Anda di halaman 1dari 4

NAMA : YUNIA ROHMAWATI ASSA’ADAH

NIM : 151910383017

Monitoring Pasien Setelah Pemeriksaan Kedokteran Nuklir

Kedokteran Nuklir merupakan suatu spesialis kedokteran yang menggunakan energi


radiasi terbuka dari inti nuklir untuk menilai fungsi suatu organ, mendiagnosis dan mengobati
penyakit. Terdapat 3 macam pemeriksaan kedokteran nuklir yakni, pertama kedokteran nuklir
diagnostic in vivo yang merupakan metode kedokteran menggunakan radiofarmaka yang
dimasukkan ke dalam tubuh pasien untuk tujuan diagnostik. Kedua, kedokteran nuklir in vitro
yang merupakan metode kedokteran menggunakan radiofarmaka di luar tubuh pasien untuk
tujuan diagnosis melalui pemeriksaan spesimen biologis pasien. Ketiga, kedokteran nuklir
terapi yang merupakan metode kedokteran menggunakan radiofarmaka dimasukkan ke dalam
tubuh pasien untuk tujuan terapt (Badan & Tenaga, 2012).

Pada prosedur diagnostik di Kedokteran Nuklir, sinar gamma digunakan karena


memiliki jarak penetrasi ruang panjang, sehingga dapat menembus jaringan tubuh manusia
yang akan direkam distribusinya di dalam tubuh dengan menggunakan kamera yang disebut
kamera gamma. Alat kamera gamma tidak menghasilkan radiasi, tetapi yang memancarkan
radiasi adalah pasien itu sendiri yang berasal dari obat yang diberikan. Obat radioaktif yang
digunakan adalah dengan dosis radioaktivitas yang sangat rendah untuk mendapatkan tingkat
akrasi yang tinggi atau yang disebut ALARA (As Low As Achievable)

Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis


berbagai penyakit. Seperti pada penyakit jantung dapat dilakukan pemeriksaan Sidik Perfusi
Miokard (SPM) untuk mengetahui gangguan aliran darah otot jantung yang membantu dalam
penegakkan penyakit jantung koroner dan infark miokard. Juga pemeriksaan Multigated Heart
Blood Pool Scan (MUGA) guna menilai fraksi ejeksi ventrikel kiri jantung. Sidik Kelenjar
Gondok (SKG) dan Uji Uptake Tiroid untuk mengetahui fungsi dan kelainan / patologis
kelenjar gondok/tiroid. Mengevaluasi fungsi ekskresi (filtrasi), reabsorbsi serta eksresi ginjal
menggunakan Pemeriksaan Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) dan Pemeriksaan Renografi. Ada
pula Pemeriksaan Sidik Tulang (Bone Scan) yang dapat memperlihatkan metastase
(penyebaran) kanker pada tulang serta dapat mengidentifikasi kelainan yang terjadi pada
tulang-tulang di tubuh, dan masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan
penerapan teknologi kedokteran nuklir yang pada saat ini berkembang pesat. Kurang lebih
terdapat 35 jenis pelayanan diagnostik rawat jalan.

Untuk mengawasi pemanfaatan tenaga nuklir (termasuk pengawasan penggunaan


sumber radiasi di Kedokteran Nuklir) telah diatur dalam Undang‐Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, oleh karena sifat tenaga nuklir selain dapat
memberikan manfaat juga dapat menimbulkan bahaya radiasi sehingga setiap kegiatan yang
berkaitan dengan tenaga nuklir harus diawasi dan diatur oleh Pemerintah (Rosilawati et al.,
2018).

Pengawasan pasien dilakukan juga setelah pemeriksaan kedokteran nuklir yang


bertujuan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan walaupun setelah pemeriksaan berakhir.
Pengawasan atau monitoring pasien setelah pemeriksaan dan diperbolehkan pulang ke rumah
dilakukan dengan cara tetap menjaga jarak dengan orang sekitar, memakai masker saat
berbicara dengan orang sekitar agar tidak ada kontaminasi melalui air liur pasien, untuk ibu
menyusui tidak diperbolehkan untuk menyusui terlebih dahulu karena pada air susu ibu bisa
saja masih mengandung radiofarmaka, dan selalu melaporkan kepada dokter atau perawat jika
terjadi suatu hal yang tidak biasa.

Monitoring pasien kedokteran nuklir sangat wajib di lakukan karena mengingat bahaya
radiasi dari radiofarmaka yang berada di tubuh pasien sangat berbahaya bagi pasien dan orang
sekitar. Pasien di perbolehkan meninggalkan rumah sakit atau ruang pemeriksaan saat waktu
paruh radiofarmaka telah habis. Batasan waktu ini memberikan kesesuaian antara kenginan
meminimalkan dosis yang diterima pasien dan memaksimalkan dosis yang diinjeksikan agar
statistik pencacahan dan kualitas citra memberikan hasil yang optimal. Radiofarmaka harus
bisa dikeluarkan dari tubuh secara kuantitatif dalam beberapa menit setelah diagnosa selesai.
Kebanyakan radiofarmaka menunjukkan pola “clearance” eksponensial sehingga waktu paruh
efektifnya cukup panjang (dalam hitungan jam atau hari bukan detik atau menit) (Rekso, n.d.).

Penggunaan Radiofarmaka melalui tehnik Kedokteran Nuklir dapat digunakan untuk


tujuan diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran untuk mempelajari perubahan fisiologi dan
biokimia (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2019). Penggunaan radiofarmaka di
kedokteran nuklir memerlukan pengawasan. Selain memberikan keuntungan bagi kesehatan
dapat pula memberikan dampak kepada pasien, petugas radiasi dan lingkungan sekitarnya
sebagai akibat paparan radiasi radiofarmaka tersebut. Pemerintah berdasarkan Undang‐
Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, mengawasi
seluruh pemanfaatan tenaga nuklir termasuk penggunaan radiofarmaka yang digunakan di
kedokteran nuklir. Pengawasan dilakukan dengan cara pembentukan peraturan, perizinan dan
pelaksanaan inspeksi, sehingga dapat memberi perlindungan hukum bagi para pekerja radiasi,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Namun demikian baik Undang‐Undang
Ketenaganukliran maupun peraturan‐ peraturan pelaksananya tidak mengatur secara spesifik
mengenai persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan penggunaan radiofarmaka, produksi
dan peredaran radiofarmaka (Rosilawati et al., 2018).

Dari setiap pemeriksaan kedokteran nuklir melakukan monitoring pasien sampai benar-
benar tidak ada efek samping atau gejala apapun setelah pemeriksaan adalah hal yang harus
dilakukan dari pihak rumah sakit. Dengan melakukan monitoring yang benar maka mutu
pelayanan rumah sakit pun dapat di akui sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA

Badan, K., & Tenaga, P. (2012). jdih.bapeten.go.id.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 008/MENKES/SK/I/2009 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran
Nuklir di Sarana Pelayanan Kesehatan. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 220.

Rekso, D. I. G. T. (n.d.). Radiofarmaka=kuliah ke 10.

Rosilawati, N. E., Nasution, I., & Murni, T. W. (2018). Penggunaan Radiofarmaka Untuk
Diagnosa Dan Terapi Di Indonesia Dan Asas Keamanan Penggunaan Obat. Soepra, 3(1),
60. https://doi.org/10.24167/shk.v3i1.697

Anda mungkin juga menyukai