Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Syarat Perjanjian
Pasal 1313 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
mengartikan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lbih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Henry Campbel, 1968 menuliskan
definisi kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement)
diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau
menghilangkan hubungan hukum.
Secara umum, kontrak atau perjanjian adalah suatu keadaan dimana kedua belah
pihak atau lebih melakukan perjanjian yang bentuknya tertulis untuk dilaksanakan
Bersama pada suatu kegiatan. Kontrak bisnis dibuat dibawah tangan dimana para pihak
menandatangani sebuah kontrak bisnis diatas materai. Kontrak ttidak tertulis / lisan :
a. Bukti tulisan
b. Bukti dengan saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Pasal 1320 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
disebutkan bahwa, suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi empat syarat, yaitu :
a. Kesepakatan
Kesepakatan antara beberapa pihak yang mengikatkan dirinya pada suatu
kontrak tertentu (Pasal 1321 – 1328 KUHPerdata). Supaya perjanjian menjadi sah
maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat didalam perjanjian
memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa
yang disepakati.
b. Kecakapan
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian, yakni :
 Orang yang belum dewasa (dibawah 21 tahun, kecuali yang ditentukan lain)
 Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele or conservatorship), dan
 Perempuan yang sudah menikah.
c. Hal tertentu
Suatu pokok persoalan tertentu artinya sifat dan luas obyek dalam kontrak
dapat ditentukan (Pasal 1332 – 1334 KUHPerdata). Pasal 1333 KUHPerdata
menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok sutau benda yang
paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek
tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of
terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah
pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentuka
jenisnya (determinable).
d. Sebab yang tidak Terlarang
Artinya klausa dalam kontrak tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan
dan peraturan yang berlaku (Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata). Syarat sahnya
perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam
perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,
maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk
membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak
sah.
2.2 Macam – Macam Asas Perjanjian
A. Asas Kebebasan Berkontrak
Dikenal dengan istilah ‘partij otonimie’ atau ‘freedom of contract’ atau
‘liberty of contract’, yaitu konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum
mengatur. Pada dasarnya asas ini bersifat universal dikarenakan digunakan disemua
negara pada umumnya. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang menekankan
bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau
tidak membuat kontrak, begitu juga dengan kebebasannya untuk mengatur sendiri isi
kontrak tersebut. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak orang dapat
menciptakan perjanjian-perjanjian baru menyimpang dari apa yang tidak diatur oleh
undang-undang, tetapi tidak boleh bertentangan dengan apa yang dilarang oleh
undang-undang. Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata mengakui asas kebebasan
berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah
mengikat para pihak sebagai undang-undang.
B. Asas Konsensualitas
Perjanjian harus didasarkan pada consensus atau kesepakatan dari pihak-pihak
yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah
lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak di antara pihak mengenai hal-
hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Berdasarkan asas
konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah
bertemunya kehendak (convergence of wills) atau consensus para pihak yang
membuat kontrak. Asas konsensualitas artinya jika suatu kontrak telah dibuat, maka
kontrak tersebut telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan pada prinsipnya
persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum.
C. Asas Personalitas
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315
KUHPerdata berbunyi “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Sedangkan dalam Pasal
1340 KUHPerdata berbunyi, “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.”
D. Asas Itikad Baik
Yaitu suatu kontrak yang dibuat dan disepakati oleh para pihak harus didasari
dengan adanya iktikad baik, baik sebelum kontrak dibuat, pada saat kontrak dibuat
hingga pada saat berlakunya kontrak. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 dalam
KUHPerdata yang isinya, adalah “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik Kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
E. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas janji yang mengikat (pacta sunt servanda) yaitu suatu kontrak yang
dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai
isi kontrak. Bahwa “Setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para
pihak yang melakukan perjanjian”. Asas ini menjadi dasar hukum internasional
karena termaktub dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa
“every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by
them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
F. Asas Force Majeur
Fuady (2016), mengartikan force majeure adalah suatu keadaan memaksa
dimana pihak debitor dalam suatu kontrak terhalang untuk melakukan kewajiban
(prestasinya), karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya
kontrak tersebut, keadaan atau peristiwa dimana tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debitor, sementara debitor dalam keadaan itikad baik. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa suatu force majeure dari suatu kontrak terdiri dari : Pertama, karena sebab-
sebab yang tidak terduga. Kedua, karena keadaan memaksa. Ketiga, perbuatan
tersebut dilarang.
G. Asas Exceptio non Adempleti Contractus
Asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur supaya dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian dengan alasan
bahwa krediturpun melakukan kelalaian dalam perjanjian tersebut.
2.3 Prestasi dan Wanprestasi
Prestasi (performance) dalam suatu kontrak adalah melakukan atau melaksanakan
secara keseluruhan isi dari kontrak yang telah disepakati. Segala sesuatu yang
dilaksanakan tersebut, didasarkan kepada niat baik dari masing-masing pihak yang
bersepakat untuk menjalankannya. Hal ini berarti masing-masing pihak memiliki
integritas, yaitu sesuai dengan apa yang ditulis (disepakati) dengan yang dilaksanakan.
Bentuk dari suatu prestasi pada kontrak adalah Pertama, melakukan sesuatu. Kedua,
tidak melakukan sesuatu. Ketiga, memberikan atau menawarkan sesuatu.
Wanprestasi (ingkar janji) dalam suatu kontrak adalah salah satu atau semua
pihak yang terikat dalam suatu kontrak tidak melakukan sesuatu kewajiban atau prestasi
sesuai yang tertulis dalam kontrak yang telah disepakati Bersama. Akibat dari tidak
dipenuhinya atau tidak dilakukannya kewajiban tersebut, akan merugikan hak dari salah
satu pihak yang telah bersepakat tersebut. Secara umum, bentuk dari suatu wanprestasi
(ingkar janji) dalam suatu kontrak adalah : Pertama, wanprestasi karena tidak
melakukan kewajiban sesuai kontrak. Kedua, wanprestasi karena telat melakukan
kewajiban sesuai isi kontrak. Ketiga, wanprestasi karena tidak sepenuhnya melakukan
kewajiban sesuai isi kontrak. Keempat, wanprestasi karena keliru atau lalai memenuhi
kewajibannya.
2.4 Risiko dan Overmacht
Resiko adalah kewajiban untuk menanggung atau memikul kerugian sebagai
akibat dari suatu peristiwa atau kejadian di luar kesalahan para pihak yang menimpa
objek perjanjian. Resiko berpangkal pada suatu kejadian yang dalam hukum perjanjian
disebut overmacht atau keadaan memaksa. Ketentuan tentang resiko perjanjian
diantaranya Pasal 1237 KUHPerdata yang berbunyi : “Dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan
dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.” Sehubungan dengan persoalan
resiko ini perlu dibedakan resiko pada persetujuan sepihak dan resiko pada persetujuan
timbal balik. Berikut beberapa resiko perjanjian ; Pertama, resiko pada persetujuan
sepihak, Kedua, resiko pada persetujuan timbal balik.
Istilah keadaan memaksa berasal dari Bahasa Inggris, yaitu force majeure,
sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Overmacht adalah suatu
kejadian yang ‘memaksa’ overmacht menjadi landasan hukum yang ‘memaafkan’
kesalahan seorang debitur. Peristiwa overmacht ‘mencegah’ debitur menanggung akibat
dan resiko perjanjian. Kerugian terjadi semata-mata oleh keadaan atau peristiwa diluar
kemampuan perhitungan debitur, maka keadaan atau peristiwa tadi menjadi dasar
hukum yang melepaskan debitur dari kewajiban mengganti kerugian. Dengan kata lain,
‘debitur bebas/lepas dari kewajiban membayar ganti rugi, apabila dia berada dalam
keadaan ‘overmacht’ dan ovemacht itu menghalangi/merintangi debitur melaksanakan
pemenuhan prestasi.

Anda mungkin juga menyukai