Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PARASITOLOGI

Disusun oleh:
1. Nur indah sari (B1D121048)

2. Heronia upa (B1D121049)

3. Andi siti fadhilah (B1D121051)

4. Sisi susianti (B1D121052)

UNIVERSITAS MEGA REZKY FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN


PRODI DIV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara


berkembang termasuk Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah
perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi
cacing (Moersintowarti, 1992).
Penyakit karena protozoa dan cacing mengenai jutaan masyarakat. Antibodi
biasanya efektif terhadap bentuk yang ditularkan melalui darah. Produksi IgE sangat
meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang
diperantarai oleh sel mastoid (Roitt, 2002). Kebanyakan parasit cenderung menyebabkan
supresi imunologik nonspesifik pejamu. Antigen parasit yang bertahan menahun
menyebabkan kerusakan jaringan imunopatologik seperti kompleks imun pada
sindroma nefrotik, granulomatosa hati dan lesi autoimun pada jantung. Imunosupresi umum
meningkatkan kepekaan terhadap infeksi bakteri dan virus (Roitt, 2002).
Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih
dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantaraan tanah (“Soil Transmited
Helminths”). Ascaris lumbricoides adalah cacing yang pertama kali diidentifikasi dan
diklasifikasi oleh Linnaeus melalui observasi dan studinya antara tahun 1730-1750an. Dari
hasil observasinya, Linnaeus pergi ke beberapa tempat di dunia untuk mengonfirmasi wilayah
penyebaran parasit tersebut. Linnaeus diberi kesempatan untuk menamai parasit tersebut.
Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperkirakan
prevalensi di dunia 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis.
Prevalensi terbesar pada daerah tropis dan di negara berkembang dimana sering terjadi
kontaminasi tanah oleh tinja manusia atau penggunaan tinja sebagai pupuk (Soegijanto,
2005).
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda kedua yang paling banyak menginfeksi
manusia. Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagaiLumbricus teres dan mungkin
telah menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Jenis ini banyak terdapat di daerah yang
beriklim panas dan lembab, tetapi juga dapat hidup di daerah beriklim sedang. Askariasis
adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing gelang Ascaris lumbricoides. Askariasis
adalah penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit.
Penyebab utama dari kebanyakan infeksi oleh parasit ini adalah penggunaan kotoran
manusia untuk menyuburkan tanah lahan pertanian atau perkebunan dimana tanah tersebut
digunakan untuk menumbuhkan tanaman sebagai bahan makanan. Cacing dewasa hidup di
dalam usus besar dan telur yang dihasilkan betinanya terbawa oleh material feses. Pada
material tersebut larva cacing dalam telur berkembang mencapai stadium infektif di dalam
tanah. Makanan yang berasal dari areal agrikultur dimana tanahnya telah terkontaminasi oleh
feses yang berisi telur infektif, dapat mentransmisikan telur secara langsung ke manusia.
Makanan yang terkontaminasi dengan telur infektif dimakan oleh manusia dan larva tersebut
keluar dari telur di dalam usus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Ascaris lumbricoides merupakan cacing bulat besar yang biasanya bersarang
dalam usus halus. Adanya cacing didalam usus penderita akan mengadakan gangguan
keseimbangan fisiologi yang normal dalam usus, mengadakan iritasi setempat sehingga
mengganggu gerakan peristaltik dan penyerapan makanan. Cacing ini merupakan parasit
yang kosmopolit yaitu tersebar diseluruh dunia, lebih banyak di temukan di daerah
beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropik derajat infeksi dapat mencapai
100% dari penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5 –
10 tahun sebagai host (penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi
(Haryanti, E, 1993).
Cacing dapat mempertahankan posisinya didalam usus halus karena aktivitas otot-
otot ini. Jika otot-otot somatik di lumpuhkan dengan obat-obat antelmintik, cacing akan
dikeluarkan dengan pergerakan peristaltik normal. Tantular, K (1980) yang dikutip oleh
Moersintowarti. (1992) mengemukakan bahwa 20 ekor cacing Ascaris lumbricoides
dewasa didalam usus manusia mampu mengkonsumsi hidrat arang sebanyak 2,8 gram dan
0,7 gram protein setiap hari. Dari hal tersebut dapat diperkirakan besarnya kerugian
yang disebabkan oleh infestasi cacing dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
menimbulkan keadaan kurang gizi (malnutrisi).

B. MORFOLOGI
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat
(conical), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung.
Cacing betina mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 - 6 mm. Sementara
cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 13 cm dan
lebarnya 2 - 4 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi
mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada
ujung anterior (bagian depan) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada
pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan
(Soedarto, 1991).
Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan
dengan hipodermis dan menonjol kedalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot
somatik besar dan panjang dan terletak di hipodermis; gambaran histologinya merupakan
sifat tipe polymyarincoelomyarin. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung
didalam rongga badan, cacing jantan mempunyai dua buah spekulum yang dapat keluar
dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan
anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi.
Telur yang di buahi (fertilized) berbentuk ovoid dengan ukuran 60-70 x 30-50
mikron. Bila baru dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi
suatu membran vitelin yang tipis untuk meningkatkan daya tahan telur cacing tersebut
terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan hidup sampai satu tahun. Di
sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh lapisan
albuminoid yang permukaanya tidak teratur atau berdungkul (mamillation). Lapisan
albuminoid ini kadang-kadang dilepaskan atau hilang oleh zat kimia yang menghasilkan
telur tanpa kulit (decorticated). Didalam rongga usus, telur memperoleh warna kecoklatan
dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi (unfertilized) berada dalam tinja, bentuk
telur lebih lonjong dan mempunyai ukuran 8894 x 40-44 mikron, memiliki dinding yang
tipis, berwarna coklat dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak
teratur.

C. SIKLUS HIDUP
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Ascaris lumbricoides, jika
tertelan telur yang infektif, maka didalam usus halus bagian atas telur akan pecah dan
melepaskan larva infektif dan menembus dinding usus masuk kedalam vena porta hati
yang kemudian bersama dengan aliran darah menuju jantung kanan dan selanjutnya
melalui arteri pulmonalis ke paru-paru dengan masa migrasi berlangsung selama
sekitar 15 hari.
Dalam paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian
keluar dari kapiler, masuk ke alveolus dan seterusnya larva masuk sampai ke bronkus,
trakhea, laring dan kemudian ke faring, berpindah ke osepagus dan tertelan melalui
saliva atau merayap melalui epiglottis masuk kedalam traktus digestivus. Terakhir larva
sampai kedalam usus halus bagian atas, larva berganti kulit lagi menjadi cacing dewasa.
Umur cacing dewasa kira-kira satu tahun, dan kemudian keluar secara spontan.
Siklus hidup cacing ascaris mempunyai masa yang cukup panjang, dua bulan sejak
infeksi pertama terjadi, seekor cacing betina mulai mampu mengeluarkan 200.000 –
250.000 butir telur setiap harinya, waktu yang diperlukan adalah 3 – 4 minggu untuk
tumbuh menjadi bentuk infektif. Menurut penelitian stadium ini merupakan stadium
larva, dimana telur tersebut keluar bersama tinja manusia dan diluar akan mengalami
perubahan dari stadium larva I sampai stadium III yang bersifat infektif.

Telur-telur ini tahan terhadap berbagai desinfektan dan dapat tetap hidup
bertahun-tahun di tempat yang lembab. Didaerah hiperendemik, anak-anak terkena
infeksi secara terus-menerus sehingga jika beberapa cacing keluar, yang lain menjadi
dewasa dan menggantikannya. Jumlah telur ascaris yang cukup besar dan dapat hidup
selama beberapa tahun maka larvanya dapat tersebar dimana- mana, menyebar melalui
tanah, air, ataupun melalui binatang. Maka bila makanan atau minuman yang
mengandung telur ascaris infektif masuk kedalam tubuh maka siklus hidup cacing akan
berlanjut sehingga larva itu berubah menjadi cacing. Jadi larva cacing ascaris hanya dapat
menginfeksi tubuh melalui makanan yang tidak dimasak ataupun melalui kontak langsung
dengan kulit.

D. CARA PENULARAN
Penularan Ascariasis dapat terjadi melalui bebrapa jalan yaitu masuknya telur
yang infektif ke dalam mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan
telur melalui tangan yang kotor dan terhirupnya telur infektif bersama debu udara dimana
telur infektif tersebut akan menetas pada saluran pernapasan bagian atas, untuk kemudian
menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah (Soedarto, 1991).

E. ASPEK KLINIS
Kelianan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat
pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Pada umumnya orang yang kena
infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar
(hyperinfeksi) terutama pada anak-anak akan menimbulkan kekurangan gizi, selain itu
cacing itu sendiri dapat mengeluarkan cairan tubuh yang menimbulkan reaksi toksik
sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang disertai dengan tanda alergi seperti
urtikaria, odema diwajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.
Cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat mekanik seperti
obstruksi usus, perforasi ulkus diusus. Oleh karena adanya migrasi cacing ke organ-
organ misalnya ke lambung, oesophagus, mulut, hidung dan bronkus dapat
menyumbat pernapasan penderita. Ada kalanya askariasis menimbulkan manifestasi
berat dan gawat dalam beberapa keadaan sebagai berikut :
1. Bila sejumlah besar cacing menggumpal menjadi suatu bolus yang
menyumbat rongga usus dan menyebabkan gejala abdomen akut.
2. Pada migrasi ektopik dapat menyebabkan masuknya cacing kedalam apendiks,
saluran empedu (duktus choledocus) dan ductus pankreatikus.
Bila cacing masuk ke dalam saluran empedu, terjadi kolik yang berat
disusul kolangitis supuratif dan abses multiple. Peradangan terjadi karena desintegrasi
cacing yang terjebak dan infeksi sekunder. Desintegrasi betina menyebabkan
dilepaskannya telur dalam jumlah yang besar yang dapat dikenali dalam pemeriksaan
histologi. Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa dalam
tinja atau muntahan penderita dan telur cacing dengan bentuk yang khas dapat
dijumpai dalam tinja atau didalam cairan empedu penderita melalui pemeriksaan
mikroskopik (Soedarto, 1991).
BAB III
EPIDEMIOLOGI

Pada umumnya frekuensi tertingi penyakit ini diderita oleh anak-anak sedangkan
orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak
akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke
tahap itu. Sehinga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya
melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah
yang mengandung telur Ascaris lumbricoides. Faktor host merupakan salah satu hal yang
penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun
pencemaran tanah oleh telur dan larva cacing, selain itu manusia justru akan
menambah polusi lingkungan sekitarnya.
Di pedesan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya
sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak
terisolasi sehingga larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan
masyarakat yang memiliki tingkat social ekonomi yang rendah, sehingga memiliki
kebiasaan membuang hajat (defekasi) ditanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi
dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi
secara terus menerus pada daerah endemik (Brown dan Harold, 1983). Perkembangan telur

dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal adalah 23 0 C sampai

300 C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing,
sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat
menyebar ke lingkungan.
Epidemiologi Infeksi ascariasis pada umumnya terjadi di negara beriklim tropis dan
ditemukan paling banyak pada lingkungan dengan sanitasi dan higienitas yang buruk.
Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan kontaminasi tanah oleh tinja di sekitar
halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci, dan di tempat pembuangan 9 sampah.
Di Indonesia prevalensinya cukup tinggi terutama pada anak golongan umur 5-9 tahun
dengan frekuensi 60-90%.
Di seluruh dunia, infeksi Ascaris menyebabkan sekitar 60.000 kematian pertahun,
terutama pada anak-anak. Sebesar 10% dari penduduk negara berkembang terinfeksi
cacingan, sebagian besar disebabkan oleh Ascaris. Hasil survei kecacingan nasional 2009
oleh Ditjen P2PL menyebutkan 31,8 % siswa SD menderita kecacingan. Prevalensi di
Indonesia antara 60-90%, dan yang lebih rentan terkena infeksi cacing pada anak usia 5-9
tahun. Hal ini akan berakibat buruk karena dapat menyebabkan kekurangan gizi, anemia, dan
pertumbuhan terhambat .Tanah liat, kelembapan yang tinggi dan suhu 25 -30 C merupakan
kondisi yang sangat baik bagi berkembangnya telur menjadi bentuk infektif. Infeksi
askariasis terjadi kerena tertelan telur infektif yang terdapat dalam makanan atau minuman
yang tercemar tinja, makanan atau minuman yang dihinggapi lalat atau sayur sayuran yang
tidak dicuci bersih,
BAB IV PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Ascaris lumbricoides merupakan salah satu nematoda usus yang tergolong
dalam Filum Nematoda dengan Ordo Ascaridida. Cacing ini biasa disebut cacing
gelangyang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth dan manusia
merupakan hospes satu-satunya bagi parasit satu ini. Gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh cacing ini disebut ascariasis.

B. MORFOLOGI
1. Cacing Dewasa:
a. Cacing jantan panjangnya mencapai 30 cm,pada cacing jantan ujung
posteriornya lancip dan melengkung kearah ventral, dilengkapi papil
kecil dan 2 buah speculum berukuran 2mm’
b. Cacing betina panjangnya mencapai 35 cm posteriornya membulat dan
lurus, dan setengah anteriornya terdapat cincin kopulasi.

Sumber
:http://www.studyblue.com
2.Telur Cacing: Telur cacing memiliki empat bentuk, yaitu,
a. Tipe dibuahi (fertilized)
Telur yang dibuahi oval, dinding tebal, terdiri dua lapis (lapisan
luar albuminoid dan lapisan dalam jernih), isi telur berupa masa sel
telur.
b. Tidak dibuahi (avertilized)
Telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang dari
sel telur yang dibuahi, dan dinding lebih tipis, isi masa granula
refraktil.
c. Matang
Telur matang berisi larva (embrio).
d. Decorticated
Telur yang decorticated tidak dibuahi, tapi lapisan albuminoid
sudah hilang.

Sumber : http://www.docstoc.com/docs/90339981/ASCARIS-
LUMBRICOIDES-ASCARIS-LUMBRICOIDES-fertilized
C. SIKLUS HIDUP
Sumber :
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/ascariasis.htm
Pada angka 1 dalam gambar di atas, cacing dewasa yang tinggal di usus
kecil manusia melakukan perkawinan dalam sehari, cacing betina mampu
memproduksi 100.000-200.000 yang etrdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang
tidak di buahi. Pada angka 2, dimana telur-telur keluar bersama feses, telur-telur
yang dibuahi akan berekmbang menjadi bentuk infektif dalam 3 minggu, yang
ditunjukan pada angka 3.
Pada angka 4, bentuk infektif yang tertelan akan menetas di usus halus
(angka5). Larva yangmenetas menembus dinding usus halus menuju pembuluh
darah atau saluran limfe menuju paru-paru (angka 6). Cacing menembus dinding
alveolus, melalui bronkiulus dan bronkus cacing bergerak menuju trakea (angka 7).
Dari trakea menuju faring, sehingga menimbulkan ransangan pada faring yang
menyebabkan penderita batuk dan cacing tertelan menuju usus halus. Di usus
halus larva berkembang menjadi dewasa. Dari larva tertelan sampai cacing bertelur
kembali dibutuhkan kurang lebih 2-3 bulan.

D. GEJALA
Gejala yang timbul pada penderita bisa disebabkan oleh cacing dewasa
dan larva.Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat larva berada di
paru-paru. Sehingga
1. Pada saat larva berada di paru-paru, rentan terjadi pendarahan kecil di
dinding alveolus dan gangguan batuk, demam, dan eosinofilia.
2. Gambaran infiltrat pulmoner yang tampak pada rontgen foto dengan
disertai adanya eosinofilia yang disebut Sinddrom loefler.
3. Adanya larva dalam paru-paru bisa mengakibatkan pneumonitis terutama
bila jumlah larva cukup banyak
4. Reaksi jaringan yang hebat dapat terjadi di sekitar hati dan paru disertai
infiltrasi eosinofil, makrofag dan sel-sel epiteloid. Hal ini disebut
pneumonitis ascaris.
5. Ketika larva menembus paru dapat menimbulkan kerusakan pada epitel
bronkus dan terjadi reaksi jaringan yang hebat
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa saat berada di usus
membuat penderita mengalami mual, nafsu makan menurun, diare.
1. Infeksi ringan dengan jumlah cacing 10-20 cacing bisa berlangsung tanpa
gejala, Keluhan yang timbul biasanya hanya berupa sakit perut yang tidak
jelas. Di dalam usus, cacing mengganggu arbsorbsi nutrisi oleh usus.
2. Pada anak-anak terutama dibawah 5 tahun dapat mengakibatkan defisiensi
gizi yang berat dan kegagalan arbsorbsi karbohidrat jika jumlah cacing
cukup banyak.
3. Secara klinis, anemia hipocrom terjadi pada infeksi yaang cukup lama.
Anemia terjadi karena penderita mengalami malnutrisi karena malabsorbsi
dan kehilangan darah karena kolon yang rapuh serta cacing yanng
menghisap darah.
4. Cacing dewasa dapat berpindah ( erratic migration ) ke organ-organ yang
lainnya seperti saluran empedu, kandung empedu, hepar, apendix dan
peritoneum dan bronkus. Hal ini dapat berakibat sangat serius.
5. Cacing dewasa bisa saling melilit sehingga membentuk gumpalan yang
bisa menyumbat saluran usus dan mengakibatkan terjadinya ileus
obstruktivus yang berakibat fatal.

E. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur yang diperoleh melalui
anal swab atau pada tinja secara langsung. Adanya telur dalam memastikan
diagnosis askaris. Selain itu diagnosis dapat dibuat dengan menemukan cacing
dewasa dari tinja, langsung dari permukaan perianal atau bila cacing dewasa
keluar sendiri melalui mulut atau hidung karena muntah.

F. CARA IDENTIFIKASI
Bahan Pemeriksaan
a. Tindakan rontgenologis pada organ-organ yang dicurigai.
b. Pada bilas lambung akan ditemukan larva.
c. Pemeriksaan telur (dibuahi & tidak dibuahi) dalam tinja

1. Metode langsung
a. Sediaan langsung tanpa pewarnaan
1) Sediakan obyek glass yang bersih dan kering
2) Teteskan pada bagian kiri dan kanan obyek glass, kemudian
masing-masing ditetesi air garam faal (NaCl) jarak ± 4 cm.
3) Dengan batang pengaduk dari kayu yang bersih dan kering diambil
sedikit feses atau bagian yang berlendir lalu diusapkan pada
tetesan-tetesan air garam pada yang sudah diteteskan.
4) Tutup masing-masing sediaan dengan cover glass
5) Periksa di bawah mikroskop, mula-mula dengan perbesaran lemah
kemudian dipertegas dengan perbesaran kuat.
b. Sediaan langsung dengan pewarnaan iodium ( lugol) 1)
Sediakan obyek glass yang bersih dan kering.
2) Pada bagian kiri dan kanan obyek glass, kemudian masing-masing
ditetesi air garam faal (NaCl) jarak ± 4 cm.
3) Dengan batang pengaduk dari kayu yang bersih dan kering diambil
sedikit feses atau bagian yang berlendir lalu diusapkan pada
tetesan-tetesan air garam pada yang sudah diteteskan.
4) Pada sediaan sebelah kiri ditambahkan 1 tetes eosine 20 % dan
disebelah kanan diteteskan 1 tetes iodium / lugol lalu
masingmasing dicampur, jangan sampai sediaan 1 tercampur
dengan sediaan 2.
5) Tutup masing-masing sdiaan dengan cover glass
6) Periksa di bawah mikroskop, mula-mula dengan perbesaran lemah
kemudian dipertegas dengan perbesaran kuat.

2. MetodeTidak langsung
Cara konsentrasi dengan ZnSO4
1) Dibuat suspensi feses 1:10, yaitu 1 bagian feses + 10 Bagian air panas
2) Saring suspensi tersebut dengan kain kasa dan filtrat ditampung dalam
tabung centrifuge.
3) Putar dengan kecepatan 2.500 rpm selama 1 menit.
4) Supernatan dibuang, sedimennya ditambah 2-3 ml air dan diaduk sampai
homogen.
5) Putar lagi, supernatan jernih dituang ( kalau perlu ulangi pemutaran)
6) Sedimennya ditambahkan 3-4 ml zink sulfate jenuh ( 33 % larutan ZnSO4
mempunyai Bj 1.18 ). Diaduk dengan batang pengaduk, sehingga homogen
dan ditambahkan ZnSO4 sampai batas 1.5 cm dari permukaan tabung
7) Putar dengan kecepatan tinggi selama 1 menit.
8) Pindahkan lapisan atas dari supernatan dengan ohse dan taruh di atas
obyek glass yang bersih, kemudian tambahkan 1 tetes lugol, campur.
9) Tutup dengan cover glass, periksa di bawah mikroskop

G. PENGOBATAN
Pengobatan dapat dilakukan secara perporangan atau secara masal.
Untuk perorangan dapat digunakan bermacam-macam obat seperti :
1. Mebendazole (Vermox ®): 100 mg BD x 3 hari
2. Albendazole 400mg
3. Piperazine (Adiver ®): (diberikakn pada pagi hari dan kadang-kadang
menimbulkan efek mual dan muntah)
4. Pyrantel / oxantel (Antiminth ®, Combantrin ®) : 10 mg/kg berat badan
5. Nitazoxanide 200 mg BD x 3 hari
6. Tribendimine 400 mg dosis tunggal
Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat yaitu,
1. Obat mudah diterima masyarakat
2. Aturan pemakaian sederhana
3. Mempunyai efek samping yang minim
4. Bersifat polivalen sehingga berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing 5.
Harganya murah
Pengobatan masal dilakukan oleh pemerintah pada anak sekolah dasar
dengan pemberian albandezol 400mg 2 kali setahun.
Pengobatan ulalng perlu dilakukan mengingat adanya infeksi ulang
(reinfeksi). Pengobatan dianjurkan dilakukan pada seluruh anggota keluarga.

H. PENCEGAHAN
Pencegahan bisa dilakukan Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat ( PHBS). Seperti :
1. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman
2. Membiasakan mencuci tangan sebelum makan
3. Membiasakan menggunting kuku secara teratur
4. Membiasakan diri buang air besar di jamban
5. Membiasakan diri membasuh tangan dengan sabun sehabis buang air besar
6. Membiasakan diri mencuci semua makanan lalapan mentah dengan air
yang bersih
Dan dengan beberapa perilaku lainnya seperti berikut :
1. Drainase diperbaiki
2. Kampanye penggunaan jamban keluarga
3. Mencegah penggunaan tinja sebagai pupuk terutama tinja manusia
4. Pemberian obat cacing ( obat pirantel pamoat dan albendazole ) secara
rutin tiap 6 bulan sekali
5. Pengembangan sarana dan prasarana air bersih
BAB V KESIMPULAN

1. Ascaris Lumbricoides merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di


Indonesia, karena prevalensi di Indonesia antara 60-90%, dan yang lebih
rentan terkena infeksi cacing pada anak usia 5-9 tahun.
2. Cacing betina (35 cm) dengan ). posteriornya membulat dan lurus, dan
setengah anteriornya terdapat cincin kopulasi lebih panjang dari jajntan
(30cm) dengan ujung posteriornya lancip dan melengkung kearah ventral,
dilengkapi papil kecil dan 2 buah speculum berukuran 2mm.
3. Sisklus hidup cacing dari telur sampai telur infektif terjadi di luar tubuh dan
dari menetasnya telur sampai dewasa terjadi di dalam tubuh manusia atau
hewan.
4. Gejala di timbulkan oleh larva cacing berada di paru dan cacing dewasa yang
berada di usus.
5. Diagnosis biasa ditetapkan dengan menemukan telur atau cacing dewasa pada
anal swab, tinja atau cacing keluar sevara langsung ,elalui hidung atau mulut
saat muntah.
6. Identifikasi patogen pada sampel dilakukan dengan 2 metode yaitu metode
langsung dan metode tidak langsung.
7. Pengobatan dapat dilakukan secara perporangan atau secara masal dan perlu
dilakukan berulang.
8. Pencegahan dilakukan dengan pembiasaan perilaku hidup bersih dan sehat
serta perbaikan beberapa sarana kebersihan serta pemberian obat secara rutin.

DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/43728/3/ANTONIUS_WH_G2A009031_Bab2KTI.pdf
http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/biology.html
Rasmaliah. 2007. Askariasis Sebagai Penyakit Cacing yang Perlu Diingat
Kembali. Epidemiologi FKM-USU. (Online:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19104/1/ikm-
jun200711%20(12).pdf) Diakses pada 03 April 2016.
Syamsu, Yohandromeda. Ascariasis, Respon IgE dan Upaya Penanggulangannya.
Program Pascasarjana Universitas
Airlangga. (Online:
http://www.fk.unair.ac.id/attachments/1012_Ascariasis,%20Respons
%20IgE%20dan%20Upaya%20Penanggulangannya.pdf). Diakses pada 03
April 2016.
Tania, Gina, dkk. 2013. Mikrobiologi dan Parasitologi Ascaris lumbricoides.
Depok. (Online:
https://www.academia.edu/3660165/Ascaris_lumbricoides_gina.tania).
Diakses pada 03 April 2016.

Anda mungkin juga menyukai