Anda di halaman 1dari 27

1.

a. Sebutkan Undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas UU PT yang saat


ini berlaku di Indonesia!
Undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas UU PT adalah Undang-
Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
telah mencabut peraturan lama yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587).
b. Siapakah yang berwenang mengesahkan Akta Pendirian PT!
Para pendiri dan Direksi harus mendapatkan pengesahan atas akta pendirian Perusahaan
dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Perundang-undangan).
Sebelumnya, Agar suatu PT dapat menjalankan fungsinya sebagai rechtpersoon, ada
beberapa persyaratan yang harus dipenuhinya.
Pertama, para pendiri harus mendirikan PT berdasarkan akta pendirian PT yang dibuat
dihadapan notaris, akta mana mencakup pula anggaran dasar dari PT yang bersangkutan.
Kedua, para pendiri dan Direksi harus mendapatkan pengesahan atas akta pendirian
tersebut dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Perundang-undangan).
Ketiga, setelah mendapat surat pengesahan dari menteri kehakiman, Direksi
mendaftarkan PT (beserta Akta Pendirian) tersebut dalam Daftar Perusahaan pada Kantor
Pendaftaran Perusahaan dimana PT tersebut berdomisili untuk mendapatkan Tanda
Daftar Perusahaan, dan mengumumkan Akta Pendirian dalam Tambahan Berita Negara.

Akta Pendirian PT disahkan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan karena hal
ini berkaitan erat dengan fungsi dari pemerintah, dalam hal ini dilakukan oleh Menteri
Hukum dan Perundang-undangan, untuk mengadakan pengawasan (preventif). Setelah
mengadakan pemeriksaan yang seksama terhadap akta pendirian dan anggaran dasar PT,
apakah pendirian PT tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku atau tidak,
sehingga Menteri Hukum dan Perundang-undangan selanjutnya akan mengeluarkan surat
pengesahan.

c. Sebutkan organ Tertinggi Perseroan

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas


(“UU PT”), Perseroan Terbatas memiliki 3 (tiga) organ penting , yaitu Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Ketiga organ ini mempunyai
fungsi dan kewenangannya masing-masing, berikut penjabarannya:

1. RUPS. RUPS adalah organ Perseroan Terbatas yang memiliki kewenangan eksklusif
yang tidak diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. Menurut Pasal 1 angka 4 UU
PT, RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-
Undang ini dan/atau anggaran dasar. RUPS mempunyai kewenangan untuk ;
- Mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan forum yang terdapat dalam UU
PT.
- Mengubah anggaran dasar sesuai dengan ketentuan forum yang terdapat dalam
UU PT.
- Menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan,
pengajuan permohonan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya dan
pembubaran Perseroan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU PT.
2. Direksi

Direksi mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan perseroan sesuai
dengan tujuan dan maksud di dirikannya perseroan. Direksi yang diangkat oleh
perusahaan tidak harus memiliki kewarganegaraan Indonesia tetapi juga dapat memiliki
kewarganegaraan asing. UU PT sendiri tidak mengatur mengenai ketentuan warga negara
apa yang dapat menduduki jabatan direktur.
Namun, dalam Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa “Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi
personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu”, sehingga dapat diartikan jika tenaga kerja
asing boleh menjadi direktur suatu perusahaan kecuali untuk jabatan yang mengurusi atau
berhubungan secara langsung dengan kepegawaian atau personalia seperti Direktur HRD.
Direksi mempunyai kewenangan untuk menjalan pengurusan perusahaan dengan
kebijakan yang dipandang tepat dan dengan batas yang ditentukan oleh Undang-Undang
dan/atau anggaran dasar. Selain itu, direksi mempunyai kewajiban untuk;

a. Membuat daftar pemegang saham, daftar khusus, risalah RUPS dan risalah rapat
direksi
b. Membuat laporan tahunan untuk disampaikan kepada RUPS.
c. Memelihara seluruh daftar, risalah dan dokumen keuangan Perseroan diatas dan
dokumen Perseroan lainnya.

3. Komisaris

Komisaris mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan atas kebijakan pengursan, jalannya
pengurusan pada umumnya kepada Perseroan ataupun usaha Perseroan kepada Direksi.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 108 UU PT. Komisaris yang melakukan pengawasan
mempunyai beban tanggung jawab yang sama dengan Direksi. Kewajiban mengenai tugas
komisaris terdapat dalam Pasal 116 UU PT;

a. Membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya


b. Melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada
Perseroan dan Perseroan lain
c. Memberikan laporan tentang tugas pengawsan yang telah dilakukan selama tahun buku yang
baru lampau kepada RUPS.

Dampak apabila salah satu organ ini tidak ada maka PT tidak dapat di dirikan atau harus terjadi
perubahan anggaran dasar dikarenakan dalam UU PT telah disebutkan bahwa organ perseroan
adalah RUPS, Direksi dan Dewan Komisaris.

d. Siapakah pemegang kekuasaan tertinggi daiam PT


RUPS, karena RUPS adalah organ Perseroan Terbatas yang memiliki kewenangan eksklusif
yang tidak diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. Menurut Pasal 1 angka 4 UU PT,
RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi
atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar. RUPS mempunyai kewenangan untuk ;

Mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan forum yang terdapat dalam UU PT, Mengubah
anggaran dasar sesuai dengan ketentuan forum yang terdapat dalam UU PT dan Menyetujui
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan pailit,
perpanjangan jangka waktu berdirinya dan pembubaran Perseroan sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam UU PT

2.
a. Apakah yang dimaksud azas Konsensuaiisme dan Azas Kebebasan Berkontrak daiam
KUHPerdata?

Dalam hukum perjanjian terdapat suatu asas yang bernama ‘asas konsensualisme’. Kata
‘konsensualisme’ berasal dari bahasa latin, ‘consensus’, yang berarti ‘sepakat’. Asas
konsensualisme merupakan kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian. Dengan kata lain, suatu perjanjian telah dianggap sah dan mengikat kedua belah
setelah adanya kata sepakat, tanpa adanya formalitas. Pada umumnya suatu perjanjian yang
dibuat di masyarakat bersifat ‘konsensuil’, dalam artian perjanjian dianggap sah dan
mengikat apabila tercapainya kesepakatan mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang
diperjanjikan. Contoh perjanjian konsensuil ini misalnya: jual beli, tukar menukar dan sewa
menyewa. Dalam jual beli, perjanjian timbul dengan segala konsekuensinya jika penjual dan
pembeli menyepakati untuk melakukan suatu transaksi.

Dalam hukum positif, asas konsensualisme mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata khususnya Pasal 1320 yang mengatur: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat
perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

Azas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan
(H.S. Salim. 2006,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan Ketiga.
Sinar Grafika. Jakarta)

Salah satu asas hukum yang dianut dalam hukum perjanjian adalah “asas kebebasan
berkontrak”, yang berarti setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang
memuat syarat-syarat perjanjian macam apapun, sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah
dan beritikad baik, serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pemahaman
terhadap asas ini membawa pengertian bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk
mengikatkan dirinya pada orang lain. Asas ini mengasumsikan ada posisi tawar yang
seimbang diantara para pembuat kontrak. Asas kebebasan berkontrak ini diakui dalam hukum
perjanjian di Indonesia, sehingga hukum perjanjian di indonesia menganut sistem terbuka.

KUH Perdata mengatur bahwa perjanjian dianggap sah dan mengikat jika telah dicapainya
kesepakatan antar para pihak. Meski demikian, terdapat pengecualian atas asas
konsensualisme, yaitu perjanjian dianggap sah dan mengikat jika dilakukan secara formil
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan menurut undang-undang sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya. Perjanjian yang dilakukan secara formal dinamakan dengan
perjanjian formil, yang mana tentunya kesepakatan para pihak harus berdasarkan persetujuan
dan tanpa ada unsur paksaan atau penipuan. Apabila terdapat unsur paksaan atau penipuan,
maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Hal ini sejalan dengan Pasal 1321 KUH Perdata
yang mengatur bahwa ‘tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena
kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.’

b. Sebutkan syarat sahnya pembuatan pe{anjian dan sebutkan pasai vans mengaturnva ciaiam
KLIH Perdata!

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang dikenal dengan “syarat
sahnya perjanjian” sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, sebagai berikut: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3.
Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek
yang membuat perjanjian itu.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan
objek dalam perjanjian tersebut.
Syarat Pertama “Sepakat mereka yang mengikat kandiri” berarti, para pihak yang membuat
perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang diperjanjikan,
dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal
1321 KUH Perdata). Misalnya, sepakat untuk melakukan jual-beli tanah, harganya, cara
pembayarannya, penyelesaian sengketanya, dsb.
Syarat Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” Pasal 1330 KUHper sudah
mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk membuat perjanjian,
yakni sebagai berikut:

Seseorang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:


1. Orang yang belum dewasa.
2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan (seperti cacat, gila, boros, telah dinyatakan pailit oleh
pengadilan, dsb)
3. Seorang istri. (Namun, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, seorang
isteri sekarang sudah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum).
Dengan kata lain, yang cakap atau yang dibolehkan oleh hukum untuk membuat
perjanjian adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur genap 21 tahun (Pasal 330
KUHPerdata), dan orang yang tidak sedang di bawah pengampuan.
Syarat Ketiga “suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat perjanjian, apa yang
diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis barangnya itu harus ada (lihat
Pasal 1333 ayat 1). Misalnya, jual beli tanah dengan luas 500 m2, terletak di Jl. Merpati No 15
Jakarta Pusat yang berbatasan dengan sebelah utara sungai ciliwung, sebelah selatan Jalan Raya
Bungur , sebelah timur sekolah dasar inpres, dan sebelah barat tempat pemakaman umum.
Syarat Keempat “suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan sesuatu
yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai kesopanan
ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Misalnya melakukan perjanjian jual beli
Narkoba, atau perjanjian jual beli orang/manusia, dsb. Perjanjian semacam ini adalah dilarang
dan tidak sah.
Jika sudah memenuhi ke empat syarat di atas, maka perjanjian tersebut adalah sah. Tapi,
perjanjian bisa diminta dibatalkan bahkan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat ini 
 

c. Sebutkan Syarat Subvektif dan Svarat Obyektif dalam pembuatan perjanjian? Apakah
konsekuensi hukumnya apabiia Syarat Subyektif dan Syarat Obyektif perjaniian tidak
terpenuhi?

Dalam hukum positif, asas konsensualisme mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata khususnya Pasal 1320 yang mengatur: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat
perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

Adapun syarat-syarat tersebut dibagi menjadi dua, yakni syarat subjektif dan objektif. Syarat
Subjektif adalah yang pertama,Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kedua,Kecakapan
untuk membuat perikatan. Sedangkan syarat objektif adalah yang pertama, Suatu hal
tertentu; kedua, Suatu sebab yang halal.
Syarat  No. 1 dan 2 dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan dengan para subjek
yang membuat perjanjian. Sedang, syarat No. 3 dan 4 dinamakan syarat objektif karena
berkenaan dengan objek dalam perjanjian.
Masing-masing syarat (syarat subjektif maupun objektif) di atas memiliki konsekuensi
kebatalan jika tidak terpenuhi salah satu unsur di dalamnya, yaitu:
1. Voidable; jika syarat pertama dan kedua, atau salah satunya tidak terpenuhi, maka salah satu
pihak dapat memintakan kebatalan atas perjanjian itu melalui pengadilan. Selama tidak
dibatalkan oleh hakim, maka perjanjian itu masih tetap dianggap sah dan mengikat kedua
belah pihak.
2. Null and Void; jika syarat ketiga dan keempat, atau salah satunya  tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Yang berarti perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

d. Sebutkan pasai KUHPerdata yang isinya menggariskan bahwa perjanjian yang telah dibuat
berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya; Perjanjian tersebut tidak
dapat ditarik kembaii selain dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak dan Perjanjian
tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik?

ASAS PACTA SUNT SERVANDA :


Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya bahwa
kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati
sebagaimana mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda
adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini
disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

ASAS ITIKAT BAIK:

Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:

1. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu Kejujuran seseorang dalam melakukan suatu
perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan
perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II
KUHPerdata.
2. itikad baik dalam arti obyektif, yaitu Pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada
norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan
perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma
kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan
kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya
bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan
norma-norma yang berlaku.

3. a. Sebutkan Undang-undang yang mengatur mengenai tanah di Indonesia!


UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

b. Sebutkan hak-hak atas tanah yang terdapat di indonesia


Hak Menguasai Negara
Pada dasarnya, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.1 Hak menguasai dari negara tesebut memberi wewenang untuk:2
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi,
air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
 
Atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-
badan hukum.3
 
Hak Individual atas Tanah yang Bersifat Primer
H. M. Arba dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia (hal. 97 & 126) kemudian
membagi hak individu dalam dua jenis, yaitu hak individual atas tanah yang
bersifat primer dan sekunder.
 
Hak atas tanah yang bersifat primer terdiri atas:4
1. hak milik;
2. Hak Guna Usaha (“HGU”);
3. Hak Guna Bangunan (“HGB”);
4. hak pakai;
5. hak sewa;
6. hak membuka tanah;
7. hak memungut hasil hutan;
8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang.
 
Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah. Hak ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.5
 
Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Oleh pemerintah, ditetapkan
pula badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.6
 

1
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (“UUPA”).
2
Pasal 2 ayat (2) UUPA
3
Pasal 4 ayat (1) UUPA
4
Pasal 16 ayat (1) UUPA
5
Pasal 20 UU PA
6
Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA
Orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di
dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu.7
 
Jika sesudah jangka waktu tersebut, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.8
 
Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing, maka ia juga tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik.9
 
Hak milik hapus apabila:10
a. tanahnya jatuh kepada negara karena:
1. pencabutan hak;
2. penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. ditelantarkan, atau
4. orang asing yang mendapatkannya berdasarkan waris atau percampuran harta akibat
perkawinan, kehilangan kewarganegaraan, serta jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di
samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada
suatu badan hukum yang tidak ditetapkan pemerintah;
b. tanahnya musnah.
 
 
Hak Guna Usaha
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam
jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan.11
 
Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU untuk
waktu paling lama 35 tahun.12
 
Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu
HGU dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.13
 

7
Pasal 21 ayat (3) UUPA
8
Idem.
9
Pasal 21 ayat (4) UUPA
10
Pasal 27 jo. Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA
11
Pasal 28 ayat (1) jo.  Pasal 29 ayat (1) UUPA
12
Pasal 29 ayat (2) UUPA
13
Pasal 29 ayat (3) UUPA
HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa
jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik
perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.14

Yang dapat mempunyai HGU adalah:15


a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
 
HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.16 HGU hapus karena:17
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; 
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan;
f. tanahnya musnah.
 
Orang atau badan hukum yang mempunyai HGU dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat,
dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak
lain yang memenuhi syarat.18
 
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh HGU, jika ia tidak
memenuhi syarat tersebut. Jika HGU yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan
dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.19
 
Hak Guna Bangunan
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.20 Atas permintaan
pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya,
jangka waktu HGB dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. 21 Yang dapat
mempunyai HGB adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGB dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.22
 
HGB hapus karena :23
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
14
Pasal 28 ayat (2) UUPA
15
Pasal 30 ayat (1) UUPA
16
Pasal 28 ayat (3) UUPA
17
Pasal 34 UUPA
18
Pasal 30 ayat (2) UUPA
19
Idem.
20
Pasal 35 ayat (1) UUPA
21
Pasal 35 ayat (2) UUPA
22
Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA
23
Pasal 40 UUPA
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. ditelantarkan; dan
f. tanahnya musnah.
 
Orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi memenuhi syarat, dalam
jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain
yang memenuhi syarat.24
 
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-bangunan, jika ia
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.25
 
Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu
tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain
akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.26

  
Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari:27
1. tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya, atau
2. tanah milik orang lain dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA.
 
Selain itu, hak pakai juga dapat diberikan atas tanah dengan hak pengelolaan, yang
diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak
pengelolaan.28
 
Hak pengelolaan sendiri adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.29

Yang dapat mempunyai hak pakai adalah:30


a. warga negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

24
Pasal 36 ayat (2) UUPA
25
Idem
26
Idem
27
Pasal 41 ayat (1) UUPA
28
Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah (“PP 40/1996”)
29
Pasal 1 angka 2 PP 40/1996
30
Pasal 42 UUPA
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
 
Hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.31
 
Hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada:32
a. departemen, lembaga pemerintah non departemen, dan pemerintah daerah;
b. perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional;
c. badan keagamaan dan badan sosial.
 
Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.33

Hak Sewa Untuk Bangunan


Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.34
 
Pembayaran uang sewa dapat dilakukan:35
a. satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.

Perjanjian sewa tanah ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
pemerasan.36
 
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah:37
a. warga negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
 
Hak Individual atas Tanah yang Bersifat Sekunder
H. M. Arba dalam buku yang sama menerangkan bahwa hak sekunder adalah hak yang
mengandung sifat yang bertentangan dengan undang-undang karena mengandung unsur
pemerasan dan penindasan, sehingga diusahakan hapusnya dalam waktu singkat (hal.
126).
 

31
Pasal 45 ayat (1) PP 40/1996
32
Pasal 45 ayat (3) PP 40/1996
33
Pasal 41 ayat (3) UUPA
34
Pasal 44 ayat (1) UUPA
35
Pasal 44 ayat (2) UUPA
36
Pasal 44 ayat (3) UUPA
37
Pasal 45 UUPA
Contoh hak seperti ini adalah hak gadai tanah, hak usaha bagi hasil, hak sewa tanah
pertanian, dan hak menumpang.38
 
Sedangkan praktisi hukum Irma Devita Purnamasari memiliki pendapat yang berbeda
mengenai penggolongan hak atas tanah primer dan sekunder ini. Menurutnya, hak atas
tanah primer terbatas pada hak yang diberikan langsung oleh negara, seperti hak milik,
HGU, HGB, dan hak pakai. Sementara hak atas tanah sekunder adalah hak yang timbul
atau dibebankan di atas hak atas tanah yang sudah ada, mencakup HGU, HGB, hak
pengelolaan, hak sewa, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang, hak gadai tanah dan hak tanggungan.

c. Apakah yang dimaksud dengan Hak Tanggungan? Dan sebutkan Undang-Undang yang
mengatur Hak Tanggungan di Indonesia!
UUPA pada tahun 1960 memerintahkan untuk jaminan Hak atas Tanah diikat dengan
Hak Tanggungan. Kemudian lahirlah UUHT pada tahun 1996 sebagai wujud realisasi
dari perintah UUPA tersebut, dan UUHT secara terang menyatakan bahwa Hak
Tanggungan adalah satu-satunya lembaga jaminan atas tanah. Hak Tanggungan sebagai
Satu-Satunya Hak Jaminan atas Tanah. Sebagaimana yang telah Anda singgung, sejak
berlakunya UUHT, hak tanggungan menjadi satu-satunya hak jaminan atas tanah yang
diakui.
Penegasan tersebut dapat Anda temukan dalam Alinea Ketiga Angka 5 Penjelasan
Umum UUHT, yang berbunyi:
Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah, dan
dengan demikian menjadi tuntaslah unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang merupakan
salah satu tujuan utama Undang-Undang Pokok Agraria.
Per definisi, hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lain.
 
Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha,
dan hak guna bangunan.
 
Selain itu, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak
tanggungan.
 
Hak tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman,
dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya
dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan.

38
Pasal 53 ayat (1) UUPA
 
Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak
atas tanah, pembebanan hak tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan
dengan penandatanganan serta pada akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan
oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta autentik. Suatu
objek hak tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna
menjamin pelunasan lebih dari satu utang.
 
Apabila suatu objek hak tanggungan dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan,
peringkat masing-masing hak tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya
pada kantor pertanahan. Peringkat hak tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama
ditentukan menurut tanggal pembuatan akta pemberian hak tanggungan yang
bersangkutan. Menurut hemat saya, dengan diakuinya hak tanggungan sebagai satu-
satunya lembaga hak jaminan atas tanah, maka tanah tak dapat dibebani dengan jenis
hak jaminan lainnya.

Berikut Undang-Undang yang mengatur Hak Tanggungan di Indonesia :


1. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

d. Hak-hak atas tanah apa saja yang dapat dibebani HT (Hak Tanggungan)?
Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha,
dan hak guna bangunan. (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1996/UUHT).

e. Apakah Perseroan Terbatas dapat menjadi subjek pemegang hak atas tanah Hak Milik
(Sertifikat HM).

Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah. Hak ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. 39 Hanya
warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Oleh pemerintah, ditetapkan
pula badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.40

Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA dikatakan
bahwa hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Akan tetapi,
dalam Pasal 21 ayat (2) UUPA diberikan pengecualian, yaitu bahwa Pemerintah
dapat menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik.
 
Pengecualian subjek hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik ini dapat dilihat
dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (“PP No. 38/1963”).

39
Pasal 20 UU PA
40
Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA
Berdasarkan Pasal 1 PP No. 38/1963, badan-badan hukum yang dapat mempunyai
tanah hak milik, yaitu:
a.    Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);
b.    Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas
Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara Tahun 1958 No. 139);
c.    Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah
mendengar Menteri Agama;
d.    Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
 
Berdasarkan uraian pada Pasal 1 PP No. 38/1963, dapat kita lihat bahwa Perseroan
Terbatas tidak termasuk ke dalam badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah.
 
Walaupun tidak dapat mempunyai tanah hak milik, Perseroan Terbatas masih dapat
mempunyai hak atas tanah yang lain, yaitu:
a.    Hak Guna Usaha (Pasal 30 UUPA);
b.    Hak Guna Bangunan (Pasal 36 UUPA);
c.    Hak Pakai (Pasal 42 UUPA); dan
d.    Hak Pengelolaan (Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun
1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah
Untuk Keperluan Perusahaan).

4.
a. Apakah yang dimaksud dengah Beschikking? Dan berikan contohnya!

Penggunaan istilah “keputusan” dan “peraturan”, menurut buku “Perihal Undang-


Undang” karangan Jimly Asshiddiqie (hal. 9), negara sebagai organisasi kekuasaan
umum dapat membuat keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek
hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu: Yaitu keputusan-keputusan bersifat
individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan
administratif (beschikking). Oleh karena itu menurut Jimly (hal. 10), bentuk kegiatan
pengambilan “keputusan/ketetapan”. Istilah “keputusan” atau “ketetapan” digunakan
untuk menyebut hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif
(beschikkings).
Mengenai perbedaan antara keputusan (beschikking) dengan peraturan (regeling)
disebutkan dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-undang karangan Jimly
Asshiddiqie (hal. 2), keputusan (beschikking) selalu bersifat individual dan kongkrit
(individual and concrete), Selain itu, menurut Maria Farida Indrati S dalam buku “Ilmu
Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi, Muatan)” (hal. 78), suatu keputusan
(beschikkiking) bersifat sekali-selesai (enmahlig),
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) adalah penetapan tertulis yang
diproduksi oleh Pejabat Tata Usaha Negara, mendasarkan diri pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final.
Contoh : KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS AIRLANGGA NOMOR
1537 /H3/KR/2010 TENTANG PEMBERHENTIAN (DROP OUT / DO) SEBAGAI
MAHASISWA UNIVERSITAS AIRLANGGA REKTOR UNIVERSITAS
AIRLANGGA,

b. Apakah yang dimaksud perbuatan melanggar hukum? Dan sebuikan pasal yang
mengaturnya!

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai
dengan ps.1380 KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian
(ps. 1365 KUHPer).
Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan
hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang,
tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup
bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang
melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada
hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat.
Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga
dalam tidak berbuat sesuatu. Dalam KHUPer ditentukan pula bahwa setiap orang tidak
saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri,
tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang
ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

c. Apakah yang dimaksud dengan wanprestasi? sebutkan pasal yang mengaturnya!

Apabila sorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut
tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
maka disbut orang tersebut melakukan wanprestasi.
Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu
pihak (biasanya kreditur/ berpiutang) menuntut prestasi pada pihak lainnya (biasanya
debitur/ berutang). Menurut ps. 1234 KUHPer prestasi terbagi dalam 3 macam:
1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam ps. 1237
KUHPer);
2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini
terdapat dalam ps. 1239 KUHPer); dan
3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini
terdapat dalam ps. 1239 KUHPer).
Apabila seseorang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka
kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau mentaatinya.
Apabila pihak debitur yang melakukan wanprestasi maka pihak kreditur yang
menuntut atau mengajukan gugatan. Ada tiga kemungkinan bentuk gugatan yang
mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu:
a. Secara parate executie;
Dimana kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung kepada debitur tanpa
melalui pengadilan. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan bertindak
secara eigenrichting (menjadi hakim sendiri secara bersama-sama). Pada prakteknya,
parate executie berlaku pada perikatan yang ringan dan nilai ekonomisnya kecil.
b. Secara arbitrage (arbitrase) atau perwasitan;
Karena kreditur merasakan dirugikan akibat wanprestasi pihak debitur, maka
antara kreditur dan debitur bersepakat untuk menyelesaikan persengketaan masalah
mereka itu kepada wasit (arbitrator). Apabila arbitrator telah memutuskan sengketa itu,
maka pihak kreditur atau debitur harus mentaati setiap putusan, walaupun putusan itu
menguntungkan atau emrugikan salah satu pihak.
c. Secara rieele executie
Yaitu cara penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di
pengadilan. Biasanya dalam sengketa masalah besar dan nilai ekonomisnya tinggi atau
antara pihak kreditur dan debitur tidak ada konsensus penyelesaian sengketa dengan
cara parate executie, maka penyelesaian perkara ditempuh dengan rileele executie di
depan hakim di pengadilan.

d. Sebutkan urutan acara dalam sidang perkara perdata di Pengadilan Negeri!

Sebelum Majelis Hakim sampai kepada pengambilan Putusan dalam setiap


perkara perdata yang ditanganinya, terlebih dahulu harus melalui proses dan tahapan
pemeriksaan persidangan, tanpa melalui proses tersebut, Majelis Hakim tidak akan dapat
mengambil keputusan. Melalui proses ini pula, semua pihak baik Penggugat maupun
Tergugat (dapat diwakilkan oleh Penasihat Hukum/Pengacara/Advokat yang bekerja di
kantor hukum sebagai kuasa hukumnya) diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan
segala sesuatunya dan mengemukakan pendapatnya, serta menilai hasil pemeriksaan
persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Proses persidangan ini merupakan
salah satu aspek hukum formil yang harus dilakukan oleh Hakim untuk dapat
memberikan Putusan dalam perkara/kasus perdata. Proses pemeriksaan persidangan
perkara perdata di Pengadilan yang dilakukan oleh Hakim, secara umum diatur dalam
peraturan perundang-undangan yaitu HIR (Herzien Indonesis Reglement) untuk Jawa dan
Madura dan Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten) untuk di luar Jawa dan Madura.
Pada garis besar, proses persidangan perdata pada peradilan tingkat pertama di
Pengadilan Negeri terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai berikut:
 
1.  Tahap Mediasi
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim, Penggugat dan
Tergugat (“Para Pihak”) telah hadir, maka Majelis Hakim sebelum melanjutkan
pemeriksaan, wajib untuk mengusahakan upaya perdamaian dengan Mediasi, yaitu suatu
cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu
Para Pihak yang berperkara dalam perundingan untuk mencari penyelesaian secara
mufakat. Mediator dapat merupakan seorang Hakim Pengadilan (yang bukan memeriksa
perkara) dan dapat juga merupakan seseorang dari pihak lain yang sudah memiliki
sertifikat sebagai Mediator.
 
Kewajiban Mediasi ini diatur secara umum dalam Pasal 130 HIR dan secara
khusus diatur secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik
Indonesia No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kesempatan
Mediasi diberikan oleh Majelis Hakim selama 40 hari, dan apabila masih belum cukup
dapat diperpanjang selama 14 hari. Pada kesempatan tersebut Para Pihak akan
mengajukan apa yang menjadi tuntutannya secara berimbang untuk mendapatkan titik
temu dalam penyelesaian sengketa secara win-win solution. Apabila dalam proses ini
telah tercapai kesepakatan, maka dapat dituangkan dalam suatu akta perdamaian yang
ditandatangani oleh Para Pihak dan diketahui oleh Mediator. Akta kesepakatan ini
disampaikan kepada Majelis Hakim untuk mendapatkan Putusan Perdamaian. Akan tetapi
sebaliknya, jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai perdamaian dan kesepakatan,
maka Mediator akan membuat laporan kepada Majelis Hakim yang menyatakan Mediasi
telah gagal dilakukan.
 
2.  Tahap Pembacaan Gugatan (termasuk Jawaban, Replik, dan Duplik)
Apabila Majelis Hakim telah mendapatkan pernyataan Mediasi gagal dari
Mediator, maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap ke-2 yaitu pembacaan
surat Gugatan. Kesempatan pertama diberikan kepada pihak Penggugat untuk
membacakan surat Gugatannya. Pihak Penggugat pada tahap ini juga diberikan
kesempatan untuk memperbaiki surat Gugatannya apabila terdapat kesalahan-kesalahan,
sepanjang tidak merubah pokok Gugatan, bahkan lebih dari itu pihak Penggugat dapat
mencabut Gugatannya. Kedua kesempatan tersebut diberikan sebelum Tergugat
mengajukan Jawabannya.
Setelah pembacaan surat Gugatan, maka secara berimbang kesempatan kedua
diberikan kepada pihak Tergugat atau kuasanya untuk membacakan Jawabannya.
Jawaban yang dibacakan tersebut dapat berisikan hanya bantahan terhadap dalil-dalil
Gugatan itu saja, atau dapat juga berisikan bantahan dalam Eksepsi dan dalam pokok
perkara. Bahkan lebih dari itu, dalam Jawaban dapat berisi dalam rekonpensi (apabila
pihak Tergugat ingin menggugat balik pihak Penggugat dalam perkara tersebut).
Acara jawab-menjawab ini akan berlanjut sampai dengan Replik dari pihak
Penggugat dan Duplik dari pihak Tergugat. Replik merupakan penegasan dari dalil-dalil
Penggugat setelah adanya Jawaban dari Tergugat, sedangkan Duplik penegasan dari
bantahan atau Jawaban Tergugat setelah adanya Replik dari Penggugat. Dengan
berlangsungnya acara jawab-menjawab ini sampai kepada duplik, akan menjadi jelas apa
sebenarnya yang menjadi pokok perkara antara pihak Penggugat dan Tergugat. Apabila
Jawaban Tergugat terdapat Eksepsi mengenai kompetensi pengadilan, yaitu pengadilan
yang mengadili perkara tersebut tidak berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 136 HIR atau Pasal 162 Rbg Majelis Hakim akan
menjatuhkan Putusan Sela terhadap Eksepsi tersebut. Putusan Sela dapat berupa
mengabulkan Eksepsi dengan konsekuensi perkara dihentikan pemeriksaannya, dan dapat
pula Eksepsi tersebut ditolak dengan konsekuensi pemeriksaan perkara akan dilanjutkan
dengan tahap berikutnya.
 
Dalam tahap ke-2 ini sudah dapat kita lihat, bahwa semua pihak diberi
kesempatan yang sama dalam mengemukakan sesuatu untuk mempertahankan dan
membantah suatu Gugatan terhadapnya. Kesempatan yang sama juga akan kita lihat
ketika nanti dalam tahap Pembuktian.
3.  Tahap Pembuktian
Tahap Pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam semua proses
pemeriksaan perkara, karena dari tahap ini nantinya yang akan menentukan apakah dalil
Penggugat atau bantahan Tergugat yang akan terbukti. Dari alat-alat bukti yang diajukan
Para Pihak, Majelis Hakim dapat menilai peristiwa hukum apa yang terjadi antara
Penggugat dengan Tergugat sehingga terjadi perkara. Dari peristiwa hukum yang terbukti
tersebut nantinya Majelis Hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang akan
diterapkan dalam perkara dan memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam perkara
tersebut.
Untuk membuktikan suatu peristiwa yang diperkarakan, Hukum Acara Perdata
sudah menentukan alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh Para Pihak di persidangan,
yaitu disebutkan di dalam Pasal 164 HIR atau Pasal 284 Rbg yaitu:

A. Surat;
B. Saksi;
C. Persangkaan;
D. Pengakuan; dan
E. Sumpah.

4.  Tahap Kesimpulan
Pengajuan Kesimpulan oleh Para Pihak setelah selesai acara Pembuktian tidak
diatur dalam HIR maupun dalam Rbg, akan tetapi mengajukan Kesimpulan ini timbul
dalam praktek persidangan. Dengan demikian, sebenarnya jika ada pihak yang tidak
mengajukan Kesimpulan, merupakan hal yang diperbolehkan. Bahkan terkadang, Para
Pihak menyatakan secara tegas untuk tidak mengajukan Kesimpulan, akan tetapi
memohon kebijaksanaan Hakim untuk memutus dengan seadil-adilnya. Sebenarnya,
kesempatan pengajuan Kesimpulan sangat perlu dilaksanakan oleh kuasa hukum Para
Pihak, dikarenakan melalui Kesimpulan inilah seorang kuasa hukum akan menganalisis
dalil-dalil Gugatannya atau dalil-dalil Jawabannya melalui Pembuktian yang didapatkan
selama persidangan. Dari analisis yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu
Kesimpulan apakah dalil Gugatan terbukti atau tidak, dan kuasa Penggugat memohon
kepada Majelis Hakim agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya kuasa Tergugat memohon
kepada Majes Hakim agar gugatan Penggugat ditolak.
Bagi Majelis Hakim yang akan memutuskan perkara, Kesimpulan sangat
membantu dalam merumuskan pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan menilai
analisis hukum Kesimpulan yang dibuat oleh kuasa hukum Para Pihak, dan akan
dijadikan bahan pertimbangan dalam Putusan, apabila analisis tersebut cukup rasional
dan beralasan hukum.
 
5.  Tahap Putusan
Setelah melalui beberapa proses dan tahapan persidangan, maka sampailah pada
proses dan tahapan terakhir, yaitu pembacaan Putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo,
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara Para Pihak. Selanjutnya dikatakan,
bahwa suatu putusan Hakim terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:

A. Kepala Putusan;
B. Identitas Para Pihak;
C. Pertimbangan; dan
D. Amar.

Setiap Putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas Putusan
yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala
Putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada Putusan. Selain kepala Putusan pada
halaman pertama dari Putusan, juga dicantumkan Identitas Para Pihak, yaitu pihak
Penggugat dan pihak Tergugat secara lengkap sesuai dengan surat Gugatan dari
Penggugat.
Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan.
Pertimbangan ini dibagi menjadi dua yaitu, Pertimbangan tentang duduknya perkara dan
Pertimbangan tentang hukumnya. Dalam rumusan Putusan sering dibuat dengan huruf
kapital dengan judul “TENTANG DUDUKNYA PERKARA dan TENTANG
PERTIMBANGAN HUKUM“. Didalam Pertimbangan tentang duduknya perkara
memuat isi surat Gugatan Penggugat, isi surat Jawaban Tergugat yang ditulis secara
lengkap, alat-alat bukti yang diperiksa di persidangan, baik alat bukti dari pihak
Penggugat maupun alat bukti dari pihak Tergugat. Jika terdapat saksi yang diperiksa,
maka nama saksi dan seluruh keterangan saksi tersebut dicantumkan dalam Pertimbangan
ini, sedangkan Pertimbangan hukum suatu putusan perkara perdata adalah merupakan
pekerjaan ilmiah dari seorang Hakim, karena melalui Pertimbangan hukum inilah Hakim
akan menerapkan hukum kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan logika hukum.
Biasanya Pertimbangan hukum ini diuraikan secara sistematis, dimulai dengan
mempertimbangkan dalil-dalil Gugatan yang sudah terbukti kebenarannya karena sudah
diakui oleh Tergugat atau setidak-tidaknya tidak dibantah oleh Tergugat. Setelah
merumuskan hal yang telah terbukti tersebut, lalu akan dirumuskan pokok perkara
berdasarkan bantahan Tergugat.
 Pokok perkara akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan oleh Para pihak.
Pertama akan diuji dengan bukti surat atau akta otentik/dibawah tangan yang diakui
kebenarannya. Bukti Surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan keterangan saksi-saksi
yang sudah didengar keterangannya. Dengan cara demikian, maka Hakim akan
mendapatkan Kesimpulan dalam pokok perkara, mana yang benar diantara dalil
Penggugat atau dalilnya Tergugat. Bila yang benar menurut Pertimbangan hukum adalah
dalil Penggugat, maka Gugatan akan dikabulkan, dan pihak Penggugat adalah pihak yang
menang perkara. Sebaliknya berdasarkan Pertimbangan hukum putusan dalil-dalil
Gugatan Pengugat tidak terbukti, dan justru dalil Jawaban Tergugat yang terbukti, maka
Gugatan akan ditolak, sehingga pihak Tergugat yang menang dalam perkara tersebut.
 
Jadi, bila ditinjau dari menang-kalahnya Para Pihak, maka Putusan perkara
perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Gugatan dikabulkan dan Gugatan ditolak,
selain kedua Putusan tersebut, terdapat 1 (satu) jenis Putusan lain, yaitu karena kurang
sempurnanya Gugatan dikarenakan tidak memenuhi formalitasnya suatu gugatan yaitu
Putusan Gugatan tidak dapat diterima. Setelah Putusan diucapkan oleh Hakim, maka
kepada Para Pihak diberitahukan akan haknya untuk mengajukan upaya hukum jika tidak
menerima Putusan tersebut.

e. Sebutkan alat pembuktian dalam sidang perkara perdata!

Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai
membuktikan sesuatu. Alat bukti (bewijsmiddel) bermacam – macam bentuk dan
jenisnya. Dengan adanya alat bukti maka dapat dengan terang dan jelas setiap dalil- dalil
yang diajukan. Alat bukti disini adalah alat bukti dalam hukum acara perdata.

Dalam proses pembuktian digunakan alat bukti yang dikenal di dalam hukum acara
perdata ada lima jenis sesuai ketentuan Pasal 164 HIR/284 RBG jo. Pasal 1866 KUH
Perdata menyatakan “Alat pembuktian meliputi :
1. Alat Bukti Surat

2. Alat Bukti Saksi

3. Alat Bukti Persangkaaan

4. Alat Bukti Pengakuan

5. Alat Bukti Sumpah

Macam-Macam Alat Bukti.

1. Alat Bukti Surat

Dalam peradilan perkara perdata, Alat bukti surat merupakan alat bukti yang penting dan
paling utama. Alat bukti surat melungkupi surat otentik dan surat dibawah tangan (tidak
otentik). Surat otentik meliputi surat- surat Notaris (akta notaris), dan atau surat- surat
yang dikeluarkan oleh pejabat- pejabat yang berwenang mengeluarkan surat tersebut.
Surat dibawah tangan adalah surat- surat biasa.

2. Alat Bukti Saksi


Saksi adalah seseorang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian (atau
peristiwa hukum) yang diperkarakan. Dalam peradilan perdata dikenal istilah Unus testis
nullus testis (Pasal 1905 KUHPer, Pasal 169 HIR), seorang saksi saja tanpa alat bukti lain
tidak dapat dipercaya, sehingga minimal saksi yang diajukan minimal 2 orang saksi.

Adapun saksi yang tidak dapat diajukan/ didengar keterangannya di persidangan adalah:

1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah atu pihak menurut garis lurus.

2. Suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telahbercerai.

3. Anak- anak yang belum cakap hukum

4. Orang gila, walaupun kadang- kadang ingatannya terang.

3. Alat Bukti Persangkaan

Pasal 1915 KUHPerdata menyebutkan “Dugaan adalah kesimpulan yang diambil oleh
ketentuan undang – undang atau oleh hakim tentang sesuatu kejadian yang dikenal,
dengan mana dapat diketahui adanya sesuatu kejadian yang tidak dikenal”. Selanjutnya
didalam pasal 1916 KUHPerdata dikatakan “Dugaan menurut undang – undang adalah
dugaan yang karena kekuatan sesuatu ketentuan yang khusus didalam undang – undang,
berhubungan dengan perbuatan – perbuatan tertentu atau dengan peristiwa – peristiwa
tertentu”.

4. Alat Bukti Pengakuan

Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada
pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Dengan adanya pengakuan dari salah
satu pihak maka tidak diperlukan lagi suatu pembuktian. (Pasal 1923 KUHPerdata, Pasal
174 HIR)

5. Alat Bukti Sumpah

Pengertian Sumpah seperti apa yang tercantum dalam Pasal 1929 adalah suatu pernyataan
hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah.

Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal ada 2 macam sumpah, yaitu:

a. Sumpah Penambah (Subsisoir) yaitu sumpah yang dilakukan jika terdapat alat
bukti lain akan tetapi bukti tersebut masih sangat minim atau belum memenuhi
syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Contohnya
sumpah yang dilakukan terhadap alat bukti surat yang tidak memenuhi syarat
sebagai alat bukti, sehingga sumpah disini berperan untuk melegalisasi alat bukti
tersebut.
b. Sumpah Pemutus (Decesoir) yaitu sumpah yang dilakukan karena tidak alat bukti
yang lain sama sekali.

5.
a. Sebutkan Peraturan perundang-undangan Yang secara umum (Lex genarale)
mengatur hukum acara Pidana di Indonesiai
c. UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
d. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b. Apakah yang dimaksud dengan Deilik Laporan dan Deilik Aduan? Serta berikan
masing-masing contohnya (Peristiwa pidana dan pasaianya dari contoh)!
Menurut R. Tresna dalam buku Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan
Beberapa Perbuatan Pidana yang Penting, istilah pengaduan (klacht) tidak sama artinya
dengan pelaporan (aangfte), bedanya adalah:
1.  Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan
pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu
menjadi syarat.
2.    Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan
hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
3.    Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana,
pengaduan di dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan syarat untuk
mengadakan penuntutan.
4. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan
atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. (Di dalam KUHP, Pasal
367 terdapat di dalam Bab XXI tentang Pencurian. Mengenai Pasal 367 ayat (2)
KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,)
5. Delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan
dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat
mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah
terjadi suatu perdamaian. (Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum
Pidana II).

Contoh Peristiwa Pidana Delik Pelaporan beserta Pasal:


Delik Penggelapan Pasal 372 KUHP, yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.”

Contoh Peristiwa Pidana Delik Aduan beserta Pasal 367 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah
harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis
lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin
diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan”.

c. Sebutkan alat pembuktian dalam hukum acara pidana di lndonesia!

alat bukti

1. Keterangan terdakwa
2. petunjuk
3. Surat
4. Saksi
5. Ahli
d. Apa syarat hukum bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Hukum Acara
Pidana di Indonesia?
Pasal 183 Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) selengkapnya berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Dari bunyi Pasal 183 KUHAP di atas, dapat dipahami bahwa untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, harus:
1. Kesalahannya terbukti sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”, dan
2. Atas keterbuktian minimal dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa
tindak pidana benar-benar terjadi dan benar terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Soal alat bukti, KUHAP sudah mengaturnya secara limitatif, yaitu dalam Pasal 184
KUHAP sebagai berikut: Keterangan saksi, keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, dan
Keterangan Terdakwa. sehingga untuk membuktikan kesalahan seseorang minimal harus
dua dari antara alat bukti di atas, tidak bisa hanya didasarkan pada satu alat bukti saja
untuk menghukum seseorang.
e. Uraikan unsur-unsur dalam pasal 372 KUHP dan pasal 378 KUHP serta berikan 1
(satu) contoh sederhana!

Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) tentang Penggelapan


“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich
toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena
penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
enam puluh rupiah.”

Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) :


1. Barangsiapa;
2. Dengan sengaja;
3. Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen)
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed
dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort);
4. Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf
onder zich hebben).

Contoh :
Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan
barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau
jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki
barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada
dasarnya adalah milik orang lain.

Penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud


untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang.
 
Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari
penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang,
penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun menghapus
piutang.
 
Dalam perkara-perkara tertentu, antara penipuan, penggelapan
agak sulit dibedakan secara kasat mata. Sebagai contoh, si A hendak
menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B menyatakan kepada A
bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A menyetujui
tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang.
6. Reklame PT. Angin Ribut di Jalan warung Buncit akses pandangannya sebagian tertutup
oleh rekiame Biro lain yang didirikan kemudian. Tolong dibuatkan draft somasi kepada
Biro iain tersebut!

KOP PERUSAHAAN

Jakarta, 02 November 2020

Nomor         :  11/OM/DRH-ALC/IX/2020
Perihal        : Somasi (teguran) I
Lampiran    : Surat Kuasa Khusus

Kepada Yth.:
PT. AMANDA
Jalan Berniaga No.51 Kelurahan Pasar Minggu
DKI Jakarta.

Dengan hormat,
Saya Kepada Divisi Legal di Perusahaan PT. Angin Ribut dalam hal ini bertindak
untuk dan atas nama Perseroan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan Surat
kuasa tertulis dari Dewan Direksi PT. Angin Ribut, beralamat di Jalan KH Agus Salim
16, Sabang, Menteng Jakarta Pusat, berdasarkan Surat kuasa khusus tertanggal 1
November 2020, dengan ini hendak menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
7. Bahwa Reklame PT. Angin Ribut di Jalan warung Buncit akses pandangannya sebagian
tertutup oleh reklame Biro Amanda yang didirikan setelah Reklame PT.Angin Ribut
Dipasang.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka kami memperingatkan dengan tegas


kepada Saudari agar dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal surat
ini, untuk :
1. Mengalihkan atau mengubah posisi Reklame Biro Amanda di Jalan warung Buncit agar
Reklame PT. Angin Ribut tidak tertutup akses pandangannya tidak sebagian tertutup oleh
reklame yang didirikan oleh Reklame Biro Amanda.
Apabila sampai dengan jangka waktu tersebut di atas Saudari tidak
juga menyelesaikan kewajiban hukum saudari kepada Klien kami, maka dengan sangat
menyesal kami akan menempuh jalur hukum baik secara Perdata maupun Pelaporan
Pidana;
Demikian surat somasi ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan
terimakasih.

Hormat Kami,
Kepala Divisi Legal PT. Angin Ribut,

Eko Surya Megantoro, S.H.

Anda mungkin juga menyukai