. Tetapi ketika perilaku tersebut benar-benar dilakukan anak, hukuman tersebut kadang diberikan kadang tidak, membuat anak bingung karena tidak ada standar yang jelas. hal ini memicu perilaku agresif pada anak. Ketidakkonsistenan penerapan disiplin jika juga terjadi bila ada pertentangan pola asuh antara kedua orang tua, misalnya si Ibu kurang disiplin dan mudah melupakan perilaku anak yang menyimpang, sedang si ayah ingin memberikan hukuman yang keras. 2. Sikap permisif orang tua, yang biasanya berawal dari sikap orang tua yang merasa tidak dapat efektif untuk menghentikan perilaku menyimpang anaknya, sehingga cenderung membiarkan saja atau tidak mau tahu. Sikap permisif ini membuat perilaku agresif cenderung menetap. 3. Sikap yang keras dan penuh tuntutan, yaitu orang tua yang terbiasa menggunakan gaya instruksi agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu, jarang memberikan kesempatan pada anak untuk berdiskusi atau berbicara akrab dalam suasana kekeluargaan. Dalam hal ini muncul hukum aksi-reaksi, semakin anak dituntut orang tua, semakin tinggi keinginan anak untuk memberontak dengan perilaku agresif. 4. Gagal memberikan hukuman yang tepat, sehingga hukuman justru menimbulkan sikap permusuhan anak pada orang tua dan meningkatkan sikap perilaku agresif anak. 5. Memberi hadiah pada perilaku agresif atau memberikan hukuman untuk perilaku prososial. 6. Kurang memonitor dimana anak-anak berada 7. Kurang memberikan aturan 8. Tingkat komunikasi verbal yang rendah 9. Gagal menjadi model yang baik 10. Ibu yang depresif yang mudah marah C. Faktor Sekolah Beberapa anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku sebelum mereka mulai masuk sekolah, sedangkan beberapa anak yang lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah. Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain: 1) teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, 2) para guru, dan 3) disiplin sekolah. 1. Pengalaman bersekolah dan lingkungannya memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku agresif anak demikian juga temperamen teman sebaya dan kompetensi sosial 2. Guru-guru di sekolah sangat berperan dalam munculnya masalah emosi dan perilaku itu. Perilaku agresifitas guru dapat dijadikan model oleh anak. 3. Disiplin sekolah yang sangat kaku atau sangat longgar di lingkungan sekolah akan sangat membingungkan anak yang masih membutuhkan panduan untuk berperilaku. Lingkungan

sekolah dianggap oleh anak sebagai lingkungan yang memperhatikan dirinya. Bentuk perhatian itu dapat berupa hukuman, kritikan ataupun sanjungan. D. Faktor Budaya Pengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, terutama televisi dan film. Menurut Bandura (dalam Masykouri, 2005: 12.10) mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di media, sebagai berikut. 1. Mengajari anak dengan tipe perilaku agresif dan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif. 2. Anak menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima. 3. Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial). 4. Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup. Akibat sering nonton salah satu kartun, dan film robot di beberapa stasiun TV, anak cenderung meniru tokoh tersebut dan selain itu juga meniru perilaku saudara sepupu teman sepermainannya. Terkadang orang tua melarang putra putrinya untuk menonton film film kartun dan film robot tersebut tentunya dengan memberikan penjelasan, tetapi belum membuahkan hasil yang maksimal. Selain itu, faktor teman sebaya juga merupakan sumber yang paling mempengaruhi anak. Ini merupakan faktor yang paling mungkin terjadi ketika perilaku agresif dilakukan secara berkelompok. Ada teman yang mempengaruhi mereka agar melakukan tindakan-tindakan agresif terhadap anak lain. Biasanya ada ketua kelompok yang dianggap sebagai anak yang jagoan, sehingga perkataan dan kemauanya selalu diikuti oleh temannya yang lain. Faktor-faktor Penyebab Anak Berperilaku Agresif di atas sangat kompleks dan saling mempengaruhi satu sama lain. Analisa Ternyata lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sangat menentukan apakah seseorang berperilaku agresif atau tidak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Anderson & Bushman bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Individu yang tidak mempunyai sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajari prilaku agresif tersebut dari lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan menampilkan perilaku agresif jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung atau mengajarinya berperilaku agresif.

Teori Agresif

Teori social learning perspective Teori social learning perspective (e.g., Bandura, 1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung pada banyak faktor situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif. Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif: 1. Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar STM X yang sering tawuran dengan pelajar STM Y akan mengasosiasikan pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang yang memakai seragam STM Y. 2. Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan selfesteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut. 3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya. 4. Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil memiting tangan temannya setelah menonton acara Smack Down. 5. Social Comparison. Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya. 6. Learning by Experience. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yang agresif (suka berkelahi).

Teori Lingkungan
1. Teori Level Adaptasi

Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negatif bagi perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku optimal pula (Veitch & Arkkelin, 1995). Dengan demikian dalam teori ini dikenal perbedaan individu dalam level adaptasi. Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu disonansi di dalam suatu sistem, artinya ketidakseimbangan antara interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan. Salah satu teori beban lingkungan adalah teori adaptasi stimulasi yang optimal oleh Wohwill (dalam Fisher, 1984) menyatakan bahwa ada 3 dimensi hubungan perilaku lingkungan yaitu :
y

Intensitas. Terlalu banyak orang atau terlalu sedikit orang disekeliling kita, akan membuat gangguan psikologis. Terlalu banyak orang menyebabkan perasaan sesak (crowding) dan terlalu sedikit orang merasa terasing (socialisolation). Keanekaragaman. Keanekaragaman benda atau manusia berakibat terhadap pemrosesan informasi. Terlalu beraneka membuat perasaan overload dan kekurangan anekaragaman membuat perasaan monoton. Keterpolaan. Keterpolaan berkaitan dengan kemampuan memprediksi. Jika setting dengan pola yang tidak jelas dan rumit menyebabkan beban dalam pemrosesan informasi sehingga stimulus sulit diprediksi, sedangkan pola pola yang jelas menyebabkan stimulus mudah diprediksi.

2.

Teori Stres Lingkungan ( environment stress theory )

Teori ini merupakan aplikasi teori stres dalam lingkungan. Stres terdiri atas 3 komponen stressori, proses dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas, atau kepadatan. Respon stres adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas diri. Istilah stres tidak hanya merujuk pada sumber stres, respon terhadap sumber stres saja, tetapi saling terkait antara ketiganya. 3 Beberapa Ekologi ( ecological theory ) Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem ( Hawley dalam Himmam & Faturrochman, 1994 ),yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut :
y y y

Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan. Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia dan lingkungan. Interaksi manusia dan lingkungan bersifat dinamis.

Interaksi manusia dan lingkungan terjadi dalam berbagai level dan tergantung pada fungsi.

Pengaruh Lingkungan terhadap Individu

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman, karena dengan lingkungan itu individu mulai mengalami dan mengecap alam sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari pengaruh lingkungan itu, karena lingkungan itu senantiasa tersedia di sekitarnya. Sejauh mana pengaruh lingkungan itu bagi diri individu, dapat kita ikuti pada uraian berikut : 1. Lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial Yang dimaksud dengan lingkungan pada uraian ini hanya meliputi orang-orang atau manusiamanusia lain yang dapat memberikan pengaruh dan dapat dipengaruhi, sehingga kenyataannya akan menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan bergaul satu dengan yang lainnya. Terputusnya hubungan manusia dengan masyarakat manusia pada tahun-tahun permulaan perkembangannya, akan mengakibatkan berubahnya tabiat manusia sebagai manusia. Berubahnya tabiat manusia sebagai manusia dalam arti bahwa ia tidak akan mampu bergaul dan bertingkah laku dengan sesamanya. Dapat kita bayangkan andaikata seorang anak manusia yang sejak lahirnya dipisahkan dari pergaulan manusia sampai kira-kira berusia 10 tahun saja, walaupun diberinya cukup makanan dan minuman, akan tetapi serentak dia dihadapkan kepada pergaulan manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia tidak akan mampu berbicara dengan bahasa yang biasa, canggung pemalu dan lain-lain. Sehingga kalaupun dia kemudian dididik, maka penyesuaian dirinya itu akan berlangsung sangat lambat sekali. 2. Lingkungan membuat wajah budaya bagi individu Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah menjadi kekayaan budaya bagi dirinya. Lingkungan dapat membentuk pribadi seseorang, karena manusia hidup adalah manusia yang berfikir dan serba ingin tahu serta mencoba-coba terhadap segala apa yang tersedia di alam sekitarnya. Lingkungan memiliki peranan bagi individu, sebagai :
y

Alat untuk kepentingan dan kelangsungan hidup individu dan menjadi alat pergaulan sosial individu. Contoh : air dapat dipergunakan untuk minum atau menjamu teman ketika berkunjung ke rumah.

Tantangan bagi individu dan individu berusaha untuk dapat menundukkannya. Contoh : air banjir pada musim hujan mendorong manusia untuk mencari cara-cara untuk mengatasinya. Sesuatu yang diikuti individu. Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa memberikan rangsangan kepada individu untuk berpartisipasi dan mengikutinya serta berupaya untuk meniru dan mengidentifikasinya, apabila dianggap sesuai dengan dirinya. Contoh : seorang anak yang senantiasa bergaul dengan temannya yang rajin belajar, sedikit banyaknya sifat rajin dari temannya akan diikutinya sehingga lama kelamaan dia pun berubah menjadi anak yang rajin. Obyek penyesuaian diri bagi individu, baik secara alloplastis maupun autoplastis. Penyesuaian diri alloplastis artinya individu itu berusaha untuk merubah lingkungannya. Contoh : dalam keadaan cuaca panas individu memasang kipas angin sehingga di kamarnya menjadi sejuk. Dalam hal ini, individu melakukan manipulation yaitu mengadakan usaha untuk memalsukan lingkungan panas menjadi sejuk sehingga sesuai dengan dirinya. Sedangkan penyesuaian diri autoplastis, penyesusian diri yang dilakukan individu agar dirinya sesuai dengan lingkungannya. Contoh : seorang juru rawat di rumah sakit, pada awalnya dia merasa mual karena bau obat-obatan, namun lama-kelamaan dia menjadi terbiasa dan tidak menjadi gangguan lagi, karena dirinya telah sesuai dengan lingkungannya

Sumber : Sarwono, S.W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustak. http://belajarpsikologi.com/faktor-penyebab-anak-berperilaku-agresif/ http://new.surabaya-metropolis.com/lingkungan/pengaruh-lingkungan-terhadap-individu.html Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS
Oleh: devianggraeni90 | Januari 12, 2011

Tugas psikologi kelompok


Tugas psikologi kelompok

Qosidahan Ibu-ibu di Majlis Talim Al-Barokah Kebantenan Jati Asih


Di jati Asih, tepatnya di Mesjid Al-Barokah terdapat satu kelompok Qosidahan ibu-ibu. Berdasarkan hasil wawancara, Qosidahan ini diketuai oleh ibu Hj. Iim.

Sejarah terbentuknya Qosidahan ini berawal dari keinginan ibu Hj. Iim untuk mempelajari tentang Qosidahan. Lihat-lihat di majlis talim yang lain pada bisa Qosidahan, masa di majlis talim al-barokah tidak bisa. Jadi karena itu, saya ingin buat Qosidahan dan alhamdulillah niat saya disambut baik oleh ibu-ibu pengajian. Kata ibu Hj. Iim. Qosidahan ini sudah berdiri sejak lama dan sudah beberapa kali ganti anggota. Ibu Hj. Iim sendiri adalah pengurus dari generasi baru karena generasi lama sudah bubar. dulu Qosidahan ini pernah berhenti, yah kira-kira setengah tahun. Karena ibu-ibunya pada sibuk ngurusin rumah tangga tapi setelah itu dibentuk lagi yang baru. Kata ibu Hj. Iim. Qosidahan ini beranggotakan 11 orang, yaitu : ibu Hj. Iim, ibu Emet, ibu Pipi, ibu Elin, ibu Lilis, ibu Tarni, ibu Dito, ibu Pito, ibu Ratna, ibu Deden, dan ibu Roheni. Mereka memainkan beberapa alat musik seperti, rebbana, hajir, marawis, hadro, beduk, dumbuk batu, dumbuk pinggang, gendang dan menyayikan lagu-lagu islam. Mereka sering tampil di berbagai acara, seperti acara pernikahan, selametan, potong rambut [bayi], akekahan, khitanan [sunatan], dan acara BKMB [Badan Kontak Majlis Talim] yang di hadiri oleh ibu wakil wali kota Bekasi. Mereka latihan pada hari senin, setelah ashar. Intensitas latihan akan ditingkatkan bila mereka diundang untuk mengisi suatu acara. alat-alat Qosidahan

Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS


Oleh: devianggraeni90 | Januari 12, 2011

TUGAS REVIEW JURNAL

TUGAS REVIEW JURNAL TENTANG KELOMPOK

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT serta junjungan nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan nikmat sehat kepada kita semua. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada pemilik jagad raya yang tak terbatas ini, yang juga kita jadikan sebagai penuntun hidup di dunia ini agar kita dapat menjadi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Amin. Alhamdulillah, dengan terselesaikannya pembuatan review jurnal tentang kelompok ini, kami sangat bersyukur. Karena dengan niat yang baik kami ingin melengkapi tugas yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan guna memenuhi nilai mata kuliah tersebut. Review jurnal ini berisi tentang pembentukan suatu kelompok, konflik kelompok, prestasi kelompokn beserta penjabaran lainnya yang saling berkaitan. Kami berharap dengan kehadiran tulisan ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi para pembaca yang tidak mengetahui secara dalam tentang hal tersebut. Demikian yang bisa kami sampaikan, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini. Kritik yang membangun adalah satu hal yang kami butuhkan. Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih. Wassalam Wr.Wb.

PEMBAHASAN TEORI MENGENAI KELOMPOK A. PEMBENTUKAN KELOMPOK Model pembentukan suatu kelompok pertama kali diajukan oleh Bruce Tackman pada 1965. Teori ini dikenal sebagai salah satu teori pembentukan kelompok yang terbaik dan menghasilkan banyak ide-ide lain setelah konsep ini dicetuskan. Teori ini memfokuskan pada cara suatu kelompok menghadapi suatu tugas mulai dari awal pembentukan kelompok hingga proyek selesai. Selanjutnya Tuckman menambahkan tahap kelima yaitu adjourning dan transforming untuk melengkapi teori ini. 1. Tahap 1 Forming

Pada tahap ini, kelompok baru saja dibentuk dan diberikan tugas. Anggota kelompok cenderung untuk bekerja sendiri dan walaupun memiliki itikad baik namun mereka belum saling mengenal dan belum bisa saling percaya. Waktu banyak dihabiskan untuk merencanakan, mengumpulkan infomasi dan mendekatkan diri satu sama lain. 1. Tahap 2 Storming Pada tahap ini kelompok mulai mengembangkan ide-ide berhubungan dengan tugas yang mereka hadapi. Mereka membahas isu-isu semacam masalah apa yang harus merka selesaikan, bagaimana fungsi mereka masing-masing dan model kepemimpinan seperti apa yang dapat mereka terima. Anggota kelompok saling terbuka dan mengkonfrontasikan ide-ide dan perspektif mereka masing-masing. Pada beberapa kasus, tahap storming cepat selesai. Namun ada pula beberapa kelompok yang mandek pada tahap ini. Tahap storming sangatlah penting untuk perkembangan suatu kelompok. Tahap ini bisa saja menyakitkan bagi anggota kelompok yang menghindari konflik. Anggota kelompok harus memiliki toleransi terhadap perbedaan yang ada. 1. Tahap 3 Norming Terdapat kesepakatan dan konsensus antara anggota kelompok. Peranan dan tanggung jawab telah jelas. Kelompok mulai menemukan haromoni seiring dengan kesepakatan yang mereka buat mengenai aturan-aturan dan nilai-nilai yang digunakan. Pada tahap ini, anggota kelompok mulai dapat mempercayai satu sama lain seiring dengan mereka melihat kontribusi penting masing-masing anggota untuk kelmpok. 1. Tahap 4 Performing Kelompok pada tahap ini dapat berfungsi dalam menyelesaikan pekerjaan dengan lancar dan efektif tanpa ada konflik yang tidak perlu dan supervisi eksternal. Anggota kelompok saling tergantung satu sama lainnya dan mereka saling respek dalam berkomunikasi. Supervisor dari kelompok ini bersifat partisipatif. Keputusan penting justru banyak diambil oleh kelompok. 1. Tahap 5 Adjourning dan Transforming Ini adalah tahap yang terakhir dimana proyek berakhir dan kelompok membubarkan diri. Kelompok bisa saja kembali pada tahap manapun ketika mereka mengalami perubahan (transforming). Misalnya jika ada review mengenai goal ataupun ada perubahan anggota kelompok. Keunggulan dari teori ini adalah menjadi suatu pedoman dalam pembentukan suatu kelompok. Sementara itu keterbatasannya antara lain: a) Model ini didesain untuk menjelaskan tahap-tahap yang terjadi pada kelompok dengan ukuran kecil.

b) Pada kenyataannya, proses kelompok tidak linear seperti penjelasan pada teori Tuckman, namun lebih bersifat siklus. c) Karakteristik tiap tahap tidak selalu saklek seperti itu. Karena model ini berkaitan dengan perilaku manusia, maka kadang tidak jelas ketika sebuah kelompok berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya. Mungkin saja terjadi tumpang tindih antar tahap tersebut. d) Model ini tidak memperhitungkan peranan yang harus diambil individu dalam kelompok. e) Tidak ada pedoman mengenai jangka waktu mengenai perpindahan dari satu. B. SUMBER KONFLIK ANTAR KELOMPOK Konflik di antara kelompok terjadi pada semua tingkat dalam organisasi sosial. Faktor utama terjadinya konflik di antara Rattlers dan Eagle. 1) Persaingan Persaingan terjadi karena pada dasarnya kelompok akan lebih suka mempunyai dari pada tidak mempunyai, dan karena itu mereka mengambil langkah perencanaan dalam mencapai dua hasil, mencapai tujuan yang diinginkan dan mencegah kelompok lain mendapatkan tujuannya 2) Pengelompokkan Sosial Dalam belajar mereka memahami lingkungan sosialnya dan menggolongkan objek yang hidup dan tidak hidup. Tajfel mengusulkan bahwa hanya permasalahan pribadi untuk dua kelompok yang nyata hanya itu, pengelompokkan sosial-cukup diskriminasi antar kelompok. Dua dasar kategori sosial adalah : (1) Anggota kelompok, dan (2) Anggota kelompok lain (Hamilton, 1979). Walaupun pengelompokkan sosial ini menolong orang memahami lingkungan sosialnya, Tajfel (Tajfel & Turner,p. 38) mengusulkan bahwa hanya pemahaman pribadi untuk dua kelompok yang nyata hanya itu, pengelompokkan sosial-cukup diskriminasi antarkelompok. Tajfel menyebut kelompok kecil karena : 1. Anggota pada kelompok yang sama tidak pernah bergaul dalam keadaan tatap muka, 2. Identitas di dalam kelompok dan di luar kelompok anggota tetap tidak tahu, dan

3. Bukan keuntungan ekonomi perseorangan yang bisa terjamin dengan mengizinkan banyak atau kurangan uang pada keterangan individu. Intinya, kelompok adalah kognitif murni; mereka hanya ada pada pikiran mereka sendiri. 3) Penyerangan antara Kelompok Dari beberapa tindakan negatif atau buruk dalam kenyataannya merupakan ancaman bagi kelompok mencapai pertengkaran, tindakan tersebut berawal dari penghinaan suku etnik budaya, memasuki wilayah kekuasaan kelompk lain tanpa izin atau pencarian properti geng lain (Gannon, 1966;Yablonsky, 1959). C. KONSEKUENSI KONFLIK ANTAR KELOMPOK Konsekuensi antar kelompok ini disarankan agar tidak dikhususkan untuk kelompok saja, tapi beberapa konflik sejenis nisa menciptakan sejumlah perubahan yang dapat diperkirakan yang melibatkan kelompok. Secara umum, ada dua reaksi dasar yang terjadi. Yang pertama, perubahan dalam tim menciptakan peningkatan kekompakkan atau rasa solidaritas, penolakan terhadap tim lain, dan diferensiasi tim yang semakin hebat. Kedua, konflik antar tim tampaknya dapat menciptakan salah sangka atas motif dan kualitas anggota tim lain. Prinsip konsekuensi konflik antar kelompok mencakup : - Proses perubahan dalam kelompok - Konflik dan kekompakkan (solidaritas) - Konflik dan pemolakan kelompok lain - Konflik diantara kelompok - Perubahan-perubahan dan persepsi yang terjadi dalam kelompok - Kesalahan persepsi dan pemikiran bayangan (terbalik) - Gambaran musuh yang kejam - Gambaran kelompok bermoral - Gambaran kekuatan kelompok - Bayangan terbalik - Stereotif

D. PENGURANGAN KONFLIK INTERGROUP Untuk mengurangi konflik yang yang terjadi antar kelompok dapat dilakukan dengan upayaupaya sebagai berikut : 1. Hubungan intergroup Sherifs mempertimbangkan untuk membawa anggota dua kelompok bersama-sama dalam beberapa aktivitas kelompok menyenangkan dengan harapan akan menghasilkan ikatan intergroup. Suksesnya hubungan sebagai alat untuk mengurangi konflik intergroup akan tergantung pada apa yang terjadi sepanjang hubungannya sendiri. 1. Kerjasama antar kelompok Sherif membairkan keleluasaan kepada kelompok-kelompok untuk saling berhubungan dengan dengan caranya masing-masing.karena survei membuktikan bahwa hasil yang lebih tinggi aka dicapai oleh kelompok-kelompk yang bekerjasama dan membentuk sebagai regu. Setiap kelompok yang sedang berselisih harus dapat bersama-sama mencari jalan keluar yang bersifat tidak saling merugikan, supaya bisa bersma-sama mencapai hasil yang memuaskan dan tentu saja yang memang diharapkan oleh kelompk-kelompk tersebut. Sherif beroendapat sebuah kelompok harus dapat menciptakan kelompk tersebut. Sherif beroendapat sebuah kelompok harus dapat menciptakan kepercayaan antara kelompok-kelompok tersebut. Membangun kepercayaan ini adalah salah satu langkah dalam sistem pengurangan konflik diantara masyarakat. JURNAL I KONSEP DIRI DENGAN KONFORMITAS TERHADAP KELOMPOK TEMAN SEBAYA PADA AKTIVITAS CLUBBING (Sebuah Studi Korelasi pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto yang Melakukan Clubbing) 1. YANG DITELITI Konsep Diri Dengan Konformitas Terhadap Kelompok Teman Sebaya Pada Aktivitas Clubbing 2. LATAR BELAKANG Masa remaja adalah suatu masa peralihan yang sering menimbulkan gejolak. Remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Pada masa ini ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosialnya. Pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. Berkaitan dengan hubungan sosial, remaja harus menyesuaikan diri dengan orang di luar lingkungan keluarga, seperti meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (peer group). Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Kelompok teman sebaya

memiliki aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh remaja sebagai anggota kelompoknya. Penyesuaian remaja terhadap norma dengan berperilaku sama dengan kelompok teman sebaya disebut konformitas dengan kelompok teman sebaya disebut konformitas. Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan sajakonformitas adalah kecenderungan untuk mengikuti keinginan dan norma kelompok.Konformitas merupakan salah satu bentuk penyesuaian dengan melakukan perubahan-perubahan perilaku yang disesuaikan dengan norma kelompok. Konformitas terjadi pada remaja karena pada perkembangan sosialnya, remaja melakukan dua macam gerak yaitu remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan menuju ke arah teman-teman sebaya bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari remaja yang mempunyai usia, sifat, dan tingkah laku yang sama dan ciri-ciri utamanya adalah timbul persahabatan. Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri konformitas yang cukup kuat tidak jarang membuat individu melakukan sesuatu yang merusak atau melanggar norma social. kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sebaya menyebabkan remaja melakukan perubahan dalam sikap dan perilaku sesuai dengan perilaku anggota kelompok teman sebaya. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau berperilaku agresif, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa mempedulikan akibatnya bagi diri mereka sendiri. clubbing sebagai bentuk aktivitas yang dilakukan oleh remaja dengan kegiatan bersenang-senang ke tempat hiburan yang sedang menjadi trendsetter seperti kafe, diskotik atau lounge dengan berdisko, minum alkohol sampai mencari kenalan atau teman baru. Clubbing sering disebut sebagai dugem atau dunia gemerlap karena tidak lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap dan dentuman music techno yang dimainkan para DJ handal. Fenomena clubbing mulai merebak di kota kecil seperti Purwokerto. Saat ini di Purwokerto terdapat tiga tempat hiburan malam yaitu Cheers, De Front, dan Zone Caf. Pengelola tempat hiburan berlomba-lomba untuk menarik perhatian pengunjung dengan mengadakan berbagai macam acara yang menarik setiap minggunya, seperti free for ladies, free tequila for Thursday, I Love Monday, Saturdelizious, dan The Faculty. Remaja dianggap konsumen yang potensial karena masa remaja dianggap sebagai masa peralihan dan sering disebut sebagai masa pencarian identitas diri. Remaja gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan ingin memberi kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belum cukup, sehingga remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks untuk memberikan citra yang diinginkan. Clubbing menawarkan kebebasan, tidak hanya pada masalah pakaian, gaya rambut, musik, dan hiburan tetapi juga free sex dan narkoba. Clubbing dipersepsikan sebagai suatu hal yang negatif karena merupakan kegiatan di tempat gelap dengan warna warni cahaya lampu, asap rokok yang

memenuhi ruangan, suasana hingar bingar musik dari live band atau para disc jockey (DJ), dan meja bar dengan berbagai macam minuman beralkohol bahkan narkoba Pelaku clubbing yang biasa disebut clubbers diberi kebebasan untuk berekspresi, seperti bernyanyi, menggoyangkan kepala, berteriak- teriak dan menari di lantai dansa diiringi musik dengan tempo cepat. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya menjelaskan pandangan, penilaian dan perasaan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi sosial sebagai konsep diri. Konsep diri mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimiliki konsep diri akan mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku di tengah masyarakat. 3. METODE YANG DIGUNAKAN Metode Kuantitatif. Variabel kriterium dalam penelitian ini adalah konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing, sedangkan variabel bebasnya adalah konsep diri. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto yang pernah melakukan aktivitas clubbing sebanyak 46 siswa. 4. PENGUJIAN Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi. Skala yang digunakan sebagai berikut: a) Skala Konsep Diri Skala konsep diri yang digunakan dalam penelitian ini diukur berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Fitts (dalam Agustiani, 2006, h.139-142) yaitu diri fisik, diri etik-moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial. b) Skala Konformitas Terhadap Kelompok Teman Sebaya pada Aktivitas Clubbing Skala konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing diukur berdasarkan aspek-aspek konformitas yang disusun oleh Wiggins dkk (1994, h.277) yaitu menuruti keinginan kelompok dan internalisasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS (Statistical Packages for Social Science) for windows versi 12.0. 5. HASIL a) Uji Normalitas Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa kedua variabel dalam penelitian ini memiliki distribusi normal. Hal tersebut dapat dilihat dari uji normalitas yang menghasilkan Kolmogorov-Smirnov

sebesar 0,847 dengan p = 0,469 (p>0,05) untuk variabel konsep diri, dan 0,766 dengan p = 0,600 (p>0,05) untuk variabel konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing. b) Uji Linearitas Uji linearitas hubungan antara variabel konsep diri dan konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing menunjukkan bahwa hubungan kedua variabeladalah linear, sehingga dengan terpenuhinya kedua asumsi tersebut (normalitas dan linearitas), maka analisis data dapat diteruskan dengan uji hipotesis melalui teknik c) Analisis Regresi Analisis regresi sederhana menunjukkan seberapa besar hubungan antara konsep diri dengan konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing melalui rxy = -0,340 dengan p = 0,021 (p<0,05). Arah hubungan negatif menunjukkan bahwa semakin positif konsep diri maka konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing semakin rendah, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara konsep diri dengan konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing siswa kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto dapat diterima. JURNAL II SISTEM TATANAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN ORANG BADUY (Suatu Kajian terhadap Perubahan Sosial dan Kelestarian Nilai-nilai Tradisional Masyarakat Baduy) 1. YANG DITELITI Perubahan Sosial dan Kelestarian Nilai-nilai Tradisional Masyarakat Baduy. 2. LATAR BELAKANG Review jurnal : Awal Terbentuknya Kelompok : Di wilayah hutan Banten terdapat Desa adat Kanekes yang luasnya 5.101,85 Ha. Dengan jumlah warga masyarakatnya, yang dikenal dengan sebutan orang Baduy. 4.574 orang yang tersebar di 10 buah kampung. Sebutan baduy untuk warga desa kanekes sebenarnya bukan berasal dari mereka sendiri, tetapi dari luar yang tumbuh menjadi sebutan diri. Orang Belanda menyebut mereka dengan badoe i, badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Rawayan Penduduk Desa Kanekes adalah orang Baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar, bahasanya termasuk kategori dialek Sunda Banten atau sub dialek Baduy yang memiliki ciri-ciri khusus,

seperti tidak memiliki undak-usuk, aksen tinggi dalam lagu kalimat dan beberapa jenis struktur kalimat berlainan dengan bahasa Sunda lulugu. Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, adalah masyarakat yang memiliki tradisi khas, yang berbeda dengan masyarakat jawa Barat pada umumnya. Tradisi mereka disebut Pikukuh Baduy. Ikatan kepada Pikukuh ditentukan oleh tempat orang Baduy berada atau bermukim, yaitu yang menjadi ciri organisasi sosialnya dalam satu kesatuan kelompok kekerabatan. Orang Tangtu bermukim di Kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana, dikenal dengan sebutan Orang Baduy Dalam sebagai pemegang Pikukuh Baduy. Orang Panamping sebagai pemilik adat Baduy berada di bawah pengawasan Baduy Dalam yang mempunyai ikatan pikukuh lebih longgar, disebut Baduy Luar. Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut. Buyut adalah larangan bagi masyarakat Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah , Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (segala sesuatu yang ada dalam kehidupan tidak boleh dikurang maupun ditambah, harus tetap utuh). Dan Buyut dalam kehidupan mereka terbagi menjadi 3 yaitu : (1) Tabu untuk melindungi kemurnian sukma (manusia); (2) Tabu untuk melindungi kemurnian mandala; (3) Tabu untuk melindungi kemurnian tradisi. Dasar religi orang Baduy ialah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Prinsip yang dimiliki dan dijalani oleh masyarakat baduy antara lain tidak membangun pemungkiman dari bebatuan, semen, genting, paku atau produk industri modern lainnya. Konflik Kelompok : Masyarakat Baduy merupakan sekelompok masyarakat yang kuat memegang tradisi nenek moyang di mana seluruh sistem sosialnya bersumber pada sistem religinya. Perubahan sosial dan kebudayaan masyarakat Baduy, sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup mereka, baik lingkungan alam dan fisiknya maupun lingkungan sosialnya. Perubahan lingkungan alam yaitu hutan yang sebenarnya secara tradisional merupakan tempat mereka hidup dan menjadi sumber penghidupan mereka secara lambat atau cepat sedang dan telah berubah karena peningkatan pendayagunaan sumber-sumber hasil hutan dan pemanfaatan lahan-lahan pertanian oleh pemerintah. 3. HASIL Perubahan lingkungan alam/fisik tersebut menuntut adanya adaptasi dari masyarakat Baduy terhadap lingkungannya yang baru dan perubahan tersebut langsung atau tidak langsung menuntut adanya perubahan kebudayaan masyarakat Baduy tersebut. Sementara perubahan itu sendiri bisa diakibatkan oleh adanya turut campur pemerintah dalam mengatur tata kehidupan mereka, yaitu dalam bentuk memukimkan kembali dalam tempat-tempat pemukiman khusus untuk mereka dan perubahan itu bisa juga disebabkan oleh lebih seringnya kontak dengan golongan-golongan sosial atau suku-suku bangsa lainnya, atau karena masuknya teknologi modern dan sekolah, agama serta media massa modern.

JURNAL III PEER GROUP IDENTIFIKASI DIRI ANTARA ALTERNATIF SMA PEMUDA: SEBUAH PREDIKSI DARI MEREKA FUNGSI PSIKOSOSIAL LIMA TAHUN KEDEPAN. 1. YANG DITELITI Masalah psikososial pada peer group remaja lima tahun kedepan. 2. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa pembentukan identitas dan pembentukan sikap, keterampilan, dan perilaku yang akan mempengaruhi sosial, fisik, dan hasil ekonomi sepanjang perjalanan hidup. Banyak pengaruh di bidang sosial dan remaja bentuk fisik lingkungan identitas, termasuk keluarga, sekolah sistem, lingkungan, media, dan kelompok sebaya. Pengaruh peer kelompok yang sangat kuat selama masa remaja. Kelompok peer remaja memainkan peran utama dalam pengembangan diri anggotanya-identitas Ada beberapa cara yang mungkin digambarkan kelompok, termasuk peneliti etnografi penilaian atau laporan dari orang dewasa lainnya, analisis sociometric, dan cluster analitik kesimpulan. Strategi lain yang telah digunakan dalam literatur ini disebut Kelompok identifikasi diri. Dalam protokol ini, pemuda diperintahkan untuk menunjukkan nama kelompok bahwa mereka merasa mereka yang paling bagian dari di sekolah atau dalam konteks lain. Item tanggapan adalah tipe baik isi-in-the kosong atau menyertakan nama spesifik yang berasal dari sebelumnya bekerja. Karena peer group diri remaja -identifikasi dikaitkan dengan resiko mereka masalah perilaku satu atau lebih tahun kemudian, adalah mungkin bahwa peer group identifikasi diri juga mempengaruhi keputusan mereka dan psikososial berfungsi selama masa transisi untuk muda dewasa. 3. METODE Para remaja yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah kelanjutan siswa sekolah tinggi di California yang berpartisipasi dalam Proyek TND, sebuah proyek pencegahan penggunaan narkoba. Melanjutkan sekolah tinggi publik alternatif sekolah bagi siswa yang perilaku masalah atau keadaan hidup mengganggu mereka sukses di sekolah tinggi tradisional. Sekolah-sekolah ini secara konsisten menunjukkan prevalensi tinggi penggunaan substansi dan kekurangan program pencegahan. Sebanyak 21 kabupaten sekolah dari lima wilayah-wilayah Selatan California berpartisipasi dalam penelitian pada tahun 1995. Persetujuan formulir dikirim pulang ke orang tua untuk menandatangani; orang tua yang tidak merespon dengan persetujuan tertulis atau penolakan yang dihubungi melalui telepon untuk mendapatkan persetujuan lisan atau penolakan. Pada awal tahun 1995, sekitar 3% dari siswa atau orang tua mereka menolak untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data. Sebanyak 1551 setuju mata pelajaran di 21 sekolah menyelesaikan kuesioner laporan diri pada awal. Dari responden baseline, 1.318 (85%) memberikan izin orang tua yang memungkinkan siswa yang akan resurveyed di masa depan.

Tiga bentuk kuesioner tersebut digunakan. Setiap bentuk termasuk inti set pertanyaan di awal, diikuti oleh tiga modul pertanyaan. Urutan tiga modul yang diputar di tiga bentuk survei sehingga setiap modul akan muncul di bagian akhir survey untuk sekitar sepertiga dari siswa. Dalam sebagian besar kasus, kendala waktu yang diberikan setiap siswa untuk menyelesaikan dua modul pertama, tetapi bukan ketiga. Oleh karena itu, rotasi kuesioner memungkinkan kami untuk mendapatkan data pada masing-masing variabel dari setidaknya dua pertiga dari siswa yang disurvei. Dari 1318 siswa yang persetujuan diberikan pada awal, 952 (72%) menyelesaikan item peer group digunakan dalam analisis. Gelombang akhir pengumpulan data yang diberikan selama jangka waktu dua tahun yang rata-rata lima tahun setelah baseline. Follow-up data yang dikumpulkan selama dua tahun periode untuk memungkinkan berulang kali upaya untuk menghubungi siswa. Sebanyak 532 responden (57% dari 932 yang menyelesaikan item peer group pada awal berhasil resurveyed. Prosedur Pengumpulan Data : - Baseline survei. Siswa menyelesaikan survei kertas-dan-pensil di kelas mereka. Pengumpul data terlatih proctored administrasi survei, mengingatkan para siswa bahwa partisipasi mereka adalah sukarela dan bahwa respon mereka rahasia. Kuesioner terdiri dari bagian inti di depan (perilaku dan informasi demografis), diikuti oleh tiga bagian yang putar di berbagai bentuk kuesioner (pengetahuan, sosial, dan bagian pribadi). Ketiga bentuk survei secara acak dibagikan kepada siswa dalam ruang kelas. - Lima tahun tindak lanjut survei. Pada lima tahun follow up, subjek yang disurvei melalui telepon menggunakan format wawancara. Sebuah prosedur pelacakan itu luas digunakan untuk menemukan peserta asli, termasuk panggilan telepon, pencarian di Internet, dan pencarian database lain yang tersedia (McCuller et al, 2002.). Staf proyek (Sebelumnya tidak diketahui untuk siswa) dihubungi subyek melalui telepon, membaca item kuesioner kepada mereka, dan dicatat tanggapan mereka pada survei bentuk (McCuller et al, 2002.). Analisis Data Model Chi-square dan ANOVA digunakan untuk membandingkan ukuran hasil di empat kelompok sebaya. uji Chi-square digunakan untuk ukuran hasil kategori dan model ANOVA digunakan untuk mengukur hasil yang kontinu. Dalam chi-kuadrat analisis, nilai sel baku dibandingkan. Dalam model ANOVA, Penting post hoc Terkecil Selisih (LSD) tes digunakan untuk menentukan signifikansi kelompok-antara perbandingan. Analisis ini diulangi membandingkan siswa berisiko tinggi dengan semua lainnya siswa. 4. HASIL Deskripsi Sampel Sebagian besar (57%) adalah laki-laki. Subjek berkisar di usia 19-24 tahun, dengan berusia rata-rata 22 (SD =. 8). Setengah dari subjek Latino (50%), diikuti oleh 31% putih, 6% Afrika Amerika, 5% Asian American, dan etnis lainnya 9%. Sebanyak 69% dari sampel melaporkan telah menyelesaikan sekolah menengah. Sebagian besar (74%) adalah saat ini bekerja. Dalam hal status perkawinan, 69% adalah tunggal, 28% menikah atau terlibat, dan 3% adalah bercerai atau terpisah. Sebanyak 41% memiliki paling sedikit satu anak.Lebih dari

sepertiga (42%) yang saat ini tinggal dengan satu atau lebih tua atau dewasa kerabat. Persentase subjek yang telah digunakan setidaknya satu obat lembut dalam 30 terakhir hari adalah 80% pada 5 tahun follow up. Prevalensi 30-hari merokok dan menggunakan alkohol 64% dan 70%, masing-masing. Prevalensi 30-hari penggunaan marijuana dan setiap penggunaan obat keras adalah 29%, dan 13%, masing-masing. Pada 5-tahun follow up, 47% subyek yang dilaporkan telah berpengalaman dalam satu tahun terakhir setidaknya salah satu dari 21 alkohol dan konsekuensi narkoba dinilai dalam konsekuensi pribadi diperluas skala, dan 15% dilaporkan mengalami setidaknya satu dari 9 masalah termasuk dalam obat daftar masalah. Sebagian besar responden (79%) melaporkan bahwa mereka telah didorong sedangkan mabuk atau dibawah pengaruh obat-obatan, atau telah berkuda di dalam mobil ketika sopir itu mabuk atau dibawah pengaruh obat-obatan, dalam satu tahun terakhir. JURNAL 4 THE JERSEY PUNK BASEMENT SCENE: EXPLORING THE INFORMATION UNDERGROUND 1. MENELITI APA : Anak punk dan kaitannya dengan obat-obatan terlarang dan perilaku kekerasan. 2. LATAR BELAKANG Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhaed. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Kegagalan Reaganomic dan Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etik semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri). 3. METODE YANG DIGUNAKAN Penelitian kualitatif menggabungkan wawancara, kelompok fokus, dan peserta observasi untuk memahami informasi praktek pencarian peserta di New Brunswick scene musik bawah tanah. Pengumpulan data akan berada dalam konteks kehidupan sehari-hari mencari informasi perilaku. 4. BAGAIMANA DIUJIKANNYA Dengan berpartisipasi dalam lingkungan penelitian alam, peneliti tim dapat mengembangkan pemahaman yang diam-diam tindakan sehari-hari yang dapat luput atau faktor-out di

lingkungan laboratorium. Semua anggota tim penelitian adalah musisi dan peserta nonmainstream subkultur, dan ini pemahaman diam-diam dari fenomena akan membantu untuk mengekspos beberapa realitas dalam setting penelitian. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari dari masyarakat, observasi partisipan memungkinkan peneliti untuk melihat dan lebih memahami kompleksitas yang mendasari dari beraneka segi situasi. 5. HASIL Sebagian besar keputusan politik di dunia saat ini adalah produk dari proses pengambilan keputusan kolektif. Hitler dan Stalin- pemimpin yang memiliki otoritas pribadi seperti besar yang mereka brutal bisa memaksakan pandangan mereka pada arakat eksentrik seluruh- iesrelatif jarang. The karakteristik ter dari proses pengambilan keputusan kolektif sangat bisa membentuk kebijakan publik. Sebagai hasil dari interaksi kelompok, orang mungkin mengadopsi lebih ekstrim atau lebih moderat daripada kebijakan akan sebagai individu, mereka mungkin menjadi lebih atau kurang mandiri kritis dan menghargai kebutuhan untuk kerajinan rencana darurat, dan mereka mungkin menjadi lebih atau kurang menyadari trade-off dan kebutuhan untuk merevisi prasangka dalam menanggapi bukti baru. Model groupthink berpendapat bahwa tekanan untuk seragam-mity dan loyalitas dapat membangun dalam kelompok ke titik di mana mereka secara serius mengganggu efisiensi baik kognitif dan moral penghakiman. Anggota kelompok yang selalu termotivasi untuk menjaga saling menghormati satu sama lain dan merasa dihambat tentang criticiz-ing satu sama lain dan mengekspresikan perbedaan pendapat. Kelompok anggota terisolasi dari luar yang berkualitas dan tidak memiliki prosedur sistematis untuk mencari dan mengevaluasi bukti baru. Para pengambil keputusan mulai percaya bahwa kelompok tidak bisa gagal-sebuah keyakinan yang mendorong optimisme yang berlebihan mengambil resiko. Anggota kelompok diskon peringatan con- berkenaan solusi yang diinginkan dan menolak untuk pertanyaan baik kebenaran yang melekat kelompok atau immor melekat-ality musuh. Anggota grup diri disensor pribadi keraguan, menumbuhkan ilusi kebulatan suara. kontras groupthink keputusan ini dengan dua contoh-contoh pengambilan keputusan waspada: Marshall Plan dan Krisis Rudal Kuba. Dalam kedua kasus, keputusan-keputusan kelompok memberi prioritas tinggi untuk membahas penilaian dan terbuka kritis sion pilihan. Kebijakan yang dikembangkan dalam kelompok-kelompok ini berdasarkan analisis yang cermat kemungkinan konsekuensi dari banyak pilihan, dengan upaya yang sering di mengusulkan solusi baru tions yang memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan disad-vantages pilihan yang sudah dianalisa.Kritik telah mengangkat empat keberatan luas: (a) kelemahan-kelemahan studi kasus metode untuk menguji hipotesis (risiko selective perhatian bukti dan godaan-histor tofitmessyical fakta ke dalam kategori teoritis rapi), (b) curiga korelasi yang sempurna antara kesehatan proses dan kebaikan dari hasil (risiko kepastian belakang), (c) semua-atau-tidak ada penempatan pengambilan keputusan episode kegroupthink dan waspada kategori (risiko mengecilkan differences dalam klasifikasi dan membesar-besarkan perbedaan antara klasifikasi), dan misspecification (d) konseptual model (menantang causalflowfrom dua anteced- ent kondisi-kelompok kekompakan dan situasi provokatif -Untuk persetujuan mencari). Penelitian laboratorium telah menguji aspek groupthink teori dengan faktorial memanipulasi kondisi yg di kunci dan kemudian mengamati pengaruhnya terhadap interaksi sosial dan

keputusan misalnya, menemukan bahwa terbuka gaya kepemimpinan yang mendorong-usia pertukaran bebas ide mengarah kelompok untuk menyarankan lebih solusi dan untuk menggunakan informasi lebih dari melakukan tertutup-leadership gaya. adalah menemukan ini kompatibel dengan hipotesis tentang directiveness pemimpin. teori Janiss, groupthink pengambil keputusan lebih sederhana dari keputusan waspada pembuat dalam diskusi masalah kebijakan dan dibuat lebih positif referensi untuk simbol dalam kelompok teori, keputusan Janiss groupthink pembuat tidak membuat referensi lebih negatif untuk keluar-kelompok simbol (Komunis negara bagian). Sebuah metode yang ideal kelompok kepemimpinan akan menilai com- tunas kekayaan dengan ketelitian (Snyder, 1985) dengan memungkinkan penyidik\ untuk (a) menilai berbagai atribut fungsi kelompok; (b) menjelaskan dinamika kelompok di kompleks, bernuansa, dan idiographturun tajam sensitif cara; dan (c) membuat sistematis com, kuantitatif- parisons di penilaian analis yang berbeda yang sama kelompok, di penilaian dari kelompok yang sama pada waktu yang berbeda, dan seluruh penilaian dari kelompok yang berbeda. Studi kasus memuaskan yang 2 pertama kriteria tetapi gagal untuk lulus ketiga. Berbeda kembali pencari menekankan aspek yang berbeda dari fungsi kelompok dan menggunakan terminologi yang berbeda untuk menggambarkan apa yang mereka pikir terjadi.

PENUTUP KESIMPULAN Kelompok sosial adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku para anggotanya. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.

DAFTAR PUSTAKA

Forsyth, R. Donelson. (1983). An Introduction to Group Dynamics. Brooks/Cole Publishing Company : Monterey, California (Sumber: Wikipedia, 12MANAGE, The Team Building Company) http://eprints.undip.ac.id/11099/1/buat_jurnal_sukma.pdf http://file.upi.edu/Direktori/B%20-%20FPIPS/M%20K%20D%20U/196801141992032%20%20WILODATI/jurnal%20SISTEM%20SOSBUD%20BADUY.pdf http://www.bvsde.paho.org/bvsacd/cd53/ijchp-93.pdf http://www.ideals.illinois.edu/bitstream/handle/2142/15022/ischool10_sanchez_final.pdf?sequen ce=2 Disusun Oleh : Devi Anggraeni Fristy Hanifia Sabilla Putri Ratu Komala Sari Tiara Nazwita Amin Nur Ikhwan Mullia Kelas : 3 PA 06 10508054 10508088 10508177 10508224 10508264

Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS


Oleh: devianggraeni90 | Januari 12, 2011

PENANGANAN DAN RELOKASI KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA


Tugas psikologi kelompok PENANGANAN DAN RELOKASI KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA

Awal Mula Terjadinya Bencana Di Yogyakarta, tepatnya pada hari Selasa (26/10) terjadi letusan pada pukul 17.02 WIB. Rupanya Gunung Merapi yang biasanya terlihat tenang dan tidak menunjukkan reaksi apapun, ketika itu meletus dan mengeluarkan awan panas. Awan panas yang terus membumbung tinggi di langit terus muncul tiada berhenti setelah letusan terjadi. Letusan yang terjadi sebanyak 3 kali terdengar jelas dari jarak 1,5 kilometer, yang mengharuskan para pengungsi berpindah posko dengan jarak yang lebih jauh dan lebih aman. Awan panas yang merupakan campuran material dari letusan yang berupa gas dan bebatuan dengan suhu sangat tinggi yaitu 300-700 derajat celsius, dengan kecepatan lumpur sangat tinggi, lebih dari 70 km per jam ini akhirnya menelan korban. Ratusan warga meninggal karena menghirup debu dan terbakar lumpur panas yang keluar dari gunung. Mirisnya lagi, tidak hanya menelan korban orang-orang dewasa, namun anak-anak kecil bahkan banyak bayi-bayi yang ikut andil menjadi korbannya. Begitu mencengangkan dan mengharukan. Tidak hanya letusan dan semburan awan panas saja, namun hujan abu lebat berisi material batu dan pasir halus menyelumbungi seluruh wilayah ini. Gas racun seperti karbon dioksida (CO), hidrogen sulfida (HS), hidrogen klorida (HCL), sulfur dioksida (SO), dan karbon monoksida (CO) sepertinya akan menjadi teman setia bagi para pengungsi yang masih bertahan untuk menunggu bantuan pemerintah. Ribuan warga yang tinggal di lereng gunung yang masih bisa menyelamatkan diri serempak lari berhamburan menjauh dari tempat kejadian. Awan panas yang menyelimuti pemukiman warga rupanya membuat para warga kelagapan dan kebingungan mencari tempat untuk mengungsi. Ditambah lagi dengan himbauan dari kepala pemerinatah setempat yang memerintahkan warga untuk tidak berada di kawasan gunung yang masih rawan. Rumah dan harta benda sudah tidak bisa lagi diselamatkan, sanak saudarapun telah pergi meninggalakan mereka, sawah, ladang dan hewan-hewan ternak juga telah mati, musnah dan menimbulkan rasa kehilangan yang teramat sangat. Akhirnya para warga terpaksa mengungsi, dan berkumpul disatu tempat dengan orang-orang yang berasal dari berbagai macam tempat. Kelompok pengungsi yang tinggal bersama namun tidak memiliki ikatan antar satu individu dengan individu yang lainnya di dalam Psikologi Kelompok disebut sebagai kelompok non-identitas. Cenderung kurang intesnsif dalam berinteraksi, namun tetap dikatakan sebuah kelompok.

Dampak Meletusnya Gunung Merapi Dilihat dari Beberapa Aspek


1. Aspek Kesehatan a) Abu gunung yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan

b) Cedera akibat bebatuan gunung c) Luka bakar karena awan panas yang ditimbulkan d) Kekurangan air bersih dan makanan mengakibatkan kelaparan dan dehidrasi e) Kekambuhan atau perburukan penyakit yang sudah diderita para pengungsi f) Kontaminasi makanan yang mengakibatkan keracunan

g) Asma h) Gatal-gatal i) j) Diare Tetanus

2. Aspek Psikologis : Masalah selanjutnya dalam pengungsian adalah kondisi psikologis dari korban bencana. Sebagian besar pengungsi mengalami berbagai macam jenis tekanan psikologis akibat bencana tersebut, diantaranya adalah : a) Stess dengan beragam tingkatan, dari stress ringan sampai stress berat b) Tertekan di tempat pengungsian, bahkan banyak pengungsi sudah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa c) Insomnia tingkat ringan sampai berat d) Tak bisa memahami realitas atau berperilaku kacau e) Merasa khawatir dengan masa depan f) Kerusakan jaringan otak

g) Trauma berat h) Merasa jenuh i) j) Ketakutan Kesepian

k) Labil

Masalah-masalah psikologis yang dialami para pengungsi inilah yang mengakibatkan banyak kerugian, dari terhambatnya peluang untuk mengembangkan diri dan ketidakpastian masa depan. 3. Aspek Sarana Prasarana dan Lingkungan Bencana ini juga berdampak buruk pada sarana prasarana masyarakat pasca Gunung meletus di Yogyakarta, seperti : A. Lingkungan Pemukiman Masyarakat a) Rumah hancur rata dengan tanah b) Kecelakaan lalu lintas akibat jalan berdebu licin c) Gedung-gedungpun hancur d) Sawah dan ladang rusak dan tidak berfungsi e) Aliran listrik mati f) Aliran air rusak dan disfungsi g) Hewan-hewan ternak mati h) Tanaman dan pohon mati i) Jalanan umum rusak, licin dan penuh bebatuan B. Lingkungan Pengungsian a) Gedung rumah pengungsian sangat tidak layak b) Atap rumah bocor c) Terbatasnya tempat tidur d) Terbatasnya fasilitas MCK dan dapur e) Terbatasnya pakaian dan makanan 4. Aspek Pendidikan Meletusnya gunung Merapi juga berdampak pada pendidikan anak-anak. Sekolah mereka terbengkalai, seketika proses belajar terhenti karena sarana sekolah yang telah rata tanah. Namun, pemerintah tetap mencoba memperbaiki keadaan tersebut dengan mendirikan sekolah gabungan, dengan memanfaatkan gedung-gedung yang masih bisa dipakai. Itupun tidak

sepenuhnya berjalan dengan efektif, karena anak-anak pengungsi yang belum bisa beradaptasi dengan suasana sekolah yang mereka tumpangi itu. Bahkan, belum cukup kenal teman baru dan adaptasi saja mereka sudah harus dipindahkan lagi ke sekolah lain. Nasib sejumlah murid terombang-ambing. Kondisi inilah yang membuat anakanak bingung dan terpaksa menuruti aturan pemerintah. 5. Aspek Ekonomi Masalah utama yang dialami para korban bencana dilihat dari aspek ekonomi adalah kehilangan mata pencaharian. Dan menurut seorang pengamat ekonom, para pengungsi letusan Gunung Merapi membutuhkan pengalihan lapangan pekerjaan karena lahan pertanian tidak dapat langsung digunakan kembali, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Bagaimanakah Relokasi dan Penanganan Korban Bencana Merapi?


Manajemen penanganan bencana yang kurang terencana membuat pemetaan kawasan rawan bencana, pengungsi, lokasi pengungsian, tanggap darurat, dan mobilisasi alat berat kurang tepat. Menurut kelompok kami, alangkah baiknya pemerintah atau kepala koordinator penanganan bencana Merapi lebih merencanakan, memepertimbangkan mengenai relokasi pengungsi agar tidak menghasilkan keputusan yang gegabah. Coba perhatikan penanganan dari berbagai macam aspek, dari aspek budaya, sosial, ekonomi, dan geografi. Apakah lahan yang direncanakan sudah berada di posisi aman? Apakah lahan yang digunakan kapasitasnya mampu menampung jumlah pengungsi? Apakah lahan yang direncanakan mampu matapencaharian masyarakat yang hilang? Berapakah dana yang disediakan pemerintah? Bagaimana konstruksi gedung pengungsian yang akan dibuat? Bagaimana penataan antara gedung pengungsian satu dengan gedung pengungsian lainnya? Bagaimanakah dampak sosial yang akan terjadi dari relokasi yang direncanakan? Bagaimanakah dampak budaya yang dianut masyarakat terhadap relokasi bencana? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sebaiknya diperbincangkan lebih dulu oleh pemerintah. Bencana yang terjadi diluar dugaan ini pastinya akan menimbulkan tindakantindakan gegabah dari pihak pemerintah, karena melihat kondisi warga yang panik dan menelan korban banyak, sehingga pemerintah memilih untuk membuat posko-posko dadakan dan seadanya yang padahal justru memunculkan banyak efek negatif bagi para pengungsi. membantu, memperbaiki dan menunjang

Dilihat dari aspek sarana prasarana dan lingkungan, banyak ketidaktersediaan sarana-sarana primer yang sangat dibutuhkan oleh para pengungsi. Kondisi ruangan yang sempit dan berdesakan, kamar mandi yang terbatas dan tidak layak, dapur, makanan, pakaian, tempat tidur yang sedikit, akan memunculkan stress dan perasaan tertekan dari sisi psikologis mereka. Ditambah lagi bagi para pengungsi yang kehilangan sanak saudaranya, kondisi pengungsian yang tidak nyaman, apa-apa yang dibutuhkan tidak tersedia, stress dan kesedihan yang mendalam menyerang, dan kondisi kesehatan menurut hingga akhirnya sakit. Semua itu saling berkaitan satu sama lain. Menurut Psikologi Lingkungan, manusia itu memerlukan tempat tinggal yang aman, nyaman, dan memberika privasi, tempat kerja dan alat-alat yang memungkinkan manusia bekerja optimal. Namun berbanding terbalik bila kondisi lingkungan di lokasi pengungsian yang tidak memberikan keamanan dan kenyamanan tersebut. Alangkah baiknya, pemerintah mempertimbangkan secara lebih mendalam mengenai efek jangka panjang dari pembuatan posko dadakan yang tidak memberikan kepastian perubahan. Beri arahan yang bijaksana kepada masyarakat untuk relokasi bencana, karena akan banyak warga yang menolak untuk pindah dari rumahnya jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memberi pengarahan yang baik untuk masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbedabeda ini. Kondisi pengungsian yang padat dan penuh sesak membuat para pengungsi sulit beradaptasi, dan sulit berinteraksi secara optimal. Sekarang saatnya ciptakan kondisi pengungsian yang lebih baik agar jumlah pengungsi yang mengalami gangguan psikologis bisa menurun. Berikan tempat relokasi yang tepat, tepat lahannya, tepat posisinya, tepat pengeluaran dananya, tepat konstruksi bangunannya, tepat menyediakan sarana utamanya, dan mempunyai resiko kecil untuk terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti, perombankan ulang bangunan karena ternyata jarak tempat pengungsian dan daerah rawan benacana masih masuk area awas. Walau bagaimanapun, kita tidak bisa memisahkan aspek-aspek itu semua dalam melakukan relokasi kepada para pengungsi. Pertimbangan yang cepat dan tepat akan memperbaiki keadaan, dibandingkan asal menempatkan lokasi pengungsian.

Penanganan Korban Bencana Merapi secara Umum


Terkait dengan hal-hal tersebut, masyarakat sebaiknya lebih mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Untuk meminimalisir dampat Merapi bagi kesehatan, sebisa mungkin patuhi batas lokasi aman yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan sedapat mungkin masyarakat mengurangi aktifitas-aktifitas fisik yang bisa membuat terhirupnya debu-debu akibat letusan. Bilaupn keluar rumah, gunakan makser dan pakaian yang tertutup. Lapor dan segeralah berobat ke fasilitas kesehatan terdekat jika sakit. Bila memang sudah mengidap penyakit kronik, maka segeralah hubungi dokter yang biasa menangani atau setidaknya mempersiapkan obatobatan rutin yang biasa dikonsumsi. Jaga daya tahan tubuh, makan makanan bergizi dan bersih, serta cukup istirahat. Untuk pengungsi anak-anak sebaiknya jangan terlepas dari orangtua

mereka, dan bagi anak-anak yang orangtuanya telah menjadi korban agar pemerintah mengambil alih pertanggungjawabannya. Dari segi psikologis, banyaknya relawan yang ikut serta membantu menyediakan jasa-jasa yang berperan untuk memulihkan psikologis korban bencana terutama anak-anak ini merupakan salah satu penanganan yang baik untuk dilakukan. Mendirikan posko-posko kesehatan di setiap pengungsian rupanya juga bermanfaat untuk membantu menstabilkan kejiawaan para pengungsi yang baru saja kehilangan sanak saudara, harta benda, pekerjaan, dan masa depan mereka. Alangkah baiknya psikolog-psikolog pun ikut andil dalam penanganan psikologis korban. Korban-korban yang mengalami stress, depresi, tertekan, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kelabilan, kejenuhan bahkan sampai yang mengalami kerusakan otak pun, dibantu dengan terapiterapi psikologi. Perasaan kesepian ditengah keramaian pastilah terjadi. Apalagi bagi yang baru saja ditinggalkan, perasaan sendirian dan kesepian menjadi bagian yang mendominasi dari dirinya. Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang akrab dengan seseorang tidak tercapai (Peplau dan Perlman, 1981) timbul karena kehilangan, ditinggal pergi oleh orang yang disayangi, bahkan kematian. Sifatnya berupa perasaan dan subjektif. Maka dari itu, butuh motivasi dan pembangkit untuk korban-korban yang mengalami perasaan-perasaan seperti ini. Belum lagi anak-anak yang mengalami trauma dan ketakutan akibat bencana ini. Menurut Sigmund Freud, dalam tahap psikoseksual, apapun yang terjadi dimasa dewasa seseorang disebabkan oleh masa traumatik pada masa kanak-kanak. Sebisa mungkin para Psikolog meminimalkan bahkan menetralkan traumatik ini sedini mungkin, sebelum berdampak buruk bagi masa depan anak. Para relawan dan psikolog seyogyanya harus mempunyai emotional support yaitu ekspresi perasaan yang memperlihatkan adanya perhatian, simpati dan penghargaan terhadap orang lain. Emotional support juga mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain yang sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini erat hubungannya dengan kemampuan untuk memberikan afeksi dan empati. Dan kemampuan ini sangatlah dibutuhkan dalam membantu manangani psikologis korban bencana. Kembali lagi membahas mengenai penanganan yang baik untuk para pengungsi, yakni dengan asupan spiritual. Para relawan dan psikolog juga bisa membantu menjembatani proses ini dengan terapi-terapi yang dilakukan. Anjuran untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa merupakan jalan terbaik untuk memasrahkan keadaan yang dihadapi, untuk menengkan diri dan memperkuat keyakina bahwa setelah kejadian ini akan ada masa depan yang lebih baik lagi. Hiburan juga bisa dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kejenuhan pengungsi di posko-posko, seperti bermain permainan-permainan sederhana bersama anak-anak, mengadakan perlombaan dengan menyelipkan asuan-asupan motivasi kepada pengungsi. Motivasi adalah kecenderungan yang timbul pada seseorang untuk melakukan sesuatu aksi atau tindakan dengan tujuan tertentu yang dikehendakinya. Dengan motivasi, kita akan mengukur perilaku orang, bagaimana ia

memberi perhatian, mengetahui relevansi antara motivasi dan kebutuhannya, kepercayaan dirinya dan hasil yang dirasakannya setelah ia melaksanakan motivasi. Menangani mereka-mereka yang stress bagaimana? Gangguan-gangguan seperti yang dialami para pengungsi dapat disebut juga sebagai gangguan psikosomatik yang tidak terlepas dari berbagai stresor psikososial dimana setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga ia harus menyesuaikan diri dan menanggulangi segala perubahan yang timbul. Jenis-jenis stresor yang timbul misalnya: (1) stresor sosial seperti masalah pekerjaan, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah keluarga, hubungan interpersonal, perkembangan, penyakit fisik, masalah kekerasan rumah tangga (2) stresor psikis seperti perasaan rendah diri, frustasi., malu, merasa berdosa. (3) stresor fisis (panas, dingin, bising, bau yang menyengat, banjir) dan lain-lain. Mungkin ketidakpastian perubahan inilah yang menjadi masalah. Sampai kapan begini terus?. Namun kesediaan menolong tanpa pamrih dari para relawan, dan kegigihan serta ketulusan hati para relawan akan mampu menumbuhkan keyakinan dan kekuatan para korban untuk mau berusaha menata kehidupan yang baik lagi. Sifat menolong tanpa pamrih yang dilakukan relawan semacam ini disebut dengan Altruisme. Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Badson, Fortenbuch, dan Mc Carthy (1986) yang mengatakan bahwa tindakan prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si korban). Tanpa adanya empati, orang yang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberi pertolongan. Lain cerita mengenai kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat letusan Merapi. Sebaiknya ditindaklanjuti oleh pemerintah, karena ini menyangkut pengeluaran dana bencana yang dikelola oleh pemerintah. Penyediaan lahan untuk bekerja kembali, memberikan modal dengan tepat dan merata kepada pengungsi, dengan konsep yang matang. Apapun yang kini telah dan sedang terjadi, para pengungsi diharapkan bisa menjalani dengan ikhlas dan pasrahkan kepada Tuhan. Dampak yang ditimbulkan atas bencana ini memanglah besar, kita tidak bisa menolak, namun kita semua bisa merubahnya dan memperbakinya. Perencanaan yang terstruktur, kesabaran para korban, dan keinginan untuk berubah akan menjadi kekuatan besar untuk sebuah masa depan yang lebih baik. Dan bagi para pemerintah diharapkan agar lebih serius dalam menanggapi dan menangani masalah relokasi dan pembenahan tempat pengungsian serta mempertimbangkan efek jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil baik itu efek internal dan efek eksternal. Disusun Oleh : Devi Anggraeni Fristy Hanifia Sabilla Putri Ratu Komala Sari 10508054 10508088 10508177

Tiara Nazwita Amin Nur Ikhwan Mullia Kelas : 3 PA 06

10508224 10508264

Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS


Oleh: devianggraeni90 | Januari 11, 2011

PENANGANAN DAN RELOKASI KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA


PENANGANAN DAN RELOKASI KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA
Awal Mula Terjadinya Bencana Di Yogyakarta, tepatnya pada hari Selasa (26/10) terjadi letusan pada pukul 17.02 WIB. Rupanya Gunung Merapi yang biasanya terlihat tenang dan tidak menunjukkan reaksi apapun, ketika itu meletus dan mengeluarkan awan panas. Awan panas yang terus membumbung tinggi di langit terus muncul tiada berhenti setelah letusan terjadi. Letusan yang terjadi sebanyak 3 kali terdengar jelas dari jarak 1,5 kilometer, yang mengharuskan para pengungsi berpindah posko dengan jarak yang lebih jauh dan lebih aman. Awan panas yang merupakan campuran material dari letusan yang berupa gas dan bebatuan dengan suhu sangat tinggi yaitu 300-700 derajat celsius, dengan kecepatan lumpur sangat tinggi, lebih dari 70 km per jam ini akhirnya menelan korban. Ratusan warga meninggal karena menghirup debu dan terbakar lumpur panas yang keluar dari gunung. Mirisnya lagi, tidak hanya menelan korban orang-orang dewasa, namun anak-anak kecil bahkan banyak bayi-bayi yang ikut andil menjadi korbannya. Begitu mencengangkan dan mengharukan. Tidak hanya letusan dan semburan awan panas saja, namun hujan abu lebat berisi material batu dan pasir halus menyelumbungi seluruh wilayah ini. Gas racun seperti karbon dioksida (CO), hidrogen sulfida (HS), hidrogen klorida (HCL), sulfur dioksida (SO), dan karbon monoksida (CO) sepertinya akan menjadi teman setia bagi para pengungsi yang masih bertahan untuk menunggu bantuan pemerintah.

Ribuan warga yang tinggal di lereng gunung yang masih bisa menyelamatkan diri serempak lari berhamburan menjauh dari tempat kejadian. Awan panas yang menyelimuti pemukiman warga rupanya membuat para warga kelagapan dan kebingungan mencari tempat untuk mengungsi. Ditambah lagi dengan himbauan dari kepala pemerinatah setempat yang memerintahkan warga untuk tidak berada di kawasan gunung yang masih rawan. Rumah dan harta benda sudah tidak bisa lagi diselamatkan, sanak saudarapun telah pergi meninggalakan mereka, sawah, ladang dan hewan-hewan ternak juga telah mati, musnah dan menimbulkan rasa kehilangan yang teramat sangat. Akhirnya para warga terpaksa mengungsi, dan berkumpul disatu tempat dengan orang-orang yang berasal dari berbagai macam tempat. Kelompok pengungsi yang tinggal bersama namun tidak memiliki ikatan antar satu individu dengan individu yang lainnya di dalam Psikologi Kelompok disebut sebagai kelompok non-identitas. Cenderung kurang intesnsif dalam berinteraksi, namun tetap dikatakan sebuah kelompok.

Dampak Meletusnya Gunung Merapi Dilihat dari Beberapa Aspek


1. Aspek Kesehatan a) Abu gunung yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan b) Cedera akibat bebatuan gunung c) Luka bakar karena awan panas yang ditimbulkan d) Kekurangan air bersih dan makanan mengakibatkan kelaparan dan dehidrasi e) Kekambuhan atau perburukan penyakit yang sudah diderita para pengungsi f) Kontaminasi makanan yang mengakibatkan keracunan

g) Asma h) Gatal-gatal i) j) Diare Tetanus

2. Aspek Psikologis : Masalah selanjutnya dalam pengungsian adalah kondisi psikologis dari korban bencana. Sebagian besar pengungsi mengalami berbagai macam jenis tekanan psikologis akibat bencana tersebut, diantaranya adalah :

a) Stess dengan beragam tingkatan, dari stress ringan sampai stress berat b) Tertekan di tempat pengungsian, bahkan banyak pengungsi sudah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa c) Insomnia tingkat ringan sampai berat d) Tak bisa memahami realitas atau berperilaku kacau e) Merasa khawatir dengan masa depan f) Kerusakan jaringan otak

g) Trauma berat h) Merasa jenuh i) j) Ketakutan Kesepian

k) Labil Masalah-masalah psikologis yang dialami para pengungsi inilah yang mengakibatkan banyak kerugian, dari terhambatnya peluang untuk mengembangkan diri dan ketidakpastian masa depan. 3. Aspek Sarana Prasarana dan Lingkungan Bencana ini juga berdampak buruk pada sarana prasarana masyarakat pasca Gunung meletus di Yogyakarta, seperti : A. Lingkungan Pemukiman Masyarakat a) Rumah hancur rata dengan tanah b) Kecelakaan lalu lintas akibat jalan berdebu licin c) Gedung-gedungpun hancur d) Sawah dan ladang rusak dan tidak berfungsi e) Aliran listrik mati f) Aliran air rusak dan disfungsi g) Hewan-hewan ternak mati

h) Tanaman dan pohon mati i) Jalanan umum rusak, licin dan penuh bebatuan B. Lingkungan Pengungsian a) Gedung rumah pengungsian sangat tidak layak b) Atap rumah bocor c) Terbatasnya tempat tidur d) Terbatasnya fasilitas MCK dan dapur e) Terbatasnya pakaian dan makanan 4. Aspek Pendidikan Meletusnya gunung Merapi juga berdampak pada pendidikan anak-anak. Sekolah mereka terbengkalai, seketika proses belajar terhenti karena sarana sekolah yang telah rata tanah. Namun, pemerintah tetap mencoba memperbaiki keadaan tersebut dengan mendirikan sekolah gabungan, dengan memanfaatkan gedung-gedung yang masih bisa dipakai. Itupun tidak sepenuhnya berjalan dengan efektif, karena anak-anak pengungsi yang belum bisa beradaptasi dengan suasana sekolah yang mereka tumpangi itu. Bahkan, belum cukup kenal teman baru dan adaptasi saja mereka sudah harus dipindahkan lagi ke sekolah lain. Nasib sejumlah murid terombang-ambing. Kondisi inilah yang membuat anakanak bingung dan terpaksa menuruti aturan pemerintah. 5. Aspek Ekonomi Masalah utama yang dialami para korban bencana dilihat dari aspek ekonomi adalah kehilangan mata pencaharian. Dan menurut seorang pengamat ekonom, para pengungsi letusan Gunung Merapi membutuhkan pengalihan lapangan pekerjaan karena lahan pertanian tidak dapat langsung digunakan kembali, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Bagaimanakah Relokasi dan Penanganan Korban Bencana Merapi?


Manajemen penanganan bencana yang kurang terencana membuat pemetaan kawasan rawan bencana, pengungsi, lokasi pengungsian, tanggap darurat, dan mobilisasi alat berat kurang tepat. Menurut kelompok kami, alangkah baiknya pemerintah atau kepala koordinator penanganan bencana Merapi lebih merencanakan, memepertimbangkan mengenai relokasi pengungsi agar tidak menghasilkan keputusan yang gegabah. Coba perhatikan penanganan dari berbagai macam aspek, dari aspek budaya, sosial, ekonomi, dan geografi.

Apakah lahan yang direncanakan sudah berada di posisi aman? Apakah lahan yang digunakan kapasitasnya mampu menampung jumlah pengungsi? Apakah lahan yang direncanakan mampu matapencaharian masyarakat yang hilang? Berapakah dana yang disediakan pemerintah? Bagaimana konstruksi gedung pengungsian yang akan dibuat? Bagaimana penataan antara gedung pengungsian satu dengan gedung pengungsian lainnya? Bagaimanakah dampak sosial yang akan terjadi dari relokasi yang direncanakan? Bagaimanakah dampak budaya yang dianut masyarakat terhadap relokasi bencana? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sebaiknya diperbincangkan lebih dulu oleh pemerintah. Bencana yang terjadi diluar dugaan ini pastinya akan menimbulkan tindakantindakan gegabah dari pihak pemerintah, karena melihat kondisi warga yang panik dan menelan korban banyak, sehingga pemerintah memilih untuk membuat posko-posko dadakan dan seadanya yang padahal justru memunculkan banyak efek negatif bagi para pengungsi. Dilihat dari aspek sarana prasarana dan lingkungan, banyak ketidaktersediaan sarana-sarana primer yang sangat dibutuhkan oleh para pengungsi. Kondisi ruangan yang sempit dan berdesakan, kamar mandi yang terbatas dan tidak layak, dapur, makanan, pakaian, tempat tidur yang sedikit, akan memunculkan stress dan perasaan tertekan dari sisi psikologis mereka. Ditambah lagi bagi para pengungsi yang kehilangan sanak saudaranya, kondisi pengungsian yang tidak nyaman, apa-apa yang dibutuhkan tidak tersedia, stress dan kesedihan yang mendalam menyerang, dan kondisi kesehatan menurut hingga akhirnya sakit. Semua itu saling berkaitan satu sama lain. Menurut Psikologi Lingkungan, manusia itu memerlukan tempat tinggal yang aman, nyaman, dan memberika privasi, tempat kerja dan alat-alat yang memungkinkan manusia bekerja optimal. Namun berbanding terbalik bila kondisi lingkungan di lokasi pengungsian yang tidak memberikan keamanan dan kenyamanan tersebut. Alangkah baiknya, pemerintah mempertimbangkan secara lebih mendalam mengenai efek jangka panjang dari pembuatan posko dadakan yang tidak memberikan kepastian perubahan. Beri arahan yang bijaksana kepada masyarakat untuk relokasi bencana, karena akan banyak warga yang menolak untuk pindah dari rumahnya jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memberi pengarahan yang baik untuk masyarakat dengan latar belakang budaya yang berbedabeda ini. Kondisi pengungsian yang padat dan penuh sesak membuat para pengungsi sulit beradaptasi, dan sulit berinteraksi secara optimal. membantu, memperbaiki dan menunjang

Sekarang saatnya ciptakan kondisi pengungsian yang lebih baik agar jumlah pengungsi yang mengalami gangguan psikologis bisa menurun. Berikan tempat relokasi yang tepat, tepat lahannya, tepat posisinya, tepat pengeluaran dananya, tepat konstruksi bangunannya, tepat menyediakan sarana utamanya, dan mempunyai resiko kecil untuk terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti, perombankan ulang bangunan karena ternyata jarak tempat pengungsian dan daerah rawan benacana masih masuk area awas. Walau bagaimanapun, kita tidak bisa memisahkan aspek-aspek itu semua dalam melakukan relokasi kepada para pengungsi. Pertimbangan yang cepat dan tepat akan memperbaiki keadaan, dibandingkan asal menempatkan lokasi pengungsian.

Penanganan Korban Bencana Merapi secara Umum


Terkait dengan hal-hal tersebut, masyarakat sebaiknya lebih mematuhi aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Untuk meminimalisir dampat Merapi bagi kesehatan, sebisa mungkin patuhi batas lokasi aman yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan sedapat mungkin masyarakat mengurangi aktifitas-aktifitas fisik yang bisa membuat terhirupnya debu-debu akibat letusan. Bilaupn keluar rumah, gunakan makser dan pakaian yang tertutup. Lapor dan segeralah berobat ke fasilitas kesehatan terdekat jika sakit. Bila memang sudah mengidap penyakit kronik, maka segeralah hubungi dokter yang biasa menangani atau setidaknya mempersiapkan obatobatan rutin yang biasa dikonsumsi. Jaga daya tahan tubuh, makan makanan bergizi dan bersih, serta cukup istirahat. Untuk pengungsi anak-anak sebaiknya jangan terlepas dari orangtua mereka, dan bagi anak-anak yang orangtuanya telah menjadi korban agar pemerintah mengambil alih pertanggungjawabannya. Dari segi psikologis, banyaknya relawan yang ikut serta membantu menyediakan jasa-jasa yang berperan untuk memulihkan psikologis korban bencana terutama anak-anak ini merupakan salah satu penanganan yang baik untuk dilakukan. Mendirikan posko-posko kesehatan di setiap pengungsian rupanya juga bermanfaat untuk membantu menstabilkan kejiawaan para pengungsi yang baru saja kehilangan sanak saudara, harta benda, pekerjaan, dan masa depan mereka. Alangkah baiknya psikolog-psikolog pun ikut andil dalam penanganan psikologis korban. Korban-korban yang mengalami stress, depresi, tertekan, ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, kelabilan, kejenuhan bahkan sampai yang mengalami kerusakan otak pun, dibantu dengan terapiterapi psikologi. Perasaan kesepian ditengah keramaian pastilah terjadi. Apalagi bagi yang baru saja ditinggalkan, perasaan sendirian dan kesepian menjadi bagian yang mendominasi dari dirinya. Kesepian adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang akrab dengan seseorang tidak tercapai (Peplau dan Perlman, 1981) timbul karena kehilangan, ditinggal pergi oleh orang yang disayangi, bahkan kematian. Sifatnya berupa perasaan dan subjektif. Maka dari itu, butuh motivasi dan pembangkit untuk korban-korban yang mengalami perasaan-perasaan seperti ini. Belum lagi anak-anak yang mengalami trauma dan ketakutan akibat bencana ini. Menurut Sigmund Freud, dalam tahap psikoseksual, apapun yang terjadi dimasa dewasa seseorang disebabkan oleh masa traumatik pada masa kanak-kanak. Sebisa mungkin para Psikolog

meminimalkan bahkan menetralkan traumatik ini sedini mungkin, sebelum berdampak buruk bagi masa depan anak. Para relawan dan psikolog seyogyanya harus mempunyai emotional support yaitu ekspresi perasaan yang memperlihatkan adanya perhatian, simpati dan penghargaan terhadap orang lain. Emotional support juga mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain yang sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini erat hubungannya dengan kemampuan untuk memberikan afeksi dan empati. Dan kemampuan ini sangatlah dibutuhkan dalam membantu manangani psikologis korban bencana. Kembali lagi membahas mengenai penanganan yang baik untuk para pengungsi, yakni dengan asupan spiritual. Para relawan dan psikolog juga bisa membantu menjembatani proses ini dengan terapi-terapi yang dilakukan. Anjuran untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa merupakan jalan terbaik untuk memasrahkan keadaan yang dihadapi, untuk menengkan diri dan memperkuat keyakina bahwa setelah kejadian ini akan ada masa depan yang lebih baik lagi. Hiburan juga bisa dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kejenuhan pengungsi di posko-posko, seperti bermain permainan-permainan sederhana bersama anak-anak, mengadakan perlombaan dengan menyelipkan asuan-asupan motivasi kepada pengungsi. Motivasi adalah kecenderungan yang timbul pada seseorang untuk melakukan sesuatu aksi atau tindakan dengan tujuan tertentu yang dikehendakinya. Dengan motivasi, kita akan mengukur perilaku orang, bagaimana ia memberi perhatian, mengetahui relevansi antara motivasi dan kebutuhannya, kepercayaan dirinya dan hasil yang dirasakannya setelah ia melaksanakan motivasi. Menangani mereka-mereka yang stress bagaimana? Gangguan-gangguan seperti yang dialami para pengungsi dapat disebut juga sebagai gangguan psikosomatik yang tidak terlepas dari berbagai stresor psikososial dimana setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga ia harus menyesuaikan diri dan menanggulangi segala perubahan yang timbul. Jenis-jenis stresor yang timbul misalnya: (1) stresor sosial seperti masalah pekerjaan, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah keluarga, hubungan interpersonal, perkembangan, penyakit fisik, masalah kekerasan rumah tangga (2) stresor psikis seperti perasaan rendah diri, frustasi., malu, merasa berdosa. (3) stresor fisis (panas, dingin, bising, bau yang menyengat, banjir) dan lain-lain. Mungkin ketidakpastian perubahan inilah yang menjadi masalah. Sampai kapan begini terus?. Namun kesediaan menolong tanpa pamrih dari para relawan, dan kegigihan serta ketulusan hati para relawan akan mampu menumbuhkan keyakinan dan kekuatan para korban untuk mau berusaha menata kehidupan yang baik lagi. Sifat menolong tanpa pamrih yang dilakukan relawan semacam ini disebut dengan Altruisme. Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Badson, Fortenbuch, dan Mc Carthy (1986) yang mengatakan bahwa tindakan prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si korban). Tanpa adanya empati, orang yang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberi pertolongan.

Lain cerita mengenai kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat letusan Merapi. Sebaiknya ditindaklanjuti oleh pemerintah, karena ini menyangkut pengeluaran dana bencana yang dikelola oleh pemerintah. Penyediaan lahan untuk bekerja kembali, memberikan modal dengan tepat dan merata kepada pengungsi, dengan konsep yang matang. Apapun yang kini telah dan sedang terjadi, para pengungsi diharapkan bisa menjalani dengan ikhlas dan pasrahkan kepada Tuhan. Dampak yang ditimbulkan atas bencana ini memanglah besar, kita tidak bisa menolak, namun kita semua bisa merubahnya dan memperbakinya. Perencanaan yang terstruktur, kesabaran para korban, dan keinginan untuk berubah akan menjadi kekuatan besar untuk sebuah masa depan yang lebih baik. Dan bagi para pemerintah diharapkan agar lebih serius dalam menanggapi dan menangani masalah relokasi dan pembenahan tempat pengungsian serta mempertimbangkan efek jangka panjang dari setiap keputusan yang diambil baik itu efek internal dan efek eksternal. Disusun Oleh : Devi Anggraeni Fristy Hanifia Sabilla Putri Ratu Komala Sari Tiara Nazwita Amin Nur Ikhwan Mullia Kelas : 3 PA 06 Tinggalkan sebuah Komentar Ditulis dalam TUGAS
Oleh: devianggraeni90 | Oktober 30, 2010

10508054 10508088 10508177 10508224 10508264

TUGAS REVIEW JURNAL PSIKOLOGI KELOMPOK


TUGAS REVIEW JURNAL TENTANG KELOMPOK
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr.Wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT serta junjungan nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan nikmat sehat kepada kita semua. Shalawat serta salam kita panjatkan kepada pemilik jagad raya yang tak terbatas ini, yang juga kita jadikan sebagai penuntun hidup di dunia ini agar kita dapat menjadi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Amin.

Alhamdulillah, dengan terselesaikannya pembuatan review jurnal tentang kelompok ini, kami sangat bersyukur. Karena dengan niat yang baik kami ingin melengkapi tugas yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan guna memenuhi nilai mata kuliah tersebut. Review jurnal ini berisi tentang pembentukan suatu kelompok, konflik kelompok, prestasi kelompokn beserta penjabaran lainnya yang saling berkaitan. Kami berharap dengan kehadiran tulisan ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi para pembaca yang tidak mengetahui secara dalam tentang hal tersebut. Demikian yang bisa kami sampaikan, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini. Kritik yang membangun adalah satu hal yang kami butuhkan. Akhir kata, kami mengucapkan terimakasih. Wassalam Wr.Wb. PEMBAHASAN TEORI MENGENAI KELOMPOK A. PEMBENTUKAN KELOMPOK Model pembentukan suatu kelompok pertama kali diajukan oleh Bruce Tackman pada 1965. Teori ini dikenal sebagai salah satu teori pembentukan kelompok yang terbaik dan menghasilkan banyak ide-ide lain setelah konsep ini dicetuskan. Teori ini memfokuskan pada cara suatu kelompok menghadapi suatu tugas mulai dari awal pembentukan kelompok hingga proyek selesai. Selanjutnya Tuckman menambahkan tahap kelima yaitu adjourning dan transforming untuk melengkapi teori ini. 1. Tahap 1 Forming Pada tahap ini, kelompok baru saja dibentuk dan diberikan tugas. Anggota kelompok cenderung untuk bekerja sendiri dan walaupun memiliki itikad baik namun mereka belum saling mengenal dan belum bisa saling percaya. Waktu banyak dihabiskan untuk merencanakan, mengumpulkan infomasi dan mendekatkan diri satu sama lain. 1. Tahap 2 Storming Pada tahap ini kelompok mulai mengembangkan ide-ide berhubungan dengan tugas yang mereka hadapi. Mereka membahas isu-isu semacam masalah apa yang harus merka selesaikan, bagaimana fungsi mereka masing-masing dan model kepemimpinan seperti apa yang dapat mereka terima. Anggota kelompok saling terbuka dan mengkonfrontasikan ide-ide dan perspektif mereka masing-masing. Pada beberapa kasus, tahap storming cepat selesai. Namun ada pula beberapa kelompok yang mandek pada tahap ini. Tahap storming sangatlah penting untuk perkembangan suatu kelompok.

Tahap ini bisa saja menyakitkan bagi anggota kelompok yang menghindari konflik. Anggota kelompok harus memiliki toleransi terhadap perbedaan yang ada. 1. Tahap 3 Norming Terdapat kesepakatan dan konsensus antara anggota kelompok. Peranan dan tanggung jawab telah jelas. Kelompok mulai menemukan haromoni seiring dengan kesepakatan yang mereka buat mengenai aturan-aturan dan nilai-nilai yang digunakan. Pada tahap ini, anggota kelompok mulai dapat mempercayai satu sama lain seiring dengan mereka melihat kontribusi penting masing-masing anggota untuk kelmpok. 1. Tahap 4 Performing Kelompok pada tahap ini dapat berfungsi dalam menyelesaikan pekerjaan dengan lancar dan efektif tanpa ada konflik yang tidak perlu dan supervisi eksternal. Anggota kelompok saling tergantung satu sama lainnya dan mereka saling respek dalam berkomunikasi. Supervisor dari kelompok ini bersifat partisipatif. Keputusan penting justru banyak diambil oleh kelompok. 1. Tahap 5 Adjourning dan Transforming Ini adalah tahap yang terakhir dimana proyek berakhir dan kelompok membubarkan diri. Kelompok bisa saja kembali pada tahap manapun ketika mereka mengalami perubahan (transforming). Misalnya jika ada review mengenai goal ataupun ada perubahan anggota kelompok. Keunggulan dari teori ini adalah menjadi suatu pedoman dalam pembentukan suatu kelompok. Sementara itu keterbatasannya antara lain: a) Model ini didesain untuk menjelaskan tahap-tahap yang terjadi pada kelompok dengan ukuran kecil. b) Pada kenyataannya, proses kelompok tidak linear seperti penjelasan pada teori Tuckman, namun lebih bersifat siklus. c) Karakteristik tiap tahap tidak selalu saklek seperti itu. Karena model ini berkaitan dengan perilaku manusia, maka kadang tidak jelas ketika sebuah kelompok berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya. Mungkin saja terjadi tumpang tindih antar tahap tersebut. d) Model ini tidak memperhitungkan peranan yang harus diambil individu dalam kelompok. e) Tidak ada pedoman mengenai jangka waktu mengenai perpindahan dari satu. B. SUMBER KONFLIK ANTAR KELOMPOK Konflik di antara kelompok terjadi pada semua tingkat dalam organisasi sosial.

Faktor utama terjadinya konflik di antara Rattlers dan Eagle. 1) Persaingan Persaingan terjadi karena pada dasarnya kelompok akan lebih suka mempunyai dari pada tidak mempunyai, dan karena itu mereka mengambil langkah perencanaan dalam mencapai dua hasil, mencapai tujuan yang diinginkan dan mencegah kelompok lain mendapatkan tujuannya 2) Pengelompokkan Sosial Dalam belajar mereka memahami lingkungan sosialnya dan menggolongkan objek yang hidup dan tidak hidup. Tajfel mengusulkan bahwa hanya permasalahan pribadi untuk dua kelompok yang nyata hanya itu, pengelompokkan sosial-cukup diskriminasi antar kelompok. Dua dasar kategori sosial adalah : (1) Anggota kelompok, dan (2) Anggota kelompok lain (Hamilton, 1979). Walaupun pengelompokkan sosial ini menolong orang memahami lingkungan sosialnya, Tajfel (Tajfel & Turner,p. 38) mengusulkan bahwa hanya pemahaman pribadi untuk dua kelompok yang nyata hanya itu, pengelompokkan sosial-cukup diskriminasi antarkelompok. Tajfel menyebut kelompok kecil karena : 1. Anggota pada kelompok yang sama tidak pernah bergaul dalam keadaan tatap muka, 2. Identitas di dalam kelompok dan di luar kelompok anggota tetap tidak tahu, dan 3. Bukan keuntungan ekonomi perseorangan yang bisa terjamin dengan mengizinkan banyak atau kurangan uang pada keterangan individu. Intinya, kelompok adalah kognitif murni; mereka hanya ada pada pikiran mereka sendiri. 3) Penyerangan antara Kelompok Dari beberapa tindakan negatif atau buruk dalam kenyataannya merupakan ancaman bagi kelompok mencapai pertengkaran, tindakan tersebut berawal dari penghinaan suku etnik budaya, memasuki wilayah kekuasaan kelompk lain tanpa izin atau pencarian properti geng lain (Gannon, 1966;Yablonsky, 1959). C. KONSEKUENSI KONFLIK ANTAR KELOMPOK Konsekuensi antar kelompok ini disarankan agar tidak dikhususkan untuk kelompok saja, tapi beberapa konflik sejenis nisa menciptakan sejumlah perubahan yang dapat diperkirakan yang melibatkan kelompok. Secara umum, ada dua reaksi dasar yang terjadi. Yang pertama,

perubahan dalam tim menciptakan peningkatan kekompakkan atau rasa solidaritas, penolakan terhadap tim lain, dan diferensiasi tim yang semakin hebat. Kedua, konflik antar tim tampaknya dapat menciptakan salah sangka atas motif dan kualitas anggota tim lain. Prinsip konsekuensi konflik antar kelompok mencakup : - Proses perubahan dalam kelompok - Konflik dan kekompakkan (solidaritas) - Konflik dan pemolakan kelompok lain - Konflik diantara kelompok - Perubahan-perubahan dan persepsi yang terjadi dalam kelompok - Kesalahan persepsi dan pemikiran bayangan (terbalik) - Gambaran musuh yang kejam - Gambaran kelompok bermoral - Gambaran kekuatan kelompok - Bayangan terbalik - Stereotif D. PENGURANGAN KONFLIK INTERGROUP Untuk mengurangi konflik yang yang terjadi antar kelompok dapat dilakukan dengan upayaupaya sebagai berikut : 1. Hubungan intergroup Sherifs mempertimbangkan untuk membawa anggota dua kelompok bersama-sama dalam beberapa aktivitas kelompok menyenangkan dengan harapan akan menghasilkan ikatan intergroup. Suksesnya hubungan sebagai alat untuk mengurangi konflik intergroup akan tergantung pada apa yang terjadi sepanjang hubungannya sendiri. 1. Kerjasama antar kelompok Sherif membairkan keleluasaan kepada kelompok-kelompok untuk saling berhubungan dengan dengan caranya masing-masing.karena survei membuktikan bahwa hasil yang lebih tinggi aka

dicapai oleh kelompok-kelompk yang bekerjasama dan membentuk sebagai regu. Setiap kelompok yang sedang berselisih harus dapat bersama-sama mencari jalan keluar yang bersifat tidak saling merugikan, supaya bisa bersma-sama mencapai hasil yang memuaskan dan tentu saja yang memang diharapkan oleh kelompk-kelompk tersebut. Sherif beroendapat sebuah kelompok harus dapat menciptakan kelompk tersebut. Sherif beroendapat sebuah kelompok harus dapat menciptakan kepercayaan antara kelompok-kelompok tersebut. Membangun kepercayaan ini adalah salah satu langkah dalam sistem pengurangan konflik diantara masyarakat. JURNAL I KONSEP DIRI DENGAN KONFORMITAS TERHADAP KELOMPOK TEMAN SEBAYA PADA AKTIVITAS CLUBBING (Sebuah Studi Korelasi pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto yang Melakukan Clubbing) 1. YANG DITELITI Konsep Diri Dengan Konformitas Terhadap Kelompok Teman Sebaya Pada Aktivitas Clubbing 2. LATAR BELAKANG Masa remaja adalah suatu masa peralihan yang sering menimbulkan gejolak. Remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Pada masa ini ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosialnya. Pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. Berkaitan dengan hubungan sosial, remaja harus menyesuaikan diri dengan orang di luar lingkungan keluarga, seperti meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (peer group). Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Kelompok teman sebaya memiliki aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh remaja sebagai anggota kelompoknya. Penyesuaian remaja terhadap norma dengan berperilaku sama dengan kelompok teman sebaya disebut konformitas dengan kelompok teman sebaya disebut konformitas. Adanya konformitas dapat dilihat dari perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan sajakonformitas adalah kecenderungan untuk mengikuti keinginan dan norma kelompok.Konformitas merupakan salah satu bentuk penyesuaian dengan melakukan perubahan-perubahan perilaku yang disesuaikan dengan norma kelompok. Konformitas terjadi pada remaja karena pada perkembangan sosialnya, remaja melakukan dua macam gerak yaitu remaja mulai memisahkan diri dari orangtua dan menuju ke arah teman-teman sebaya bahwa kelompok teman sebaya adalah suatu kelompok yang terdiri dari remaja yang mempunyai usia, sifat, dan tingkah laku yang sama dan ciri-ciri utamanya adalah timbul persahabatan. Remaja yang mempunyai tingkat konformitas tinggi akan lebih banyak tergantung pada aturan dan norma yang berlaku dalam kelompoknya, sehingga remaja cenderung mengatribusikan

setiap aktivitasnya sebagai usaha kelompok, bukan usahanya sendiri konformitas yang cukup kuat tidak jarang membuat individu melakukan sesuatu yang merusak atau melanggar norma social. kebutuhan untuk diterima dalam kelompok sebaya menyebabkan remaja melakukan perubahan dalam sikap dan perilaku sesuai dengan perilaku anggota kelompok teman sebaya. Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obat terlarang atau berperilaku agresif, maka remaja cenderung mengikutinya tanpa mempedulikan akibatnya bagi diri mereka sendiri. clubbing sebagai bentuk aktivitas yang dilakukan oleh remaja dengan kegiatan bersenang-senang ke tempat hiburan yang sedang menjadi trendsetter seperti kafe, diskotik atau lounge dengan berdisko, minum alkohol sampai mencari kenalan atau teman baru. Clubbing sering disebut sebagai dugem atau dunia gemerlap karena tidak lepas dari kilatan lampu disko yang gemerlap dan dentuman music techno yang dimainkan para DJ handal. Fenomena clubbing mulai merebak di kota kecil seperti Purwokerto. Saat ini di Purwokerto terdapat tiga tempat hiburan malam yaitu Cheers, De Front, dan Zone Caf. Pengelola tempat hiburan berlomba-lomba untuk menarik perhatian pengunjung dengan mengadakan berbagai macam acara yang menarik setiap minggunya, seperti free for ladies, free tequila for Thursday, I Love Monday, Saturdelizious, dan The Faculty. Remaja dianggap konsumen yang potensial karena masa remaja dianggap sebagai masa peralihan dan sering disebut sebagai masa pencarian identitas diri. Remaja gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan ingin memberi kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belum cukup, sehingga remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks untuk memberikan citra yang diinginkan. Clubbing menawarkan kebebasan, tidak hanya pada masalah pakaian, gaya rambut, musik, dan hiburan tetapi juga free sex dan narkoba. Clubbing dipersepsikan sebagai suatu hal yang negatif karena merupakan kegiatan di tempat gelap dengan warna warni cahaya lampu, asap rokok yang memenuhi ruangan, suasana hingar bingar musik dari live band atau para disc jockey (DJ), dan meja bar dengan berbagai macam minuman beralkohol bahkan narkoba Pelaku clubbing yang biasa disebut clubbers diberi kebebasan untuk berekspresi, seperti bernyanyi, menggoyangkan kepala, berteriak- teriak dan menari di lantai dansa diiringi musik dengan tempo cepat. Konsep diri adalah gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya menjelaskan pandangan, penilaian dan perasaan individu mengenai dirinya yang timbul sebagai hasil dari suatu interaksi sosial sebagai konsep diri. Konsep diri mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perilaku individu, yaitu individu akan bertingkah laku sesuai dengan konsep diri yang dimiliki konsep diri akan mempengaruhi cara individu dalam bertingkah laku di tengah masyarakat. 3. METODE YANG DIGUNAKAN Metode Kuantitatif. Variabel kriterium dalam penelitian ini adalah konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing, sedangkan variabel bebasnya adalah konsep diri. Dalam penelitian ini

yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto yang pernah melakukan aktivitas clubbing sebanyak 46 siswa. 4. PENGUJIAN Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi. Skala yang digunakan sebagai berikut: a) Skala Konsep Diri Skala konsep diri yang digunakan dalam penelitian ini diukur berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Fitts (dalam Agustiani, 2006, h.139-142) yaitu diri fisik, diri etik-moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial. b) Skala Konformitas Terhadap Kelompok Teman Sebaya pada Aktivitas Clubbing Skala konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing diukur berdasarkan aspek-aspek konformitas yang disusun oleh Wiggins dkk (1994, h.277) yaitu menuruti keinginan kelompok dan internalisasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS (Statistical Packages for Social Science) for windows versi 12.0. 5. HASIL a) Uji Normalitas Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa kedua variabel dalam penelitian ini memiliki distribusi normal. Hal tersebut dapat dilihat dari uji normalitas yang menghasilkan Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,847 dengan p = 0,469 (p>0,05) untuk variabel konsep diri, dan 0,766 dengan p = 0,600 (p>0,05) untuk variabel konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing. b) Uji Linearitas Uji linearitas hubungan antara variabel konsep diri dan konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing menunjukkan bahwa hubungan kedua variabeladalah linear, sehingga dengan terpenuhinya kedua asumsi tersebut (normalitas dan linearitas), maka analisis data dapat diteruskan dengan uji hipotesis melalui teknik c) Analisis Regresi Analisis regresi sederhana menunjukkan seberapa besar hubungan antara konsep diri dengan konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing melalui rxy = -0,340 dengan p = 0,021 (p<0,05). Arah hubungan negatif menunjukkan bahwa semakin positif konsep diri maka konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing semakin rendah, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat korelasi negatif antara konsep diri dengan

konformitas terhadap kelompok teman sebaya pada aktivitas clubbing siswa kelas XI SMA Negeri 1 Purwokerto dapat diterima. JURNAL II SISTEM TATANAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN ORANG BADUY (Suatu Kajian terhadap Perubahan Sosial dan Kelestarian Nilai-nilai Tradisional Masyarakat Baduy) 1. YANG DITELITI Perubahan Sosial dan Kelestarian Nilai-nilai Tradisional Masyarakat Baduy. 2. LATAR BELAKANG Review jurnal : Awal Terbentuknya Kelompok : Di wilayah hutan Banten terdapat Desa adat Kanekes yang luasnya 5.101,85 Ha. Dengan jumlah warga masyarakatnya, yang dikenal dengan sebutan orang Baduy. 4.574 orang yang tersebar di 10 buah kampung. Sebutan baduy untuk warga desa kanekes sebenarnya bukan berasal dari mereka sendiri, tetapi dari luar yang tumbuh menjadi sebutan diri. Orang Belanda menyebut mereka dengan badoe i, badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Rawayan Penduduk Desa Kanekes adalah orang Baduy, tidak tercampur oleh penduduk luar, bahasanya termasuk kategori dialek Sunda Banten atau sub dialek Baduy yang memiliki ciri-ciri khusus, seperti tidak memiliki undak-usuk, aksen tinggi dalam lagu kalimat dan beberapa jenis struktur kalimat berlainan dengan bahasa Sunda lulugu. Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, adalah masyarakat yang memiliki tradisi khas, yang berbeda dengan masyarakat jawa Barat pada umumnya. Tradisi mereka disebut Pikukuh Baduy. Ikatan kepada Pikukuh ditentukan oleh tempat orang Baduy berada atau bermukim, yaitu yang menjadi ciri organisasi sosialnya dalam satu kesatuan kelompok kekerabatan. Orang Tangtu bermukim di Kampung Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana, dikenal dengan sebutan Orang Baduy Dalam sebagai pemegang Pikukuh Baduy. Orang Panamping sebagai pemilik adat Baduy berada di bawah pengawasan Baduy Dalam yang mempunyai ikatan pikukuh lebih longgar, disebut Baduy Luar. Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut. Buyut adalah larangan bagi masyarakat Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah , Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (segala sesuatu yang ada dalam kehidupan tidak boleh dikurang maupun ditambah, harus tetap utuh). Dan Buyut dalam kehidupan mereka terbagi menjadi 3 yaitu : (1) Tabu untuk melindungi kemurnian sukma (manusia); (2) Tabu untuk melindungi kemurnian mandala; (3) Tabu untuk melindungi kemurnian tradisi.

Dasar religi orang Baduy ialah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Prinsip yang dimiliki dan dijalani oleh masyarakat baduy antara lain tidak membangun pemungkiman dari bebatuan, semen, genting, paku atau produk industri modern lainnya. Konflik Kelompok : Masyarakat Baduy merupakan sekelompok masyarakat yang kuat memegang tradisi nenek moyang di mana seluruh sistem sosialnya bersumber pada sistem religinya. Perubahan sosial dan kebudayaan masyarakat Baduy, sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidup mereka, baik lingkungan alam dan fisiknya maupun lingkungan sosialnya. Perubahan lingkungan alam yaitu hutan yang sebenarnya secara tradisional merupakan tempat mereka hidup dan menjadi sumber penghidupan mereka secara lambat atau cepat sedang dan telah berubah karena peningkatan pendayagunaan sumber-sumber hasil hutan dan pemanfaatan lahan-lahan pertanian oleh pemerintah. 3. HASIL Perubahan lingkungan alam/fisik tersebut menuntut adanya adaptasi dari masyarakat Baduy terhadap lingkungannya yang baru dan perubahan tersebut langsung atau tidak langsung menuntut adanya perubahan kebudayaan masyarakat Baduy tersebut. Sementara perubahan itu sendiri bisa diakibatkan oleh adanya turut campur pemerintah dalam mengatur tata kehidupan mereka, yaitu dalam bentuk memukimkan kembali dalam tempat-tempat pemukiman khusus untuk mereka dan perubahan itu bisa juga disebabkan oleh lebih seringnya kontak dengan golongan-golongan sosial atau suku-suku bangsa lainnya, atau karena masuknya teknologi modern dan sekolah, agama serta media massa modern. JURNAL III PEER GROUP IDENTIFIKASI DIRI ANTARA ALTERNATIF SMA PEMUDA: SEBUAH PREDIKSI DARI MEREKA FUNGSI PSIKOSOSIAL LIMA TAHUN KEDEPAN. 1. YANG DITELITI Masalah psikososial pada peer group remaja lima tahun kedepan. 2. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa pembentukan identitas dan pembentukan sikap, keterampilan, dan perilaku yang akan mempengaruhi sosial, fisik, dan hasil ekonomi sepanjang perjalanan hidup. Banyak pengaruh di bidang sosial dan remaja bentuk fisik lingkungan identitas, termasuk keluarga, sekolah sistem, lingkungan, media, dan kelompok sebaya. Pengaruh peer kelompok

yang sangat kuat selama masa remaja. Kelompok peer remaja memainkan peran utama dalam pengembangan diri anggotanya-identitas Ada beberapa cara yang mungkin digambarkan kelompok, termasuk peneliti etnografi penilaian atau laporan dari orang dewasa lainnya, analisis sociometric, dan cluster analitik kesimpulan. Strategi lain yang telah digunakan dalam literatur ini disebut Kelompok identifikasi diri. Dalam protokol ini, pemuda diperintahkan untuk menunjukkan nama kelompok bahwa mereka merasa mereka yang paling bagian dari di sekolah atau dalam konteks lain. Item tanggapan adalah tipe baik isi-in-the kosong atau menyertakan nama spesifik yang berasal dari sebelumnya bekerja. Karena peer group diri remaja -identifikasi dikaitkan dengan resiko mereka masalah perilaku satu atau lebih tahun kemudian, adalah mungkin bahwa peer group identifikasi diri juga mempengaruhi keputusan mereka dan psikososial berfungsi selama masa transisi untuk muda dewasa. 3. METODE Para remaja yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah kelanjutan siswa sekolah tinggi di California yang berpartisipasi dalam Proyek TND, sebuah proyek pencegahan penggunaan narkoba. Melanjutkan sekolah tinggi publik alternatif sekolah bagi siswa yang perilaku masalah atau keadaan hidup mengganggu mereka sukses di sekolah tinggi tradisional. Sekolah-sekolah ini secara konsisten menunjukkan prevalensi tinggi penggunaan substansi dan kekurangan program pencegahan. Sebanyak 21 kabupaten sekolah dari lima wilayah-wilayah Selatan California berpartisipasi dalam penelitian pada tahun 1995. Persetujuan formulir dikirim pulang ke orang tua untuk menandatangani; orang tua yang tidak merespon dengan persetujuan tertulis atau penolakan yang dihubungi melalui telepon untuk mendapatkan persetujuan lisan atau penolakan. Pada awal tahun 1995, sekitar 3% dari siswa atau orang tua mereka menolak untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data. Sebanyak 1551 setuju mata pelajaran di 21 sekolah menyelesaikan kuesioner laporan diri pada awal. Dari responden baseline, 1.318 (85%) memberikan izin orang tua yang memungkinkan siswa yang akan resurveyed di masa depan. Tiga bentuk kuesioner tersebut digunakan. Setiap bentuk termasuk inti set pertanyaan di awal, diikuti oleh tiga modul pertanyaan. Urutan tiga modul yang diputar di tiga bentuk survei sehingga setiap modul akan muncul di bagian akhir survey untuk sekitar sepertiga dari siswa. Dalam sebagian besar kasus, kendala waktu yang diberikan setiap siswa untuk menyelesaikan dua modul pertama, tetapi bukan ketiga. Oleh karena itu, rotasi kuesioner memungkinkan kami untuk mendapatkan data pada masing-masing variabel dari setidaknya dua pertiga dari siswa yang disurvei. Dari 1318 siswa yang persetujuan diberikan pada awal, 952 (72%) menyelesaikan item peer group digunakan dalam analisis. Gelombang akhir pengumpulan data yang diberikan selama jangka waktu dua tahun yang rata-rata lima tahun setelah baseline. Follow-up data yang dikumpulkan selama dua tahun periode untuk memungkinkan berulang kali upaya untuk menghubungi siswa. Sebanyak 532 responden (57% dari 932 yang menyelesaikan item peer group pada awal berhasil resurveyed. Prosedur Pengumpulan Data :

- Baseline survei. Siswa menyelesaikan survei kertas-dan-pensil di kelas mereka. Pengumpul data terlatih proctored administrasi survei, mengingatkan para siswa bahwa partisipasi mereka adalah sukarela dan bahwa respon mereka rahasia. Kuesioner terdiri dari bagian inti di depan (perilaku dan informasi demografis), diikuti oleh tiga bagian yang putar di berbagai bentuk kuesioner (pengetahuan, sosial, dan bagian pribadi). Ketiga bentuk survei secara acak dibagikan kepada siswa dalam ruang kelas. - Lima tahun tindak lanjut survei. Pada lima tahun follow up, subjek yang disurvei melalui telepon menggunakan format wawancara. Sebuah prosedur pelacakan itu luas digunakan untuk menemukan peserta asli, termasuk panggilan telepon, pencarian di Internet, dan pencarian database lain yang tersedia (McCuller et al, 2002.). Staf proyek (Sebelumnya tidak diketahui untuk siswa) dihubungi subyek melalui telepon, membaca item kuesioner kepada mereka, dan dicatat tanggapan mereka pada survei bentuk (McCuller et al, 2002.). Analisis Data Model Chi-square dan ANOVA digunakan untuk membandingkan ukuran hasil di empat kelompok sebaya. uji Chi-square digunakan untuk ukuran hasil kategori dan model ANOVA digunakan untuk mengukur hasil yang kontinu. Dalam chi-kuadrat analisis, nilai sel baku dibandingkan. Dalam model ANOVA, Penting post hoc Terkecil Selisih (LSD) tes digunakan untuk menentukan signifikansi kelompok-antara perbandingan. Analisis ini diulangi membandingkan siswa berisiko tinggi dengan semua lainnya siswa. 4. HASIL Deskripsi Sampel Sebagian besar (57%) adalah laki-laki. Subjek berkisar di usia 19-24 tahun, dengan berusia rata-rata 22 (SD =. 8). Setengah dari subjek Latino (50%), diikuti oleh 31% putih, 6% Afrika Amerika, 5% Asian American, dan etnis lainnya 9%. Sebanyak 69% dari sampel melaporkan telah menyelesaikan sekolah menengah. Sebagian besar (74%) adalah saat ini bekerja. Dalam hal status perkawinan, 69% adalah tunggal, 28% menikah atau terlibat, dan 3% adalah bercerai atau terpisah. Sebanyak 41% memiliki paling sedikit satu anak.Lebih dari sepertiga (42%) yang saat ini tinggal dengan satu atau lebih tua atau dewasa kerabat. Persentase subjek yang telah digunakan setidaknya satu obat lembut dalam 30 terakhir hari adalah 80% pada 5 tahun follow up. Prevalensi 30-hari merokok dan menggunakan alkohol 64% dan 70%, masing-masing. Prevalensi 30-hari penggunaan marijuana dan setiap penggunaan obat keras adalah 29%, dan 13%, masing-masing. Pada 5-tahun follow up, 47% subyek yang dilaporkan telah berpengalaman dalam satu tahun terakhir setidaknya salah satu dari 21 alkohol dan konsekuensi narkoba dinilai dalam konsekuensi pribadi diperluas skala, dan 15% dilaporkan mengalami setidaknya satu dari 9 masalah termasuk dalam obat daftar masalah. Sebagian besar responden (79%) melaporkan bahwa mereka telah didorong sedangkan mabuk atau dibawah pengaruh obat-obatan, atau telah berkuda di dalam mobil ketika sopir itu mabuk atau dibawah pengaruh obat-obatan, dalam satu tahun terakhir. JURNAL 4 THE JERSEY PUNK BASEMENT SCENE: EXPLORING THE

INFORMATION UNDERGROUND 1. MENELITI APA : Anak punk dan kaitannya dengan obat-obatan terlarang dan perilaku kekerasan. 2. LATAR BELAKANG Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhaed. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Kegagalan Reaganomic dan Di Indonesia, istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etik semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri). 3. METODE YANG DIGUNAKAN Penelitian kualitatif menggabungkan wawancara, kelompok fokus, dan peserta observasi untuk memahami informasi praktek pencarian peserta di New Brunswick scene musik bawah tanah. Pengumpulan data akan berada dalam konteks kehidupan sehari-hari mencari informasi perilaku. 4. BAGAIMANA DIUJIKANNYA Dengan berpartisipasi dalam lingkungan penelitian alam, peneliti tim dapat mengembangkan pemahaman yang diam-diam tindakan sehari-hari yang dapat luput atau faktor-out di lingkungan laboratorium. Semua anggota tim penelitian adalah musisi dan peserta nonmainstream subkultur, dan ini pemahaman diam-diam dari fenomena akan membantu untuk mengekspos beberapa realitas dalam setting penelitian. Dengan berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari dari masyarakat, observasi partisipan memungkinkan peneliti untuk melihat dan lebih memahami kompleksitas yang mendasari dari beraneka segi situasi. 5. HASIL Sebagian besar keputusan politik di dunia saat ini adalah produk dari proses pengambilan keputusan kolektif. Hitler dan Stalin- pemimpin yang memiliki otoritas pribadi seperti besar yang mereka brutal bisa memaksakan pandangan mereka pada arakat eksentrik seluruh- iesrelatif jarang. The karakteristik ter dari proses pengambilan keputusan kolektif sangat bisa membentuk kebijakan publik. Sebagai hasil dari interaksi kelompok, orang mungkin mengadopsi lebih ekstrim atau lebih moderat daripada kebijakan akan sebagai individu, mereka mungkin menjadi lebih atau kurang mandiri kritis dan menghargai kebutuhan untuk kerajinan rencana

darurat, dan mereka mungkin menjadi lebih atau kurang menyadari trade-off dan kebutuhan untuk merevisi prasangka dalam menanggapi bukti baru. Model groupthink berpendapat bahwa tekanan untuk seragam-mity dan loyalitas dapat membangun dalam kelompok ke titik di mana mereka secara serius mengganggu efisiensi baik kognitif dan moral penghakiman. Anggota kelompok yang selalu termotivasi untuk menjaga saling menghormati satu sama lain dan merasa dihambat tentang criticiz-ing satu sama lain dan mengekspresikan perbedaan pendapat. Kelompok anggota terisolasi dari luar yang berkualitas dan tidak memiliki prosedur sistematis untuk mencari dan mengevaluasi bukti baru. Para pengambil keputusan mulai percaya bahwa kelompok tidak bisa gagal-sebuah keyakinan yang mendorong optimisme yang berlebihan mengambil resiko. Anggota kelompok diskon peringatan con- berkenaan solusi yang diinginkan dan menolak untuk pertanyaan baik kebenaran yang melekat kelompok atau immor melekat-ality musuh. Anggota grup diri disensor pribadi keraguan, menumbuhkan ilusi kebulatan suara. kontras groupthink keputusan ini dengan dua contoh-contoh pengambilan keputusan waspada: Marshall Plan dan Krisis Rudal Kuba. Dalam kedua kasus, keputusan-keputusan kelompok memberi prioritas tinggi untuk membahas penilaian dan terbuka kritis sion pilihan. Kebijakan yang dikembangkan dalam kelompok-kelompok ini berdasarkan analisis yang cermat kemungkinan konsekuensi dari banyak pilihan, dengan upaya yang sering di mengusulkan solusi baru tions yang memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan disad-vantages pilihan yang sudah dianalisa.Kritik telah mengangkat empat keberatan luas: (a) kelemahan-kelemahan studi kasus metode untuk menguji hipotesis (risiko selective perhatian bukti dan godaan-histor tofitmessyical fakta ke dalam kategori teoritis rapi), (b) curiga korelasi yang sempurna antara kesehatan proses dan kebaikan dari hasil (risiko kepastian belakang), (c) semua-atau-tidak ada penempatan pengambilan keputusan episode kegroupthink dan waspada kategori (risiko mengecilkan differences dalam klasifikasi dan membesar-besarkan perbedaan antara klasifikasi), dan misspecification (d) konseptual model (menantang causalflowfrom dua anteced- ent kondisi-kelompok kekompakan dan situasi provokatif -Untuk persetujuan mencari). Penelitian laboratorium telah menguji aspek groupthink teori dengan faktorial memanipulasi kondisi yg di kunci dan kemudian mengamati pengaruhnya terhadap interaksi sosial dan keputusan misalnya, menemukan bahwa terbuka gaya kepemimpinan yang mendorong-usia pertukaran bebas ide mengarah kelompok untuk menyarankan lebih solusi dan untuk menggunakan informasi lebih dari melakukan tertutup-leadership gaya. adalah menemukan ini kompatibel dengan hipotesis tentang directiveness pemimpin. teori Janiss, groupthink pengambil keputusan lebih sederhana dari keputusan waspada pembuat dalam diskusi masalah kebijakan dan dibuat lebih positif referensi untuk simbol dalam kelompok teori, keputusan Janiss groupthink pembuat tidak membuat referensi lebih negatif untuk keluar-kelompok simbol (Komunis negara bagian). Sebuah metode yang ideal kelompok kepemimpinan akan menilai com- tunas kekayaan dengan ketelitian (Snyder, 1985) dengan memungkinkan penyidik\ untuk (a) menilai berbagai atribut fungsi kelompok; (b) menjelaskan dinamika kelompok di kompleks, bernuansa, dan idiographturun tajam sensitif cara; dan (c) membuat sistematis com, kuantitatif- parisons di penilaian analis yang berbeda yang sama kelompok, di penilaian dari kelompok yang sama pada waktu yang berbeda, dan seluruh penilaian dari kelompok yang berbeda. Studi kasus memuaskan yang

2 pertama kriteria tetapi gagal untuk lulus ketiga. Berbeda kembali pencari menekankan aspek yang berbeda dari fungsi kelompok dan menggunakan terminologi yang berbeda untuk menggambarkan apa yang mereka pikir terjadi. PENUTUP KESIMPULAN Kelompok sosial adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku para anggotanya. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. DAFTAR PUSTAKA Forsyth, R. Donelson. (1983). An Introduction to Group Dynamics. Brooks/Cole Publishing Company : Monterey, California (Sumber: Wikipedia, 12MANAGE, The Team Building Company) http://eprints.undip.ac.id/11099/1/buat_jurnal_sukma.pdf http://file.upi.edu/Direktori/B%20-%20FPIPS/M%20K%20D%20U/196801141992032%20%20WILODATI/jurnal%20SISTEM%20SOSBUD%20BADUY.pdf http://www.bvsde.paho.org/bvsacd/cd53/ijchp-93.pdf http://www.ideals.illinois.edu/bitstream/handle/2142/15022/ischool10_sanchez_final.pdf?sequen ce=2 Disusun Oleh : Devi Anggraeni 10508054

Kategori
Kamis, 8 November 2007 - Oleh : Rudy Maulany CLAMIDIASIS Penyakit Penular Seksual Dr. Cutillas Rosary* 19-04-2006

Kalau penyakit ini dibiarkan saja tanpa pengobatan akan timbul gejala komplikasi berupa: - pendarahan - nyeri saat hubungan seks dan - Penyakit Peradangan Panggul. Penyakit peradangan panggul ini dapat berupa infeksi pada organ-organ reproduksi wanita, termasuk kandungan, indung telur dan saluran telur dan jaringan dalam panggul. Penyakit yang timbul sebagai infeksi chlamydia ini dapat mengancam kesuburan wanita karena sebagai akibat penyakit ini, penderita wanita kemungkinan dapat menjadi mandul. Gejala yang paling nyata dari Penyakit Peradangan Panggul adalah adanya keputihan yang abnormal, nyeri perut setempat atau menyeluruh, dan demam yang dapat menetap atau sementara. Gejala pada pria Gejala pada pria juga timbul berangsur-angsur dan yang paling sering: -keluar cairan dari penis, -rasa panas waktu kencingdan pada stadium yang lanjut (tanpa pengobatan) nyeri daerah kemaluan dan nyeri saat kencing dan demam. Pada wanita maupun pria dapat timbul trachoma berupa bintik-bintik nanah di sekitar mata(kotoran mata bernanah saat bangun tidur). Konsekuensi pada keturunan Penyakit ini dapat ditularkan dari ibu kepada bayi di saat melahirkan anaknya yang kemudian dapat menimbulkan infeksi paru-paru, telinga dan mata pada anak yang baru lahir. Diagnosa Tidak adanya test yang cepat dan ekonomis merupakan hambatan untuk mendiagnosa penyakit ini. Walaupun kurang peka untuk kontrol dan melacak kuman clamidia untuk pemeriksaan lanjutan diperlukan test sel berupa biakan. Penting untuk diketahui bahwa dengan pemeriksaan sel yang memperlihatkan adanya perubahan peradangan pada pasien dapat juga diketahui adanya infeksi-infeksi lain seperti yang telah disebutkan. Karena itu perlu ditekankan pentingnya

melakukan pemeriksaan sel tahunan untuk dapat mengetahui secara dini adanya penyakit chlamydia ini dan melakukan pencegahan terhadap banyak penyakit lain yang dapat didiagnosa melalui pemeriksaan sel. Pengobatan Pengobatan adalah dengan pemberian obat-obatan antibiotika pilihan (disarankan) - Doksisikliin: (100 mg diminum setiap 12 jam selama 7 hari) Azitromisin, Satu gram diminum sekaligus. Alternatif lain adalah Eritromisin, 500 mg diminum setiap 12 jam. Pencegahan Seperti halnya pada semua penyakit kelamin menular lainnya satu-satunya cara untuk memberikan pendidikan kepada para remaja untuk melindungi diri mereka termasuk dalam hal ini adalah melalui program pendidikan sekolah di seluruh dunia. Satu-satunya pencegahan adalah dengan menggunakan kondom. Menurut pengamatan sebagian besar penyakit ini terjadi pada remaja dan wanita antara umur 20 dan 24 tahun dan inilah merupakan alasan mengapa untuk mereka diperlukan pendidikan seks dalam semua aspek. *Dr. Cuttilas Rosary adalah spesialis Kebidanan dan penyakit Kandungan lulusan Fakultas kedokteran Santa Christina Madrid. Menamatkan ahli Kebidanan dan keahlian Neonatologi dan Perinatologi di Fakultas kedokteran Santa Christina Madrid. Ia merupakan pengamat pendidikan seksual pada Perhimpunan Seksologi Madrid, Spanyol. Alih Bahasa Spanyol: Dr. Rudy Maulany.

http://www.explaju.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=224

Anda mungkin juga menyukai