KELOMPOK 1 ANGKATAN 33
A. Deskripsi Isu
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan mengatakan,
pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) kerap terjadi selama pelaksanaan Pilkada 2020. Ia
melaporkan, terdapat 917 pelanggaran netralitas ASN selama Pilkada 2020 yang terdiri dari 484 kasus
memberikan dukungan kepada salah satu paslon di media sosial, 150 kasus menghadiri sosialisasi
partai politik. 103 kasus melakukan pendekatan ke parpol, 110 kasus mendukung salah satu paslon,
dan 70 kepala desa mendukung salah satu paslon. "Dan (pelanggaran) ini sudah diberikan oleh KASN
sebanyak 1.562 rekomendasi kepada PPKnya," kata Abhan dalam rapat kerja Komisi II DPR, Selasa
(19/1/2021). Selain netralitas ASN, Abhan mengatakan, pihaknya juga menemukan praktik politik uang
selama Pilkada 2020. Ia melaporkan, ada 166 dugaan pelanggaran pilkada terkait politik uang. Dari
166 pelanggaran tersebut, sebanyak 76 dugaan pelanggaran politik uang sudah naik ke tingkat
pengadilan. "Sementara itu, 31 masih diteruskan ke penyidik, 96 dihentikan oleh pengawas karena
tidak memenuhi unsur terpenuhi," ujar dia. Abhan mengingatkan, pelanggaran terkait politik uang
diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan
bahwa putusan dan sanksi adalah diskualifikasi. "Maka di Pasal 73 itu adalah putusan dan sanksinya
diskualifikasi dan ini ditangani oleh Bawaslu provinsi, meskipun kejadian di kabupaten/kota maka yang
berwenang melakukan adalah Bawaslu provinsi," ucap dia. Lebih lanjut, Abhan mengatakan, jenis
pelanggaran lain yang terjadi selama Pilkada 2020 yakni pelanggaran administrasi, pelanggaran kode
etik di jajaran ad hoc, pelanggaran pidana dan hukum lainnnya. "Sebanyak 1.489 pelanggaran
Amadministrasi, 288 pelanggaran kode etik jajaran ad hoc , 179 pelanggaran pidana, 1.562
pelanggaran hukum lainnya," ucap dia.
B. Penyebab terjadinya
Ada dua faktor yang menyebabkan aparatur sipil negara (ASN) menjadi tidak netral dalam
pilkada , yakni faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah petahana (adalah istilah bagi
pemegang suatu jabatan politik yang sedang menjabat) yang tidak maju dipilkada pun diperbolehkan
tetap berkampanye. Seperti diketahui banyak petahana yang membantu calon separtainya
berkampanye di pilkada. Misalnya, ASN diperintahkan mengerjakan materi yang dikampanyekan. Jika
tidak dikerjakan akan dikenai hukuman oleh kepala daerah. Kalau dikerjakan, dan kalo calon yang
didukung sang kepala daerah itu menang. Kalau kalah, ASN tersebut bisa tidak diberi jabatan oleh
calon kepala daerah yang menang. Ini yang menyebabkan ASN tidak nyaman. Selain itu, faktor internal
yang lain adalah dijanjikan diberi bonus, diberi uang oleh calon tersebut jika ASN bisa memenangkan
dan mau menjadi tim kampanye calon tersebut.
Sementara untuk faktor internal yang membuat ASN tak netral juga cukup banyak. Misalnya,
calon kepala daerah sangat akrab dengan Sekda. Anak buah Sekda tidak enak kalau tidak mendukung.
Ini mendukung karena kedekatan, karena utang budi. Ini faktor internal yang harus diantisipasi agar
tidak terjebak dalam sikap tidak netral. Adapun faktor-faktor lain yang menyebabkan ASN tidak netral.
Di antaranya karena tekanan struktural, kekhawatiran mutasi jabatan atau mandeknya karir, tukar
jasa, hubungan kekerabatan, kepentingan paragmatis, dan kultur feodal.
Selain dua faktor di atas, ada faktor lain yang membuat ASN tidak netral dalam pelaksanaan
pilkada, antara lain adalah menganggap hal tersebut hal yang sudah biasa atau hal yang lumrah terjadi,
sudah sering terjadi. Sehingga mereka hanya mencontoh senior, pendahulu mereka dahulu dan
mereka tidak mengetahui dampak atau resiko yang akan mereka hadapi. Masih ada faktor lain yang
menyebabkan ASN tidak netral, antara lain pemberian sanksi yang lemah, kurangnya integritas ASN
untuk bersikap netral, adanya intervensi dari pimpinan, kurangnya pemahaman regulasi tentang
netralitas ASN, adanya motif untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan, materi, proyek.
Persoalan politik kekerabatan di partai politik setiap daerah membuat semakin memburuknya
netralitas ASN.
C. Dampak jika Tidak ditangani
Netralitas ASN adalah refleksi atas penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). ASN tidak dimanipulasi untuk kepentingan berbagai pihak, yang
bisa berdampak pada kompetisi yang tidak seimbang yang akhirnya berdampak pada berkurangnya
kepercayaan publik dan nilai dari pemilu itu sendiri. Selain itu, netralitas merupakan salah satu asas
yang sangat penting untuk diterapkan dalam mewujudkan ASN yang profesional. Netralitas ASN
berkaitan dengan impartiality, dimana seseorang pegawai ASN harus bersikap adil, obyektif, tidak
bias, bebas pengaruh, bebas intervensi, bebas dari konflik kepentingan dan tidak berpihak kepada
siapapun.
Ketidaknetralan ASN akan berdampak pada adanya diskriminasi layanan, munculnya
kesenjangan dalam lingkup ASN, adanya konflik atau benturan kepentingan, dan ASN menjadi tidak
profesional. Pengawasan yang kuat disertai dengan penerapan sanksi menjadi kunci untuk
memastikan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilu. Ketidaknetralan ASN juga akan berdampak
pada profesionalisme pegawai ASN yang berpengaruh secara signifikan terhadap penyelengaraan
pelayanan publik dan efektivitas penyelengaraan pemerintahan dan juga dapat mendorong ASN
terlibat dalam praktik kasua Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Beragam sanksi yang mengancam Aparatur Sipil Negara (ASN) termasuk Pegawai Negeri Sipil
(PNS) jika tidak menjaga netralitas dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),
Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden(Pilpres).
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 42 Tahun 2004, terhadap
pelanggaran berbagai jenis larangan kepada PNS dikenakan sanksi moral.
Adanya ancaman Hukuman Disiplin Tingkat Sedang berupa:
1. penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun
2. penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun dan
3. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun
Adapun Hukuman Disiplin Tingkat Berat berupa:
1. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun
2. pemindahan dalam rangka penurunan pangkat setingkat lebih rendah
3. pembebasan dari jabatan
4. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS
Penjatuhan hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum dilaksanakan sesuai
dengan tata cara yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 53 tentang Disiplin PNS dan
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: 21 Tahun 2010 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor: 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
D. Analisis Pemecahan Isu
Teknik analisis yang kelompok kami gunakan adalah Teknik analisis SWOT. Teknik analisis SWOT
adalah suatu teknik analisis yang digunakan untuk menentukan unsur kekuatan (strength) , unsur
kelemahan (weakness) , unsur peluang (opportunities) , dan unsur ancaman (threats), sebelum
menetapkan tujuan dan tindakan yang logis.