NPM : 2074201145
MATA KULIAH : HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
2. Apa Saja hal-hal yang menjadi larangan untuk kawin menurut agama dan peraturan yang
berlaku?
Jawab:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Permohonan dikabulkan. Apabila pemohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui
pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tersebut.
Permohonan ditolak . Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah tersebut.
Permohonan tidak dapat diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
Apabila permohanan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka :
a. Pengadilan agama /mahkamah syari’yah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak.
b. pengadilan agama/mahkamh Syar’iyah memanggil pemohon dan termohon untuk
melaksanakan ikrar talak.
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak,
suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah
kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan
hukum yang sama( Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU
No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009)
Setelah ikrar talak di ucapkan panitria berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat
bukti kepada kedua belah pihak selambat-selambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan
ikrar talak ( pasal 84 ayat (4) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun
2006 dan UU No.50 Tahun 2009)
Hukum adat sering digunakan oleh orang-orang Batak, orang-orang Bali. Dimana garis bapak
atau ibu sangat kuat, karena mereka menggunakan nama marga, dalam hukum adat
biasanya harta terbanyak jatuhnya adalah kepada anak laki-laki atau anak perempuan
sebagai penerus dari marga atau keluarga. Jenis hukum ini banyak dipengaruhi oleh
hubungan kekerabatan serta stuktur kemasyarakatannya. Selain itu jenis pewarisannya pun
juga beragam, antara lain :
1. Sistem Keturunan, pada sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu garis
keturunan bapak, garis keturunan ibu, serta garis keturunan keduanya
2. Sistem Individual, merupakan jenis pembagian warisan berdasarkan bagiannya
masing-masing, umumnya banyak diterapkan pada masyarakat suku Jawa.
3. Sistem Kolektif, Merupakan system pembagian warisan dimana kepemilikannya
masing-masing ahli waris memiliki hak untuk mendapatkan warisan atau tidak menerima
warisan. Umumnya bentuk warisan yang digunakan dengan jenis ini adalah barang pusaka
pada masyarakat tertentu.
4. Sistem Mayorat, merupakan system pembagian warisan yang diberikan kepada anak
tertua yang bertugas memimpin keluarga. Contohnya pada masyarakat lampung dan Bali.
Hukum Waris Islam hanya berlaku pada masyarakat yang memeluk agama Islam, dimana
sistem pembagian warisannya menggunakan prinsip individual bilateral. Jadi dapat
dikatakan ahli waris harus berasal dari garis ayah atau ibu. Selain itu makna warisan adalah
jika harta atau aset yang diberikan orang yang memberikan sudah meninggal dunia, jika
orangnya masih hidup istilahnya disebut Hibah bukan warisan. Hukum waris Islam, dimana
dua per tiga dari harta waris ke anak laki-laki dan satu pertiga jatuh kepada anak perempuan
dari total seluruh warisan yang dibagikan.
Ketiga hukum ini sama kekuatannya di negara Indonesia, tergantung kesepakatan yang
terjadi. Dalam hal ini jika orang tua membuat surat wasiat pada saat hidup, sehat, dan tanpa
tekanan dari pihak manapun, dan didepan notaris. Artinya surat wasiat yang dimaksudkan
harus mempunyai kuasa hukum yang jelas, jadi apabila yang bersangkutan tutup usia maka
surat wasiat akan dibacakan oleh anggota keluarga yang masih hidup, dan setiap pihak
harus tunduk kepada surat wasiat yang dibuat, karena kekuatan hukum dari surat wasiat
sangat kuat. Namun karena ketiga hukum waris ini sah, tetap diperlukan rasa kekeluargaan
yang kuat, jangan sampai karena berebut harta keluarga justru masing-masing menuntut
hak yang lebih daripada yang lain.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di jawa dikenal dua peradilan, yaitu Peradilan
Padu (pidana) dengan menggunakan hukum hindu dan Peradilan Perdata dengan
menggunakan hukum adat.
Sejak ahun 1800, pemerintah Hindia Belanda telah secara tegas mengakui bahwa UU
Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini
tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de
beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings
reglement (RR) staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2.
Peraturan ini mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama
(godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.
Pasal 78 RR 1854 berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka
tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU
agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.”
Pada Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal, peradilan
agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk
pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 agustus 1882
kelahiran ini berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (Konninklijk Besluit) yakni
Raja Willem III tanggal 19 januari 1882 No. 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No.
152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan
rapat agama atau Raad Agama dan terakhir dengan pengadilan agama.
Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 yang
dimuat dalam Staatblad 1882 No.153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan
tanggal kelahiran badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882.
Pada tahun 1937 dengan No. 116 dan 610, pemerintah Belanda membentuk
Pengadilan di Kalimantar Selatan dan Timur, dengan sebutan Mahkamah Syari’ah,
yang berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan.
Pada zaman Jepang, posisi Pengadilan Agama tetap tidak berubah kecuali terdapat
perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada
aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 Maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29
April 1942, pemerintah bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942
yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (Pengadilan Pemerintah Bala tentara) di tanah
Jawa dan Madura. Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk
Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946
Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan
konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah /
badan yang bessifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi
Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan
Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3)
Pengadilan Agama Unaaha adalah Peradilan Agama pada tingkat pertama yang
merupakan satu dari tujuh Pengadilan Agama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi
Agama Kendari.
Gedung kantor Pengadilan Agama Unaaha dibangun pada tahun 2002 terletak di
lingkar kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Konawe di Jalan
Inolobunggadue II No 830 Unaaha, berdiri kokoh diatas tanah milik Pemerintah
Republik Indonesia Cq. Mahkamah Agung seluas 3028 M2, dan operasional
penggunaannya dimulai sejak tanggal 2 Januari 2003.
Pada awal beroperasinya Pengadilan Agama Unaaha, dipimpin oleh H. Bahar Makka,
S.Ag, SH sebagai ketuanya dengan jumlah personil sebanyak 7 orang, masing masing 1
orang ketua, 2 orang hakim, 1 orang panitera, 1 orang juruista dan 2 orang pegawai
administrasi. Kantor Pengadilan Agama Unaaha saat itu terletak di Jalan Sao-sao
Unaaha dengan menyewa salah satu rumah penduduk setempat.
Berawal dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu Atap
dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang ditindaklanjuti dengan :
Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 4 dan No. 5 Tahun 2004, pembinaan peradilan
agama dibawah naungan Departemen Agama, namun setelah lahirnya Undang-
Undang tersebut tersebut, pembinaan seluruh lembaga peradilan dilakukan dan
berpuncak pada lembaga Mahkamah Agung RI sebagai Lembaga Peradilan Negara
Tertinggi.