TINJAUAN PUSTAKA
memiliki letak geografisnya yaitu pada 112o53' – 113o23' Bujur Timur dan 7o54' –
Lumajang adalah 1790,90 km2 atau 3,74% dari luas Propinsi Jawa Timur. Luas
tersebut terbagi dalam 21 Kecamatan yang meliputi 197 Desa dan 7 kelurahan.
Kabupaten Lumajang termasuk dalam dataran yang subur karena diapit oleh
Iklim adalah keadaan cuaca pada suatu tempat pada periode yang panjang.
angin dan tekanan udara diamati sifatnya selama selang waktu yang panjang (30
hutan rimba, daun gugur pada musim kemarau seperti pada Kecamatan Gucialit,
Lumajang, Padang, Jatiroto, Sumbersuko. Tipe iklim E yaitu iklim yang bersifat
agak kering pada kecamatan Tekung, Kunir, Yosowilangun. Perbedaan iklim yang
menunjang ekonomi daerah meskipun populasi kalah dengan kambing, tetapi hasil
tidak kalah dengan hewan ternak lainnya. Penampungan hasil sapi perah
mendistributorkan hasil sapi perahnya yaitu di KUD Tani Makmur. KUD Tani
setiap musim panas. Lingkup usaha mencakup perkebunan, pertanian dan ternak
sapi perah. Hal ini membuat petani dan peternak dapat dengan mudah menjual
merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam tipe iklim C dengan jenis
vegetasinya adalah hutan dan jenis tanaman yang mampu menggugurkan daunnya
dimusim kemarau menurut Schmidt-Fergoson. Iklim tersebut sesuai dengan
daerah perkembngan sapi perah yaitu pada daerah sejuk sampai dingin.
2.2 Sapi
Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga
kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu, dan 85% kebutuhan kulit. Sapi
berasal dari famili Bovidae, seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus),
Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada
dua, yaitu kelompok sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk, yang
berasal dan tersebar di daerah tropis serta kelompok Bos prigmigenius atau sapi
tanpa punuk, yang tersebar di daerah sub tropis atau dikenal dengan Bos taurus.
2.2.1 Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Subfamili : Bovinae
Genus : Bos
dkk. (2007), sapi Fries Holland mempunyai masa laktasi panjang dan produksi
susu tinggi, serta persistensi produksi susu yang baik. Selain itu sapi perah FH
juga merupakan jenis sapi perah yang cocok untuk daerah Indonesia. Namun
demikian produksi susu per ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif
rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya (Atabany dkk,
2008).
Sapi Fries Holland atau FH, di Amerika Serikat disebut Friesian Holstein
atau disingkat Holstein. Sedangkan di Europa disebut Friesian. Bobot badan sapi
betina dewasa yang ideal adalah 628 kg, sedangkan yang jantan dewasa bobotnya
1000 kg. Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi,
dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya, dengan kadar lemak susu yang
rendah. Produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7245 kg/laktasi dan kadar
lemak 3,65%, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor
dan putih atau merah dan putih dengan batas-batas warna yang jelas. Sapi FH baik
warnalemak daging putih, sehingga baik sekali untuk produksi veal (daging anak
sapi). Sapi FH termasuk masak kelamin lambat, tidak seperti sapi-sapi bangsa
Bangsa sapi FH terbentuk dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) typicus
primigenius yang ditemukan di negeri Belanda sekitar 2000 tahun yang lalu.
Negeri Belanda terkenal dengan tanahnya yang subur dan banyak sehingga
menghasilkan pasutra yang sangat baik. Sapi FH dapat merumput dengan baik
pada padang rumput yang baik, artinya bangsa sapi ini memerlukan rumput yang
baik saja, jadi tidak seperti bangsa-bangsa sapi Ayshire dan Brown Swiss. Pada
musim dingin di negeri Belanda udara lebih dingin, sehingga sapi FH harus
dikandangkan, dan karena itu sapi FH sifatnya menjadi jinak. Disamping itu kerap
kali sapi betina yang laktasi diperah sambil merumput di pasutra. Ketika bangsa
sapi FH dibentuk, seleksi dilakukan terhadap produksi susu yang akan dijadikan
keju. Pada pembuatan keju membutuhkan sapi yang produksi susnya banyak,
sehingga akibat terbentuk sapi perah yang diutamakan produksi susunya tinggi
dengan kadar lemak rendah. Sapi FH memiliki komposisi susu: Air 88.01%,
Protein 3.15%, Lemak 3.45%, Laktosa 4.65%, Abu 0.68%, Bahan Kering
11.93%.(Sudono, 1999).
2.3 Sistem Reproduksi
berdasarkan dari produksi susu rata-rata per ekor per hari, yang dimaksimumkan
oleh suatu interval kelahiran 12 bulan, masa kering 60 hari, masa kosong 100-110
hari serta interval antara partus dan konsepsi berikutnya 60-85 hari. Angka
berkontinuitas dari hewan ternak pada setiap tahunnya dapat memberikan dampak
yang baik bagi jalannya usaha. Dalam beberapa kasus pengafkiran ternak,
kebanyakan adalah karena alasan produksi yang rendah dari seekor sapi, sebagian
besar dari hal ini disebabkan karena adanya kegagalan reproduksi sapi yang
bersangkutan.
kelahiran, dan kembali birahi setelah melahirkan. Suklus birahi adalah waktu
sepanjang tahun (Toelihere, 1985). Menurut Ismudiono (1996) siklus birahi dapat
tampak atau tidak tampak dari luar tubuh selama siklus birahi yaitu proestrus,
dari umur, berat badan, kondisi tubuh, dan musim kawin (Wodzicka dkk, 1991).
Siklus berahi adalah jarak antara berahi yang satu sampai pada berahi
berikutnya, sedangkan berahi itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia
menerima pejantan untuk kopulasi. Siklus berahi pada setiap hewan berbeda
antara satu sama lain tergantung dari bangsa, umur, dan spesies. Siklus berahi
pada sapi dewasa berkisar antara 18 sampai 24 hari sedangkan panjang siklus
birahi pada sapi dara sekitar 20 hari. Siklus estrus terdiri dari empat fase yaitu :
2.4.1 Proestrus
semakin bertambah (Baker dalam Ternouth, 1983). Fase ini hanya berlangsung
perubahan pada alat kelamin bagian luar. Tingkah laku betina menjadi sedikit
gelisah, memperdengarkan suara-suara yang biasa terdengar atau malah diam saja.
gairah sex, namun hewan betina masih menolak pejantan karena tertarik oleh
2.4.2 Estrus
Estrus adalah periode atau keadaan dimana ternak betina siap menerima
pejantan untuk mengawininya. Periode ini merupakan bagian dari suatu siklus
estrus (estrual cycle). Lama periode estrus berkisar antara 12-24 jam (Srigandono,
panjangnya satu siklus estrus pada sapi remaja dan sapi dewasa yang pernah
beranak. Sapi dara umumnya kembali menjadi estrus dengan waktu yang relative
singkat yaitu antara 18-22 hari dan untuk sapi dewasa 18-24 hari dengan lama
masa estrus secara normal yaitu 18-19 jam. Menurut Murtidjo (1990), bahwa
gejala sapi betina sedang estrus akan terlihat dari nafsu makannya berkurang, sapi
tampak tidak tenang, melenguh-lenguh, dari vagina keluar cairan warna putih
merupakan proporsi lama kebuntingan yang penting dan bila satu siklus hilang
mendeteksi dan menginseminasi kembali hewan yang tidak bunting juga dapat
merugikan dalam segi ekonomi (Hunter, 1981). Kelalaian dan kesibukan peternak
menyebabkan beberapa sapi yang estrus tidak dapat diamati secara cermat
(Hardjopranjoto, 1995).
Estrus pertama pada sapi asal Eropa (subtropis) dimulai pada umur 8-10
bulan. Sedangkan bangsa sapi tropis agak terlambat yakni umur 10-12 bulan baru
mereka belum tercapai. Kedewasaan tubuh baru tercapai pada umur 15-20 bulan.
Sehingga untuk melakukan perkawinan pertama yang baik adalah pada umur 18
bulan. Hal ini disebabkan oleh lama bunting sapi berlangsung pada 280-285 hari.
Sehingga pada saat sapi itu melahirkan yang pertama kali telah berumur 27 bulan
(Sugeng, 2002).
2.4.3 Diestrus
Menurut Marawali dkk. (2001) diestrus adalah periode terakhir dan terlama
pada siklus berahi, corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron
terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada fase ini corpus luteum
berkembang dengan sempurna dan efek yang dihasilkan dari progesteron (hormon
yang dihasilkan oleh corpus luteum) tampak dengan jelas pada dinding uterus
(Salisbury dan Vandemark, 1985). Pada fase ini ovarium didominasi oleh korpus
luteum yang teraba dengan bentuk permukaan yang tidak rata, menonjol keluar
serta konsistensinya agak keras dari korpus luteum pada fase metestrus. Korpus
luteum ini tetap sampai hari ke 17 atau 18 dari siklus estrus. Uterus pada fase ini
dalam keadaan relak dan servix dalam kondisi mengalami kontriksi. Fase diestrus
(Partodihardjo, 1992).
2.4.4.1 Pakan
jam, sedangkan pada suhu udara 17-18o C lama berahi rata-rata 20 jam.
siklus berahi kurang dari 18 hari sebanyak 5%, 18-24 hari sebanyak 85%
dan yang lebih dari 24 hari sebanyak 10%. Ditambahkan Yousef (1985)
2.4.4.3 Hormonal
fungsi hormon pada betina antara lain ovari sistik (cyctic ovary), tidak
hormon yang dikeluarkan oleh hipofisa anterior. Oleh karena itu, pada
Conception Rate (CR) digunakan untuk menduga proporsi sapi betina yang
kebuntingan lebih rendah jika sapi betina dikawinkan kurang dari 60 hari setelah
menentukan apakah sudah terjadi konsepsi atau belum. Indikator yang sering
(Whittier and Steevens, 1993). CR juga dipengaruhi oleh kondisi ternak dan
deteksi estrus. Selain itu tinggi rendahnya nilai CR juga dipengaruhi oleh
pengelolaan reproduksi yang akan berpengaruh pada fertilitas ternak dan nilai
konsepsi (Nebel, 2002). Fiss and Wilton (1989) menyatakan bahwa sapi betina
persilangan memiliki conception rate yang lebih tinggi dari sapi betina bangsa
murni (purebred).
Nutrisi pakan yang diterima oleh sapi sebelum dan sesudah beranak juga
hari, 50 hari dan 70 hari setelah melahirkan akan memberikan nilai conception
rate masing-masing yaitu 33%, 33%, 58% dan 62% (Corah and Lusby, 2007).
Angka konsepsi akan lebih baik dari 50% apabila inseminasi dilakukan lebih dari
24 jam sebelum ovulasi sewaktu hewan dalam keadaan estrus sampai 6 jam
sesudah akhir estrus. Angka konsepsi pada sapi yang diinseminasi 10 jam sesudah
permulaan estrus adalah 82%, pada 20 jam sesudah permulaan estrus atau segera
sesudah estrus 62% dan pada 30 jam sesudah permulaan estrus angka konsepsi
betina yang subur. Nilai S/C normal berkisar antara 1,6 – 2,0 (Toelihere, 1981).
Menurut Astuti (2004), semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi tingkat
fertilitasnya, sebaliknya semakin tinggi nilai S/C akan semakin rendah tingkat
saat estrus atau terlambat melaporkan estrus sapinya kepada petugas inseminator,
transportasi (Hadi dan Ilham, 2002). S/C dipengaruhi oleh banyak faktor
Fertilitas betina dapat dilihat dari adanya kebuntingan, kondisi saluran reproduksi,
pakan yang diberikan, perubahan kondisi tubuh dari kelahiran sampai perkawinan
sedangkan untuk sapi dewasa hanya memerlukan satu sampai dua kali
Days open atau interval beranak hingga bunting kembali merupakan status
yang menggambarkan efisiensi deteksi estrus dan fertilitas ternak jantan maupun
betina. Days open adalah rentang waktu yang terdiri dari anestrus, postpartum
dan service periode. Besarnya days open dipengaruhi oleh nutrisi, musim,
bahwa days open melebihi 90 hari adalah kurang efisien sebab akan
(2002) menambahkan bahwa agar setiap induk dapat partus setiap tahun, maka
ternak tersebut harus bunting dalam 90 hari ”post partum”. Interval antara
tersebut. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tertundanya estrus pada sapi,
antara lain; menyusui, makanan dan kondisi tubuh (Pitters and Ball, 1987).
Menurut Bearden and Fuquay (1980), nilai anestrus post partum berada pada
Burris, Johns and Bullock (1994), jarak bunting kembali untuk meningkatkan
efisiensi reproduksi harus 80-85 hari setelah beranak, tetapi menurut hasil
peternak masih kurang sedangkan faktor kegagalan sapi bunting lainnya antara
lain dari usia sapi awal kawin (sapi dara), kecukupan gizi sapi betina, kemampuan
petugas IB atau inseminator dan kualitas bibit jantan. Days open dapat
dapat dikawinkan pada 85 hari setelah melahirkan (Hafez, 1993). Meikle, Kulcsar,
Sapi betina pada paritas 1 menunjukkan days open yang lebih panjang dari
sapi betina pada paritas 2 yaitu 146 hari dan 109 hari. Menurut Goshu, Belihu and
Berihun (2007), menyatakan bahwa days open akan semakin pendek seiring
Calving Interval (CI) adalah suatu periode antara kelahiran yang satu
dengan kelahiran berikutnya yang diukur dalam bulan. Calving interval adalah
karakter yang paling penting untuk menilai produktivitas sapi potong dan
ternak, kurang lebih 90% sapi harus menunjukkan estrus post partum dalam 6 hari
utama dalam pembiakan sapi maka dari itu diperlukan asupan nutrisi yang cukup
sebagai cadangan energi agar interval kelahiran dan birahi pertama tidak panjang.
Jarak beranak terpendek pada sapi PO adalah 13,75 bulan dan terpanjang
adalah 20,30 bulan sedangkan birahi “post partum” setelah beranak tercepat
sebesar 97,80 hari dan paling lambat 309,00 hari (Astuti,2004). Jarak beranak
2.9 Fertilitas
tingkat kesuburan suatu populasi yang dinyatakan dalam angka. Fertilitas tidak
dapat diukur dalam satuan seperti meter dan liter namun diukur dalam berbagai
penggunaan rumus Fertility Status (FS) hanya berdasarakan tiga variable saja
perkawinan per kebuntingan (S/C), serta jarak lama waktu kosong (DO).
Mattheij et al., (1982) menyatakan nilai normal FS adalah 60. Makin tinggi
nilai FS maka makin bagus kemampuan reproduksi pada ternak sebaliknya makin
rendah nilai FS maka semakin rendah pula kemampuan reproduksi pada ternak.
Fertilitas pada sapi betina juga dapat dilihat dari adanya kebuntingan, kondisi
saluran reproduksi, pakan yang diberikan, perubahan kondisi tubuh dari kelahiran
maupun betina (Srigandono, 1995). Status Fertilitas merupakan suatu rumus yang
dalam suatu angka. Fertilitas tidak dapat diukur dalam meter dan liter. Namun
dikatakan baik apabila diperoleh angka 78-92, nilai S/C 1,3-1,6 kali, nilai CR 62
yaitu tingkat kebuntingan pada perkawinan yang pertama, jumlah kawin per
kebuntingan dan jarak rata-rata lama kosong dengan rumus sebagai berikut :
FS = CR - (DO – 125)
S/C
Faktor yang berperan dalam menentukan tingkat fertilitas induk sapi perah
pengendalian penyakit.
1. Bangsa
Pane (1993), menyatakan bahwa sapi Bali merupakan ternak yang sangat
2. Umur
Pada induk yang sudah tua, kondisi alat reproduksinya sudah menurun
fungsi alat kelamin sudah menurun. Sebaliknya alat kelamin hewan yang
3. Musim
terhadap siklus estrus. Pada musim panas di daerah tropis seperti Indonesia
(Anonimous, 2007b).
4. Perkandangan
udara didalam kandang menjadi panas apalagi disertai sanitasi yang kurang
5. Pakan
Pakan merupakan faktor yang penting, tanpa pakan yang baik dengan
jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akan kurang
lemak sebagai sumber energi, protein sebagai zat pembangun tubuh, mineral
6. Ketrampilan Pengelola
lain :
alasan majir
ketidakberesan reproduksi
7. Pengendalian Penyakit