Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengertian Warisan, adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu
baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya
yang masih hidup. "Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah
menetapkan para ahli waris atas apa vang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib
kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu."
(QS. 4/An-Nisa': 33)

Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.Hukum kewarisan merupakan bagian dari
hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini
disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa
hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya
seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum,
yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang
yang meninggal dunia itu.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi,
warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta
kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Secara
etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (‫وارث‬22‫)م‬, yang merupakan
mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa
adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum
kepada kaum lain.

Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya
hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik
yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang
legal secara syar’i.Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah
pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih
hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.

1.2 Rumusan Masalah

1) Apa saja rukun- rukun mewaris?


2) Apa saja syarat-syarat mewaris?
3) Apa saja hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris?
4) Mengetahui apa saja halangan mewarisi?

3. Tujuan Masalah

1) Untuk mengetahui rukun-rukun mewaris


2) Untuk mengetahui syarat-syarat mewaris
3) Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan orang dapat mewaris
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Dasar Hukum Waris Dalam Islam

Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam
adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu :

 Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya :

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Joko Utama, Muhammad
Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, CV. Putra Toha Semarang,
Semarang, hal.62. )

 Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya :

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik.” (Ibid. )

 Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya :

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-


anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua
ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau
(dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetpan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Ibid.)1

 Surat An-Nisa’ ayat 12, yang artinya

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah, dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja), atau saudara
perempuan (seibu saja), maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Ibid.)

2.2. Pedoman Waris Menurut Hadist

 Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil

Hadits Rasulullah dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud,
At-Tirmizi, dan Ibn Majah. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang
anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa
berkata: “Untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua.
Datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu ia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian
ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab : “Saya menetapkan atas dasar apa yang
telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi
dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan”. (Zainuddin
Ali,Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.40.)

1
Rahman Fatchur, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif) hlm,36
 Hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aibHadits Rasulullah dari Qabisah bin
Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain An-Nasai.
“Seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang
meninggal itu). Abu Bakar berkata : “Dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu
dan juga tidak ada dalam hadits Rasulullah. Pulang sajalah dulu, nanti saya tanyakan
kepada orang lain kalau ada yang mengetahui”. Kemudian Abu Bakar menyatakan kepada
para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan berkata
: “Saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenek dari
seorang cucu yang meninggal sebanyak seperenam”. Abu Bakar bertanya : “Apakah ada
yang lain yang mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan
mengatakan seperti yang dikatakan oleh Mugirah. Kemudian Abu Bakar memberikan
seperenam kepada nenek harta peninggalan cucunya”. (Ibid)
 Hadits Rasulullah dari Sa’ad bin WaqqasHadits
Rasulullah dari Sa’ad bin Waqqas yang diriwayatkan oleh Bukhari. Sa’ad bin Waqqas
bercerita sewaktu ia sakit keras, Rasulullah mengunjunginya. Ia bertanya kepada
Rasulullah : “Saya mempunyai harta yang banyak sedangkan saya hanya mempunyai
seorang anak perempuan yang akan mewarisi harta saya. Apakah perlu saya sedekahkan
dua pertiga harta saya ?” Rasululah menjawab : “Jangan!” Kemudian bertanya lagi Sa’ad :
“Bagaimana jika sepertiga ?” Bersabda Rasulullah : “Sepertiga, cukup banyak.
Sesungguhnya jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan adalah
lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin (berkekurangan), sehingga
meminta-minta kepada orang lain.” (Ibid., hal.41.)
 Hadits Rasulullah dari Abu HurairahHadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda : “Aku lebih dekat kepada orang-
orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang
yang meninggal dan meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarnya (tidak dapat dilunasi
dari harta peninggalannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya, dan jika dia
meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk ahli waris-ahli warisnya.”
(Ibid.)
2.3 Rukun –Rukun Mewarisi

Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila
ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.2

Menurut hukum islam, rukun-rukun mewarisi ada 3 yaitu :

a) Muwarrits (pewaris)

Menurut hukum islam, muwarrits (pewaris) adalah orang yang telah meninggal dunia
dengan meninggalkan harta warisan untuk di bagi- bagikan atau pengalihan harta kepada
para ahli waris.

b) Warits (ahli waris)

Menurut hukum islam, warits (ahli waris) adalah orang-orang yang berhak mendapatkan
harta peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan
nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.[1]

Sedangkan menurut KHI, Warits (ahli waris) adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

c) Mauruts (harta waris)

Menurut hukum islam, mauruts (harta waris) adalah harta benda yang di tinggalkan
oleh si mati yang akan di warisi oleh para ahli waris setelah di ambil untuk biaya-biaya
perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh
para faradhiyun di sebut juga dengan tirkah atau turats.

Fatchur Rahman, mendefinisikan tirkah atau harta peninggalan adalah harta


kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia (muwarits) yang dibenarkan
syari’at untuk dipusakai oleh para ahli waris (waris), yang meliputi:

a. Harta kekayaan yang memiliki sifat-sifat kebendaan yang bernilai

b. Hak-hak atas kebendaan, misal hak irigasi pertanian

2
Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV diponegoro)hlm,49
c. Hak-hak immateriil, misal hak syuf’ah (privilege)

d. Hak-hak atas harta kekayaan yang berkaitan dengan orang lain (piutang, hak gadai
yang sesuai syari’ah, penulis).

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Mauruts (harta waris) adalah harta
bawaan di tambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat. (pasal 171 huruf e)

2.4 Syarat-Syarat Mewarisi

Menurut hukum islam, masalah waris mewarisi akan terjadi apabila di penuhinya syarat-
syarat mewarisi. Adapun syarat-syarat mewarisi ada 3 yaitu :

1) Meninggal dunianya muwarris (pewaris).

Kematian muwaris, menurut ulama, di bedakan ke dalam tiga macam, yaitu: (Fathur
Rahman, 1981 :79)

a. Mati haqiqi (sejati), adalah kematian yang dapat di saksikan oleh panca indra.

b. Mati hukmy (menurut putusan hakim), adalah kematian yang di sebabkan adanya
putusan hakim, baik orangnya masih hidup ataupun sudah mati.

c.Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang di dasarkan pada dugaan yang
kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.

2) Hidupnya warits (ahli waris).

Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris
meninggal dunia. Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain
mafqud, anak dalam kandungan, dan mati bersamaan.

Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri muwaris dalam keadaan
mengandung ketika muwaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut
dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat di
tangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
3) Mengetahui status kewarisan3

Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami,
istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian
yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris,
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang di terima, karena
tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi,
harus di nyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu.
Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan
karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena ashobah, ada yang terhalang hingga tidak
mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

2.5 Sebab-Sebab Mewarisi

Menurut islam, mempusakai atau mewarisi itu berfungsi menggantikan kedudukan


si mati dalam memiliki dan memanfaatkan harta miliknya. Bijaksana sekali kiranya kalau
penggantian ini di percayakan kepada orang-orang yang banyak memberikan bantuan,
pertolongan, pelayanan, pertimbangan dalam kehidupan berumah tangga dan mencurahkan
tenaga dan harta demi pendidikan putra-putranya, seperti suami istri. Atau di percayakan
kepada orang-orang yang selalu menjunjung martabat dan nama baiknya dan selalu
mendoakan sepeninggalnya, seperti anak-anak turunnya . Atau di percayakan kepada
orang yang telah banyak menumpahkan kasih sayang, menafkahinya, mendidiknya dan
mendewasakannya, seperti orang tua. Atau di percayakan kepada orang yang telah
mengorbankan sebagian harta bendanya untuk membebaskan dari perbudakannya menjadi
manusia yang mempunyai hak kemerdekaan penuh dan cakap bertindak, seperti
maulal-‘ataqah (orang yang membebaskan budak).[3]

Begitu juga dalam system individual mengenai ketentuan islam mengenai siapa
berkewenangan memperoleh hak waris tapi ada juga sekaligus sisi kolektif dalam arti
person yang menikmati lebih lebar dalam ketentuan mengenai siapa memperoleh
kewenangan hak waris. Didapatkan dalam islam beberapa sebab yang menjadi pendukung
mengapa seseorang tertentu di beri kewenangan memperoleh hak waris atas harta yang di
tinggalkan, sebab yang menjadi penentu ini dalam literature fiqih disebutkan ada 3 hal: [4]

3
Fathur rahman, ibid, hlm 80
1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), diantara sebab beralihnya harta seseorang
yang telah mati kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau
kekerabatan antara keduanya. Adanya hubungan kekerabatan yang di tentukan oleh adanya
hubungan darah seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

2. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki
dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama) antara
keduanya. Adapun pernikahan yang bathil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk
mendapatkan hak waris.

3. Al –wala’, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Di sebut juga wala’ al-‘itqi dan
wala’ an ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi. Orang
yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang
sebagai manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan kepadanya hak mewarisi
terhadap budak yang di bebaskan bila budak itu tidak memliki ahli waris yang hakiki, baik
karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan.[6]

Dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan adanya hak kewarisan adalah firman Allah :

‫ون‬11‫دان واألقرب‬11‫رك الول‬11‫للرجال نصيب مما ترك الولدان واألقربون وللنساء نصيب مما ت‬
‫مما قل منه اوكثر نصيبا مفروضا‬

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan karabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah di tetapkan.[7]

Adapun menurut ulama malikiyah, syafiiyah, dan hanbaliyah

Menutut pendapat ulama-ulama ini yang di maksud dengan harta peninggalan itu adalah:”
segala yang ditinggalkan oleh si mati, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Baik hak-
hak tersebut hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan.”[8]

Demikian pula dalam surat al-Anfal ayat 75


‫هم اولى‬11‫ام بعض‬11‫ك منكم واولواالرح‬11‫دوامعكم فاولئ‬11‫ا ه‬11‫دوها جرواوج‬11‫وامن بع‬11‫والذين امن‬
‫ببعض في كتا ب هللا‬.4

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah. (Q.S. Al-Anfal : 75).

Adapun sebab sebab terjadinya mewaris disebabkan oleh:

a. Adanya hubungan kekerabatan (nasab)

b. Adanya hubungan perkawinan (sabab).

Kedua hal tersebut telah terangkum dalam pengertian ahli waris yang diatur dalam Pasal
171 huruf c. Menurut Pasal tersebut, ahli waris adalah,[9]

“orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.”

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi dengan yang
mewarisi, kerabat dapat di golongkan menjadi tiga, yaitu:

1. Furu’,yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris

2.Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.

3.Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis


menyamping, seperti saudara, paman bibi, dan anak turunannya tanpa membeda-bedakan
antara laki-laki dan perempuan.[10]

2.6 Halangan Mewaris

1. Mahrum (yang diharamkan) / Mamnu’ (yang dilarang) :

Halangan untuk menerima warisan merupakan hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli
waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan pewaris Ahli waris yang terkena
halangan ini disebut mahrum atau mamnu’

Dalam hukum kewarisan Islam ada tiga penghalang mewaris, yaitu :

4
Amin husain nasution, 2012, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) hlm, 45
a. Pembunuhan

Apabila seseorang ahli waris membunuh pewaris, misalnya seseorang anak


membunuh ayahnya maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.(Muhammad Ali Ash-
Shabuni, Op.Cit., hal.41.) Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya
menyebabkan ia terhalang haknya untuk mewarisi. Karena itu, yang terpenting adalah
bagaimana membuktikan bahwa seseorang telah bersalah melakukan pembunuhan
terhadap si pewaris. Mengingat, banyak cara yang ditempuh seseorang untuk mengahabisi
nyawa orang lain, termasuk si korban adalah keluarganya sendiri. (Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, Op.Cit., hal.404.)

Rasulullah SAW bersabda :

“Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak mewarisinya,


meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya,
atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan (Riwayat Ahmad) (Ibid.).

Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi dua jenis :

Pembunuhan langsung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabub).


Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat, yakni pembunuhan
dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang dipandang tidak
sengaja. Sedangkan pembunuhan tidak langsung, misalnya seseorang membuat lubang di
kebunnya, kemudian ada orang yang terperosok ke dalam lubang tadi dan meninggal
dunia. Matinya korban disebabkan perbuatan tidak langsung oleh orang yang membuat
lubang tersebut. (A.Rachmad Budiono, Op.Cit., hal.12.)

Menurut para ulama Hanafiyah pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk


mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung , bukan penghalang untuk mewaris.
(Ibid.)

b. Berbeda agama

Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan agama ahli waris.5

5
Ahmad kuzairi, 1996, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan) Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.hal, 62
Misalnya pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama Kristen, atau
sebaliknya. (A.Racmad Budiono,Op.Cit., hal.12.)

Imam Ahmad ibn Hanbal dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa apabila
seseorang ahli waris masuk Islam sebelum pembagian warisan dilakukan, maka ia tidak
terhalang untuk mewarisi. Alasannya, karena status berlainan agama sudah hilang sebelum
harta warisan dibagi. (Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op.Cit., hal.37.)

c. Perbudakan

Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiannya, tetapi


semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak).(Ibid., hal 39.) Islam
sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya Islam sangat menganjurkan
agar setiap budak hendaknya dimerdekakan. Pada hakikatnya, perbudakan tidak sejalan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan rahmat yang menjadi ide dasar ajaran Islam. (Ibid.)

Sementara itu di dalam Pasal 173 KHI seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum
karena :

Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris

Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah


melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat.

2. Hijab

Hijab adalah terhalangnya seseorang ahli waris untuk menerima warisan, disebabkan
adanya ahli waris (kelompok ahli waris) yang lebih utama dari padanya. (Suhrawardi
K.Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1995,
hal .59.)

Terdapat 2 macam hijab, yakni:hijab nuqshaan, dan hijab hirman.

a. Hijab nuqshan
Adalah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris disebabkan adanya orang lain.
Hijab nuqshan ini berlaku pada lima orang berikut : (Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal.500.)

Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat apabila ada anak;

Istri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan apabila ada anak;

Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam apabila ada keturunan yang mewarisi;

Anak perempuan dari anak laki-laki;

Saudara perempuan seayah;

b. Hijab hirman atau hijab penuh

Adalah terhalangnya semua warisan seseorang karena adanya orang lain, seperti
terhalangnya warisan saudara laki-laki dengan adanya anak laki-laki, ditegaskan dari dua
asas berikut : (Ibid.,hal.501.)

Setiap orang yang mempunyai hubungan dengan pewaris karena adanya orang lain itu,
maka dia tidak menerima warisan apabila orang tersebut ada. Misalnya, anak laki laki dari
anak laki-laki tidak menerima warisan bersama dengan adanya anak laki-laki, kecuali anak
anak laki-laki dari ibu maka mereka itu mewarisi bersama dengan ibu, padahal mereka
mempunyai hubungan dengan si mayat karena dia;

Setiap orang yang lebih dekat didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka anak laki-laki
menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila mereka sama dalam derajat
maka diseleksi dengan kekuatan hubungan kekerabatannya, seperti saudara laki-laki
sekandung menghalangi saudara laki-laki seayah.

Ahli waris yang dapat terhijab penuh adalah seluruh ahli waris kecuali anak, ayah, ibu, dan
suami atau isteri. Kelima ahli waris ini tidak akan pernah terhijab secara hijab penuh. Anak
laki-laki dan ayah dapat menutup ahli waris lain secara hijab penuh sedangkan suami-isteri
tidak pernah menghijab siapapun di antara ahli waris. (Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam, Kencana, Padang, 2004, hal.201.)
Perbedaan antara Mahrum dan Hijab

Terdapat beberapa perbedaan antara mahrum dan hijab, yaitu : (Sayyid Sabiq,Op.Cit., hal
501.)6 Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang membunuh
pewaris. Sedangkan hijab berhak mendapatkan warisan, tetapi dia terhalang karena adanya
orang lain yang lebih utama darinya untuk mendapatkan warisan;

Mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain, maka dia tidak menghalanginya
sama sekali, bahkan dia dianggap seperti tidak ada. Misalnya, apabila seseorang mati dan
meninggalkan seorang anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim; maka
warisan itu semua adalah bagi saudara laki-laki, sedangkan anak laki laki tidak
mendapatkan apa apa. Sedangkan hijab maka terkadang ia mempengaruhi orang lain.
(Ibid.)

6
K Lubis Suhrawardi, 1995 hukum waris islam,(Sinar grafika jakarta) hal,36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :

 Muwarrits (Pewaris), yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama islam
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan
 Warits (Ahli waris), yaitu orang-orang yang berhak mendapatkan harta
peninggalan si mati, baik di sebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan
nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.
 Mauruts (harta waris), yaitu harta benda yang di tinggalkan oleh si mati yang akan
di warisi oleh para ahli waris setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat atau wasiat.

2. Seseorang bisa mendapatkan warisan harus dengan memenuhi syarat-syarat mewarisi


yaitu:

 Meninggal dunianya muwarrits (pewaris).


 Matinya muwarrits (pewaris) mutlak harus di penuhi, jadi seseorang baru disebut
muwarrits apabila orang tersebut telah meninggal dunia.

Hidupnya warits (ahli waris).

 Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat muwarrits meninggal dunia. Ahli waris
merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan perpindahan hak itu
di dapat melalui jalur waris. Oleh karena itu, setelah muwarrits meninggal dunia,
maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi
nyata.
Mengetahui status kewarisan

Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, adanya hubungan
suami istri, hubungan kerabat dan derajat kekerabatannya.beserta apa saja yang menjadi
penghalang untuk mewarisi.

3. Hal yang menyebabkan orang mendapatkan warisan ada 3 yaitu:

 Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara,
paman, dan seterusnya.

Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun
belum atau tidak terjadi hubungan intim(bersenggama) antara keduanya.

 Al –wala’, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. disebut wala’ al-‘itqi dan wala’
an ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati
diri seseorang sebagai manusia. Oleh karena itu, Allah SWT. Menganugerahkan
kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang di bebaskan bila budak itu tidak
memliki ahli waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada
tali pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA

Rahman Fatchur, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif)

Muhammad As shabuni Ali, 1995, Hukum Waris dalam Syariat lslam, (Bandung : CV
diponegoro)

Salman Otje & haffas Mustofa, 2002, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama)

Rachmad Budiono, 1999, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, ( Bandung :


PT. Citra aditya bakti,)

Dian khoirul umam, 1999, fiqih Mawaris, (Bandung : CV. Pustaka setia)

Amin husain nasution, 2012, Hukum Kewarisan, (Jakarta : PT raja grafindo persada)

Ahmad kuzairi, 1996, Sistem Asabah (Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta
Tinggalan) Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

K Lubis Suhrawardi, 1995 hukum waris islam,(Sinar grafika jakarta)

Syarifuddin amir, 2004 hukum kewarisan islam, (prenada media, jakarta)

Muhammad Ali As shabuni, hukum waris dalam syariat islam, (Bandung : CV diponegoro,
1995)

Otje Salman & Mustofa haffas, hukum waris islam, (Bandung : PT Refika Aditama, 2002)

Ali parman, kewarisan dalam Al-Qur’an, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995)

Anda mungkin juga menyukai