Kejadian
Penyelidikan Penyidikan
Hukum
Pengawasan
Upaya Hukum Eksekusi dan
Pengamatan
Pembacaan Surat
Keberatan/Eksepsi Tanggapan Eksepsi
Dakwaan
Requisitoor/
Pembuktian Putusan Sela
Tuntutan Hukum
Pledooi/
Pembelaan
Replik - Duplik Putusan
1. Macam Acara Pemeriksaan
a. Acara Pemeriksaan Biasa
b. Acara Pemeriksaan Singkat
c. Acara Pemeriksaan Cepat:
- Roll (pelanggaran LL)
- Tipiring /Penghinaan Ringan
2. Dasar Acara Pemeriksaan
- Pemeriksaan dibedakan berdasarkan:
a. Macam tindak pidana (Ps. 205)
b. Berat/jenis hukuman
c. Pembuktiannya (sederhana/sulit)
d. Alat buktinya, dll
3. Category
- Type of offense:
a. Contravention = Cepat. u/Tilang, Pelanggaran
b. Delits = Singkat, u/Tipiring
c. Crimes = TP Pidana berat (Pembunuhan, Korupsi, Teroris, dll).
4. Prinsip pemeriksaan persidangan
- Terbuka untuk Umum
- Hadirnya Terdakwa
- Ketua Sidang Memimpin Pemeriksaan
- Langsung dan Lisan
- Pemeriksaan Secara
- Bebas
- Lebih dulu Mendengar
- Keterangan Saksi
5. Acara Pemeriksaan Biasa
- Semua Siap di R. Sidang kec. MH
- MH Masuk dan membuka sidang
- PU memanggil Terdakwa masuk
- Identitas Terdakwa
- Pembacaan SD
- Menanyakan Tdw sudah mengerti/tidak isi SD
- Hak mengajukan Eksepsi (jika ada)
6. Eksepsi
- Pasal 156 KUHAP (KEBERATAN)
a. Kewenangan : absolut atau relatif
b. Dakwaan tidak dapat diterima (Pasal 143 ayat 2a KUHAP)
c. Dakwaan batal demi hukum/harus dibatalkan (Pasal 143 2b KUHAP)
- Sistematika Surat Keberatan:
a. Pendahuluan
b. Opening Statement
c. Posita
d. Petitum
- Macam eksepsi
a. E. Obscuur Libelli: syarat Materiil
b. E. Error in Persona: Syarat Formil
c. E. Premptoir: Gugurnya hak menuntut
d. E. Litispendentia: Kompetensi
e. E. Terkait Delik Aduan
f. E. Bukan TP
g. E. Penerapan perUU tidak tepat
h. E. Primateur
- Tanggapan JPU atas Keberatan
a. Pengadilan Berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara
b. Dakwaan telah dibuat sesuai dengan syarat formill dan materiil
sebagaimana dimaksud pasal 143 KUHAP
7. Putusan Sela
- Isi Putusan sela
a. Eksepsi diterima: tidak ada tahap pembuktian
b. Eksepsi tidak diterima: lanjut pembuktian
c. Eksepsi ditolak: lanjut pembuktian
- Putusan sela
a. Diputus setelah JPU memberikan tanggapan
b. Diputus bersama-sama dengan putusan akhir
c. Pengadilan berwenang/tidak berwenang, dakwaan sesuai dengan ketentuan
pasal 143 atau tidak dapat diterima atau dibatalkan atau batal demi hukum
d. Pemeriksaan dilanjutkan
e. Dilakukan di Pengadilan/Peradilan lain
f. Berkas dikembalikan untuk memperbaiki dakwaan
8. Perlawanan/verzet
- Ke Pengadilan Tinggi
- JPU memperbaiki dakwaan atau dakwaan sudah tepat
- PH tidak sependapat persidangan dilanjutkan
9. Sidang Pembuktian
Pemeriksaan Pemeriksaan Silang Tanggapan/
SAKSI (+ Brg oleh Hakim, JPU, Pertanyaan
Bukti) Art.160 PH. Terdakwa
Dinyatakan
Pemeriksaan AB Pemeriksaan AB
SURAT Ket. Terdakwa Ditutup oleh
Hakim
10. Tuntutan/Requisitor
a. Closing statement
b. Sistematika
- Pendahuluan
- Opening Statement
- Fakta Persidangan
- Analisa Fakta
- Analisa Yuridis
- Kesimpulan
- Permohonan
11. Pembelaan/Pledoi
- Sistematika Pembelaan: Pendahuluan, Fakta persidangan, Analisa fakta,
Analisa Yuridis, Permohonan: bebas atau lepas dari segala tuntutan, clemency
- Dasar pembenar dan dasar pemaaf
- Error in persona
- Ne bis in idem
- Asas legalitas/ Retroaktivitas
- Asas oportunitas
- Verjaring
- Kualifikasi delik dan inti delik
- Samenloop dan deelneming
- Concursus realis dan idealis
12. Putusan
- Analisa fakta/yuridis, pertimbangan, putusan: pidana, bebas atau lepas
13. Acara Pemeriksaan Singkat
- Pasal 203 (1): di luar 205, pembuktian mudah dan sederhana
- Penuntut umum tidak membuat surat dakwaan (Pasal 203 ayat (3)a KUHAP).
- Hakim dapat meminta penuntut umum membuat pemeriksaan tambahan (Pasal
203 ayat (3) b KUHAP).
- Putusan dicatat dalam berita acara sidang (Pasal 203 ayat ayat (3) KUHAP)
- Hakim membuat surat yang memuat amar putusan tersebut (Pasal 203 ayat (3)
e KUHAP).
- Majelis Hakim
- Upaya Hukum Biasa
- Hakim dapat meminta penuntut umum membuat pemeriksaan tambahan (Pasal
203 ayat (3) b KUHAP).
- Saksi Mengucap Sumpah
14. Acara Pemeriksaan Cepat/Roll
- Pasal 205: Tipiring maks pidana 3 bulan dan atau denda maks Rp.7.500,- dan
penghinaan ringan
- Dibagi 2:
a. Acr Pemeriksaan Tipiring
b. Acr Pemeriksaan Pelanggaran LL
- Tipiring: Penyidik a/ Kuasa PU langsung menghadapkan semuanya ke
Pengadilan (Pasal 205 ayat (2) KUHAP).
- hakim tunggal
- Kec dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, tdw Br dpt banding (Pasal
205 ayat (3) KUHAP).
- Pasal 208 KUHAP, saksi tidak mengucapkan sumpah /janji kec hakim
menganggap perlu.
- Putusan dicatat dalam daftar Perkara
- Berita acara pemeriksaan sidang tidak dibuat (Pasal 209 KUHAP).
15. Acara Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas
- hakim tunggal;
- tidak diperlukan berita acara pemeriksaan (Pasal 212 KUHAP).
- Terdakwa dapat diwakili (Pasal 211 KUHAP).
- Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya (verstek
atau putusan in absentia). Pasal 214 ayat (1) KUHAP.
- Dalam hal putusan berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat
mengajukan perlawanan (Pasal 214 ayat (4) KUHAP).
- Perlawanan dalam waktu 7 hari sesudah putusan diberitahukan secara sah
kepada terdakwa, kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu (Pasal 214
ayat (5) KUHAP).
- Putusan setelah perlawanan tetap berupa pidana (perampasan kemerdekaan
terdakwa), terdakwa dapat banding. (Pasal 214 ayat 8).
Lecture 2: Hak Tersangka dan Terdakwa
• Antara lain:
Bantuan Hukum
Within Sight But Not Within Hearing (Pasal 71 ayat (1) dan Pasal 115 ayat (2))
Dilakukan dalam perkara tindak pidana yang menyangkut keamanan negara Contohnya:
kasus terorisme.
Within Sight and Within Hearing (Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 115 ayat (1))
Ganti Kerugian
Ganti Kerugian: adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini; (Pasal 1 angka 22 KUHAP)
Dasar hukum: Pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2004, Pasal
95-Pasal 96 KUHAP, PP No. 27 Tahun 1983, PP No. 92 Tahun 2015
Para pihak: Tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya.
Gugatan ganti kerugian dapat dilakukan melalui:
a. Gugatan perdata biasa atas dasar PMH (1365 BW)
b. Penggabungan perkara pidana dan gugatan perdata
Tata cara:
a. Diputus dalam sidang praperadilan bila perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
b. Diajukan ke pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan
c. Pemeriksaan sesuai acara praperadilan
d. Putusan berbentuk penetapan
Besar ganti kerugian:
- PP No. 27 tahun 1983:
a. Ganti kerugian atas upaya paksa yang tidak sah Rp. 500.000-Rp 1.000.000
b. Berakibat cacat atau meninggal dunia Rp. 3.000.000.
- PP No 92 Thn 2015:
a. Tuntutan ganti kerugian diajukan paling lama 3 bulan sejak tanggal
petikan/salinan putusan diterima atau penetepan praperadilan diterima
b. Ganti kerugian karena alasan Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP: Rp.
500.000 – Rp. 100.000.000
c. Ganti kerugian karena luka berat, cacat sehingga tidak bisa melakukan
pekerjaan: Rp. 25.000.000 – Rp 300.000.000
d. Ganti kerugian yang mengakibatkan mati: Rp. 50.000.000 – Rp.
600.000.000
Rehabilitasi
REHABILITASI:
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang- undang ini;
(Pasal 1 angka 23 KUHAP)
Dasar hukum: Pasal 97
a. Hak seseorang bila pengadilan memutus bebas atau lepas dan telah berkekuatan
hukum tetap.
b. Rehabilitasi diberikan langsung melalui putusan pengadilan yang mengadili
perkara dimaksud.
c. Rehabilitasi atas upaya paksa yang tidak sah diputus oleh hakim praperadilan, bila
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Koneksitas
Proses pengadilan atas TP yang dilakukan oleh sipil dan anggota TNI
Dasar Hukum:
- UU No. 14 Tahun 1970 Pasal 22
- UU No. 8 Tahun 1981 Pasal 89-Pasal 94
- UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 23
UU no 14 tahun 1970, Pasal 22:
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan
Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu
harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
UU no 4 Tahun 2004 Pasal 24:
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu
menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
Terkait dengan adanya penyertaan
Dilakukan oleh sipil dan militer
Objeknya: semua tindak pidana yang masuk lingkungan peradilan umum
Pemeriksaan:
- pada prinsipnya dilakukan di pengadilan umum
- bila yang besar kerugian pada pihak militer maka diperiksa di pengadilan
militer
Penggabungan perkara
Kekurangan: Bergantung pada perkara pokok ( accesoir ), Hanya kerugian materiil, Diajukan
paling lambat sebelum requisitor, Upaya hukum tergantung pada perkara pokok, Apabila
pidana tidak banding maka gugatan juga tidak bisa.
• Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta
menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
• Sistem hukum Indonesia tidak mengenal the principle of stare decisis, maka dari itu
pengadilan yang lebih rendah tingkatannya tidak terikat untuk mengikuti pengadilan
yang lebih tinggi tingkatannya. Meskipun begitu, dalam beberapa kasus pengadilan
dapat mensitir atau mengikuti interpretasi, atas suatu pasal hukum atau peraturan
lainnya dari putusan pengadilan sebelumnya.
• Berdasarkan pasal 24 konstitusi dinyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang
untuk melakukan judicial reviewe terhadap berbagai peraturan perunfang- undangan
yang bertentangan dengan UU, pernyataan tidak berlakunya peraturan perundang-
undangan dibawah UU tersebut dilakukan dengan hukum acara khusus, sebagaimana
dimaksud dalam UU 14/85 yang di amandemen UU no.3 tahun 2009.
Upaya Hukum Biasa
• Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan
pengadilan dalam acara cepat.
• Permintaan Banding dapat diajukan ke penhadilan tinggi oleh terdakwa atau yang
khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum.
• Sedangkan Mahkamah Agung berwenang untuk memeriksa permintaan kasasi untuk
seluruh perkara pidana yang dimintakan kasasi untuk itu.
Upaya Hukum Luar Biasa
• Jaksa Agung hanya dapat satu kali mengajukan permintaan KDKH atas
putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat dari pengadilan lain
selain Mahkamah Agung
• Putusan KDKH tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
• Peninjauan Kembali (PK);
• Pasal 233 (1) “Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat
diajukan ke pengadilan tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu
atau penuntut umum”.
• Hanya permintaan banding sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 233 ayat 1 dapat
diterima oleh panitera pada Pengadilan Negeri dalam waktu tujuh hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada Terdakwa yang tidak
hadir sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 196 ayat 2.
• Panitera kemudian menyiapkan permintaan banding secara tertulis yang
ditandatangani olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada
pemohon yang bersangkutan.
• (4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera
dengan disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta
juga ditulis dalam daftar perkara pidana.
• (5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik yang diajukan
oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukanoleh penuntut umum dan
terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang
satu kepada pihak yang lain.
• Apabila tenggang waktu tujuh hari telah terlampaui tanpa diajukan permintaan
Banding oleh yang berkepentingan, maka yang bersangkutan dianggap menerima
putusan.
• Dalam hal lampau waktu mengajukan terpenuhi dan dianggap menerima putusan
maka selanjutnya panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta
melekatkannya dalam berkas perkara.
• Permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu selama perkara banding belum
diputus pengadilan tinggi, dalam hal sudah dicabut maka perkara banding tidak dapat
diajukan kembali.
• Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan sementara
itu pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar
biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat
pencabutannya.
• Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat
banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapat menyerahkan
memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan tinggi
• Jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau
saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan
kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya
• Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama
ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang
kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat
memerintahkan pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi
melakukannya sendiri.
• Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum
dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali
terhadap putusan bebas.
• Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah
putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa.
• Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang
dilampirkan pada berkas perkara.
Pemeriksaan Kasasi
• Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum
dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali
terhadap putusan bebas.
• Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah
putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa.
• Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang
dilampirkan pada berkas perkara.
• Apabila pengajuan permohonan kasasi lewat 14 hari maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan.
• Apabila dalam tenggang waktu tersebut, pemohon terlambat mengajukan maka hak
untuk itu gugur.
• Permohonan Kasasi hanya dapat diajukan satu kali.
• Pemohon wajib untuk menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan
permohonan kasasinya dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan
permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia
memberikan surat tanda terima
• Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung,
permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut,
permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi
• Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung,
berkas tersebut tidak jadi dikirimkan
• Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan
sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani
membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat
pencabutannya.
• Alasan untuk mengajukan kasasi meliputi:
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, yang
terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang,
semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu berserta
putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat terakhir
Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau
penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada
mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula
memerintahkan pengadilan negeri 'untuk mendeng'ar keterangan mereka, dengan cara
pemanggilan yang sama.
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut.
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk
agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya . lagi
mengenai. bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah
Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang
lain.
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan
pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut.
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk
agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya . lagi
mengenai. bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah
Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang
lain.
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan
pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.
Sesuai memori penjelasan hukum acara pidana yang mengutamakan perlindungan
terhadap hak asasi manusia serta perlindungan terhadap keseluruhan harkat dan
martabat manusia, maka putusan bebas murni merupakan “verkregen recht” dengan
tanpa mengabaikan hak masyarakat atas keamanan bagi anggota masyarakat.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pasal 244 KUHAP hanya berlaku bagi putusan
bebas murni dan tidak berlaku terhadap putusan yang lepas dari segala tuntutan
hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Putusan bebas dimana dalam perkara tersebut terdakwa didakwa melakukan
perbuatan yang diancam dengan pidana penjara paling tinggi 1 tahun atau denda,
tidak dapat dimintakan kasasi.
Grasi
Eksekusi
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. (ps 97 ayat 1)
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan
kepadanya. (270)
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak dimuka umum dan menurut
ketentuan undang-undang. (271)
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang
sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu
dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.(272)
Hawasmat
Pelaksanaan tugas Hakim Pengawas dan Pengamat supaya berpedoman kepada Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 7 Tahun 1985, tanggal 11 Pebruari 1985 dengan
perubahan-perubahan pada formulir kartu data perilaku narapidana dalam halaman 2
nomor 15 tentang hasil wawancara Hakim Pengawas dan Pengamat dengan
Narapidana
Pedoman Hawasmat
Asas Legalitas
Bahwa hukum pidana itu adalah hukum pidana yang tertulis. Dalam pengertian ini,
bahwa hukum pidana materiil tidak terbatas pada hal yang berbentuk UU namun juga
dimungkinkan penghukuman dalam bentuk dibawah UU yaitu meliputi dan tidak
terbatas pada PP (Decreet van de Koning) atau Perda (gemente verodening)
Bahwa dalam Hukum Pidana tidak diperkenankan adanya analogi, hal ini kemudian
dibedakan dengan penafsiran secara ekstensif.
Bahwa UU tidak berlaku surut, namun hal ini dapat dikecualikan dalam hal
keberlakuan tersebut menguntungkan bagi terdakwa
Azas legalitas lebih ketat dan sangat limitative, hal ini sejalan dengan pasal 3 KUHAP
yang berbunyi “peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini”, strafordering heft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien (hukum acara
pidana hanya diselenggarakan berdasarkan UU).
Dalam hal ini dimaknai bahwa pengaturan terkait hukum acara tetap berdasarkan
dalam KUHAP, penyimpangan terhadap pengaturan dalam KUHAP harus berbentuk
UU sehingga sejalan dengan asas asas hukum umum seperti Lex specialis derogate
legi generalis atau lex posteriori derogate legi priori.
Doktrin dalam asas legalitas pada hukum acara pidana adalah bahwa ketentuan
hukum acara berlaku dihitung pada saat proses atau pelaksanaan hukum acara pidana
dilakukan.
Pra Peradilan
Putusan MK 21/XII/2014 tentang Bukti Permulaan, Bukti Permulaan yang cukup dan
Bukti yang cukup
frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17 dan pasal 21 ayat (1)
undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana bertentangan
dengan undang undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan
“bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam pasal 184
undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana.
frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”
sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 angka 14, pasal 17 dan pasal 21 ayat (1)
undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”,
“bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat
bukti yang termuat dalam pasal 184 undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang
hukum acara pidana.
Mahkamah mengambil alih pengaturan prima facie yang terdapat dalam pasal 183
KUHAP untuk kepentingan penyidik
Putusan MK 65/VIII/2010
Pengertian saksi dalam pasal 1 angka 26 diperluas yaitu termasuk juga dalam
pengertian saksi alibi.
Mahkamah menilai arti penting saksi bukan terletak pada apakah ia melihat,
mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana melainkan pada relevansi
kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang di proses
Pengajuan Saksi yang menguntungkan atau ahli sebagaimana dalam pasal 65 juncto
pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, harus dapat ditafsirkan dapat dilakukan tidak
hanya dalam tahap persidangan di pengadilan akan tetapi juga dalam tahap
penyidikan.
Sehingga pasal 1 angka 26 & 27;pasal 65;pasal 116 (3) & (4); pasal 184 (1) huruf (a);
harus dimaknai bahwa orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka
penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri dan ia alami sendiri.
pra peradilan adalah sebagai badan peradilan yang semata-mata untuk melindungi
seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat
terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya
ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang
dapat memeriksa dan memutusnya.
Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan
bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya
tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan
kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar.
Gugurnya Praperadilan
...Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya
terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas
yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan
tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests
advocacy) seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau Organisasi Masyarakat lainnya
karena pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakan hukum
pidana. Hukum pidana adalah hukum yang ditujukan untuk melindungi kepentingan umum;
1. Eksepsi yaitu suatu hak untuk mengajukan keberatan atas SD berupa surat resmi dari
Terdakwa atau Advokat, setelah dibacakan diserahkan pada hakim
Bentuk eksepsi: (1) Eksepsi Kompetensi relatif, (2) Eksepsi Absolut, (3)
Eksepsi tidak dapat diterima, (4) Eksepsi obscurum libellum
Eksepsi relatif: bila ada dua atau lebih pengadilan berwenang
PT akan mengadili sengketa kompetensi relatif di wilayahnya (ps 151 ayat 1
KUHAP)
MA akan memeriksa sengketa wewenang mengadili bila antar lingkungan
peradilan, atau antara dua PN diwilayah PT yang berbeda, antara dua PT
Eksepsi absolut: berbeda lingkungan peradilan atau pengadilan (khusus)
Eksepsi tidak dapat diterima: tidak memenuhi syarat formal SD (ps 143 ayat 2
a KUHAP)
Eksepsi obscurum libelum: surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak
lengkap (ps 143 ayat 2 b KUHAP)
2. Pembelaan (Pledoi) Adalah bagian dari due process of right yakni Surat resmi dari
terdakwa yang merupakan hak untuk menanggapi ST dalam bentuk yang dianggap
baik
Pledoi bukan pembuktian tetapi tanggapan atas hasil pembuktian ST tentang
apakah: (i) pernyataan fakta dalam ST benar (question of fact), deskriptif dan
preskriptif (fakta hukum), (ii) apakah fakta telah memenuhi unsur delik
(question of law), (iii) faktor pemaaf dan pembenar, (iv) faktor yang
meringankan
Rumusnya : F X L = C
Sistimatika Pledoi: (i) Pendahuluan: catatan tentang penerapan hukum acara,
(ii) question fact: deskriptif dan preskriptif,(iii) question of law: pencocokan
unsur delik dan fakta, (iv) kesimpulan: bersalah atau tidak, (v) permohonan:
bebas, lepas atau klemensi.