Anda di halaman 1dari 16

PAPER MENGENAI PERJANJIAN FIDUSIA GUNA MEMENUHI

TUGAS HUKUM PERIKATAN DENGAN DOSEN PENGAMPU


HIRWANSYAH, SH., MH., M.Kn

Disusun Oleh :
Abdurrahman Hamam 201810115186
Adriel Bestly Antares Sitorus 202010115164
Aimee Malca Luwinanda 202010115165
Ersa Nurul Rahma Windyani 202010115184
Hanny Faradilla 202010115143

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
BEKASI
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam suatu Negara tentu memerlukan suatu pembangunan untuk menjadi suatu Negara yang
maju. Pembangunan yang dilaksanakan Bangsa Indonesia mengacu pada salah satu tujuan
bangsa Indonesia yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945, sehingga semua pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk
menyejahterakan masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap
dapat berperan serta di dalamnya. Salah satu pembangunan yang dilakukan oleh bangsa
Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi.

Dalam rangka menunjang pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, para pelaku


pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan
hukum, memerlukan dana yang besar. Untuk mendapatkan dana yang besar itu bisa dengan
berbagai cara seperti dengan mencari investor, serta tentunya mencari pinjaman modal dari
lembaga keuangan (baik bank maupun bukan bank) berupa kredit. Dan untuk mendapatkan
pinjaman/tambahan modal (kredit) tentu ada syaratnya, salah satu syaratnya adalah dengan
memberikan jaminan kredit, kredit ada yang jangka panjang maupun jangka pendek.
Sedangkan Jaminan seperti yang disebutkan dalam pasal 4 UU Jaminan fidusia adalah
“perjanjian ikutan dari suatu perjanjian toko yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak
untuk memenuhi prestasi”.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PERJANJIAN FIDUSIA


Menurut Undang-Undang, fidusia adalah Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut
tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sementara jika mengacu pada batasan yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), fidusia adalah pengikatan barang bergerak
yang berfungsi sebagai jaminan kredit.Penguasaan barang bergerak dilakukan oleh debitur,
tapi kepemilikan barang itu diserahkan kepada kreditur atas dasar kepercayaan. Jaminan
fidusia adalah istilah dari bahasa Latin, yakni fiduciarius yang berarti kepercayaan. Selain itu,
fidusia juga diambil dari bahasa Belanda, fiduciaire eigendoms overdracht (FEO) yang
berarti penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan.1
Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan, melalui
ucapan saja telah mengikat para pihak. Ini berarti bahwa segera setelah para pihak
menyatakan persetujuan atau kesepakatannya tentang hal-hal yang mereka bicarakan, dan
akan dilaksanakan, maka kewajiban telah lahir pada pihak terhadap siapa yang telah berjanji
untuk memberikan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu, atau untuk tidak melakukan atau
berbuat sesuatu. Agak berbeda dengan perjanjian konsensuil, dalam perjanjian formil,
kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara para pihak yang berjanji belum
melahirkan kewajiban para pihak untuk menyerahan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu
atau untuk tidak melakukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Selanjutnya pernyataan rill
menunjukkan adanya suatu perbuatan nyata yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat
tersebut mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.
Pernyataan selanjutnya dalam perjanjian yang menyebutkan “terdapat sekurangnya dua
orang” menunjukkan pada kita semua bahwa suatu perjanjian tidak mungkin dibuat sendiri.
Dengan demikian setiap tindakan yang dilakukan oleh orang perorangan untuk
kepentingannya sendiri, tidaklah termasuk dalam kategori perjanjian. Pernyataan selanjutnya
yang menyatakan bahwa “perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang
berjanji tersebut”, makin mempertegas, bahwa perjanjian melibatkan sekurangnya dua pihak,
yaitu debitor pada satu pihak, sebagai pihak yang berkewajiban; dan kreditor, pada pihak lain,
sebagai pihak yang berhak atas pelaksanaan prestasi oleh debitor, sesuai dengan yang telah
dijanjikan oleh debitor.

1
https://prospeku.com/artikel/jaminan-fidusia---2955
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan
penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.
Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh
notaris dan didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia.
Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara “sukarela”
mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau
mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan
akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut.
Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai
dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1 undang undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan
fidusia , butir ( 1 ) , yang dimaksud dengan fidusia adalah “ pengalihan hak kepemilikan
suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikan
nya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. “ 2 ( isi perjanjian fidusia )

 Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan alas notaris dalam bahasa
Indonesia yang sekurang-kurangnya memuat:
- identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
- data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
- uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
- nilai penjaminan; dan
- nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa:


- jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia,sebagai agunan bagi perlunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada pemberi fidusia terhadap kreditor lainnya.

Ini berarti Undang-Undang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan jaminan fidusia adalah
agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke zakerheid, security right in rem)
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang
didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau
likuidasi pemberi fidusia (Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia).Dengan
2
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007,
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 93-94
demikian tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa jaminan fidusia hanya merupakan
perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat persoonlijk (perorangan) bagi
kreditor.

Pasal 4 Undang-Undang jaminan Fidusia juga secara tegas menyatakan bahwa: “jaminan
fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Yang berupa memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.
Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:
a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;
c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang
disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

B. DASAR HUKUM PERJANJIAN FIDUSIA

Perjanjian dengan jaminan fidusia ini kemudian diatur dengan lebih lanjut oleh
pemerintah indonesia dengan cara dituangkan dalam undang-undang nomor 42
tahun 1999 tentang jaminan fidusia yang mengatur tentang lembaga jaminan
untuk benda bergerak yang dijadikan jaminan pelunasan hutang.
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah:
a. bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas
tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan
lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan;
b. bahwa Jaminan Fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini
masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan secara lengkap dan komprehensif;
c. bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan
nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan
yang lengkap mengenai Jaminan Fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran Fidusia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
dipandang perlu membentuk Undang-undang tentang Jaminan Fidusia;
Selama ini, kegiatan pijam-meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak
jaminan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas
tanah dan credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan pada
dewasa ini adalah Gadai, Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia. Undang-undang yang
berkaitan dengan Jaminan Fidusia adalah Pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman, yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun
di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Selain itu,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mengatur mengenai hak milik
atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia, jika
tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara.

Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu
bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. bentuk jaminan ini digunakan secara luas
dalam transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana,
mudah, dan cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum.

Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para Pemberi Fidusia untuk menguasai
Benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman
dengan menggunakan Jaminan Fidusia. Pada awalnya, Benda yang menjadi objek fidusia
terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya, Benda yang menjadi objek fidusia termasuk juga kekayaan
benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak.
Undang-undang ini, dimaksudkan untuk menampung kebutuhan masyarakat mengenai
pengaturan Jaminan Fidusia sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan
untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. 3
Beberapa dasar hukum yang menjadi landasan terselenggaranya pemberian Jaminan Fidusia
antara lain sbagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan


Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang Berlaku pada Departemen Hukum dan HAM

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan
Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik
Indonesia;

5. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.08-
PR.07.01 Tahun 2000 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia;

3
(https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-42-1999-jaminan-fidusia)
6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No. M. MH- 02.KU.02.02. Th. 2010
tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pelaporan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya
Pelayanan Jasa Hukum di Bidang Notariat, Fidusia dan Kewarganegaraan pada kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 4

C. OBJEK JAMINAN FIDUSIA

Objek jaminan fidusia adalah benda-benda apa yang dijadikan jaminan utang dengan
dibebani jaminan fidusia. Benda-benda yang dapat dibebani jaminan fidusia yaitu:

a. Benda bergerak berwujud

1) Kendaraan bermotor seperti mobil, truk, bus dan sepeda motor

2) Mesin-mesin pabrik yang tidak melekat pada tanah atau bangunanpabrik,

alat-alat inventaris kantor

3) Perhiasan

4) Persediaan barang atau inventori, stock barang, stock barang

dagangandengan daftar mutasi barang

5) Kapal laut berukuran dibawah 20 m

6) Perkakas rumah tangga seperti mebel, radio, televisi, almari es danmesin jahit

7) Alat-alat perhiasan seperti traktor pembajak sawah dan mesin penyedotair.

b. Benda bergerak tidak berwujud, contohnya:

1) Wesel

2) Sertifikat deposito

3) Saham

4) Obligasi

5) Konosemen

6) Piutang yang diperoleh pada saat jaminan diberikan atau yang diperoleh
kemudian

7) Deposito berjangka.

4
M. Yasir, Aspek Hukum Jaminan Fidusia, Vol. 3 No. 1 (2016), Hal 78-79.
c. Hasil dari benda yang menjadi objek jaminan baik benda bergerak berwujud

atau benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda tidak bergerak yang

tidak dapat dibebani hak tanggungan.

d. Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi objek jaminan


fidusiadiasuransikan.

e. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakaiatas

tanah Negara (UU No. 16 Tahun 1985) dan bangunan rumah yangdibangun di

atas tanah orang lain sesuai pasal 15 UU No. 5 tahun 1992tentang Perumahan

dan Pemukiman.

f. Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan

diberikanmaupun piutang yang diperoleh kemudian hari.

D. ASPEK PERDATA JAMINAN FIDUSIA


Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Fidusia (UU No.42/1999) disebutkan
bahwa:
    “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.”
Sesuai dengan pasal diatas maka, sifat jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan dari suatu
perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian
untuk memenuhi suatu prestasi. Pembebanan jaminan fidusia dilakukan dengan cara berikut
ini.

Dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Akta jaminan sekurang-kurangnya
memuat:
1. Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia;
2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
3. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
4. Nilai penjaminan;
5. Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia. 5
Pasal 14 ayat (3) UUF mengatakan:
“Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia
dalam Buku Daftar Fidusia.”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dijelaskan bahwa lembaga jaminan fidusia tidak lahir
hanya dengan adanya perjanjian jaminan fidusia, atau hanya dengan penyerahan secara
fidusia di bawah tangan. Jaminan Fidusia baru lahir ketika Perjanjian Jaminan Fidusia telah
didaftarkan dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia pada kantor Pendaftaran Fidusia.
Maka dari itu peralihan kepemilikan secara kepercayaan atas suatu benda yang dijaminkan
dengan lembaga jaminan fidusia baru bida dibilang sah hanya saat perjanjian jaminan fidusia
itu dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Kalau jaminan itu diberikan atas benda yang belum
ada, maka terhadap Jaminan Fidusia yang telah didaftarkan tersebut ada “janji untuk
menyerahkan secara fidusia”.
Dengan lahirnya jaminan fidusia, maka benda yang dijaminkan dengan lembaga jaminan
fidusia ini saat ini menjadi milik Penerima Fidusia (kreditur dalam perjanjian pokok).
Sedangkan Pemberi Fidusia saat ini hanya sebagai peminjam pakai atau peminjam pengganti
saja atas benda yang bersangkutan. Karena Pemberi Fidusia saat ini hanya sebagai seorang
“peminjam”, maka praktis pemberi fidusia tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan
tindakan pemilikkan (beschikking) terhadap benda yang dipinjamnya tersebut, karena benda
tersebut adalah milik orang lain (penerima fidusia/kreditur). Hal ini Nampak dalam ketentuan
Pasal 17 UU No.42/1999
”Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar.”
Dimana pasal ini melarang pemberi fidusia (debitur) untuk memfidusiakan ulang (menjual,
mengadaikan,dll) benda yang telah difidusiakan kepadanya tersebut, tanpa adanya izin dari
penerima fidusia (kreditur).
Terdaftarnya jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia memiliki arti yang penting,
yaitu melahirkan hak kebendaan penerima fidusia (kreditur) atas benda jaminan fidusia. Hak
kebendaan tersebut antara lain adalah hak sebagai seorang pemilik benda, hak untuk
didahulukan dalam pembayaran hutang pemberi fidusia yang dijamin dengan jaminan fidusia.
Pasal 27 U.U.F.
1. Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya.
2. Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima
Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia.
3. Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan
dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.

5
Salim, HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)…, hlm. 128-129.
E. AKIBAT HUKUM PERJANJIAN JAMINA FIDUSIA YANG TIDAK
DIDAFTARKAN.
Akta fidusia yang tidak didaftarkan apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak bisa
langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh gugatan
secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan KUHPerdata. Karena Akibat hukum dari
perjanjian jaminan fidusia yang tidak didaftarkan adalah tidak melahirkan perjanjian
kebendaan bagi jaminan fidusia tersebut, sehingga karakter kebendaan seperti 'droit de suite'
dan 'hak preferen' tidak melekat pada kreditor penerima fidusia (Das Sein)
Droit de suite atau zaaksgevolg merupakan salah satu ciri hak kebendaan, yakni suatu hak
yang terus mengikuti pemilik benda, atau hak yang mengikuti bendanya di tangan siapapun.
Sementara itu,
Hak preferen adalah hak dari kreditor pemegang jaminan tertentu untuk terlebih dahulu
diberikan haknya (dibandingkan dengan kreditor lainnya) atas pelunasan hutangnya yang
diambil dari hasil penjualan barang jaminan hutang tersebut. Kedudukan kreditor sebagai
penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan
F. EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA
Kepemilikkan atas benda jaminan fidusia oleh penerima fidusia di sini sebenarnya hanyalah
kepemilikkan secara kepercayaan, tidak untuk benar-benar menjadi pemilik. Maka dari itu
sewaktu-waktu bisa terjadi eksekusi dalam perjanjian jaminan fidusia.
Eksekusi adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Eksekusi dilakukan karena debitur melakukan wanprestasi atau cedera janji. Eksekusi
jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 s/d pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.6
Pasal 29
1. Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia.
b. penjualan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan
kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara
demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para
pihak.
2. Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) huruf c dilakukan
setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi
dan atau Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan

6
https://pn-lembata.go.id/page/content/588/akibat-hukum-perjanjian-jaminan-fidusia-
terhadap-benda-yang-dijaminkan diakses pada 5 April 2022, pukul 11:30
diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang tersebar di daerah yang
bersangkutan.
Pasal 30
Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam
rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.
Pasal 32
Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 29 dan Pasal 31, batal demi hukum.
Pasal 33
Setiap janji yang memberi kewenangan kepada Pemberi Fidusia untuk memiliki Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.
Pasal 34
(1) Dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.
(2) Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap
bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
oleh karena itu sekalipun berdasarkan jaminan fidusia penerima fidusia merupakan “pemilik”
dari benda jaminan fidusia, akan tetapi penerima fidusia haknya terbatas pada diberikannya
kedudukkan yang diutamakan (preferent) atas pelunasan hutang debitur kepadanya
dibandingkan dengan kreditur lain yang tidak dijamin dengan jaminan khusus. Penerima
fidusia tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan–tindakan pemilikkan (beschikking)
terhadap benda jaminan fidusia. Kewenangannya hanya sebatas melakukan eksekusi dengan
cara yang telah ditentukan oleh undang-undang apabila debitur wanprestasi. Apabila debitur
telah membayar lunas hutangnya terhadap penerima fidusia, maka demi hukum kepemilikkan
atas benda jaminan fidusia tersebut kembali kepada mantan pemberi fidusia.
Adapun beberapa cara eksekusi jaminan fidusia, antara lain:
1. Pelaksanaan title eksekutorial oleh penerima fidusia, yaitu berkekuatan eksekusi yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia
sendiri melalui pelelangan umum
3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan
penerima fidusia.
Ada tiga kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang jaminan fidusia, yaitu:
1. Hasil eksekusi sama dengan nilai pinjaman, maka utangnya dianggap lunas;
2. Hasil eksekusi melebihi penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan
kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia;
3. Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk perlunasan utang, pemberi fidusia tetap
bertanggung jawab atas kekurangan pembayaran.
Dua janji yang dilarang dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia terdapat, yaitu:
1. Janji melaksanakan eksekusi dengan cara yang bertentangan dengan Pasal 29
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
2. Janji yang memberi kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki objek
jaminan fidusia apabila pemberi fidusia cedera janji7

G. ASPEK PIDANA JAMINAN FIDUSIA


Ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana terhadap jaminan fidusia terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada Pasal 35 sampai
dengan Pasal 36. Terdapat 2 perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang ini, yaitu
sengaja melakukan pemalsuan hingga terciptanya sertifikat jaminan fidusia dan pengalihan
objek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis dari penerima fidusia
Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan
cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut
diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana yang harus dipenuhi, supaya pelaku dapat dituntut berdasarkan
ketentuan pasal ini, yaitu:
1. Setiap orang Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang ini merujuk pada orang
perorangan dan/atau korporasi yang menjadi subjek hukum pemegang hak dan
kewajiban yang berada dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani yang
merupakan pelaku dari tindak pidana.
2. Dengan sengaja Merupakan unsur kesalahan dalam Pasal 35 ini. Dimana pelaku dalam
hal mewujudkan tindak pidana terhadap jaminan fidusia tersebut telah mengetahui atau
menginsafi bahwa perbuatan yang dia lakukan tersebut tercela atau bersifat melawan
hukum.
3. Memalsukan, mengubah, menghilangkan, atau dengan cara apapun memberikan
keterangan dengan cara menyesatkan Bahwa ketentuan ini bersifat alternatif, dimana
dengan terpenuhinya salah satu perbuatan dalam unsur ini, maka unsur ini dapat
dikatakan telah terpenuhi. Unsur-unsur perbuatan pidana yang diancam dalam
ketentuan ini dapat berupa:
a) Memalsukan keterangan, yang dimaksud dengan memalsukan dapat berupa tindakan
membuat suatu keterangan secara palsu yang berarti semula keadaan itu belum ada, lalu
dibuat sendiri yang mirip dengan yang asli dan dapat pula berupa memalsukan sesuatu surat,
yang berarti surat sudah ada lalu ditambah dan/atau dikurangi atau diubah isinya.

7
Nur Hayati, Aspek Hukum Pendaftaran Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Lex Jurnalica, Volume 13 Nomor 2, Agustus 2016. Hlm. 153-
154.
b) Mengubah keterangan, yang dimaksud dengan mengubah keterangan tersebut dapat
berupa tindakan yakni menjadikan lain dari keterangan semula, mengganti keterangan yang
ada, dan mengatur kembali keterangan yang diberikan
c) Menghilangkan keterangan, yang dimaksud dengan menghilangkan keterangan adalah
membuat suatu hal yang ada menjadi tidak ada
d) Dengan cara apapun memberikan keterangan dengan cara yang menyesatkan, yang
dimaksud dengan memberikan keterangan secara menyesatkan adalah memberikan suatu
keterangan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada atau bohong.
4. Apabila diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan jaminan fidusia. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa pihak dalam
jaminan fidusia terdiri dari Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi
pemilik Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia (Pasal 1 ayat (5) UndangUndang
Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia), dan Penerima Fidusia adalah orang
perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan Jaminan Fidusia (Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia).
Pasal 36
Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang
dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Pasal 23 ayat (2)
(2) Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada
pihak lain Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda
persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.
Unsur-unsur tindak pidana yang harus dipenuhi, supaya pelaku dapat dituntut berdasarkan
ketentuan pasal ini, yaitu:
1. Pemberi fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, bahwa Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik
Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Pasal ini memberi kekhususan bahwa
pihak yang dapat melakukan tindak pidana hanyalah pemberi fidusia.
2. Yang mengalihkan benda objek jaminan fidusia, menggadaikan benda objek jaminan
fidusia, atau menyewakan benda objek jaminan fidusia
Bahwa ketentuan ini bersifat alternatif, dimana dengan terpenuhinya salah satu perbuatan
dalam unsur ini, maka unsur ini dapat dikatakan telah terpenuhi. Unsur-unsur perbuatan
pidana yang diancam dalam ketentuan ini meliputi:
a) Mengalihkan benda objek jaminan fidusia Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yang dimaksud dengan mengalihkan adalah memindahkan (Tim Penyusun Pusat Bahasa,
2008: 40). Dalam hal ini pelaku memindahkan kepemilikan akan hak terhadap objek dari
jaminan fidusia. Dimana pelakunya adalah pemberi jaminan fidusia. Karena objek dari
jaminan fidusia tersebut masih menjadi milik dan dikuasai oleh pemberi jaminan fidusia.
b) Menggadaikan benda objek jaminan fidusia Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yang dimaksud dengan menggadaikan adalah menyerahkan barang sebagai jaminan atau
tanggungan hutang (Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008: 428).
c) Menyewakan benda objek jaminan fidusia Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yang dimaksud dengan menyewakan adalah memberi pinjaman sesuatu dengan memungut
uang sewa (Tim Penyusun Pusat Bahasa, 2008: 1439). Dengan disewakan tersebut maka
penguasaan terhadap objek dari jaminan fidusia beralih kepada orang ketiga, bukan lagi
berada di pemberi jaminan fidusia.
3. Tanpa persetujuan tertulis Penerima fidusia
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa Penerima Fidusia adalah
orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan Jaminan Fidusia. Sehingga bila dikaitkan ketentuan Pasal ini maka, si pelaku tindak
pidana dalam melakukan tindakannya tersebut tidak didasarkan atas suatu keadaan mereka
mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu dalam hal ini pengalihan objek jaminan fidusia
dalam bentuk tertulis (kontrak). Apabila pelaku terbukti melakukan perbuatan pidana yang
diancamkan pada kedua pasal tersebut, maka mereka dikenakan hukuman penjara dan denda.
Kedua jenis hukuman tersebut bersifat kumulatif, artinya bahwa kedua hukuman itu harus
diterapkan kepada para pelaku secara bersamaan dalam putusan hakim.8

H. CONTOH KASUS FIDUSIA


Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 U.U.F. disebutkan bahwa:“Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”9

Dari rumusan Fidusia secara “otentik” -- karena rumusan itu diberikan oleh pembentuk
undang-undang -- dapat disimpulkan bahwa “Fidusia” merupakan tindakan pengalihan hak
milik atas suatu benda, dengan syarat (ketentuan) bahwa benda tersebut tetap “dikuasai” oleh
“PEMILIK BENDA”.

Sebagai contoh:

8
Rosiani Niti Pawitri, Budi Setiyanto, TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGALIHAN OBJEK
JAMINAN FIDUSIA TERHADAP PIHAK LAIN TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENERIMA FIDUSIA,
Recidive Vol. 3 No. 3 September-Desember 2014. Hlm. 261-263
9
ibid. 8
Sebuah perusahaan taxi umpamanya, “PT Presiden Taxi” meminta kredit pada suatu Bank
dan sebagai jaminan adalah taxi yang diekplotasikan/dioperasikan oleh perusahaan itu dan
taxi sebagai suatu jaminan merupakan benda bergerak dan menurut ketentuan gadai harus
diserahkan kepada bank tersebut, tetapi tetap dipercayakan dipegang oleh perusahaan PT.
Presiden Taxi Oleh Bank atas dasar kepercayaan atau dengan kata lain terlihat adanya
”penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan.”

Seharusnya menurut ketentuan pegadaian/jaminan "taxi" harus diserahkan ke bank sebagai


jaminan.

Tapi karena atas dasar kepercayaan seperti Pasal 1 angka 1 U.U.F. maka taxi tersebut tetap
dipercayakan dan dipegang oleh perusahaan taxi.10

KESIMPULAN

Fidusia merupakan perjanjian antara suatu badan/perseorangan yang melibatkan suatu objek
yaitu objek kebendaan. Dimana salah satu pihak menjadi penerima fidusia dan pihak yang
lain menjadi pemberi fidusia. Perjnjian jaminan fidusia memiliki objek yang dijadikan
jaminan perjanjian antara kedua belah pihak untuk memenuhi prestasi yang utamanya adalah
benda bergerak, seperti motor, mobil, dan lain-lain. Perjanjian fidusia juga bias menimbulkan
sengketa perdata seperti wanprestasi dan juga tindak pidana seperti pemalsuan data, dan lain-
lain.

Dalam melakukan ekseskusi terhadap jaminan fidusia ada kewajiban berdasarkan Pasal 30
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan
menyatakan pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang obyek jaminan fidusia dalam
rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. Untuk jaminan fidusia saham dalam sistem
perdagangan saham tanpa warkat kewajiban penyerahan tersebut dapat dilakukan dengan cara
yaitu melalui penarikan saham dari sistem perdagangan tanpa warkat sesuai dengan
mekanisme yang ditentukan kemudian menyerahkan saham dengan akta pemindahan hak
untuk saham atas nama dan penyerahan langsung untuk saham atas unjuk.

10
Ibid. 5 hal
DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus,
Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 93-94.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah


Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.  -Jakarta, 1996. LN 1996 : 18 hlm
Indonesia. Undang- undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia . N. 1999/ No.
168, TLN NO. 3889, LL SETNEG : 13 HLM
https://prospeku.com/artikel/jaminan-fidusia---2955

Anda mungkin juga menyukai