Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM BISNIS

“PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ”


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengampu: Muhammad Ziauddin Ulya, SE, MM.

Disusun oleh:
Kelompok 9, Kelas N2B:

• Irfan Rosyid N (213140507111060)


• Faizah Choirul N. R. (213140507111059)
• Lintang Ayu Dyah C. (213140507111061)

PROGARAM STUDI D-III ADMINISTRASI BISNIS


PENDIDIKAN VOKASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
hidayahnya, sehingga makalah yang berjudul “Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat” dapat terselesaikan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Hukum Bisnis. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Ziauddin
Ulya, SE, MM selaku pengampu mata kuliah hukum bisnis, dan pihak terkait yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan
kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu kami memohon maaf apabila
dalam penulisan dan pengerjaan makalah ini terdapat kesalahan atau ketidak sempurnaan.
Kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun sebagai bahan perbaikan dimasa yang
akan datang. Kami juga berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
dikemudian hari. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih.

Malang, 9 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2

1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Monopoli ............................................................................................ 3

2.2 Perjanjian yang Dilarang dalam Praktik Monopoli .............................................. 5


2.3 Kegiatan yang Dilarang Dalam Praktik Monopoli .............................................. 6
2.4 Sanksi yang Berlaku dalam Mopoli ........................................................................... 7
2.5 Pengertian Anti Trust dan Anti Dumping ............................................................ 8

2.6 Tugas dan Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha ............................... 10

2.7 Alasan Yuridis Monopoli oleh BUMN ................................................................ 12

2.8 Dampak Negative Monopoli ................................................................................ 12

2.9 Instrumen Hukum Anti Dumping ........................................................................ 13

2.10 Bea Masuk Anti Dumping .................................................................................... 14

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum persaingan merupakan salah satu perangkat hukum penting dalam


ekonomi pasar (market economy). Melalui hukum persaingan usaha, pemerintah
berupaya melindungi persaingan yang sehat antar pelaku usaha di dalam pasar.
Khemani (1998), menjelaskan bahwa persaingan yang sehat akan memaksa pelaku
usaha menjadi lebih efisien dan menawarkan lebih banyak pilihan produk barang dan
jasa dengan harga yang lebih murah. Persaingan yang terjadi dalam dunia usaha telah
mendorong perusahaan-perusahaan manufaktur di negara tersebut untuk meningkatkan
daya saing dengan melakukan investasi lebih besar dalam teknologi. Sebaliknya,
perusahaan yang tidak efisien dan tidak kompetitif, serta tidak responsif terhadap
kebutuhan konsumen, akan dipaksa keluar dari persaingan.

Maria Vagliasindi dalam kajiannya menyimpulkan bahwa implementasi efektif


dari hukum persaingan usaha merupakan tugas yang sulit, serta memerlukan tingkat
pengetahuan dan keahlian yang tinggi. Kondisi struktur awal yang terjadi dalam
ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi, khususnya pada negara berkembang
seperti Indonesia, membuat implementasi hukum persaingan menjadi tugas yang lebih
menantang daripada implementasi hukum persaingan pada negara maju. Hambatan
masuk yang timbul dari konsentrasi pasar yang tinggi, kontrol dan kepemilikan
pemerintah, serta hambatan administratif, semuanya tinggi di ekonomi transisi. Dan
tidak hanya itu, menurut Luis Tineo implementasi hukum persaingan juga tidak akan
terlepas dari tekanan secara politik maupun sosial. Belum lagi perkara persaingan usaha
juga merupakan salah satu perkara hukum yang cukup rumit penanganannya
dibandingkan perkara hukum lainnya, dimana analisa dari segi ekonomi untuk beberapa
perkara sangat diperlukan dalam proses pembuktiannya, sehingga menurut John E.
Kwoka, Jr. dan Lawrence J. White peranan para ahli ekonomi dalam hampir setiap
penanganan perkara persaingan usaha begitu penting.

Lebih lanjut menurut Vagliasindi, efektifitas implementasi dari suatu undang-


undang persaingan usaha merupakan tugas yang sangat sulit dan memerlukan tingkat
pengetahuan serta keahlian yang tinggi. Kondisi struktur awal yang terjadi dalam

1
ekonomi transisi dari proteksi ke liberalisasi membuat implementasi undang-undang
persaingan usaha menjadi tugas yang lebih menantang daripada negara maju.
Hambatan masuk yang timbul dari konsentrasi pasar yang tinggi; kontrol dan
kepemilikan pemerintah; kekakuan dan bottleneck dalam mobilitas sumberdaya;
hambatan administratif; semuanya sangat tinggi di ekonomi transisi. Peraturan terhadap
persaingan, termasuk pemberian secara bebas berbagai bentuk subsidi kepada
perusahaan yang merugi banyak dilakukan. Dengan paparan tersebut, maka penulis
tertarik untuk membuat makalah dengan judul “Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Monopoli?
2. Apa saja perjanjian yang dilarang dalam praktik monopoli?
3. Apa saja kegiatan yang dilarang dalam praktik monopoli?
4. Apa sanksi yang berlaku dalam monopoli?
5. Bagaimana pengertian dari antitrust dan anti-dumping?
6. Apa saja tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ?
7. Apa saja alasan yuridis monopoli oleh BUMN?
8. Apa saja dampak negative monopoli?
9. Bagaimana instrument hukum anti-dumping?
10. Bagaimana pengertian bea masuk anti-dumping?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari Monopoli.


2. Untuk mengetahui perjanjian yang dilarang dalam praktik monopoli.
3. Untuk mengetahui kegiatan yang dilarang dalam praktik monopoli.
4. Untuk mengetahui sanksi yang berlaku dalam monopoli.
5. Untuk mengetahui pengertian dari antitrust dan anti-dumping.
6. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) .
7. Untuk mengetahui alasan yuridis monopoli oleh BUMN.
8. Untuk mengetahui dampak negative monopoli.
9. Untuk mengetahui instrument hukum anti-dumping.
10. Untuk mengetahui pengertian bea masuk anti-dumping.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Monopoli


Secara etimologi istilah monopoli berasal dari bahasa Inggris, yaitu monopoly
dan menurut sejarah istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani, yakni “monos polein”
yang artinya sendirian menjual. Dalam masyarakat Amerika, monopoli dikenal dengan
istilah “antitrust” sedangkan antimonopoli dikenal dengan istilah “dominasi” yang
banyak digunakan oleh orang Eropa dalam menyebut istilah monopoli. Monopoli
secara umum adalah kondisi dimana satu pelaku usaha (penjual) merupakan satu-
satunya penjual produk berupa barang dan jasa tertentu pada suatu pasar yang tidak
terdapat produk substitusi (pengganti). Berdasarkan kamus ekonomi Collins, monopoli
adalah salah satu jenis struktur pasar yang mempunyai sifat-sifat, bahwa satu
perusahaan dengan banyak pembeli, kurangnya produk substitusi atau pengganti serta
adanya pemblokiran pasar (barrier to entry) yang menyebabkan pelaku usaha lainnya
tidak dapat masuk dalam pasar.

Menurut Black’s Law Dictionary monopoli adalah “a privilege or peculiar


advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right
(or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or
control the sale of the whole supply of a particular commodity”.

Pengertian “monopoli” dalam UU No.5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 1 angka 1
yaitu “penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”. Dengan demikian, definisi
monopoli adalah kondisi pasar dimana hanya terdapat satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha yang “menguasai” suatu produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau penggunaan jasa tertentu, yang akan ditawarkan untuk konsumen, sehingga
mengakibatkan pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha dapat mengontrol dan
mengendalikan tingkat produksi, harga, dan sekaligus wilayah pemasarannya.

Adanya ketentuan monopoli termasuk dalam salah satu kegitan yang dilarang oleh
undang-undang persaingan usaha, bukan berarti kegiatan monopoli tidak dapat
dilakukan di Indonesia, karena monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-

3
undangan yakni monopoli yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran
barang/dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara masih diperbolehkan dengan undang-undang dan
yang diselenggarakan oleh BUMN atau badan/lembaga yang dibentuk atau ditunjuk
oleh pemerintah, termasuk kategori yang dapat ditoleransi oleh UU No.5 Tahun 1999

Lebih lanjut kegiatan monopoli diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) yang
berbunyi:

(3) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan tidak sehat;

(4) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagiamana dimaksud ayat (1) apabila: a.
barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya, atau; b.
mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usahara
barang dan/atau jasa yang sama; c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu. Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 17 harus diinterpretasikan dengan
memperhatikan beberapa batasan, yaitu formulasi “melakukan penguasaan/
menguasai” yang memiliki kaitan dengan ketentuan ditujukan kepada monopoli yang
memiliki posisi dominan (sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 4). UU No. 5 Tahun
1999.

Adapun yang dimaksud dengan pelaku usaha lain yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 17 ayat (2) di atas adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan
bersaing secara signifikan dalam pasar yang bersangkutan. Disamping itu, ketentuan
yang termuat dalam Pasal 17 ayat (2) mulai berlaku apabila disebabkan posisi dominan
di pasar, kemungkinan besar akan terjadi atau telah terjadi penyalahgunaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, 6, UU No.5 Tahun 1999 yaitu dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan monopoli yang


dilarang oleh UU No.5 Tahun 1999, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:108 1. Melakukan penguasaan terhadap produksi suatu produk; 2. Melakukan
penguasaan terhadap pemasaran suatu produk; 3. Penguasaan yang dilakukan tersebut

4
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli; 4. Penguasaan yang dilakukan juga
menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Sehinga dapat disimpulkan,
bahwa tidak adanya persaingan substitusi, penciptaan hambatan untuk masuk pasar
serta adanya monopolis yang memegang pangsa pasar lebih dari 50% harus dilihat
secara kritis, bahwa aspek itu dianggap sebagai kriteria relevansi oleh lembaga
pengawas anti monopoli (KPPU).

2.2 Perjanjian yang Dilarang dalam Praktik Monopoli

Dalam praktiknya, ternyata persaingan usaha yang sehat sulit untuk


dilaksanakan, karena banyak kebijakan pemerintah yang pada awalnya kurang tepat
sehingga pasar atau kegiatan usaha menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan para
pelaku usaha swasta dalam kenyataannya di masyarakat atau dalam hal ini adalah
konsumen Sebagian besar adalah perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak
sehat. Oleh karena kondisi tersebut maka marak ditemukan perjanjian-perjanjian atau
kegiatan-kegiatan usaha yang tidak mencerminkan keadilan bagi para pelaku usaha
maupun masyarakat pada umumnya. Untuk mencapai keuntungan yang maksimal
dalam melakukan usaha, tidak jarang pelaku usaha melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat merugikan para konsumennya.
Untuk memberikan koridor hukum serta batasan-batasan yang jelas dalam
mengatur persaingan usaha, Pemerintah Indonesia pada tanggal 5 Maret 1999
mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya akan disebut UU No. 5 tahun
1999). Undang-Undang ini menjamin adanya kepastian hukum untuk lebih mempercepat
pembangunan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan hukum dan mewujudkan semangat
UUD 1945.
Salah satu bentuk pembatasan kegiatan berusaha pelaku usaha dalam UU No. 5
Tahun 1999 adalah dengan mengatur perjanjian yang dilarang. Sebelum
diperkenalkannya istilah perjanjian yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1999, istilah
perjanjian secara umum telah lama dikenal oleh masyarakat. Berdasarkan UU No. 5
Tahun 1999, yang dimaksud perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku
usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
UU No. 5 Tahun 1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk
dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

5
• Oligopoly
• Penetapan harga
• Pembagian wilayah
• Pemboikotan
• Kartel
• Trust
• Oligopsony
• Integrasi vertical
• Perjanjian tertutupp
• Perjanjian dengan pihak luar negeri
Dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1999 sebagai dasar peraturan diikuti dengan
berdirinya KPPU untuk mengawasi ketentuan Undang-Undang tersebut. Keberadaan
UU No. 5 Tahun 1999 memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha
dan kepentingan masyarakat umum. KPPU memiliki fungsi kekuasaan campuran yang
dapat dilihat pada kewenangan yang dimiliki KPPU berdasarkan Pasal 36 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999.

2.3 Kegiatan yang Dilarang Dalam Praktik Monopoli

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan


Persaingan Usaha Tidak Sehat membagi dalam 2 (dua) pengaturan substansi, yaitu
Perjanjian yang Dilarang dan Kegiatan yang Dilarang. Kegiatan yang Dilarang adalah
tindakan atau perbuatan hukum “sepihak” yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha tanpa adanya keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung
dengan pelaku usaha lainnya.Pada dasarnya “kegiatan” adalah suatu aktivitas, usaha,
atau pekerjaan. Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa activity atau kegiatan
adalah “an occupation or pursuit in which person is active”. Dengan demikian dapat
dirumuskan bahwa “kegiatan” adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang berkaitan dengan proses dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Kegiatan-kegiatan tertentu yang dilarang dan berdampak tidak baik untuk
persaingan pasar terdiri dari monopoli, monopsoni, penguasaan pasar (predatory
pricing, price war and price competition, penetapan biaya produksi dengan curang), dan
persekongkolan (conspiracy).

6
2.4 Sanksi yang Berlaku dalam Monopoli

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Undang Undang
tentang Ciptaker), beserta Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP No. 44/2021), telah
merubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, salah satu diantaranya adalah terkait
Ketentuan Sanksi Administratif.

Sebelumnya, Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam Pasal


47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 perihal pengenaan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar dikenakan besaran denda bagi pelaku usaha minimal Rp 1 miliar
sampai maksimal Rp 25 miliar. Sementara itu, UU Cipta Kerja menyatakan besaran denda
minimal Rp 1 miliar tanpa mencantumkan denda maksimal. Melalui Undang Undang Tentang
Ciptaker, dan PP No. 44/2021 yang telah menghapuskan sanksi denda maksimal Rp
25.000.000.000,00,- (dua puluh lima milyar Rupiah) kemudian mengganti dengan
menggunakan cara perhitungan berdasarkan laba bersih atau total penjualan.

Dalam PP No. 44/2021, hal ini diatur dalam Pasal 12 ayat (1), yang berbunyi:

Tindakan administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat


(2) huruf g merupakan denda dasar, dan pengenaan tindakan administratif berupa
denda oleh komisi dilakukan berdasarkan ketentuan berikut :

1.Paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari laba/keuntungan bersih
yang diperoleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu
terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang; atau

2.Paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada pasar
bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap Undang-
Undang.

Jika dilihat ketentuan Pasal di atas maka aturan dasar denda dasar yang saat
ini dihitung sama/seragam, yaitu sebesar Rp 1.000.000.000,00- (satu milyar
Rupiah). Hal ini kemudian menjadi berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang
mana justru perhitungan yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1)
7
PP No. 44/2021 merupakan perhitungan denda dasar (Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha No. 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Tindakan
Administratif Sesuai Ketentuan Pasal 47). Dalam perhitungan tersebut sebelum
UU Cipta Kerja diberlakukan, KPPU setelah menghitung denda dasar kemudian
dapat pula menambahkan denda berdasarkan hal yang memberatkan, penjara dan
perhitungan lainnya. Menurut Penjelasan Pasal 12 ayat (1) PP No. 44/2021,
penetapan batas maksimal besaran sanksi denda itu adalah sebenarnya demi
kepastian hukum dalam pelaksanaannya.

2.5 Pengertian Anti Trust dan Anti Dumping

Antitrust merupakan kebijakan pemerintah untuk menangani monopoli. Undang-


undang antitrust bertujuan untuk menghentikan penyalahgunaan kekuatan pasar oleh
perusahaan-perusahaan besar dan, terkadang, untuk mencegah merger dan akuisisi perusahaan
yang akan menciptakan atau memperkuat monopoli.

Ada perbedaan besar dalam kebijakan antitrust las anr negara dan dalam negara yang
sama dari waktu ke waktu. Hal ini telah mencerminkan ide yang berbeda tentang apa yang
merupakan monopoli dan, di mana ada satu, macam perilaku yang kasar. Di Amerika Serikat,
kebijakan monopoli telah dibangun di Sherman Act Antitrust 1890. Kontrak atau konspirasi
ini dilarang karena menghambat perdagangan atau, dalam kata-kata las an selanjutnya, untuk
memonopoli perdagangan. Pada awal abad ke-20 hukum ini digunakan untuk mengurangi
kekuatan ekonomi dipegang oleh apa yang disebut “baron perampok”, seperti JP Morgan dan
John D. Rockefeller, yang mendominasi las an besar las an Amerika melalui trust besar yang
hak suara perusahaan dikendalikan ‘.

Du Pont kimia, perusahaan kereta api dan Standard Oil Rockefeller, antara lain, yang
dipecah. Pada 1970-an Sherman Act berubah (akhirnya tidak berhasil) melawan IBM, dan pada
1982 berhasil break-up dari monopili telekomunikasi nasional oleh AT & T. Pada 1980-an
yang lebih menggunakan pendekatan laissez-faire diadopsi, didukung oleh teori-teori ekonomi
dari sekolah Chicago. Teori ini mengatakan satu-satunya las an untuk mengintervensi antitrust
karena kurangnya kompetisi yang merugikan konsumen, dan bukan bahwa perusahaan telah
menjadi, dalam arti tidak jelas, terlalu besar.

8
Beberapa kegiatan monopoli yang sebelumnya ditargetkan oleh otoritas antitrust,
seperti predatory pricing dan perjanjian pemasaran eksklusif, yang jauh lebih berbahaya bagi
konsumen daripada yang telah diperkirakan pada masa lalu.

Istilah Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan


internasional adalah praktik dagang yang dilakukan oleh eksporter dengan menjual komodity
di pasar Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari harga
barang tersebut di negerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya.
Praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing di
negara pengimpor (AF. Erawati dan JS. Badudu, 1996:37). Sedangkan yang dimaksud dengan
”Anti dumping” adalah sanksi balasan yang berupa bea masuk tambahan yang dikenakan atas
suatu produk yang dijual di bawah harga normal dari produk yang sama di negara pengekspor
maupun pengimpor.

Menurut Black,s Law Dictionary, pengertian dumping adalah : “The act of selling in
quantity at very low price or practically regardless of the price; also, selling goods abroad at
less than the market price at home” (Henry Campbell, 1998: 347). Dari definisi tersebut di atas
menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering diekspresikan sebagai perbuatan curang
karena penjualan produk-produk untuk ekspor pada harga yang lebih rendah dari nilai normal.

Selanjutnya dalam Uruguay Round memberikan pengertian dumping yang baru,


sebagai penyempurnaan dalam Artikel VI GATT 1994 yang dituangkan dalam Artikel 2,
mengenai “Persetujuan tentang Pelaksanaan Pasal VI GATT 1994” sebagai berikut:“ For
purposes of this agreement, a product is to be considered as being dumped, i.e. introduced into
the commerce of another country at less that its normal value, if the export price of the product
exported from one country to another is less then the comparable price, in the ordinary course
of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country”.

Adapun suatu barang/produk yang masuk secara dumping disebut ”barang dumping”,
hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP.34 Tahun 1994 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan
Bea Masuk Imbalan, bahwa barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat Harga
Ekspor yang lebih rendah dari Nilai Normalnya di negara pengekspor.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dikatakan bahwa Dumping adalah suatu
kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau eksporter yang melaksanakan penjualan
barang/komoditi di luar negeri atau negara lain (Negara pengimpor) dengan harga yang lebih

9
rendah dari harga normal barang sejenis baik di dalam negeri pengekspor (eksporter) maupun
di negara pengimpor (importer), sehingga mengakibatkan kerugian bagi negara pengimpor.

Untuk menentukan bea masuk anti dumping diatur dalam Pasal 19 (1) UU Kepabeanan
No.10 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa Bea Masuk Antidumping yang dikenakan terhadap
barang impor adalah setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor
dari barang tersebut.

2.6 Tugas dan Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk dengan tujuan untuk


mencegah dan menindaklanjuti adanya praktek monopoli dan untuk menciptakan iklim
persaingan usaha yang sehat kepada para pelaku usaha di Indonesia. Disebutkan pada pasal
30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat bahwa KPPU adalah suatu dminis dministrat yang terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada
Presiden. Dalam perjalanannya selama kurang lebih 13 tahun ini, KPPU mampu menjawab
tantangan untuk mengawal penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan mencegah adanya
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di berbagai dmini perekonomian
Indonesia. Undang-Undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai berikut:

Tugas

1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek


monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 16;
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau dminist pelaku usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
10
4. Mengambil dminist sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal
36;
5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini;
7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat.

Wewenang

1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau dminist pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat;
3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau
oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya;
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini;
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud nomor 5 dan nomor 6, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi;
8. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan
dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang
ini;
9. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan atau pemeriksaan;
10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha
lain atau masyarakat;

11
11. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
12. Menjatuhkan sanksi berupa dminist dministrative kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang.

2.7 Alasan Yuridis Monopoli oleh BUMN


Pemerintah dalam perannya meningkatkan perekonomian Negara harus dikuti
oleh campur tangan semua pihak. Salah satunya yaitu campur tangan BUMN yang
merupakan perusahaan yang memiliki peran besar dalam memberikan sumber
pendapatan Negara. Oleh karena itu BUMN memiliki kewenangan berupa monopoli
dan pemusatan kegiatan terhadap suatu kegiatan usaha. Walaupun secara aturan yang
ada bahwa kegiatan monopoli dan pemustaan kegiatan boleh dilakukan asalkan
diperoleh dengan persaingan usaha yang sehat tetapi BUMN boleh melakukan
monopoli dan pemustaan kegiatan tanpa harus melakukan sistem persaingan. Hal itu
dapat dilakukan dengan adanya amanat Undang-undang. Adanya hak istimewa yang
dimiliki BUMN tersebut, tercantum dalam pasal 51 Undang-undang no 5 tahun 1999
tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 51 terbentuk
dengan berlandaskan pasal 33 UUD 1945, dimana hal-hal yang berkaitan dengan hajat
hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Penafsiran mengenai hak istimewa
yang dimiliki BUMN ini kemudian ditafsirkan oleh beberapa pihak yaitu diantaranya
pihak Komisi Pengawasan Persaigan Usaha (KPPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena jika ditinjau kembali maksut dari isi pasal 51 masih memiliki arti yang sangat
luas jika merujuk pada pengertian “penguasaan Negara” dan “menguasai hajat hidup
orang banyak.

2.8 Dampak Negative Monopoli

1. Penyalahgunaan kekuatan ekonomi. Misalnya, perusahaan monopoli hanya akan


meningkatkan produksi (supply) jika ada permintaan (demand). Perusahaan juga
cenderung akan menetapkan harga (terlalu) tinggi dan akhirnya tidak pernah menambah
kuantitas produk sehingga memicu kenaikan harga.
2. Kesenjangan dalam pembagian pendapatan. Perusahaan monopoli bisa mendapatkan
keuntungan sangat besar dalam jangka waktu singkat atau lama. Sementara dalam pasar

12
persaingan sempurna, perusahaan hanya bisa meraih keuntungan wajar dalam jangka
waktu anjang.
3. Tidak ada persaingan. Karena tidak adanya persaingan, pada titik waktu tertentu bisa
berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas produk.
4. Meremehkan posisi konsumen. Di dalam pasar monopoli, konsumen dan masyarakat
dihadapkan pada posisi tidak berdaya. Mereka harus menerima produk apa pun yang
disodorkan produsen.
5. Mengurangi kesejahteraan konsumen. Hal ini berarti konsumen harus membayar harga
di atas biaya produksi komoditas tersebut. Akibatnya, kesejahteraan konsumen pun
kian berkurang.

2.9 Instrumen Hukum Anti Dumping

Dumping ialah sebuah aktivitas yang dikerjakan oleh produsen ataupun eksporter
yang melakukan jual beli barang/komoditi di luar negeri atau negara lain (Negara
pengimpor) dengan harga yang lebih rendah dari harga normal barang yang sama baik di
dalam negeri pengekspor (eksporter) ataupun di negara pengimpor (importer), sehingga
mengakibatkan kerugian bagi negara pengimpor.

Penetapan dumping sudah diatur pada Bab I berbunya bahwa “suatu produk
dianggap sebagai dumping apabila dalam perdagangan antar negara, produk tersebut dijual
di bawah nilai normal” antara lain :

a. Apabila tidak ada harga dalam negeri pengimpor yang bisa dibandingkan di negara
pengekspor, maka harga normal adalah ex factory price yang berasal dari hitungan
harga produk sejenis di negara tersebut yang diekspor ke negara ke tiga.
b. Harga dari produk serupa (like product) di pasar dalam negeri negara pengekspor.
Dalam hal ini harga pembanding (comparable price) harus dilakukan berdasarkan
perhitungan ex factory price (harga di luar pabrik) dari penjualan dalam negeri dengan
perhitungan ex factory price dari penjualan ekspor.
c. Biaya produksi di negara asal ditambah biaya administrasi, biaya pemasaran, dan laba
normal ialah dengan memakai pengertian nomor 1 a, akan tetapi apabila penjualan
dalam negeri di negara pengekspor sangat kecil atau harga dalam negeri tidak relevan,

13
seperti produk ini dijual oleh perusahaan negara di negara yang menganut non market
economy dapat menggunakan definisi 1 b atau 1”.

Penetapan Kerugian pada Pasal VI GATT 1994 didasari oleh pembuktian positif
dan mengaitkan uji obyektif antara lain:

a. Volume produk import harga dumping dan akibatnya pada harga-harga pasar dalam
negeri terhadap produk sejenisnya
b. Pengaruh impor tersebut pada pelaku usaha dalam negeri yang memproduksi barang
serupa.

2.10 Bea Masuk Anti Dumping


Untuk menentukan bea masuk anti dumping diatur dalam Pasal 19 (1) UU Kepabeanan
No.10 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa “Bea Masuk Anti-dumping yang dikenakan
terhadap barang impor adalah setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan
harga ekspor dari barang tersebut”. Bea Masuk Anti dumping (BMAD) tersebut merupakan
tambahan dari Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1), yakni “bea
tambahan dari tariff impor (bea masuk) berdasarkan tarif setinggi-tingginya 40 % (empat
puluh persen) dari nilai pabean”.

Terhadap praktik dumping, WTO juga memperkenankan anggotanya untuk


melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau
antidumping duties terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi
dumping. Pengenaan BMAD dimaksudkan untuk menutup kerugian industri dalam negeri
yang sudah seharusnya dilakukan. Pasal 9 WTO ADA mengatur mengenai pengenaan
BMAD, dalam pasal ini dijelaskan tentang tatacara penentuan besaran BMAD serta badan
yang berwenang untuk menentukan besaran BMAD. Pengambilalihan untuk
mengembalikan harga atau menghentikan ekspor pada harga dumping dapat dilakukan
hanya setelah pihak yang menginvestigasi telah membuat penentuan awal terhadap adanya
dumping, kerugian, dan kausalnya.

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa BMAD adalah “bea masuk yang dijatuhkan
terhadap produk-produk yang diekspor secara dumping dan countervailing duties atau bea
masuk untuk barang-barang yang terbukti telah diekspor dengan harga yang lebih rendah
dari harga normal (less than fair value / LTFV”. Nilai normal dalam arti harga untuk produk
yang sama dengan produk yang dijual di negara sendiri atau di pasar pengekspor. Kemudian

14
pengertian dari nilai normal seperti yang diatur pada Pasal 1 ayat (3) PP No. 34 tentang Bea
Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan adalah “harga yang sebenarnya dibayar atau
akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di Pasar Domestik
negara pengekspor untuk tujuan konsumsi”.

Untuk menghitung harga normal (normal value) berbagai negara menganut


bermacam-macam cara. Namum penafsiran yang umum dalam ketentuan Pasal VI GATT
, menggunakan cara perhitungan harga normal berdasarkan “biaya produksi (cost of
production) ditambah keuntungan (profit) dan dibagi dgn seluruh jumlah produksi (total of
production). Biaya produksi sekurang-kurang terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk
bahan baku, biaya fabrikasi termasuk upah buruh dan segala biaya yang dikeluarkan utk
melaksanaan penjualan (General Sales Administration / GSA).

Negara yang dirugikan dengan adanya dumping dapat mengenakan bea


tambahan/bea masuk anti dumping pada barang-barang yang terkena dumping sebesar
“margin dumping”. Contohnya yakni sebuah negara pengimpor memasang harga LTFV
sejumlah 100 dolar pada setiap produk arloji, dan harga normalnya pada persaingan pasar
berdasarkan produk arloji tersebut ialah 120 dolar perbuah, dengan demikian “margin of
dumping” ialah20 dolar. Melalui terdapatnya kelebihan harga 20 dolar berdasarkan harga
LTFV, dengan demikian negara yang mengalami kerugian hanya diperbolekan dalam
memakai anti dumping senilai harganya itu (20 dolar).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas,kegiatan monopoli dapat merusak persaingan
ekonomi dengan mengendalikan suatu barang atau jasa dgn tingkat
produksi,harga,serta wilayah pemasarannya seperti yg disebutkan dalam UU no.5 tahun
1999.

15
Dengan adanya penyalahgunaan kekuatan pasar dan juga penjualan komodity
pasar internasional dengan harga yang lebih rendah dari harga semestinya,pemerintah
mengeluarkan suatu kebijakan anti trust yaitu menangani pembatasan kegiatan
monopoli dan anti dumping yaitu kebijakan pengenaan bea masuk tambahan suatu
produk yang dikenakan dengan harga lebih rendah dibawah harga normal.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk dengan tujuan untuk
mencegah dan menindaklanjuti adanya praktek monopoli dan untuk menciptakan iklim
persaingan usaha yang sehat kepada para pelaku usaha di Indonesia. Di dalam Undang-
Undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan tugas tugas dan wewenang Komisi Pengawas
Persaingan Usaha.
Di Indonesia sendiri kegiatan monopoli dilarang,tetapi BUMN mendapat hak
istimewa yang ditetapkan dalam pasal 51 UU no.5 tahun 1999 berupa kewenangan
monopoli suatu usaha tanpa harus melakukan sistem persaingan.
Dampak negative monopoli ada beberapa bentuk diantaranya kesenjangan
dalam pembagian pendapatan. Perusahaan monopoli bisa mendapatkan keuntungan
sangat besar dalam jangka waktu singkat atau lama. Sementara dalam pasar persaingan
sempurna, perusahaan hanya bisa meraih keuntungan wajar dalam jangka waktu
anjang. Tidak ada persaingan. Karena tidak adanya persaingan, pada titik waktu tertentu
bisa berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas produk.
Hukum anti dumping diberlakukan untuk membatasi praktik dumping yang
dilakukan oleh produsen luar negeri sehingga menimbulkan kerugian nyata bagi
industri dalam negeri. harus disadari bahwa keberadaan perangkat hukum nasional
dalam mengantisipasi masalah dumping memang masih lemah, baik sebagai instrumen
perlindungan praktik dumping oleh negara lain, maupun sebagai instrumen hukum
guna menghadapi tuduhan dumping di luar negeri.
Adanya praktik dumping,WTO mengeluarkan sanksi berupa pemberlakuan Bea
Masuk Anti Dumping (BMAD) yang diatur dalam Pasal 1 UU Kepabeanan no.10 tahun
1995. Pengenaan BMAD dimaksudkan untuk menutup kerugian industri dalam negeri
yang sudah seharusnya dilakukan

16
DAFTAR PUSTAKA

file:///C:/Users/user/Downloads/20119-50931-1-PB.pdf (diakses pada 9 April 2022)

Puspitasari, Zuhro. "Rekonsepsi Pengecualian Monopoli Yang Diselenggarakan Oleh


Badan Usaha Milik Negara Dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia." Jurnal
Panorama Hukum 2.2 (2017): 227-242. (diakses pada 9 April 2022)

Aqmarina, Riesty. "Monopoli Oleh Bumn Dalam Prespektif Asean Economic Community
(Aec)." E-Jurnal SPIRIT PRO PATRIA 4.2 (2018): 170-179. (diakses pada 10 April 2022)
17
Posner, Richard A. Antitrust law. University of Chicago press, 2009. (diakses pada 15 April
2022)

Sudini, Luh Putu. "[Turnitin] DUMPING DAN MONOPOLI." (diakses pada 15 April 2022)

18

Anda mungkin juga menyukai