Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

“ Disusun Untuk Memenuhi Tugas Asuhan Kebidanan”

Dosen Pengampu:Yopi Suryatim Pratiwi, M.Keb.

Disusun Oleh (Kelompok 3) :


1. NOFITA KOMALASARI 8. SINTIA WARTI
2. NOPI DELA ANISA FITRI 9. SULIS DWI CAHYANI
3. NUR AFRIANANNISA 10. SUSIATUN NUFUS
4. NURUL OKINA 11. SHERLY M.G.A.
5. PUTRI PAHLAWANI 12. WINDY INDRAYANI
6. REGINA CAHYANI 13. YULIANA
7. RISMIATI 14. YULIANI

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN
MATARAM 2021/2022
Kata penghantar

Puji syukur kehadirat tuhan yng maha esa atas segala limpahan rahmat taufik dan inayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dalam bentuk dan isinya yang sangat sederhana,
semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan dan petunjuk maupun pedoman
bagi pembaca dalam pembelajaran kehidupan sehari-hari.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca sehingga kami dapat memperbaiki isi dan bentuk makalah ini.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih
kurang, oleh karena itu kamiharap kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR..............................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................

1.3 Tujuan............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................

2.1 Sosial, budaya, humaniora dan spiritual konteks dalam kebidanan..............................

2.2 Status sosial dan dampaknya.........................................................................................

2.3 Etnik..............................................................................................................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................

3.2 Kritik dan saran...............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Ilmu sosial budaya aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan
manusia yang begitu ekstrem menuntut semua manusia harus memperhatikan aspek sosial
budaya. Salah satu masalah yang kini banyak merebak di kalangan masyarakat adalah
kematian ataupun kematian pada ibu dan anak yang sesungguhnya tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial dan lingkungan di masyarakat dimana mereka berada. Bisa dari atau,
faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan seperti konsepsi-konsepsi budaya mengenai
berbagai pantangan, hubungan sebab-akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit,
kebiasaan dan ketidaktahuan, sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif
terhadap kesehatan ibu dan anak.
Menjadi seorang bidan, hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik maupun mental,
karena tugas seorang bidan pekerjaan berat. Bidan yang siap mengabdi di kawasan
pedesaan yang menantang yang besar dalam mengubah pola kehidupan masyarakat yang
berdampak negative terhadap kesehatan masyarakat. Tidak mudah mengubah pola pikir
ataupun sosial budaya masyarakat. Apalagi masalah persalinan yang umum masih banyak
menggunakan dukun beranak. Ditambah lagi tantangan tantangan yang dihadapi bidan di
pedesaan adalah kemiskinan, pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan
mengenali dan mencari solusi bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar yang harus
dimiliki bidan. (Alam, S., Ansyar, D. I., & Satrianegara, M. F. 2020).
Untuk itu seorang bidan agar dapat melakukan pendekatan terhadap masyarakat perlu
mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan
penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma
dan nilai,agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah
tersebut. Konsep spiritualitas merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam pelayanan
kebidanan. Harga dkk. (2017) dalam penelitiannya yang berjudul “The Spiritual
Experience of High-Risk Pregnancy” menyebutkan bahwa aspek kesejahteraan membantu
dalam mengatasi stres pada kehamilan risiko tinggi, dan diyakini dapat meningkatkan ibu
dan janin.
Problem sosial pada setiap masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Perbedaan tersebut tergantung pada tingkat perkembangan kebudayaan dan kondisi
lingkungan alamnya. Masalah-masalah tersebut dapat terwujud dalam masalah moral,
masalah politik, masalah agama dan masalah lainnya.Dengan adanya permasalah-
permasalahan tersebut timbullah teori-teori sosial, yang pada akhirnya terbentuklah ilmu-
ilmu sosial. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam yang kemajuannya sangat pesat, ilmu-
ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Hal ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial
adalah manusia sebagai makhluk multidimensional.
Hal ini bertujuan untuk memberi landasan bagi pemahaman tentang ilmu dan profesi
kedokteran. Akan tetapi tidak ada ketetapan lebih lanjut tentang arahaggen, tujuan, lingkup
bahasan cabang ilmu buku ajar sebagai rujukan. Pendidikan humaniora adalah suatu bahan
pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi
lebih manusiawi, yaitu membantu manusia untuk mengaktualkan potensi-potensi yang ada,
sehingga akhirnya terbentuk manusia yang utuh, yang memiliki kematangan emosional,
kematangan moral dan kematangan spiritual. (Khasanah, N. (2011).
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui sosial, budaya, humaniora dan spiritual konteks dalam kebidanan

2. Untuk mengtahui status sosial perempuan dan dampaknya pada kebidanan

3. Untuk mengetahui etnik pada kebidanan


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sosial, budaya, humaniora dan spiritual konteks dalam kebidanan

2.1.1. Sosial budaya dalam kebidanan

Pengertian social budaya Sosial budaya terdiri dari dua kata yaitu sosial dan
budaya. Sosial berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat
sekitar. Sedangkan budaya berasal dari kata bodhya yang artinya pikiran dan akal
budi. Budaya juga diartikan sebagai segala hal yang dibuat manusia berdasarkan
pikiran dan akal budinya yang mengandung cinta dan rasa. Jadi kesimpulannya
adalah sosial budaya merupakan segala hal yang di ciptakan manusia dengan
pikiran dan budinya dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian sosial budaya
menurut para ahli : (Masrizal, M. 2018).

 Andreas Eppink sosial budaya atau kebudayaan adalah segala sesuatu atau tata
nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang menjadi ciri khas dari
masyarakat tersebut.

 Burnett kebudayaan adalah keseluruhan berupa kesenian, adat istiadat, moral,


hukum, pengetahuan, kepercayaan dan kemampuan olah pikir dalam bentuk lain
yang didapatkan seseorang sebagai anggota masyarakat dan keseluruhan bersifat
kompleks.

a. Hubungan ilmu social dalam konteks kebidanan (Kartika, V., & Agustiya, R. I.
2019).

1. Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Pra Perkawinan

Pada masyarakat indonesia banyak sekali budaya yang ada, dan masih
banyak sekali para masyarakat masih meninggikan budaya mereka dan
percaya dengan mitos. Pada perkawinan terjadi beberapa tahap terlebih
dahulu sebelum menginjak ke jenjang pernikaha, di sini tahap-tahapnya
adalah perkenalan satu sama lain dan keluarga masingmasing atau tahap
pacaran, kemudian terjadi pinangan atau lamaran, bila sudah terlaksana itu
pasti akan meningkat kejenjang pernikah, setelah itu masih banyak tahap
yang perlu di lalui, lebih mengarah ke perkenalan lebih lanjut, saling
menerima dan mengti atas kekurangan masing-masing, saling melengkapi
kenyataan kekurangan dan peredaan yang nyata terlihat setelah memasuki
jenjang pernikahan, bila mereka dapat melalu semua kenyataan tersebut maka
mereka akan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.

Pelayanan kebidanan diawali dengan pemeliharaan kesehatan para calon


ibu. Remaja wanita yang akan memasuki jenjang perkawinan perlu dijaga
kondisi kesehatannya. Kepada para remaja di beri pengertian tentang
hubungan seksual yang sehat, kesiapan mental dalam menghadapi kehamilan
dan pengetahuan tentang proses kehamilan dan persalinan, pemeliharaan
kesehatan dalam masa pra dan pasca kehamilan. Promosi kesehatan pranikah
merupakan suatu proses untuk meningkatkan kemampua masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya yang ditujukan pada masyarakat
reproduktip pranikah. Remaja yang tumbuh kembang secara biologis diikuti
oleh perkembangan psikologis dan sosialnya. Alam dan pikiran remaja perlu
diketahui. Remaja yang berjiwa muda memiliki sifat menantang, sesuatu yang
dianggap kaku dan kolot serta ingin akan kebebasan dapat menimbulkan
konflik di dalam diri mereka.

Pendekatan keremajaan di dalam membina kesehatan diperlukan.


Penyampaian pesan kesehatan dilakukan melalui bahasa remaja. Pemeriksaan
kesehatan bagi remaja yang akan menikah dianjurkan. Tujuan dari
pemeriksaan tersebut adalah untuk mengetahui secara dini tentang kondisi
kesehatan para remaja. Bila ditemukan penyakit atau kelainan di dalam diri
remaja, maka tindakan pengobatan dapat segera dilakukan. Bila penyakit atau
kelainan tersebut tidak diatasi maka diupayakan agar remaja tersebut
berupaya untuk menjaga agar masalahnya tidak bertambah berat atau menular
kepada pasangannya. Misalnya remaja yang menderita penyakit jantung, bila
hamil secara teratur harus memeriksakan kesehatannya kepada 10 dokter.
Remaja yang menderita AIDS harus menjaga pasanganya agar tidak terkena
virus HIV.

Upaya pemeliharaan kesehatan bagi para calon ibu ini dapat dilakukan
melalui kelompok atau kumpulan para remaja seperti karang taruna, pramuka,
organisaai wanita remaja dan sebagainya. Selain itu bidan juga berperan
dalam mencegah perkawinan dini pada pasangan pra nikah dimana masih
menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksi perempuan di
Indonesia. Pernikahan dini menunjukkan posisi perempuan yang lebih lemah
secara ekonomi maupun budaya. Secara budaya, perempuan disosialisasikan
segera menikah sebagai tujuan hidupnya. Akibatnya, perempuan memiliki
pilihan lebih terbatas untuk mengembangkan diri sebagai individu utuh.
Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap hamil pada usia
sangat muda.

2. Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Perkawinan

Pembinaan yang dilakukan oleh bidan sendiri antara lain mempromosikan


kesehatan agar peran serta ibu dalam upaya kesehatan ibu, anak dan keluarga
meningkat. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu
hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi,
pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. Peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini memerlukan
pengetahuan aspek sosial budaya dalam penerapannya kemudian melakukan
pendekatanpendekatan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan
anak.

Fakta-fakta kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi -


konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab - akibat antara
makanan kondisi sehat - sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan sering kali
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan
anak. Pola makan misalnya pada dasarnya adalah merupakan salah satu selera
manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Misalnya di Jawa Tengah
adanya anggapan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan
mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan
perdarahan yang banyak. Jawa Barat ibu yang kehamilannya memasuki 8-9
bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya
kecil dan mudah dilahirkan, Masyarakat Betawi berlaku pantangan makan
ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI
menjadi asin. Sikap seperti ini akan berakibat buruk bagi ibu hamil karena
akan membuat ibu dan anak kurang gizi.

3. Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Kehamilan

Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu


diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan
janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah
penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri. Fakta di
berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang
menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka
merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun
dokter.

Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan


kehamilan ke bidan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko
tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Contohnya di kalangan
masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat suatu tradisi upacara
kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa
kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan.

Namun pada usia saat kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah
mereka akan mengadakan suatu upacara. Masyarakat nuaulu mempunyai
anggapan bahwa pada saat usia kandungan seorang perempuan telah
mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan
banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan
berbagai bahaya gaib. Dan tidak hanya dirinya sendiri juga anak yang
dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya, khususnya kaum laki-
laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil
perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno.

Masyarakat nuaulu juga beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak


manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah
berusia 9 bulan. Jadi dalam hal ini (masa kehamilan 1-8 bulan) oleh mereka
bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk kehidupan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah
masalah gizi. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan
pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan
mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-
pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan
oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu
dan janin.

Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi
terutama di daerah pedesaan. Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di
Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena
akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara di salah satu 12 daerah di
Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja harus
mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan
laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Hal ini
membuat ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah.
Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.

4. Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Persalinan, Nifas, Dan Bayi
Baru Lahir (BBL)

Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para
ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan
selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam
proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan
penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan,
kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi
keadaan gawat.

Tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia berkaitan erat dengan
faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk,
khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang
belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan jauhnya lokasi
tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaankebiasaan
dan adat istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain
sebagainya.

Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa


wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena
kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang
berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Di daerah pedesaan,
kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong
persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Beberapa penelitian yang
pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek
persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu, seperti "ngolesi"
(membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar persalinan),
"kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk
rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan
posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat
menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).

Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih


diberlakukan juga pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini
biasanya berkaitan dengan proses 13 pemulihan kondisi fisik misalnya, ada
makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi
ASI, ada pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat
mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang
dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan
kesehatan si ibu, Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk
mengembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan seperti
daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan
cairan yang keluar karena proses persalinan atau memberi jamu tertentu untuk
memperkuat tubuh.

Sebenarnya, kelancaran persalinan sangat tergantung faktor mental dan


fisik si ibu. Faktor fisik berkaitan dengan bentuk panggul yang normal dan
seimbang dengan besar bayi. Sedangkan faktor mental berhubungan dengan
psikologis ibu, terutama kesiapannya dalam melahirkan. Bila ia takut dan
cemas, bisa saja persalinannya jadi tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu
dengan mental yang siap bisa mengurangi rasa sakit yang terjadi selama
persalinan.

Disini peran bidan sangat diperlukan dalam memberikan informasi yang


tepat untuk mempersiapkan mental dan fisik ibu hamil dalam menghadapi
pesalinan dan pasca persalinan. Secara medis penyebab klasik kematian ibu
akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia (keracunan
kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan
profesional dapat berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.

Kuranganya pengetahuan dan ilmu menyebabkan salah kaprah dalam


menyikapi kesehatan ibu dan bayi, meraka tidak mementingkan kebutuhan
nutrisi dan vitamin serta gizi meraka bahkan tidak tahu tentang suatu
ancaman bahaya yang mengintai mereka sehingga menyebabkan kematian
pada ibu dan bayi, kasus lain sering di temukan pada bayu baru lahir. Mereka
memperlakukan bayi baru lahir dengan setidak mana mestinya, karena
mereka masih berpegang teguh dengan mitos dan kurangannya pengetahuan.

Contoh-Contoh Lain Pendekatan Sosial Budaya Dalam Praktek


Kebidanan:

a. Pendekatan melalui masing-masing keluarga, jadi setiap keluarga di


lakukan pendekatan

b. Pendekatan melalui langsung pada setiap individunya sendiri, mungkin


cara ini lebih efektif.

c. Sering melakukan penyuluhan di setiap PKK atau RT tentang masalah


dan menanggulangi masalah kesehatan.

d. Mengikuti arus sosial budaya yang ada dalam masyarakat tersebut,


kemudian kalau sudah memahami, kita mulai melakukan pendekatan
secara perlahan-lahan.
e. Melawan arus dalam kehidupan sosial budaya mereka, sehinnga kita
menciptakan asumsi yang baru kepada mereka, tapi cara ini banyak
tidak mendapatkan respon positive.

Contoh yang harus di lakukan pemerintah sebagai penunjang:

a. Membangun sarana kesehatan di setiap desa, seperti puskesmas,


polindes, atau poliklinik

b. Menyediakan tenaga kesehatan yang berkompeten dan memadai

c. Fasilitas yang ada dalam sarana kesehatan harus memadai dan


lengkap

d. Lebih sering di adakan penyuluhan tentang kesehatan kepada


masyarakat

e. Menyediakan pelayanan kesehatan untuk orang yang tidak mampu


seperti jamkes mas, jampersal, dll.

2.1.2 Humaniora dalam kebidanan

Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan (BalaiPustaka: 1988), adalah ilmu-ilmu pengetahuan
yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat
manusia lebih berbudaya. Istilah humaniora yang berasal dari program pendidikan
yang dikembangkan Cicero, yang disebutnya humanitas sebagai faktor penting
pendidikan untuk menjadi orator yang ideal. Penggunaan istilah humanitas oleh
Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna dalam cara lain bahwasanya
pengertian umum humanitas berarti kualitas, perasaan,dan peningkatan martabat
kemanusiaan dan lebih berfungsi normative dari pada deskriptif (Sastrapratedja,
1998:

Gellius mengidentikkan humanitas dengan konsep Yunani paideia, yaitu


pendidikan (humaniora) yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi
manusia dan warga negara bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut
dikembangkan menjad iprogram pendidikan dasariah. Menurut bahasa latin,
humaniora disebut artes liberales yaitu studi tentang kemanusiaan. Sedangkan
menurut pendidikan Yunani Kuno, humaniora disebut dengan trivium, yaitu logika,
retorika dan gramatika. Pada hakikatnya humaniora adalah ilmu-ilmu yang
bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup etika, logika, estetika,
pendidikan pancasila, pendidikan kewarganegaraan, agama dan fenomenologi.

a. Hubungan ilmu humaniora dalam konteks kebidanan Telah dijelaskan


diatas, bahwa humaniora secara singkat diartikan sebagai ilmu untuk
memuliakan manusia baik dari segi fisik maupun psikis. Apa yang
menyebabkan ilmu humaniora ini bisa sangat penting dalam konteks
kebidanan :

1) Bidan sebagai barisan pertama dalam masyarakat untuk menangani


masalah kesehatan. Hal ini menambah peluang bidang untuk
menangani masalah kemasyarakatan yang sangat memerlukan aturan
humaniora dalam menjalankan kehidupannya.

2) Bidan sebagai pelayan kesehatan yang menangani mempersiapkan


kehamilan, menolong persalinan, nifas dan menyusui, masa interval
dan pengaturan kesuburan, klimakterium dan menopause yang
keseluruhan mencakup setengah dari masa kehidupan manusia.

3) Bidan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat


yang mana berhadapan langsung dengan masyarakat itu sendiri.
Bidan seringkali dianggap sebagai seseorang yang tau segala hal,
mampu mengobati banyak penyakit baik yang berhubungan dengan
kebidanan maupun masalah kesehatan secara umum.

4) Bidan sebagai komponen sosial di masyarakat yang menunjukkan


empatinya di hadapan anggota keluarga, sehingga tercermin bahwa
keputusan yang dia ambil semata-mata memang untuk kepentinggan
masyarakat.

5) Bidan memiliki peluang besar dalam hal aborsi.pembatasan kelahiran


yang hingga kini masih menjadi teka-teki masih kurang jelasnya
status ilegal dari aborsi.

b. Penerapan Ilmu Humaniora dalam Memberikan Pelayanan Kebidanan


1) Pemberian Asuhan Kebidanan. Dalam memberikan pelayanan
kepada klien, bidan harusnya memenuhi kode etik dan sumpah
profesi yang telah dilakukan sebelum terjun menjadi bidan antara
lain : Kewajiban bidan terhadap klien dan masyrakat Kewajiban
bidan terhadap tugasnya Kewajiban bidan terhadap sejawat dan
tenaga kesehatan Kewajiban bidan terhadap profesinya Kewajiban
bidan terhadap diri sendiri Kewajiban bidan terhadap pemerintah,
nusa bangsa dan tanah air Kode etik inilah yang menjadi pembatas
tindakan-tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bidan
yang tentunya harus dilandasi ilmu humanira sehingga mampu
memuliakan klien.

2) Aborsi Aborsi adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan


20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Aborsi ini menjadi
illegal bila dilakukan dengan sengaja khusunya dalam hal ini adalah
dilakukan oleh tenaga bidan untuk menghentikan kehamilan
kliennya. Ilmu humaniora di sini sangat dibutuhkan sabagai penguat
dasar kode etik bidan, secara otomatis bidan yang memegang teguh
kode etik dan memegang konsep humaniora tidak 8 akan melakukan
aborsi ini. Karena selain bukan merupakan kewenangannya, juga
diluar dari kode etiknya.

3) Pembatasan Kehamilan Semakin melunjaknya jumlah penduduk


yang tidak diimbangi dengan meningkatnya sumber daya alam yang
dibutuhkan memacu adanya prosedur diberlakukannya pembatasan
kehamilan. Dalam hal ini merujuk pada 2 sistem pembatasan
kelahiran yaitu promotif untuk memiliki 2 anak saja dan adanya
keluarga berencana. Sebenarnya KB ini dapat memicu kontra terkait
pelanggaran hak manusia dalam meneruskan keturunan. Namun
setelah dikaji lebih mendalam, hal ini tidaklah melanggar peri
kemanusiaan yang tentunya juga disendingkan dengan alasan-alasan
yang logis. Sehingga diperlukan bidan professional yang mampu
memahami penerapan Ilmu humaniora dalam melaksanakan
tugasnya.
2.1.3. Spiritual konteks dalam kebidanan

Hingga saat ini masih terjadi perdebatan terkait definisi spiritualitas. Donia
Baldacchino (2015) dalam publikasinya yang berjudul Spiritual Care Education of
Health Care Professionals menyebutkan bahwa spiritualitas dapat diartikan
sebagai sebuah kekuatan yang menyatukan semua aspek manusia, termasuk
komponen agama, memberikan dorongan kepada seseorang untuk menemukan
arti, tujuan, dan pemenuhan dalam kehidupan, serta dan menumbuhkan semangat
untuk hidup.

Konsep spiritualitas merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam


pelayanan kebidanan. Price et al. (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “The
Spiritual Experience of High‐Risk Pregnancy” menyebutkan bahwa aspek
spiritualitas membantu dalam mengatasi stres pada kehamilan risiko tinggi, dan
diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dan janin. Fatma Sylvana Dewi
Harahap (2018) dalam publikasinya menyebutkan bahwa asuhan kebidanan yang
diberikan selama kehamilan dengan memperhatikann keseimbangan fisik, psikis
dan spiritual pada wanita dengan risiko rendah dapat menurunkan intervensi
medis dalam proses persalinan.

Dalam publikasi yang sama, Fatma Sylvana Dewi Harahap (2018) dengan
mengutip dari berbagai sumber menyebutkan efek positif dari pemenuhan
kebutuhan spiritualitas dalam asuhan kebidanan, baik saat kehamilan, persalinan,
maupun nifas yang dikutip dari berbagai sumber. Dalam kehamilan, asuhan
kebidanan yang diberikan secara seimbang, baik aspek fisik, psikis, dan spiritual
akan meningkatkan derajat kesehatan, serta menghindarkan kecemasan. Kondisi
ini jika dijaga, dapat meningkatkan keyakinan ibu hamil serta menghindarkan ibu
dari persoalan psikologis saat menghadapi dan menjalani proses persalinan,
disebabkan spiritualitas sendiri merupakan bentuk coping dalam menghadapi
persalinan. Dalam masa setelah melahirkan, spiritualitas membantu proses
penyembuhan dan mengurangi depresi postpartum.

a. Hubungan Ilmu Spiritual Dalam Konteks Kebidanan

Asuhan kebidanan yang dilakukan secara holistik pada masa kehamilan


berdampak positif pada hasil persalinan. Pengabaian terhadap aspek
spiritual dapat menyebabkan klien akan mengalami tekanan secara spiritual.
Dalam melakukan asuhan kebidanan yang holistik, pemenuhan kebutuhan
spiritual klien dilakukan dengan pemberian spiritual care. Aspek
penghormatan, menghargai martabat dan memberikan asuhan dengan penuh
kasih sayang merupakan bagian dari asuhan ini. Donia Baldacchino (2015)
dalam publikasinya yang berjudul Spiritual Care Education of Health Care
Professionals menyebutkan bahwa dalam memberikan spiritual care, tenaga
kesehatan (bidan) berperan dalam upaya mengenali dan memenuhi
kebutuhan spiritual klien dengan memperhatikan aspek penghormatan pada
klien.

Bidan juga berperan memfasilitasi klien dalam melakukan kegiatan ritual


keagamaan. Selain itu, membangun komunikasi, memberikan perhatian,
dukungan, menunjukkan empati, serta membantu klien untuk menemukan
makna dan tujuan dari hidup, termasuk berkaitan dengan kondisi yang
sedang mereka hadapi. Spiritual care dapat membantu klien untuk dapat
bersyukur dalam kehidupan mereka, mendapatkan ketenangan dalam diri,
dan menemukan strategi dalam menghadapi rasa sakit maupun
ketidaknyamanan yang dialami, baik dalam masa kehamilan, maupun
persalinan. Selain itu, hal ini juga akan membantu klien dalam memperbaiki
konsep diri bahwa kondisi sakit ataupun tidak nyaman yang dialami juga
bentuk lain dari cinta yang diberikan oleh Tuhan. Kehamilan dan persalinan
merupakan peristiwa transformatif dalam kehidupan seorang wanita.

Pemberian asuhan kebidanan dengan tidak mengabaikan aspek spiritual


merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang kebutuhan klien. Ibu
dan bayi yang sehat, fase tumbuh kembang anak yang sehat, serta menjadi
manusia yang berhasil dan berkontribusi positif bagi masyarakat merupakan
harapan bersama. Bidan sebagai tenaga kesehatan yang berperan dalam
kesehatan ibu dan anak diharapkan agar dapat memberikan asuhan dengan
pemahaman holistik terhadap wanita. Mengutip dari Fatma Sylvana Dewi
Harahap (2018) "merekonstruksi bangunan keseimbangan kesehatan dengan
sinergitas fisik, psikis, dan spiritualitas perlu dilakukan melalui pendidikan
dan pelayanan kebidanan". Sumber : Muliati Dolofu (Mahasiswa S2 IPK FK
- KMK UGM)

b. Pandangan Agama Yang Berhubungan Dengan Praktik Kebidanan (Alam,


S., & Karini, T. A. 2020).

1. Keluarga Berencana Pandangan agama islam terhadap pelayanan


keluarga berencana.

Ada dua pendapat mengenai hal tersebut yaitu memperbolehkan dan


melarang penggunaan alat kontrasepsi. Karena ada beberapa yang
mengatakan penggunaan alat kontrasepsi itu adalah berlawanan dengan
takdir/kehendak Allah.

2. Khitan Pada Perempuan

Khitan secara bahasa diambil dari kata “ khotana “ yang berarti


memotong. Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi
ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi
perempuan adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi
ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang sedikit dari bagian
klitoris (kelentit) atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung
lubang vulva bagian atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki
dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan disebut khafd. Sedangkan
istilah secara internasional sunat perempuan adalah Female Genital
Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC).

Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis.


Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris apalagi klitorisnya
sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya.
Seorang bidan di Jawa Barat pernah mengulas tentang hal ini karena
menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya memang
ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan
bahkan di pusat-pusat pelayanan kesehatan.

Sedangkan dalam pembahasannya mengenai khitan untuk


perempuan para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya
seperti halnya Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat Khitan juga
wajib bagi anak perempuan, adapun sebagian besar ulama seperti
mahzab Hanafi, Al-Maliky, Hambali berpendapat Khitan disyariatkan
dan disunnahkan bagi perempuan. Serta sebagaimana yang telah
disabdakan NabiyuAllah Muhammad SAW, dalam sebuah Hadist
riwayat al-Zuhri: “ Barang siapa yang masuk Islam, maka wajib
baginya berkhitan walaupun ia sudah dewasa.”

c. Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan: WHO membedakan alasan


pelaksanaan FGC menjadi 5 kelompok, yaitu:

1. Psikoseksual Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido


pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga
kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri,
dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga
pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan
meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami.

2. Sosiologi Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan


bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita dewasa, perekat sosial,
lebih terhormat.

3. Hygiene dan estetik Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak
bagus bentuknya, jadi sunat dilakukan untuk meningkatkan kebersihan
dan keindahan.

4. Mitos Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak.

5. Agama Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadah lebih diterima.

2.2 Status sosial dan dampaknya

2.2.1 Status Sosial

Kedudukan atau status berarti posisi atau tempat seseorang dalam sebuah
kelompok sosial. Makin tinggi kedudukan seseorang dalam sebuah kelompok
sosial. Makin tinggi kedudukan seseorang maka makin mudah pula dalam
memperoleh fasilitas yang diperlukan dan diinginkan. Kondisi Sosial Ekonomi
Menurut Conyers (1991: 5) kata sosial ekonomi mengandung pengertian sebagai
sesuatu yang non moneter sifatnya yang bertalian dengan kualitas kehidupan insani.
Sedangkan ekonomi dijelaskan sebagai lawan dari pengertian sosial yaitu dilibatkan
kaitannya dengan uang. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi berdasarkan
pengertian di atas merupakan suatu kondisi yang terkait secara moneter dan non
moneter. Kondisi sosial ekonomi keluarga didasarkan pada pendapatan keluarga,
tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang orang tua dan status sosial di dalam
masyarakat seperti, hubungan dengan masyarakat, asosiasi dalam kelompok
masyarakat, dan persepsi masyarakat atas keluarga. Sehingga derajat kesehatan
dapat dilihat dari status sosial keluarga mereka yaitu pendidikan, pendapatan, dan
pekerjaan.( Novitasari, F., & Fitriyah, N. 2019).

2.2.2 Dampak Status Sosial

Permasalahan yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah


gizi.Permasalahan gizi pada ibu hamil di Indonesia tidak terlepas dari faktor budaya
setempat. Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan
pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Kepercayaan bahwa ibu hamil
dan post partum pantang mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan kondisi
ibu post partum kehilangan zat gizi yang berkualitas. Sementara, kegiatan mereka
sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap
beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya
akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Kemiskinan masyarakat
akan berdampak pada penurunan pengetahuan dan informasi, dengan kondisi ini
keluarga, khususnya ibu akan mengalami resiko kekurangan gizi, menderita anemia
dan akan melahirkan bayi berat badan lahir rendah. Tidak heran kalau anemia dan
kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan.

Tingkat pengetahuan tentang anemia pada ibu hamil di daerah pedesaan masih
banyak yang termasuk kategori kurang. Ibu hamil yang mempunyai tingkat
pengetahuan kurang tentang anemia berarti pemahaman tentang pengertian anemia,
hal -hal yang menyebabkan anemia, tanda dan gejala anemia, hal-hal yang
diakibatkan apabila terjadi anemia, maupun tentang perilaku kesehatan untuk
mencegah terjadinya anemia menjadi kurang untuk dapat menghindari dari
terjadinya anemia kehamilan (Riny, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ayu Okta Riny (2014) yangmenyatakan bahwa di dapatkan nilai
signifikansinya sebesar 0,007. Karena nilai signifikansi < 0,05 dengan demikian
hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan
tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Asupan Fe.

Zat besi adalah mineral yang dibutuhkan untuk membentuk sel darah
merah(hemoglobin).Besi dapat diperoleh dengan mengonsumsi hati, daging merah,
sayuran hijau, wijen,kuning telur, serealia, dan sarden (Kristiyanasari,2010).

Nilai OR= 1,3. Yang artinya asupan Fe yang kurang 1,3 Kali lebih berisiko di
bandingkan asupan Fe yang cukup. Berkembangnya volume darah selama
kehamilan dan tuntutan dari janin yang sedang berkembang memposisikan ibu
hamil pada risiko lebih tinggi untuk kekurangan zat besi atau anemia. Sehingga
Asupan Fe ibu hamil dari makanan harus bertambah dan jika asupan Fe ibu
hamilkurang maka akan meningkatkan risiko kejadian anemia pada ibu hamil.
Penelitian ini sejalan denganpenelitian Indah Lisfi, Joserizal serudji, Husni kadir
(2017) yang menyatakan bahwa ada hubunganyang bermakna antara asupan Fe
dengan kejadian anemia dengan nilai P=0,008.

Permasalahan kesehatan ibu dan anak (KIA) hingga kini menjadi prioritas
program kesehatandi Indonesia. Besarnya masalah KIA terlihat dari angka
kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi(AKB) (Kesehatan, 2013). Data
ASEAN Milenium Development Goals (MDGs) menunjukkan AKIdi Indonesia
tahun 2015 mencapai 305 per 100 ribu (Astuti, 2016). Angka ini tiga kali lipat lebih
tinggi dari pada target MDGs Indonesia, yaitu 102 per 100 ribu (ASEAN
Secretariat, 2017). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
AKI tertinggi kedua di Asia Tenggara (World Health Organization, 2014).

Di Kabupaten Lebak pada tahun 2018 tercatat 497 kasus kematian ibu dan bayi
terdiri dari450 kematian bayi atau 19.7/1000 kelahiran hidup dan 47 kasus kematian
ibu atau 195/100.000 kelahiran hidup. Angka kematian tersebut mengalami
kenaikan dari tahun 2017 dimana hanya 477kasus kematian dengan rincian 437
kematian bayi atau 18.1/1000 kelahiran hidup dan 40 kasus kematian ibu atau
166/100.000 kelahiran hidup (Dinkes Kabupaten Lebak, 2018). Kondisi tersebut
menyebabkan Kabupaten Lebak menempati urutan ketiga kematian ibu di Provinsi
Banten (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lebak, 2017). Demikian juga pada
masyarakat Baduy pada tahun 2019 daribulan Januari hingga September telah
terjadi tiga kematian ibu melahirkan.

Upaya penurunan AKI dan AKB sudah dilakukan oleh Dinkes Kabupaten Lebak
sesuaidengan program kesehatan yang telah dicanangkan Pemerintah Pusat, namun
belum menghasilkan dampak yang nyata (Radar Banten, 2017). Salah satu
penyebab atas kondisi tersebut adalah faktorbudaya (Widodo, Amanah, Pandjaitan,
& Susanto, 2017). Budaya termasuk salah satu faktordeterminan yang berpengaruh
terhadap status kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi faktorpendukung
sekaligus penghambat bagi kesehatan masyarakat (Maharni, 2016). Budaya
berpengaruhterhadap perilaku kesehatan, sehingga dapat memberikan dampak baik,
namun tidak sedikit pula yang memberikan dampak kurang baik (Nurrachmawati &
Anggraeni, 2010).

Hasil riset etnografi menggambarkan bahwa masyarakat Baduy merupakan


masyarakat yangsangat patuh dan taat dalam melaksanakan budaya dan ritual dalam
masa kehamilan dan persalinansecara turun temurun. Salah satu ritual pada masa
kehamilan yaitu tradisi ngaragap beuteung denganmemijat bagian perut yang
disertai dengan jampi-jampi untuk meminta keselamatan ibu dan janin.Sedangkan
budaya persalinan yang dilakukan yaitu persalinan yang dilakukan sendiri tanpa
penolongbaik oleh dukun paraji maupun tenaga medis (Ipa, Prasetyo, Arifin, &
Kasnodihardjo, 2014). Budayapada masa kehamilan dan persalinan tersebut dapat
memberikan dampak pada kesehatan ibu dan bayidi masyarakat Baduy.

Penelitian ini dibatasi pada Masyarakat Etnik Baduy Luar dengan menggali
lebih mendalambudaya kehamilan dan persalinan untuk menyingkap aspek soasial
budaya terhadap kematian ibumelahirkan. Hasil pendalaman tersebut untuk
menentukan upaya intervensi kesehatan berbasis budayadalam membantu
menurunkan AKI dan AKB di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

2.3 Etnik

Terdapat berbagai macam tradisi yang sering ditemui dimasyarakat termasuk


Tradisi dalam bidang kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan persiapan
persalinan.
2.3.1 Praktik Budaya

Budaya kesederhanaan yang dipertahankan dan dijalani ini mempengaruhi


semua aspek kehidupan masyarakat Baduy Dalam, termasuk kesehatan.
Sebenarnya tidak ada larangan bagi masyarakat Baduy Dalam untuk mengobati
penyakit secara modern. Namun pikukuh yang dipegang teguh menurut para
informan yang mengungkapkan bahwa pengobatan di Kampung Tangtu cukup
berobat ke dukun yang ada di kampung mereka secara tradisional saja. Bagi
mereka, mengakses fasilitas pelayanan kesehatan merupakan alternatif paling
akhir, meskipun seringkali tidak dipilih. Pemilihan penolong persalinan ke dukun
juga dilakukan oleh Suku Bugis, hasil penelitian mengungkap bahwa ibu hamil
masih mengakses dukun namun hanya terkait ritual yang harus dilewati selama
masa kehamilan misalnya dalam masa perkembangan janin trimester ketiga,
dilakukan ritual yang disebut ma’cera wettang.

Ritual ini merupakan budaya masyarakat Bugis dalam kehamilan yang


dilaksanakan pada bulan ke tujuh kehamilan, masa anggota tubuh janin telah
lengkap. Ritual ini dipercaya dapat menjadikan posisi janin sempurna, persalinan
lancar dan tidak ada gangguan dari makhluk-makhluk halus. Selain itu ibu hamil
melakukan pemijatan terhadap perutnya ke paraji (dukun beranak) yang disebut
ritual ngaragap beuteung dengan tujuan proses persalinan berjalan lancar. Prosesi
pemijatan menjadi baik bagi kondisi ibu hamil apabila cara pemijatan dilakukan
dengan benar. Namun akan berbeda dampaknya apabila cara pemijatan dilakukan
dengan penuh tekanan yang dapat mengganggu janin. Tindakan mengurut perut
ibu hamil, terutama pada masa trimester tiga, tidak dibenarkan dalam praktik
kedokteran/kebidanan yang aman. Indikasi pengurutan hanyalah bila posisi bayi
sungsang, itupun harus dilakukan dengan manuver khusus dan dipantau oleh
dokter spesialis kebidanan.

Prosesi pemijitan dilakukan juga pada Suku Bugis, namun hasil riset Hesty, et
al13 menunjukkan tidak semua ritual adat dilakukan sebagaimana yang
diungkapkan informan bahwa perawatan kehamilan yang dianggap berbahaya
bagi kehamilan seperti mengurut diyakini dapat membahayakan tali pusat. Pada
masa kehamilan perilaku yang dapat memberikan risiko buruk pada ibu hamil
diantaranya adalah tetap melakukan aktivitas sehari-hari sama seperti sebelum
hamil yang termasuk aktivitas berat. Seperti tetap pergi ke huma (ladang) dengan
jarak tempuh yang tidak dekat dan medan naik turun cukup curam dan licin.
Sejalan dengan masyarakat Suku Dayak Sanggau bahwa selama hamil ibu harus
tetap beraktifitas rutin. sebagian besar bekerja sebagai petani dengan ibu rumah
tangga melakukan pekerjaan tersebut mendampingi suami. Porsi pekerjaan wanita
di ladang lebih berat daripada pria. Pada saat proses persalinan, ibu melahirkan
dilakukan secara mandiri tanpa pendampingan atau penolong persalinan.

Kemandirian dalam persalinan berlaku pula pada Suku Ngalum di Oksibil,


Suku Towe di Kabupaten Jayapura dan Suku Muyu di Boven Digoel, masyarakat
suku tersebut mengucilkan perempuan yang sedang bersalin pada pondokan kecil
yang mereka sebut sebagai Sukam dan Bivak. Pemilihan tempat prosesi persalinan
sangat situasional, tergantung keberadaan ibu ketika hendak melahirkan bisa di
rumah atau di saung (rumah dekat huma). Demikian pula masyarakat India di
daerah Punjab, terlepas sebagai salah satu daerah paling makmur dan
berpendidikan di India, namun persalinan di rumah dan tidak aman masih banyak
terjadi. Punjab wilayah pedesaan menunjukkan secara signifikan persalinan di
rumah dan tidak aman banyak ditemui pada perempuan berumur dan kurang
berpendidikan.

Hal ini terkait dengan faktor keyakinan psikososial dan budaya umum desa.
Suku Dayak Sanggau memilih tempat persalinan di rumah tempat tinggal(kamar
tidur atau dapur) karena pertimbangan merasa lebih familiar dan tidak perlu repot
membawa ibu keluar dari rumah. Masyarakat di Jayapura dan Puncak jaya
melaksanakan persalinan di rumah agar tidak susah membawa keluar rumah dan
lebih banyak keluarga yang bisa membantu. Hal ini juga sejalan dengan penelitian
tentang konsep tata ruang bersih dan kotor pada suku kerinci, kelahiran dianggap
sebagi proses yang kotor maka proses tersebut harus dilakukan di ruang kotor
yaitu dapur. Bagaimanapun, pemilihan dapur sebagai tempat persalinan akan
meningkatkan resiko infeksi nifas dan infeksi pada bayi.

Prosesi melahirkan Etnik Baduy Dalam dilakukan dengan posisi ibu duduk
bersandar dengan posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti posisi jongkok.
Berdasarkan hasil penelitian Iskandar menunjukkan tindakan/praktik yang
membawa resiko infeksi seperti "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan
posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat
menyebabkan perdarahan dan pembengkakan). Kendala lain adalah faktor usia
pertama kali hamil dan melahirkan. Rata-rata usia menikah perempuan Etnik
Baduy Dalam berada pada rentang usia remaja. Usia remaja termasuk usia yang
masih belum siap secara fisik bahkan mental. Dari sisi kesehatan usia di bawah 20
tahun rentan untuk terjadinya komplikasi saat persalinan.

Pada umur tersebut rahim dan panggul ibu belum berkembang dengan baik
hingga perlu diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang sulit dan
keracunan kehamilan atau gangguan lain kerena ketidaksiapan ibu untuk
menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Selama masa nifas ibu
tidak tidak menggunakan pembalut, bahkan dalam aturan adat perempuan Baduy
Dalam tidak diperkenankan menggunakan pakaian dalam. Sehingga darah nifas
yang keluar hanya dibersihkan saja menggunakan kain samping yang
dikenakannya. Kain samping yang digunakan sebagai media menyeka darah nifas
berisiko terhadap kesehatan alat reproduksi mengingat kontaminasi agent baik
bakteri atau parasit yang mengakibatkan infeksi. Pemotongan ari-ari bayi masih
sangat sederhana dengan menggunakan hinis atausembilu yang berasal dari
bambu yang berada di atas pintu rumah.

Hal tersebut merupakan bagian dari ritual adat, tentunya secara medis
penggunaan sembilu tanpa sterilisasi dapat menimbulkan infeksi pada bayi yang
yang baru dilahirkan. pemotongan tali pusat dilakukan setelah placenta lahir,
pemotongan dilakukan dengan menggunakan sembilu hal tersebut sejalan dengan
penelitian Giay18 alat pemotongan tali pusat pada masyarakat di Jayapura dan
Puncak Jaya adalah bambu, silet bekas, gunting steril, silet yang direbus dengan
kulit gaba-gaba. Pikukuh prosesi persalinan masyarakat Baduy Dalam diyakini
bahwa prosesi persalinan adalah tanggung jawab paraji. Itupun kehadiran paraji
merawat ibu dan bayi setelah prosesi melahirkan sudah terjadi. Suami ataupun
keluarga tidak memiliki hak untuk turut campur selama prosesi dan pasca
persalinan. Kompleksitas masalah selama prosesi persalinan memerlukan
penanganan yang cepat, tepat dan ditangani oleh orang yang ahli. Pikukuh
persalinan yang dijalani oleh perempuan Baduy Dalam berisiko menyebabkan
kejadian kasus kematian baik pada ibu dan bayi yang dilahirkan terkait
kompleksitas permasalahan yang mungkin terjadi selama prosesi persalinan.
( Khasanah, N. 2011).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah


masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut
yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada
ibu dukun. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun
beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-
praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu, seperti "ngolesi"
(membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok"
(memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau
"nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke
depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).

Gellius mengidentikkan humanitas dengan konsep Yunani paideia, yaitu pendidikan


(humaniora) yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi manusia dan
warga negara bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut dikembangkan menjad
iprogram pendidikan dasariah. Menurut bahasa latin, humaniora disebut artes liberales
yaitu studi tentang kemanusiaan. Sedangkan menurut pendidikan Yunani Kuno,
humaniora disebut dengan trivium, yaitu logika, retorika dan gramatika. Pada
hakikatnya humaniora adalah ilmu-ilmu yang bersentuhan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang mencakup etika, logika, estetika, pendidikan pancasila, pendidikan
kewarganegaraan, agama dan fenomenologi.

Pada umur tersebut rahim dan panggul ibu belum berkembang dengan baik hingga
perlu diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang sulit dan keracunan
kehamilan atau gangguan lain kerena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan
tanggung jawabnya sebagai orang tua. Selama masa nifas ibu tidak tidak menggunakan
pembalut, bahkan dalam aturan adat perempuan Baduy Dalam tidak diperkenankan
menggunakan pakaian dalam. Sehingga darah nifas yang keluar hanya dibersihkan saja
menggunakan kain samping yang dikenakannya. Kain samping yang digunakan sebagai
media menyeka darah nifas berisiko terhadap kesehatan alat reproduksi mengingat
kontaminasi agent baik bakteri atau parasit yang mengakibatkan infeksi. Pemotongan
ari-ari bayi masih sangat sederhana dengan menggunakan hinis atausembilu yang
berasal dari bambu yang berada di atas pintu rumah.

Hal tersebut merupakan bagian dari ritual adat, tentunya secara medis penggunaan
sembilu tanpa sterilisasi dapat menimbulkan infeksi pada bayi yang yang baru
dilahirkan. pemotongan tali pusat dilakukan setelah placenta lahir, pemotongan
dilakukan dengan menggunakan sembilu hal tersebut sejalan dengan penelitian Giay18
alat pemotongan tali pusat pada masyarakat di Jayapura dan Puncak Jaya adalah bambu,
silet bekas, gunting steril, silet yang direbus dengan kulit gaba-gaba. Pikukuh prosesi
persalinan masyarakat Baduy Dalam diyakini bahwa prosesi persalinan adalah tanggung
jawab paraji. Itupun kehadiran paraji merawat ibu dan bayi setelah prosesi melahirkan
sudah terjadi. Suami ataupun keluarga tidak memiliki hak untuk turut campur selama
prosesi dan pasca persalinan. Kompleksitas masalah selama prosesi persalinan
memerlukan penanganan yang cepat, tepat dan ditangani oleh orang yang ahli. Pikukuh
persalinan yang dijalani oleh perempuan Baduy Dalam berisiko menyebabkan kejadian
kasus kematian baik pada ibu dan bayi yang dilahirkan terkait kompleksitas
permasalahan yang mungkin terjadi selama prosesi persalinan.( Khasanah, N. 2011).

3.2 Saran

Kami merasa pada makalah ini kami banyak kekurangan, karena kurangnya
referensi dan pengetahuan pada saat pembuatan makalah ini, kami sebagai penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun pada pembaca agar kami dapat
membuat makalah yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, S., Ansyar, D. I., & Satrianegara, M. F. (2020). Eating pattern and educational
history in women of childbearing age. Al-Sihah: The Public Health Science Journal, 12(1),
81-91.

Kartikowati, S., & Hidir, A. (2014). Sistem kepercayaan di kalangan ibu hamil dalam
masyarakat melayu. Jurnal Parallela, 1(2), 159-167.

Syarfaini, S., Alam, S., Aeni, S., Habibi, H., & Novianti, N. A. (2020). Faktor Risiko
Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Raya Kota
Makassar. Al-sihah: The Public Health Science Journal, 11(2).

Masrizal, M. (2018). Kekuatan Modal Sosial dan Keberhasilan Gerakan Sayang Ibu
(Belajar dari Pengalaman Gampong Tibang–Kota Banda Aceh Dalam Mengupayakan
Persalinan Aman Bagi Ibu Hamil). Community: Pengawas Dinamika Sosial, 2(2).

Rofi'ah, S. Z., Husain, F., & Arsi, A. A. (2017). A Perilaku Kesehatan Ibu Hamil Dalam
Pemilihan Makanan Di Kecamatan Pucakwangi Kabupaten Pati. Solidarity: Journal of
Education, Society and Culture, 6(2), 109-121.

Khasanah, N. (2011). Dampak Persepsi Budaya terhadap Kesehatan Reproduksi Ibu dan
Anak di Indonesia. Muwazah,[e-journal], 3(2), 487-492.

Kartika, V., & Agustiya, R. I. (2019). Budaya Kehamilan Dan Persalinan Pada Masyarakat
Baduy, Di Kabupaten Lebak, Tahun 2018. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 22(3),
192-199.

Novitasari, F., & Fitriyah, N. (2019). Aspek Sosial Budaya dan Pengetahuan Ibu Hamil
Tentang Mitos Terkait Kehamilan di Desa Mojosarirejo, Kecamatan Driyorejo, Kabupaten
Gresik. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 8(1), 83-92.
Juariah, J. (2018). Kepercayaan dan praktik budaya pada masa kehamilan masyarakat desa
karangsari, kabupaten garut. Sosiohumaniora, 20(2), 162-167. Batubara, R. R. Pertolongan
Persalinan Ma’blien pada Masyarakat Desa Sawang Kecamatan Samudera Aceh Utara.
Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural
Anthropology), 1(2).

Alam, S., & Karini, T. A. (2020). Islamic Parenting" Pola Asuh Anak: Tinjauan Perspektif
Gizi Masyarakat".`

Anda mungkin juga menyukai