1. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Perangkat Desa. Pada Pasal 4 (1) disebutkan, Pengangkatan Perangkat Desa dilaksanakan melalui
mekanisme sebagai berikut:
Kepala Desa dapat membentuk Tim yang terdiri dar seorang ketua, seorang sekretaris dan minimal
seorang anggota;
Kepala Desa melakukan penjaringan dan penyaringan calon Perangkat Desa yang dilakukan oleh
Tim;
Pelaksanaan penjaringan dan penyaringan bakal calon Perangkat Desa dilaksanakan paling lama 2
(dua) bulan setelah jabatan perangkat desa kosong atau diberhentikan;
Hasil penjaringan dan penyaringan bakal calon Perangkat Desa sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
calon dikonsultasikan oleh Kepala Desa kepada Camat;
Camat memberikan rekomendasi tertulis terhadap calon Perangkat Desa selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja;
Rekomendasi yang diberikan Camat berupa persetujuan atau penolakan berdasarkan persyaratan
yang ditentukan;
Dalam hal Camat memberikan persetujuan, Kepala Desa menerbitkan Keputusan Kepala Desa
tentang Pengangkatan Perangkat Desa; dan
Dalam hal rekomendasi Camat berisi penolakan, Kepala Desa melakukan penjaringan dan
penyaringan kembali calon Perangkat Desa.
2. Upaya pemerintah pusat dalam memberikan penghasilan kepada Aparat desa sudah mulai Nampak yaitu
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa mengatur pembentukan dan perubahan
status desa, kewenangan desa, penyelenggara pemerintahan desa, peraturan desa, perencanaan
pembangunan desa, keuangan desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan serta pembinaan dan
pengawasan.
3. Secara yuridis normatif, desa telah diberikan atau lebih tepatnya diakui kewenangan-kewenangan
tradisionalnya menurut Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan:“negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-undang”. Jadi, menururt UUD 1945 pengakuan terhadap kesatuan maasyarakat
hukum adat termasuk didalamnya dalah desa berserta hak-hak tradisionalnya harus didasarkan pada prinsip
“tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki hubungan secara fungsional yang menyangkut atas
pembagian tugas dan kewenangan yang harus dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang baik “Good Goverment”. Pembagian tugas, wewenang dan kewajiban
pemerintahan daerah pada yang dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hubungan pusat dengan Desa dalam hal urusan pemerintahan dapat dilihat dalam Undang-Undang
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni:
2. Pasal 285
(2) Pendapatan transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
1. dana perimbangan;
4. dana Desa.
Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 4 dialokasikan oleh Pemerintah
Pusat untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan
kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan kewenangan dan kebutuhan Desa
sesuai dengan ketentuan undangundang mengenai Desa.
4. Pasal 372
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat
menugaskan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada Desa.
(2) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah
Pusat dibebankan kepada APBN.
(3) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah
Daerah Provinsi dibebankan kepada APBD provinsi.
(4) Pendanaan untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang ditugaskan kepada Desa oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dibebankan kepada APBD kabupaten/kota.
Dari beberapa uraian penjelasan pasal diatas dapat dilihat beberapa hubungan pusat dan desa yang
diatur secara langsung dalam hal urusan pemerintahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kedudukan antara daerah dan desa memiliki kedudukan yang sama secara horizontal, utamanya adalah
mengenai sifat otonom dari desa itu sendiri. Salah satu implikasinya adalah Peraturan Desa tidak
dikategorikan sebagai peraturan daerah berdasar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, walaupun undang-undang tersebut mengakui keberadaan “peraturan yang
ditetapkan oleh kepala desa atau pejabat yang setingkat (cek Pasal 8 ayat (1)). Tetapi secara vertikal urusan
pemerintahan desa tersebut secara fungsional dalam hal ini melaksanakan tugas pelaksanaan yang diberikan
oleh pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Hal ini ditegaskan dalam pasal 5 yakni “Desa berkedudukan di
wilayah Kabupaten/Kota”. Pasal tersebut berimplikasi pada Peraturan Kepala Desa dapat dibatalkan oleh
Bupati/Walikota (Pasal 87 PP No. 43 Tahun 2014).
Sumber :
https://cigentur.desa.id/artikel/2020/1/9/mekanisme-pengangkatan-perangkat-desa-baru
Ateng Syafrudin, Republik Desa Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain
Otonomi Desa, PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 43
I Nyoman Baratha, Desa: Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm
15.