MAKALAH KELOMPOK A1
TUTOR : dr.Herawati
Anggota kelompok :
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Problem Based Learning Blok 30
(Emergency Medicine II) yang berjudul :Hak Asasi Manusia. Kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada tutor yang selalu ikut mendampingi kami yaitu dr.Herawati dan pihak
lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang banyak membantu dalam penghasilan
makalah ini sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini diharapkan dapat membantu pemahaman pembaca dalam hal berkaitan
Hak Asasi Manusia. Makalah ini membicarakan dari aspek forensic iaitu aspek hukum dan
medikolegal,tindak pidana penyiksaan dalam undang-undang, hak dan kewajiban dokter
secara moral dan social, serta hak dan kewajiban individu dengan public.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.Semoga makalah ini dapat
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.Akhir kata kami mengucapkan banyak terima
kasih.
Pendahuluan
Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang
telah menjadi fenomena umum di beberapa negara. Terorisme merupakan kejahatan lintas
negara, terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai
jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka peran dokter polisi sebagai
pengemban tugas dan fungsi teknis kepolisian harus dapat berperan dalam penyelenggaraan
tugas-tugas pokok kepolisian sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut.
KASUS
Anda kebetulan menjadi dokter polisi yang ditempatkan di daerah yang rawan
terorisme. Pada suatu hari anda dipanggil oleh kasat serse untuk menemani dia memeriksa
seseorang tersangka. Tersangka adalah seorang laki-laki muda yang diduga telah meletakkan
sebuah bom di pasar. Bom diduga akan diletakkan pada siang hari pada saat pasar sedang
ramai- ramainya, tetapi saat ini polisi masih belum mengetahui dimana diletakkannya bom
tersebut. Oleh karena itu polisi akan melakukan interogasi si tersangka dengan cara “ agak
keras” agar dapat memperoleh pengakuan tentang letak bom tersebut. Pada acara tersebut
anda diminta menjadi penasehat petugas reserse yang akan “menjaga” kesehatan tersangka.
Tidak ada
LANGKAH 2 : IDENTIFIKASI MASALAH
Dokter polisi diminta menjadi penasehat petugas reserse yang akan menjaga
kesehatan tersangka.
HAM
Hak dan
kewajiban Dokter polisi diminta
menjadi penasehat Penyiksaan
moral da sosial
secara inividu petugas reserse yang
dan publik akan menjaga
kesehatan tersangka.
Keterlibatan
dokter secara
moral dan
sosial
LANGKAH 4 :HIPOTESIS
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia
dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tercantum dalam UUD
1945 Republik Indonesia seperti pada pasal 27 (ayat 1), pasal 28, pasal 29 (ayat 2), pasal 31
(ayat 1), dan 33 (ayat 1).1
Contoh:
Hak untuk hidup
Hak untuk memperoleh pendidikan
Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
Hak untuk mendapatkan pekerjaan
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 29
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 31
(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1-4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
adalah:2
1. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila hak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik. Yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi.hukum, sosial,
budaya. Dan aspek kehidupan lainnya.
4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang lelah dilakukan atau diduga
telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa
seseorang atau orang ketiga. atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk
diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan
dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
2. Tindak Pidana Penyiksaan Dalam RUU KUHP ( 2) Dalam RUU KUHP, kejahatan
penyiksaan hanya diatur dalam satu pasal, yaitu:
Dalam Bab IX tentang Tindak Pidana Hak Asasi Manusia, Pasal 406, yang menyebutkan:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun setiap pejabat publik atau orang-orang lain yang
bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau setiap orang yang bertindak
karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat publik, yang
melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang
berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk
memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga informasi atau pengakuan,
menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau
dicurigai telah dilakukan atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi atau
memaksa orang-orang tersebut atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam
segala bentuknya”.2
Berdasarkan rumusan tersebut bisa dilihat elemen-elemen utamanya yakni:
a. setiap pejabat publik atau
b. orang-orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas pejabat resmi atau
c. setiap orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan seorang pejabat publik
d. Melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan atau rasa sakit yang berat, baik
fisik maupun mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk:
memperoleh dari orang tersebut atau pihak ketiga
o informasi
o atau pengakuan,
menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah
dilakukan
atau dengan tujuan untuk melakukan intimidasi
atau memaksa orang-orang tersebut
atau atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya.2
Beberapa Catatan
Rumusan tindak pidana penyiksaan dalam RUU KUHP tersebut bila dilihat secara
sepintas hampir sama dengan rumusan dengan pasal 1 CAT, namun jika dilihat lebih cermat
rumusan ini juga mengurangi pengertian dari Konvensi tersebut.
Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yang menyebutkan:
“Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang
hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan
atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas
suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk
suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau
sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang
semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum
yang berlaku.”
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi, penyiksaan terdiri dari lima
elemen penting, yakni:
(1) rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani;
(2) dilakukan dengan sengaja;
(3) untuk memperoleh pengakuan atau keterangan, menghukum, atau mengancam atau
memaksa, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi;
(4) ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan
pejabat publik;
(5) tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat
pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.2
Rumusan dalam Pasal 406 RUU KUHP ini sebagaimana kewajiban terhadap ratifikasi
konvensi, seharusnya tidak mengurangi pengertian penyiksaan yang tercantum dalam Pasal 1
ayat (1) Konvensi, Tampak bahwa rumusan dalam RUU KUHP telah mencoba memasukkan
beberapa rumusan penting yang berkaitan dengan penyiksaan dalam Konvensi. Di antaranya:
menggunakan unsur “mengancam”, dengan istilah intimidasi. Menggunakan itilah
digerakkan atau sepengetahuan untuk menggatikan istilah “persetujuan”, dan menggunakan
unsur menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang telah dilakukannya atau dicurigai telah
dilakukan untuk mencover unsur dari kalimat terakhir Pasal 1 ayat (1) Konvensi, yakni: “Hal
itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada,
atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku”.2
Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 404 RUU KUHP, ketentuan tersebut
merupakan “tindak pidana yang dikenal dengan nama Torture”. Tindak pidana ini sudah
menjadi salah satu tindak pidana internasional melalui konvensi internasional Convention
against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10
December 1984…”. Apabila kita perhatikan secara seksama, judul dari Konvensi Menentang
Penyiksaan pada hakikatnya tidak hanya mengatur mengenai kejahatan penyiksaan, tetapi
juga perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan
martabat manusia.2
Disamping itu, sangat disayangkan, ketentuan Pasal 404 RUU KUHP hanyalah
memberikan penekanan atas kejahatan penyiksaan menurut Pasal 1 Konvensi dan tidak
mengatur mengenai jenis kejahatan yang kedua sebagaimana tercantum di dalam Pasal 16
ayat (1) Konvensi yang berbunyi:
“Setiap Negara Pihak harus berusaha untuk mencegah, di dalam wilayah
jurisdiksinya, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1, apabila tindakan semacam itu
dilakukan oleh, atau atas hasutan dari, atau dengan persetujuan atau
sepengetahuan, seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam
kapasitas publik. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam
Pasal 10, 11, 12 dan 13 berlaku sebagai pengganti acuan pada tindak
penyiksaan atau acuan pada perlakuan atau penghukuman lain yang kejam,
tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.”2
Pasal 16 menjadi penting terkait dengan kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan
lain yang tidak jatuh dalam kategori kejahatan penyiksaan sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 1 ayat (1) Konvensi. Memang Pasal 404 RUU KUHP telah secara parsial, mengadopsi
definisi penyiksaan dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi. Namun hal itu tidaklah cukup. Oleh
karena itu, seharusnya RUU KUHPidana, yang nantinya akan berperan sebagai “payung
hukum” dari semua peraturan perundang-undangan di Indonesia, mengadopsi ketentuan-
ketentuan Konvensi Menentang Penyiksaan secara komprehensif.2
Kejahatan penyiksaan memang harus dibedakan dari bentuk perlakuan sewenang-
wenang (ill-treatment) lainnya, karena terdapat kewajiban-kewajiban hukum pidana yang
melekat secara khusus pada penyiksaan, misalnya penerapan jurisdiksi universal. Satu-
satunya sumber yang dapat dipakai sebagai acuan secara universal berkaitan dengan definisi
penyiksaan adalah Konvensi Menentang Penyiksaan. Namun, Konvensi ini masih dirasa
kurang memadai karena Konvensi ini tidak menyediakan definisi yang jelas mengenai
perlakuan sewenang-wenang lainnya.2
Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee), melalui Komentar Umum
No. 20, menyatakan bahwa “Kovenan tidak memuat definisi apapun mengenai konsep yang
tercakup dalam Pasal 7, dan Komite tidak menganggap bahwa adalah penting untuk
menyusun sebuah daftar tentang tindakan-tindakan yang dilarang atau untuk menetapkan
pembedaan yang tajam antara pelbagai jenis penghukuman atau perlakuan; pembedaan
akan tergantung pada sifat dasar, tujuan dan kekejaman perlakuan”. Hal serupa juga
ditegaskan oleh Sir Nigel Rodley, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan,
mengedepankan tiga bagian terkait dengan definisi penyiksaan, yakni: (1) intensitas relatif
dari kesakitan atau penderitaan yang ditimbulkan; (2) tujuan dari kesakitan atau penderitaan
itu; dan (3) status si pelaku, misalnya pelaku bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat
publik.2
Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat manusia pada umumnya dibedakan dari “tingkat kekejaman” dan
“tujuan”. Banyak pendapat yang menginterpretasikan penyiksaan sebagai “bentuk perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan tingkat
kekejaman (severity) yang jauh lebih berat”. Akibatnya, perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi atau merendahkan martabat manusia dianggap sebagai bentuk perlakuan
sewenang-wenang yang tidak cukup serius untuk dikategorikan sebagai penyiksaan. Lebih
lanjut, perlakuan yang merendahkan dapat diklasifikasikan sebagai perlakuan yang tidak
manusiawi, dan jika sudah mencapai taraf yang paling serius, dapat diklasifikasikan sebagai
penyiksaan. Bertolak belakang dari beberapa pendapat tersebut di atas, beberapa pakar
menganggap bahwa pendekatan “tingkat kekejaman” dan “tujuan” sangat problematik dan
pembentukan hirarki antara penyiksaan dan bentuk-bentuk lain dari perlakuan sewenang-
wenang (ill-treatment) harus dihindari.2
Berbagai pendekatan terhadap definisi penyiksaan juga telah dipakai, baik oleh
badan-badan internasional maupun regional. Sebagai contoh, Komite tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Komite Hak Asasi Manusia
(HRC) melihat mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation, FGM) dari
sudut pandang yang berbeda. CEDAW, berdasarkan Rekomendasi Umum No. 14 dan 19,
mempertimbangkan FGM sebagai bentuk diskriminasi, bukan penyiksaan atau perlakuan
sewenang-wenang. Sedangkan HRC mempertimbangkan FGM sebagai berdasarkan
Komentar Umum No. 20 mengenai Pelarangan terhadap Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
(Pasal 7 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik).2
Rekomendasi
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, khususnya RUU KUHP, pemasukan
ketentuan mengenai perlakuan sewenang-wenang lainnya di luar penyiksaan sangat penting
mengingat definisi penyiksaan yang cukup sempit. Oleh karena itu, beberapa catatan penting
perlu diberikan berkenaan dengan Pasal 404 RUU KUHP, yaitu: Pertama, jika RUU
KUHPidana dipandang sebagai satu bentuk implementasi dari dan sebagai konsekuensi atas
ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dalam UU No. 5 tahun 1998, maka kejahatan ini
tidak perlu ditempatkan dalam BAB IX walaupun kejahatan ini termasuk ke dalam
international crime dan bahkan serious crime tetapi lebih tepat ditambahkan atau
disandingkan dengan kejahatan penganiayaan agar dapat menjangkau pejabat publik orang
yang bertindak dalam kapasitas publik. Hal ini dimaksudkan agar lebih mengekfektifkan
ketentuan tentang larangan penyiksaan yang memang sudah ada (punishable) dalam hukum
pidana semua negara.2
Kedua, agar sesuai dengan judul lengkap Konvensi, yaitu UN Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatmen or Punishment, maka perlu juga
dimasukkan ketentuan mengenai perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusia dan merendahkan martabat manusia.2
Kata Teroris (pelaku) dan Terorisme (aksi) berasal dari kata latin “TERRERE” yang
kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘Teror’ juga dapat
menimbulkan kengerian dihati dan pikiran korbannya. Hingga saat ini tidak ada definisi
Terorisme yang dapat diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah Terorisme merupakan
sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan kesengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Proses interogasi
dilakukan untuk mengungkapkan pembuktian dimana bom tersebut diletakkan oleh
tersangka, bukan pengakuan. Karena tersangka teroris biasanya sudah didoktrin untuk tidak
mengaku. Saat melaksanakan proses interogasi tersebut, petugas kepolisian tidak ada boleh
melakukan tindakan penyiksaan baik ringan, sedang, ataupun berat. Selain itu, petugas
reserse juga dapat menggunakan teknik pendekatan psikologi dalam proses interogasi untuk
mengetahui status mental tersangka. Peran dokter polisi dalam hal ini sebagai penasehat
petugas reserse, mengontrol serta menjaga kesehatan tersangka pelaku kejahatan jangan
sampai tersangka bunuh diri dan tidak jujur mengenai kesehatannya.
Dalam hal ini interogasi dilakukan terhadap tersangka terorisme. Saat dilakukan
interogasi, hal terpenting yang ditanyakan pertama kali adalah apakah tersangka pelaku
kejahatan itu dalam keadaan sehat atau tidak sehat secara jasmani. Jika tersangka tersebut
dalam keadaan tidak sehat, maka harus dilakukan perawatan medis hingga keadaannya pulih
dan dilanjutkan kembali proses interogasi. Hal-hal yang ditanyakan adalah: identitas lengkap
tersangka (alamat, pekerjaan, status pernikahan), alasan dia membuat bahan peledakan (bom)
tersebut, apakah dia melakukan tindakan criminal tersebut seorang diri atau berkelompok.
Jika kejahatan tersebut dilakukan seorang diri, petugas mencari informasi dari keterangan
saksi dari anggota keluarga atau masyarakat sekitar tempat tinggal tersangka terhadap
perilakunya selama ini. Sedangkan, jika teroris ini berkelompok maka perlu dikumpulkan
anggota kelompok yang lain untuk mencari informasi keterlibatan terhadap pemboman di
pasar itu. Pelaku kejahatan teroris tersebut diambil sidik jari, foto untuk kepentingan data
kepolisian apabila orang tersebut melakukan tindakan criminal di daerah lain.
Teknik interogasi adalah teknik atau bagaimana cara menghadapi saksi-saksi yang
berbohong, membangkang dan sebagainya, sehingga diperlukan suatu teknik pemeriksaan
agar seorang pemeriksa akan memiliki suatu keyakinan bahwa pengakuan yang didapat dari
saksi atau tersangka yang diperiksa dapat menyingkapkan kebenaran. (G.W. Bawengan,
1974:11)
UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
Pasal 2
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hokum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan terhadap masyarakat.
Seringkali tenaga medis bekerja sama dengan penguasa politik dalam tindakan yang
immoral, yang berupa penyiksaan terhadap orang-orang yang menentang penguasa. Para
dokter sedunia sudah merumuskan sikap mereka dengan “pernyataan Tokyo” di tahun 1975.
Isi pernyataan tersebut adalah sebagai berikut (terjemahan bahasa Indonesia ini diambil dari
Ensiklopedi Etika Medis, Cipta Loka Caraka, Jakarta 1979, hlm. 252-253):
“ adalah hak mulia dokter untuk mempraktikan ilmu kedokteran demi mengabdi untuk
manusia, demi mempertahankan dan memulihkan kesehatan jasmani maupun mental tanpa
membedakan orang, demi mengurangi dan meringankan penderitaan pasiennya. Hormat
setinggi-tingginya kepada hidup manusia harus tetap dijunjung tinggi, bahkan dibawah
ancaman sekalipun. Dan pengetahuan medis apapun tidak boleh secara bertentangan dengan
hukum-hukum perikemanusiaan”.
Demi maksud pernyataan tersebut, maka “penyiksaan” dibatasi pada penggunaan penderitaan
fisik atau mental secara sengaja, sistematis atau sewenang-wenang oleh satu orang atau lebih
yang bertindak sendiri atau atas perintah suatu autoritas, untuk memaksa seseorang
memberikan informasi, membuat pengakuan atau alasan apa pun yang lain.
Pernyataan:
1. Dokter tidak akan menyetujui, membiarkan atau mengambil bagian dalam tindakan
penyiksaan atau bentuk-bentuk lain prosedur yang kejam, tidak berperikemanusiaan
dan merendahkan martabat manusia, apa pun juga pelanggaran yang disangkakan,
dituduhkan atau dipersalahkan pada korban, dan apapun kepercayaan atau motif si
korban itu. Hal ini berlaku dalam segala situasi, termasuk bentrokan senjata dan
perang saudara.
2. Dokter tidak akan memberikan instalasi, alat, bahan dan pengetahuan untuk
mempermudah tindakan penganiyayaan atau bentuk lain perlakuan yang kejam, tak
beperikemanusiaan atau merendahkan martabat atau membantu/ mengurangi
kemampuan korban untuk menentang perlakuan semacam itu.
3. Dokter tidak akan hadir dalam prosedur apapun, bila penganiayaan atau bentuk lain
perlakuan kejam dan tak beperikemanusiaan serta merendahkan martabat itu
digunakan atau dicamkan terhadap korban.
4. Seorang dokter harus mempunyai kebebasan klinis yang penuh dalam memutuskan
tentang pengobatan terhadap seseorang yang menjadi tanggungjawabnya secara
medis. Peran pokok dokter ialah meringankan penderitaan sesama manusia, dan tiada
motif baik pribadi maupun kolektif atau politis apaun yang boleh mengalahkan tujuan
yang lebih luhur ini.
5. Kalau seorang tahanan mogok makan, dan oleh dokter dianggap mampu menyusun
pendapatnya dengan tenang dan wajar mengenai akibat-akibat penolakan makanan
secara sukarela itu, maka tahanan itu tidak akan diberi makanan buatan. Keputusan
mengenai kemampuan tahanan untuk merangkai pendapat hendaklah dikuatkan
sekurang-kurangnya oleh satu dokter lain yang bebas. Akibat-akibat yang akan terjadi
karena menolak makanan itu akan dijelaskan oleh dokter kepada tahanan itu.
6. World Medical Association akan membantu dan seharusnya mendorong komunitas
internasional, ikatan-ikatan medis internasional dan teman-teman dokter untuk
membantu dokter dan keluarganya dalam menghadapi ancaman atau tekanan akibat
pendaulatannya membiarkan penggunaan penyiksaan atau bentuk perlakuan lain yang
kejam, tak berperikemanusiaan dan merendahkan martabat.
Etos tenaga medis diuji secara terang-terangan dalam keadaan terancam penguasa
sering kali membutuhkan pengetahuan dan keahlian tenaga medis, untuk memaksa para
tersangka mengakui perbuatan mereka, dengan perlakuan yang kejam, menentang
perikemanusiaan. Bila tenaga medis mudah menyerah pada ancaman serupa itu, etos mereka
akan melemah, dan kepercayan umum terhadap tenaga medispun akan menurun karenanya.
Hormat terhadap manusia paling terlihat terhadap tenaga medis menghadapi para tahanan
yang sudah berbuat kejahatan. Bila tenaga medis berhasil menghormati martabat
kemanusiaan pada umumnya.
Walaupun masyarakat umum dapat dirugikan kalau para tahanan tidak mengakui
kesalahan mereka sehingga seringkali dihukum tidak semestinya, tenaga medis tidak boleh
bekerja sama dengan penguasa untuk memaksa mereka itu mengakui kejahatan mereka.
Bahkan tenaga medis wajib menyimpan rahasia yang barang kali secara tidak langsung
mereka dengar dari tahanan itu selama memeriksa kesehatan mereka atau mengobati penyakit
mereka. Maka, bila penguasa atau petugas hukum merasa harus sedikit memaksakan
pengakuan semacam itu dari para tahanan, tidak boleh mereka menggunakan tenaga medis.
Mereka sendiri yang harus menjalankannya, dan bertanggungjawab sendiri atas tindakan
mereka yang kurang menghargai martabat manusia itu. Dengan begitu, kepercayaan umum
pada tenaga medis tetap dipelihara dengan baik.
Beneficence Autonomy
Gambar. empat kaidah dasar etika dalam praktik kedokteran, dengan prima facie
sebagai judge; penentu kaidah dasar mana yang dipilih ketika berada dalam konteks tertentu
(‘ilat) yang relevan.
b. Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus
mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare).
Sekiranya berlaku kecederaan pada pemuda tersebut, sebagai dokter, harus merawat tanpa
mengambil kira apakah dia seorang teroris atau tidak.
d. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama
dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta
perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya.
Tidak ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.
Pandangan ini mau tidak mau menghadapkan dokter pada dilemma, antara kewajiban
merahasiakan penyakit pasien dan kewajibannya kepada masyarakat, karena itu meskipun
kode etik kedokteran yang ditetapkan World Medical Association tidak menjelaskan
penyelesaiannya, British Medical Association, misalnya telah mencoba menguraikan
beberapa pengecualian dari kewajiban memegang rahasia tersebut. Dalam Handbook of
Medical Ethics yang diterbitkan persatuan dokter Inggris terdapat lima pengecualian, yaitu:
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif, rehabilitative) baik fisik maupun psikososial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan di bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Menurut Fred Ameln, kewajiban seorang dokter dalam profesi medic dapat
dikelompokkan menjadi 3 kategori, yakni:
1. Kewajiban yang berkaitan dengan fungsi social pemeliharaan kesehatan (health care).
Kategori ini menekankan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan
pasien saja.
2. Kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak pasien.
3. Kewajiban yang berkaitan dengan Standar Profesi Medik dan yang timbul dari SPM
tersebut.
Pasal 18
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu
tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara
sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan
untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana
itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan
yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan
sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas
suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Pasal 19
(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa
perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang-iutang.
KESIMPULAN
Sebagai dokter polisi yang diminta untuk menjadi penasihat petugas reserse
hendaknya tetap bertindak atau melakukan segala sesuatu dengan memperhatikan norma-
norma serta prinsip moral yang ada dan tak lupa dengan mempertimbangkan hak-hak pasien
sebagai manusia yang memiliki Hak Asasi. Tidak hanya menyangkut hubungan dokter-
pasien. Namun, perlu adanya kerja sama antara berbagai pihak antara lain hubungan dokter
dengan bidang-bidang lainnya dan hubungan dengan masyarakat sekitar dalam mendukung
dan memiliki hak-hak yang sama dalam mendapatkan layanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA