Anda di halaman 1dari 8

NAMA : AYU MAHARANI

NPM : 2074201145
MATA KULIAH : HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

1. Jelaskan kewenangan absolut dan kewenangan relatif peradilan Agama?


Jawab:
 Kewenangan absolut adalah kewenangan pengadilan dalam mengadili berdasarkan
jenis perkaranya. Misalnya, perkara perceraian bagi yang pasangan beragama Islam
merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama (PA) berdasarkan ketentuan
Pasal 63 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kemudian perkara hutang – piutang, wanprestasi atas perjanjian bisnis, gugatan
ganti rugi, pecurian, penipuani dan lain sebagainya merupakan kewenangan
Pengadilan Negeri (PN). Demikian halnya dengan Pengadilan Tata Usaha Negara
(TUN), dimana secara absolut berwenang mengadili perkara yang termasuk dalam
ranah sengketa Tata Usaha Negara.
 Kewenangan relatif adalah kewenangan pengadilan mengadili berdasarkan wilayah
atau yurisdiksinya. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menggugat cerai
isterinya harus memasukkan gugatannya di Pengadilan Agama yang yurisdiksinya
meliputi alamat sang isteri. Alamat sang Isteri tersebut adalah contoh kewenangan
relatif Pengadilan Agama bersangkutan. Kemudian, sengketa atas sebidang tanah
antara A dan B harus diadili oleh Pengadilan Negeri yang wilayahnya meliputi
tempat obyek perkara, dalam hal ini sebidang tanah tersebut.  Demikian halnya
dalam perkara pidana, dimana Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili
berdasarkan wilayah atau tempat kejadian perkara.

2. Apa Saja hal-hal yang menjadi larangan untuk kawin menurut agama dan peraturan yang
berlaku?
Jawab:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.    berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b.    berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya;
c.    berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d.    berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e.    berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f.     mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.

3. Jelaskan prosedur berperkara pada perkara talak cerai di Pengadilan Agama?


Jawab:
 PROSEDUR

1. Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau kuasanya :


2. Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah (pasal 118 HIR, 142 R. Bg jo. Pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan UU No.3 tahun 2006 dan UU.50 Tahun 2009)
3. Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah
Syar’iyah tentang tata cara membuat surat permohonan (pasal 119 HIR, 143 R. Bg jo. Pasal
58 UU No.7 tahun 1989 yang diuba dengan UU No.3 tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009)
4. Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika
Termohan telah menjawab surat permohonan ternyata ada perubahan, maka perubahan
tersebut harus atas persetujuan Termohon.
5. Permohonan tersebut diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah :
6. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Pasal 66 ayat (2) UU No.7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU. No. 50 Tahun 2009).
7. Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin
Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah
Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (2) UU.
No 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU. No. 50 Tahun
2009).
8. Bila termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon
(pasal 66 ayat (3) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan
UU. No. 50 Tahun 2009).
9. Bila pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi
tempat dilangsungkannya perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (pasal
66 ayat (4) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU.
No. 50 Tahun 2009).
10. Permohonan tersebut memuat :
11. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon ;
12. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
13. Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
14. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat
diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan
(pasal 66 ayat (5) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan
UU. No. 50 Tahun 2009).
5. Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R. Bg Jo. Pasal 89 No. 7 Tahun
1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009). bagi yang
tidak mampu dapat berperkara secara Cuma-Cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R. Bg.).

 PROSES PENYELESAIAN PERKARA :


1. Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke pengadilan agama/mahkamah
syar’iyah,
2. Pemohon dan Termohon dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iyah untuk
menghadiri persidangan.
3. Tahapan Persidangan :
4. Dalam upaya mengintensipkan upaya perdamaian sebagaimananya dimaksud Pasal 130
HIR/Pasal 154 RBg pada hari sidang pertama yang dihadiri para pihak,hakim mewajibkan
para pihak untuk menempuh mediasi (Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) PERMA No.1
Tahun 2008).
5. Pada permulaan pelaksanaan mediasi, suami dan isteri harus secara pribadi (Pasal 82 UU
No.7 Tahun 1989 yang telah diubah UU No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009).
6. Apabila upaya perdamaian melalui mediasi tidak berhasil ,maka pemeriksaan perkara di
lanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian
dan kesimpulan .
7. Pada saat menyampaikan jawaban atau selambat-lambatnya sebelum pembuktian,
termohon dapat mengajukan rekonvensi atau gugat balik (132b HIR, Pasal 158 RBg dan Buku
II Edisi Revisi).
Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai talak sebagai
berikut:

 Permohonan dikabulkan. Apabila pemohon tidak puas dapat mengajukan banding melalui
pengadilan agama/mahkamah syar’iyah tersebut.
 Permohonan ditolak . Pemohon dapat mengajukan banding melalui pengadilan
agama/mahkamah syar’iyah tersebut.
 Permohonan tidak dapat diterima. Pemohon dapat mengajukan permohonan baru.
 Apabila permohanan dikabulkan dan putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka :
a. Pengadilan agama /mahkamah syari’yah menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak.
b. pengadilan agama/mahkamh Syar’iyah memanggil pemohon dan termohon untuk
melaksanakan ikrar talak.
c. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan sidang penyaksian ikrar talak,
suami atau kuasanya tidak melaksanakan ikrar talak di depan sidang, maka gugurlah
kekuatan hukum penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan
hukum yang sama( Pasal 70 ayat (6) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU
No.3 Tahun 2006 dan UU No.50 Tahun 2009)
 Setelah ikrar talak di ucapkan panitria berkewajiban memberikan Akta Cerai sebagai surat
bukti kepada kedua belah pihak selambat-selambatnya 7 (tujuh) hari setelah penetapan
ikrar talak ( pasal 84 ayat (4) UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun
2006 dan UU No.50 Tahun 2009)

4. Jelaskan pemberlakuan hukum waris di Indonesia?


Jawab:
Hukum waris di Indonesia ada tiga yang berlaku : Hukum adat, hukum agama islam, hukum perdata.
1. Hukum Waris Adat. 

Hukum adat sering digunakan oleh orang-orang Batak, orang-orang Bali. Dimana garis bapak
atau ibu sangat kuat, karena mereka menggunakan nama marga, dalam hukum adat
biasanya harta terbanyak jatuhnya adalah kepada anak laki-laki atau anak perempuan
sebagai penerus dari marga atau keluarga. Jenis hukum ini banyak dipengaruhi oleh
hubungan kekerabatan serta stuktur kemasyarakatannya. Selain itu jenis pewarisannya pun
juga beragam, antara lain :

1. Sistem Keturunan, pada sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu garis
keturunan bapak, garis keturunan ibu, serta garis keturunan keduanya
2. Sistem Individual, merupakan jenis pembagian warisan berdasarkan bagiannya
masing-masing, umumnya banyak diterapkan pada masyarakat suku Jawa.
3. Sistem Kolektif, Merupakan system pembagian warisan dimana kepemilikannya
masing-masing ahli waris memiliki hak untuk mendapatkan warisan atau tidak menerima
warisan. Umumnya bentuk warisan yang digunakan dengan jenis ini adalah barang pusaka
pada masyarakat tertentu.
4. Sistem Mayorat, merupakan system pembagian warisan yang diberikan kepada anak
tertua yang bertugas memimpin keluarga. Contohnya pada masyarakat lampung dan Bali.

2. Hukum Waris Islam.

Hukum Waris Islam hanya berlaku pada masyarakat yang memeluk agama Islam, dimana
sistem pembagian warisannya menggunakan prinsip individual bilateral. Jadi dapat
dikatakan ahli waris harus berasal dari garis ayah atau ibu. Selain itu makna warisan adalah
jika harta atau aset yang diberikan orang yang memberikan sudah meninggal dunia, jika
orangnya masih hidup istilahnya disebut Hibah bukan warisan. Hukum waris Islam, dimana
dua per tiga dari harta waris ke anak laki-laki dan satu pertiga jatuh kepada anak perempuan
dari total seluruh warisan yang dibagikan.

3. Hukum Waris Perdata.


Hukum ini warisan dapat dibagikan secara merata kepada anak-anaknya yang sah sebagai
ahli waris sesuai dengan kesepakatan  atau wasiat yang dibuat oleh pemberi waris
dihadapan notaris dan memiliki ketetapan hukum. Hukum waris perdata adalah hukum
waris yang paling umum di Indonesia dan beberapa aturannya mirip dengan budaya barat.
Warisan dapat diberikan kepada ahli waris yang terdapat surat wasiat atau keluarga yang
memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, seperti anak, orang tua, saudara, kakek,
nenek hingga saudara dari keturunan tersebut

Ketiga hukum ini sama kekuatannya di negara Indonesia, tergantung kesepakatan yang
terjadi. Dalam hal ini jika orang tua membuat surat wasiat pada saat hidup, sehat, dan tanpa
tekanan dari pihak manapun, dan didepan notaris. Artinya surat wasiat yang dimaksudkan
harus mempunyai kuasa hukum yang jelas, jadi apabila yang bersangkutan tutup usia maka
surat wasiat akan dibacakan oleh anggota keluarga yang masih hidup, dan setiap pihak
harus tunduk kepada surat wasiat yang dibuat, karena kekuatan hukum dari surat wasiat
sangat kuat. Namun karena ketiga hukum waris ini sah, tetap diperlukan rasa kekeluargaan
yang kuat, jangan sampai karena berebut harta keluarga justru masing-masing menuntut
hak yang lebih daripada yang lain. 

5. Jelaskan sejarah Peradilan Agama di Indonesia?


Jawab:
a.   Peradilan Agama pada Masa Penjajahan Belanda

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di jawa dikenal dua peradilan, yaitu Peradilan
Padu (pidana) dengan menggunakan hukum hindu dan Peradilan Perdata dengan
menggunakan hukum adat.

Sejak ahun 1800, pemerintah Hindia Belanda telah secara tegas mengakui bahwa UU
Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini
tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de
beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings
reglement (RR)  staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2.
Peraturan ini mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama
(godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.

Pasal 78 RR 1854 berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka
tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU
agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.”
Pada Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal, peradilan
agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk
pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 agustus 1882
kelahiran ini berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (Konninklijk Besluit) yakni
Raja Willem III tanggal 19 januari 1882 No. 24 yang dimuat dalam staatsblad 1882 No.
152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang kemudian lazim disebut dengan
rapat agama atau Raad Agama dan terakhir dengan pengadilan agama.

Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 yang
dimuat dalam Staatblad 1882 No.153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan
tanggal kelahiran badan Peradilan Agama di Indonesia adalah 1 Agustus 1882.

Pada tahun 1937 dengan No. 116 dan 610, pemerintah Belanda membentuk
Pengadilan di Kalimantar Selatan dan Timur, dengan sebutan Mahkamah Syari’ah,
yang berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan.

b.      Peradilan Agama pada masa penjajahan Jepang

Pada zaman Jepang, posisi Pengadilan Agama tetap tidak berubah kecuali terdapat
perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada
aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 Maret 1942 No. 1. Pada tanggal 29
April 1942, pemerintah bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942
yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (Pengadilan Pemerintah Bala tentara) di tanah
Jawa dan Madura. Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa Gunsei Hooin terdiri dari:

 Tiho Hooin (Pengadilan Negeri)


 Keizai Hooin (Hakim Polisi)
 Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
 Gun Hooin (Pengadilan kewedanan)
 Kiaikoyo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi)
 Sooryoo Hooin (Rapat Agama)

c.      Peradilan Agama pada awal Kemerdekaan

Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor lJSD dibentuk
Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946
Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian Agama. Langkah ini memungkinkan
konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah /
badan yang bessifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi
Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan
Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3)

d.      Peradilan Agama sejak tahun 1974


Melalui Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman RI,  No.14/1970, memberikan
kedudukan Peradilan Agama sejajar dengan Pengadilan yang lain sebagai lembaga
kekuasaan Negara yang menyelenggarakan peradilan.

“Kekusaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna mengakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasilan demi terselenggarnya Negara Hukum Republik Indonesia” (UU Kekasaan
Kehakiman No. 14/1970 ps.1)

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan


Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, dan d. Peradilan Tata Usaha
Negara”. (UU Kekasaan Kehakiman No. 14/1970 ps. 10)

Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,


memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat
dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan
lingkungan peradilan lainnya.

e.      Sejarah terbentuknya Pengadilan Agama Unaaha

Pengadilan Agama Unaaha adalah Peradilan Agama pada tingkat pertama yang
merupakan satu dari tujuh Pengadilan Agama di wilayah hukum Pengadilan Tinggi
Agama Kendari.

Pengadilan Tinggi Agama Kendari sebagai Peradilan tingkat banding di wilayah


Propinsi Sulawesi Tenggara, berdiri dan beroperasi sejak  tanggal 25 November 1995
yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara. Pembentukannya
berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1995 tentang Pembentukan Pengadilan
Tinggi Agama di Bengkulu, Palu, Kendari dan Kupang.

Pengadilan Agama Unaaha terbentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI


Nomor 85 Tahun 1996 tanggal 1 Nopember 1996 tentang pembentukan Pengadilan
Agama Bitung, Palu,Unaaha, Bobonaro, Baucau, Malang, Cibinong, Tigaraksa dan
Pandan. Pengadilan Agama Unaaha diresmikan tanggal 5 Juli 1997 di Kendari.

Gedung kantor Pengadilan Agama Unaaha dibangun pada tahun 2002 terletak di
lingkar kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Konawe di Jalan
Inolobunggadue II No 830 Unaaha, berdiri kokoh diatas tanah milik Pemerintah
Republik Indonesia Cq. Mahkamah Agung seluas 3028 M2, dan operasional
penggunaannya dimulai sejak tanggal 2 Januari 2003.

Pada awal beroperasinya Pengadilan Agama Unaaha, dipimpin oleh H. Bahar Makka,
S.Ag, SH sebagai ketuanya dengan jumlah personil sebanyak 7 orang, masing masing 1
orang ketua, 2 orang hakim, 1 orang panitera, 1 orang juruista dan 2 orang pegawai
administrasi. Kantor Pengadilan Agama Unaaha saat itu terletak di Jalan Sao-sao
Unaaha dengan menyewa salah satu rumah penduduk setempat.

f.       Peradilan Agama sejak satu atap Mahkamah Agung


Pada Mei bulan 1998 di Indonesia terjadi perubahan politik yang radikal dikenal
dengan lahirnya Era Reformasi. Konsep Peradilan Satu Atap dapat diterima yang
ditandai dengan lahirnya TAP MPR No. X/MPR/1998 yang menentukan Kekuasaan
Kehakiman bebas dan terpisah dari Kekuasaan Eksekutif. Ketetapan ini kemudian
dilanjutkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Berawal dari Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 inilah kemudian konsep Satu Atap
dijabarkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang ditindaklanjuti dengan :

 Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial di lingkungan Peradilan


Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dari Departemen Kehakiman dan HAM ke
Mahkamah Agung pada tanggal 31 Maret 2004.
 Serah terima Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial lingkungan Peradilan
Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung yang dilaksanakan tanggal 30
Juni 2004

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 4 dan No. 5 Tahun 2004, pembinaan peradilan
agama dibawah naungan Departemen Agama, namun setelah lahirnya Undang-
Undang tersebut tersebut, pembinaan seluruh lembaga peradilan dilakukan dan
berpuncak pada lembaga Mahkamah Agung RI sebagai Lembaga Peradilan Negara
Tertinggi.

Anda mungkin juga menyukai