Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang

memiliki letak geografisnya yaitu pada 112o53' – 113o23' Bujur Timur dan 7o54' –

8o23' Lintang Selatan. Luas wilayah keseluruhan yang dimiliki Kabupaten

Lumajang adalah 1790,90 km2 atau 3,74% dari luas Propinsi Jawa Timur. Luas

tersebut terbagi dalam 21 Kecamatan yang meliputi 197 Desa dan 7 kelurahan.

Kabupaten Lumajang termasuk dalam dataran yang subur karena diapit oleh

tiga gunung berapi yaitu, Gunung Semeru yang merupaka gunung tertinggi di

Pulau Jawa dengan ketinggian mencapai 3.676 m, Gunung Bromo dengan

ketinggian 3.2952 m, serta Gunung Lamongan dengan ketinggian 1.668 m.

Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Lumajang adalah sebelah barat berbatasan

dengan Kabupaten Malang, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten

Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Jember, dan di sebelah

selatan adalah Samudera Indonesia (Samudra Hindia).

Iklim adalah keadaan cuaca pada suatu tempat pada periode yang panjang.

Iklim merupakan unsur yang memengaruhi manusia dalam melaksanakan

kegiatan sehari-hari. Unsur-unsur yang sifatnya tertentu seperti temperatur, hujan,

angin dan tekanan udara diamati sifatnya selama selang waktu yang panjang (30

tahun).Kabupaten Lumajang beriklim tropis. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan


Ferguson termasuk dalam beberapa tipe iklim tipe C yaitu daerah agak basah,

hutan rimba, daun gugur pada musim kemarau seperti pada Kecamatan Gucialit,

Senduro, Pasrujambe, Candipuro, Pronojiwo. Tipe iklim D yaitu daerah sedang,

hutan musim seperti pada kecamatan Randuagung, Klakah, Ranuyoso, Sukodono,

Lumajang, Padang, Jatiroto, Sumbersuko. Tipe iklim E yaitu iklim yang bersifat

agak kering pada kecamatan Tekung, Kunir, Yosowilangun. Perbedaan iklim yang

membuat penduduk Lumajang memiliki mata pencaharian berbeda-beda,

misalnya petani buah dan sayur, peternak.

Peternakan sapi perah di Lumajang merupakan salah satu peternakan yang

menunjang ekonomi daerah meskipun populasi kalah dengan kambing, tetapi hasil

tidak kalah dengan hewan ternak lainnya. Penampungan hasil sapi perah

ditampungpada suatu koperasi kemitraan untuk memudahkan peternak

mendistributorkan hasil sapi perahnya yaitu di KUD Tani Makmur. KUD Tani

Makmur berdiri pada tanggal 12 Februari 1980 berdasarkan gagasan Perkumpulan

Tani penanam kopi diwajibkan untuk menyetorkan paling minimal 1 kg kopi

setiap musim panas. Lingkup usaha mencakup perkebunan, pertanian dan ternak

sapi perah. Hal ini membuat petani dan peternak dapat dengan mudah menjual

hasil pertanian dan hasil ternaknya.

Populasi sapi perah terbanyak terdapatdi Kecamatan Senduro yang

merupakan sumber utama produksi susu di Lumajang dengan jumlah sebanyak

5.979 ekor (Dinas Peternakan Kabupaten Lumajang). Kecamatan Senduro

merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam tipe iklim C dengan jenis

vegetasinya adalah hutan dan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya
dimusim kemarau menurut Schmidt-Fergoson. Iklim tersebut sesuai dengan

daerah perkembngan sapi perah yaitu pada daerah sejuk sampai dingin.

2.2 Sapi

Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga

kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%)

kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit. Sapi

berasal dari famili Bovidae, seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus),

kerbau Afrika (Syncherus), dan anoa (Firdaus, 2009).

Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada

dua, yaitu kelompok sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk, yang

berasal dan tersebar di daerah tropis serta kelompok Bos prigmigenius atau sapi

tanpa punuk, yang tersebar di daerah sub tropis atau dikenal dengan Bos taurus.

2.2.1 Klasifikasi

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Sub Ordo : Ruminansia

Famili : Bovidae

Subfamili : Bovinae
Genus : Bos

Spesies : Bos taurus, Bos indicus

2.2.2 Sapi Frisien Holstein

Sapi FH merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki prospek

pengembangan yang cukup baik dengan keunggulannya. Menurut Dematawewa

dkk. (2007), sapi Fries Holland mempunyai masa laktasi panjang dan produksi

susu tinggi, serta persistensi produksi susu yang baik. Selain itu sapi perah FH

juga merupakan jenis sapi perah yang cocok untuk daerah Indonesia. Namun

demikian produksi susu per ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif

rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya (Atabany dkk,

2008).

Sapi Fries Holland atau FH, di Amerika Serikat disebut Friesian Holstein

atau disingkat Holstein. Sedangkan di Europa disebut Friesian. Bobot badan sapi

betina dewasa yang ideal adalah 628 kg, sedangkan yang jantan dewasa bobotnya

1000 kg. Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi,

dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya, dengan kadar lemak susu yang

rendah. Produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7245 kg/laktasi dan kadar

lemak 3,65%, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor

(Sudono, et al., 2003).

Sudono (1999) menyebutkan bangsa sapi FH murni warna bulunya hitam

dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Sapi FH baik

untuk menghasikan daging (beef) karena tumbuhnya cepat dan menghasilkan


karkas sangat baik. Bobot lahir anak sapi tinggi yaitu 43 kg, tambahan lain

warnalemak daging putih, sehingga baik sekali untuk produksi veal (daging anak

sapi). Sapi FH termasuk masak kelamin lambat, tidak seperti sapi-sapi bangsa

Jersey dan Guernsey yang termasuk masak dini.

Sapi FH berasal propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat.

Bangsa sapi FH terbentuk dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) typicus

primigenius yang ditemukan di negeri Belanda sekitar 2000 tahun yang lalu.

Negeri Belanda terkenal dengan tanahnya yang subur dan banyak sehingga

menghasilkan pasutra yang sangat baik. Sapi FH dapat merumput dengan baik

pada padang rumput yang baik, artinya bangsa sapi ini memerlukan rumput yang

baik saja, jadi tidak seperti bangsa-bangsa sapi Ayshire dan Brown Swiss. Pada

musim dingin di negeri Belanda udara lebih dingin, sehingga sapi FH harus

dikandangkan, dan karena itu sapi FH sifatnya menjadi jinak. Disamping itu kerap

kali sapi betina yang laktasi diperah sambil merumput di pasutra. Ketika bangsa

sapi FH dibentuk, seleksi dilakukan terhadap produksi susu yang akan dijadikan

keju. Pada pembuatan keju membutuhkan sapi yang produksi susnya banyak,

sehingga akibat terbentuk sapi perah yang diutamakan produksi susunya tinggi

dengan kadar lemak rendah. Sapi FH memiliki komposisi susu: Air 88.01%,

Protein 3.15%, Lemak 3.45%, Laktosa 4.65%, Abu 0.68%, Bahan Kering

11.93%.(Sudono, 1999).
2.3 Sistem Reproduksi

Produktivitas ternak merupakan tolak ukur keberhasilan dari suatu

perusahaan peternakan Sapi Perah dan keuntungan ekonomis dari sektor

peternakan khususnya pada peternakan ternak sapi perah tergantung pada

keberhasilan reproduksi ternak. Adapun keuntungan yang diperoleh adalah

berdasarkan dari produksi susu rata-rata per ekor per hari, yang dimaksimumkan

oleh suatu interval kelahiran 12 bulan, masa kering 60 hari, masa kosong 100-110

hari serta interval antara partus dan konsepsi berikutnya 60-85 hari. Angka

keberulangan (repeatability) dari sifat-sifat reproduksi ideal yang tinggi dan

berkontinuitas dari hewan ternak pada setiap tahunnya dapat memberikan dampak

yang baik bagi jalannya usaha. Dalam beberapa kasus pengafkiran ternak,

kebanyakan adalah karena alasan produksi yang rendah dari seekor sapi, sebagian

besar dari hal ini disebabkan karena adanya kegagalan reproduksi sapi yang

bersangkutan.

Sistem reproduksi sapi perah terdiri dari siklus birahi, kebuntingan,

kelahiran, dan kembali birahi setelah melahirkan. Suklus birahi adalah waktu

timbulnya birahi sampai timbulnya kembali birahi (Partodiharjo, 1992). Sapi

perah termasuk hewan yang poliestrus yang memperlihatkan birahi teratur

sepanjang tahun (Toelihere, 1985). Menurut Ismudiono (1996) siklus birahi dapat

dibagi menjadi empat periode, pembagian tersebut menurut perubahan yang

tampak atau tidak tampak dari luar tubuh selama siklus birahi yaitu proestrus,

estrus, metestrus, diestrus.


Tingkat fertilitas individu dimulai pada waktu pubertas dan dipertahankan

selama beberapa tahun sebelum kemudian menurun selama proses penuaan.

Pubertas merupakan periode kehidupan jantan dan betina dimana proses

reproduksi mulai terjadi yang ditandai oleh kemampuan pertama kalinya

memproduksi benih (Ismudiono, 1996). Masa pubertas pada ternak tergantung

dari umur, berat badan, kondisi tubuh, dan musim kawin (Wodzicka dkk, 1991).

2.4 Sikuls Birahi

Siklus berahi adalah jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi

berikutnya, sedangkan berahi itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia

menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus berahi pada setiap hewan berbeda

antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies. Siklus berahi

pada sapi dewasa berkisar antara 18 sampai 24 hari sedangkan panjang siklus

birahi pada sapi dara sekitar 20 hari. Siklus estrus terdiri dari empat fase yaitu :

proestrus, estrus, metestrus dan diestrus (Partodiharjo, 1992).

2.4.1 Proestrus

Proestrus adalah tahap sebelum estrus, dimana folikel De Graaf bertumbuh

(Toelihere, 1981). Pertumbuhan folikel tersebut terjadi atas pengaruh Follicle

Stimulating Hormone (FSH), dengan menghasilkan sejumlah estradiol yang

semakin bertambah (Baker dalam Ternouth, 1983). Fase ini hanya berlangsung

pendek, gejala yang terlihat berupa perubahan-perubahan tingkah laku dan

perubahan pada alat kelamin bagian luar. Tingkah laku betina menjadi sedikit
gelisah, memperdengarkan suara-suara yang biasa terdengar atau malah diam saja.

Alat kelamin betina luar mulai memperlihatkan tanda-tanda bahwa terjadi

peningkatan peredaran darah. Meskipun telah ada perubahan yang menimbulkan

gairah sex, namun hewan betina masih menolak pejantan karena tertarik oleh

perubahan tingkah laku tersebut. (Partodihardjo, 1992).

2.4.2 Estrus

Estrus adalah periode atau keadaan dimana ternak betina siap menerima

pejantan untuk mengawininya. Periode ini merupakan bagian dari suatu siklus

estrus (estrual cycle). Lama periode estrus berkisar antara 12-24 jam (Srigandono,

1996). Menurut Partodihardjo (1992), bahwa terdapat sedikit perbedaan antara

panjangnya satu siklus estrus pada sapi remaja dan sapi dewasa yang pernah

beranak. Sapi dara umumnya kembali menjadi estrus dengan waktu yang relative

singkat yaitu antara 18-22 hari dan untuk sapi dewasa 18-24 hari dengan lama

masa estrus secara normal yaitu 18-19 jam. Menurut Murtidjo (1990), bahwa

gejala sapi betina sedang estrus akan terlihat dari nafsu makannya berkurang, sapi

tampak tidak tenang, melenguh-lenguh, dari vagina keluar cairan warna putih

pekat, adakalanya vulva tampak membengkak dengan warna memerah, ekor

dikibaskibaskan atau selalu diatas.

Faktor-faktor yang mempengaruhi siklus estrus adalah umur, pakan, sistem

pemeliharaan dan lingkungan (Toelihere, 1981). Lama satu siklus estrus

merupakan proporsi lama kebuntingan yang penting dan bila satu siklus hilang

karena ketidakberhasilan pembuahan ini merupakan kerugian ekonomi pada


system produksi yang intensif dan hilangnya siklus kedua karena kegagalan dalam

mendeteksi dan menginseminasi kembali hewan yang tidak bunting juga dapat

merugikan dalam segi ekonomi (Hunter, 1981). Kelalaian dan kesibukan peternak

menyebabkan beberapa sapi yang estrus tidak dapat diamati secara cermat

(Hardjopranjoto, 1995).

Estrus pertama pada sapi asal Eropa (subtropis) dimulai pada umur 8-10

bulan. Sedangkan bangsa sapi tropis agak terlambat yakni umur 10-12 bulan baru

mengalami estrus. Pada saat mengalami dewasa kelamin, kedewasaan tubuh

mereka belum tercapai. Kedewasaan tubuh baru tercapai pada umur 15-20 bulan.

Sehingga untuk melakukan perkawinan pertama yang baik adalah pada umur 18

bulan. Hal ini disebabkan oleh lama bunting sapi berlangsung pada 280-285 hari.

Sehingga pada saat sapi itu melahirkan yang pertama kali telah berumur 27 bulan

(Sugeng, 2002).

2.4.3 Diestrus

Menurut Marawali dkk. (2001) diestrus adalah periode terakhir dan terlama

pada siklus berahi, corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron

terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada fase ini corpus luteum

berkembang dengan sempurna dan efek yang dihasilkan dari progesteron (hormon

yang dihasilkan oleh corpus luteum) tampak dengan jelas pada dinding uterus

(Salisbury dan Vandemark, 1985). Pada fase ini ovarium didominasi oleh korpus

luteum yang teraba dengan bentuk permukaan yang tidak rata, menonjol keluar

serta konsistensinya agak keras dari korpus luteum pada fase metestrus. Korpus
luteum ini tetap sampai hari ke 17 atau 18 dari siklus estrus. Uterus pada fase ini

dalam keadaan relak dan servix dalam kondisi mengalami kontriksi. Fase diestrus

biasanya diikuti pertumbuhan folikel pertama tapi akhirnya mengalami atresia

sedangkan pertumbuhan folikel kedua nantinya akan mengalami ovulasi

(Partodihardjo, 1992).

2.4.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berahi

2.4.4.1 Pakan

Pakan yang diberikan kepada sapi perah harus benar-benar

diperhatikan dan dihitung sesuai kondisi dan kebutuhan ternak tersebut.

Nutrisi yang terkandung di dalam ransum harus dalam keadaan seimbang

dan sesuai dengan kebutuhan. Apabila ternak mengalami kekurangan

asupan makanan akan berpengaruh terhadap penampilan gejala berahi

yang kurang jelas karena proses sintesa dan regulasi hormone-hormon

reproduksi terganggu. Kondisi peternakan yang masih menggunakan

system pemeliharaan tradisional dan di daerah yang kurang subur

mengakibatkan ternak mengalami kekurangan nutrisi yang sangat

diperlukan pleh proses fisiologi reproduksi dalam tubuh ternak tersebut

(Abidin, dkk., 2012). Menurut Partodihardjo (1992), bahwa karena

intensitas berahi dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi, maka

secara tidak langsung angka intensitas berahi (AIB) juga sangat

dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu sendiri.


2.4.4.2 Iklim

Menurut Payne dan Wilson (1999) unsur iklim paling

mempengaruhi reproduksi adalah suhu, kelembaban. Suhu udara sangat

berpengaruh terhadap sifat reproduksi misalnya pada sapi yang

dikandangkan dengan suhu udara 24-35o C, lama berahi kurang lebih 11

jam, sedangkan pada suhu udara 17-18o C lama berahi rata-rata 20 jam.

Dari hasil penelitian membuktikan bahwa sapi perah yang mempunyai

siklus berahi kurang dari 18 hari sebanyak 5%, 18-24 hari sebanyak 85%

dan yang lebih dari 24 hari sebanyak 10%. Ditambahkan Yousef (1985)

menyatakan bahwa cekaman panas akan memperpanjang siklus estrus dan

memperpendek periode estrus. Suhu lingkungan yang tinggi mungkn

secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan embrio

yang menyebabkan kematian atau merubah status hormonal induk. Panas

diketahui dapat menurunkan LH gonadotropin selama puncak preovulasi,

dimana puncak dan dapat menaikkan level plasma progesteron.

2.4.4.3 Hormonal

Hormon merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam proses

berahi. Pada betina organ ovari merupakan organ yang menghasilkan

hormon estrogen. Hormon estrogen dihasilkan oleh folikel ovarium, akan

mengalami penurunan setelah proses ovulasi terjadi, sampai dengan fase

proestrus, kemudian kembali lagi meningkat sampai terjadi ovulasi

berikutnya. Progesteron akan dihasilkan oleh korpus luteum, meningkat


sampai hari ke 7–17 siklus, kemudian terjadi penurunan pada fase

proestrus. Kelainan fungsi hormon dapat mengakibatkan infertilitas

(kemajiran sementara) dan sterilitas (kemajiran permanen). Kelainan

fungsi hormon pada betina antara lain ovari sistik (cyctic ovary), tidak

estrus (anestrus), ovari licin (hypofunction), kawin berulang (repeat

breeder) dan siklus berahi panjang. Pada dasarnya kelainan fungsi

hormonal ini disebabkan kelenjar endokrin mengalami gangguan.

Gangguan tersebut baik karena penyakit maupun gangguan sistem syaraf.

Selain itu tiap hormon tidak bekerja sendiri-sendiri melainkan bersama

baik secara antagonis maupun sinergistik. Ovari sistik umumnya penyebab

turunnya nilai fetilitas. Menurut Hopkin (1986), tidak adanya korpus

luteum pada siklus berahi sebelumnya menyebabkan konsentrasi

progesteron sangat rendah dalam darah saat ovulasi pertama setelah

melahirkan, hal ini menyebabkan ovarium kurang responsif terhadap

hormon yang dikeluarkan oleh hipofisa anterior. Oleh karena itu, pada

siklus berahi berikutnya menyebabkan silend heat (Hardjopranjoto, 1995).

2.5 Conception Rate (CR)

Conception Rate (CR) digunakan untuk menduga proporsi sapi betina yang

diduga bunting pada inseminasi pertama. Pendugaan ini berdasarkan diagnosis

rektal yang dilakukan pada 6 hingga 8 minggu setelah inseminasi. Angka

kebuntingan lebih rendah jika sapi betina dikawinkan kurang dari 60 hari setelah

melahirkan (Hafez, 1993). Terjadinya fertilisasi tidak dapat dipantau secara


langsung dengan situasi praktis, beberapa kriteria yang dapat dilakukan untuk

menentukan apakah sudah terjadi konsepsi atau belum. Indikator yang sering

digunakan peternak adalah siklus estrus pada ternak.

Angka konsepsi dipengaruhi oleh kualitas dan penanganan semen,

kesuburan betina, waktu perkawinan, deteksi estrus, dan teknik inseminasi

(Whittier and Steevens, 1993). CR juga dipengaruhi oleh kondisi ternak dan

deteksi estrus. Selain itu tinggi rendahnya nilai CR juga dipengaruhi oleh

pengelolaan reproduksi yang akan berpengaruh pada fertilitas ternak dan nilai

konsepsi (Nebel, 2002). Fiss and Wilton (1989) menyatakan bahwa sapi betina

persilangan memiliki conception rate yang lebih tinggi dari sapi betina bangsa

murni (purebred).

Nutrisi pakan yang diterima oleh sapi sebelum dan sesudah beranak juga

berpengaruh terhadap CR. Kekurangan nutrisi sebelum melahirkan dapat

menyebabkan tertundanya siklus estrus. Sapi betina yang dikawinkan 10 hari, 30

hari, 50 hari dan 70 hari setelah melahirkan akan memberikan nilai conception

rate masing-masing yaitu 33%, 33%, 58% dan 62% (Corah and Lusby, 2007).

Angka konsepsi akan lebih baik dari 50% apabila inseminasi dilakukan lebih dari

24 jam sebelum ovulasi sewaktu hewan dalam keadaan estrus sampai 6 jam

sesudah akhir estrus. Angka konsepsi pada sapi yang diinseminasi 10 jam sesudah

permulaan estrus adalah 82%, pada 20 jam sesudah permulaan estrus atau segera

sesudah estrus 62% dan pada 30 jam sesudah permulaan estrus angka konsepsi

menurun menjadi 28% (Toelihere, 1981). Partodihardjo (1992), menyatakan

bahwa angka konsepsi yang baik yaitu 60% atau lebih.


2.6 Service Per Conception (S/C)

Penilaian atau penghitungan jumlah pelayanan inseminasi (service) yang

dibutuhkan untuk seekor betina menjadi bunting digunakan untuk

membandingkan efisiensi relatif dari proses reproduksi diantara individu sapi

betina yang subur. Nilai S/C normal berkisar antara 1,6 – 2,0 (Toelihere, 1981).

Menurut Astuti (2004), semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi tingkat

fertilitasnya, sebaliknya semakin tinggi nilai S/C akan semakin rendah tingkat

fertilitasnya. Penyebab tingginya angka S/C adalah 1) petani terlambat mendeteksi

saat estrus atau terlambat melaporkan estrus sapinya kepada petugas inseminator,

2) adanya kelainan pada alat reproduksi induk sapi, 3) inseminator kurang

terampil, 4) fasilitas pelayanan inseminasi terbatas, dan 5) kurang lancarnya

transportasi (Hadi dan Ilham, 2002). S/C dipengaruhi oleh banyak faktor

diantaranya fertilitas betina, fertilitas pejantan, faktor lingkungan dan inseminator.

Fertilitas betina dapat dilihat dari adanya kebuntingan, kondisi saluran reproduksi,

pakan yang diberikan, perubahan kondisi tubuh dari kelahiran sampai perkawinan

kembali, umur dan bangsa (Nebel, 2002).

Partodihardjo (1992), menyatakan bahwa sapi dara pada saat pubertas

memerlukan 2-3 kali perkawinan dengan IB untuk memperoleh kebuntingan,

sedangkan untuk sapi dewasa hanya memerlukan satu sampai dua kali

perkawinan. Menurut Salisbury dan Vandemark (1978), S/C yang rendah

merupakan factor ekonomis yang sangat baik dalam perkawinan.


2.7 Lama Waktu Kosong (Days Open)

Days open atau interval beranak hingga bunting kembali merupakan status

yang menggambarkan efisiensi deteksi estrus dan fertilitas ternak jantan maupun

betina. Days open adalah rentang waktu yang terdiri dari anestrus, postpartum

dan service periode. Besarnya days open dipengaruhi oleh nutrisi, musim,

produksi susu dan paritas (Anonimus, 2007b). Vandeplassche (1982) menyatakan

bahwa days open melebihi 90 hari adalah kurang efisien sebab akan

mengakibatkan keuntungan yang diperoleh peternak menjadi rendah. Winugroho

(2002) menambahkan bahwa agar setiap induk dapat partus setiap tahun, maka

ternak tersebut harus bunting dalam 90 hari ”post partum”. Interval antara

melahirkan dan munculnya estrus kembali setelah melahirkan (postpartum

anestrus period) mempunyai kontribusi besar yang menentukan jarak kelahiran

tersebut. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tertundanya estrus pada sapi,

antara lain; menyusui, makanan dan kondisi tubuh (Pitters and Ball, 1987).

Menurut Bearden and Fuquay (1980), nilai anestrus post partum berada pada

batasan optimal yaitu pada kisaran 60 – 80 hari. Menurut pendapat Anderson,

Burris, Johns and Bullock (1994), jarak bunting kembali untuk meningkatkan

efisiensi reproduksi harus 80-85 hari setelah beranak, tetapi menurut hasil

penelitian yang pernah dilaporkan menunjukkan bahwa PPI (Post Partum

Interval) terjadi pada 30 sampai 170 hari.

Penyebab kegagalan sapi bunting antara lain disebabkan karena deteksi

estrus yang dilakukan peternak tidak tepat, umumnya akibat pengetahuan

peternak masih kurang sedangkan faktor kegagalan sapi bunting lainnya antara
lain dari usia sapi awal kawin (sapi dara), kecukupan gizi sapi betina, kemampuan

petugas IB atau inseminator dan kualitas bibit jantan. Days open dapat

diperpendek dengan meningkatkan efisiensi deteksi estrus sehingga sapi betina

dapat dikawinkan pada 85 hari setelah melahirkan (Hafez, 1993). Meikle, Kulcsar,

Chilliard, Febel, Delavaud, Cavestany and Chilibroste (2004) menyatakan bahwa

paritas berpengaruh terhadap days open.

Sapi betina pada paritas 1 menunjukkan days open yang lebih panjang dari

sapi betina pada paritas 2 yaitu 146 hari dan 109 hari. Menurut Goshu, Belihu and

Berihun (2007), menyatakan bahwa days open akan semakin pendek seiring

dengan bertambahnya paritas. Hafez dan Jainudeen (1993) menyatakan bahwa

faktor lain yang berpengaruh terhadap panjangnya DO adalah peran inseminator,

penanganan semen dan ketepatan waktu inseminasi.

2.8 Calving Interval (CI)

Calving Interval (CI) adalah suatu periode antara kelahiran yang satu

dengan kelahiran berikutnya yang diukur dalam bulan. Calving interval adalah

karakter yang paling penting untuk menilai produktivitas sapi potong dan

merupakan indeks terbaik untuk mengevaluasi efisiensi reproduksi pada ternak di

lapangan. Untuk mempertahankan calving interval 12 bulan pada sekelompok

ternak, kurang lebih 90% sapi harus menunjukkan estrus post partum dalam 6 hari

sampai 85 hari setelah melahirkan (Wijanarko, 2010).

Menurut Osterman (2003) dari 72 sapi yang dipelihara secara konvensional

memiliki lama CI 12 bulan sampai 18 bulan. Nilai CI yang normal adalah 12


bulan. Morison et al., (2008) menambahkan reproduksi merupakan komponen

utama dalam pembiakan sapi maka dari itu diperlukan asupan nutrisi yang cukup

sebagai cadangan energi agar interval kelahiran dan birahi pertama tidak panjang.

Jarak beranak terpendek pada sapi PO adalah 13,75 bulan dan terpanjang

adalah 20,30 bulan sedangkan birahi “post partum” setelah beranak tercepat

sebesar 97,80 hari dan paling lambat 309,00 hari (Astuti,2004). Jarak beranak

yang lama merupakan kendala inefisiensi produktivitas sapi potong di Indonesia.

Penyebab utamannya adalah keterlambatan estrus pertama Post Partum.

2.9 Fertilitas

Status Fertilitas merupakan suatu rumus yang berguna untuk menentukan

tingkat kesuburan suatu populasi yang dinyatakan dalam angka. Fertilitas tidak

dapat diukur dalam satuan seperti meter dan liter namun diukur dalam berbagai

parameter yang saling berhubungan (Mattheij et al., 1982).

Menurut Kruiif (1975) yang dikutip Mattheij et al., (1982) menganjurkan

penggunaan rumus Fertility Status (FS) hanya berdasarakan tiga variable saja

yaitu tingkat kebuntingan pada perkawinan yang pertama (CR), jumlah

perkawinan per kebuntingan (S/C), serta jarak lama waktu kosong (DO).

Mattheij et al., (1982) menyatakan nilai normal FS adalah 60. Makin tinggi

nilai FS maka makin bagus kemampuan reproduksi pada ternak sebaliknya makin

rendah nilai FS maka semakin rendah pula kemampuan reproduksi pada ternak.

Fertilitas pada sapi betina juga dapat dilihat dari adanya kebuntingan, kondisi
saluran reproduksi, pakan yang diberikan, perubahan kondisi tubuh dari kelahiran

sampai perkawinan kembali, umur dan bangsa (Nebel, 2002).

Salah satu penyebab gangguan reproduksi yang menyebabkan rendahnya

fertilitas adalah adanya gangguan fungsional (organ reproduksi tidak berfungsi

dengan baik). Infertilitas bentuk fungsional ini disebabkan oleh adanya

abnormalitas hormonal. Contoh kasus gangguan fungsional diantaranya : kista

ovarium, subestrus, dan ovulasi tertunda (Afandy dkk., 2007).

2.9.1 Status Fertilitas

Fertilitas adalah derajat kemampuan bereproduksi baik pada ternak jantan

maupun betina (Srigandono, 1995). Status Fertilitas merupakan suatu rumus yang

berguna dalam menentukan tingkat fertilitas suatu populasi yang dinyatakan

dalam suatu angka. Fertilitas tidak dapat diukur dalam meter dan liter. Namun

harus diukur dalam berbagai parameter yang saling berhubungan Fertilitas

dikatakan baik apabila diperoleh angka 78-92, nilai S/C 1,3-1,6 kali, nilai CR 62

persen dan rata-rata panjang DO sebesar 80-85 hari (Gurnadi, 1988).

Penggunaan Status Fertilitas (FS) hanya berdasarkan tiga variabel saja

yaitu tingkat kebuntingan pada perkawinan yang pertama, jumlah kawin per

kebuntingan dan jarak rata-rata lama kosong dengan rumus sebagai berikut :

FS = CR - (DO – 125)

S/C

(Brand de Kruiif, 1975 dikutip Matheij, 1982)


2.9.2 Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas

Faktor yang berperan dalam menentukan tingkat fertilitas induk sapi perah

yaitu bangsa, umur, musim, perkandangan, pakan, ketrampilan pengelola dan

pengendalian penyakit.

1. Bangsa

Pane (1993), menyatakan bahwa sapi Bali merupakan ternak yang sangat

subur. Sapi Bali hanya membutuhkan 1,2 kali pelayanan untuk

menghasilkan satu kebuntingan.

2. Umur

Pada induk yang sudah tua, kondisi alat reproduksinya sudah menurun

diakibatkan kelenjar hipofisa anterior yang bertanggung jawab terhadap

fungsi alat kelamin sudah menurun. Sebaliknya alat kelamin hewan yang

masih muda, belum mampu sepenuhnya untuk menerima embrio sehingga

proses implantasi juga terganggu, sehingga dapat diikuti kematian embrio

dan terjadi kawin berulang (Hardjopranjoto, 1985).

3. Musim

Musim dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung

terhadap siklus estrus. Pada musim panas di daerah tropis seperti Indonesia

yang curah hujannya rendah, menyebabkan kualitas hiijauan pakan menjadi

sangat rendah. Pemberian pakan dengan kualitas rendah maka proses

reproduksi dari ternak akan terganggu. Hal ini disebabkan terjadi

ketidakseimbangan atau ketidaklancaran produksi dan pelepasan hormon

(Anonimous, 2007b).
4. Perkandangan

Kandang yang sempit akan menyebabkan induk ternak berdesak-desakan,

ventilasi kurang akan menyebabkan pergerakan udara tidak lancar sehingga

udara didalam kandang menjadi panas apalagi disertai sanitasi yang kurang

baik dapat menyebabkan timbulnya kasus anestrus (Hardjopranjoto, 1995).

5. Pakan

Pakan merupakan faktor yang penting, tanpa pakan yang baik dengan

jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akan kurang

dapat memperlihatkan keunggulannya. Agar proses reproduksi berjalan

dengan normal, diperlukan ransum pakan yang memenuhi kebutuhan baik

untuk pertumbuhan maupun untuk reproduksi. Ransum pakan disebut

berkualitas baik dan lengkap bila didalamnya mengandung karbohidrat dan

lemak sebagai sumber energi, protein sebagai zat pembangun tubuh, mineral

dan vitamin sebagai zat pelengkap untuk pertumbuhan badan. Kekurangan

salah satu zat makanan diatas dapat mendorong terjadinya gangguan

reproduksi (Hardjopranjoto, 1995).

6. Ketrampilan Pengelola

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fertilitas dan produktivitas

ternak adalah peternak sebagai pengelola dan inseminator sebagai petugas

kesehatan. Peternak sebagai pengelola harus menghindari kesalahan-

kesalahan tatalaksana yang dapat menimbulkan kegagalan reproduksi antara

lain :

a. Kegagalan mendeteksi estrus serta kegagalan melaporkan dan

mengawinkan sapi betina pada saat yang tepat.


b. Terlalu cepat mengawinkan kembali setelah partus

c. Kegagalan memeriksa kebuntingan sebelum sapi disingkirkan karena

alasan majir

d. Kealpaan melaporkan kepada dokter hewan apabila ada tanda-tanda

ketidakberesan reproduksi

e. Sering mengganti pejantan jka seekor betina tidak langsung menjadi

bunting pada perkawinan pertama atau kedua (Toeliehere, 1981).

7. Pengendalian Penyakit

Pengendalian penyakit sangat diperlukan, karena akan menurunkan

produktivitas ternak, terutama penyakit yang dapat menimbulkan gangguan

reproduksi. Penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi dapat

disebabkan oleh berbagai mikroorganisme antara lain :

a. Bakteri (Brucellosis, Vibriosis, Leptospirosis)

b. Virus (Bovine Viral Diarrehea atau BVD)

c. Infeksi Protozoa (Trichomoniasis)

d. Infeksi Jamur (Aspergillosis) (Pane, 1993 ; Hardjopranjoto, 1995).

Anda mungkin juga menyukai