Anda di halaman 1dari 108

GEOLOGI DAN PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP

POLA SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT.


SEBUKU TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM,
FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU,
KALIMANTAN SELATAN

Disusun Oleh :

Riko Dwi Kurniawan (111.170.120)

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2021

I
HALAMAN PENGESAHAN

GEOLOGI DAN PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA


SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU
TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI
TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN
SELATAN

Oleh :
Riko Dwi Kurniawan
111.170.120

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (Strata 1) di
Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, tahun
akademik 2021/2022.

Yogyakarta, 22 September 2021

Menyetujui,

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr.Ir. Jatmika Setiawan, M.T Ir. Sugeng Raharjo, M.T


NIP : 19640411 199303 1 001 NIP : 19581208 199203 1 001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi

Dr.Ir. Jatmika Setiawan,M.T


NIP : 19640411 199303 1 001

ii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk kedua orangtuaku, terimakasih atas segala bentuk dukungan yang telah diberikan.
insha Allah akan saya persembahkan masa depan yang cerah yang akan di mulai dari
selesainya tugas akhir ini. aamiin

iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
ridho-Nya penulis masih diberi kesehatan dan umur panjang sehingga masih dapat
menyelesaikan Laporan tugas akhir ini yang berjudul “GEOLOGI DAN PENGARUH
STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM
BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM,
FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN
SELATAN”
Laporan ini dibuat guna untuk memenuhi syarat Tugas Akhir tahun ajaran 2020/2021,
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta, proposal ini dapat selesai karena bantuan banyak pihak, oleh karena
itu, tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Allah SWT yang telah memberi kesehatan dan kelancaran dalam pembuatan
Proposal Tugas Akhir ini.
2. Orang Tua dan Keluarga yang selalu mendukung dan memberikan kasih sayang
serta semangat tanpa henti.
3. Bapak Dr. Ir. Jatmika Setiawan, M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta sekaligus Dosen Pembimbing.
4. Dr. Ir. M. Syaifudin, M.T. selaku Koordinator Program Studi Sarjana Teknik
Geologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran”
Yogyakarta
5. Bapak Ir. Sugeng Raharjo, M.T. selaku Dosen Pembimbing.
6. Teman – teman dari Jurusan Teknik Geologi Angkatan 2017
7. Semua pihak yang telah membantu

Penulis masih merasa proposal ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan
saran yang membangun sangat kami butuhkan agar dapat menjadi koreksi dan dalam penulisan
selanjutnya akan lebih baik lagi. Demikian proposal ini kami susun, semoga dapat bermanfaat.
Terima kasih
Yogyakarta, 1 September 2021
Penulis,

Riko Dwi Kurniawan


iv
GEOLOGI DAN PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA
SEBARAN DAN KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG
COAL PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT,
KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

SARI

Riko Dwi Kurniawan


111.170.120

Secara Geografis daerah penelitian terletak pada koordinat (UTM -WGS84-Zona 50S)
399800 mE – 402500 mE dan 9621000 mN – 9624000 mN m. Secara administratif terletak di
Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan
Selatan. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas studi pustaka, interpretasi pola
pengaliran, interpretasi geomorfologi, interpretasi stratigrafi, interpretasi struktur geologi,
pemetaan geologi permukaan, profil singkapan, pengukuran penampang stratigrafi terukur,
pengamatan dan pengukuran struktur geologi, pengambilan sampel, analisa petrografi, analisa
stereografis dan analisa bor. Pola pengaliran di daerah penelitian adalah Subdendritik. Pola
pengaliran ini dipengaruhi oleh topografi dan adanya struktur geologi.
Geomorfologi pada daerah penelitian dapat di kelompokan menjadi bentuklahan
Perbukitan Bergelombang, Peneplain, Hasil Penambangan dan Hasil Timbunan.
Stratigrafi daerah penelitian disusun oleh 3 satuan batuan dari tua ke muda, yaitu satuan
batupasir Formasi Tanjung, satuan batulanau Formasi Tanjung, satuan batuserpih Formasi
Tanjung dan satuan endapan alluvial, yang terendapkan pada lingkungan transitional – lower
delta plain.
Struktur geologi daerah penelitian meliputi kekar, sesar, dan kedudukan perlapisan
batuan. Sesar daerah penelitian dapat dibagi menjadi sepuluh yaitu Sesar Selaru Satu, Sesar
Selaru Dua, Sesar Selaru Tiga, Sesar Selaru Empat, Sesar Selaru Lima, Sesar Selaru Enam,
Sesar Selaru Tujuh, Sesar Selaru Delapan, Sesar Selaru Sembilan, Sesar Selaru Sepuluh.
Tegasa utama pada daerah penelitian berarahkan Baratlaut-Tenggara.
Berdasarkan korelasi data permukaan dengan data bawah permukaan (bor), terdapat
struktur geologi berupa sesar, yang dapat berpengaruh terhadap pola sebaran dan kemenerusan
batubara, yaitu Sesar Selaru Tiga (LP 17), Sesar Selaru Empat (LP 33) dan Sesar Selaru Dua
(LP 102).
Berdasarkan pola sebaran dan kemenerusan batubara daerah penelitian, perlu
dilakukannya pendetailan rute bor dengan jarak 10-30 meter, menghindari potensi
hidrogeologi yang dapat meluap karena intensitas struktur geologi yang tinggi, perlu adanya
dewatering dengan sistem pompa, memperhatikan terkait kestabilan lereng pada highwall,
stripmine dilakukan dengan cara perblok, untuk menghindari adanya air masuk saat expose
batubara maupun coal getting.

Kata Kunci : Batubara, Formasi Tanjung, Pola Sebaran

v
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................ 2


HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................................ 3
KATA PENGANTAR........................................................................................................ 4
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... 6
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................... 8
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ 10
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... 11
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 12
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 12
1.2. Maksud dan Tujuan .............................................................................................. 13
1.3. Rumusan Masalah ................................................................................................ 14
1.4. Ruang Lingkup ..................................................................................................... 15
1.5. Hasil Penelitian .................................................................................................... 16
1.6. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 18
BAB II METODE PENELITIAN .................................................................................. 20
2.1. Metode Penelitian ..................................................................................................... 20
2.1.1. Pemetaan Geologi Permukaan ........................................................................... 20
2.1.2. Measuring Section ............................................................................................. 20
2.2 Tahap Pendahuluan ................................................................................................... 21
2.3 Tahap Akuisisi Data Lapangan ................................................................................ 22
2.3.1. Akuisisi Data Sekunder ..................................................................................... 22
2.3.2. Akuisisi Data Primer .......................................................................................... 24
2.4. Tahap Analisis dan Pengolahan Data ..................................................................... 26
2.4.1. Pembuatan Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan ........................................... 27
2.4.2. Pembuatan Peta Geomofologi dan Penampang Geomorfologi ......................... 27
2.4.3. Pembuatan Peta Geologi dan Penampang Geologi............................................ 27
2.4.4. Analisis Pola Pengaliran .................................................................................... 27
2.4.5. Analisa Petrografis ............................................................................................. 27
2.4.6. Analisa Mikropaleontologi ................................................................................ 28
2.4.7. Analisis Data Struktur Geologi .......................................................................... 28
2.4.8. Analisis Data Measuring Section ....................................................................... 28
2.5. Tahap Sintesis dan Penyajian Data ......................................................................... 29
2.5.1. Geomorfologi ..................................................................................................... 29
2.5.2. Stratigrafi ........................................................................................................... 29
2.5.3. Struktur Geologi ................................................................................................ 29
2.5.4. Pengontrol Persebaran Seam Batubara .............................................................. 29
2.6. Rencana Jadwal Penelitian ...................................................................................... 29
BAB III DASAR TEORI ................................................................................................. 31
3.1.Definisi Batubara ....................................................................................................... 31
3.2 Genesa Batubara ........................................................................................................ 31
3.2.1. Faktor Pembentuk Batubara............................................................................... 34
3.3 Lingkungan Pengendapan ........................................................................................ 36
3.7 Struktur Sesar Post Genetik ..................................................................................... 38
3.7.1 Jenis Sesar ........................................................................................................... 38
3.7.2 Ciri Sesar............................................................................................................. 41
3.7.3 Efek Sesar Terhadap Batubara ............................................................................ 41
3.7.4 Kekar ................................................................................................................... 43
3.7.5 Sesar .................................................................................................................... 43
vi
BAB IV GEOLOGI REGIONAL ................................................................................... 47
4.1 Fisiografi Regional ..................................................................................................... 47
4.2Stratigrafi Regional .................................................................................................... 49
4.3Kerangka Tektonik dan Struktur Geologi Regional ............................................... 52
4.3 Keberadaan Batubara ............................................................................................... 54
BAB V GEOLOGI DESA SELARU, KECAMATAN PULAU LAUT TENGAH,
KABUPATEN KOTABARU, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN .................... 56
5.1 Pola Pengaliran PT.Sebuku Tanjung Coal dan Sekitarnya .................................. 56
5.1.1. Pola Pengaliran Subdendritik............................................................................. 56
5.2. Geomorfologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan ....................................................................... 59
5.2.1. Bentuk Asal Denudasional................................................................................. 61
5.2.2. Bentuk Asal Fluvial ........................................................................................... 63
5.2.3. Bentuk Antropogenik ......................................................................................... 64
5.3. Stratigrafi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru,
Provinsi Kalimantan Selatan .......................................................................................... 66
5.3.1. Satuan Batupasir Formasi Tanjung .................................................................... 67
5.3.2. Satuan Batulanau Formasi Tanjung ................................................................... 71
5.3.3. Satuan Batuserpih Formasi Tanjung .................................................................. 75
5.3.4 Umur Geologi ..................................................................................................... 78
5.4. Struktur Geologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan ....................................................................... 79
5.4.1 Kekar ................................................................................................................... 79
5.4.2 Cleat .................................................................................................................... 80
5.4.3 Struktur Geologi Sesar ........................................................................................ 81
5.4.4 Genesa Struktur Geologi Daerah Penelitian. ...................................................... 85
5.4.5 Sejarah Geologi Daerah Penelitian. .................................................................... 85
BAB VI PEMBAHASAN STUDI KHUSUS .................................................................. 89
6.6. Sebaran Seam Batubara Berdasarkan Korelasi Penampang Bor Batubara dan
Data Permukaan .............................................................................................................. 89
6.6.1 Karakteristik Seam Batubara Daerah Penelitian ................................................. 89
6.6.2 Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi terhadap Pengaruh Pola Sebaran
Batubara ....................................................................................................................... 91
6.6.3 Validasi Sesar Mayor .......................................................................................... 94
6.6.4 Korelasi Penampang Bor .................................................................................... 94
BAB VI ............................................................................................................................ 103
KESIMPULAN .............................................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 105
LAMPIRAN ................................................................................................................... 108

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Derah Penelitian ...................................................................................... 15


Gambar 2. Diagram Alir Penelitian ....................................................................................... 21
Gambar 3 Proses pembentukan batubara (Stach, 1982, di dalam Susilawati 1992). ............ 32
Gambar 4. Lokasi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012) .............................................. 48
Gambar 5. Posisi cekungan Asem-Asem (Satyana dan Silitonga, 1993 dalam Santoso dan
Daulay,2008) ........................................................................................................ 48
Gambar 6. Geologi Kenozoikum di Cekungan Barito dan Asem – Asem, Lokasi penelitian
diberi tanda kotak merah (Modifikasi Supriatna et.al, 1994 dalam Witss et.al,
2012) .................................................................................................................... 49
Gambar 7. Stratigrafi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012) ........................................ 52
Gambar 8. Trend Dari Struktur Geologi Kalimantan Saat Ini (Satyana et.al 1999) ............. 53
Gambar 9. Penampang Retrodeformasi Cekungan Barito Timur ......................................... 53
Gambar 10. Struktur Paleogen dan Neogen dari Barito Timur ............................................. 54
Gambar 11. Umur dan Rank Batubara (Davis, et.al 2007) ................................................... 55
Gambar 12. Pola Pengaliran Daerah Penelitian, interpretasi melalui kontur asli (kiri) dan
interpretasi kontur dengan digitasi melalui foto udara atau pasca tambang (kanan)
Gambar 13. Model pola pengaliran subdrendritik (Howard,1967) ....................................... 57
Gambar 14. Arah Aliran Pola Aliran..................................................................................... 57
Gambar 15. Geomorfologi Bentuk Lahan Bukit Bergelombang (lensa mengarah ke
Baratlaut)
Gambar 16. Bentuklahan Peneplain (lensa mengarah ke Barat)........................................... 63
Gambar 17. Satuan bentuklahan tubuh sungai (lensa mengarah ke Tenggara)..................... 64
Gambar 18. Bentuklahan lahan hasil penambangan (pit, sump, hauling) (lensa mengarah ke
Baratlaut) .............................................................................................................. 65
Gambar 19. Bentuklahan Disposal (Lensa mengarah ke Selatan) ........................................ 66
Gambar 20. Foto singkapan pada satuan batupasir Tanjung (LP 44 dan LP 55). (A) Foto
singkapan, (B,C) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap ke Timurlaut.
Gambar 21. Sayatan petrografi, batupasir kuarsa LP 51 ....................................................... 69
Gambar 22. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batupasir LP 52 ................ 70
Gambar 23. Kontak antara Satuan Batupasir Tanjung dengan Satuan Batulanau Tanjung di
LP 12 (lensa kamera menghadap ke Baratlaut) ................................................... 71
Gambar 24. Foto singkapan pada satuan batulanau Tanjung (LP 95). (A) Foto singkapan,
(B,C,D,E,F) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap kearah Timurlaut 72
Gambar 25. Sayatan petrografi, batulanau LP 2 ................................................................... 73
Gambar 26. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batulanau LP 95 ............... 74
Gambar 27. Kontak antara satuan batulanau Tanjung dengan batuserpih Tanjung di LP 5
(lensa mengarah ke Baratdaya) ............................................................................ 75
Gambar 28. Foto singkapan pada satuan batuserpih Tanjung (LP 5). (A) Foto singkapan,
(B,C,D) Foto litologi close-up, lensa kamera mengarah ke Timur ...................... 76
Gambar 29. Sayatan petrografi, batulanau lokasi pengamatan 5 ............................................ 77
Gambar 30. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batuserpih LP 5b .............. 77
Gambar 31. Kenampakan Kekar Gerus dan Analisa Stereografis LP 42 dan LP 52 ............ 79
Gambar 32. Singkapan dan analisa cleat daerah penelitian lokasi pengamatan 102 (lensa
kamera menghadap Tenggara) ............................................................................. 80
Gambar 33. Sesar Selaru Satu dan Dua LP 102 dan 22 (Rickard 1972) ............................... 81
Gambar 34. Sesar Selaru Tiga dan Empat LP 17 dan 33 (Rickard, 1972) ............................ 82
Gambar 35. Sesar Selaru Lima dan Enam LP 103 dan 09 (Rickard 1972) .......................... 83

viii
Gambar 36. Sesar Selaru Tujuh dan Delapan LP 10 dan 30 (Rickard 1972) ........................ 84
Gambar 37. Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh LP 39,41 dan 47,49 (Rickard 1972). ....... 84
Gambar 38. A.Permodelan struktur geologi pure shear (Moody and Hill, 1956) B. Struktur
geologi daerah penelitian C. Tegasan dan kedudukan perlapisan batuan ............ 85
Gambar 39. Sejarah geologi daerah penelitian ...................................................................... 88
Gambar 40. Foto Singkapan Seam A pada Lokasi Pengamatan 101 (lensa kamera
menghadap Timurlaut) ......................................................................................... 90
Gambar 41. Kenampakan Seam B pada Lokasi Pengamatan 95 (lensa kamera menghadap
Utara) ................................................................................................................... 90
Gambar 42. Kenampakan Seam C pada Lokasi Pengmatan 95 (lensa kamera menghadap
Timurlaut) ............................................................................................................ 91
Gambar 43. Peta cropline dan struktur geologi ..................................................................... 93
Gambar 44. Penampang Bor A-A' (on dip) ........................................................................... 96
Gambar 45. Penampang Bor B-B' (On Strike) ...................................................................... 97
Gambar 46. Penampang Bor C-C' (On Strike) ...................................................................... 98
Gambar 47. Skema dewatering dua tahap menggunakan titik sumur untuk menurunkan
muka air tanah di bawah dasar galian (Thomas, 2013)...................................... 100
Gambar 48. Jenis penambangan terbuka di mana metode dewatering tingkat lanjut
digunakan. (Dari Clarke (1995), dengan izin dari IEA Coal dalam Thomas, 2013)
............................................................................................................................ 101

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Koordinat Lokasi Penelitian ..................................................................................... 15


Tabel 2. Timeline Penelitian Skripsi ...................................................................................... 30
Tabel 3. Komposisi elemen dari beberapa tipe batubara (Susilawati, 1992) ......................... 34
Tabel 4.Pemerian Pola Pengaliran Daerah Penelitian ............................................................ 58
Tabel 5. Pemerian Peta Geomorfologi Daerah Penelitian...................................................... 61
Tabel 6. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian ........................................................................ 67
Tabel 7. Data Kekar Gerus LP 42 dan LP 52 ......................................................................... 80
Tabel 8. Karakteristik Batubara Daerah Penelitian ................................................................ 89
Tabel 9.Tabel pemerian sesar daerah penelitian .................................................................... 93

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Peta Pola Pengaliran


Lampiran A1 Peta Geomorfologi
Lampiran A2 Peta Lintasan
Lampiran A3 Peta Geologi
Lampiran A4 Peta Struktur dan Cropline Batubara
Lampiran B Analisa Petrografi
Lampiran C Analisa Mikrofosil
Lampiran D Analisa Profil Composite

11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Daerah penelitian secara administratif terletak di Pulau Laut, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Menurut Satyana dkk (1995) daerah
penelitian secara fisiografi termasuk kedalam Cekungan Asem-Asem. Cekungan
Asem-asem ini terpisahkan dengan Cekungan Kutai oleh adanya Adang Flexure
atau sesar yang memisahkan Barito dengan Kutai di sebelah utara, terpisahkan
dengan Cekungan Barito oleh Pegunungan Meratus di sebelah barat. Pada bagian
Selatan, memanjang ke arah Laut Jawa hingga Tinggian Florence. Menurut Witts
dkk (2012), Cekungan Asem-Asem dan Cekungan Barito dipercaya sebagai satu
kesatuan deposenter pada Eosen yang menyambung sampai terpisah akibat
pengangkatan Pegunungan Meratus pada kala Miosen Akhir.
Menurut E. Rustandi dkk (1995) daerah penelitian termasuk dalam Peta
Geologi Lembar Kotabaru. Secara stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam
Formasi Tanjung dengan litologi perselingan konglomerat, batupasir dan
batulempung dengan sisipan serpih, batubara dan batugamping. Bagian atas terdiri
dari batupasir dan batulempung dengan sisipan batugamping. Formasi ini berumur
Eosen dan diendapkan dilingkungan fluviatil dibagian bawah dan beralih ke delta
dibagian atas, dengan tebal formasi diperkirakan 1500m.
Menurut Thomas (2013), batubara merupakan hasil dari akumulasi
tumbuhan padat terendapkan di dalam lingkungan tertentu. Akumulasi ini
disebabkan oleh proses syn-sedimentary dan post-sedimentary yang menyebabkan
perbedaaan ranking dan struktur yang berkembang pada batubara tersebut.
Menurut Thiessen (1947) Batubara merupakan suatu sedimen organik yang
terbentuk dari pembusukan tumbuhan atau pohon yang telah mati berjuta tahun
yang lalu dan terendapkan di suatu cekungan.
Menurut Wolf (1984), Batubara adalah batuan sedimen yang dapat
terbakar, berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utama karbon, hidrogen, dan
oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses
kimia dan fisika yg mengakibatkan terjadinya pengkayaan kandungan karbonnya.

12
Dari beberapa sumber diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu: batuan
sedimen yang terbentuk dari berbagai material organik (sisa-sisa tumbuhan) dan
telah mengalami dekomposisi atau penguraian oleh adanya proses biokimia dan
geokimia sehingga sifat fisik dan sifat kimianya berubah seperti pengayaan unsur
karbon sehingga dapat terbakar.
Secara geometri, lapisan batubara hadir dengan ketebalan seragam, tetapi
ada pula yang mengalami penebalan dan penipisan. Lapisan batubara ada yang
miring atau horizontal, menerus dan tidak menerus bahkan terpatahkan. Pengertian
kemiringan, selain besarnya kemiringan lapisan juga masih perlu dijelaskan
bagaimana pola kemiringan suatu lapisan batubara. Pola kemiringan lapisan
batubara tersebut dapat bersifat menerus dan sama besarnya sepanjang cross strike
maupun on strike atau hanya bersifat setempat. Pola kemiringan lapisan batubara
tersebut juga dapat membentuk pola linier, pola lengkung, atau pola luasan (areal).
Demikian halnya dengan kemenerusan, selain jarak kemenerusan, maka faktor
pengendalinya juga perlu diketahui.
Diketahuinya secara baik geometri lapisan batubara merupakan hal yang
sangat penting di dalam penentuan sumber daya atau cadangan batubara. Pola
sebaran dan kemenerusan lapisan batubara merupakan parameter di dalam geometri
lapisan batubara. Menurut Kuncoro (2000), pola sebaran dan kemenerusan lapisan
batubara dapat hadir bervariasi, bahkan pada jarak dekat sekalipun.
Kenyataan di lapangan lapisan batubara dijumpai dalam sebaran yang tidak
teratur, tidak menerus, menebal dan menipis, dengan geometri yang bervariasi.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai pola sebaran dan kemenerusan
lapisan batubara menjadi sangat penting. Maka perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran dan kemenerusan
lapisan batubara.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk menghimpun data geologi secara
detil yang terdiri atas pola pengaliran, geomorfologi, stratigrafi, karakteristik
batubara, pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran batubara daerah
penelitian, data bor dan data analisis laboratorium.

13
Tujuan penelitian adalah
• Menentukan kondisi geologi detil di daerah penelitian.
• Menyusun sejarah geologi di daerah penelitian.
• Mengidentifikasi karakteristik batubara di daerah penelitian.
• Mengidentifikasi pengaruh struktur geologi terhadap pola sebaran batubara
daerah penelitian.
1.3 Rumusan Masalah
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu adanya kajian, analisa,
pengindikasian, identifikasi, serta hasil penelitian yang berkaitan dengan daerah
telitian, sehingga pendekatannya harus dilakukan adanya suatu pentanyaan yang
yang nantinya dipecahkan dan mendapatkan solusi. Rumusan masalah diharapkan
memfokuskan penilitian untuk untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang
muncul. Rumusan masalah ini merupakan batasan dari penelitian yang akan
dilakukan agar kegiatan di lapangan nanti lebih terkoordinasi dan memiliki
efisiensi waktu yang baik.
Pertanyaan yang berkembang sebagai berikut :
1. Pola pengaliran
a. Pola pengaliran apa saja yang berkembang di daerah penelitian ?
b. Bagaimana keterkaitan pola pengaliran, penyimpangan aliran, tekstur,
bentuk lembah dan tempat mengalir dengan geologi di daerah penelitian?
2. Geomorfologi
a. Bentuklahan apa yang berkembang di daerah penelitian ?
b. Bagaimana aspek-aspek geomorfologi yang ada di setiap bentuklahan pada
daerah penelitian?
3. Stratigrafi
a. Litologi apa saja yang ada di daerah penelitian?
b. Satuan batuan apa saja yang ada di daerah penelitian?
c. Bagaimana persebaran satuan batuan yang ada di daerah penelitian?
d. Bagaimana hubungan stratigrafi antar satuan batuan?
4. Struktur geologi
a. Bagaimana kelurusan struktur geologi ?
b. Struktur geologi apa saja yang ada di daerah penelitian?

14
c. Bagaimana keterkaitan antar struktur geologi yang ada di daerah
penelitian?
5. Studi Khusus yang berkaitan dengan pengaruh struktur geologi terhadap pola
sebaran dan kemenerusan seam batubara di daerah penelitian?
a) Bagaimana pola sebaran kemenerusan lapisan batubara di daerah telitian?
b) Faktor yang mempengaruhi pola sebaran dan kemenerusan lapisan
batubara pada daerah telitian?
c) Bagaimana hubungan antar faktor tersebut dengan pola sebaran dan
kemenerusan lapisan batubara pada daerah telitian?
1.4 Ruang Lingkup
1.4.1 Batas Daerah
Daerah penelitian dilaksanakan di area penambangan batubara PT. Sebuku
Tanjung Coal, secara administratif terletak di Jalan Raya Kotabaru, Tanjung
Serdang Km 25, Desa Sungup Kanan, Kecamatan Pulau Laut Tengah,
Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara astronomis lokasi
penelitian masuk ke dalam zona UTM 50 S tepatnya berada pada koordinat
berikut (Gambar 1) :
Tabel 1. Koordinat Lokasi Penelitian

X Y

1 399800 9624000

2 402500 9621000

Gambar 1. Lokasi Derah Penelitian

15
1.4.2 Batas Gejala
• Geomorfologi
Pengamatan geomorfologi berdasarkan kenampakan bentuk lahan di daerah
peneletian. Umumnya geomorfologi di daerah pertambangan telah mengalami
ubahan dari manusia berdasarkan tipe tambangnya yang biasa disebut juga sebagai
bentuk lahan antropogenik.
• Litologi
Pengamatan litologi yang dilakukan meliputi pengamatan yang bersifat
makroskopis berupa singkapan ataupun core serta pengamatan yang bersifat
mikroskopis berupa sayatan petrografi dan Analisa Batubara.
• Stratigrafi (Measuring Section)
Stratigrafi menjelaskan tentang bagaimana keadaaan pengendapan batuan
di daerah penelitian. Pengambilan data stratigrafi dapat dilakukan dengan metode
measuring section (MS). Penting diketahui persebaran fasies dan bagian-bagiannya
karena akan berhubungan dengan keterdapatan batubara tersebut.
• Struktur Geologi
Struktur geologi akan berhubungan dengan proses-proses pembentukan
batubara. Struktur geologi merupakan salah satu penyebab metamorfosis organik
yang terjadi pada proses evolusi batubara.
• Tipe dan Pola Sebaran Batubara
Penentuan tipe dan pola sebaran batubara ini dapat menetukan metode
penambangan yang tepat dilakukan suatu perusahaan tambang.
• Kemenerusan Lapisan Batubara
Kemenerusan lapisan batubara merupakan jarak lapisan batubara, namun
selain jaraknya perlu diketahui faktor pengendalinya seperti dibatasi oleh proses
pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi. Guna untuk mengurangi resiko dalam
kegiatan eksploitasi tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada
operasi penambangan bawah tanah.
1.5 Hasil Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini berupa:
1. Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan Daerah Penelitian
a. Mengetahui lokasi singkapan geologi yang ada di permukaan

16
b. Mengetahui lokasi struktur geologi yang ada dipermukaan
c. Mengetahui titik pengambilan sampel untuk analisa fosil dan sayatan
tipis
2. Peta Pola Pengaliran Daerah Penelitian.
a. Mengetahui bentukan aliran sungai permukaan
b. Mengatahui faktor pengontrol bentukan lahan (permukaan)
3. Peta Geomorfologi Daerah Penelitian.
a. Mengetahui bentuk asal dan bentuklahan permukaan daerah penelitian
b. Mengetahui hubungan bentuklahan dengan satuan batuan di permukaan
c. Mengetahui hubungan bentuklahan dan struktur geologi di permukaan
4. Peta Geologi Daerah Penelitian.
a. Mengetahui litologi dan penyebaran dari setiap satuan batuan
b. Sejarah geologi daerah telitian
5. Stratigrafi Daerah Penelitian.
a. Mengetahui litologi penyusun daerah telitian
b. Mengetahui hubungan antar litologi dan satuan batuan
c. Mengetahui umur dari batuan penyusun daerah telitian
d. Mengetahui lingkungan pengendapan daerah telitian
6. Penampang Stratigrafi Terukur
7. Peta Struktur geologi daerah telitian
8. Peta Pola Penyebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk laporan dan hasil analisis yang terdiri dari:
1. Peta pola pengaliran skala 1 : 10.000
2. Peta geomorfologi skala 1 : 10.000
3. Peta lokasi pengamatan dan lintasan skala 1 : 10.000
4. Peta geologi skala 1 : 10.000
5. Penampang stratigrafi terukur
6. Analisa struktur geologi
7. Analisa petrografi
8. Analisa mikropaleontologi
9. Laporan

17
1.6 Manfaat Penelitian
1. PT. Sebuku Tanjung Coal.
Dapat memberikan informasi tentang geologi daerah telitian secara lebih
detail, terutama data mengenai tipe pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara
pada daerah telitian, sehingga dapat menjadi pedoman untuk industri pertambangan
batubara dalam menentukan perencanaan pengembangan dan perluasan daerah
eksplorasi. Secara khusus diterapkan di wilayah penelitian dan pada daerah yang
memiliki proses-proses dan kondisi geologi yang sama.
2. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran “ Yogyakarta
Hubungan kerjasama antara Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta dengan PT. Sebuku Tanjung Coal dalam sarana dan prasarana.
Membekali kemampuan dasar kepada mahasiswa Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam
dunia kerja.
3. Mahasiswa
Melakukan proses prasyarat mahasiswa Jurusan Teknik Geologi untuk
jenjang Strata-1, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta. Serta mempraktekan langsung teori yang di dapat
diperkuliahan dan menerapkannya pada kondisi lapangan yang sebenarnya.
Memperoleh wawasan dan kemampuan dalam pengoptimalan pengetahuan serta
pengalaman kerja di lapangan.
4. Keilmuan
• Mengetahui kondisi geologi daerah penelitian meliputi kondisi
geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi, serta mengetahui kondisi air
tanah di daerah penelitian.
• Mampu mengaplikasikan teori yang didapat di bangku kuliah untuk
diimplementasikan secara langsung di lapangan atau di dunia kerja
Secara rinci, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Manfaat mengenai geomorfologi
a. Diketahui satuan bentuk lahan yang ada di daerah penelitian.
b. Diketahui faktor yang mengontrol pembentukan bentuklahan di
daerah penelitian.

18
c. Diketahui perbedaan antar bentuk lahan.
2. Manfaat mengenai straigrafi
a. Diketahui urutan dan hubungan stratigrafi di daerah penelitian.
b. Diketahui variasi litologi dan penyebarannya.
c. Diketahui lingkungan pengendapan dari setiap satuan batuan.
d. Diketahui pengaruhnya litologi terhadap pembentukan morfologi.
2. Manfaat mengenai struktur geologi
a. Diketahui jenis struktur geologi di daerah penelitian.
b. Diketahui pola struktur yang berkembang di daerah penelitian.
c. Diketahui pengaruh struktur terhadap pembentukan morfologi
3. Studi Khusus
a. Diketahuinya pola sebaran dan kemenerusan lapisan batubara di
daerah penelitian.
5. Bagi masyarakat
• Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah memberikan informasi
geologi, meliputi kondisi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi ,
dan potensi geologi serta melengkapi data lapangan yang telah ada
sebelumnya.
6. Bagi pemerintah
• Memberikan gambaran mengenai daerah penelitian sehingga dapat
dilakukan perencanaan, kebijakan, serta pemanfaatan sumberdaya alam
di daerah tersebut.
7. Bagi peneliti
• Mengetahui prosedur pengambilan data di lapangan secara baik dan
benar.
• Mengetahui prosedur pengolahan data primer secara baik dan benar.
• Mengetahui kondisi geologi dan permasalahan geologi dari daerah
penelitian.

19
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Metode Penelitian


2.1.1. Pemetaan Geologi Permukaan
Metode pemetaan geologi permukaan merupakan pengamatan detil
terhadap singkapan yang ditemukan di daerah penelitian. Pengamatan singkapan
dilakukan untuk memperoleh data geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan
data yang mendukung studi mengenai karakteristik geometri lapisan batubara.
Pengambilan data yang dilakukan berupa deskripsi lokasi, deskripsi singkapan,
deskripsi litologi, deskripsi struktur geologi meliputi pengukuran kedudukan
bidang lapisan batuan, pengukuran kekar serta sesar, dan pengambilan foto atau
sketsa singkapan.
2.1.2. Measuring Section
Metode measuring section yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan
di sepanjang lereng tambang terbuka (side-wall open pit). Metode measuring
section dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi variasi, urutan dan
penyebaran litologi secara detil di daerah penelitian.
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam kegiatan pemetaan geologi
ini yaitu pemetaan geologi permukaan dengan beberapa tahapan kegiatan antara
lain:
1. Tahap Pendahuluan
2. Tahap Akuisisi
3. Tahap Analisis dan Pengolahan Data
4. Tahap Sintesis dan Penyajian Data

20
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
2.2 Tahap Pendahuluan

Pada tahap ini terdiri dari Literatur Studi Pustaka dan Perizinan, serta
Persiapan Perlengkapan, tahap studi pustaka dimaksudkan untuk mengetahui
keadaan geologi daerah telitian dari studi literatur, jurnal, makalah, dan laporan
penelitian terdahulu. Pada tahap ini juga sebagai referensi terhadap tahapan-
tahapan yang akan dilakukan dikemudian hari. Pada tahap perizinan dan persiapan
perlengkapan merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian
secara langsung dilapangan yang meliputi perizinan dan penentuan lokasi, studi
pustaka, serta persiapan perlengkapan lapangan yang dibutuhkan untuk mengetahui
keadaaan geologi daerah penelitian. Selama pelaksanaan tugas akhir, penulis
mempersiapkan peralatan dan segala sesuatu yang dapat mendukung kegiatan
penelitian diantara lain :

1. Perlengkapan keamanan Ketika berada dilapangan berupa sepatu safety,


helm safety dan masker safety.

2. Tas ransel dan baju lapangan

3. Peta topografii dan peta tentative

4. Kompas geologi

5. Palu geologi

6. Global positioning system (GPS)

7. Alat tulis lengkap dan buku lapangan

21
8. Loupe dengan perbesaran 40

9. Komperator batuan beku dan sedimen

10. Lembar tabulasi dan lembar deskripsi batuan

11. Hcl

12. Plastik sampel dan Plastik peta

13. Meteran

14. Kamera dan parameter foto

15. Jas hujan

16. Papan jalan

2.3 Tahap Akuisisi Data Lapangan


Akuisisi data adalah suatu tahapan mengumpulkan data, dapat berupa data
sekunder ataupun primer. Tahap ini merupakan awal yang penting karena dari tahap
ini akan muncul permasalahan dan pemahaman suatu penelitian.
2.3.1. Akuisisi Data Sekunder
Adapun tahapan akuisisi data sekunder meliputi studi literatur, interpretasi peta,
interpretasi citra, dan data bor daerah penelitian untuk mengetahui aspek-aspek
awal untuk memudahkan kegiatan pemetaan.
• Studi Literatur
Sebagai langkah awal dalam penyusunan proposal ini mahasiswa
menggunakan data literatur peneliti terdahulu (data sekunder) sebagai acuan data
yang terkait dalam tahapan selanjutnya, yang meliputi:
1. Howard, 1965: menjelaskan mengenai analisis pola pengaliran dasar, pola
pengaliran ubahan, dan penyimpangan aliran. Ketiga analisis tersebut dapat
diterapkan untuk interpretasi lereng, bentuklahan, litologi, stratigrafi
terbatas, dan struktur geologi di daerah penelitian.
2. Verstappen, 1977 modifikasi Van Zuidam 1985: dasar dalam penentuan
bentukan asal menggunakan aspek- aspek geomorfologi seperti: morfologi
(morfometri dan morfografi), morfogenesa (morfo-struktur pasif, morfo-
struktur aktif dan morfo dinamik), morfokronologi dan morfoasosiasi

22
(morfokonservasi) yang penulis gunakan sebagai dasar penentuan satuan
bentuklahan.
3. RA Van Zuidam, 1985: menjelaskan mengenai klasifikasi bentuk asal dan
bentuk lahan yang akan diterapkan di daerah penelitian.
4. Pettijohn, F.J., 1972: sebagai acuan untuk memaknai kenampakan
petrografi sayatan tipis batuan, serta sebagai acuan klasifikasi penamaan
batuan sedimen pembawa batubara di daerah penelitian.
5. Tucker, M.E., 2003: sebagai acuan untuk mengetahui dan menentukan ciri-
ciri fisik (warna, tekstur dan struktur sedimen) lapisan pembawa batubara
yang berhubungan dengan mekanisme sedimentasi lapisan batubara di
daerah penelitian.
6. Boggs, S. J., 2006: menjadi acuan dalam memaknai ciri fisik (warna, tekstur
dan struktur sedimen) lapisan sedimen pembawa batubara pada daerah
penelitian terutama hubungan antara struktur sedimen dan mekanisme yang
menyebabkan pembentukannya.
7. Hazred U. F., dkk., 2016: menjelaskan mengenai pengaruh tektonik dalam
perkembangan cleat pada lapisan batubara.
8. Kuncoro, 2007: menjelaskan mengenai karakteristik geometri cleat.
9. Sapiee & Rifyanto A., 2017: menjelaskan mengenai tektonik dan faktor
geologi yang mengontrol perkembangan cleat.
10. R.C. Davis et.al 2007: Menjelaskan mengenai setting tektonik batubara
Indonesia bagian barat
11. Witts, D, et.al 2011 : menjelaskan stratigrafi dan sumber sedimen
Cekungan Barito, Kalimantan Selatan
12. Witts, D, et.al 2012 : menjelaskan model pengendapan dan sumber sedimen
Formasi Tanjung, Cekungan Barito
13. Santoso, B dan Daulay, B 2008 : menjelaskan pentingnya petrologi
organik untuk tipe dan rank batubara Cekungan Asem- Asem, Kalimantan
Selatan
14. Satyana, et.al 1994 : menjelaskan reversal tektonik di Cekungan Barito

23
15. Satyana, et al 1999 : menjelaskan kontrol tektonik dalam pembentukan
Cekungan Barito, Cekungan Kutei, Cekungan Tarakan dan perbedaan
utama dari cekungan tersebut.
16. Krevelen (1993): menjelaskan bahwa karakteristik batubara merupakan
fungsi dari proses pembentukan batubara. Krevelen (1993) juga membagi
1–2 karakteristik batubara menjadi dua yaitu ekstrinsinsik dan intrinsik
17. Peta Topografi Rupa Bumi Indonesia (RBI) daerah telitian (dipublikasikan
oleh Bakosurtanal)
18. Peta lembar Geologi daerah telitian, skala 1:250.000 (Oleh : E.Rustandi
dkk, 1995)
19. Data Citra seperti Digital Elevation Model (DEM), Shuttle Radar
Topography Mission (SRTM), dan Google Earth
Studi literatur ini bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi, geomorfologi dan
tektonik daerah penelitian melalui data-data sekunder yang didapatkan.
• Interpretasi peta
Setelah mendapatkan data-data sekunder dari akumulasi data seperti Peta
Topografi Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta Geologi Regional, data geologi
regional, data citra kemudian dilakukan interpretasi peta ( Peta Tentatif ) berupa
peta satuan batuan tentative, peta kelurusan tentative, peta geomorfologi tentative,
rencana lintasan, peta pola pengaliran, yang diperuntukan untuk langkah awal
sebelum melakukan pemetaan lapangan, kegiatan ini bertujuan untuk memudahkan
ketika melakukan pemetaan.
2.3.2. Akuisisi Data Primer
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pemetaan yang
dilakukan oleh peneliti, adapun data tersebut didapatkan dari hasil Observasi
Lapangan yang dilakukan sebagai pengamatan terhadap kondisi sebenarnya di
lapangan yang akan dijadikan bahan acuan dalam melaksanakan penelitian dan
penulisan laporan.
Tahap ini dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut :
1. Tahap akuisisi lintasan geologi
Pada tahapan ini dapat kita ketahui litologi yang berkembang dari daerah
penelitian sehingga nantinya kita akan menadapatkan satuan batuan daerah telitian

24
tersebut. Pemataan dilakukan dengan lintasan memotong jurus lapisan batuan agar
didapatkan litologi yang berbeda–beda, dengan melintasi sungai ataupun lereng
perbukitan
2. Tahap akuisisi pengamatan pola pengaliran secara menyeluruh
meliputi :
1. Pola pengaliran dasar.
2. Pola pengaliran ubahan.
3. Penyimpangan aliran.
4. Tekstur pengaliran.
5. Bentuk lembah.
6. Tempat mengalir.
Berdasarkan hasil interpretasi pola pengaliran secara menyeluruh dapat
diketahui mengenai lereng, bentuklahan, litologi, stratigrafi terbatas, dan struktur
geologi.
3. Tahap akuisisi pengamatan bentuklahan, adapun tahap ini
menggunakan aspek-aspek geomorfologi, yaitu:
a. Pengamatan morfologi: mencangkup morfografi (bentuk) dan
morfometri (presentase luasan setiap bentuklahan pada daerah
penelitian, pengukuran dan pengamatan bentuk lereng, serta
pengukuran relief).
b. Pengamatan morfogenesa: morfostruktur aktif (endogen),
morfostruktur pasif, morfodinamik (proses eksogen).
c. Pengamatan morfoasosiasi: hubungan sekitar.
d. Pengambilan gambar setiap bentuklahan.
e. Pengambilan gambar bentuk lereng.
f. Pengukuran slope.
4. Tahap akuisisi pengamatan variasi litologi:
a. Deskripsi singkapan.
b. Sketsa singkapan .
c. Pembuatan profil.
d. Foto litologi dan soil secara close up.

25
e. Pengambilan sample batuan dan soil dilakukan di setiap titik lokasi
pengamatan.
4. Tahap akuisisi pengukuran struktur geologi terdiri atas:
f. Pengukuran kedudukan lapisan batuan
g. Pengukuran dan pencatatan kekar gerus.
h. Pengukuran bidang sesar dan data gores-garis.
i. Foto bukti struktur geologi.
Berdasarkan hasil pengukuran dan pencatatan struktur geologi, maka dapat
diketahui tentang karakteristik setiap struktur geologi secara detil.
5. Pengambilan foto singkapan dan contoh batuan
Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geologi dari
objek objek geologi secara visual dilapangan berserta pengambilan contoh batuan
sebagai bukti atas deskripsi batuan yang dilakukan sehingga menunjang data
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
6. Profil maupun Penampang Stratigrafi Terukur
Pengambilan profil bertujuan untuk menentukan lingkungan pengendapan
suatu batuan. Dengan mengambil data struktur, tekstur, dan komposisi mineral dari
urut-urutan lapisan batuan tersebut. Sedangkan data penampang stratigrafi terukur
digunakan sebagai batas satuan batuan, analisis umur, dan lingkungan pengendapan
berdasarkan analisis mikropaleontologi.
7. Pengambilan Foto Bentang alam maupun Stadia Sungai
Pengambilan foto digunakan untuk mendapatkan aspek aspek geomorfologi
dari objek objek geomorfologi secara visual dilapangan berserta pengambilan foto
stadia sungai sehingga menunjang data penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan.
8. Tahap Akuisisi Tahap Studi Khusus
Pengamatan kenampakan seam batubara dilapangan terhadap persebarannya, dan
pengaruhnya terhadap struktur geologi.
2.4. Tahap Analisis dan Pengolahan Data
Pada tahapan ini penyusun melakukan pengumpulan data dari hasil kegiatan
pemetaan / kegiatan sebelumnya dan melakukan beberapa analisa laboratorium /
studio pada sampel dan data yang didapat, analisa yang dilakukan antara lain:

26
2.4.1. Pembuatan Peta Lintasan Dan Lokasi Pengamatan
Merupakan hasil pengolahan dari peta lintasan dan lokasi pengamatan
lapangan yang kemudian dianalisis sehingga pengeplotan sudah berdasarkan warna
satuan berdasarkan data yang didapat dilapangan yang dilengkapi data kedudukan,
sampel batuan, foto singakapan batuan dan hasil analisis lainnya seperti analisis
petrografi, dan lainnya. Sehingga dapat mempermudah ketika mau menarik menjadi
peta geologi daerah telitian.
2.4.2. Pembuatan Peta Geomofologi dan Penampang Geomorfologi
Merupakan kesimpulan akhir dari hasil analisis geomorfologi yang
dilakukan sebelum penelitian lapangan, sehingga dilapangan hanya memastikan
hasil interpretasi awal yang dikaitkan dengan aspek geologi lainnya seperti litologi,
struktur geologi, dan sebagainya.
2.4.3. Pembuatan Peta Geologi dan Penampang Geologi
Merupakan hasil penarikan berdasarkan data peta lintasan dan lokasi
pengamatan yang dilakukan dan didukung dengan berbagai analisis baik itu analisis
petrografi, analisis struktur geologi, analisis log sedimentologi dan hal lainnya yang
berkaitan dengan peta geologi
2.4.4. Analisis Pola Pengaliran
Merupakan kesimpulan akhir dari analisis awal sebelum tahap penelitian
lapangan yang mengaitkan dengan unsur-unsur geologi lain, dan didapat
berdasarkan perhitungan kuantitatif agar menguatkan data yang awalnya hanya
interpretasi berdasarkan analisis kualitatif
2.4.5. Analisa Petrografis
Mengidentifikasi karakteristik batuan untuk mengetahui nama batuan, baik
dari aspek mineralogi, tekstur, serta perkembangan proses-proses diagenesa yang
telah berlangsung. Analisis petrografi ditujukan untuk mengetahui nama batuan
melalui sayatan tipis batuan guna meyakinkan penamaan batuan di lapangan yang
terbatas akan alat-alat yang digunakan di lapangan.
Adapun beberapa klasifikasi yang penulis gunakan dalam menentukan
penamaan batuan yaitu pada batuan beku menggunakan klasifikasi William (1954),
pada batuan sedimen klastik menggunakan klasifikasi Gilbert (1954 & 1975), pada

27
batuan karbonat menggunakan klasifikasi Dunham (1962), sedangkan pada batuan
metamorf menggunakan klasifikasi Winkler (1979).
2.4.6. Analisa Mikropaleontologi
Analisis fosil dilakukan menggunakan mikrofosil foram plankton untuk
mengetahui penamaan fosil dan sebagai analisis penentu umur relatif dan
lingkungan batimetri dareah penelitian terkait.
Adapun klasifikasi yang digunakan dalam menentukan yaitu berdasarkan
penamaan foraminifera plankton dengan menggunakan zonasi Blow (1969) dalam
pengumurannya. Sedangkan pada penentuan lingkungan batimetri yang pertama
yaitu menggunakan penamaan foraminifera bentos dengan menggunakan Barker
(1960). Selain itu penentuan lingkungan batimetri mengguanakan ratio plankton
terhadap bentos denga menggunakan tabel kedalaman terhadap ratio berdasarkan
Grimsdale dan Mark Hoven (1955).
2.4.7. Analisis Data Struktur Geologi
Mengidentifikasi struktur yang bekerja, perkembangan arah umum dari
kekar-kekar, serta mengetahui tegasan utama dan menentukan jenis sesar dan
proses struktur yang berkembang. Analisis struktur geologi meliputi analisis kekar,
sesar dan lipatan menggunakan metode stereografis. Berdasarkan kumpulan data
kekar pada seluruh lokasi, data tersebut diolah menjadi data arah umum yang
nantinya dianalisis menggunakan prinsip diagram blok kekar bertujuan untuk
mendapatkan tegasan terbesar. Pada analisis sesar bertujuan untuk menentukan arah
pergerakan sesar dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard (1972). Pada
analisis lipatan digunakan klasifikasi penamaan berdasarkan kalsifikasi Rickard
(1972).
2.4.8. Analisis Data Measuring Section
Mengidentifikasi litologi yang berada didaerah penelitian, terutama
persebaran dari seam batubara, kemudian dikorelasikan terhadap lintasan lainnya.
Kemudian menyimpulkan persebaran seam batubara terhadap pengontrolnya, yaitu
struktur geologi. Selain itu, data measuring section yang dikorelasikan dengan data
bor, dan pemetaan geologi serta penampang geologi, dapat menentukan tebal dan
pola persebaran seam batubara.

28
2.5. Tahap Sintesis dan Penyajian Data
Tahap terakhir yaitu tahap penyelesaian yaitu berupa hasil dari seluruh
pengolahan data yang nantinya disimpulkan melalui satu interpretasi sejarah
geologi daerah terkait yang disajikan melalui laporan resmi dan peta-peta.
Peta yang dihasilkan adalah peta pola pengaliran, peta lintasan dan lokasi
pengamatan, geomorfologi, geologi.
2.5.1. Geomorfologi
Kenampakan geomorfik pada daerah penelitian didapatkan dari integrasi data
pra-lapangan (interpretasi kenampakan geomorfik pada citra satelit Google Earth,
juga didukung dengan Peta RBI skala 1:10.000 dengan bantuan DEM) dan hasil
tinjau lapangan (field check). Output yang dihasilkan berupa peta geomorfologi
beserta penampang geomorfologi daerah penelitian
2.5.2. Stratigrafi
Stratigrafi daerah penelitian diketahui dari hasil analisis stratigrafi
(measuring section dan composite profile). Urut-urutan stratigrafi, sebaran, serta
hubungan antar satuannya ditunjukkan dalam peta geologi dan penampang geologi
daerah penelitian.
2.5.3. Struktur Geologi
Struktur geologi daerah penelitian diketahui dari hasil analisis struktur
geologi (integrasi antara hasil interpretasi kelurusan pada Peta RBI skala 1:10.000
dengan bantuan data DEM dan juga data hasil analisis stereografis). Struktur-
struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitan ditunjukkan oleh peta
geologi dan penampang geologi daerah penelitian.
2.5.4. Pengontrol Persebaran Seam Batubara
Persebaran seam batubara daerah penelitian diketahui dari hasil data bor,
pemetaan geologi dan measuring section. Keberadaan seam batubara tersebut
kemudian dikorelasikan dengan data bor, pemetaan geologi dan measuring section
untuk mengetahui persebarannya, sehingga dapat disimpulkan pengaruh struktur
geologi terhadap persebaran batubara
2.6. Rencana Jadwal Penelitian
Waktu penelitian skripsi ini dimulai dari bulan Desember 2020 - September
2021 yang dilaksanakan di PT. Sebuku Tanjung Coal, dengan melalui beberapa

29
tahapan seperti pendahuluan, akuisisi data lapangan, analisis dan pengolahan data,
serta sintesis dan penyajian data. Timeline penelitian skripsi dapat dilihat pada
(Tabel 2.1)
Tabel 2. Timeline Penelitian Skripsi

30
BAB III
DASAR TEORI

3.1. Definisi Batubara


Menurut Thomas (2013), batubara merupakan hasil dari akumulasi
tumbuhan padat terendapkan di dalam lingkungan tertentu. Akumulasi ini
disebabkan oleh proses syn-sedimentary dan post-sedimentary yang menyebabkan
perbedaaan ranking dan struktur yang berkembang pada batubara tersebut.
Menurut Thiessen (1947) Batubara merupakan suatu sedimen organik yang
terbentuk dari pembusukan tumbuhan atau pohon yang telah mati berjuta tahun
yang lalu dan terendapkan di suatu cekungan.
Menurut Wolf (1984), Batubara adalah batuan sedimen yang dapat
terbakar, berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utama karbon, hidrogen, dan
oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak pengendapannya terkena proses
kimia dan fisika yg mengakibatkan terjadinya pengkayaan kandungan karbonnya.
Dari beberapa sumber diatas, dapat dirangkum suatu definisi yaitu:
batubara merupakan batuan sedimen yang terbentuk dari berbagai material organik
(sisa-sisa tumbuhan) dan telah mengalami dekomposisi atau penguraian oleh
adanya proses biokimia dan geokimia sehingga sifat fisik dan sifat kimianya
berubah seperti pengayaan unsur karbon sehingga dapat terbakar.
3.2 Genesa Batubara
Genesa pembentukan batubara menurut (Krevelen, 1993) yaitu
1. Teori In-situ
Dalam teori ini, batubara akan terbentuk disaat tumbuhan tersebut tumbuh
dan mati, di letak yang sama / tanpa mengalami transportasi. Batubara yang
dihasilkan dari proses ini memiliki kualitas yang baik. Penyebaran batubara jenis
ini sifatnya merata dan luas.
2. Teori Drift
Bahan pembentuk batubara teori ini, berasal dari bukan tempat batubara itu
terbentuk atau telah mengalami transportasi, terakumulasi, tertutup oleh sedimen,
dan terjadi proses coalification. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori drift
biasanya terjadi di delta, mempunyai ciri-ciri lapisan batubara tipis, tidak menerus
(splitting), banyak lapisannya (multiple seam), dan banyak pengotor (kandungan

31
abu cenderung tinggi). Batubara dengan proses drift penyebarannya tidak luas tetapi
banyak dan kualitasnya kurang baik
Menurut (Stach, 1982) dalam (Susilawati 1992), Proses pembentukan
batubara terbagi menjadi 2 yaitu proses humification / peatification dan
coalification
1. Proses humification / peatification (humifikasi / penggambutan)
Proses penggambutan adalah proses yang terjadi pada daerah yang memiliki
kondisi basah, ketika tumbuhan mati, akan mengalami dekomposisi dan
pembusukan akibat adanya organisme. Organisme seperti jamur, serangga atau
organisme dan bakteri aerobic lainnya akan bekerja ketika tumbuhan mati belum
tertimbun oleh material sedimen, ketika tumbuhan mati tersebut tertutup oleh
sedimen, maka organisme anaerobic akan menggantikannya, sehingga tumbuhan
tersebut membusuk dan melepaskan unsur H,N,O dalam bentuk senyawa CO2,H20
dan NH3 untuk menjadi humus, setelah itu bakteri anaerobic dan jamur
mengubahnya menjadi gambut.

Gambar 3 Proses pembentukan batubara (Stach, 1982, di dalam Susilawati 1992).

2. Proses coalification (Pembatubaraan)


Setelah proses pembentukan gambut, gambut yang tertutup oleh sedimen
di atasnya akan mengalami proses coalification. Menurut Stach (1982) dalam
Susilawati (1992), proses ini terbagi menjadi dua tahap yaitu tahapan biokimia dan
geokimia. Pada proses ini, unsur karbon akan meningkat, sedangkan unsur
hydrogen dan oksigen berkurang (Fischer 1927, dalam Susilawati 1992), hal

32
tersebut terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,
temperature, tekanan dan waktu. Temperatur dan tekanan memiliki peran penting
dalam memperepat proses reaksi dan menghasilkan unsur gas. Proses ini akan
menghasilkan perbedaan tingkat kematangan pada batubara, sehingga memiliki
derajat kematangan yang berbeda (Gambar 4)

Gambar 4. Skema pembentukan batubara (Susilawati 1992)

Berdasarkan skema diatas, dari atas kebawah memiliki derajat kematangan


yang semakin matang.
1. Lignit (brown-coal)
Merupakan tingkatan batubara yang paling rendah, dan umumnya digunakan
sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik (Tabel 3).
2. Sub-bituminus
Umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap. Sub-bituminous juga
merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan hidrokarbon
aromatis dalam industri kimia sintetis (Tabel 3).
3. Bituminus
Mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, sering digunakan dalam
pembangkit listrik tenaga uap (Tabel 3).
4. Antrasit
Merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan paling tinggi dengan struktur
yang lebih keras serta permukaan yang lebih kilau dan sering digunakan keperluan
rumah tangga dan industri (Tabel 3).

33
Tabel 3. Komposisi elemen dari beberapa tipe batubara (Susilawati, 1992)

3.2.1. Faktor Pembentuk Batubara


Menurut Schlatter dalam Bambang Kuncoro, 1996 ada 10 faktor yang
mempengaruhi pembentukan batubara, faktor-faktor tersebut adalah:
1. Posisi Geotektonik
Pengaruh geotektonik dalam pembentukan batubara terletak pada tempat
pembentukan terhadap intensitas tektonik, karena akan membentuk iklim lokal,
morfologi cekungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya, dan
proses metamorfosa batubara setelah pengendapan berakhir.
2. Topografi
Topografi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting
karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk.
Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan
keberadaanya bergantung pada posisi geoteknik. Bentuk muka bumi yamg berupa
cekungan akan sangat berpengaruh dan dapat menentukan arah penyebaran
batubara.
3. Iklim
Keberadaan memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan
merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisis yang sesuai. Iklim
tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi
geoteknik. Temperatur yang lembab pada iklim tropi sdan subtropis pada umumnya
sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Pada
iklim tropis atau subtropis umumnya akan membentuk batubara yang mengkilap,
sedangkan pada daerah yang lebih dingin batubara terbentuk lebih kusam.

34
4. Tumbuhan (Flora)
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara yang tumbuh pada masa
Karbon dan Tersier terdiri berbagai jenis tumbuhan. Pertumbuhan dari flora
terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi
tertentu. Dekomposisi Dekomposisi flora merupakan transformasi biokimia dari
organik yang merupakan titik awal untuk seluruh altersi, bila tumbuhan tertutup air
dengan capat maka pembusukan tidak akan terjadi tetapi akan di integrasiatau
penguraian hewan mikrobiologi, bila tumbuhan yang mati berada di udara terbuka
maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang sehingga bagian keras saja
yang tertinggal.
5. Penurunan Cekungan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik, jika
penurunan dan pengendapan gambut seimbang maka akan menghasilkan lapisan
batubara yang tebal. Pergantian transgresi dan regresi akan mempengaruhi
pertumbuhan flora dan pengendapannya yang menyebabkan adanya infiltrasi
material dan mineralnya, hal ini mempengaruhi kualitas batubara yang terbentuk.
6. Umur geologi
Merupakan umur formasi pembawa lapisan batubara. Proses geologi
menentukan berkembangnya evoluasi kehidupan berbagai macam tumbuhan,
berpengaruh pada sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Dimana
makin tua umur pembawa lapisan batubara maka akan semakin tinggi nilai
kalorinya.
7. Sejarah
Setelah pengendapan, sejarah cekungan batubara secara luas bergantung
pada posisi geoteknik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan
batubara. Secara singkat terjadi proses biokimia dan metamorfosa organik sesudah
pengendapan gambut, secara geologi intrusi menyebabkan terbentuknya struktur
cekungan batubara berupa perlipatan, sesar, intrusi. Terbentuknya batubara pada
cekungan batubara umumnya mengalami defornasi oleh gaya tektonik, yang akan
menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu
adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.
8. Metamorfosa organic
Pada tingkat penimbunan oleh sedimen baru, proses degradasi biokimia
tidak berperan lagi tidak di dominasi oleh proses dinamokimia yang menyebabkan

35
perubahan gambut menjadi batubara dan menjadi berbagai macam. Selama Proses
ini terjadi pengurangan air lembab, oksigen, zat terbang, serta bertambahnya
prosentase karbon padat, belerang dan kandungan abu.
3.3 Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan adalah lingkungan yang kompleks yang
disebabkan interaksi antara faktor-faktor fisika, kimia dan biologi dimana sedimen
diendapkan Koesoemadinata (1981).

Penentuan lingkungan pengendapan di daerah penelitian ini mengacu dari


Horne (1978), penentuan model ini didasarkan pada data-data hasil analisis struktur
sedimen dan komposisi batuan. Berikut penjelasan lengkapnya

Gambar 5. Model lingkungan pengendapan batubara di daerah delta (Horne,1978)

1. Lingkungan Lower Delta Plain

Batubara pada lingkungan ini mempunyai ciri-ciri tipis dan terbelah (split)
oleh sejumlah endapan levee. Sebaran lapisan batubara cenderung menerus
sepanjang jurus pengendapan. Selain itu, mudah tergenang air laut atau payau
sehingga kandungan sulfurnya tinggi.

36
2. Lingkungan Transitional Lower Delta Plain

Pada lingkungan ini batubara yang terbentuk relatif tebal, tersebar meluas
sejajar arah pengendapan namun kemenerusan lapisan sering terpotong oleh
channel. Kandungan sulfur sedikit rendah, zona ini mengandung fauna air payau
sampai fauna marin serta struktur burrow yang meluas. Melihat ciri – ciri dari pada
lingkungan transitional lower delta plain, maka lokasi penelitian termasuk di
dalamnya.

3. Lingkungan Barier

Lingkungan ini didominasi oleh batupasir. Kearah laut, butiran batupasir


menjadi lebih halus dan selang-seling dengan serpih gampingan yang berwarna
merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut kearah darat
bergradasi menjadi serpih berwarna abu-abu gelap sampai hijau tua yang 20
mengandung fauna-fauna air payau. Adanya pengaruh gelombang dan pasang
surut, mengakibatkan batupasir lebih bersih dan memiliki sortasi lebih baik dari
lingkungan sekelilingnya

4. Lingkungan Back Barier

Penyusun utama lingkungan ini adalah urutan perlapisan serpih abuabu


gelap yang kaya bahan organik dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang
secara lateral tidak menerus dan zona siderit yang berlubang. Batubara yang
terbentuk tipis, penyebaran lateral dan kandungan sulfur tinggi, arah lapisan tegak
lurus pengendapan. Lapisan batubara pada top (roof) cenderung keras sehingga
sulit ditambang. Umumnya mengandung fauna laut atau air payau.

5. Lingkungan Upper Delta Plain-Fluvial

Lingkungan pengendapan ini memiliki batubara yang diendapkan dalam


bentuk belt sebagai ciri di daerah dataran banjir atau meandering. Bentuk lapisan
batubara relatif sejajar terhadap arah kemiringan cekungan pengendapan. Bentuk
kemenerusannya kurang baik dibanding dengan batubara pada ”lower delta plain’,
karena bentuk aliran sungai tidak beraturan maka ketebalan lapisan batubara
berubah-ubah dalam selang jarak yang dekat, serta memiliki kandungan sulfur
yang rendah.

37
3.4 Struktur Sesar Post Genetik
Thomas (2013) menganggap bahwa segala perubahan struktural yang
signifikan baik secara lateral maupun vertikal memiliki hubungan langsung dengan
ketebalan, kualitas, serta kegiatan penambangan, perubahan tersebut dapat terjadi
dalam skala kecil maupun besar, berefek pada karakter internal batubara, atau dapat
mengganti spasi batubara dengan sedimen bukan batubara atau dalam keadaan
tertentu dengan intrusi batuan beku. Mengerti struktur geologi dalam lapisan
batubara sangat penting dalam kegiatan penambangan dan perhitungan cadangan
karena dapat membantu menganalisis korelasi stratigrafi.
Perkembangan kekar yang kuat dan pola sesar dalam sikuen pembawa
batubara adalah hal yang paling sering terbentuk dalam ekspresi struktur dalam
sikuen pembawa batubara. Sesar dan lipatan juga berpengaruh terhadap cleat
ditunjukkan oleh perbedaan jumlah frekuensi cleat di zona sesar paling besar,
kemudian semakin kecil di sayap curam dan di sayap landai. Akibat perbedaan
jumlah frekuensi cleat tersebut, maka derajat fragmentasi batubara beragam.
Batubara di zona sesar terfragmenkan, di sayap curam agak terfragmenkan,
sedangkan di sayap landai kurang terfragmenkan (Kuncoro, 2012).
3.4.1 Jenis Sesar
Terdapat 3 macam sesar Post-Genetik (Thomas,2013), yaitu:
a. Sesar Normal
Sesar ini terbentuk karena adanya dominasi tekanan vertikal yang
menyebabkan pengurangan kompresi horizontal, membuat gravitasi sebagai
ekstensi horizontal di sikuen batuan. Pembentukan sesar merupakan hal yang wajar,
dan pergerakan dapat terjadi sepanjang beberapa meter hingga ratusan meter. Sesar
ini dapat menghentikan kegiatan penambangan secara lokal maupun total karena
adanya pergeseran dalam kemenerusan sesar. Kemiringan sesar normal biasanya
berkisar antara 60-70°. Beberapa sesar normal berhenti kelurusannya karena
berkurangnya throw dalam sesar. Sesar juga dapat terbentuk menjadi monoklin
yang lentur, terpisah diatas lapisan yan lebih lunak. Sesar juga membentuk seretan
dalam bidang sesar, batuan asal dapat tercungkil searah dengan pergerakan sesar.
Disaat sesar besar tergeser jauh, dan ini terjadi dalam segala sesar, zona yang
menggerus batuan dan batubara akan melebar sejajar dengan bidang sesar dan
dengan jarak beberapa meter, seperti zona hancuran yang dilihat di pertambangan
di Inggris (Gambar 6)

38
Gambar 6. Zona sesar besar yang terlihat di high wall dalam tambang terbuka di South Wales,
Inggris Raya (Thomas, 2013)

b. Sesar Naik
Sesar ini terbentuk karena adanya tekanan secara horizontal dengan
kompresi vertikal yang lebih lemah. Sesar naik dengan sudut besar biasanya
merupakan struktur besar yang berasosiasi dengan pengangkatan regional dan
bersamaan dengan aktivitas magmatic. Dalam geologi batubara, sesar naik dengan
sudut yang kecil (<45) lebih signifikan. Tipe sesar naik dapat dilihat di gambar 7.
dimana sesar membuat lapisan batubara mengalami dislokasi sebesar beberapa
meter. Saat sudut sangat kecil, dan perpindahan lateral sangat terlihat, seperti dalam
thrust fault. Bentuk dari sesar naik dengan sudut kecil dikontrol oleh faktor alam
dari batuan yang tersesarkan, terutama saat bidang gerus mengikuti bidang sesar
(tidak tegak lurus).

39
Gambar 7.Lapisan Batubara terdislokasi karena sesar naik dengan throw 1.5 meter, tambang
terbuka Inggris (Thomas, 2013)

c. Sesar Mendatar
Sesar mendatar memiliki tegangan maksimal dan minimal di dua bidang
horizontal. Hal ini dapat menyebabkan pergerakan secara horizontal searah jarum
jam (dextral) atau berlawanan arah jarum jam (sinistral). Sesar mendatar kadang
ditemukan dalam skala regional dan meski penting, sesar ini hanya sedikit
berpengaruh dalam analisis endapan batubara. Bukti sesar di batuan dapat dilihat di
kekar gerus, dimana garis di bidang sesar parallel terhadap pergerakannya. Kadang
bidang sesar bentuknya telah tergerus secara khas dimana batubara tingkat tinggi
terkompresi sejajar dengan bidang sesar. Garis kerucut adalah perkembangan dalam
batubara, dan sering disebut cone-in-cone structures, dan merupakan hasil dari
kompresi antara bagian atas dan bawah batubara. Respon batubara di daerah yang
rapuh terhadap penambahan deformasi oleh gerakan yang hancur dan perpindahan
subsekuen bersamaan dengan penambahan rekahan (Frodsham dan Gayer 1999,
dalam Thomas, 2013).
Di daerah tambang yang telah terdeformasi secara tektonik, dan di tambang,
merupakan hal yang penting bahwa penilaian cepat dari pergerakan fisik batubara
dapat dibuat. Penilaian secara visual dari keberadaan batubara dapat dibuat dengan
sampel hand specimen, sampel core, dan observasi outcrop. Indeks struktur rata-

40
rata dapat digunakan untuk menilai kekuatan deformasi batubara relatif dan
frekuensi kekar di spesimen.

3.4.2 Ciri Sesar


Ciri-ciri dan indikasi sesar sering ditemukan di sepanjang bidang patahan
dan akan berguna untuk menentukan arah dan besar pergerseran batuan. Slickenside
terbentuk karena adanya gesekan dari pergerakan batuan yang mungkin terlihat
samar-samar dan dapat mencatat gerakan minor serta rekaman gerakan terakhir
patahan dengan mengamati netslip. Terdapat kerutan di sekitar bidang patahan
dengan panjang yang bervariasi yang sering disebut dengan mullion. Selain kerutan
terdapat pula breksi sesar yang terdiri dari fragmen batuan angular dengan matriks
pasiran serta ada pula gouge yang berbentuk seperti lempung. Breksi sesar dan
gouge ini terbentuk karena adanya gesekan antar batuan yang bergerak dalam
bidang sesar. Pergerakan di sepanjang bidang sesar dapat menyebabkan lapisan
batuan yang dekat dengan zona sesar terbengkokkan atau terlipat berdasarkan gores
garis pada sesar. Lipatan tersebut dinamakan drag meskipun tidak semua sesar
menghasilkan drag; meski begitu, di beberapa sesar terpotong secara rapi. Batubara
juga dapat terlipat karena sifatnya yang rapuh. Sebagian besar sesar normal tidak
menunjukkan drag karena blok sesar tertarik menjauh karena gaya ekstensi,
sehingga gesekan berkurang.

3.4.3 Efek Sesar Terhadap Batubara


Terdapat efek sesar terhadap batubara, termasuk perpindahan fisik lapisan
batubara, mengurangi stabilitas tanah dalam penambangan, membuka rekahan
sebagai celah air dan gas masuk kedalam lapisan batubara, dan perubahan
kandungan mineral
Sesar naik dapat menyebabkan seretan sepanjang bidang patahan, sehingga
batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut.
Apabila berupa sesar besar, maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh lapisan
batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa
bidang hancuran dan bias terlihat di high wall tambang batubara terbuka.
Dalam sikuen batubara, seatearth, dan mudstone, dengan sisipan batupasir,
sesar dengan sudut kecil seringkali mengikuti batas atas dan/atau batas bawah
lapisan batubara untuk mengurangi pergerakan, seatearth kadang berperan sebagai
pelumas. Salah satu efek negatif dari pergerakan ini adalah kontaminasi batubara

41
dengan batuan asal sehingga mengurangi kualitas, dan dalam beberapa kasus adalah
penembangan.
Daerah endapan batubara dengan aktivitas tektonik tinggi, beberapa kontak
lapisan batubara bergerak dan terkikis, dalam beberapa kasus seluruh lapisan akan
terkompresi dan berpindah, hal ini mungkin dapat dilihat di batubara sebagai
arcuate shear planes throughout. Pengembangan zona tunjaman dalam sikuen
batubara dapat dilihat di gambar 8, dimana kompresi lateral dapat membentuk
thrusting bersamaan dengan horison litologi dan lanjutan kompresi ini membentuk
bagian atas sikuen yang lebih terganggu dibandingkan bagian bawahnya yang
sering disebut dengan progressive easy-slip thrusting. Keadaan ini sering
ditemukan dalam lapangan batubara. Thrusting juga tertekan saat sikuen batubara
dan batulempung membentuk sandwich antara bagian batuan klastik yang tebal
serta daerah atas dan bawah sikuen terhadap bagian terendah sikuen bereaksi
terhadap gaya kompresi sedikit berbeda terhadap ketidakmampuan batubara dan
dan batulempung.

Gambar 8. Model empat tahapan dalam progressive easy-slip thrusting.

(a) Thrust berkembang secara simultan saat datar bersamaan dengan bagian bawah
lapisan batubara dengan tekanan tinggi, memotong bagian atas lapisan batubara,
lipatan mulai berkembang dalam zona thrust; (b) Thrust kembali menyebar dengan
pelebaran lipatan miring di daerah teratas thrust; (c) Pergerakan sikuen masih
berlanjut di daerah thrust tertinggi yang menyebabkan patahnya thrust di area
hanging wall dan footwall, thrust secara lokal memotong stratigrafi di daerah
transport. (d) sikuen hanging wall yang maju ke belakang membentuk geometri
yang jelas dengan struktur di daerah thrust terendah menjadi tidak terhubung

42
terhadap bagian tertinggi thrust. Footwall yang terpisah membentuk sesar naik yang
terlipat. (Gayer, dkk,1991 dalam Thomas 2013)

3.4.3 Kekar
Kekar adalah retakan pada batuan yang sedikit atau tidak sama sekali
mengalami pergeseran, retakan yang terjadi gaya tekanan disebut “shear fractures”
dan yang terjadi karena gaya tarikan disebut “tension fractures” (Dennis, 1979).
Sedangkan Billings (1972), membagi kekar tarikan kedalam “extension joints” dan
“release joints”. Berdasarkan karakteristiknya kekar dapat dibedakan menjadi:

• Kekar tekanan : rapat, lurus, memotong semua lapisan batuan, biasa


berpasangan jika terisi kuarsa kristalnya kurang baik.

• Kekar tarikan : tidak rapat, batas retakan relatif tidak rata, kuarsa yang
mengisi kristalnya baik, tidak berpasangan.
Kekar-kekar tersebut terbentuk oleh adanya tegasan yang bekerja pada batuan,
dimana tegasan tersebut berupa tegasan utama terbesar, tegasan utama menengah
dan tegasan utama terkecil. Tegasan utama terbesar akan membagi sudut lancip
kedua shear joint sama besar, sedangkan tegasan utama terkecil akan membagi
sudut tumpul kedua shear joint sama besar.

Gambar 9. Hubungan pembentukan kekar dengan arah tegasan ( Twiss dan Moores, 1992)

3.4.3 Sesar
Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
pergeseran melalui bidang rekahnya. Sesar merupakan patahan/rekahan tunggal
atau suatu zona pecahan padakerak bumi bersamaan dengan terjadinya pergerakan
yang cukup besar, paralel dengan rekahan atau zona pecahan. Suatu permukaan,
sisi, atau dinding yang bergeser melewati dinding lain akan mengakibatkan

43
kerusakan dan bergesernya struktur batuan yang sebelumnya menerus tepat pada
sesar. Maka, sebuah sesar adalah bergesernya struktur batuan yang disebabkan oleh
massa batuan yang slip satu sama lain disepanjang bidang atau zona rekahan. Sesar
adalah patahan/rekahan shear (shear fracture), dan istilah shearing sering kali
digunakan sebagai sinonim untuk pensesaran.
Sesar terdapat pada batuan yang paling keras dan kuat, seperti granit, dan
pada batuan yang lebih lunak serta material bumi yang tidak seragam, seperti pasir
dan lempung, sesar terdapat dimana-mana, paling tidak pada beberapa ukuran,
sepanjang bagian kulit terluar bumi yang masih dapat dilihat. Sesar memiliki
anatomi (unsur-unsur dalam sesar) sebagai berikut :

1. Bidang sesar (fault plane) adalah suatu bidang sepanjang rekahan dalam
batuan yang tergeserkan.

2. Jurus sesar (strike) adalah arah dari suatu garis horizontal yang merupakan
perpotongan antara bidang sesar dengan bidang khayal horizontal.

3. Kemiringan sesar (dip) adalah sudut antara bidang sesar dengan bidang
khayal horizontal dan diukur tegak lurus jurus sesar.

4. Atap sesar (hanging wall) adalah blok yang terletak diatas bidang sesar
apabila bidang sesar tidak vertikal.

5. Foot wall adalah blok yang terletak dibawah bidang sesar.

6. Heave adalah komponen horizontal dari slip / separation, diukur pada


bidang vertikal yang tegak lurus jurus sesar.

7. Throw adalah komponen vertikal dari slip/separation,diukur pada bidang


vertikal yang tegak turus jurus sesar.

8. Slickensides yaitu permukaan sesar yang memperlihatkan mineral-mineral


fibrous yang sejajar terhadap arah pergerakan.

44
Gambar 10. Komponen geometri bidang sesar ( Twiss dan Moores, 1992)

Berdasarkan sifat pergeserannya menurut Twiss dan Moores (1992) sesar dapat
dibagi menjadi dua yaitu :

1. Pergeseran Semu, merupakan jarak tegak lurus antara bidang yang terpisah
oleh gejala sesar dan diukur pada bidang sesar. Komponen dari separation
diukur pada arah tertentu, yaitu sejajar jurus (strike separation) dan arah
kemiringan sesar (dip separation). Sedangkan total pergeseran semu ialah
net separation

2. Pergeseran Relatif Sebenarnya ( Slip ), merupakan pergeseran yang diukur


dari blok satu ke lainnya pada bidang sesar dan merupakan pergeseran titik
yang sebelumnya berhimpit. Total pergeseran disebut Net Slip

Gambar 11. Klasifikasi sesar berdasarkan pergerakan semu (separation slip) ( Twiss dan Moores,
1992)

45
Gambar 12. Klasifikasi sesar berdasarkan pergerakan relatif sebenarnya (net slip) ( Twiss dan
Moores, 1992)

Menurut Anderson (1951) berdasarkan pola tegasannya ada 3 (tiga) jenis sesar,
yaitu sesar naik (thrust fault), sesar normal (normal fault) dan sesar mendatar
(wrench fault)

1. Sesar turun jika tegasan utama atau tegasan maksimum pada posisi vertical

2. Sesar naik jika tegasan minimum pada posisi vertikal

3. Sesar mendatar jika tegasan menengah pada posisi vertical

Gambar 13. Klasifikasi sesar berdasarkan pola tegasan (Anderson 1951)

46
BAB IV

GEOLOGI REGIONAL CEKUNGAN ASAM-ASAM


4.1 Fisiografi Regional
Pulau Kalimantan dianggap sebagai pulau paling stabil di Indonesia dan
merupakan wilayah benua yang memiliki sedikit atau tidak ada kegempaan.
Namun, pulau itu mengalami beberapa peristiwa deformasi selama Tersier,
menghasilkan struktur dan stratigrafi yang kompleks.
Evolusi tektonik pulau ini membentuk tiga cekungan Tersier utama yang
disebabkan oleh adanya rifting sepanjang tepi Sundaland, Cekungan Barito dan
Cekungan Asam-Asam. (Sapiie, et.al 2014).
Daerah penelitian secara fisiografi termasuk kedalam Cekungan Asem-
Asem. Cekungan Asem-asem ini terpisahkan dengan Cekungan Kutai oleh adanya
Adang Flexure atau sesar yang memisahkan Barito dengan Kutai di sebelah utara,
terpisahkan dengan Cekungan Barito oleh Pegunungan Meratus di sebelah barat.
Pada bagian Selatan, memanjang ke arah Laut Jawa hingga Tinggian Florence.
Pada mulanya Cekungan Barito dan Cekungan Asem-Asem merupakan satu
cekungan yang sama, hingga pada Miosen Awal terjadi pengangkatan Pegunungan
Meratus yang menyebabkan terpisahnya kedua cekungan tersebut (Satyana, 1995).
Cekungan Asem-Asem dan Cekungan Barito dipercaya sebagai satu kesatuan
deposenter pada Eosen yang menyambung sampai terpisah akibat pengangkatan
Pegunungan Meratus pada kala Miosen Akhir (Witts et all, 2012).

47
Gambar 4. Lokasi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012)

Gambar 5. Posisi cekungan Asem-Asem (Satyana dan Silitonga, 1993 dalam Santoso dan
Daulay,2008)

Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Kalimantan menjadi beberapa zona,


yaitu:

1. Blok Schwaner yang dianggap sebagai bagian dari dataran Sunda.

2. Blok Paternoster, meliputi pelataran Paternoster sekarang yang terletak


dilepas Pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian di dataran Kalimantan

3. Tinggian Meratus , terletak diantara blok Schwaner dan Paternoster, daerah


ini sebagai bagian dari Cekungan Barito, Pegunungan Meratus, dan
Cekungan Asem-Asem.

4. Tinggian Kuching, merupakan sumber untuk pengendapan ke arah Barat


laut dan Tenggara cekungan Kalimantan selama Neogen.

48
4.2 Stratigrafi Regional
Cekungan Asem-Asem memiliki kesamaan stratigrafi dengan Cekungan Barito
karena merupakan sebuah depocenter sampai terjadinya uplift dan munculnya
Pegunungan Meratus pada Miosen Akhir (Satyana dan Silitonga, 1994; Witts, dkk.,
2012).
Lapisan batubara di cekungan ditemukan di zaman Eosen Tanjung, Formasi
Warukin Miosen Tengah dan Pliosen-Pleistosen. Deposit batubara ekonomis terjadi
di cekungan Asem-Asem. Batubara diendapkan dalam urutan Tersier di lingkungan
pengendapan mulai dari fluviatile ke delta. (Santoso dan Daulay,2008)

Gambar 6. Geologi Kenozoikum di Cekungan Barito dan Asem – Asem, Lokasi penelitian diberi
tanda kotak merah (Modifikasi Supriatna et.al, 1994 dalam Witss et.al, 2012)

• Menurut Witts, dkk (2012)


Stratigrafi Cekungan Asem-asem yang ditinjau berdasarkan literatur dan
hasil penelitian yang telah dijadikan parameter menurut (Witts et al,2012 ; Santoso
dan Daulay, 2008) Stratigrafi regional Cekungan Asem-asem tersusun oleh
formasi-formasi batuan yang diurutkan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut :
1. Batuan alas (basement) yang berupa batuan malihan tingkat tinggi yang
terdiri atas sekis amfibolit dan malihan tingkat rendah yang terdiri atas filit.
Batuan malihan tingkat tinggi tersebut berupa Sekis Hauran yang tersusun
oleh sekis hijau yang mengandung mineral kuarsa, muskovit, biotit,
hornblenda, epidot dan malihan tingkat rendah sebagai Filit Pelaihari yang
terdiri atas filit yang mengandung mineral klorit dan mika pada bidang
permukaan yang mengkilap dan batusabak. Batuan malihan ini memiliki
umur Jura. Formasi Tanjung terdiri atas perselingan batupasir halus dengan

49
sisipan batubara, batulanau dan batuserpih (Santoso dan Daulay, 2008),
dengan suplai dari batuan sedimen yang paling tua (Witts, dkk., 2011).
2. Formasi Tanjung dari perselingan batupasir kasar, batupasir
konglomeratan dan konglomerat di bagian bawah, batulempung berwarna
kelabu di bagian tengah dan perselingan tipis batulanau dan batupasir halus
di bagian atas. Terdapat transisi bagian atas dari endapan aluvial ke laut
dangkal, dengan sekitar 80% dari formasi tersebut diendapkan di dataran
banjir pantai pasang surut (fluvio-tidal coastal floodplain) yang mengalami
transgresi. Berdasarkan Witts, dkk. (2011), bagian utama Formasi Tanjung
berumur Eosen Akhir berdasarkan data pollen (Cicatricosisporites
dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan
Turborotalia pomeroli, Globigerinatheka sp., Subbotina eocaenica,
Hantkenina sp and Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.).
Pada Tersier awal terjadi deformasi ekstensional sebagai hasil dari
konvergensi oblik yang menghasilkan rift berarah BL-Tg, tempat
akomodasi dari kipas aluvial dan sedimen lakustrin yang merupakan bagian
dari Formasi Tanjung bagian bawah. Pada awal Eosen Tengah, terjadi
transgresi sehingga lingkungan pengendapan menjadi fluviodeltaik yang
merupakan pembentuk Formasi Tanjung bagian Tengah. Transgresi terus
terjadi hingga Eosen-awal Oligosen menghasilkan endapan serping laut
pembentuk Formasi Tanjung bagian atas (Satyana, 1999). Pada bagian atas
formasi ini terdapat batuan karbonat yang merupakan awal dari
terbentuknya Formasi Berai
3. Formasi Berai diendapkan secara selaras di atas Formasi Tanjung, tetapi
pada beberapa bagian terdapat hubungan yang menunjukkan adanya
ketidakselarasan. Tetapi secara umum formasi ini diendapkan selaras di atas
Formasi Tanjung. Litologi formasi ini terdiri dari batugamping dengan
lingkungan pengendapan terumbu depan, antara terumbu belakang,
sublitoral pinggir, relatif dangkal, kurang dari 30 meter, berupa laut dangkal
atau lagoon. Umur formasi ini adalah Oligosen Akhir – Miosen Awal.
4. Formasi Warukin diendapkan secara selaras di atas Formasi Berai dengan
litologi berupa batulempung warna kelabu, sisipan batupasir dan batubara.
Bagian bawah dari runtunan batuan ini terdiri atas dominasi batulempung
warna kelabu sampai kehitaman dengan sisipan batupasir hasul-sedang

50
dengan struktur sedimen paralel laminasi dari material karbon, flaser dan
burrow. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah rawa dan pasang surut
dengan umur Miosen Awal –Miosen Akhir. Regresi terjadi selama Miosen
akibat dari pengangkatan Schwaner Core dan Tinggian Meratus. Adanya
endapan klastik menyebabkan pengendapan sedimen delta yang mengarah
ke timur dari Formasi Warukin. Pada akhir Miosen, Tinggin Meratus
muncul kembali, diikuti penurunan isostatik subsidence yang terjadi pada
bagian foreland, menyebabkan pembentukan endapan Formasi Warukin
dengan tebal ribuan meter (Satyana, 1999).
5. Formasi Dahor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Warukin.
Litologinya batulempung sampai batulempung pasiran, batupasir kasar –
konglomeratan yang berstruktur sedimen butiran bersusun (gradded
bedding), batupasir kemerahan yang berstruktur sedimen laminasi sejajar
dan silangsiur serta konglomerat yang memiliki komponen batuan granit,
19 malihan, sedimen dan vulkanik dengan ukuran 5-15 cm. Dengan umur
Plio-Plistosen.
6. Endapan Aluvial pada Cekungan Asem-asem merupakan hasil dari proses
sungai (fluviatil) yang terdiri dari endapan lumpur, pasir, kerikil, kerakal
dan bongkah yang berumur Kuarter.

51
Gambar 7. Stratigrafi Cekungan Asem-Asem (Wits, dkk., 2012)

4.3 Kerangka Tektonik dan Struktur Geologi Regional


Cekungan Barito, Kutei dan Tarakan adalah bagian dari area penurunan dan
sedimentasi yang luas dan saling berhubungan di Tersier Awal. Pengangkatan
Miosen membagi daerah menjadi cekungan terpisah. Cekungan Barito adalah
dipisahkan dari Cekungan Kutei oleh Adang Flexure Fault, hinge line
merepresentasikan sesar utama. Kutei Cekungan dipisahkan dari Cekungan
Tarakan oleh Mangkalihat Arch. Rifting Selat Makassar di Awal Tersier mengontrol
Cekungan Tarakan dan Kutai, dan Pengangkatan bagian barat menyebabkan semua
sedimen cekungan ini memperdalam dan menebal secara asimetris kearah timur.
(Satyana,et.al 1999)
Keadaan struktur geologi saat ini didalam ketiga cekungan ditandai dengan
tren fold dan fault belt sejajar dengan garis pantai Kalimantan Timur. Tren dominasi
SSW ±NNE kecuali Adang Flexure, Mangkalihat Arch dan Tinggian Semporna,
dimana memiliki trend E-W. Cekungan Barito struktur geologi berasosiasi dengan
terangkatnya Pegunungan Meratus kearah timur (Satyana
dan Silitonga, 1993; 1994; Satyana, 1994).
Ketiga cekungan tersebut menunjukkan sejarah tektonik yang serupa selama
Tersier, sampai Pleistosen (Gambar 19) (Satyana, et.al 1999)

• Tektonik ekstensional mengakibatkan rifting dimulai pada zaman Paleosen


± Eosen Tengah, mencirikan gaya structural selama Paleogen.

• Tektonik kompresi mendominasi selama Neogen dan Zaman Pleistosen,


ketika struktur yang lebih tua itu terbalik dan terangkat, mengakibatkan
sedimentasi regresif.

• Sesar ektensional Neogen dan Pleistosen, baik di Cekungan Kutei dan


Tarakan, dipicu dengan pengangkatan konvergen sepanjang bagian barat
margin dari kedua cekungan tersebut.

52
Gambar 8. Trend Dari Struktur Geologi Kalimantan Saat Ini (Satyana et.al 1999)

Gambar 9. Penampang Retrodeformasi Cekungan Barito Timur

53
Gambar 10. Struktur Paleogen dan Neogen dari Barito Timur

4.4 Keberadaan Batubara


Keberadaan dan kualitas batubara yang ditinjau berdasarkan literatur dan
hasil penelitian yang telah dijadikan parameter menurut (Darlan, dkk 1999 ; Davis,
et.al 2007), menjelaskan sebagai berikut :
Beberapa contoh batubara daerah penyelidikan dianalisis kimia dan analisis polen.
Berdasarkan analisis kimia pada contoh batubara maka didapat sebagai berikut :

• Formasi Tanjung memiliki kadar kandungan batubara yaitu nilai kalori


antara 6.000,00 kal/g dan 7.000,00 kal/g, kadar abu= 3,00% dan14,00 %,
zat terbang = 30.00 % dan 50,00 %, karbon padat= 35,00% dan 45,00%,
belerang total= 0,20 dan 2,00 %, dan kadar air= 3,00% dan 6,00 %.

• Formasi Warukin: nilai kalori antara 5.000,00 kal/g dan 6.000,00 kal/g,
kadar abu= 4,00% dan 20,00 %, zat terbang = 35.00 % dan 50,00 %, karbon
padat= 20,00% dan 40,00%, belerang total= 0,40 dan 4,00 %, dan kadar air=
3,00% dan 14,00 %.

54
• Formasi Dahor: nilai kalori antara 4.000,00 kal/g dan 5.000,00 kal/g, kadar
abu= 21,00% dan 30 ,00 %, zat terbang = 30.00 % dan 50,00 %, karbon
padat= 20,00% dan 30,00%, belerang total= 2,00 dan 4,00 %.

• Rank batubara dalam Formasi Tanjung (Davis et.al 2007) yaitu Sub-
Bituminus dan Formasi Warukin yaitu Lignite/Sub-bituminus

Dari data tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa batubara Formasi Tanjung
di daerah penelitian termasuk jenis batubara yang cukup baik di bandingkan dengan
batubara Formasi Warukin dan Formasi Dahor.

Gambar 11. Umur dan Rank Batubara (Davis, et.al 2007)

55
BAB V
GEOLOGI DESA SELARU, KECAMATAN PULAU LAUT
TENGAH, KABUPATEN KOTABARU, PROVINSI
KALIMANTAN SELATAN

Geologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru,


Provinsi Kalimantan Selatan terdiri atas pembahasan yang saling berkaitan
mengenai pola pengaliran, geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi.

5.1 Pola Pengaliran Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Menurut Howard, 1967 dalam van Zuidam 1985, pola pengaliran adalah
kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau
tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Dalam
mengelompokkan pola pengaliran pada daerah penelitian, penulis mengamati sifat
fisik batuan, keadaan topografi, struktur geologi yang berkembang dan disesuaikan
dengan pembagian pola pengaliran, maka penulis membagi pola pengaliran
menjadi :

Gambar 12. Pola Pengaliran Daerah Penelitian, interpretasi melalui kontur asli (kiri) dan
interpretasi kontur dengan digitasi melalui foto udara atau pasca tambang (kanan)

5.1.1. Pola Pengaliran Subdendritik


Pola pengaliran subdrendritik terbentuk pada kelerengan sedang, dikontrol
oleh lereng, litologi dan struktur geologi serta memiliki resistensi batuan yang
seragam. Dasar penamaan pola pengaliran subdrendritik adalah sungai yang
membentuk aliran-aliran seperti ranting pohoh yang bercabang dengan aliran yang
menyebar menuju ke sungai utama dan cabang-cabang alirannya (Gambar 14). Pada

56
daerah penelitian, membentuk aliran sungai seperti ranting pohon memiliki banyak
anak sungai yang menyatu dengan sungai utama (Gambar 15).

Gambar 13. Model pola pengaliran subdrendritik (Howard,1967)

Gambar 14. Arah Aliran Pola Aliran

Berdasarkan perolehan fakta lapangan dan analisis yang berbasis fakta lapangan,
diperoleh interpretasi pola pengaliran daerah penelitian sebagai berikut :

57
Tabel 4.Pemerian Pola Pengaliran Daerah Penelitian

Berdasarkan tabel 4 diperoleh interpretasi pola pengaliran daerah penelitian sebagai


berikut :

1. Adanya pola alur sungai yang jarang di bagian utara kavling merupakan
dataran. Pola alur atau ranting-ranting sungai rapat di bagian tengah - selatan
kavling merupakan kumpulan beberapa punggungan dan lembah.

2. Sudut antar sungai yang bervariasi berkisar 27-85° (>>75°) menunjukan


daerah penelitian dipengaruhi oleh struktur berupa kekar dan sesar.

3. Berdasarkan fakta lapangan dan mengacu pada klasifikasi Way (1920) maka
di daerah penelitian didapatkan jarak antar sungai orde 1 berkisar 0,7-3.56
cm, dengan skala peta 1:10.000 jarak antar sungai orde 1 sebenarnya
berkisar 70 - 356 meter, tekstur aliran tersebut termasuk dalam halus-
sedang, diinterpretasikan daerah penelitian disusun oleh batuan berukuran
halus-sedang, seperti batulempung,serpih,lanau,tuff ataupun material kedap
air. Kenyataan di lapangan, bagian utara - tengah daerah penelitian memilki
litologi berupa satuan batuserpih, batulanau pasiran dan batupasir kuarsa
lapuk ( loose material) sedangkan bagian selatan berupa batupasir segar.

58
4. Menurut Van Zuidam 1985, tekstur halus menandakan bahwa batuan
berbutir halus, porositas buruk, dan tingkat limpasan air permukaan buruk,
sedangkan tekstur sedang menandakan batuan berbutir sedang, tingkat
limpasan air permukaan sedang, batuan memiliki porositas sedang

5. Berdasarkan interpretasi peta rupa bumi dan pengamatan langsung di


lapangan, terdapat 2 bentuk lembah sungai, yaitu: lembah berbentuk U (hilir
sungai) dan berbentuk V-U (hulu sungai). Menurut Van Zuidam (1985),
lembah sungai berbentuk V-U umumnya disusun oleh batuan berbutir
sedang seperti batupasir sangat halus -sedang, sedangkan lembah sungai
berbentuk U umumnya disusun oleh batuan berbutir halus seperti lempung.
Selain itu, bentuh lembah U menandakan erosi horisontal lebih dominan,
sedangkan lembah sungai V-U menandakan erosi vertikal dan horisontal
cenderung seimbang.

6. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, sungai di daerah penelitian


mengalir di dua tempat yaitu bedrock stream dan alluvial stream. Menurut
Van Zuidam (1985), Bedrock stream menandakan sungai mengalir di atas
batuan dasar seperti batupasir, batulempung, dan batulanau, serta
memperlihatkan tingkat erosi yang rendah, sedangkan alluvial stream
menandakan sungai mengalir di atas material lepas hasil erosi batuan asal
di sepanjang sungai dan memperlihatkan tingkat erosi yang tinggi.

5.2. Geomorfologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten


Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Menurut Van Zuidam (1985) klasifikasi dari satuan bentuklahan dalam
geomorfologi dikontrol beberapa faktor yang terdiri atas morfologi, batuan
penyusun, proses aktif dan genesa. Pembagian satuan bentuklahan daerah penelitian
berdasarkan aspek-aspek geomorfologi (Verstappen, 1977) dan satuan bentuklahan
mengacu pada modifikasi klasifikasi Van Zuidam (1985).
Aspek-aspek geomorfologi menurut Verstappen (1977) dimodifikasi oleh
Van Zuidam (1985) yang digunakan sebagai dasar pembagian bentuklahan di
daerah penelitian yaitu: Morfologi, terdiri atas:

1. Morfografi adalah susunan objek alami yang ada di permukaan bumi,


bersifat deskriptif.

59
2. Morfometri adalah aspek-aspek kuantitatif dari kenampakan geomorfologi
pada permukaan bumi yang terdiri atas lereng, pola lereng, ketinggian,
relief, bentuk lembah, tingkat erosi atau pola pengaliran.

Morfogenesa adalah pembentukan dan perkembangan bentuklahan serta


prosesproses geomorfologi yang terjadi, yaitu berupa struktur geologi, litologi
penyusun, dan proses geomorfologi. Morfogenesa meliputi:

1. Morfostruktur pasif, merupakan pengaruh litologi maupun struktur batuan


yang dapat mengontrol klasifikasi bentuk lahan dan berkaitan dengan
pelapukan (denudasi)

2. Morfostruktur aktif, merupakan pengaruh tenaga endogen seperti


pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran yang berkaitan dengan klasifikasi
bentuklahan

3. Morfodinamis, merupakan pengaruh tenaga eksogen (air, es, angin dan


gerakan massa) yang berkaitan dengan klasifikasi bentuklahan
Morfoasosiasi, merupakan hubungan antar bentuklahan yang satu dengan
bentuklahan yang lainnya dalam susunan keruangan atau sebarannya di permukaan
bumi.

Berdasarkan perolehan fakta lapangan dan analisis yang berbasis fakta lapangan,
geomorfologi daerah penelitian terdiri atas 4 bentuk lahan, yang terdiri atas:

1. Perbukitan Bergelombang (D1)

2. Peneplain (D2)

3. Lahan hasil penambangan (A1)

4. Lahan hasil penimbunan (A2)

60
Tabel 5. Pemerian Peta Geomorfologi Daerah Penelitian

5.2.1. Bentuk Asal Denudasional


Menurut Zuidam (1985) bentuk asal denudasional sangat dipengaruhi oleh iklim,
vegetasi dan aktivitas manusia. Iklim, seperti curah hujan dan perubahan temperatur
berpengaruh terhadap proses pelapukan batuan, erosi dan gerakan tanah. Vegetasi
dan aktivitas manusia sangat membantu percepatan proses eksogen, sehingga
perubahan bentuklahan terjadi sangat cepat.

5.2.1.1 Bentuk Lahan Perbukitan Bergelombang (D1)


Satuan bentuk lahan bergelombang sedang menempati 48% luasan peta.
Satuan ini memiliki morfologi perbukitan dengan arah kelurusan timur laut-
baratdaya. Satuan ini menempati elevasi 10-75 mdpl dengan pola pengaliran
subdendritik, bagian utara memiliki lereng 8-16° (curam) dan bagian selatan
memiliki lereng 16-35° (curam-terjal), dimana didominasi oleh kelerengan yang
curam, dengan bentuk lembah V-U.
Berdasarkan interpretasi peta rupa bumi, citra SRTM, dan fakta dilapangan
(Tabel 5) bentuklahan perbukitan bergelombang dapat diinterpretasikan sebagai
berikut :

61
1. Terdapat kelurusan kontur lembah dengan orientasi Timurlaut-Baratdaya,
dan kontur rapat-renggang, kontur tertutup,lereng yang cukup curam, dan
bentuk lembah U-V yang menandakan adanya struktur geologi dan proses
pelapukan dan erosi yang cukup dominan

2. Berdasarkan interpretasi tipe pola pengaliran (subdendritik), bentuklahan


ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa kekar dan sesar.

3. Terdapat kenampakan scarp slope dan dip slope dengan arah kemiringan
lereng yang sama. Hal tersebut menginterpretasikan memiliki kedudukan
yang sama dengan kedudukan berarah SBD-UTLdan BD-TL.

4. Morfologi dipotong oleh sesar naik dan mendatar dengan orientasi TL-BD
dan sesar turun BL-T

5. Berdasarkan interpretasi tipe pola pengaliran (subdendritik), tekstur aliran


halus-sedang, bentuk lembah U-V dan tempat mengalirnya (bedrock
stream), daerah penelitian didominasi oleh batuan berbutir halus-sedang,
resistensi lemah-sedang, porositas buruk-sedang berupa batuserpih,
batulanau pasiran dan batupasir kuarsa lapuk ( loose material) sedangkan
bagian selatan berupa batupasir segar.

NW

Perbukitan Bergelombang

Gambar 15. Geomorfologi Bentuk Lahan Bukit Bergelombang (lensa mengarah ke Baratlaut)

5.2.1.2 Bentuk Lahan Peneplain (D2)


Satuan bentuk lahan peneplain menempati 30% luasan peta. Satuan ini memiliki
morfologi dataran dengan kelerengan landai. Satuan ini menempati elevasi 0-10

62
mdpl dengan pola pengaliran subdendritik dan memiliki tingkat kelerengan lereng
0-4° (Datar - Landai) didominasi oleh landai.

1. Berdasarkan aspek morfostruktur aktif tidak terdapat struktur geologi yang


berkembang didaerah penelitian.

2. Berdasarkan aspek morfostruktur pasif satuan bentuk lahan ini didukung


oleh batuan sedimen klastik berbutir halus.

3. Berdasarkan bentuk lembah (U) dan tempat mengalir (alluvial stream),


bentuklahan peneplain disusun oleh batuan sedimen klastik berbutir halus
dan batubara dengan resistensi lemah

4. Morfostruktur dinamis satuan bentuk lahan ini didukung oleh proses


pelapukan dan erosi.

Peneplain

Gambar 16. Bentuklahan Peneplain (lensa mengarah ke Barat)

5.2.2. Bentuk Asal Fluvial


Bentuk asal fluvial adalah semua bentuk lahan yang terjadi akibat adanya
proses aliran baik yang berupa aliran sungai mapupun yang tidak terkonsentrasi
yang berupa limpasan permukaan. Akibat adanya aliran air tersebut maka akan
terjadi mekanisme proses erosi, transportasi, dan sedimentasi. Ciri-ciri bentuk asal
fluvial di lapangan di tandai dengan topografi yang landai-datar.

5.2.2.1 Satuan Bentuklahan Tubuh Sungai (F1)


Satuan bentuklahan ini menempati sekitar 2% pada daerah penelitian, yang
berada di utara dengan aliran mengarah ke tenggara.
1. Berdasarkan pengamatan lapangan dan pengamatan studio, topografi berupa

63
kontur yang landai-datar yang menunjukan morfologi berupa dataran, dengan
kelerengan lereng 0-4° (Datar - Landai) didominasi oleh landai
2. Berdasarkan bentuk lembah (U) dan tempat mengalirnya (alluvial stream),
bentuklahan tubuh sungai disusun oleh batuan berbutir halus dan hasil erosi
batuan asal.
3. Berdasarkan morfodinamis didominasi oleh proses erosi dan pelapukan.

Tubuh Sungai

Gambar 17. Satuan bentuklahan tubuh sungai (lensa mengarah ke Tenggara)

5.2.3. Bentuk Antropogenik


Aktivitas penambangan dapat berdampak pada perubahan mendasar pada
bentuklahan di wilayah tersebut. Bentuklahan yang dihasilkan dari aktivitas
penambangan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama yaitu:

1. Aktivitas penggalian (ekskavasi) yang menghasilkan bentuk negatif

2. Akumulasi, yang menghasilkan bentuk positif

3. Bentuk-bentuk yang dihancurkan oleh aktivitas penambangan, yang


mengarah ke penyamarataan permukaan, disebut planation dalam geografi.

5.2.3.1 Bentuk Lahan Hasil Penambangan (A1)


Tambang terbuka atau penggalian dengan metoda tambang terbuka untuk
mengambil bahan galian atau mineral berharga. Dapat juga disebut khusus sebagai
bukaan tambang batubara dipermukaan atau bagian dari bukaan tambang di

64
lapangan pertambangan batubara terbuka. Satuan bentuklahan ini menepati sekitar
10% dari seluruh area penelitian. Satuan bentuklahan ini terdiri dari sump, jalan
hauling, pit. Berdasarkan fakta-fakta yang ada pada Tabel 5, maka lahan hasil
penambangan dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Berdasarkan kelerengan, bentuklahan Hasil Penambangan memiliki lereng


0-45° (datar-terjal) didominasi oleh terjal.

2. Bentuk lahan ini tersusun oleh material ekonomis dan non ekonomis seperti
batulempung, batulanau, batupasir, batubara berasal dari hasil bukaan
daerah pit/penambangan.

Hauling PIT
Sump

Gambar 18. Bentuklahan lahan hasil penambangan (pit, sump, hauling) (lensa mengarah ke
Baratlaut)

5.2.3.2 Bentuk Lahan Hasil Timbunan / Disposal


Suatu kegiatan pertambangan umumnya memindahkan tanah penutup untuk
mengambil bahan galian yang berada di dalam bumi. Oleh karena itu, diperlukan
suatu area tertentu untuk material tanah penutup tersebut sehingga tidak menutupi
area yang mengandung bahan galian yang ekonomis atau yang disebut area
disposal. Atau istilah lain dari bukit disposal adalah bukit yang dibentuk untuk
menumpuk material non ekonomis dengan kelerengan dan jarak tertentu pada
kegiatan penambangan.
Bentuklahan lahan hasil timbunan merupakan bagian dari bentuk asal
antropogenik. Berdasarkan fakta-fakta yang ada pada tabel 5, maka lahan hasil
timbunan dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Satuan bentuklahan ini menepati sekitar 10% dari seluruh area penelitian.

65
2. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, satuan bentuklahan hasil
timbunan memiliki lereng 10-20°(lereng bagian kaki bukit dan 21-40°
(lereng bagian puncak bukit) termasuk dalam curam-terjal, didominasi oleh
lereng yang agak terjal

3. Bentuk lahan ini tersusun oleh material sedimen seperti satuan batupasir,
batulanau dan batuserpih yang berasal darihasil bukaan daerah
pit/penambangan.

Disposal

Gambar 19. Bentuklahan Disposal (Lensa mengarah ke Selatan)

5.3. Stratigrafi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten


Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Penamaan dan pengelompokkan satuan batuan pada daerah penetian
menggunakan penamaan tidak resmi atau tidak sesuai dengan sandi stratigrafi.
Dasar penamaan satuan batuan ini berdasarkan kepada pengamatan langsung
dilapangan dan pada analisa sayatan tipis. Pengamatan langsung meliputi
pengamatan tekstur, komposisi, serta hubungan antar satuan batuan. Pengamatan
secara mikroskopis pada sayatan tipis bertujuan untuk memperoleh penamaan
batuan berdasarkan komposisi dan kandungan mineral penyusun batuan tersebut.
Berdasarkan pemahaman diatas, maka satuan batuan di daerah penelitian dibagi
menjadi 3 satuan. Secara berurut dari tua ke muda dibagi menjadi berikut :

1. Satuan Batupasir Formasi Tanjung.


2. Satuan Batulanau Formasi Tanjung.
3. Satuan Batuserpih Formasi Tanjung
4. Satuan Endapan Aluvial

66
Tabel 6. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian

= Satuan Endapan Aluvial

= Satuan Batuserpih Formasi Tanjung

= Satuan Batulanau Formasi Tanjung

= Satuan Batupasir Formasi Tanjung

5.3.1. Satuan Batupasir Formasi Tanjung


5.3.1.1 Dasar Penamaan
Menurut stratigrafi regional, satuan ini termasuk kedalam Formasi Tanjung.
Satuan batuan ini terdiri dari batuan sedimen klastik dengan ukuran butiran sedang
sampai berbutir sangat halus. Berdasarkan temuan di lapangan, dominasi litologi
pada satuan ini adalah batupasir yang dominan dengan struktur masif, perlapisan,
silang siur, ditemukan pula litologi batulanau masif dengan kenampakan warna
abu-abu. Oleh karena itu satuan batuan ini disebut dengan Satuan Batupasir Formasi
Tanjung.

67
5.3.1.2 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan Batupasir Formasi Tanjung ini menempati 45% dari luas total daerah
penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 39, LP 44, dan
LP 55 merupakan bagian selatan daerah penelitian merupakan bagian satuan
Batupasir Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N235E dengan
kemiringan ke arah barat laut dengan nilai antara 9° hingga 12°. Hal tersebut
menandakan bahwa satuan Batupasir Formasi Tanjung ini merupakan satuan tertua
di daerah penelitian. Berdasarkan penampang sayatan geologi A-A’didapatkan
ketebalan satuan Batupasir Formasi Tanjung pada daerah penelitian sebesar 230
meter.

5.3.1.3 Deskripsi Litologi


Berdasarkan pola yang terlihat pada lintasan pemetaan (Lampiran A1: Peta
Lintasan). Satuan ini didominasi oleh litologi batupasir kuarsa dengan sisipan
batulanau. Salah satu pemerian batuan secara lapangan, sebagai berikut :

1. Batupasir Kuarsa, warna segar putih, dengan ukuran butir sedang-sangat


halus, pemilahan baik didukung oleh butiran; komposisi fragmen kuarsa,
dengan struktur masif,perlapisan, silang siur.

2. Batulanau, warna segar abu-abu, ukuran lanau, dengan struktur sedimen


massif

Gambar 20. Foto singkapan pada satuan batupasir Tanjung (LP 44 dan LP 55). (A) Foto
singkapan, (B,C) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap ke Timurlaut.

68
5.3.1.4 Pemerian Petrografi
Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP
51 dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif 4x. Memiliki
karakteristik sedimen sillisiklastik; warna cokelat kehitaman; bertekstur klastik;
ukuran butir 0,1-0,25 mm (pasir halus); didukung oleh matriks; bentuk butir very
angular; terpilah baik; kontak butiran concave-convex; disusun oleh mineral
kuarsa, mineral oksida, dan material berukuran lanau-lempung. Komposisi mineral
sebagai berikut :

• Kuarsa (H,7 ; E,8 ; H,2) (60%)


Tidak berwarna; 0,075-0,25 mm; very angular; hadir melimpah, dalam sayatan
sebagai fragmen dan matriks.

• Material Karbon (K,6 ; K,5)(30%)


Hitam-cokelat; 0,05-0,1 mm; subrounded; hadir menyebar, dalam sayatan sebagai
fragmen dan matriks.

• Material berukuran lanau-lempung (G-K,2-6) (10%)


Tidak berwarna-cokelat;<0,0625 mm, hadir menyebar, dalam sayatan sebagai
matriks.
Nama batuan tersebut adalah quartz wacke (Pettijhon, 1987)

Gambar 21. Sayatan petrografi, batupasir kuarsa LP 51

5.3.1.5 Umur dan Lingkungan Pengendapan


Penentuan umur satuan Batupasir Formasi Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :

69
1. Berdasarkan analisis mikrofosil, yang ditunjukan pada lokasi pengamatan
52, nomor sampel 4 (Lampiran C2) tidak ditemukan adanya fosil
planktonic, sehingga tidak dapat ditentukan umurnya (barren).

Gambar 22. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batupasir LP 52

2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)


bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites
dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan
Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut
E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan
penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.
Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, satuan Batupasir Tanjung


merupakan satuan tertua di daerah penelitian.
Penentuan Lingkungan pengendapan berdasarkan analisa profil komposit
yang terdapat satuan Batupasir Formasi Tanjung (Lampiran D). Dilihat dari aspek
fisik, terdapat struktur sedimen berupa cross bedding,lenticular, dan wavy
lamination, dapat dikategorikan dalam sub-lingkungan channel, levee, back swamp,
dan interdistributary bay (Horne, 1978). Dari hasil interpretasi sub-lingkungan,
menunjukkan bahwa satuan ini terendapkan pada transtitional - lower delta plain
(Horne, 1978) dan satuan Batupasir Formasi Tanjung, termasuk dalam sub-
lingkungan channel (Horne, 1978)

5.3.1.6 Hubungan Stratigrafi


Hubungan stratigrafi antara satuan Batupasir Tanjung dan satuan Batulanau
Tanjung adalah selaras, dengan ditunjukan oleh :

70
• Berdasarkan data profil komposit (Lampiran D) Satuan Batupasir Tanjung
adalah satuan tertua pada daerah penelitian, satuan batupasir Tanjung
tersusun oleh batupasir dengan struktur sedimen crossbedding sisipan lanau,
satuan Batulanau Tanjung tersusun oleh batulanau dengan struktur sedimen
masif, perlapisan, wavy lamination, lenticular, dan batubara. Dalam profil
komposit menunjukan perubahan yang berangsur dari Batupasir Tanjung
dan Batulanau Tanjung dengan ciri menghalus ke atas, dan secara
lingkungan pengendapan kedua satuan tersebut, berada saling berurutan
yaitu channel-levee-backswamp (Horne, 1978) dan juga dalam pengamatan
lapangan tidak ditemukan ciri dari menjari maupun ketidakselarasan.

• Hubungan stratigrafi antara Satuan Batupasir Formasi Tanjung dan Satuan


Batulanau Formasi Tanjung di atasnya dijumpai kontak selaras pada LP 12

Gambar 23. Kontak antara Satuan Batupasir Tanjung dengan Satuan Batulanau Tanjung di LP 12
(lensa kamera menghadap ke Baratlaut)

5.3.2. Satuan Batulanau Formasi Tanjung


5.3.2.1 Dasar Penamaan
Penentuan satuan batuan ini berdasarkan pada kesamaan ciri litologi
dominan yang didapatkan dari profil komposit. Penentuan satuan ini didasari oleh
dominasi litologi batulanau, terdapat asosiasi perlapisan batubara pada bawah dan
atas lapisan batulanau yang menandakan dalam lingkungan pengendapan. Satuan
batulanau Tanjung memiliki lokasi dengan tingkat kecepatan aliran yang lambat.
Pada satuan ini, menjadi satuan pembawa batubara pada daerah penelitian, yang
terdiri dari seam A. B. dan C. Maka satuan ini dinamakan satuan batulanau Formasi
Tanjung.

71
5.3.2.2 Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batulanau Formasi Tanjung ini menempati 20% dari luas total daerah
penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 95 (Gambar 25)
merupakan bagian selatan bagian tengah daerah penelitian merupakan bagian
satuan Batulanau Pasiran Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N270E
dengan kemiringan ke arah barat laut dengan nilai antara 10° hingga 15°.
Berdasarkan data penampang sayatan geologi A-A’ didapatkan ketebalan satuan
Batulanau Pasiran Formasi Tanjung pada daerah penelitian sebesar 30 meter.

5.3.2.3 Deskripsi Litologi


Berdasarkan pola yang terlihat pada lintasan pemetaan (lampiran A1: peta lintasan).
Satuan ini didominasi oleh litologi perulangan batulanau, batupasir dan batubara.
dengan fragmen tumbuhan berukuran 0,1 - 40 cm, berstruktur perlapisan, dan masif.
Salah satu pemerian batuan secara lapangan, sebagai berikut :

1. Batulanau, warna segar abu-abu, fragmen tumbuhan ukuran 0,1-40 cm,


struktur perlapisan-masif

2. Batupasir, warna segar putih, dengan ukuran butir sedang-sangat halus,


pemilahan baik didukung oleh butiran, fragmen kuarsa berukuran 0,06-
0,125 mm, berstruktur laminasi dan flacer, wavy dan lenticular lamination

3. Batubara, Kilap bright-dull, gores kecoklatan, pecahan blocky-uneven-


concoidal, mineral pengotor berupa pirit, mika, lempung, oksida, dan resin.

Gambar 24. Foto singkapan pada satuan batulanau Tanjung (LP 95). (A) Foto singkapan,
(B,C,D,E,F) Foto litologi close-up, lensa kamera menghadap kearah Timurlaut

72
5.3.2.4 Pemerian Petrografi
Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP 2
nomor sampel 2, dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif
4x. Memiliki karakteristik sedimen sillisiklastik; tidak berwarna; bertekstur klastik;
ukuran butir <0.004 mm (lempung); disusun oleh mineral kuarsa, mineral oksida
dan opak, dan material berukurang lempung. Komposisi mineral sebagai berikut :

• Kuarsa (L,6)(10%)
Tidak berwarna;<0,02 mm ; angular ; hadir menyebar

• Material oksida dan opak (G,9-10 ; D,2) (5%)


Hitam; 0,3 mm; spotted-memanjang; hadir setempat

• Material berukuran lempung (85%)


Tidak berwarna-cokelat;<0,01 mm ; hadir melimpah
Nama batuan tersebut adalah Mudrock (Pettijhon, 1987)

Gambar 25. Sayatan petrografi, batulanau LP 2

5.3.2.5 Umur dan Lingkungan Pengendapan


Penentuan umur satuan Batulanau Formasi Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Berdasarkan analisis mikrofosil, yang ditunjukan pada lokasi pengamatan


95, nomor sampel 2 (Lampiran C1) tidak ditemukan adanya fosil
planktonic, sehingga tidak dapat ditentukan umurnya (barren).

73
Gambar 26. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batulanau LP 95

2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)


bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites
dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan
Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut
E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan
penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.
Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, satuan Batulanau Tanjung


memiliki umur yang lebih tua dari satuan Batuserpih Tanjung.
Penentuan Lingkungan pengendapan berdasarkan analisa profil komposit
yang terdapat satuan Batulanau Formasi Tanjung (Lampiran D). Dilihat dari aspek
fisik, terdapat struktur sedimen berupa cross bedding,lenticular, dan wavy
lamination, dapat dikategorikan dalam sub-lingkungan channel, levee, back swamp,
dan interdistributary bay (Horne, 1978). Dari hasil interpretasi sub-lingkungan,
menunjukkan bahwa satuan ini terendapkan pada transtitional - lower delta plain
(Horne, 1978) dan satuan Batulanau Formasi Tanjung, termasuk dalam sub-
lingkungan levee dan backswamp (Horne, 1978)

5.3.2.6 Hubungan Stratigrafi


Hubungan stratigrafi antara satuan batulanau Tanjung dan satuan batuserpih
Tanjung adalah selaras, dengan ditunjukan oleh :

• Berdasarkan data profil komposit (Lampiran D) satuan batulanau Tanjung


tersusun oleh perulangan batulanau, batupasir dan batubara. Litologi
batulanau dicirikan dengan kenampakan warna abu-abu dengan fragmen

74
tumbuhan berukuran 0,1 - 40 cm, berstruktur perlapisan, dan masif. Litologi
batupasir dicirikan dengan kenampakan warna putih dengan fragmen kuarsa
berukuran 0,06 - 0,125 mm, berstruktur laminasi dan ripple ( wavy dan
lenticular lamination ). Litologi batubara dicirikan dengan adanya parting
batulempung. Dalam profil komposit menunjukan perubahan yang
berangsur dari Batulanau Tanjung ke Batuserpih Tanjung dengan ciri
menghalus ke atas, dan secara lingkungan pengendapan kedua satuan
tersebut, berada saling berurutan yaitu levee-backswamp-levee-
interdistributary bay (Horne, 1978) dan juga dalam pengamatan lapangan
ditemukan kontak selaras dengan satuan Batuserpih Tanjung

• Hubungan stratigrafi antara satuan batulanau Tanjung dan satuan batuserpih


Tanjung dijumpai kontak selaras pada lokasi pengamatan 5.

Gambar 27. Kontak antara satuan batulanau Tanjung dengan batuserpih Tanjung di LP 5 (lensa
mengarah ke Baratdaya)

5.3.3. Satuan Batuserpih Formasi Tanjung


5.3.3.1 Dasar Penamaan
Penentuan satuan batuan ini berdasarkan pada kesamaan ciri litologi
dominan yang didapatkan dari profil komposit (lampiran D). Penentuan satuan ini
didasari oleh dominasi litologi batuserpih. Maka satuan ini dinamakan satuan
batuserpih Tanjung.

5.3.3.2 Penyebaran dan Ketebalan


Satuan Batuserpih Formasi Tanjung ini menempati 50% dari luas total daerah
penelitian. Berdasarkan kenampakan di lapangan, seperti pada LP 5 merupakan

75
bagian selatan bagian tengah daerah penelitian merupakan bagian satuan Batuserpih
Formasi Tanjung. Satuan ini memiliki nilai strike N275E dengan kemiringan ke
arah barat laut dengan nilai antara 10° hingga 15°. Berdasarkan penampang sayatan
geologi A-A’ didapatkan ketebalan satuan Batuserpih Formasi Tanjung pada daerah
penelitian sebesar 90 meter.

5.3.3.3 Deskripsi Litologi


Berdasarkan pola yang terlihat pada lintasan pemetaan (lampiran A1: peta lintasan).
Satuan ini didominasi oleh litologi batuserpih, dengan sisipan batupasir kuarsa
berbutir sangat halus, batu lanau cokelat kemerahan dan batupasir kerikilan
Salah satu pemerian batuan secara lapangan, sebagai berikut :

1. Batuserpih, warna segar abu-abu, ukuran <0,06 mm, berstruktur menyerpih.

2. Batupasir, warna segar putih, dengan ukuran butir sedang-sangat halus,


pemilahan baik didukung oleh butiran, fragmen kuarsa berukuran 0,06-
0,125 mm, berstruktur laminasi dan flacer, wavy dan lenticular lamination

Gambar 28. Foto singkapan pada satuan batuserpih Tanjung (LP 5). (A) Foto singkapan, (B,C,D)
Foto litologi close-up, lensa kamera mengarah ke Timur

5.3.3.4 Pemerian Petrografi


Berdasarkan analisis petrografi yang dilakukan pada lokasi pengamatan LP 5
nomor sampel 2, dilakukan dengan perbesaran okuler 18x dan perbesaran objektif
4x. Sedimen Sillisiklastik; warna cokelat muda kehitaman; bertekstur klastik;

76
ukuran butir <0,02 (lanau) mm; disusun oleh mineral kuarsa, mineral mika, dan
material berukuran lanau. Komposisi mineral sebagai berikut :

• Kuarsa (L,6)(50%)
Tidak berwarna;<0,01 mm ; subangular ; hadir melimpah

• Mineral mika (J,6 ; L;6 (40%)


Hitam; 0,3 mm; spotted-memanjang; hadir setempat

• Mineral opak (E,6 (10%)


hitam;0,02 mm ;subangular; hadir menyebar
Nama batuan tersebut adalah Mudrock (Pettijhon, 1987)

Gambar 29. Sayatan petrografi, batulanau lokasi pengamatan 5

5.3.3.5 Umur dan Lingkungan Pengendapan


Penentuan umur satuan batuserpih Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :

1. Berdasarkan analisis mikrofosil, yang ditunjukan pada lokasi pengamatan


5b, nomor sampel 3 (lampiran C1) tidak ditemukan adanya fosil planktonic,
sehingga tidak dapat ditentukan umurnya (barren).

Gambar 30. Analisa mikrofosil yang menunjukan barren, pada batuserpih LP 5b

77
2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)
bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites
dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan
Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut
E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan
penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.
Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, satuan Batuserpih Tanjung


memiliki umur yang lebih tua dari satuan endapan aluvial dengan kontak
ketidakselarasan.
Penentuan Lingkungan pengendapan berdasarkan analisa profil komposit
yang terdapat pada satuan Batuserpih Formasi Tanjung (Lampiran D). Dilihat dari
aspek fisik, terdapat struktur sedimen berupa cross bedding,lenticular, dan wavy
lamination, dapat dikategorikan dalam sub-lingkungan channel, levee, back swamp,
dan interdistributary bay (Horne, 1978). Dari hasil interpretasi sub-lingkungan,
menunjukkan bahwa satuan ini terendapkan pada transtitional - lower delta plain
(Horne, 1978) dan satuan Batuserpih Formasi Tanjung, termasuk dalam sub-
lingkungan interdistributary bay (Horne, 1978)

5.3.3.6 Hubungan Stratigrafi


Hubungan stratigrafi antara satuan serpih Tanjung dan endapan alluvial
adalah tidak selaras yang dibatasi oleh bidang erosional yang merupakan endapan
lepas dari hasil kegiatan erosi sungai yang berlangsung hingga sekarang.
5.3.4 Umur Geologi
Penentuan umur satuan Batuserpih Formasi Tanjung terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Berdasarkan analisa mikrofosil planktonik dari semua sampel batuan, tidak
dijumpai fosil foraminifera planktonik maupun bentonik, sehingga umur
dan lingkungan pengendapan tidak dapat ditentukan dengan analisa
mikrofosil.
2. Berdasarkan penelitian terdahulu, penulis mengacu pada Witts, dkk (2011)
bagian utama Formasi Tanjung berumur Eosen Akhir (Cicatricosisporites
dorogensis, Meyeripollis nayarkotensis dan Magnastriatites howardi) dan
Oligosen Awal (Nummulites fichteli and Eulepidina sp.) sedangkan menurut
E.Rustandi, dkk (1995) Formasi Tanjung berumur Eosen berdasarkan

78
penemuan fosil Discocyclina sp, Nummulites sp dan Lepidocyclina sp.
Lokasi tipe penemuan fosil berada di daerah Tanjung, Kalimantan Selatan.

3. Berdasarkan sayatan penampang geologi A-A’, urutan dari tua ke muda


yaitu satuan Batupasir Tanjung, satuan Batulanau Tanjung, satuan
Batuserpih dan endapan aluvial.

5.4. Struktur Geologi Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan
Berdasarkan interpretasi kelurusan pada daerah penelitian, kelurusan
didominasi oleh orientasi baratlaut-tenggara, ditandai juga dengan berubahnya
kemiringan batuan dengan dip direction kearah barat laut didukung dengan data
kekar pada daerah penelitian, tegasan utama pada daerah penelitian yaitu Baratlaut-
Tenggara. Penamaan struktur geologi khususnya sesar, penulis menggunakan
model klasifikasi nama sesar oleh Rickard (1972).
5.4.1 Kekar
5.4.1.1 Kekar Lokasi Pengamatan 42 dan 52
Berdasarkan pengamatan lapangan, didapatkan kekar gerus berpasangan. Kekar
gerus di daerah penelitian tersebut ditemukan pada litologi batupasir kuarsa.

Gambar 31. Kenampakan Kekar Gerus dan Analisa Stereografis LP 42 dan LP 52

79
Tabel 7. Data Kekar Gerus LP 42 dan LP 52

Berdasarkan analisa stereografis diatas, didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Dua kedudukan umum kekar didaerah penelitian yaitu lokasi pengamatan


42 sebesar N267°E/68° dan N315°E/70°, sedangkan lokasi pengamatan 52
yaitu sebesar N150°E/73° dan N100°E/70°.
2. Tegasan utama maksimum pada daerah penelitian berarah 01°, N304°E -
01°, N106°E(Baratlaut-Tenggara)
3. Tegasan terkecil pada daerah penelitian berarah 21°, N196°E – 19°, N035°E
(Timur laut-Baratdaya)
4. Kedudukan extension N127°E/70° - N287°E/67°
5. Kedudukan release N197°E/89 – N034°E/86°
5.4.2 Cleat

Gambar 32. Singkapan dan analisa cleat daerah penelitian lokasi pengamatan 102 (lensa kamera
menghadap Tenggara)

80
Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara
bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya
mempunyai orientasi berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Adanya cleat
dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu mekanisme pengendapan, petrografi
batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), dan aktivitas penambangan.
Cleat batubara berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi dua (Muhartanto, A dan
Iskardan, E, 2006) :Face cleat dan Butt cleat. Face cleat mempunyai rekahan yang
panjang dan sering dikenal sebagai rekahan utama atau primary cleat. Pada Butt cleat
mempunyai rekahan yang lebih pendek, sering melenkgkung dan memotong tegak
lurus face cleat dan sering dikenalsebagai secondary cleat.
Pada daerah penelitian pada lokasi pengamatan 102 di temukan face cleat
dengan arah umum N3500E sedangkan Butt cleat memiliki arah umum N0800E, dan
memiliki bukaan antar cleat 0.06 mm yang terisi oleh pyrite atau mineral lempung
dan memiliki sapcing antar cleat nya 0.8-4 cm.
Berdasarkan deskriptif dan analisa stereografis, jenis cleat yang
berkembang pada daerah penelitian, tepatnya di lokasi pengamatan 102, termasuk
dalam jenis exogenic cleat, terbentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan
kejadian tektonik. Cleat ini dicirikan oleh, terbentuknya face cleat yang memiliki
orientasi searah dengan arah tegasan.

5.4.3 Struktur Geologi Sesar


5.4.3.1 Sesar Selaru Satu dan Dua

Gambar 33. Sesar Selaru Satu dan Dua LP 102 dan 22 (Rickard 1972)

81
Sesar Selaru Satu berada di lokasi pengamatan 22, tepatnya pada X : 400406
, Y: 9621861 memiliki orientasi pergerakan N012°E/72° dengan pergerakan naik
dengan besar rake 71°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan throw
0,45 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Left Reverse
Slip Fault ( Rickard, 1972).
Sesar Selaru Dua berada di lokasi pengamatan 102, tepatnya pada X
:400796, Y: 9622258 memiliki orientasi pergerakan N250°E/75° dengan
pergerakan turun dengan besar rake 72°, sesar tersebut memotong litologi batubara,
dengan throw 1,5 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar
Right Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).

5.4.3.2 Sesar Selaru Tiga dan Empat

Gambar 34. Sesar Selaru Tiga dan Empat LP 17 dan 33 (Rickard, 1972)

Sesar Selaru Tiga berada di lokasi pengamatan 17, tepatnya pada X : 400912;
Y:9622147 memiliki orientasi pergerakan N200°E/70° dengan pergerakan naik
dengan besar rake 67°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan throw 8,5
meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right Reverse Slip
Fault ( Rickard, 1972).
Sesar Selaru Empat berada di lokasi pengamatan 33, tepatnya pada X :
401436; Y: 9621634 memiliki orientasi pergerakan N086°E/76° dengan pergerakan
turun dengan besar rake 74°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan

82
throw 3 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right
Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).

5.4.3.3 Sesar Selaru Lima dan Enam

Gambar 35. Sesar Selaru Lima dan Enam LP 103 dan 09 (Rickard 1972)

Sesar Selaru Lima berada di lokasi pengamatan 103, tepatnya pada X :


402070; Y: 9621866 memiliki orientasi pergerakan N320°E/67° dengan pergerakan
naik dengan besar rake 67°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan
throw 1,85 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right
Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).
Sesar Selaru Enam berada di lokasi pengamatan 09, tepatnya pada X :
401505; Y: 9621174memiliki orientasi pergerakan N210°E/76° dengan pergerakan
naik dengan besar rake 74°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan
throw 3,1 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Right
Reverse Slip Fault ( Rickard, 1972).

5.4.3.4 Sesar Selaru Tujuh dan Delapan


Sesar Selaru Tujuh berada di lokasi pengamatan 10, tepatnya pada X :
402233; Y: 9621852 memiliki orientasi pergerakan N058°E/73° dengan pergerakan
kanan dengan besar rake 26°, sesar tersebut tidak memotong litologi batubara.
Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Normal Right Slip Fault (
Rickard, 1972).

83
Sesar Selaru Delapan berada di lokasi pengamatan 30, tepatnya pada X :
400154; Y: 9621464 memiliki orientasi pergerakan N056°E/77° dengan pergerakan
turun dengan besar rake 71°, sesar tersebut memotong litologi batubara, dengan
throw 2,2 meter. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar Left
Normal Slip Fault ( Rickard, 1972).

Gambar 36. Sesar Selaru Tujuh dan Delapan LP 10 dan 30 (Rickard 1972)

5.4.3.5 Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh

Gambar 37. Sesar Selaru Sembilan dan Sepuluh LP 39,41 dan 47,49 (Rickard 1972).
Sesar Selaru Sembilan berada di lokasi pengamatan 39 dan 41, tepatnya
pada X : 400015; Y: 9621238 sampai X: 400156;Y: 9621239 memiliki orientasi
pergerakan N260°E/69° dengan pergerakan kanan naik dengan besar rake 20°, sesar
tersebut tidak memotong litologi batubara, hanya memotong batupasir Tanjung

84
pada bagian selatan. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar
Reverse Right Slip Fault ( Rickard, 1972).
Sesar Selaru Delapan berada di lokasi pengamatan 47 dan 49, tepatnya pada
X : 400073; Y: 9621053 sampai X: 400537; Y: 9621081 memiliki orientasi
pergerakan N100°E/78° dengan pergerakan turun dengan besar rake 19°, sesar
tersebut tidak memotong litologi batubara, hanya memotong batupasir Tanjung
pada bagian selatan. Berdasarkan analisis stereografis didapatkan nama sesar
Reverse Right Slip Fault ( Rickard, 1972).
5.4.4 Genesa Struktur Geologi Daerah Penelitian.

Gambar 38. A.Permodelan struktur geologi pure shear (Moody and Hill, 1956) B. Struktur
geologi daerah penelitian C. Tegasan dan kedudukan perlapisan batuan

Struktur geologi daerah penelitian merupakan struktur geologi post


deposition sedimen, dilihat dari kenampakan batubara daerah penelitian, tidak
terdapat batubara yang menebal atau menipis secara signifikan. Hal tersebut terjadi
karena tidak adanya pengaruh perubahan bentuk cekungan saat terjadi
pengendapan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisis stereografis, didapatkan
kekar gerus (shear joint) yang menunjukan tegasan utama memiliki orientasi
berarah 01°, N304°E - 01°, N106°E (Baratlaut-Tenggara). Pendekatan genesa
struktur geologi daerah penelitian menggunakan pure shear dalam permodelan
moody and hill 1956. Pure shear merupakan deformasi yang terjadi akibat gaya
tekanan dengan arah berlawanan pada satu sumbu saja dan memiliki orientasi
sumbu non-coaxial.

85
Struktur yang dibentuk oleh pure shear merupakan tegasan orthogonal,
dalam hal ini Baratlaut-Tenggara. Selain itu, mengacu pada geologi regional,
struktur geologi daerah penelitian merupakan hasil dari tektonik konvergensi
orthogonal sehingga terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus pada Miosen Akhir
dan efektif pada Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandai dengan adanya pensesaran naik
dan pensesaran geser kemudian diikuti dengan pensesaran turun yang cukup intens
pada kala itu.
Berdasarkan moody and hill 1956, daerah penelitian terbagi menjadi satu
orde, yaitu sesar naik dengan orientasi Timurlaut-Baratdaya atau ditunjukan dengan
Sesar Selaru Satu (LP 22), Sesar Selaru Tiga (LP 17), Sesar Selaru Enam (LP 9).
Sesar Selaru Tiga (LP17) diduga sesar ini cukup berperan penting hingga
menyingkap satuan batupasir Tanjung dibagian baratdaya. Kompresi terus berlanjut
hingga membentuk sesar mendatar kanan dengan orientasi relative barat-timur dan
mendatar kiri dengan orientasi Tenggara-Baratlaut. Extension menyebabkan
terbentuknya sesar turun berarah Baratlaut-Tenggara. Release menyebabkan
terbentuknya sesar turun dengan orientasi relative Timurlaut-Baratdaya.
5.4.5 Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai saat intensitas subduksi pada
mikrokontinen patenoster sehingga mengalami extentional rift yang
menyebabkan terbentuknya block faulting dan menjadi wadah sedimentasi. Pada
periode ini terbentuk Cekungan Asam-Asam dimana diindikasikan sebagai satu
depocenter dengan Cekungan Barito pada kala Eosen Tengah-Oligosen Awal
(16-36.5 jtl) (Witts, dkk 2012).
Sejarah geologi pada daerah penelitian ini pada kala Eosen Tengah-
Oligosen Awal, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Terbentuknya Cekungan, yang dimulai saat intensitas subduksi pada
mikrokontinen patenoster sehingga mengalami extentional rift pada kala
Eosen Tengah-Oligosen Awal (16-36.5 jtl) yang menyebabkan terbentuknya
block faulting dan menjadi wadah sedimentasi. Pada periode ini,
terbentuknya Cekungan Barito, dimana Cekungan Asam-Asam masih dalam
satu cekungan dengan Cekungan Barito. (Witts, dkk 2012)
2. Setelah terbentuknya cekungan, pada daerah penelitian diendapkannya
Formasi Tanjung yang diendapkan pada kala Eosen Tengah-Oligosen Awal,
berupa material klastik berupa batupasir dan batulanau, dan membentuk

86
satuan batupasir Tanjung yang terendapkan pada sub lingkungan berupa
channel aktif dan termasuk lingkungan pengendapan transitional-lower delta
plain (Horne,1978).
3. Selanjutnya secara selaras diatas batulanau Tanjung terendapkan material
klastik berupa batulanau, batupasir, batubara, yang membentuk satuan
batulanau Tanjung yang termasuk sub lingkungan pengendapan berupa
crevasse splay, levee, interdistributary bay, back swamp dan termasuk
lingkungan pengendapan transitional-lower delta plain (Horne,1978).
4. Kemudian secara selaras diatas batuserpih Tanjung terendapkan material
klastik berupa batulanau, batuserpih yang membentuk satuan Batuserpih
Tanjung yang termasuk sublingkungan pengendapan interdistributary bay
dan termasuk lingkungan pengendapan transitional-lower delta plain
(Horne,1978).
5. Pada kala Miosen Akhir terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus dan
efektif pada kala Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandainya dengan adanya kejadian
struktur geologi cukup intens, batuan yang telah terendapkan mulai
terdeformasi ditandai dengan pensesaran naik dan geser kemudian diikuti
dengan turun. Struktur yang ditemukan di daerah penelitian merupakan hasil
dari tektonik konvergensi.
6. Struktur yang terbentuk merupakan hasil dari tegasan ortogonal dengan arah
Baratlaut-Tenggara pasca batuan yang ada telah terbentuk (post
depositional).
7. Struktur yang berkembang merupakan satu periode deformasi yang sama.
Diawali oleh adanya kompresi yang menghasilkan sesar naik satuan batupasir
Tanjung tersingkap. Kompresi terus berlanjut hingga membentuk sesar
mendatar kanan dengan orientasi relative Barat-Timur dan mendatar kiri
dengan orientasi Tenggara-Baratlaut. Extension menyebabkan terbentuknya
sesar turun berarah Baratlaut-tenggara. Release menyebabkan terbentuknya
sesar turun dengan orientasi relative Timurlaut-Baratdaya.
8. Setelah terjadi deformasi, proses erosi dan pelapukan, diendapkannya tidak
selaras endapan alluvial, sebagai tandai proses geologi masa kini (recent)

87
Gambar 39. Sejarah geologi daerah penelitian

88
BAB VI
PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP POLA SEBARAN DAN
KEMENERUSAN SEAM BATUBARA PT. SEBUKU TANJUNG COAL
PADA CEKUNGAN ASEM-ASEM, FORMASI TANJUNG, PULAU LAUT,
KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

6.6. Sebaran Seam Batubara Berdasarkan Korelasi Penampang Bor Batubara


dan Data Permukaan
6.6.1 Karakteristik Seam Batubara Daerah Penelitian

Tabel 8. Karakteristik Batubara Daerah Penelitian

Karakteristik batubara daerah penelitian dibedakan berdasarkan pengamatan


secara fisik yang dapat diamati dilapangan, terbagi menjadi 4 yaitu :
1. Seam A
2. Seam B
3. Seam C
4. Seam D
Masing-masing seam batubara memiliki ciri fisik, yang dapat dibedakan,
sebagai berikut :

5.5.1.1 Seam A
Seam A terdapat didaerah penelitian yang tersingkap dipermukaan dijumpai
pada lokasi pengamatan 1,3,4,5,6,8,16,17,18,20,22,90,91,92,94,100,101,103. Seam
ini merupakan seam paling tua didaerah penelitian, singkapan tersingkap cukup
baik dipermukaan, diantaranya berada pada jalan bukaan bor, lokasi bulk sampling,
alur liar, dan lembah. Sebagian besar kemenerusan seam tidak tersingkap

89
dipermukaan. Hal ini diakibatkan proses eksogen berupa erosi dan pelapukan di
daerah penelitian sehingga seam tersebut tertutup soil maupun endapan aluvial.
Vegetasi yang lebat pada daerah penelitian juga menyebabkan tertutupnya
singkapan seperti tumbuhan penutup baik akar, rumput, pohon dan lain.

Berdasarkan kenampakan di lapangan, ciri-ciri seam A memiliki


karakteristik bright,black,streak dark brown,uneven-concoidal,easily broken,
pyrite, resin, clay mineral, oxide mineral, banded bright coal. Parting :coaly shale
dan claystone, roof ;siltstone-coaly shale. Cleat spacing 0.5-4cm. kedudukan
N265E/14 – N220E/10, dengan tebal kisaran 0.57-3.43 meter.

Gambar 40. Foto Singkapan Seam A pada Lokasi Pengamatan 101 (lensa kamera menghadap
Timurlaut)

5.5.1.2 Seam B

Gambar 41. Kenampakan Seam B pada Lokasi Pengamatan 95 (lensa kamera menghadap Utara)

Seam B terdapat didaerah penelitian yang tersingkap dipermukaan dijumpai


pada lokasi pengamatan 5,6,17, dan 95. Berdasarkan kenampakan di lapangan, ciri-
ciri seam B memiliki karakteristik bright-dull, black, streak dark brown, uneven-

90
blocky, easily broken, resin,clay mineral,banded coal. Parting : claystone,
roof:siltstone, floor :siltstone. Cleat spacing 0.5-1 cm, kedudukan N275E/15.

5.5.1.2 Seam C

Gambar 42. Kenampakan Seam C pada Lokasi Pengmatan 95 (lensa kamera menghadap
Timurlaut)

Seam C terdapat didaerah penelitian yang tersingkap dipermukaan dijumpai


pada lokasi pengamatan 16, 95 dan 98. Berdasarkan kenampakan di lapangan, ciri-
ciri seam C memiliki karakteristik dull, black, streak dark brown, blocky,
hard,resin,clay mineral, banded dull coal. Roof ; siltstone, Floor : Coaly shale,
Cleat spacing 0.5-1 cm. Kedudukan N265E/14.

6.6.2 Analisis dan Interpretasi Pola Struktur Geologi terhadap Pengaruh Pola
Sebaran Batubara
Struktur geologi daerah penelitian merupakan struktur geologi post
deposition sedimen, dilihat dari kenampakan batubara daerah penelitian, tidak
terdapat batubara yang menebal atau menipis secara signifikan. Hal tersebut terjadi
karena tidak adanya pengaruh perubahan bentuk cekungan saat terjadi
pengendapan.
Berdasarkan pengamatan lapangan secara langsung pada daerah penelitian,
struktur geologi yang berkembang berupa kekar gerus (shear joint) dan sepuluh
sesar berupa sesar naik, sesar mendatar, sesar turun.
Berdasarkan genesa struktur geologi daerah penelitian, kompresi daerah
penelitian memiliki orientasi berarah 01°, N304°E - 01°, N106°E (Baratlaut-
Tenggara). Orientasi kompresi daerah penelitian menggunakan data shear joint
(kekar gerus). Kedudukan batubara menunjukan arah kemiringan relative N265E –
N220E, dengan besar kemiringan sebesar 10-15°. Mengacu pada geologi regional,

91
struktur geologi daerah penelitian merupakan hasil dari tektonik konvergensi
orthogonal pada umur Plio-Plistosen (5-1 jtl), ditandai dengan adanya pensesaran
naik dan pensesaran geser kemudian diikuti dengan pensesaran turun yang cukup
intens pada kala itu.
Pola sebaran batubara berdasarkan data permukaan dan data bor, yang
disajikan dalam bentuk section 2 dimensi. Dari section tersebut dapat dilihat apakah
data permukaan berupa struktur geologi dengan data bor sama, dan dapat
menginterpretasikan batubara daerah penelitian menerus atau setempat.
Berdasarkan data singkapan yang diperoleh lapisan seam A memiliki persebaran
yang orientasinya berarah timurlaut-baratdaya kemudian dipotong oleh beberapa
struktur geologi berupa sesar (Lampiran A5).
Berdasarkan analisis stereografis, struktur geologi pada daerah penelitian
terbagi menjadi 10 sesar (Tabel 9), yang terbagi menjadi :

1. Sesar Selaru Satu


2. Sesar Selaru Dua
3. Sesar Selaru Tiga
4. Sesar Selaru Empat
5. Sesar Selaru Lima
6. Sesar Selaru Enam
7. Sesar Selaru Tujuh
8. Sesar Selaru Delapan
9. Sesar Selaru Sembilan
10. Sesar Selaru Sepuluh
Penarikan cropline batubara pada peta cropline berdasarkan seam batubara
yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi yaitu seam A. Setelah dibuat cropline
batubara, dapat terlihat bahwa batubara pada daerah penelitian memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap struktur geologi yaitu sesar.

92
Gambar 43. Peta cropline dan struktur geologi

Tabel 9.Tabel pemerian sesar daerah penelitian

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, masing-masing sesar


memiliki nilai throw yang bervariasi 0,45 m – 8,5 m. Tidak semua sesar yang

93
berkembang pada daerah telitian memotong litologi batubara, struktur geologi yang
memotong litologi batubara merupakan Sesar Selaru 1,2,3,4,5,6,8.
6.6.3 Validasi Sesar Mayor
Dalam melakukan validasi sesar mayor, dilakukan dengan metode
kombinasi antara data permukaan dan data bawah permukaan., sehingga dapat
diperoleh hasil dari kelurusan sesar tersebut yang mempengaruhi pola sebaran dari
batubara dan juga dilakukan analisa dengan metode section.
Kelurusan dari arah sesar diurutkan berdasarkan penarikan dari rute bor.
Kelurusan dari arah sesar yang ditemukan pada lokasi pengamatan, terdapat
kesesuaian dengan konsep genetik dari model Moody and Hills (1956), dimana
sesar yang berkembang pada daerah penelitian merupakan orde satu dan dalam
periode yang sama, hal tersebut dapat mempermudah dalam penentuan struktur
mana yang bersifat mayor, dan yang mempengaruhi dari persebaran seam batubara.
Sesar mayor akan memiliki dampak yang besar dari persebaran batubara.
Dalam struktur geologi sekunder berupa sesar, sesar mayor dapat mengubah
kedudukan batubara, mengubah posisi atau kedalaman dari batubara. Menurut
Thomas 2013, struktur geologi post genetic terdapat efek sesar terhadap batubara,
termasuk perpindahan fisik lapisan batubara, mengurangi stabilitas tanah dalam
penambangan, membuka rekahan sebagai celah air dan gas masuk kedalam lapisan
batubara, dan perubahan kandungan mineral
Sesar naik dapat menyebabkan seretan sepanjang bidang patahan, sehingga
batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut.
Apabila berupa sesar besar, maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh lapisan
batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa
bidang hancuran dan bias terlihat di high wall tambang batubara terbuka.

6.6.4 Korelasi Penampang Bor


Keterdapatan seam batubara pada daerah penelitian hanya ditemukan
dibeberapa titik saja dengan ketinggian yang bebeda-beda, tidak menyebar secara
merata di seluruh lapisan. Oleh karena itu penulis memfokuskan untuk membuat
sebaran batubara berdasarkan seam yang tersingkap di permukaan dengan
mengkombinasikan seam yang berada dibawah permukaan dengan menggunakan
data bor open hole

94
Untuk mengetahuinya penulis membuat korelasi struktur menggunakan data
bor open hole. Data bor yang dipilih adalah data bor yang berlokasi dekat dengan
ditemukannya batuan tersebut dan tersebar merata pada daerah penelitian.
Menurut Koesoemadinata (1982), korelasi adalah suatu operasi dimana satu
titik dalam suatu penampang stratigrafi disambungkan dengan titik-titik yang lain
pada penampang-penampang stratigrafi lainnya dengan pengertian bahwa titik-titik
tersebut terdapat dalam bidang perlapisan yang sama. Persamaan dalam hal ini
biasanya persamaan sifat litologi atau persamaan umur geologi. Korelasi dibagi
menjadi dua yaitu korelasi struktur dan korelasi stratigrafi.
Penulis melakukan korelasi struktur yang dibuat dengan cara menempatkan
atau menggunakan ketinggian sebagai datum sehingga akan memberikan gambaran
posisi batuan setelah aktivitas tektonik baik itu kekar, sesar maupun perlapisan
miring. Ketinggian yang digunakan sebagai datum ketinggian dimana data bor itu
berada. Setelah diketahui datumnya, kemudian membuat penampang antar titik bor
dengan ketinggian berdasarkan kontur daerah penelitian. Penampang ini digunakan
untuk menggantungkan kedalaman data bor berdasarkan datumnya. Untuk
mempermudah pengkorelasian agar efektif dan detail, maka pemilihan data bor
yang dikorelasi merupakan data bor yang saling berdekatan juga searah dan tegak
lurus dengan dip perlapisan agar dapat diketahui sebaran batubara di daerah
penelitian.
Setelah dibuat korelasi strukturnya baik itu searah dip maupun tegak lurus
dip perlapisan batuan daerah penelitian, kemudian menghubungkannya dengan
topografi daerah penelitian guna mengetahui sebaran batubaranya. Seam yang
terhubung pada satu sumur dengan sumur lainnya pada penampang yang tersingkap
di permukaan akibat dari slope pada topografinya diyakini sebagai sebaran batubara
pada daerah penelitian berdasarkan korelasi tersebut. Dari data tersebut dapat
dihubungkan dengan data seam yang berada dipermukaan sehingga dapat
diinterpretasikan kemenerusan dan sebaran batubara pada daerah penelitian.
Berdasarkan korelasi dan menggunakan data bor dan data yang tersingkap
dipermukaan dapat diinterpretasikan bahwasanya sebaran batubara seam A, seam
B dan seam C relatif berarah timurlaut-baratdaya dengan ketebalan yang bervariasi.
Pada penampang bor batubara dapat dilihat beberapa seam yang tidak menerus
melainkan setempat, hal ini diakibatkan karena daerah penelitian merupakan daerah
pasangsurut sehingga mempengaruhi proses pembentukan batubara itu sendiri, juga

95
dapat disebabkan oleh pengaruh tekanan akibat tektonik yang berkembang,
mengakibatkan batubara tersebut akan ikut memipih sehingga batubara tersebut
memiliki ketebalan yang tidak sama. Juga bentukan cekungan pada saat
pembentukan batubara juga dapat mempengaruhi ketebalan dan kemenerusan
batubara.

1. Penampang korelasi struktur sayatan bor A-A’

Gambar 44. Penampang Bor A-A' (on dip)

Pada penampang korelasi struktur bor A-A’, yang terdiri dari 9 data bor,
korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan
perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan
menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data
sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.
Berdasarkan data tersebut, pada posisi Sesar Selaru Tiga (LP 17), terdapat
perbedaan kedudukan dan elevasi top batubara seam A (offseti), kemudian
digabungkan dengan data permukaan, sesar tersebut memiliki throw dilapangan
sebesar 8,5 meter, dengan orientasi N200°E/70°, pergerakan naik dengan nama
Right Reverse Slip Fault (Rickard, 1972). Setelah diinterpretasikan, sesar tersebut
memotong kedudukan searah strike yang mengakibatkan tidak menerus atau
terpotongnya batubara seam A pada daerah penelitian (Gambar 44) dan juga
mengakibatkan bagian baratdaya daerah penelitian terjadi pengangkatan sehingga
Batupasir Formasi Tanjung tersingkap. Berdasarkan pengaruh dari Sesar Selaru
Tiga (LP 17) tersebut dan genesa sesar daerah penelitian, sesar tersebut merupakan
sesar mayor.
Struktur geologi selain Sesar Selaru Tiga (LP 17) dalam korelasi struktur
A-A’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi
dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil

96
(lokal) berkisar 3 – 3,1 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi
struktur A-A’.

2. Penampang korelasi struktur sayatan bor B-B’

Gambar 45. Penampang Bor B-B' (On Strike)

Pada penampang korelasi struktur bor B-B’, yang terdiri dari 6 data bor,
korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan
perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan
menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data
sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.
Berdasarkan korelasi struktur bor B-B’, terdapat perbedaan kedudukan
batubara Seam A, yang menunjukan adanya offset turun. Dengan mengkorelasikan
data permukaan tersebut dengan data permukaan, struktur geologi yang berperan
merupakan Sesar Selaru Empat (LP 33), dengan orientasi N086°E/76°, pergerakan
turun, throw 3 meter, dengan nama Right Normal Slip Fault (Rickard, 1972).
Berdasarkan lintasan B-B’ Sesar Selaru Empat (LP 33) memotong bidang
perlapisan (dip) dan memiliki pengaruh dalam persebaran batubara (mayor).
Struktur geologi selain Sesar Selaru Empat (LP 33) dalam korelasi struktur
B-B’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi
dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil
(lokal) berkisar 1-1.85 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi
struktur B-B’.

97
Gambar 46. Penampang Bor C-C' (On Strike)

Pada penampang korelasi struktur bor C-C’, yang terdiri dari 6 data bor,
korelasi struktur dilakukan dengan menggunakan skala 1:10.000 dengan
perbandingan horizontal : vertical = 1:1, penulis menginterpretasikan dengan
menggunakan datum elevasi kemudian memasukan data permukaan berupa data
sesar, sesuai dengan elevasi dan jarak horizontalnya.
Berdasarkan korelasi struktur bor C-C’, terdapat perbedaan kedudukan
batubara Seam A, yang menunjukan adanya offset turun. Dengan mengkorelasikan
data permukaan tersebut dengan data permukaan, struktur geologi yang berperan
merupakan Sesar Selaru Dua (LP 102), dengan orientasi N250/75, pergerakan
turun, throw 1.5 meter, dengan nama Right Normal Slip Fault (Rickard, 1972).
Berdasarkan lintasan C-C’ Sesar Selaru Dua (LP 102) didapatkan memotong
bidang perlapisan (dip) dan memiliki dalam persebaran batubara (mayor).
Struktur geologi selain Sesar Selaru Dua (LP 102) dalam korelasi struktur
C-C’ tidak menunjukan adanya offset yang cukup terlihat, kemudian dikorelasi
dengan data permukaan sesar tersebut hanya memiliki throw yang cukup kecil
(lokal) berkisar 2.2 meter, sehingga tidak dapat terlihat dari penampang korelasi
struktur C-C’.
Keterdapatan struktur geologi yang mempengaruhi pola sebaran batubara
pada daerah penelitian yang telah dibahas dan ditentukan secara detail, maka dapat
mengetahui proses-proses struktur geologi yang bekerja selama proses tektonik dan
proses yang masih berlangsung serta pengendapan batubara di dalam suatu
cekungan yang akan mempengaruhi bentuk dan pola sebaran batubaran tersebut.
Dengan adanya data permukaan geologi berupa sesar tersebut dan melihat
model genesa yang berkembang pada daerah penelitian, sesar mayor yang terdiri
dari Sesar Selaru Dua, Tiga dan Empat dapat mempengaruhi kemenerusan batubara,

98
terutama pada Sesar Selaru Tiga yang terdapat pada lokasi pengamatan 17, terdapat
perubahan kemenerusan yang dibatasi oleh sesar tersebut yang dapat dilihat pada
(gambar 44), hal tersebut bisa dijadikan acuan untuk kemenerusan dan penyebaran
batubara lainnya.
Dengan adanya intensitas struktur geologi yang cukup tinggi, perlu adanya
pengambilan data pemboran yang lebih detail dalam pengembangan eksplorasi,
terutama pada kelurusan-kelurusan sesar mayor pada daerah penelitian, sehingga
dapat membangun model penyebaran batubara yang lebih detail. Dalam kasus pada
daerah penelitian batubara tidak hilang sepenuhnya atau dalam kata lain, hilang
bukan karena proses pengendapannya namun karena adanya struktur geologi.
Menurut Thomas, 2013 sesar dapat menghentikan kegiatan penambangan secara
lokal maupun total karena adanya pergeseran dalam kemenerusan sesar seperti sesar
naik dan sesar turun. Oleh karena itu, perlu adanya implikasi pola sebaran dan
kemenerusan batubara pada pertambangan, antara lain sebagai berikut :

1. Dalam penentuan titik bor, model grid biasanya digunakan karena sangat cocok
untuk endapan lapisan. Keuntungan menggunakan grid adalah memfasilitasi
manipulasi dan penggunaan data. Struktur geologi, ketebalan, dan parameter
lain yang ditumpuk di atas satu sama lain dapat ditambahkan, dikurangi,
dikalikan, dibagi, atau dibandingkan untuk sampai pada kumpulan data turunan
lainnya, dan hanya parameter yang diinginkan yang perlu dimodelkan
(Thomas, 2013). Berdasarkan kenampakan struktur geologi pada daerah
penelitian, memperlihatkan batubara yang terpotong-potong hingga
kemenerusan dan persebarannya berubah (gambar 44), penulis menyarankan
adanya perapatan jarak titik bor untuk pengembangan eksplorasinya, yang
awalnya 50-200 meter dirapatkan menjadi 10-30 meter, terutama pada bagian
yang diduga kelurusan sesar mayor, dengan tetap memperhatikan kaidah
kemenerusan dan persebaran batubara (strike dan dip).

2. Dengan mengertinya pola persebaran dan kemenerusan batubara, dapat


merencanakan lebih detail terkait desain tambangnya, khususnya pada daerah
zona sesar, yang merupakan zona lemah, akan sangat erat kaitannya dengan
hidrogeologi, yang menjadi musuh dari penambangan open pit. Di tambang
terbuka, air dapat masuk melalui dasar lubang, yang disebabkan oleh tekanan
ke atas dalam akuifer terbatas yang meretakkan batuan di atasnya yang telah

99
menjadi tipis karena pendalaman lubang. Di bawah tanah tambang, fenomena
serupa dapat terjadi di mana pengurangan stres yang substansial telah terjadi.
Floor heave merupakan masalah serius karena dapat mengakibatkan banjir
tiba-tiba di tambang dan menyebabkan gangguan atau bahkan penghentian
produksi batubara (Thomas, 2013). Oleh karena itu, perlu adanya sistem atau
metode agar pada air tersebut tidak mengganggu dalam proses penambangan,
yaitu dengan cara dewatering. Dewatering dirancang untuk menghentikan
aliran air ke dalam lubang, menjaga kestabilan lereng dan melindungi air tanah
untuk pengambilan di daerah sekitar pekerjaan tambang. Situasi standar adalah
di mana tambang akan memotong dan menggali di bawah permukaan air.
Artinya, muka air tanah di sekitar tambang perlu ditekan untuk menghindari
banjir. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan pompa yang dipasang di bah
di dasar lubang, tetapi ini tidak memungkinkan untuk pengeringan sebelum
penambangan. Sumur vertikal digunakan secara luas untuk dewatering, pola
sumur yang tepat tergantung pada karakteristik hidrogeologi spesifik lokasi.
Air dapat dikeluarkan dari akuifer dengan gravitasi atau dengan pemompaan
menggunakan pompa submersible di lubang bor. Sumur gravitasi mengalirkan
air dari akuifer atas ke yang lebih rendah di bawah tingkat dasar lubang. Sumur
pompa mengangkat air dari akuifer ke permukaan tanah untuk dibuang.

Gambar 47. Skema dewatering dua tahap menggunakan titik sumur untuk menurunkan muka air
tanah di bawah dasar galian (Thomas, 2013).

100
Gambar 48. Jenis penambangan terbuka di mana metode dewatering tingkat lanjut digunakan.
(Dari Clarke (1995), dengan izin dari IEA Coal dalam Thomas, 2013)

Daerah penelitian termasuk dalam kategori penambangan dengan dangkal,


sehingga dapat menggunakan metode dewatering tipe b (gambar 49).

3. Dampak positif dengan adanya intensitas struktur geologi yang tinggi pada
pertambangan batubara, akan ditemukannya double seam batubara pada
sesar naik, hal tersebut terjadi karena karakteristik batubara dan batuan
sedimen diatasnya bersifat ductile.

4. Dengan adanya struktur geologi yang memiliki intensitas tinggi, perlu


memperhatikan desain kestabilan lereng pada high wall tambang, terutama

101
pada zona sesar. Desain kestabilan lereng pada high wall, dibuat lebih landai
dan berundak disesuaikan dengan pemilihan metode analasis.

5. Dalam penambangan dengan metode open pit, dengan adanya struktur


geologi yang cukup intens, dengan memperhatikan kondisi hidrologi,
pengupasan atau stripmine perlu dilakukan dengan cara khusus yaitu sistem
per blok, karena untuk menghindari air masuk ke dalam proses pengupasan,
expose batubara dan coal getting.

102
BAB VI
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai “Geologi dan Pengaruh Struktur Geologi
Terhadap Pola Sebaran dan Kemenerusan Seam Batubara PT.Sebuku Tanjung
Coal, Desa Selaru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Provinsi
Kalimantan Selatanmaka pada daerah penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:

1. Pola pengaliran di daerah penelitian adalah Subdendritik. Pola pengaliran


ini dipengaruhi oleh topografi dan struktur geologi serta pada sungai
utamanya yang telah berstadia tua dan pada alur liarnya sebagian masih
berstadia muda.

2. Geomorfologi pada daerah penelitian dapat di kelompokan menjadi satuan


bentukan asal, yaitu bentuk asal denudasional (D), antropogenik (A) dan
fluvial (F). Bentuk asal denudasional dibagi menjadi 2 yaitu Perbukitan
Bergelombang dan Peneplain. bentuk asal antropogenik dibagi menjadi 2
yaitu Hasil Penambangan dan Hasil Timbunan

3. Stratigrafi daerah telitian disusun oleh 3 satuan batuan dari tua ke muda,
yaitu satuan batupasir Formasi Tanjung, satuan batulanau Formasi Tanjung,
satuan batuserpih Formasi Tanjung dan satuan endapan aluvial

4. Struktur geologi daerah penelitian meliputi kekar, sesar, dan kedudukan


perlapisan batuan. Tegasan utama memperlihatkan orientasi Baratlaut-
Tenggara. Sesar daerah penelitian dapat dibagi menjadi sepuluh yaitu Sesar
Selaru Satu, Sesar Selaru Dua, Sesar Selaru Tiga, Sesar Selaru Empat, Sesar
Selaru Lima, Sesar Selaru Enam, Sesar Selaru Tujuh, Sesar Selaru Delapan,
Sesar Selaru Sembilan, Sesar Selaru Sepuluh

5. Berdasarkan korelasi data permukaan dengan data bawah permukaan (bor),


terdapat struktur geologi berupa sesar, yang dapat berpengaruh terhadap
pola sebaran dan kemenerusan batubara, yaitu Sesar Selaru Tiga (LP 17),
Sesar Selaru Empat (LP 33) dan Sesar Selaru Dua (LP 102).

103
6. Berdasarkan pola sebaran dan kemenerusan batubara daerah penelitian,
perlu dilakukannya pendetailan rute bor dengan jarak 10-30 meter,
menghindari potensi hidrogeologi yang dapat meluap karena intensitas
struktur geologi yang tinggi, perlu adanya dewatering dengan sistem
pompa, memperhatikan terkait kestabilan lereng pada highwall, stripmine
dilakukan dengan cara perblok, untuk menghindari adanya air masuk saat
expose batubara maupun coal getting.

104
DAFTAR PUSTAKA
Anderson E.M. 1951. The Dynamic of Faulting and Dyke Formation with
Applications of Brittan, Edinburgh, Oliver and Boyd. Stanford University :
California.
Bemmelen, V. R. 1949. The Geology of Indonesia. Netherland: Springer.
Billings, M.P., 1972, Structural Geology 3rd Edition: Prentice Hall Inc,
Englewood Cliffs. 591 hal.
Boggs, S. J. 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy. New Jersey:
Pearson.
Darlan, Y, Purwanto C dan Sulistyanti, R. 1999.STUDI REGIONAL
CEKUNGAN BATUBARA WILAYAH PESISIR TANAH LAUT–
KOTABARU KALIMANTAN SELATAN.
Davis, R.C. Noon, S.W dan Harrington. J. 2007. The petroleum potential of
Tertiary coals from Western Indonesia: Relationship to mire type and
sequence stratigraphic setting. Netherland : International Journal of Coal
Geology 70 (2007) 35–52
Dennis, J.G., 1979. Structural Geology: New York, John Wiley & Sons, 532 hal.
Horne, J. C., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and Mine Palnning
in Appalachian Region. Texas. AAPG Convention SEPM Houson.
Howard, A.D, 1967, Drainage Analysis In Geologic Interpretation: A Summation,
AAPG Bulletin, Vol.51 No.11 November 1967, hal. 2246-2259.
Jati, Stev. Nalendra. 2014. Tipe Pola Sebaran Dan Kemenerusan Lapisan
Batubara Di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, Dan Regional Kasus Wilayah
Sayap Barat Antiklin Palaran Yang Menunjam. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 7,
No. 1, Januari 2014.
Krevelen, D. 1993. Coal Typology Physics Chemistry Constitution. Netherland:
Elsevier.
Kuncoro, Prasongko, B. 1996. Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang
Eksplorasi dan Perencanaan Penambangan, Program Pascasarjana, ITB,
Bandung.
Kuncoro, 1996, “Perencanaan Eksplorasi Batubara”. Program Studi Khusus
Eksplorasi Sumberdaya Bumi Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi
Bandung. Bandung.

105
Kuncoro Prasongko, B 2000. Geometri Lapisan Batubara. Proseding seminar
tambang Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Kuncoro, B. 2012. Cleat Pada Lapisan Batubara dan Aplikasinya didalam Industri
Pertambangan. Prosiding Simposium dan Seminar Geomekanika Ke-1 Tahun
2012. Kuncoro, B. 2012. Geometri Lapisan Batubara. Proseding Seminar
Tambang UPN.
Kuncoro, B dan Stev. Nalendra Jati. Standarisasi Pengamatan Singakapan
Batubara Standarisasi Pengamatan Singakapan Batubara. Yogyakarta:
Program Studi Teknik Geologi UPN “V”.
Pettijohn, F., Potter, P., dan Siever, R. 1973. Sand and Sandstone. Berling:
Springer-Verlag Berlin-Heidelberg.
Rickard, M.J., 1972. Fault classification - discussion: Geological Society of
America Bulletin, v. 83, hal. 2545-2546.
Rustandi, E., E.S. Nila, P. Sanyoto dan U. Margono. 1995. Geological Map of
Kotabaru Sheet.
Sapiie, B., Rifiyanto, A., Perdana, L.2014. Cleats Analysis and CBM Potential
of the Barito Basin, South Kalimantan, Indonesia.Turkey:Proceedings,
Indonesian Petroleum Association
Satyana, A. H., Nugroho, D., dan Surantoko, I. 1999. Tectonic controls on the
hydrocarbon habitats of the Barito, Kutei, and Tarakan Basins, Eastern
Kalimantan, Indonesia: major dissimilarities in adjoining basins. Journal of
Asian Earth Sciences, 17(1-2), p. 99-122.
Step. Nalendra Jati. 2011. Tipe Pola Sebaran dan Kemenerusan Lapisan Batubara
di Lokasi Penelitian, Sekitar Lokasi, dan Regional. Mahasiswa Pascasarjana.
Magister Teknik Geologi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.
Susilawati. 1992. Proses Pembentukan Batubara - Analisa Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Bandung: ITB.
Thomas, L., 2013. Coal Geology second edition, Wiley Blackwell, New York
Tucker, M. M. 2003. Sedimentary Rocks in the Field. England: John Willey &
Sons.
Twiss dan Moores. 1992. Structural Geology. New York : WH Freeman & Co.
532 hal

106
Witts, D., R. Hall, R. J. Morley, dan M. K. BouDagher-Fadel. 2011. Stratigraphy
and Sediment Provenance, Barito Basin, Southeast Kalimantan. Proceedings,
Indonesian Petroleum Association 35th
Witts, D., Hall, R., Nichols, G., dan Morley, R. 2012. A new depositional and
provenance model for the Tanjung Formation, Barito Basin, SE Kalimantan,
Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences, 56, p. 77-104.
Wolf, M., 1984. Coal-Bearing Depositional Systems, Springer, Houston-USA.
Zuidam, V. 1985. Geomorphology.

107
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai