Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KELOMPOK 2:
Dania Rizky Nabilla (1806139191)
Dina Riantika (1806139222)
Dyah Assifa Rizki (1806139235)
Farah Clarissa (1806139292)
Habibah Shabila (1806139310)
1Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi, (Jakarta: STIH
IBLAM, 2004), hal. 25.
2 Soegijatno Tjakra Negara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1994), hlm. 4.
hukum, penetapan tertulis sebagai perbuatan hukum administrasi itu merupakan
keputusan yang melahirkan, mengubah atau menetapkan atau menghapus hubungan
hukum. Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan keputusan (beschikking)
harus melihat peraturan dasar pada keputusan yang akan dikeluarkan, tetapi dalam
hal-hal lain keputusan dapat dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan diberi keleluasaan atau kebebasan untuk menentukan sendiri (Freies
Ermessen atau Diskresi) untuk melakukan kebijaksanaannya. Freies Ermessen adalah
kebebasan yang diberikan kepada Pejabat Tata Usaha Negara untuk melakukan
kebijaksanaan yang berkaitan dengan wewenangnya.3
3 La Sina, Kedudukan Keputusan Tata Usaha Negara Dalam Sistem Hukum Indonesia,
“Jurnal Hukum Pro Justitia”, Vol. 28, No. 1, 2010, hlm. 68-69.
2. Koordinator Pusat Edukasi Antikorupsi KPK Dian Novianthi
(sebelumnya menjabat Kepala Biro SDM).
3. Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal pada Pusat Edukasi Anti-
korupsi Hotman Tambunan (sebelumnya menjabat Kepala Bagian
Kearsipan dan Administrasi Perkantoran Biro Umum).
Penggugat mengatakan bahwa gugatan ini harus diajukan karena para
penggugat menilai dasar, cara, proses, dan keputusan tergugat melakukan
tindakan rotasi telah berlawanan dengan prinsip fundamental dalam
pemberantasan korupsi, yaitu ketaatan pada asas, aturan hukum, objektivitas,
transparansi, dan akuntabilitas. Menurut penggugat, putusan pengadilan atas
sengketa ini akan menjadi preseden yang menentukan bagaimana paradigma
KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi pada masa mendatang.
Penggugat menanyakan mengenai persoalan apakah prinsip ketaatan hukum,
objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas masih menjadi dasar utama dalam
praktik birokrasi KPK, atau sebaliknya kekuasaan dan kepentingan pimpinan
boleh mengesampingkan prinsip-prinsip tersebut.
Sebelumnya, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo sempat
mengatakan bahwa rotasi itu diduga tidak transparan. Penentuan posisi rotasi
yang tidak diketahui persis dasar kompetensinya dan dugaan pelanggaran
prinsip-prinsip dasar KPK sehingga berpotensi merusak independensi KPK.
Namun, pimpinan KPK pada tanggal 24 Agustus 2018, akhirnya melantik 14
orang pejabat struktural di tengah kritik para pegawai tersebut. Saat
pelantikan, Ketua KPK RI Agus Rahardjo mengatakan bahwa pimpinan KPK
sudah mengeluarkan keputusan pimpinan KPK No. 1426/2018 tentang Tata
Cara Mutasi di Lingkungan KPK merujuk pada peraturan KPK tahun 2006.
Diakuinya bahwa pelantikan agak tertunda sedikit karena pimpinan ingin
mengikuti aturan yang ada, kemudian keluar keputusan pimpinan. Ia
mengakui pula ada yang mempermasalahkan sebetulnya berwujud peraturan
komisi, bukan keputusan pimpinan. Oleh karena itu, pihaknya me-"refer" pada
peraturan tahun 2006. Agus mengatakan bahwa keputusan pimpinan segera
setelah dilantik mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama peraturan di
KPK yang sudah menunggu lama tentang cara mutasi segera diselesaikan.4
4 Sandro Gatra, "Tiga Pegawai KPK Gugat Pengangkatan Pejabat Struktural ke PTUN",
https://nasional.kompas.com/read/2018/09/17/17154811/tiga-pegawai-kpk-gugat-pengangkatan-
pejabat-struktural-ke-ptun?page=all., diakses 3 Oktober 2019.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. PENGERTIAN AKIBAT KEPUTUSAN HUKUM
Sebelum diuraikan mengenai pengertian akibat hukum keputusan, terlebih
dahulu harus dibahas tentang masing-masing pengertian dari akibat hukum dan
keputusan. Menurut Soeroso, akibat hukum adalah akibat suatu tindakan hukum yang
dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang
diatur oleh hukum.5 Jadi, pengertian singkat akibat hukum adalah akibat dari suatu
tindakan hukum.6 Sebagai contoh, yaitu ketika melakukan suatu tindakan hukum
berupa perjanjian, maka timbul akibat hukum berupa hubungan hukum atau perikatan
di antara para pihak yang terlibat.
Mengenai arti keputusan, Prins mendefinisikannya sebagai suatu tindakan
hukum yang bersifat sepihak dalam pemerintahan, dilakukan oleh suatu badan
pemerintah berdasarkan wewenangnya yang luar biasa.7 Selanjutnya, pengertian
keputusan tersebut dapat diuraikan menjadi lima unsur, yaitu adanya tindakan hukum,
bersifat sepihak, berada dalam lingkup pemerintahan, dilakukan oleh badan
pemerintah, dan berdasarkan wewenangnya yang luar biasa. 8 Selanjutnya UU No. 5
Tahun 1986 jo. Pasal 1 angka 3 UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan bahwa,
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata”. Dengan demikian, pengertian akibat hukum keputusan dapat
disimpulkan secara singkat sebagai akibat dari suatu tindakan hukum yang dilakukan
oleh badan pemerintah yang bersifat sepihak, konkret dan final dalam pemerintahan.9
5R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 295.
6Sovia Hasanah, “Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum dan Akibat Hukum,”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-perbuatan-hukum--bukan-
perbuatan-hukum-dan-akibat-hukum/, diakses 3 Oktober 2019.
7Safri Nugraha, et al., Hukum Administrasi Negara (Depok: FH UI, 2007), hlm. 108.
8Ibid., hlm. 109.
9 Ibid., hlm. 110.
Menimbulkan akibat hukum yaitu menimbulkan suatu perubahan dalam
suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu
tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak
dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga
bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis
harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang
telah ada, seperti:
1. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada
(decratoir).
2. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru
(constitutief).
3. Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah
ada atau keadaan hukum yang baru.
10 Safri Nugraha, et al., Hukum Administrasi Negara (Depok: FH UI, 2007), hlm. 111-121.
beberapa ketentuan, seperti kewenangan pemerintah untuk kepentingan umum
(bukan untuk kepentingan pribadi), organ pemerintah tidak boleh bertindak
melampaui kewenangan yang diberikan Undang-Undang, pemerintah tidak
boleh salah dalam melaksanakan kewenangan diskresi, harus sesuai dengan
tujuan yang dicapai, dan mempersempit interpretasi hakim.
11 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Cet IV, (Jakarta: Ichtiar, 1985), hlm.
77.
c. Keputusan harus diberi bentuk. Bentuk tersebut antara lain adalah lisan dan
tertulis. Lisan (mondelinge beschikking) dibuat dalam hal akibatnya tidak
membawa akibat lama dan tidak begitu penting bagi administrasi negara
dan biasanya dikehendaki suatu akibat yang timbul dengan segera. Hal
yang demikian berbeda halnya dengan tertulis (schriftelijke beschikking)
yang digunakan karena sudah biasa dan penting dalam penyusunan alasan.
Bentuk dari keputusan tertulis ini juga dapat bermacam-macam karena
administrasi negara yang membuatnya juga bermacam-macam, misal oleh
menteri dan kepala pemerintahan daerah.
d. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar
penerbitannya. Syarat ini harus dipenuhi dalam suatu negara hukum
mengingat syarat tersebut merupakan syarat legalitas.
4. Klasifikasi Keputusan
Dalam hal bentuk, keputusan dibagi menjadi keputusan lisan dan tertulis. Jika
dilihat dari manifestasi kehendak, terbagi atas keputusan unilateral, bilateral
dan multilateral. Lalu dalam hal daya laku, maka keputusan bisa berdaya laku
interen (dalam instansi/lembaga) dan exteren (keluar instansi/lembaga).
Selanjutnya, berdasarkan jangka waktu, keputusan ada yang bersifat
sementara (terbatas) dan lama (photografis). Kemudian jika ditinjau dari sifat
kehendak, keputusan terdiri atas keputusan komisi (jabatan/pangkat, panitia,
komisi, pengangkatan) dan omisi (penghilangan, kelalaian, tidak
dicantumkan).
13 Philipus M. Hadjon. et. al., Pengantar Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1993), hlm. 181-183
atas, yaitu keputusan dalam rangka ketentuan larangan dan atau perintah,
keputusan yang menyediakan sejumlah uang, keputusan yang membebankan
kewajiban keuangan, keputusan yang memberikan suatu kedudukan, dan
keputusan penyitaan. Pada jenis yang kedua tersebut, yaitu meliputi keputusan
bebas-terikat, keputusan menguntungan-membebankan, keputusan yang
seketika berakhir lama-berjalan terus, dan keputusan kebendaan-perorangan.
6. Pencabutan Keputusan14
Dalam pencabutan keputusan, terdapat 6 asas yang penting untuk
diperhatikan, kecuali jika Undang-Undang melarang dengan tegas untuk
mecabutnya. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keputusan dibuat karena tipuan, maka dapat dinyatakan tidak berlaku
secara ab-ovo (sejak awal dianggap tidak ada).
b. Keputusan yang isinya belum diberitahukan kepada yang bersangkutan,
yaitu belum menghasilkan hubungan hukum. Ini dapat dinyatakan tidak
berlaku secara ab-ovo.
c. Keputusan yang menguntungkan yang diberikan dengan syarat-syarat dapat
dicabut jika pihak yang diuntungkan lalai memenuhi persyaratan yang
ditentukan.
d. Keputusan yang menguntungkan tidak dapat dicabut setelah jangka waktu
tertentu jika dengan pencabutan itu menyebabkan suatu keadaan yang
semula sah menjadi tidak sah.
e. Jika sebagai akibat keputusan yang tidak benar terjadi keadaan yang tidak
sah, maka keadaan yang tidak sah tersebut tidak boleh ditiadakan dengan
mencabut keputusan kalau pihak yang terkena akibat pencabutan akan
dirugikan.
f. Pencabutan keputusan harus memenuhi persyaratan yang sama seperti pada
waktu keputusan tersebut dibuat (asas contrarius actus).
15 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2019) hlm. 154.
16 Ibid., hlm. 162.
4) Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-
peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan
isi dan tujuan peraturan dasarnya.
Selain itu, syarat-syarat formal terdiri atas:
1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya
keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan harus
dipenuhi;
2) Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan
itu;
3) Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu harus
dipenuhi;
4) Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus
diperhatikan.
Apabila syarat materiil dan syarat formal ini telah terpenuhi, maka
keputusan itu akan sah menurut hukum. Begitu pula sebaliknya, apabila satu atau
beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung
kekurangan dan menjadi tidak sah.
I. Buku
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi. Jakarta: STIH
IBLAM, 2004.
Negara, Soegijatno Tjakra. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Sinar Grafika, 1994.
Utrecht, E. Pengantar Hukum Administrasi Negara Cet IV. Jakarta: Ichtiar, 1985.
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2019.
II. Jurnal
Hasanah, Sovia. “Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum dan Akibat
Hukum.”
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-
perbuatan-hukum--bukan-perbuatan-hukum-dan-akibat-hukum/. Diakses 3
Oktober 2019.