Anda di halaman 1dari 1

Pertanyaan tentang Jam Pasir

Untuk dua orang bodoh: Windy dan Malvin

Sayang, aku sendiri di sini menyimak sepi yang purba menguap ke muka
Bumi. Di langit, kawanan domba putih berlari ke tepian warna dan bulan
yang berkelana di atas kepala kita tengah mengayuh sisa-sisa cahaya
sebelum pagi meregangkan tangannya. Kau dengar suara kemarau yang retak
di kulit pepohonan itu?

Di taman ini, kita saksikan dua orang gelandangan tengah pulas di podium
yang “mirip Colosseum,” katamu swaktu-waktu. Aku bayangkan dua
gelandangan itu tengah bermimpi duduk di kursi emas dengan meja panjang
yang ramah membentangkan potongan roti dan daging asap paling lezat:
bukan remah-remah, sayang. Aku bayangkan dua gelandangan itu makan
dengan lahap sampai kalap. Aku melihat malam dengan tabah menutup
telinga mereka dari musik kota yang bising: penuh janji dan mimpi. Aku
melihat mata mereka: adakah di dalamnya segerombolan orang memonopoli
mimpi?

“di mana surga itu?” Tiba-tiba mereka bersuara. Entah itu dalam igau atau
sadar. Sungguh, malam baik sekali. Ia sediakan ruang yang riang untuk dua
gelandangan ini.

“adakah pintu darurat menuju surga?” Tiba-tiba dingin menyusup ke jalur


nadi. Aku bertanya tentang kamar nyaman yang tersimpan dalam dada
mereka. Menunggu musim apakah? Dalam napas sengal hidup mereka,
kulihat rangkaian doa terbang dari bibir tiada henti; tiada dusta.

Sayang, aku di taman ini bersama malam, sepi, dan dua gelandangan. Sudikah
kau panggil Tuan dan tanyakan sudah batas mana jam pasir kami di sana?

Pangkalpinang, satusembilan

Anda mungkin juga menyukai