Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh :
I
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh :
Riko Dwi Kurniawan
111.170.120
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (Strata 1) di
Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, tahun
akademik 2021/2022.
Menyetujui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi
ii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk kedua orangtuaku, terimakasih atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan.
insha Allah akan saya persembahkan masa depan yang cerah yang akan di mulai dari
selesainya tugas akhir ini. aamiin
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
ridho-Nya penulis masih diberi kesehatan dan umur panjang sehingga masih dapat
menyelesaikan Laporan tugas akhir ini yang berjudul “GEOLOGI DAN PENGARUH
STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM
BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM,
FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN
SELATAN”
Laporan ini dibuat guna untuk memenuhi syarat Tugas Akhir tahun ajaran 2020/2021,
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta, proposal ini dapat selesai karena bantuan banyak pihak, oleh karena
itu, tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang telah memberi kesehatan dan kelancaran dalam pembuatan
Proposal Tugas Akhir ini.
2. Orang Tua dan Keluarga yang selalu mendukung dan memberikan kasih sayang
serta semangat tanpa henti.
3. Bapak Dr. Ir. Jatmika Setiawan, M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta sekaligus Dosen Pembimbing.
4. Dr. Ir. M. Syaifudin, M.T. selaku Koordinator Program Studi Sarjana Teknik
Geologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran”
Yogyakarta
5. Bapak Ir. Sugeng Raharjo, M.T. selaku Dosen Pembimbing.
6. Teman – teman dari Jurusan Teknik Geologi Angkatan 2017
7. Semua pihak yang telah membantu
Penulis masih merasa proposal ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan
saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat menjadi koreksi dan dalam penulisan
selanjutnya akan lebih baik lagi. Demikian proposal ini kami susun, semoga dapat bermanfaat.
Terima kasih
Yogyakarta, 1 September 2021
Penulis,
SARI
Secara Geografis daerah penelitian terletak pada koordinat (UTM -WGS84-Zona 50S)
399800 mE – 402500 mE dan 9621000 mN – 9624000 mN m. Secara administratif terletak di
Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan
Selatan. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas studi pustaka, interpretasi pola
pengaliran, interpretasi geomorfologi, interpretasi stratigrafi, interpretasi struktur geologi,
pemetaan geologi permukaan, profil singkapan, pengukuran penampang stratigrafi terukur,
pengamatan dan pengukuran struktur geologi, pengambilan sampel, analisa petrografi, analisa
stereografis dan analisa bor. Pola pengaliran di daerah penelitian adalah Subdendritik. Pola
pengaliran ini dipengaruhi oleh topografi dan adanya struktur geologi.
Geomorfologi pada daerah penelitian dapat di kelompokan menjadi bentuklahan
Perbukitan Bergelombang, Peneplain, Hasil Penambangan dan Hasil Timbunan.
Stratigrafi daerah penelitian disusun oleh 3 satuan batuan dari tua ke muda, yaitu satuan
batupasir Formasi Tanjung, satuan batulanau Formasi Tanjung, satuan batuserpih Formasi
Tanjung dan satuan endapan alluvial, yang terendapkan pada lingkungan transitional – lower
delta plain.
Struktur geologi daerah penelitian meliputi kekar, sesar, dan kedudukan perlapisan
batuan. Sesar daerah penelitian dapat dibagi menjadi sepuluh yaitu Sesar Selaru Satu, Sesar
Selaru Dua, Sesar Selaru Tiga, Sesar Selaru Empat, Sesar Selaru Lima, Sesar Selaru Enam,
Sesar Selaru Tujuh, Sesar Selaru Delapan, Sesar Selaru Sembilan, Sesar Selaru Sepuluh.
Tegasa utama pada daerah penelitian berarahkan Baratlaut-Tenggara.
Berdasarkan korelasi data permukaan dengan data bawah permukaan (bor), terdapat
struktur geologi berupa sesar, yang dapat berpengaruh terhadap pola sebaran dan kemenerusan
batubara, yaitu Sesar Selaru Tiga (LP 17), Sesar Selaru Empat (LP 33) dan Sesar Selaru Dua
(LP 102).
Berdasarkan pola sebaran dan kemenerusan batubara daerah penelitian, perlu
dilakukannya pendetailan rute bor dengan jarak 10-30 meter, menghindari potensi
hidrogeologi yang dapat meluap karena intensitas struktur geologi yang tinggi, perlu adanya
dewatering dengan sistem pompa, memperhatikan terkait kestabilan lereng pada highwall,
stripmine dilakukan dengan cara perblok, untuk menghindari adanya air masuk saat expose
batubara maupun coal getting.
v
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
Gambar 36. Sesar Selaru Tujuh dan Delapan LP 10 dan 30 (Rickard 1972) ........................ 84
Gambar 37. Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh LP 39,41 dan 47,49 (Rickard 1972). ....... 84
Gambar 38. A.Permodelan struktur geologi pure shear (Moody and Hill, 1956) B. Struktur
geologi daerah penelitian C. Tegasan dan kedudukan perlapisan batuan ............ 85
Gambar 39. Sejarah geologi daerah penelitian ...................................................................... 88
Gambar 40. Foto Singkapan Seam A pada Lokasi Pengamatan 101 (lensa kamera
menghadap Timurlaut) ......................................................................................... 90
Gambar 41. Kenampakan Seam B pada Lokasi Pengamatan 95 (lensa kamera menghadap
Utara) ................................................................................................................... 90
Gambar 42. Kenampakan Seam C pada Lokasi Pengmatan 95 (lensa kamera menghadap
Timurlaut) ............................................................................................................ 91
Gambar 43. Peta cropline dan struktur geologi ..................................................................... 93
Gambar 44. Penampang Bor A-A' (on dip) ........................................................................... 96
Gambar 45. Penampang Bor B-B' (On Strike) ...................................................................... 97
Gambar 46. Penampang Bor C-C' (On Strike) ...................................................................... 98
Gambar 47. Skema dewatering dua tahap menggunakan titik sumur untuk menurunkan
muka air tanah di bawah dasar galian (Thomas, 2013)...................................... 100
Gambar 48. Jenis penambangan terbuka di mana metode dewatering tingkat lanjut
digunakan. (Dari Clarke (1995), dengan izin dari IEA Coal dalam Thomas, 2013)
............................................................................................................................ 101
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR LAMPIRAN
11
BAB I
PENDAHULUAN
12
Dari beberapa sumber diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu: batuan
sedimen yang terbentuk dari berbagai material organik (sisa-sisa tumbuhan) dan
telah mengalami dekomposisi atau penguraian oleh adanya proses biokimia dan
geokimia sehingga sifat fisik dan sifat kimianya berubah seperti pengayaan unsur
karbon sehingga dapat terbakar.
Secara geometri, lapisan batubara hadir dengan ketebalan seragam, tetapi
ada pula yang mengalami penebalan dan penipisan. Lapisan batubara ada yang
miring atau horizontal, menerus dan tidak menerus bahkan terpatahkan. Pengertian
kemiringan, selain besarnya kemiringan lapisan juga masih perlu dijelaskan
bagaimana pola kemiringan suatu lapisan batubara. Pola kemiringan lapisan
batubara tersebut dapat bersifat menerus dan sama besarnya sepanjang cross strike
maupun on strike atau hanya bersifat setempat. Pola kemiringan lapisan batubara
tersebut juga dapat membentuk pola linier, pola lengkung, atau pola luasan (areal).
Demikian halnya dengan kemenerusan, selain jarak kemenerusan, maka faktor
pengendalinya juga perlu diketahui.
Diketahuinya secara baik geometri lapisan batubara merupakan hal yang
sangat penting di dalam penentuan sumber daya atau cadangan batubara. Pola
sebaran dan kemenerusan lapisan batubara merupakan parameter di dalam geometri
lapisan batubara. Menurut Kuncoro (2000), pola sebaran dan kemenerusan lapisan
batubara dapat hadir bervariasi, bahkan pada jarak dekat sekalipun.
Kenyataan di lapangan lapisan batubara dijumpai dalam sebaran yang tidak
teratur, tidak menerus, menebal dan menipis, dengan geometri yang bervariasi.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai pola sebaran dan kemenerusan
lapisan batubara menjadi sangat penting. Maka perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran dan kemenerusan
lapisan batubara.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk menghimpun data geologi secara
detil yang terdiri atas pola pengaliran, geomorfologi, stratigrafi, karakteristik
batubara, pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran batubara daerah
penelitian, data bor dan data analisis laboratorium.
13
Tujuan penelitian adalah
• Menentukan kondisi geologi detil di daerah penelitian.
• Menyusun sejarah geologi di daerah penelitian.
• Mengidentifikasi karakteristik batubara di daerah penelitian.
• Mengidentifikasi pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran batubara
daerah penelitian.
1.3 Rumusan Masalah
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu adanya kajian, analisa,
pengindikasian, identifikasi, serta hasil penelitian yang berkaitan dengan daerah
telitian, sehingga pendekatannya harus dilakukan adanya suatu pentanyaan yang
yang nantinya dipecahkan dan mendapatkan solusi. Rumusan masalah diharapkan
memfokuskan penilitian untuk untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang
muncul. Rumusan masalah ini merupakan batasan dari penelitian yang akan
dilakukan agar kegiatan di lapangan nanti lebih terkoordinasi dan memiliki
efisiensi waktu yang baik.
Pertanyaan yang berkembang sebagai berikut :
1. Pola pengaliran
a. Pola pengaliran apa saja yang berkembang di daerah penelitian ?
b. Bagaimana keterkaitan pola pengaliran, penyimpangan aliran, tekstur,
bentuk lembah dan tempat mengalir dengan geologi di daerah penelitian?
2. Geomorfologi
a. Bentuklahan apa yang berkembang di daerah penelitian ?
b. Bagaimana aspek-aspek geomorfologi yang ada di setiap bentuklahan pada
daerah penelitian?
3. Stratigrafi
a. Litologi apa saja yang ada di daerah penelitian?
b. Satuan batuan apa saja yang ada di daerah penelitian?
c. Bagaimana persebaran satuan batuan yang ada di daerah penelitian?
d. Bagaimana hubungan stratigrafi antar satuan batuan?
4. Struktur geologi
a. Bagaimana kelurusan struktur geologi ?
b. Struktur geologi apa saja yang ada di daerah penelitian?
14
c. Bagaimana keterkaitan antar struktur geologi yang ada di daerah
penelitian?
5. Studi Khusus yang berkaitan dengan pengaruh struktur geologi terhadap pola
sebaran dan kemenerusan seam batubara di daerah penelitian?
a) Bagaimana pola sebaran kemenerusan lapisan batubara di daerah telitian?
b) Faktor yang mempengaruhi pola sebaran dan kemenerusan lapisan
batubara pada daerah telitian?
c) Bagaimana hubungan antar faktor tersebut dengan pola sebaran dan
kemenerusan lapisan batubara pada daerah telitian?
1.4 Ruang Lingkup
1.4.1 Batas Daerah
Daerah penelitian dilaksanakan di area penambangan batubara PT. Sebuku
Tanjung Coal, secara administratif terletak di Jalan Raya Kotabaru, Tanjung
Serdang Km 25, Desa Sungup Kanan, Kecamatan Pulau Laut Tengah,
Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara astronomis lokasi
penelitian masuk ke dalam zona UTM 50 S tepatnya berada pada koordinat
berikut (Gambar 1) :
Tabel 1. Koordinat Lokasi Penelitian
X Y
1 399800 9624000
2 402500 9621000
15
1.4.2 Batas Gejala
• Geomorfologi
Pengamatan geomorfologi berdasarkan kenampakan bentuk lahan di daerah
peneletian. Umumnya geomorfologi di daerah pertambangan telah mengalami
ubahan dari manusia berdasarkan tipe tambangnya yang biasa disebut juga sebagai
bentuk lahan antropogenik.
• Litologi
Pengamatan litologi yang dilakukan meliputi pengamatan yang bersifat
makroskopis berupa singkapan ataupun core serta pengamatan yang bersifat
mikroskopis berupa sayatan petrografi dan Analisa Batubara.
• Stratigrafi (Measuring Section)
Stratigrafi menjelaskan tentang bagaimana keadaaan pengendapan batuan
di daerah penelitian. Pengambilan data stratigrafi dapat dilakukan dengan metode
measuring section (MS). Penting diketahui persebaran fasies dan bagian-bagiannya
karena akan berhubungan dengan keterdapatan batubara tersebut.
• Struktur Geologi
Struktur geologi akan berhubungan dengan proses-proses pembentukan
batubara. Struktur geologi merupakan salah satu penyebab metamorfosis organik
yang terjadi pada proses evolusi batubara.
• Tipe dan Pola Sebaran Batubara
Penentuan tipe dan pola sebaran batubara ini dapat menetukan metode
penambangan yang tepat dilakukan suatu perusahaan tambang.
• Kemenerusan Lapisan Batubara
Kemenerusan lapisan batubara merupakan jarak lapisan batubara, namun
selain jaraknya perlu diketahui faktor pengendalinya seperti dibatasi oleh proses
pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi. Guna untuk mengurangi resiko dalam
kegiatan eksploitasi tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada
operasi penambangan bawah tanah.
1.5 Hasil Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini berupa:
1. Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan Daerah Penelitian
a. Mengetahui lokasi singkapan geologi yang ada di permukaan
16
b. Mengetahui lokasi struktur geologi yang ada dipermukaan
c. Mengetahui titik pengambilan sampel untuk analisa fosil dan sayatan
tipis
2. Peta Pola Pengaliran Daerah Penelitian.
a. Mengetahui bentukan aliran sungai permukaan
b. Mengatahui faktor pengontrol bentukan lahan (permukaan)
3. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian.
a. Mengetahui bentuk asal dan bentuklahan permukaan daerah penelitian
b. Mengetahui hubungan bentuklahan dengan satuan batuan di permukaan
c. Mengetahui hubungan bentuklahan dan struktur geologi di permukaan
4. Peta Geologi Daerah Penelitian.
a. Mengetahui litologi dan penyebaran dari setiap satuan batuan
b. Sejarah geologi daerah telitian
5. Stratigrafi Daerah Penelitian.
a. Mengetahui litologi penyusun daerah telitian
b. Mengetahui hubungan antar litologi dan satuan batuan
c. Mengetahui umur dari batuan penyusun daerah telitian
d. Mengetahui lingkungan pengendapan daerah telitian
6. Penampang Stratigrafi Terukur
7. Peta Struktur geologi daerah telitian
8. Peta Pola Penyebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan dan hasil analisis yang terdiri dari:
1. Peta pola pengaliran skala 1 : 10.000
2. Peta geomorfologi skala 1 : 10.000
3. Peta lokasi pengamatan dan lintasan skala 1 : 10.000
4. Peta geologi skala 1 : 10.000
5. Penampang stratigrafi terukur
6. Analisa struktur geologi
7. Analisa petrografi
8. Analisa mikropaleontologi
9. Laporan
17
1.6 Manfaat Penelitian
1. PT. Sebuku Tanjung Coal.
Dapat memberikan informasi tentang geologi daerah telitian secara lebih
detail, terutama data mengenai tipe pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara
pada daerah telitian, sehingga dapat menjadi pedoman untuk industri pertambangan
batubara dalam menentukan perencanaan pengembangan dan perluasan daerah
eksplorasi. Secara khusus diterapkan di wilayah penelitian dan pada daerah yang
memiliki proses-proses dan kondisi geologi yang sama.
2. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran “ Yogyakarta
Hubungan kerjasama antara Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta dengan PT. Sebuku Tanjung Coal dalam sarana dan prasarana.
Membekali kemampuan dasar kepada mahasiswa Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
dunia kerja.
3. Mahasiswa
Melakukan proses prasyarat mahasiswa Jurusan Teknik Geologi untuk
jenjang Strata-1, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta. Serta mempraktekan langsung teori yang di dapat
diperkuliahan dan menerapkannya pada kondisi lapangan yang sebenarnya.
Memperoleh wawasan dan kemampuan dalam pengoptimalan pengetahuan serta
pengalaman kerja di lapangan.
4. Keilmuan
• Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian meliputi kondisi
geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, serta mengetahui kondisi air
tanah di daerah penelitian.
• Mampu mengaplikasikan teori yang didapat di bangku kuliah untuk
diimplementasikan secara langsung di lapangan atau di dunia kerja
Secara rinci, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Manfaat mengenai geomorfologi
a. Diketahui satuan bentuk lahan yang ada di daerah penelitian.
b. Diketahui faktor yang mengontrol pembentukan bentuklahan di
daerah penelitian.
18
c. Diketahui perbedaan antar bentuk lahan.
2. Manfaat mengenai straigrafi
a. Diketahui urutan dan hubungan stratigrafi di daerah penelitian.
b. Diketahui variasi litologi dan penyebarannya.
c. Diketahui lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan.
d. Diketahui pengaruhnya litologi terhadap pembentukan morfologi.
2. Manfaat mengenai struktur geologi
a. Diketahui jenis struktur geologi di daerah penelitian.
b. Diketahui pola struktur yang berkembang di daerah penelitian.
c. Diketahui pengaruh struktur terhadap pembentukan morfologi
3. Studi Khusus
a. Diketahuinya pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara di
daerah penelitian.
5. Bagi masyarakat
• Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah memberikan informasi
geologi, meliputi kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi ,
dan potensi geologi serta melengkapi data lapangan yang telah ada
sebelumnya.
6. Bagi pemerintah
• Memberikan gambaran mengenai daerah penelitian sehingga dapat
dilakukan perencanaan, kebijakan, serta pemanfaatan sumberdaya alam
di daerah tersebut.
7. Bagi peneliti
• Mengetahui prosedur pengambilan data di lapangan secara baik dan
benar.
• Mengetahui prosedur pengolahan data primer secara baik dan benar.
• Mengetahui kondisi geologi dan permasalahan geologi dari daerah
penelitian.
19
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
20
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
2.2 Tahap Pendahuluan
Pada tahap ini terdiri dari Literatur Studi Pustaka dan Perizinan, serta
Persiapan Perlengkapan, tahap studi pustaka dimaksudkan untuk mengetahui
keadaan geologi daerah telitian dari studi literatur, jurnal, makalah, dan laporan
penelitian terdahulu. Pada tahap ini juga sebagai referensi terhadap tahapan-
tahapan yang akan dilakukan dikemudian hari. Pada tahap perizinan dan persiapan
perlengkapan merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian
secara langsung dilapangan yang meliputi perizinan dan penentuan lokasi, studi
pustaka, serta persiapan perlengkapan lapangan yang dibutuhkan untuk mengetahui
keadaaan geologi daerah penelitian. Selama pelaksanaan tugas akhir, penulis
mempersiapkan peralatan dan segala sesuatu yang dapat mendukung kegiatan
penelitian diantara lain :
4. Kompas geologi
5. Palu geologi
21
8. Loupe dengan perbesaran 40
11. Hcl
13. Meteran
22
(morfokonservasi) yang penulis gunakan sebagai dasar penentuan satuan
bentuklahan.
3. RA Van Zuidam, 1985: menjelaskan mengenai klasifikasi bentuk asal dan
bentuk lahan yang akan diterapkan di daerah penelitian.
4. Pettijohn, F.J., 1972: sebagai acuan untuk memaknai kenampakan
petrografi sayatan tipis batuan, serta sebagai acuan klasifikasi penamaan
batuan sedimen pembawa batubara di daerah penelitian.
5. Tucker, M.E., 2003: sebagai acuan untuk mengetahui dan menentukan ciri-
ciri fisik (warna, tekstur dan struktur sedimen) lapisan pembawa batubara
yang berhubungan dengan mekanisme sedimentasi lapisan batubara di
daerah penelitian.
6. Boggs, S. J., 2006: menjadi acuan dalam memaknai ciri fisik (warna, tekstur
dan struktur sedimen) lapisan sedimen pembawa batubara pada daerah
penelitian terutama hubungan antara struktur sedimen dan mekanisme yang
menyebabkan pembentukannya.
7. Hazred U. F., dkk., 2016: menjelaskan mengenai pengaruh tektonik dalam
perkembangan cleat pada lapisan batubara.
8. Kuncoro, 2007: menjelaskan mengenai karakteristik geometri cleat.
9. Sapiee & Rifyanto A., 2017: menjelaskan mengenai tektonik dan faktor
geologi yang mengontrol perkembangan cleat.
10. R.C. Davis et.al 2007: Menjelaskan mengenai setting tektonik batubara
Indonesia bagian barat
11. Witts, D, et.al 2011 : menjelaskan stratigrafi dan sumber sedimen
Cekungan Barito, Kalimantan Selatan
12. Witts, D, et.al 2012 : menjelaskan model pengendapan dan sumber sedimen
Formasi Tanjung, Cekungan Barito
13. Santoso, B dan Daulay, B 2008 : menjelaskan pentingnya petrologi
organik untuk tipe dan rank batubara Cekungan Asem- Asem, Kalimantan
Selatan
14. Satyana, et.al 1994 : menjelaskan reversal tektonik di Cekungan Barito
23
15. Satyana, et al 1999 : menjelaskan kontrol tektonik dalam pembentukan
Cekungan Barito, Cekungan Kutei, Cekungan Tarakan dan perbedaan
utama dari cekungan tersebut.
16. Krevelen (1993): menjelaskan bahwa karakteristik batubara merupakan
fungsi dari proses pembentukan batubara. Krevelen (1993) juga membagi
1–2 karakteristik batubara menjadi dua yaitu ekstrinsinsik dan intrinsik
17. Peta Topografi Rupa Bumi Indonesia (RBI) daerah telitian (dipublikasikan
oleh Bakosurtanal)
18. Peta lembar Geologi daerah telitian, skala 1:250.000 (Oleh : E.Rustandi
dkk, 1995)
19. Data Citra seperti Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar
Topography Mission (SRTM), dan Google Earth
Studi literatur ini bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi, geomorfologi dan
tektonik daerah penelitian melalui data-data sekunder yang didapatkan.
• Interpretasi peta
Setelah mendapatkan data-data sekunder dari akumulasi data seperti Peta
Topografi Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta Geologi Regional, data geologi
regional, data citra kemudian dilakukan interpretasi peta ( Peta Tentatif ) berupa
peta satuan batuan tentative, peta kelurusan tentative, peta geomorfologi tentative,
rencana lintasan, peta pola pengaliran, yang diperuntukan untuk langkah awal
sebelum melakukan pemetaan lapangan, kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan
ketika melakukan pemetaan.
2.3.2. Akuisisi Data Primer
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pemetaan yang
dilakukan oleh peneliti, adapun data tersebut didapatkan dari hasil Observasi
Lapangan yang dilakukan sebagai pengamatan terhadap kondisi sebenarnya di
lapangan yang akan dijadikan bahan acuan dalam melaksanakan penelitian dan
penulisan laporan.
Tahap ini dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
1. Tahap akuisisi lintasan geologi
Pada tahapan ini dapat kita ketahui litologi yang berkembang dari daerah
penelitian sehingga nantinya kita akan menadapatkan satuan batuan daerah telitian
24
tersebut. Pemataan dilakukan dengan lintasan memotong jurus lapisan batuan agar
didapatkan litologi yang berbeda–beda, dengan melintasi sungai ataupun lereng
perbukitan
2. Tahap akuisisi pengamatan pola pengaliran secara menyeluruh
meliputi :
1. Pola pengaliran dasar.
2. Pola pengaliran ubahan.
3. Penyimpangan aliran.
4. Tekstur pengaliran.
5. Bentuk lembah.
6. Tempat mengalir.
Berdasarkan hasil interpretasi pola pengaliran secara menyeluruh dapat
diketahui mengenai lereng, bentuklahan, litologi, stratigrafi terbatas, dan struktur
geologi.
3. Tahap akuisisi pengamatan bentuklahan, adapun tahap ini
menggunakan aspek-aspek geomorfologi, yaitu:
a. Pengamatan morfologi: mencangkup morfografi (bentuk) dan
morfometri (presentase luasan setiap bentuklahan pada daerah
penelitian, pengukuran dan pengamatan bentuk lereng, serta
pengukuran relief).
b. Pengamatan morfogenesa: morfostruktur aktif (endogen),
morfostruktur pasif, morfodinamik (proses eksogen).
c. Pengamatan morfoasosiasi: hubungan sekitar.
d. Pengambilan gambar setiap bentuklahan.
e. Pengambilan gambar bentuk lereng.
f. Pengukuran slope.
4. Tahap akuisisi pengamatan variasi litologi:
a. Deskripsi singkapan.
b. Sketsa singkapan .
c. Pembuatan profil.
d. Foto litologi dan soil secara close up.
25
e. Pengambilan sample batuan dan soil dilakukan di setiap titik lokasi
pengamatan.
4. Tahap akuisisi pengukuran struktur geologi terdiri atas:
f. Pengukuran kedudukan lapisan batuan
g. Pengukuran dan pencatatan kekar gerus.
h. Pengukuran bidang sesar dan data gores-garis.
i. Foto bukti struktur geologi.
Berdasarkan hasil pengukuran dan pencatatan struktur geologi, maka dapat
diketahui tentang karakteristik setiap struktur geologi secara detil.
5. Pengambilan foto singkapan dan contoh batuan
Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geologi dari
objek objek geologi secara visual dilapangan berserta pengambilan contoh batuan
sebagai bukti atas deskripsi batuan yang dilakukan sehingga menunjang data
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
6. Profil maupun Penampang Stratigrafi Terukur
Pengambilan profil bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan
suatu batuan. Dengan mengambil data struktur, tekstur, dan komposisi mineral dari
urut-urutan lapisan batuan tersebut. Sedangkan data penampang stratigrafi terukur
digunakan sebagai batas satuan batuan, analisis umur, dan lingkungan pengendapan
berdasarkan analisis mikropaleontologi.
7. Pengambilan Foto Bentang alam maupun Stadia Sungai
Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geomorfologi
dari objek objek geomorfologi secara visual dilapangan berserta pengambilan foto
stadia sungai sehingga menunjang data penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan.
8. Tahap Akuisisi Tahap Studi Khusus
Pengamatan kenampakan seam batubara dilapangan terhadap persebarannya, dan
pengaruhnya terhadap struktur geologi.
2.4. Tahap Analisis dan Pengolahan Data
Pada tahapan ini penyusun melakukan pengumpulan data dari hasil kegiatan
pemetaan / kegiatan sebelumnya dan melakukan beberapa analisa laboratorium /
studio pada sampel dan data yang didapat, analisa yang dilakukan antara lain:
26
2.4.1. Pembuatan Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan
Merupakan hasil pengolahan dari peta lintasan dan lokasi pengamatan
lapangan yang kemudian dianalisis sehingga pengeplotan sudah berdasarkan warna
satuan berdasarkan data yang didapat dilapangan yang dilengkapi data kedudukan,
sampel batuan, foto singakapan batuan dan hasil analisis lainnya seperti analisis
petrografi, dan lainnya. Sehingga dapat mempermudah ketika mau menarik menjadi
peta geologi daerah telitian.
2.4.2. Pembuatan Peta Geomofologi dan Penampang Geomorfologi
Merupakan kesimpulan akhir dari hasil analisis geomorfologi yang
dilakukan sebelum penelitian lapangan, sehingga dilapangan hanya memastikan
hasil interpretasi awal yang dikaitkan dengan aspek geologi lainnya seperti litologi,
struktur geologi, dan sebagainya.
2.4.3. Pembuatan Peta Geologi dan Penampang Geologi
Merupakan hasil penarikan berdasarkan data peta lintasan dan lokasi
pengamatan yang dilakukan dan didukung dengan berbagai analisis baik itu analisis
petrografi, analisis struktur geologi, analisis log sedimentologi dan hal lainnya yang
berkaitan dengan peta geologi
2.4.4. Analisis Pola Pengaliran
Merupakan kesimpulan akhir dari analisis awal sebelum tahap penelitian
lapangan yang mengaitkan dengan unsur-unsur geologi lain, dan didapat
berdasarkan perhitungan kuantitatif agar menguatkan data yang awalnya hanya
interpretasi berdasarkan analisis kualitatif
2.4.5. Analisa Petrografis
Mengidentifikasi karakteristik batuan untuk mengetahui nama batuan, baik
dari aspek mineralogi, tekstur, serta perkembangan proses-proses diagenesa yang
telah berlangsung. Analisis petrografi ditujukan untuk mengetahui nama batuan
melalui sayatan tipis batuan guna meyakinkan penamaan batuan di lapangan yang
terbatas akan alat-alat yang digunakan di lapangan.
Adapun beberapa klasifikasi yang penulis gunakan dalam menentukan
penamaan batuan yaitu pada batuan beku menggunakan klasifikasi William (1954),
pada batuan sedimen klastik menggunakan klasifikasi Gilbert (1954 & 1975), pada
27
batuan karbonat menggunakan klasifikasi Dunham (1962), sedangkan pada batuan
metamorf menggunakan klasifikasi Winkler (1979).
2.4.6. Analisa Mikropaleontologi
Analisis fosil dilakukan menggunakan mikrofosil foram plankton untuk
mengetahui penamaan fosil dan sebagai analisis penentu umur relatif dan
lingkungan batimetri dareah penelitian terkait.
Adapun klasifikasi yang digunakan dalam menentukan yaitu berdasarkan
penamaan foraminifera plankton dengan menggunakan zonasi Blow (1969) dalam
pengumurannya. Sedangkan pada penentuan lingkungan batimetri yang pertama
yaitu menggunakan penamaan foraminifera bentos dengan menggunakan Barker
(1960). Selain itu penentuan lingkungan batimetri mengguanakan ratio plankton
terhadap bentos denga menggunakan tabel kedalaman terhadap ratio berdasarkan
Grimsdale dan Mark Hoven (1955).
2.4.7. Analisis Data Struktur Geologi
Mengidentifikasi struktur yang bekerja, perkembangan arah umum dari
kekar-kekar, serta mengetahui tegasan utama dan menentukan jenis sesar dan
proses struktur yang berkembang. Analisis struktur geologi meliputi analisis kekar,
sesar dan lipatan menggunakan metode stereografis. Berdasarkan kumpulan data
kekar pada seluruh lokasi, data tersebut diolah menjadi data arah umum yang
nantinya dianalisis menggunakan prinsip diagram blok kekar bertujuan untuk
mendapatkan tegasan terbesar. Pada analisis sesar bertujuan untuk menentukan arah
pergerakan sesar dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard (1972). Pada
analisis lipatan digunakan klasifikasi penamaan berdasarkan kalsifikasi Rickard
(1972).
2.4.8. Analisis Data Measuring Section
Mengidentifikasi litologi yang berada didaerah penelitian, terutama
persebaran dari seam batubara, kemudian dikorelasikan terhadap lintasan lainnya.
Kemudian menyimpulkan persebaran seam batubara terhadap pengontrolnya, yaitu
struktur geologi. Selain itu, data measuring section yang dikorelasikan dengan data
bor, dan pemetaan geologi serta penampang geologi, dapat menentukan tebal dan
pola persebaran seam batubara.
28
2.5. Tahap Sintesis dan Penyajian Data
Tahap terakhir yaitu tahap penyelesaian yaitu berupa hasil dari seluruh
pengolahan data yang nantinya disimpulkan melalui satu interpretasi sejarah
geologi daerah terkait yang disajikan melalui laporan resmi dan peta-peta.
Peta yang dihasilkan adalah peta pola pengaliran, peta lintasan dan lokasi
pengamatan, geomorfologi, geologi.
2.5.1. Geomorfologi
Kenampakan geomorfik pada daerah penelitian didapatkan dari integrasi data
pra-lapangan (interpretasi kenampakan geomorfik pada citra satelit Google Earth,
juga didukung dengan Peta RBI skala 1:10.000 dengan bantuan DEM) dan hasil
tinjau lapangan (field check). Output yang dihasilkan berupa peta geomorfologi
beserta penampang geomorfologi daerah penelitian
2.5.2. Stratigrafi
Stratigrafi daerah penelitian diketahui dari hasil analisis stratigrafi
(measuring section dan composite profile). Urut-urutan stratigrafi, sebaran, serta
hubungan antar satuannya ditunjukkan dalam peta geologi dan penampang geologi
daerah penelitian.
2.5.3. Struktur Geologi
Struktur geologi daerah penelitian diketahui dari hasil analisis struktur
geologi (integrasi antara hasil interpretasi kelurusan pada Peta RBI skala 1:10.000
dengan bantuan data DEM dan juga data hasil analisis stereografis). Struktur-
struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitan ditunjukkan oleh peta
geologi dan penampang geologi daerah penelitian.
2.5.4. Pengontrol Persebaran Seam Batubara
Persebaran seam batubara daerah penelitian diketahui dari hasil data bor,
pemetaan geologi dan measuring section. Keberadaan seam batubara tersebut
kemudian dikorelasikan dengan data bor, pemetaan geologi dan measuring section
untuk mengetahui persebarannya, sehingga dapat disimpulkan pengaruh struktur
geologi terhadap persebaran batubara
2.6. Rencana Jadwal Penelitian
Waktu penelitian skripsi ini dimulai dari bulan Desember 2020 - September
2021 yang dilaksanakan di PT. Sebuku Tanjung Coal, dengan melalui beberapa
29
tahapan seperti pendahuluan, akuisisi data lapangan, analisis dan pengolahan data,
serta sintesis dan penyajian data. Timeline penelitian skripsi dapat dilihat pada
(Tabel 2.1)
Tabel 2. Timeline Penelitian Skripsi
30
BAB III
DASAR TEORI
31
abu cenderung tinggi). Batubara dengan proses drift penyebarannya tidak luas tetapi
banyak dan kualitasnya kurang baik
Menurut (Stach, 1982) dalam (Susilawati 1992), Proses pembentukan
batubara terbagi menjadi 2 yaitu proses humification / peatification dan
coalification
1. Proses humification / peatification (humifikasi / penggambutan)
Proses penggambutan adalah proses yang terjadi pada daerah yang memiliki
kondisi basah, ketika tumbuhan mati, akan mengalami dekomposisi dan
pembusukan akibat adanya organisme. Organisme seperti jamur, serangga atau
organisme dan bakteri aerobic lainnya akan bekerja ketika tumbuhan mati belum
tertimbun oleh material sedimen, ketika tumbuhan mati tersebut tertutup oleh
sedimen, maka organisme anaerobic akan menggantikannya, sehingga tumbuhan
tersebut membusuk dan melepaskan unsur H,N,O dalam bentuk senyawa CO2,H20
dan NH3 untuk menjadi humus, setelah itu bakteri anaerobic dan jamur
mengubahnya menjadi gambut.
32
tersebut terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,
temperature, tekanan dan waktu. Temperatur dan tekanan memiliki peran penting
dalam memperepat proses reaksi dan menghasilkan unsur gas. Proses ini akan
menghasilkan perbedaan tingkat kematangan pada batubara, sehingga memiliki
derajat kematangan yang berbeda (Gambar 4)
33
Tabel 3. Komposisi elemen dari beberapa tipe batubara (Susilawati, 1992)
34
4. Tumbuhan (Flora)
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara yang tumbuh pada masa
Karbon dan Tersier terdiri berbagai jenis tumbuhan. Pertumbuhan dari flora
terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi
tertentu. Dekomposisi Dekomposisi flora merupakan transformasi biokimia dari
organik yang merupakan titik awal untuk seluruh altersi, bila tumbuhan tertutup air
dengan capat maka pembusukan tidak akan terjadi tetapi akan di integrasiatau
penguraian hewan mikrobiologi, bila tumbuhan yang mati berada di udara terbuka
maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang sehingga bagian keras saja
yang tertinggal.
5. Penurunan Cekungan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik, jika
penurunan dan pengendapan gambut seimbang maka akan menghasilkan lapisan
batubara yang tebal. Pergantian transgresi dan regresi akan mempengaruhi
pertumbuhan flora dan pengendapannya yang menyebabkan adanya infiltrasi
material dan mineralnya, hal ini mempengaruhi kualitas batubara yang terbentuk.
6. Umur geologi
Merupakan umur formasi pembawa lapisan batubara. Proses geologi
menentukan berkembangnya evoluasi kehidupan berbagai macam tumbuhan,
berpengaruh pada sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Dimana
makin tua umur pembawa lapisan batubara maka akan semakin tinggi nilai
kalorinya.
7. Sejarah
Setelah pengendapan, sejarah cekungan batubara secara luas bergantung
pada posisi geoteknik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan
batubara. Secara singkat terjadi proses biokimia dan metamorfosa organik sesudah
pengendapan gambut, secara geologi intrusi menyebabkan terbentuknya struktur
cekungan batubara berupa perlipatan, sesar, intrusi. Terbentuknya batubara pada
cekungan batubara umumnya mengalami defornasi oleh gaya tektonik, yang akan
menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu
adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.
8. Metamorfosa organic
Pada tingkat penimbunan oleh sedimen baru, proses degradasi biokimia
tidak berperan lagi tidak di dominasi oleh proses dinamokimia yang menyebabkan
35
perubahan gambut menjadi batubara dan menjadi berbagai macam. Selama Proses
ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen, zat terbang, serta bertambahnya
prosentase karbon padat, belerang dan kandungan abu.
3.3 Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan adalah lingkungan yang kompleks yang
disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi dimana sedimen
diendapkan Koesoemadinata (1981).
Batubara pada lingkungan ini mempunyai ciri-ciri tipis dan terbelah (split)
oleh sejumlah endapan levee. Sebaran lapisan batubara cenderung menerus
sepanjang jurus pengendapan. Selain itu, mudah tergenang air laut atau payau
sehingga kandungan sulfurnya tinggi.
36
2. Lingkungan Transitional Lower Delta Plain
Pada lingkungan ini batubara yang terbentuk relatif tebal, tersebar meluas
sejajar arah pengendapan namun kemenerusan lapisan sering terpotong oleh
channel. Kandungan sulfur sedikit rendah, zona ini mengandung fauna air payau
sampai fauna marin serta struktur burrow yang meluas. Melihat ciri – ciri dari pada
lingkungan transitional lower delta plain, maka lokasi penelitian termasuk di
dalamnya.
3. Lingkungan Barier
37
3.4 Struktur Sesar Post Genetik
Thomas (2013) menganggap bahwa segala perubahan struktural yang
signifikan baik secara lateral maupun vertikal memiliki hubungan langsung dengan
ketebalan, kualitas, serta kegiatan penambangan, perubahan tersebut dapat terjadi
dalam skala kecil maupun besar, berefek pada karakter internal batubara, atau dapat
mengganti spasi batubara dengan sedimen bukan batubara atau dalam keadaan
tertentu dengan intrusi batuan beku. Mengerti struktur geologi dalam lapisan
batubara sangat penting dalam kegiatan penambangan dan perhitungan cadangan
karena dapat membantu menganalisis korelasi stratigrafi.
Perkembangan kekar yang kuat dan pola sesar dalam sikuen pembawa
batubara adalah hal yang paling sering terbentuk dalam ekspresi struktur dalam
sikuen pembawa batubara. Sesar dan lipatan juga berpengaruh terhadap cleat
ditunjukkan oleh perbedaan jumlah frekuensi cleat di zona sesar paling besar,
kemudian semakin kecil di sayap curam dan di sayap landai. Akibat perbedaan
jumlah frekuensi cleat tersebut, maka derajat fragmentasi batubara beragam.
Batubara di zona sesar terfragmenkan, di sayap curam agak terfragmenkan,
sedangkan di sayap landai kurang terfragmenkan (Kuncoro, 2012).
3.4.1 Jenis Sesar
Terdapat 3 macam sesar Post-Genetik (Thomas,2013), yaitu:
a. Sesar Normal
Sesar ini terbentuk karena adanya dominasi tekanan vertikal yang
menyebabkan pengurangan kompresi horizontal, membuat gravitasi sebagai
ekstensi horizontal di sikuen batuan. Pembentukan sesar merupakan hal yang wajar,
dan pergerakan dapat terjadi sepanjang beberapa meter hingga ratusan meter. Sesar
ini dapat menghentikan kegiatan penambangan secara lokal maupun total karena
adanya pergeseran dalam kemenerusan sesar. Kemiringan sesar normal biasanya
berkisar antara 60-70°. Beberapa sesar normal berhenti kelurusannya karena
berkurangnya throw dalam sesar. Sesar juga dapat terbentuk menjadi monoklin
yang lentur, terpisah diatas lapisan yan lebih lunak. Sesar juga membentuk seretan
dalam bidang sesar, batuan asal dapat tercungkil searah dengan pergerakan sesar.
Disaat sesar besar tergeser jauh, dan ini terjadi dalam segala sesar, zona yang
menggerus batuan dan batubara akan melebar sejajar dengan bidang sesar dan
dengan jarak beberapa meter, seperti zona hancuran yang dilihat di pertambangan
di Inggris (Gambar 6)
38
Gambar 6. Zona sesar besar yang terlihat di high wall dalam tambang terbuka di South Wales,
Inggris Raya (Thomas, 2013)
b. Sesar Naik
Sesar ini terbentuk karena adanya tekanan secara horizontal dengan
kompresi vertikal yang lebih lemah. Sesar naik dengan sudut besar biasanya
merupakan struktur besar yang berasosiasi dengan pengangkatan regional dan
bersamaan dengan aktivitas magmatic. Dalam geologi batubara, sesar naik dengan
sudut yang kecil (<45) lebih signifikan. Tipe sesar naik dapat dilihat di gambar 7.
dimana sesar membuat lapisan batubara mengalami dislokasi sebesar beberapa
meter. Saat sudut sangat kecil, dan perpindahan lateral sangat terlihat, seperti dalam
thrust fault. Bentuk dari sesar naik dengan sudut kecil dikontrol oleh faktor alam
dari batuan yang tersesarkan, terutama saat bidang gerus mengikuti bidang sesar
(tidak tegak lurus).
39
Gambar 7.Lapisan Batubara terdislokasi karena sesar naik dengan throw 1.5 meter, tambang
terbuka Inggris (Thomas, 2013)
c. Sesar Mendatar
Sesar mendatar memiliki tegangan maksimal dan minimal di dua bidang
horizontal. Hal ini dapat menyebabkan pergerakan secara horizontal searah jarum
jam (dextral) atau berlawanan arah jarum jam (sinistral). Sesar mendatar kadang
ditemukan dalam skala regional dan meski penting, sesar ini hanya sedikit
berpengaruh dalam analisis endapan batubara. Bukti sesar di batuan dapat dilihat di
kekar gerus, dimana garis di bidang sesar parallel terhadap pergerakannya. Kadang
bidang sesar bentuknya telah tergerus secara khas dimana batubara tingkat tinggi
terkompresi sejajar dengan bidang sesar. Garis kerucut adalah perkembangan dalam
batubara, dan sering disebut cone-in-cone structures, dan merupakan hasil dari
kompresi antara bagian atas dan bawah batubara. Respon batubara di daerah yang
rapuh terhadap penambahan deformasi oleh gerakan yang hancur dan perpindahan
subsekuen bersamaan dengan penambahan rekahan (Frodsham dan Gayer 1999,
dalam Thomas, 2013).
Di daerah tambang yang telah terdeformasi secara tektonik, dan di tambang,
merupakan hal yang penting bahwa penilaian cepat dari pergerakan fisik batubara
dapat dibuat. Penilaian secara visual dari keberadaan batubara dapat dibuat dengan
sampel hand specimen, sampel core, dan observasi outcrop. Indeks struktur rata-
40
rata dapat digunakan untuk menilai kekuatan deformasi batubara relatif dan
frekuensi kekar di spesimen.
41
dengan batuan asal sehingga mengurangi kualitas, dan dalam beberapa kasus adalah
penembangan.
Daerah endapan batubara dengan aktivitas tektonik tinggi, beberapa kontak
lapisan batubara bergerak dan terkikis, dalam beberapa kasus seluruh lapisan akan
terkompresi dan berpindah, hal ini mungkin dapat dilihat di batubara sebagai
arcuate shear planes throughout. Pengembangan zona tunjaman dalam sikuen
batubara dapat dilihat di gambar 8, dimana kompresi lateral dapat membentuk
thrusting bersamaan dengan horison litologi dan lanjutan kompresi ini membentuk
bagian atas sikuen yang lebih terganggu dibandingkan bagian bawahnya yang
sering disebut dengan progressive easy-slip thrusting. Keadaan ini sering
ditemukan dalam lapangan batubara. Thrusting juga tertekan saat sikuen batubara
dan batulempung membentuk sandwich antara bagian batuan klastik yang tebal
serta daerah atas dan bawah sikuen terhadap bagian terendah sikuen bereaksi
terhadap gaya kompresi sedikit berbeda terhadap ketidakmampuan batubara dan
dan batulempung.
(a) Thrust berkembang secara simultan saat datar bersamaan dengan bagian bawah
lapisan batubara dengan tekanan tinggi, memotong bagian atas lapisan batubara,
lipatan mulai berkembang dalam zona thrust; (b) Thrust kembali menyebar dengan
pelebaran lipatan miring di daerah teratas thrust; (c) Pergerakan sikuen masih
berlanjut di daerah thrust tertinggi yang menyebabkan patahnya thrust di area
hanging wall dan footwall, thrust secara lokal memotong stratigrafi di daerah
transport. (d) sikuen hanging wall yang maju ke belakang membentuk geometri
yang jelas dengan struktur di daerah thrust terendah menjadi tidak terhubung
42
terhadap bagian tertinggi thrust. Footwall yang terpisah membentuk sesar naik yang
terlipat. (Gayer, dkk,1991 dalam Thomas 2013)
3.4.3 Kekar
Kekar adalah retakan pada batuan yang sedikit atau tidak sama sekali
mengalami pergeseran, retakan yang terjadi gaya tekanan disebut “shear fractures”
dan yang terjadi karena gaya tarikan disebut “tension fractures” (Dennis, 1979).
Sedangkan Billings (1972), membagi kekar tarikan kedalam “extension joints” dan
“release joints”. Berdasarkan karakteristiknya kekar dapat dibedakan menjadi:
• Kekar tarikan : tidak rapat, batas retakan relatif tidak rata, kuarsa yang
mengisi kristalnya baik, tidak berpasangan.
Kekar-kekar tersebut terbentuk oleh adanya tegasan yang bekerja pada batuan,
dimana tegasan tersebut berupa tegasan utama terbesar, tegasan utama menengah
dan tegasan utama terkecil. Tegasan utama terbesar akan membagi sudut lancip
kedua shear joint sama besar, sedangkan tegasan utama terkecil akan membagi
sudut tumpul kedua shear joint sama besar.
Gambar 9. Hubungan pembentukan kekar dengan arah tegasan ( Twiss dan Moores, 1992)
3.4.3 Sesar
Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
pergeseran melalui bidang rekahnya. Sesar merupakan patahan/rekahan tunggal
atau suatu zona pecahan padakerak bumi bersamaan dengan terjadinya pergerakan
yang cukup besar, paralel dengan rekahan atau zona pecahan. Suatu permukaan,
sisi, atau dinding yang bergeser melewati dinding lain akan mengakibatkan
43
kerusakan dan bergesernya struktur batuan yang sebelumnya menerus tepat pada
sesar. Maka, sebuah sesar adalah bergesernya struktur batuan yang disebabkan oleh
massa batuan yang slip satu sama lain disepanjang bidang atau zona rekahan. Sesar
adalah patahan/rekahan shear (shear fracture), dan istilah shearing sering kali
digunakan sebagai sinonim untuk pensesaran.
Sesar terdapat pada batuan yang paling keras dan kuat, seperti granit, dan
pada batuan yang lebih lunak serta material bumi yang tidak seragam, seperti pasir
dan lempung, sesar terdapat dimana-mana, paling tidak pada beberapa ukuran,
sepanjang bagian kulit terluar bumi yang masih dapat dilihat. Sesar memiliki
anatomi (unsur-unsur dalam sesar) sebagai berikut :
1. Bidang sesar (fault plane) adalah suatu bidang sepanjang rekahan dalam
batuan yang tergeserkan.
2. Jurus sesar (strike) adalah arah dari suatu garis horizontal yang merupakan
perpotongan antara bidang sesar dengan bidang khayal horizontal.
3. Kemiringan sesar (dip) adalah sudut antara bidang sesar dengan bidang
khayal horizontal dan diukur tegak lurus jurus sesar.
4. Atap sesar (hanging wall) adalah blok yang terletak diatas bidang sesar
apabila bidang sesar tidak vertikal.
44
Gambar 10. Komponen geometri bidang sesar ( Twiss dan Moores, 1992)
Berdasarkan sifat pergeserannya menurut Twiss dan Moores (1992) sesar dapat
dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pergeseran Semu, merupakan jarak tegak lurus antara bidang yang terpisah
oleh gejala sesar dan diukur pada bidang sesar. Komponen dari separation
diukur pada arah tertentu, yaitu sejajar jurus (strike separation) dan arah
kemiringan sesar (dip separation). Sedangkan total pergeseran semu ialah
net separation
Gambar 11. Klasifikasi sesar berdasarkan pergerakan semu (separation slip) ( Twiss dan Moores,
1992)
45
Gambar 12. Klasifikasi sesar berdasarkan pergerakan relatif sebenarnya (net slip) ( Twiss dan
Moores, 1992)
Menurut Anderson (1951) berdasarkan pola tegasannya ada 3 (tiga) jenis sesar,
yaitu sesar naik (thrust fault), sesar normal (normal fault) dan sesar mendatar
(wrench fault)
1. Sesar turun jika tegasan utama atau tegasan maksimum pada posisi vertical
46
BAB IV
47
Gambar 4. Lokasi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012)
Gambar 5. Posisi cekungan Asem-Asem (Satyana dan Silitonga, 1993 dalam Santoso dan
Daulay,2008)
48
4.2 Stratigrafi Regional
Cekungan Asem-Asem memiliki kesamaan stratigrafi dengan Cekungan Barito
karena merupakan sebuah depocenter sampai terjadinya uplift dan munculnya
Pegunungan Meratus pada Miosen Akhir (Satyana dan Silitonga, 1994; Witts, dkk.,
2012).
Lapisan batubara di cekungan ditemukan di zaman Eosen Tanjung, Formasi
Warukin Miosen Tengah dan Pliosen-Pleistosen. Deposit batubara ekonomis terjadi
di cekungan Asem-Asem. Batubara diendapkan dalam urutan Tersier di lingkungan
pengendapan mulai dari fluviatile ke delta. (Santoso dan Daulay,2008)
Gambar 6. Geologi Kenozoikum di Cekungan Barito dan Asem – Asem, Lokasi penelitian diberi
tanda kotak merah (Modifikasi Supriatna et.al, 1994 dalam Witss et.al, 2012)
49
sisipan batubara, batulanau dan batuserpih (Santoso dan Daulay, 2008),
dengan suplai dari batuan sedimen yang paling tua (Witts, dkk., 2011).
2. Formasi Tanjung dari perselingan batupasir kasar, batupasir
konglomeratan dan konglomerat di bagian bawah, batulempung berwarna
kelabu di bagian tengah dan perselingan tipis batulanau dan batupasir halus
di bagian atas. Terdapat transisi bagian atas dari endapan aluvial ke laut
dangkal, dengan sekitar 80% dari formasi tersebut diendapkan di dataran
banjir pantai pasang surut (fluvio-tidal coastal floodplain) yang mengalami
transgresi. Berdasarkan Witts, dkk. (2011), bagian utama Formasi Tanjung
berumur Eosen Akhir berdasarkan data pollen (Cicatricosisporites
dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan
Turborotalia pomeroli, Globigerinatheka sp., Subbotina eocaenica,
Hantkenina sp and Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.).
Pada Tersier awal terjadi deformasi ekstensional sebagai hasil dari
konvergensi oblik yang menghasilkan rift berarah BL-Tg, tempat
akomodasi dari kipas aluvial dan sedimen lakustrin yang merupakan bagian
dari Formasi Tanjung bagian bawah. Pada awal Eosen Tengah, terjadi
transgresi sehingga lingkungan pengendapan menjadi fluviodeltaik yang
merupakan pembentuk Formasi Tanjung bagian Tengah. Transgresi terus
terjadi hingga Eosen-awal Oligosen menghasilkan endapan serping laut
pembentuk Formasi Tanjung bagian atas (Satyana, 1999). Pada bagian atas
formasi ini terdapat batuan karbonat yang merupakan awal dari
terbentuknya Formasi Berai
3. Formasi Berai diendapkan secara selaras di atas Formasi Tanjung, tetapi
pada beberapa bagian terdapat hubungan yang menunjukkan adanya
ketidakselarasan. Tetapi secara umum formasi ini diendapkan selaras di atas
Formasi Tanjung. Litologi formasi ini terdiri dari batugamping dengan
lingkungan pengendapan terumbu depan, antara terumbu belakang,
sublitoral pinggir, relatif dangkal, kurang dari 30 meter, berupa laut dangkal
atau lagoon. Umur formasi ini adalah Oligosen Akhir – Miosen Awal.
4. Formasi Warukin diendapkan secara selaras di atas Formasi Berai dengan
litologi berupa batulempung warna kelabu, sisipan batupasir dan batubara.
Bagian bawah dari runtunan batuan ini terdiri atas dominasi batulempung
warna kelabu sampai kehitaman dengan sisipan batupasir hasul-sedang
50
dengan struktur sedimen paralel laminasi dari material karbon, flaser dan
burrow. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah rawa dan pasang surut
dengan umur Miosen Awal –Miosen Akhir. Regresi terjadi selama Miosen
akibat dari pengangkatan Schwaner Core dan Tinggian Meratus. Adanya
endapan klastik menyebabkan pengendapan sedimen delta yang mengarah
ke timur dari Formasi Warukin. Pada akhir Miosen, Tinggin Meratus
muncul kembali, diikuti penurunan isostatik subsidence yang terjadi pada
bagian foreland, menyebabkan pembentukan endapan Formasi Warukin
dengan tebal ribuan meter (Satyana, 1999).
5. Formasi Dahor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Warukin.
Litologinya batulempung sampai batulempung pasiran, batupasir kasar –
konglomeratan yang berstruktur sedimen butiran bersusun (gradded
bedding), batupasir kemerahan yang berstruktur sedimen laminasi sejajar
dan silangsiur serta konglomerat yang memiliki komponen batuan granit,
19 malihan, sedimen dan vulkanik dengan ukuran 5-15 cm. Dengan umur
Plio-Plistosen.
6. Endapan Aluvial pada Cekungan Asem-asem merupakan hasil dari proses
sungai (fluviatil) yang terdiri dari endapan lumpur, pasir, kerikil, kerakal
dan bongkah yang berumur Kuarter.
51
Gambar 7. Stratigrafi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012)
52
Gambar 8. Trend Dari Struktur Geologi Kalimantan Saat Ini (Satyana et.al 1999)
53
Gambar 10. Struktur Paleogen dan Neogen dari Barito Timur
• Formasi Warukin: nilai kalori antara 5.000,00 kal/g dan 6.000,00 kal/g,
kadar abu= 4,00% dan 20,00 %, zat terbang = 35.00 % dan 50,00 %, karbon
padat= 20,00% dan 40,00%, belerang total= 0,40 dan 4,00 %, dan kadar air=
3,00% dan 14,00 %.
54
• Formasi Dahor: nilai kalori antara 4.000,00 kal/g dan 5.000,00 kal/g, kadar
abu= 21,00% dan 30 ,00 %, zat terbang = 30.00 % dan 50,00 %, karbon
padat= 20,00% dan 30,00%, belerang total= 2,00 dan 4,00 %.
• Rank batubara dalam Formasi Tanjung (Davis et.al 2007) yaitu Sub-
Bituminus dan Formasi Warukin yaitu Lignite/Sub-bituminus
Dari data tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa batubara Formasi Tanjung
di daerah penelitian termasuk jenis batubara yang cukup baik di bandingkan dengan
batubara Formasi Warukin dan Formasi Dahor.
55
BAB V
GEOLOGI DESA SELARU, KECAMATAN PULAU LAUT
TENGAH, KABUPATEN KOTABARU, PROVINSI
KALIMANTAN SELATAN
5.1 Pola Pengaliran Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Menurut Howard, 1967 dalam van Zuidam 1985, pola pengaliran adalah
kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau
tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Dalam
mengelompokkan pola pengaliran pada daerah penelitian, penulis mengamati sifat
fisik batuan, keadaan topografi, struktur geologi yang berkembang dan disesuaikan
dengan pembagian pola pengaliran, maka penulis membagi pola pengaliran
menjadi :
Gambar 12. Pola Pengaliran Daerah Penelitian, interpretasi melalui kontur asli (kiri) dan
interpretasi kontur dengan digitasi melalui foto udara atau pasca tambang (kanan)
56
daerah penelitian, membentuk aliran sungai seperti ranting pohon memiliki banyak
anak sungai yang menyatu dengan sungai utama (Gambar 15).
Berdasarkan perolehan fakta lapangan dan analisis yang berbasis fakta lapangan,
diperoleh interpretasi pola pengaliran daerah penelitian sebagai berikut :
57
Tabel 4.Pemerian Pola Pengaliran Daerah Penelitian
1. Adanya pola alur sungai yang jarang di bagian utara kavling merupakan
dataran. Pola alur atau ranting-ranting sungai rapat di bagian tengah - selatan
kavling merupakan kumpulan beberapa punggungan dan lembah.
3. Berdasarkan fakta lapangan dan mengacu pada klasifikasi Way (1920) maka
di daerah penelitian didapatkan jarak antar sungai orde 1 berkisar 0,7-3.56
cm, dengan skala peta 1:10.000 jarak antar sungai orde 1 sebenarnya
berkisar 70 - 356 meter, tekstur aliran tersebut termasuk dalam halus-
sedang, diinterpretasikan daerah penelitian disusun oleh batuan berukuran
halus-sedang, seperti batulempung,serpih,lanau,tuff ataupun material kedap
air. Kenyataan di lapangan, bagian utara - tengah daerah penelitian memilki
litologi berupa satuan batuserpih, batulanau pasiran dan batupasir kuarsa
lapuk ( loose material) sedangkan bagian selatan berupa batupasir segar.
58
4. Menurut Van Zuidam 1985, tekstur halus menandakan bahwa batuan
berbutir halus, porositas buruk, dan tingkat limpasan air permukaan buruk,
sedangkan tekstur sedang menandakan batuan berbutir sedang, tingkat
limpasan air permukaan sedang, batuan memiliki porositas sedang
59
2. Morfometri adalah aspek-aspek kuantitatif dari kenampakan geomorfologi
pada permukaan bumi yang terdiri atas lereng, pola lereng, ketinggian,
relief, bentuk lembah, tingkat erosi atau pola pengaliran.
Berdasarkan perolehan fakta lapangan dan analisis yang berbasis fakta lapangan,
geomorfologi daerah penelitian terdiri atas 4 bentuk lahan, yang terdiri atas:
2. Peneplain (D2)
60
Tabel 5. Pemerian Peta Geomorfologi Daerah Penelitian
61
1. Terdapat kelurusan kontur lembah dengan orientasi Timurlaut-Baratdaya,
dan kontur rapat-renggang, kontur tertutup,lereng yang cukup curam, dan
bentuk lembah U-V yang menandakan adanya struktur geologi dan proses
pelapukan dan erosi yang cukup dominan
3. Terdapat kenampakan scarp slope dan dip slope dengan arah kemiringan
lereng yang sama. Hal tersebut menginterpretasikan memiliki kedudukan
yang sama dengan kedudukan berarah SBD-UTLdan BD-TL.
4. Morfologi dipotong oleh sesar naik dan mendatar dengan orientasi TL-BD
dan sesar turun BL-T
NW
Perbukitan Bergelombang
Gambar 15. Geomorfologi Bentuk Lahan Bukit Bergelombang (lensa mengarah ke Baratlaut)
62
mdpl dengan pola pengaliran subdendritik dan memiliki tingkat kelerengan lereng
0-4° (Datar - Landai) didominasi oleh landai.
Peneplain
63
kontur yang landai-datar yang menunjukan morfologi berupa dataran, dengan
kelerengan lereng 0-4° (Datar - Landai) didominasi oleh landai
2. Berdasarkan bentuk lembah (U) dan tempat mengalirnya (alluvial stream),
bentuklahan tubuh sungai disusun oleh batuan berbutir halus dan hasil erosi
batuan asal.
3. Berdasarkan morfodinamis didominasi oleh proses erosi dan pelapukan.
Tubuh Sungai
64
lapangan pertambangan batubara terbuka. Satuan bentuklahan ini menepati sekitar
10% dari seluruh area penelitian. Satuan bentuklahan ini terdiri dari sump, jalan
hauling, pit. Berdasarkan fakta-fakta yang ada pada Tabel 5, maka lahan hasil
penambangan dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
2. Bentuk lahan ini tersusun oleh material ekonomis dan non ekonomis seperti
batulempung, batulanau, batupasir, batubara berasal dari hasil bukaan
daerah pit/penambangan.
Hauling PIT
Sump
Gambar 18. Bentuklahan lahan hasil penambangan (pit, sump, hauling) (lensa mengarah ke
Baratlaut)
1. Satuan bentuklahan ini menepati sekitar 10% dari seluruh area penelitian.
65
2. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, satuan bentuklahan hasil
timbunan memiliki lereng 10-20°(lereng bagian kaki bukit dan 21-40°
(lereng bagian puncak bukit) termasuk dalam curam-terjal, didominasi oleh
lereng yang agak terjal
3. Bentuk lahan ini tersusun oleh material sedimen seperti satuan batupasir,
batulanau dan batuserpih yang berasal darihasil bukaan daerah
pit/penambangan.
Disposal
66
Tabel 6. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian
67
5.3.1.2 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan Batupasir Formasi Tanjung ini menempati 45% dari luas total daerah
penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 39, LP 44, dan
LP 55 merupakan bagian selatan daerah penelitian merupakan bagian satuan
Batupasir Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N235E dengan
kemiringan ke arah barat laut dengan nilai antara 9° hingga 12°. Hal tersebut
menandakan bahwa satuan Batupasir Formasi Tanjung ini merupakan satuan tertua
di daerah penelitian. Berdasarkan penampang sayatan geologi A-A’didapatkan
ketebalan satuan Batupasir Formasi Tanjung pada daerah penelitian sebesar 230
meter.
Gambar 20. Foto singkapan pada satuan batupasir Tanjung (LP 44 dan LP 55). (A) Foto
singkapan, (B,C) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap ke Timurlaut.
68
5.3.1.4 Pemerian Petrografi
Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP
51 dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif 4x. Memiliki
karakteristik sedimen sillisiklastik; warna cokelat kehitaman; bertekstur klastik;
ukuran butir 0,1-0,25 mm (pasir halus); didukung oleh matriks; bentuk butir very
angular; terpilah baik; kontak butiran concave-convex; disusun oleh mineral
kuarsa, mineral oksida, dan material berukuran lanau-lempung. Komposisi mineral
sebagai berikut :
69
1. Berdasarkan analisis mikrofosil, yang ditunjukan pada lokasi pengamatan
52, nomor sampel 4 (Lampiran C2) tidak ditemukan adanya fosil
planktonic, sehingga tidak dapat ditentukan umurnya (barren).
70
• Berdasarkan data profil komposit (Lampiran D) Satuan Batupasir Tanjung
adalah satuan tertua pada daerah penelitian, satuan batupasir Tanjung
tersusun oleh batupasir dengan struktur sedimen crossbedding sisipan lanau,
satuan Batulanau Tanjung tersusun oleh batulanau dengan struktur sedimen
masif, perlapisan, wavy lamination, lenticular, dan batubara. Dalam profil
komposit menunjukan perubahan yang berangsur dari Batupasir Tanjung
dan Batulanau Tanjung dengan ciri menghalus ke atas, dan secara
lingkungan pengendapan kedua satuan tersebut, berada saling berurutan
yaitu channel-levee-backswamp (Horne, 1978) dan juga dalam pengamatan
lapangan tidak ditemukan ciri dari menjari maupun ketidakselarasan.
Gambar 23. Kontak antara Satuan Batupasir Tanjung dengan Satuan Batulanau Tanjung di LP 12
(lensa kamera menghadap ke Baratlaut)
71
5.3.2.2 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batulanau Formasi Tanjung ini menempati 20% dari luas total daerah
penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 95 (Gambar 25)
merupakan bagian selatan bagian tengah daerah penelitian merupakan bagian
satuan Batulanau Pasiran Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N270E
dengan kemiringan ke arah barat laut dengan nilai antara 10° hingga 15°.
Berdasarkan data penampang sayatan geologi A-A’ didapatkan ketebalan satuan
Batulanau Pasiran Formasi Tanjung pada daerah penelitian sebesar 30 meter.
Gambar 24. Foto singkapan pada satuan batulanau Tanjung (LP 95). (A) Foto singkapan,
(B,C,D,E,F) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap kearah Timurlaut
72
5.3.2.4 Pemerian Petrografi
Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP 2
nomor sampel 2, dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif
4x. Memiliki karakteristik sedimen sillisiklastik; tidak berwarna; bertekstur klastik;
ukuran butir <0.004 mm (lempung); disusun oleh mineral kuarsa, mineral oksida
dan opak, dan material berukurang lempung. Komposisi mineral sebagai berikut :
• Kuarsa (L,6)(10%)
Tidak berwarna;<0,02 mm ; angular ; hadir menyebar
73
Gambar 26. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batulanau LP 95
74
tumbuhan berukuran 0,1 - 40 cm, berstruktur perlapisan, dan masif. Litologi
batupasir dicirikan dengan kenampakan warna putih dengan fragmen kuarsa
berukuran 0,06 - 0,125 mm, berstruktur laminasi dan ripple ( wavy dan
lenticular lamination ). Litologi batubara dicirikan dengan adanya parting
batulempung. Dalam profil komposit menunjukan perubahan yang
berangsur dari Batulanau Tanjung ke Batuserpih Tanjung dengan ciri
menghalus ke atas, dan secara lingkungan pengendapan kedua satuan
tersebut, berada saling berurutan yaitu levee-backswamp-levee-
interdistributary bay (Horne, 1978) dan juga dalam pengamatan lapangan
ditemukan kontak selaras dengan satuan Batuserpih Tanjung
Gambar 27. Kontak antara satuan batulanau Tanjung dengan batuserpih Tanjung di LP 5 (lensa
mengarah ke Baratdaya)
75
bagian selatan bagian tengah daerah penelitian merupakan bagian satuan Batuserpih
Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N275E dengan kemiringan ke
arah barat laut dengan nilai antara 10° hingga 15°. Berdasarkan penampang sayatan
geologi A-A’ didapatkan ketebalan satuan Batuserpih Formasi Tanjung pada daerah
penelitian sebesar 90 meter.
Gambar 28. Foto singkapan pada satuan batuserpih Tanjung (LP 5). (A) Foto singkapan, (B,C,D)
Foto litologi close-up, lensa kamera mengarah ke Timur
76
ukuran butir <0,02 (lanau) mm; disusun oleh mineral kuarsa, mineral mika, dan
material berukuran lanau. Komposisi mineral sebagai berikut :
• Kuarsa (L,6)(50%)
Tidak berwarna;<0,01 mm ; subangular ; hadir melimpah
77
2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)
bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites
dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan
Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut
E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan
penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.
Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.
78
penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.
Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.
5.4. Struktur Geologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Berdasarkan interpretasi kelurusan pada daerah penelitian, kelurusan
didominasi oleh orientasi baratlaut-tenggara, ditandai juga dengan berubahnya
kemiringan batuan dengan dip direction kearah barat laut didukung dengan data
kekar pada daerah penelitian, tegasan utama pada daerah penelitian yaitu Baratlaut-
Tenggara. Penamaan struktur geologi khususnya sesar, penulis menggunakan
model klasifikasi nama sesar oleh Rickard (1972).
5.4.1 Kekar
5.4.1.1 Kekar Lokasi Pengamatan 42 dan 52
Berdasarkan pengamatan lapangan, didapatkan kekar gerus berpasangan. Kekar
gerus di daerah penelitian tersebut ditemukan pada litologi batupasir kuarsa.
79
Tabel 7. Data Kekar Gerus LP 42 dan LP 52
Gambar 32. Singkapan dan analisa cleat daerah penelitian lokasi pengamatan 102 (lensa kamera
menghadap Tenggara)
80
Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara
bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya
mempunyai orientasi berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Adanya cleat
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu mekanisme pengendapan, petrografi
batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), dan aktivitas penambangan.
Cleat batubara berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi dua (Muhartanto, A dan
Iskardan, E, 2006) :Face cleat dan Butt cleat. Face cleat mempunyai rekahan yang
panjang dan sering dikenal sebagai rekahan utama atau primary cleat. Pada Butt cleat
mempunyai rekahan yang lebih pendek, sering melenkgkung dan memotong tegak
lurus face cleat dan sering dikenalsebagai secondary cleat.
Pada daerah penelitian pada lokasi pengamatan 102 di temukan face cleat
dengan arah umum N3500E sedangkan Butt cleat memiliki arah umum N0800E, dan
memiliki bukaan antar cleat 0.06 mm yang terisi oleh pyrite atau mineral lempung
dan memiliki sapcing antar cleat nya 0.8-4 cm.
Berdasarkan deskriptif dan analisa stereografis, jenis cleat yang
berkembang pada daerah penelitian, tepatnya di lokasi pengamatan 102, termasuk
dalam jenis exogenic cleat, terbentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan
kejadian tektonik. Cleat ini dicirikan oleh, terbentuknya face cleat yang memiliki
orientasi searah dengan arah tegasan.
Gambar 33. Sesar Selaru Satu dan Dua LP 102 dan 22 (Rickard 1972)
81
Sesar Selaru Satu berada di lokasi pengamatan 22, tepatnya pada X : 400406
, Y: 9621861 memiliki orientasi pergerakan N012°E/72° dengan pergerakan naik
dengan besar rake 71°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan throw
0,45 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Left Reverse
Slip Fault ( Rickard, 1972).
Sesar Selaru Dua berada di lokasi pengamatan 102, tepatnya pada X
:400796, Y: 9622258 memiliki orientasi pergerakan N250°E/75° dengan
pergerakan turun dengan besar rake 72°, sesar tersebut memotong litologi batubara,
dengan throw 1,5 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar
Right Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).
Gambar 34. Sesar Selaru Tiga dan Empat LP 17 dan 33 (Rickard, 1972)
Sesar Selaru Tiga berada di lokasi pengamatan 17, tepatnya pada X : 400912;
Y:9622147 memiliki orientasi pergerakan N200°E/70° dengan pergerakan naik
dengan besar rake 67°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan throw 8,5
meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right Reverse Slip
Fault ( Rickard, 1972).
Sesar Selaru Empat berada di lokasi pengamatan 33, tepatnya pada X :
401436; Y: 9621634 memiliki orientasi pergerakan N086°E/76° dengan pergerakan
turun dengan besar rake 74°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan
82
throw 3 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right
Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).
Gambar 35. Sesar Selaru Lima dan Enam LP 103 dan 09 (Rickard 1972)
83
Sesar Selaru Delapan berada di lokasi pengamatan 30, tepatnya pada X :
400154; Y: 9621464 memiliki orientasi pergerakan N056°E/77° dengan pergerakan
turun dengan besar rake 71°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan
throw 2,2 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Left
Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).
Gambar 36. Sesar Selaru Tujuh dan Delapan LP 10 dan 30 (Rickard 1972)
Gambar 37. Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh LP 39,41 dan 47,49 (Rickard 1972).
Sesar Selaru Sembilan berada di lokasi pengamatan 39 dan 41, tepatnya
pada X : 400015; Y: 9621238 sampai X: 400156;Y: 9621239 memiliki orientasi
pergerakan N260°E/69° dengan pergerakan kanan naik dengan besar rake 20°, sesar
tersebut tidak memotong litologi batubara, hanya memotong batupasir Tanjung
84
pada bagian selatan. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar
Reverse Right Slip Fault ( Rickard, 1972).
Sesar Selaru Delapan berada di lokasi pengamatan 47 dan 49, tepatnya pada
X : 400073; Y: 9621053 sampai X: 400537; Y: 9621081 memiliki orientasi
pergerakan N100°E/78° dengan pergerakan turun dengan besar rake 19°, sesar
tersebut tidak memotong litologi batubara, hanya memotong batupasir Tanjung
pada bagian selatan. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar
Reverse Right Slip Fault ( Rickard, 1972).
5.4.4 Genesa Struktur Geologi Daerah Penelitian.
Gambar 38. A.Permodelan struktur geologi pure shear (Moody and Hill, 1956) B. Struktur
geologi daerah penelitian C. Tegasan dan kedudukan perlapisan batuan
85
Struktur yang dibentuk oleh pure shear merupakan tegasan orthogonal,
dalam hal ini Baratlaut-Tenggara. Selain itu, mengacu pada geologi regional,
struktur geologi daerah penelitian merupakan hasil dari tektonik konvergensi
orthogonal sehingga terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus pada Miosen Akhir
dan efektif pada Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandai dengan adanya pensesaran naik
dan pensesaran geser kemudian diikuti dengan pensesaran turun yang cukup intens
pada kala itu.
Berdasarkan moody and hill 1956, daerah penelitian terbagi menjadi satu
orde, yaitu sesar naik dengan orientasi Timurlaut-Baratdaya atau ditunjukan dengan
Sesar Selaru Satu (LP 22), Sesar Selaru Tiga (LP 17), Sesar Selaru Enam (LP 9).
Sesar Selaru Tiga (LP17) diduga sesar ini cukup berperan penting hingga
menyingkap satuan batupasir Tanjung dibagian baratdaya. Kompresi terus berlanjut
hingga membentuk sesar mendatar kanan dengan orientasi relative barat-timur dan
mendatar kiri dengan orientasi Tenggara-Baratlaut. Extension menyebabkan
terbentuknya sesar turun berarah Baratlaut-Tenggara. Release menyebabkan
terbentuknya sesar turun dengan orientasi relative Timurlaut-Baratdaya.
5.4.5 Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai saat intensitas subduksi pada
mikrokontinen patenoster sehingga mengalami extentional rift yang
menyebabkan terbentuknya block faulting dan menjadi wadah sedimentasi. Pada
periode ini terbentuk Cekungan Asam-Asam dimana diindikasikan sebagai satu
depocenter dengan Cekungan Barito pada kala Eosen Tengah-Oligosen Awal
(16-36.5 jtl) (Witts, dkk 2012).
Sejarah geologi pada daerah penelitian ini pada kala Eosen Tengah-
Oligosen Awal, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Terbentuknya Cekungan, yang dimulai saat intensitas subduksi pada
mikrokontinen patenoster sehingga mengalami extentional rift pada kala
Eosen Tengah-Oligosen Awal (16-36.5 jtl) yang menyebabkan terbentuknya
block faulting dan menjadi wadah sedimentasi. Pada periode ini,
terbentuknya Cekungan Barito, dimana Cekungan Asam-Asam masih dalam
satu cekungan dengan Cekungan Barito. (Witts, dkk 2012)
2. Setelah terbentuknya cekungan, pada daerah penelitian diendapkannya
Formasi Tanjung yang diendapkan pada kala Eosen Tengah-Oligosen Awal,
berupa material klastik berupa batupasir dan batulanau, dan membentuk
86
satuan batupasir Tanjung yang terendapkan pada sub lingkungan berupa
channel aktif dan termasuk lingkungan pengendapan transitional-lower delta
plain (Horne,1978).
3. Selanjutnya secara selaras diatas batulanau Tanjung terendapkan material
klastik berupa batulanau, batupasir, batubara, yang membentuk satuan
batulanau Tanjung yang termasuk sub lingkungan pengendapan berupa
crevasse splay, levee, interdistributary bay, back swamp dan termasuk
lingkungan pengendapan transitional-lower delta plain (Horne,1978).
4. Kemudian secara selaras diatas batuserpih Tanjung terendapkan material
klastik berupa batulanau, batuserpih yang membentuk satuan Batuserpih
Tanjung yang termasuk sublingkungan pengendapan interdistributary bay
dan termasuk lingkungan pengendapan transitional-lower delta plain
(Horne,1978).
5. Pada kala Miosen Akhir terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus dan
efektif pada kala Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandainya dengan adanya kejadian
struktur geologi cukup intens, batuan yang telah terendapkan mulai
terdeformasi ditandai dengan pensesaran naik dan geser kemudian diikuti
dengan turun. Struktur yang ditemukan di daerah penelitian merupakan hasil
dari tektonik konvergensi.
6. Struktur yang terbentuk merupakan hasil dari tegasan ortogonal dengan arah
Baratlaut-Tenggara pasca batuan yang ada telah terbentuk (post
depositional).
7. Struktur yang berkembang merupakan satu periode deformasi yang sama.
Diawali oleh adanya kompresi yang menghasilkan sesar naik satuan batupasir
Tanjung tersingkap. Kompresi terus berlanjut hingga membentuk sesar
mendatar kanan dengan orientasi relative Barat-Timur dan mendatar kiri
dengan orientasi Tenggara-Baratlaut. Extension menyebabkan terbentuknya
sesar turun berarah Baratlaut-tenggara. Release menyebabkan terbentuknya
sesar turun dengan orientasi relative Timurlaut-Baratdaya.
8. Setelah terjadi deformasi, proses erosi dan pelapukan, diendapkannya tidak
selaras endapan alluvial, sebagai tandai proses geologi masa kini (recent)
87
Gambar 39. Sejarah geologi daerah penelitian
88
BAB VI
PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA SEBARAN DAN
KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG COAL
PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT,
KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN
5.5.1.1 Seam A
Seam A terdapat didaerah penelitian yang tersingkap dipermukaan dijumpai
pada lokasi pengamatan 1,3,4,5,6,8,16,17,18,20,22,90,91,92,94,100,101,103. Seam
ini merupakan seam paling tua didaerah penelitian, singkapan tersingkap cukup
baik dipermukaan, diantaranya berada pada jalan bukaan bor, lokasi bulk sampling,
alur liar, dan lembah. Sebagian besar kemenerusan seam tidak tersingkap
89
dipermukaan. Hal ini diakibatkan proses eksogen berupa erosi dan pelapukan di
daerah penelitian sehingga seam tersebut tertutup soil maupun endapan aluvial.
Vegetasi yang lebat pada daerah penelitian juga menyebabkan tertutupnya
singkapan seperti tumbuhan penutup baik akar, rumput, pohon dan lain.
Gambar 40. Foto Singkapan Seam A pada Lokasi Pengamatan 101 (lensa kamera menghadap
Timurlaut)
5.5.1.2 Seam B
Gambar 41. Kenampakan Seam B pada Lokasi Pengamatan 95 (lensa kamera menghadap Utara)
90
blocky, easily broken, resin,clay mineral,banded coal. Parting : claystone,
roof:siltstone, floor :siltstone. Cleat spacing 0.5-1 cm, kedudukan N275E/15.
5.5.1.2 Seam C
Gambar 42. Kenampakan Seam C pada Lokasi Pengmatan 95 (lensa kamera menghadap
Timurlaut)
6.6.2 Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi terhadap Pengaruh Pola
Sebaran Batubara
Struktur geologi daerah penelitian merupakan struktur geologi post
deposition sedimen, dilihat dari kenampakan batubara daerah penelitian, tidak
terdapat batubara yang menebal atau menipis secara signifikan. Hal tersebut terjadi
karena tidak adanya pengaruh perubahan bentuk cekungan saat terjadi
pengendapan.
Berdasarkan pengamatan lapangan secara langsung pada daerah penelitian,
struktur geologi yang berkembang berupa kekar gerus (shear joint) dan sepuluh
sesar berupa sesar naik, sesar mendatar, sesar turun.
Berdasarkan genesa struktur geologi daerah penelitian, kompresi daerah
penelitian memiliki orientasi berarah 01°, N304°E - 01°, N106°E (Baratlaut-
Tenggara). Orientasi kompresi daerah penelitian menggunakan data shear joint
(kekar gerus). Kedudukan batubara menunjukan arah kemiringan relative N265E –
N220E, dengan besar kemiringan sebesar 10-15°. Mengacu pada geologi regional,
91
struktur geologi daerah penelitian merupakan hasil dari tektonik konvergensi
orthogonal pada umur Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandai dengan adanya pensesaran
naik dan pensesaran geser kemudian diikuti dengan pensesaran turun yang cukup
intens pada kala itu.
Pola sebaran batubara berdasarkan data permukaan dan data bor, yang
disajikan dalam bentuk section 2 dimensi. Dari section tersebut dapat dilihat apakah
data permukaan berupa struktur geologi dengan data bor sama, dan dapat
menginterpretasikan batubara daerah penelitian menerus atau setempat.
Berdasarkan data singkapan yang diperoleh lapisan seam A memiliki persebaran
yang orientasinya berarah timurlaut-baratdaya kemudian dipotong oleh beberapa
struktur geologi berupa sesar (Lampiran A5).
Berdasarkan analisis stereografis, struktur geologi pada daerah penelitian
terbagi menjadi 10 sesar (Tabel 9), yang terbagi menjadi :
92
Gambar 43. Peta cropline dan struktur geologi
93
berkembang pada daerah telitian memotong litologi batubara, struktur geologi yang
memotong litologi batubara merupakan Sesar Selaru 1,2,3,4,5,6,8.
6.6.3 Validasi Sesar Mayor
Dalam melakukan validasi sesar mayor, dilakukan dengan metode
kombinasi antara data permukaan dan data bawah permukaan., sehingga dapat
diperoleh hasil dari kelurusan sesar tersebut yang mempengaruhi pola sebaran dari
batubara dan juga dilakukan analisa dengan metode section.
Kelurusan dari arah sesar diurutkan berdasarkan penarikan dari rute bor.
Kelurusan dari arah sesar yang ditemukan pada lokasi pengamatan, terdapat
kesesuaian dengan konsep genetik dari model Moody and Hills (1956), dimana
sesar yang berkembang pada daerah penelitian merupakan orde satu dan dalam
periode yang sama, hal tersebut dapat mempermudah dalam penentuan struktur
mana yang bersifat mayor, dan yang mempengaruhi dari persebaran seam batubara.
Sesar mayor akan memiliki dampak yang besar dari persebaran batubara.
Dalam struktur geologi sekunder berupa sesar, sesar mayor dapat mengubah
kedudukan batubara, mengubah posisi atau kedalaman dari batubara. Menurut
Thomas 2013, struktur geologi post genetic terdapat efek sesar terhadap batubara,
termasuk perpindahan fisik lapisan batubara, mengurangi stabilitas tanah dalam
penambangan, membuka rekahan sebagai celah air dan gas masuk kedalam lapisan
batubara, dan perubahan kandungan mineral
Sesar naik dapat menyebabkan seretan sepanjang bidang patahan, sehingga
batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut.
Apabila berupa sesar besar, maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh lapisan
batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa
bidang hancuran dan bias terlihat di high wall tambang batubara terbuka.
94
Untuk mengetahuinya penulis membuat korelasi struktur menggunakan data
bor open hole. Data bor yang dipilih adalah data bor yang berlokasi dekat dengan
ditemukannya batuan tersebut dan tersebar merata pada daerah penelitian.
Menurut Koesoemadinata (1982), korelasi adalah suatu operasi dimana satu
titik dalam suatu penampang stratigrafi disambungkan dengan titik-titik yang lain
pada penampang-penampang stratigrafi lainnya dengan pengertian bahwa titik-titik
tersebut terdapat dalam bidang perlapisan yang sama. Persamaan dalam hal ini
biasanya persamaan sifat litologi atau persamaan umur geologi. Korelasi dibagi
menjadi dua yaitu korelasi struktur dan korelasi stratigrafi.
Penulis melakukan korelasi struktur yang dibuat dengan cara menempatkan
atau menggunakan ketinggian sebagai datum sehingga akan memberikan gambaran
posisi batuan setelah aktivitas tektonik baik itu kekar, sesar maupun perlapisan
miring. Ketinggian yang digunakan sebagai datum ketinggian dimana data bor itu
berada. Setelah diketahui datumnya, kemudian membuat penampang antar titik bor
dengan ketinggian berdasarkan kontur daerah penelitian. Penampang ini digunakan
untuk menggantungkan kedalaman data bor berdasarkan datumnya. Untuk
mempermudah pengkorelasian agar efektif dan detail, maka pemilihan data bor
yang dikorelasi merupakan data bor yang saling berdekatan juga searah dan tegak
lurus dengan dip perlapisan agar dapat diketahui sebaran batubara di daerah
penelitian.
Setelah dibuat korelasi strukturnya baik itu searah dip maupun tegak lurus
dip perlapisan batuan daerah penelitian, kemudian menghubungkannya dengan
topografi daerah penelitian guna mengetahui sebaran batubaranya. Seam yang
terhubung pada satu sumur dengan sumur lainnya pada penampang yang tersingkap
di permukaan akibat dari slope pada topografinya diyakini sebagai sebaran batubara
pada daerah penelitian berdasarkan korelasi tersebut. Dari data tersebut dapat
dihubungkan dengan data seam yang berada dipermukaan sehingga dapat
diinterpretasikan kemenerusan dan sebaran batubara pada daerah penelitian.
Berdasarkan korelasi dan menggunakan data bor dan data yang tersingkap
dipermukaan dapat diinterpretasikan bahwasanya sebaran batubara seam A, seam
B dan seam C relatif berarah timurlaut-baratdaya dengan ketebalan yang bervariasi.
Pada penampang bor batubara dapat dilihat beberapa seam yang tidak menerus
melainkan setempat, hal ini diakibatkan karena daerah penelitian merupakan daerah
pasangsurut sehingga mempengaruhi proses pembentukan batubara itu sendiri, juga
95
dapat disebabkan oleh pengaruh tekanan akibat tektonik yang berkembang,
mengakibatkan batubara tersebut akan ikut memipih sehingga batubara tersebut
memiliki ketebalan yang tidak sama. Juga bentukan cekungan pada saat
pembentukan batubara juga dapat mempengaruhi ketebalan dan kemenerusan
batubara.
Pada penampang korelasi struktur bor A-A’, yang terdiri dari 9 data bor,
korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan
perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan
menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data
sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.
Berdasarkan data tersebut, pada posisi Sesar Selaru Tiga (LP 17), terdapat
perbedaan kedudukan dan elevasi top batubara seam A (offseti), kemudian
digabungkan dengan data permukaan, sesar tersebut memiliki throw dilapangan
sebesar 8,5 meter, dengan orientasi N200°E/70°, pergerakan naik dengan nama
Right Reverse Slip Fault (Rickard, 1972). Setelah diinterpretasikan, sesar tersebut
memotong kedudukan searah strike yang mengakibatkan tidak menerus atau
terpotongnya batubara seam A pada daerah penelitian (Gambar 44) dan juga
mengakibatkan bagian baratdaya daerah penelitian terjadi pengangkatan sehingga
Batupasir Formasi Tanjung tersingkap. Berdasarkan pengaruh dari Sesar Selaru
Tiga (LP 17) tersebut dan genesa sesar daerah penelitian, sesar tersebut merupakan
sesar mayor.
Struktur geologi selain Sesar Selaru Tiga (LP 17) dalam korelasi struktur
A-A’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi
dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil
96
(lokal) berkisar 3 – 3,1 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi
struktur A-A’.
Pada penampang korelasi struktur bor B-B’, yang terdiri dari 6 data bor,
korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan
perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan
menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data
sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.
Berdasarkan korelasi struktur bor B-B’, terdapat perbedaan kedudukan
batubara Seam A, yang menunjukan adanya offset turun. Dengan mengkorelasikan
data permukaan tersebut dengan data permukaan, struktur geologi yang berperan
merupakan Sesar Selaru Empat (LP 33), dengan orientasi N086°E/76°, pergerakan
turun, throw 3 meter, dengan nama Right Normal Slip Fault (Rickard, 1972).
Berdasarkan lintasan B-B’ Sesar Selaru Empat (LP 33) memotong bidang
perlapisan (dip) dan memiliki pengaruh dalam persebaran batubara (mayor).
Struktur geologi selain Sesar Selaru Empat (LP 33) dalam korelasi struktur
B-B’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi
dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil
(lokal) berkisar 1-1.85 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi
struktur B-B’.
97
Gambar 46. Penampang Bor C-C' (On Strike)
Pada penampang korelasi struktur bor C-C’, yang terdiri dari 6 data bor,
korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan
perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan
menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data
sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.
Berdasarkan korelasi struktur bor C-C’, terdapat perbedaan kedudukan
batubara Seam A, yang menunjukan adanya offset turun. Dengan mengkorelasikan
data permukaan tersebut dengan data permukaan, struktur geologi yang berperan
merupakan Sesar Selaru Dua (LP 102), dengan orientasi N250/75, pergerakan
turun, throw 1.5 meter, dengan nama Right Normal Slip Fault (Rickard, 1972).
Berdasarkan lintasan C-C’ Sesar Selaru Dua (LP 102) didapatkan memotong
bidang perlapisan (dip) dan memiliki dalam persebaran batubara (mayor).
Struktur geologi selain Sesar Selaru Dua (LP 102) dalam korelasi struktur
C-C’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi
dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil
(lokal) berkisar 2.2 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi
struktur C-C’.
Keterdapatan struktur geologi yang mempengaruhi pola sebaran batubara
pada daerah penelitian yang telah dibahas dan ditentukan secara detail, maka dapat
mengetahui proses-proses struktur geologi yang bekerja selama proses tektonik dan
proses yang masih berlangsung serta pengendapan batubara di dalam suatu
cekungan yang akan mempengaruhi bentuk dan pola sebaran batubaran tersebut.
Dengan adanya data permukaan geologi berupa sesar tersebut dan melihat
model genesa yang berkembang pada daerah penelitian, sesar mayor yang terdiri
dari Sesar Selaru Dua, Tiga dan Empat dapat mempengaruhi kemenerusan batubara,
98
terutama pada Sesar Selaru Tiga yang terdapat pada lokasi pengamatan 17, terdapat
perubahan kemenerusan yang dibatasi oleh sesar tersebut yang dapat dilihat pada
(gambar 44), hal tersebut bisa dijadikan acuan untuk kemenerusan dan penyebaran
batubara lainnya.
Dengan adanya intensitas struktur geologi yang cukup tinggi, perlu adanya
pengambilan data pemboran yang lebih detail dalam pengembangan eksplorasi,
terutama pada kelurusan-kelurusan sesar mayor pada daerah penelitian, sehingga
dapat membangun model penyebaran batubara yang lebih detail. Dalam kasus pada
daerah penelitian batubara tidak hilang sepenuhnya atau dalam kata lain, hilang
bukan karena proses pengendapannya namun karena adanya struktur geologi.
Menurut Thomas, 2013 sesar dapat menghentikan kegiatan penambangan secara
lokal maupun total karena adanya pergeseran dalam kemenerusan sesar seperti sesar
naik dan sesar turun. Oleh karena itu, perlu adanya implikasi pola sebaran dan
kemenerusan batubara pada pertambangan, antara lain sebagai berikut :
1. Dalam penentuan titik bor, model grid biasanya digunakan karena sangat cocok
untuk endapan lapisan. Keuntungan menggunakan grid adalah memfasilitasi
manipulasi dan penggunaan data. Struktur geologi, ketebalan, dan parameter
lain yang ditumpuk di atas satu sama lain dapat ditambahkan, dikurangi,
dikalikan, dibagi, atau dibandingkan untuk sampai pada kumpulan data turunan
lainnya, dan hanya parameter yang diinginkan yang perlu dimodelkan
(Thomas, 2013). Berdasarkan kenampakan struktur geologi pada daerah
penelitian, memperlihatkan batubara yang terpotong-potong hingga
kemenerusan dan persebarannya berubah (gambar 44), penulis menyarankan
adanya perapatan jarak titik bor untuk pengembangan eksplorasinya, yang
awalnya 50-200 meter dirapatkan menjadi 10-30 meter, terutama pada bagian
yang diduga kelurusan sesar mayor, dengan tetap memperhatikan kaidah
kemenerusan dan persebaran batubara (strike dan dip).
99
menjadi tipis karena pendalaman lubang. Di bawah tanah tambang, fenomena
serupa dapat terjadi di mana pengurangan stres yang substansial telah terjadi.
Floor heave merupakan masalah serius karena dapat mengakibatkan banjir
tiba-tiba di tambang dan menyebabkan gangguan atau bahkan penghentian
produksi batubara (Thomas, 2013). Oleh karena itu, perlu adanya sistem atau
metode agar pada air tersebut tidak mengganggu dalam proses penambangan,
yaitu dengan cara dewatering. Dewatering dirancang untuk menghentikan
aliran air ke dalam lubang, menjaga kestabilan lereng dan melindungi air tanah
untuk pengambilan di daerah sekitar pekerjaan tambang. Situasi standar adalah
di mana tambang akan memotong dan menggali di bawah permukaan air.
Artinya, muka air tanah di sekitar tambang perlu ditekan untuk menghindari
banjir. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pompa yang dipasang di bah
di dasar lubang, tetapi ini tidak memungkinkan untuk pengeringan sebelum
penambangan. Sumur vertikal digunakan secara luas untuk dewatering, pola
sumur yang tepat tergantung pada karakteristik hidrogeologi spesifik lokasi.
Air dapat dikeluarkan dari akuifer dengan gravitasi atau dengan pemompaan
menggunakan pompa submersible di lubang bor. Sumur gravitasi mengalirkan
air dari akuifer atas ke yang lebih rendah di bawah tingkat dasar lubang. Sumur
pompa mengangkat air dari akuifer ke permukaan tanah untuk dibuang.
Gambar 47. Skema dewatering dua tahap menggunakan titik sumur untuk menurunkan muka air
tanah di bawah dasar galian (Thomas, 2013).
100
Gambar 48. Jenis penambangan terbuka di mana metode dewatering tingkat lanjut digunakan.
(Dari Clarke (1995), dengan izin dari IEA Coal dalam Thomas, 2013)
3. Dampak positif dengan adanya intensitas struktur geologi yang tinggi pada
pertambangan batubara, akan ditemukannya double seam batubara pada
sesar naik, hal tersebut terjadi karena karakteristik batubara dan batuan
sedimen diatasnya bersifat ductile.
101
pada zona sesar. Desain kestabilan lereng pada high wall, dibuat lebih landai
dan berundak disesuaikan dengan pemilihan metode analasis.
102
BAB VI
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai “Geologi dan Pengaruh Struktur Geologi
Terhadap Pola Sebaran dan Kemenerusan Seam Batubara PT.Sebuku Tanjung
Coal, Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi
Kalimantan Selatanmaka pada daerah penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
3. Stratigrafi daerah telitian disusun oleh 3 satuan batuan dari tua ke muda,
yaitu satuan batupasir Formasi Tanjung, satuan batulanau Formasi Tanjung,
satuan batuserpih Formasi Tanjung dan satuan endapan aluvial
103
6. Berdasarkan pola sebaran dan kemenerusan batubara daerah penelitian,
perlu dilakukannya pendetailan rute bor dengan jarak 10-30 meter,
menghindari potensi hidrogeologi yang dapat meluap karena intensitas
struktur geologi yang tinggi, perlu adanya dewatering dengan sistem
pompa, memperhatikan terkait kestabilan lereng pada highwall, stripmine
dilakukan dengan cara perblok, untuk menghindari adanya air masuk saat
expose batubara maupun coal getting.
104
DAFTAR PUSTAKA
Anderson E.M. 1951. The Dynamic of Faulting and Dyke Formation with
Applications of Brittan, Edinburgh, Oliver and Boyd. Stanford University :
California.
Bemmelen, V. R. 1949. The Geology of Indonesia. Netherland: Springer.
Billings, M.P., 1972, Structural Geology 3rd Edition: Prentice Hall Inc,
Englewood Cliffs. 591 hal.
Boggs, S. J. 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy. New Jersey:
Pearson.
Darlan, Y, Purwanto C dan Sulistyanti, R. 1999.STUDI REGIONAL
CEKUNGAN BATUBARA WILAYAH PESISIR TANAH LAUT–
KOTABARU KALIMANTAN SELATAN.
Davis, R.C. Noon, S.W dan Harrington. J. 2007. The petroleum potential of
Tertiary coals from Western Indonesia: Relationship to mire type and
sequence stratigraphic setting. Netherland : International Journal of Coal
Geology 70 (2007) 35–52
Dennis, J.G., 1979. Structural Geology: New York, John Wiley & Sons, 532 hal.
Horne, J. C., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and Mine Palnning
in Appalachian Region. Texas. AAPG Convention SEPM Houson.
Howard, A.D, 1967, Drainage Analysis In Geologic Interpretation: A Summation,
AAPG Bulletin, Vol.51 No.11 November 1967, hal. 2246-2259.
Jati, Stev. Nalendra. 2014. Tipe Pola Sebaran Dan Kemenerusan Lapisan
Batubara Di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, Dan Regional Kasus Wilayah
Sayap Barat Antiklin Palaran Yang Menunjam. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7,
No. 1, Januari 2014.
Krevelen, D. 1993. Coal Typology Physics Chemistry Constitution. Netherland:
Elsevier.
Kuncoro, Prasongko, B. 1996. Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang
Eksplorasi dan Perencanaan Penambangan, Program Pascasarjana, ITB,
Bandung.
Kuncoro, 1996, “Perencanaan Eksplorasi Batubara”. Program Studi Khusus
Eksplorasi Sumberdaya Bumi Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
105
Kuncoro Prasongko, B 2000. Geometri Lapisan Batubara. Proseding seminar
tambang Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Kuncoro, B. 2012. Cleat Pada Lapisan Batubara dan Aplikasinya didalam Industri
Pertambangan. Prosiding Simposium dan Seminar Geomekanika Ke-1 Tahun
2012. Kuncoro, B. 2012. Geometri Lapisan Batubara. Proseding Seminar
Tambang UPN.
Kuncoro, B dan Stev. Nalendra Jati. Standarisasi Pengamatan Singakapan
Batubara Standarisasi Pengamatan Singakapan Batubara. Yogyakarta:
Program Studi Teknik Geologi UPN “V”.
Pettijohn, F., Potter, P., dan Siever, R. 1973. Sand and Sandstone. Berling:
Springer-Verlag Berlin-Heidelberg.
Rickard, M.J., 1972. Fault classification - discussion: Geological Society of
America Bulletin, v. 83, hal. 2545-2546.
Rustandi, E., E.S. Nila, P. Sanyoto dan U. Margono. 1995. Geological Map of
Kotabaru Sheet.
Sapiie, B., Rifiyanto, A., Perdana, L.2014. Cleats Analysis and CBM Potential
of the Barito Basin, South Kalimantan, Indonesia.Turkey:Proceedings,
Indonesian Petroleum Association
Satyana, A. H., Nugroho, D., dan Surantoko, I. 1999. Tectonic controls on the
hydrocarbon habitats of the Barito, Kutei, and Tarakan Basins, Eastern
Kalimantan, Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins. Journal of
Asian Earth Sciences, 17(1-2), p. 99-122.
Step. Nalendra Jati. 2011. Tipe Pola Sebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara
di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, dan Regional. Mahasiswa Pascasarjana.
Magister Teknik Geologi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.
Susilawati. 1992. Proses Pembentukan Batubara - Analisa Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Bandung: ITB.
Thomas, L., 2013. Coal Geology second edition, Wiley Blackwell, New York
Tucker, M. M. 2003. Sedimentary Rocks in the Field. England: John Willey &
Sons.
Twiss dan Moores. 1992. Structural Geology. New York : WH Freeman & Co.
532 hal
106
Witts, D., R. Hall, R. J. Morley, dan M. K. BouDagher-Fadel. 2011. Stratigraphy
and Sediment Provenance, Barito Basin, Southeast Kalimantan. Proceedings,
Indonesian Petroleum Association 35th
Witts, D., Hall, R., Nichols, G., dan Morley, R. 2012. A new depositional and
provenance model for the Tanjung Formation, Barito Basin, SE Kalimantan,
Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences, 56, p. 77-104.
Wolf, M., 1984. Coal-Bearing Depositional Systems, Springer, Houston-USA.
Zuidam, V. 1985. Geomorphology.
107
LAMPIRAN