Anda di halaman 1dari 8

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan: Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya

menuju Swasembada Berkelanjutan—Kendari, 12 Maret 2018 • Hermanto Siregar & Usman Rianse (Ed)
Penerbit: UHO EduPress, Kendari (2020) • ISBN 978-623-91098-4-4 • DOI http://dx.doi.org/10.37149/11328

APLIKASI KOMPOS LIMBAH KULIT JAMBU METE PADA JAGUNG LOKAL MUNA
DI LAHAN KERING MARGINAL

Nini Mila Rahni, La Ode Safuan, Salmatia, Zulfikar, Nuraida


Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
ninimasrul@yahoo.com

ABSTRAK
Indonesia khususnya Sulawesi Tenggara, rendahnya produksi jagung terutama terkait dengan aspek fisik
yaitu tanah dan iklim. Sebagian besar budidaya jagung diusahakan pada lahan-lahan marginal dengan
tingkat kesuburan yang rendah dengan kondisi iklim yang kering. Namun, dengan pengelolaan dan cara
budidaya yang baik, lahan kering marginal tersebut sangat potensial untuk daerah pengembangan jagung.
Salah satu cara budidaya yang tepat adalah dengan pemupukan yang tepat. Pada penelitian ini, penggunaan
kompos limbah kulit jambu mete dapat memperbaiki sifat fisik, biologi dan kimia tanah, serta ramah
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons tanaman jagung lokal terhadap kompos
limbah kulit jambu mete pada lahan kering marginal. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Agustus
2017 di Kebun Percobaan, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Penelitian ini menggunakan rancangan
acak kelompok dan kompos kulit jambu mete sebagai perlakuan dengan 5 taraf dosis yaitu kontrol, 5 ton
ha-1, 10 ton ha-1, 15 ton ha-1 dan 20 ton ha-1. Data dianalisis sesuai dengan rancangan yang digunakan dan
dilanjutkan dengan uji BNT 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kompos limbah kulit
jambu mete memengaruhi semua variabel pengamatan yaitu pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, luas
daun, dan diameter batang), komponen hasil dan hasil (bobot tongkol per tanaman, bobot biji per tongkol,
bobot 100 biji, bobot tongko ton ha-1 dan bobot biji (ton ha-1). Aplikasi kompos limbah kulit jambu mete
taraf dosis 20 ton ha-1 memberikan pengaruh terbaik pada keseluruhan variabel pengamatan.
Kata kunci: kompos limbah kulit jambu mete; jagung; lahan kering marginal.

PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan terpenting kedua setelah padi dan merupakan
sumber utama karbohidrat setelah beras. Pada jagung khususnya jagung manis terkandung
karbohidrat/pati (amilosa dan amilopektin), gula (fruktosa), serat kasar, fosfor, zat besi, kalsium,
protein, dan vitamin (A, B1 dan C). Selain untuk pangan dan pakan ternak, jagung juga banyak
digunakan dalam industri makanan, minuman, kimia, dan farmasi. Pemanfaatan jagung sebagai
bahan baku industri akan memberi nilai tambah bagi usahatani komoditas tersebut (Rukmana,
2003; Tangendjaja et al., 2011; Larosa et al., 2014).
Jagung di Indonesia kebanyakan ditanam pada dataran rendah, baik di tegalan, sawah tadah
hujan, maupun sawah irigasi. Produktivitas jagung nasional tahun 2016 sebesar 53,05 ku ha-1. Hal
tersebut mengalami peningkatan bila dibanding dengan tahun 2015 yang hanya sebesar 51,78 ku
ha-1. Di Sulawesi Tenggara, produktivitas tanaman jagung pada tahun 2016 sebesar 29,22 ku ha-1.
Hal tersebut mengalami peningkatan bila dibanding dengan tahun 2015 yang hanya sebesar 28,46
ku ha-1. Namun, peningkatan produktivitas tanaman jagung di Sulawesi Tenggara pada tahun 2016
masih berada jauh di bawah produksi nasional sebesar 53,05 ku ha-1 (BPS Indonesia, 2017). Hal

3
tersebut disebabkan oleh masalah kesuburan tanah yang rendah seperti kurangnya bahan organik,
pH masam dan kandungan unsur hara rendah. Selain masaah tersebut, kurangnya pemahaman
petani mengenai cara budidaya seperti tidak melakukan pemupukan sama sekali atau pemberian
pupuk anorganik secara berlebihan merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi tanaman
jagung (Subandi, 2007).
Budidaya tanaman jagung di Sulawesi Tenggara sebagian besar dilakukan pada lahan kering
marginal yang mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah, bereaksi masam dengan pH tanah di
bawah 5,5 dan kandungan hara N, P, K, Ca, dan Mg rendah serta tingginya Al dan Fe yang dapat
meracuni tanaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah yaitu dengan menambahkan bahan organik (Karimuna, 2000; Moelyohadi et al.,
2013).
Bahan organik adalah bahan yang ada dipermukaan tanah yang berasal dari sisa tumbuhan,
hewan dan manusia yang telah mengalami proses dekomposisi. Sumber bahan organik dapat
berupa kompos, bokashi, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol
jagung, bekas tebu dan sabut kelapa), limbah industri yang menggunakan bahan pertanian dan
limbah sampah (Suriadikarta, 2006). Bahan organik memiliki unsur hara lengkap makro dan
mikro yang dibutuhkan tanaman. Menurut Riley et al., (2008) dan Dinesh et al., (2010), bahwa
aplikasi bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas menahan air,
meningkatkan kehidupan biologi tanah, serta dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK)
tanah (Suriadikarta & Simanungkalit, 2006).
Kompos merupakan sisa-sisa tanaman yang telah terdekomposisi. Menurut Melati et al.,
(2008), fungsi kompos adalah sebagai penyedia hara. Namun, yang dapat dimanfaatkan dari
kompos adalah bahan organiknya. Kompos berperan penting dalam menigkatkan kesuburan tanah
melalui perbaikan sifat fisik (tekstur dan struktur tanah), kimia (pH masam dan unsur hara), dan
biologi tanah (mikroorganisme) (Sutedjo, 2008). Salah satu bahan baku pembuatan kompos adalah
sisa-sisa tanaman atau limbah dari tanaman seperti kulit jambu mete.
BPTP Sulawesi Tenggara (2007), mengemukakan bahwa limbah kulit jambu mete merupakan
salah satu sumber bahan baku lokal yang melimpah ketersediaannya dan mudah didapat.
Pemanfaatan kulit jambu mete yang dikombinasikan dengan dedak dan sekam padi belum
pernah dilakukan. Hal ini dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat memperbaiki lahan
kering marginal. Sumber bahan baku lokal tersebut dapat diolah menjadi pupuk organik berupa
kompos yang bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas lahan. Limbah dari hasil pertanian
dan tanaman pangan yang mengalami proses dekomposisi oleh bantuan mikroorganisme sehingga
menghasilkan pupuk.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik limbah kulit
jambu mete memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman, unsur hara yang
tersedia dan lebih mudah diserap tanaman (Setyorini et al., 2006; Shabani et al., 2011). Seperti
halnya dengan limbah kulit jambu mete, dedak dan sekam padi juga dapat dibuat sebagai kompos.
Gawansyah (2000) mengemukakan bahwa penggunaan bahan organik limbah panen padi (dedak
dan sekam) dapat meningkatkan produktivitas tanah dan efisiensi pemupukan serta mengurangi
kebutuhan pupuk. Menurut Dewan Standarisasi Nasional (2001), dedak memiliki kandungan
energi metabolis sebesar 2.980 kkal-1, protein kasar (12,9%), lemak (13%), serat kasar (11,4%),
Ca (0,07%), P tersedia (0,22%), Mg (0,95%) dan kadar air (9%) serta berfungsi merangsang
pertumbuhan akar dan menyuburkan tanah. Seperti halnya dengan dedak, sekam berperan dalam
proses pertumbuhan tanaman, membantu meningkatkan pH tanah dan penambahan unsur hara
pada tanah serta membantu dalam pembentukan struktur tanah agar lebih baik. Kandungan
karbohidrat yang dimiliki dedak sebesar (33,71), kadar air (9,02), protein (3,03%), lemak (1,18%)

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan


4 Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya menuju Swasembada Berkelanjutan
dan serat kasar (35,68%), serta memiliki kandungan hara phospor (P), kalium (K), kalsium (Ca),
dan magnesium (Mg) yang cukup tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut, sangat beralasan untuk memberikan perhatian terhadap
peningkatan produktivitas lahan kering marginal. Rekayasa lingkungan tumbuh tanaman dengan
kompos yang berasal dari limbah kulit jambu mete yang banyak tersedia dan belum termanfaatkan
secara optimal merupakan teknologi sederhana yang tepat guna, efisien, ekonomis, dan ramah
lingkungan merupakan alternatif upaya konkret untuk mengatasi keterbatasan lahan kering
marginal. Dengan demikian, peningkatan produksi jagung dalam negeri melalui upaya-upaya
seperti ekstensifikasi dan penerapan teknologi yang tepat (intensifikasi) dapat terlaksana.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret—Agustus 2017 di lahan kering marginal Kebun
Percobaan, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Bahan penelitian yang digunakan adalah
jagung lokal Muna dan kompos limbah kulit jambu mete. Rancangan yang digunakan adalah
rancangan acak kelompok pola faktorial dengan 3 ulangan. Faktor perlakuan adalah kompos kulit
jambu mete, terdiri atas 5 taraf dosis: K0= 0 ton ha-1, K1 = 5 ton ha-1, K2 = 10 ton ha-1, K3 = 15 ton
ha-1 dan K4 = 20 ton ha-1.
Penelitian diawali dengan pengolahan lahan dan pembuatan petak penelitian dengan ukuran
3 m x 2,5 m. Dosis aplikasi kompos kulit jambu mete berdasarkan dosis optimum hasil uji. Jarak
tanam 40 cm x 40 cm dengan 2 benih per lubang. Penyiraman dilakukan sesuai dengan kondisi
pertanaman. Dua minggu setelah tanam dilakukan penjarangan untuk memilih satu tanaman per
lubang untuk dipertahankan sampai saat panen. Penyulaman dilakukan saat tanaman berumur
7 hari setelah tanam (HST), dengan cara mengganti tanaman yang mati. Penyiangan dilakukan
setiap dua hari sekali atau disesuaikan dengan pertumbuhan gulma. Hama dan penyakit akan
dikendalikan dengan insektisida, pestisida atau fungisida yang sesuai jenis hama dan penyakit yang
menyerang.
Variabel pengamatan meliputi pertumbuhan tanaman yang dilakukan pada fase pertumbuhan
vegetatif yaitu 14, 21, 28, dan 35 HST serta pengamatan komponen hasil dan hasil dilakukan setelah
panen. Data hasil pengamatan dari setiap variabel pengamatan dianalisis berdasarkan sidik ragam.
Jika F hitung lebih besar daripada F tabel, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)
pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian dilaksanakan pada lahan kering marginal dan kondisi lingkungan pertanaman jagung
pada lahan percobaan baik dan tidak terdapat serangan hama dan penyakit yang cukup berarti
sehingga pertumbuhan tanaman tidak terganggu.

Pertumbuhan Tanaman
Dinamika pertumbuhan tanaman yang meliputi tinggi tanaman, diameter batang dan luas daun
tanaman jagung lokal Muna yang diaplikasi kompos kulit jambu mete pada umur 14, 21, 28 dan 35
hari setelah tanam ditampilkan pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3. Berdasarkan hasil analisis
diketahui bahwa bahwa tanaman jagung memberikan respons yang berbeda pada setiap taraf dosis
aplikasi kompos kulit jambu mete. Pada variabel tinggi tanaman, diameter batang dan luas daun,
dosis perlakuan 20 ton ha-1 menunjukkan respons tanaman jagung tertinggi. Namun, secara umum
morfologi tanaman jagung yang diaplikasi dengan kompos kulit jambu mete memiliki batang dan

Nini Mila Rahni, La Ode Safuan, Salmatia, Zulfikar, Nuraida


Aplikasi Kompos Limbah Kulit Jambu Mete pada Jagung Lokal Muna di Lahan Kering Marginal
5
diameter yang lebih tinggi serta luas daun yang lebih lebar bila dibanding dengan kontrol. Hal
tersebut berhubungan dengan kemampuan tanaman dalam mengefisiensi fotosintesis sehingga
fotosintat yang dihasilkan dapat meningkatkan pembentukan dan perkembangan organ-organ
vegetatif.
Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3 menunjukkan bahwa pola pertambahan tinggi tanaman
mengikuti pola kuadratik yakni perkembangannya meningkat seiring dengan bertambahnya
umur tanaman dan sampai pada umur tertentu akan melambat. Tinggi tanaman, diameter batang,
dan luas daun yang terus meningkat pada tanaman jagung kurang menguntungkan karena dapat
mengurangi alokasi fotosintat untuk pembentukan tongkol dan pengisian biji. Gardner et al.
(1991) mengemukakan bahwa indeks luas daun, laju tumbuh tanaman, dan laju asimilasi bersih
yang tinggi akan menguntungkan bila hasil yang diharapkan adalah biomassa. Namun, bila yang
diharapkan hasil panen berupa buah, umbi, atau biji, maka kondisi ini tidak menguntungkan
karena berkurangnya fotosintat ke organ-organ reproduktif tersebut.

Gambar 1 Dinamika pertambahan tinggi tanaman jagung lokal Muna yang diaplikasi kompos kulit jambu
mete pada umur 14, 21, 28, dan 35 hari setelah tanam (Sumber: Data Hasil Pengamatan).

Gambar 2 Dinamika pertambahan diamater batang jagung lokal Muna yang diaplikasi kompos kulit jambu
mete pada umur 14, 21, 28 dan 35 hari setelah tanam (Sumber: Data Hasil Pengamatan).

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan


6 Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya menuju Swasembada Berkelanjutan
Gambar 3 Dinamika pertambahan luas daun jagung lokal Muna yang diaplikasi kompos kulit jambu mete
pada umur 14, 21, 28 dan 35 hari setelah tanam (Sumber: Data Hasil Pengamatan)

Berdasarkan Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3 di atas, tampak bahwa aplikasi kompos kulit
jambu mete memengaruhi pertumbuhan tanaman secara nyata. Pertambahan tinggi tanaman,
diameter batang dan luas daun seiring dengan meningkatnya taraf dosis perlakuan yang diberikan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Marschner (1995) dan Rahni (2012a), bahwa kemampuan menyerap
hara mineral dengan baik pada keadaan tercekam merupakan bentuk adaptasi terhadap cekaman
defisiensi hara. Rahni (2012b) melaporkan bahwa walaupun bahan organik tersedia banyak atau
berlebih, tanaman hanya akan menyerap unsur hara sesuai dengan yang dibutuhkannya.
Hasil pertumbuhan tanaman variabel tinggi tanaman, diameter batang, dan luas daun
tanaman jagung menunjukkan bahwa kompos limbah kulit jambu mete berpengaruh sangat nyata
pada diameter batang umur 21–35 HST dan luas daun (14, 28, dan 35 HST) dan berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman umur (21–28 HST), diameter batang (14 HST), dan luas daun (21 HST).
Pertumbuhan terbaik diperoleh pada perlakuan kompos limbah kulit jambu mete pada dosis 20
ton ha-1 dibanding dengan perlakuan lain terutama tanpa perlakuan kompos (kontrol). Pemberian
limbah kulit jambu mete dapat memengaruhi pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya pada
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sutanto (2002), bahwa
kompos limbah kulit jambu mete mengandung campuran mikroorganisme fermentasi sintesis
yang terdiri atas bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, actinomycetes, dan ragi yang pada
umumnya memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta menyediakan unsur hara yang
dibutuhkan tanaman sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman. Faktor yang sangat menentukan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah ketersediaan dan keseimbangan unsur biotik
dan abiotik dalam satu ekosistem. Pertumbuah dan produktivitas tanaman terkait erat dengan
faktor genetik dan faktor lingkungan tanaman itu sendiri (Karimuna et al., 2014).

Komponen Hasil dan Hasil


Hasil uji sidik ragam pada komponen hasil (bobot tongkol per tanaman, bobot biji per tongkol, dan
bobot 100 biji) dan hasil (bobot tongkol dan bobot biji per hektare) tanaman jagung berpengaruh
sangat nyata pada pemberian kompos limbah kulit jambu mete (Tabel 1).
Semua parameter komponen hasil pada perlakuan 20 ton ha-1 menunjukkan hasil tertinggi,
tetapi tidak berbeda secara signifikan pada perlakuan 15 ton ha-1 dan bahkan pada parameter
bobot 100 biji juga tidak berbeda secara signifikan dengan perlakuan 10 ton ha-1. Bobot tongkol

Nini Mila Rahni, La Ode Safuan, Salmatia, Zulfikar, Nuraida


Aplikasi Kompos Limbah Kulit Jambu Mete pada Jagung Lokal Muna di Lahan Kering Marginal
7
Tabel 1 Bobot tongkol, per tanaman, bobot biji per tongkol, bobot 100 biji, bobot tongkol dan bobot biji
ton ha-1 tanaman jagung lokal Muna dengan aplikasi kompos limbah kulit jambu mete

Kompos Limbah Kulit Jambu Mete (ton ha-1)


Variabel Komponen Hasil
0 5 10 15 20
Bobot tongkol per tanaman (g) 26,53 a 41,69 b 43,68 b 55,62 ab 64,64a
Bobot biji per tongkol (g) 21,26 c 33,89 b 34,80 b 45,03 ab 52,63 a
Bobot 100 biji (g) 13,89 b 14,39 b 16,22 ab 18,42 a 20,49 a
Bobot tongkol (ton ha-1) 3,53 d 4,58 cd 5,31 bc 6,25 b 8,49 a
Bobot biji (ton ha-1) 2,79 d 3,78 cd 4,22 bc 4,91 b 6,78 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama pada setiap baris tidak berbeda menurut Uji
BNT pada taraf α 0,05 (Sumber: Data Hasil Pengamatan Diolah)

per tanaman tertinggi 64,64 g dan tidak berbeda dengan 55,62 g. Bobot biji per tongkol 52,63 g
dan tidak berbeda dengan 45,03 g. bobot 100 biji 20,49 g. Bobot 100 biji tertinggi 20,49 g dan tidak
berbeda dengan 16,22 g dan 18,42.
Hal tersebut di atas diduga terjadi karena pemberian kompos limbah kulit jambu mete
mengandung unsur hara (N, P dan K) yang dibutuhkan oleh tanaman jagung dan dapat diserap
tanaman dengan baik sehingga hasil tanaman meningkat, khususnya pada taraf perlakuan 10,
15, dan 20 ton ha-1. Pada kondisi ini, aktivitas fotosintesis membantu tanaman jagung dalam
penyerapan unsur hara secara aliran massa melalui mekanisme penyerapan proses fotosintesis
yang berlangsung baik akan meningkatkan hasil fotosintesis berupa fotosintat yang berperan
dalam pembentukan tongkol dan pengisian biji. Bobot tongkol per tanaman dan bobot biji per
tongkol menunjukkan ukuran biji sehingga semakin tinggi bobot tongkol per tanaman dan bobot
biji per tongkol berarti semakin besar ukuran tongkol dan biji jagung tersebut. Sumber fotosintat
untuk pengisian biji dapat berasal dari hasil fotosintat saat itu (fase pengisian biji) dan perombakan
cadangan karbohidrat pada bagian lain (remobilisasi).
Sejalan dengan hal tersebut, Rismunandar (2009) melaporkan bahwa tercukupinya
kebutuhan hara tanaman baik unsur makro maupun mikro dapat meningkatkan pertumbuhan
dan produktivitas tanaman. Bobot tongkol per tanaman dan bobot biji per tongkol ditentukan
oleh jumlah biji per tongkol (sifat genetik tanaman jagung), selain itu juga ditentukan oleh jumlah
tongkol yang terbentuk. Meningkatnya jumlah tongkol yang terbentuk akan meningkatkan pula
bobot tongkol per tanaman dan bobot biji per tongkol yang selanjutnya akan meningkatkan hasil
tanaman. Garnier et al. (1991) juga mengemukakan bahwa fosfor bergerak dalam tubuh tanaman
dan dapat didistribusikan dari bagian tua ke bagian yang lebih muda.
Pada parameter hasil, bobot tongkol per hektare dan bobot biji per hektare tertinggi
diperoleh pada perlakuan kompos 20 ton ha-1 (8,49 ton ha-1). Namun, pada perlakuan 10 dan 15
ton menunjukkan hasil yang tidak berbeda secara signifikan. Bobot tongkol per hektare pada
perlakuan kompos 10 ton ha-1 5,31 ton tidak berbeda dengan perlakuan kompos 15 ton ha-1 6,25
ton. Bobot biji per hektare pada perlakuan kompos 10 ton ha-1 4,22 ton tidak berbeda dengan
perlakuan kompos 15 ton ha-1 4,91 ton. Hal ini diduga karena pada perlakuan kompos dengan dosis
tertinggi (20 ton ha-1) merupakan kebutuhan yang cukup ideal untuk mendukung fase generatif
tanaman, khususnya fase pembentukan tongkol dan pengisisan biji. Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian Bara & Chozin (2009), bahwa rata-rata bobot tongkol dan bobot biji perhektar
pada berbagai perlakuan semakin meningkat dengan dengan meningkatnya dosis kompos.
Peningkatan produktivitas tanaman juga erat kaitannya dengan pemberian kompos kulit
jambu mete dalam menyediakan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung. Karimuna et al. (2009) melaporkan bahwa tingginya hasil yang diperoleh pada

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan


8 Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya menuju Swasembada Berkelanjutan
setiap perlakuan berhubungan dengan berlangsungnya proses fotosintesis tanaman secara penuh.
Ruhukail (2011) juga melaporkan bahwa kompos memiliki kandungan bahan organik dan unsur
hara yang cukup tinggi sehingga aplikasi kompos yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan hara
bagi tanaman jagung. Kompos kulit jambu mete yang memiliki kandungan bahan organik dan
unsur hara yang memadai sangat potensial untuk diaplikasikan pada lahan penelitian yang kering
dengan tingkat kesuburan yang rendah sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan peningkatan
hasil tanaman jagung lokal Muna.
Perlakuan kompos dengan taraf dosis 20, 15, dan 10 ton ha-1 pada beberapa variabel
pertumbuhan, komponen hasil dan hasil menunjukkan bahwa respons yang tidak berbeda secara
signifikan. Walaupun demikian, perlakuan 20 ton ha-1 tetap menunjukkan hasil yang tertinggi.
Fahdiana & Nawir (2006) melaporkan bahwa pemberian kompos mampu meningkatkan
pertumbuhan tanaman; semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka semakin meningkat
pertumbuhan tanaman.

KESIMPULAN
1) Aplikasi kompos limbah kulit jambu mete berpengaruh terhadap pertumbuhan, komponen
hasil dan hasil tanaman jagung lokal Muna di lahan kering marginal.
2) Perlakuan kompos limbah kulit jambu mete dengan dosis tertimggi 20 ton ha-1 merupakan
perlakuan yang menunjukkan hasil tertinggi, tetapi pada beberapa parameter tidak berbeda
secara signifikan dengan perlakuan 10 dan 15 ton ha -1.

UCAPAN TERIMA KASIH


Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Ristek Dikti atas bantuan biaya penelitian
pada Skim MP3EI Tahun Anggaran 2016-2017, Rektor Universitas Halu Oleo, Dekan FP UHO, Ketua
Jurusan Agroteknologi FP UHO, Kepala Laboratorium Analitik UHO, serta Kepala Laboratorium
Agronomi dan Ilmu Tanah FP-UHO atas izin dan segala bantuan dalam penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Salmatia dan Waode Nuraida yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian baik penelitian lapangan maupun analisis laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA
Bara, A., & M. A. Chozin. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Kompos dan Frekuensi Pemberian Pupuk Urea
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung (Zea mays L.) di Lahan Kering. Makalah Seminar
Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor.
BPS Nasional. 2017. Produktivitas Tanaman Jagung Menurut Provinsi 2013–2017. Jakarta.
BPTP Sultra. 2007. Pengkajian Sistem Usaha Tani Lahan Kering Iklim Kering Berbasis Jambu Mete.
E-mail:bptp-sultra@litbang.deptan.go.id
Dinesh, R., Srinavasan, V., Hamza S., & A. Manjusha. 2010. Short-term incorporation of organik manures
and biofertilizer influences biochemical and microbial characteristics of soils under an annual crop
turmeric (curcuma longa L.) Bioresource Technol. 101:4697-4702.
Fahdiana, M. A., & Nawir. 2006. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung melalui Pemberian N-urea
dan pupuk organik. Prosiding, Seminar dan Lokakarya Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Gardner, F., R. B. Pearce, & R. L. Mitchell. 1991. Physiology of crop plants (Fisiologi Tanaman Budidaya).
Terjemahan Herawati Susuilo). Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Nini Mila Rahni, La Ode Safuan, Salmatia, Zulfikar, Nuraida


Aplikasi Kompos Limbah Kulit Jambu Mete pada Jagung Lokal Muna di Lahan Kering Marginal
9
Karimuna, L. 2000. Florostic Composition and Biomassa of Fallow Vegetation in Agricultural Field of
Southest Sulawesi. Georgt-Agust-University Geotinggen. Cuvilier Geottingen.
Karimuna, L., Safitri, & Sabaruddin, L.O. 2009. Pengaruh Jarak Tanam dan Pemangkasan terhadap Kualitas
Silase Dua Varietas Jagung (Zea mays L.). Agripet. 9 (1):17-25.
Larosa, O., Lindungan, Simanungkalit, T., & S. Damanik. 2014. Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis
(Zea mays Sacchatatao Sturt.) pada Beberapa Persiapan Tanah dan Jarak Tanam. Jurnal Online
Agroekoteknologi. 3 (1): 01-07.
Melati, M., Asiah, A. & D. Rianawati, 2008. Aplikasi Pupuk Organik dan Residunya untuk Produksi Kedelai
Panen Muda. Bul. Agron. 36: 204-213.
Moelyohady, Y.M.U., Harun., R. Hayati, & N. Gofar. 2013. Pengaruh Kombinasi Pupuk Organik dan Hayati
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Galur Jagung (Zea mays L.) Hasil Seleksi Efisien Hara pada
Lahan Kering Marginal. Jurnal Lahan Suboptimal. 2 (2): 100-110.
Riley, H. Pommeresche, R., Eltun, R., Hansen S., & A. Korsaeth. 2008. Soil Structure, Organic Matter
and Earthworm Activity in a Comparison of Cropping Systems with contrasting tillage, Rotations,
Fertilizer Levels and Manure Use. Agric. Ecosyst. Environ. 124:275-284.
Rismunandar. 2009. Tanah dan Seluk Beluknya bagi Pertanian. Sinar Baru Algensindo. Bandung.
Ruhukail, N. L. 2001. Pengaruh Penggunaan EM4 yang Dikulturkan pada Bokashi dan Pupuk Organik
terhadap Produksi Kacang Tanh. Jurnal Agroforestri, 4 (2): 114-150.
Rukmana, R. 2003. Usaha Tani Jagung. Kanisius. Yogyakarta.
Subandi, 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan. IPTEK Tanaman Pangan, 2 (1):12-15.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta.
Sutedjo, M. M. 2008. Pupuk dan Cara Penggunaannya. Rineka Cipta. Jakarta.

Prosiding Seminar Nasional Pangan dan Perkebunan


10 Realitas Pangan dan Perkebunan Saat Ini dan Prospeknya menuju Swasembada Berkelanjutan

Anda mungkin juga menyukai