Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior

sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak

mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan luar yang mengganggu

(Vaughan, 2010). Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini

bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat

dengan sekret purulen (Vaughan, 2010). Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh

reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut atau menahun (Ilyas,

2009).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konjungtiva

2.2.1 Anatomi

Konjungtiva adalah membran mukosa transparan dan tipis yang membungkus

permukaan posterior kelopak mata dan anterior sklera. Secara umum

konjungtiva dibagi menjadi konjungtiva palpebralis, konjungtiva bulbaris dan

forniks. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata

dan melekat erat pada tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva

melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus

jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris

melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali.

Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtivasekretorik (duktus-duktus kelenjar

lakrimal bermuara ke forniks temporal superior) (Garcia-Ferrer,2008).

2
Gambar 1.1. Anatomi Konjungtiva

2.2.2 Histologi

Berdasarkan struktur histologinya, konjungtiva terdiri dari lapisan epitel dan

stroma (adenoid dan fibrosa). Lapisan epitel terdiri atas dua hingga lima

lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Sel-sel epitel

superficial mengandung sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus

dimana sel-sel ini akan mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk

dispersi lapisan air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat

dibandingkan sel-sel superficial dan mengandung pigmen (Garcia-Ferrer,

2008). Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid (superficial) dan satu

lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid tidak berkembang setelah bayi

berumur 2 atau 3 bulan serta mengandung jaringan limfoid. Lapisan fibrosa

tersusun longgar pada bola mata dan tersusun atas jaringan penyambung yang

melekat pada tarsus (Garcia-Ferrer, 2008).

3
2.2.3 Perdarahan dan Persarafan

Konjungtiva mendapat suplai aliran darah baik mealui arteri maupun vena.

Pembuluh darah arteri yang menyuplai konjungtiva berasal dari cabang arteri

ophtalmikus, yaitu arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Pembuluh

darah vena umumnya mengikuti pola arteri, dimana vena konjungtiva

posterior mengaliri vena pada kelopak mata dan vena konjungtiva anterior

mengaliri ciliari anterior menuju vena ophthalmikus.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan

profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk

pleksus limfatikus. Persarafan konjungtiva dari percabangan (oftalmik)

pertama nervus 5 dengan relatif sedikit serabut nyeri (Garcia-Ferrer, 2008).

2.2. Konjungtivitis

a. Definisi

Konjungtivitis merupakan suatu keadaan dimana terjadi inflamasi atau

peradangan pada konjungtiva. Hal ini disebabkan karena lokasi anatomis

konjungtiva sebagai struktur terluar mata sehingga konjungtiva sangat mudah

terpapar oleh agen infeksi, baik endogen (reaksi hipersensitivitas dan

autoimun) maupun eksogen (bakteri, virus, jamur) (Garcia-Ferrer, 2008).

b. Patofisiologi

Berkaitan dengan lokasi anatomis konjungtiva sebagai struktur terluar mata,

konjungtiva memiliki resiko yang besar untuk terinfeksi berbagai jenis

4
mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya infeksi, konjungtiva memiliki

pertahanan berupa tear film yang berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran

dan bahan-bahan toksik yang kemudian dialirkan melalui sulkus lakrimalis ke

meatus nasi inferior. Disamping itu, tear film juga mengandung beta lysine,

lisozim, Ig A, Ig G yang berfunsi untuk menghambat pertumbuhan kuman.

Apabila terdapat mikroorganisme patogen yang dapat menembus pertahanan

tersebut, maka akan terjadi infeksi pada konjungtiva berupa konjungtivitis

(Soewono, 2006).

2.2.1 Konjungtivitis Bakteri

a. Definisi

Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang terjadi akibat

paparan bakteri. Menurut Tarabishy dan Bennie (2008), konjungtivitis

bakteri umum di jumpai pada anak-anak dan dewasa dengan mata merah.

Meskipun penyakit ini dapat sembuh sendiri (self-limiting disease),

pemberian antibakteri dapat mempercepat proses penyembuhan dan

mengurangi resiko komplikasi.

b. Etiologi

Jenis konjungtivitis hiperakut (purulen) dapat disebabkan oleh N

Gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan N.meningitidis. Jenis konjungtivitis

akut (mukopurulen) sering disebabkan oleh Streptococcus Pneumoniae

pada daerah dengan iklim sedang dan Haemophillus aegyptius pada

daerah dengan iklim tropis. Konjungtivitis bakteri akibat S Pneumoniae

5
dan H Aegyptius dapat disertai dengan perdarahan subkonjungtiva.

Konjungtiva subakut paling sering disebabkan oleh H influenzae dan

terkadang oleh Escherichia coli dan spesies proteus. Konjungtivitis bakteri

kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi ductus nasolacrimalis dan

dakriosistitis kronik yang biasanya unilateral (GarciaFerrer, 2008).

c. Faktor Risiko

Faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis bakteri akut adalah kontak

dengan individu yang terinfeksi. Kelainan atau gangguan pada mata,

seperti obstruksi saluran nasolakrimal, kelainan posisi kelopak mata dan

defisiensi air mata dapat pula meningkatkan resiko terjadinya

konjungtivitis bakteri dengan menurunkan mekanisme pertahanan mata

normal. Penyakit dengan supresi imun dan trauma juga dapat melemahkan

sistem imun sehingga infeksi dapat mudah terjadi. Transmisi

konjungtivitis bakteri akut dapat diturunkan dengan higienitas yang baik,

seperti sering mencuci tangan dan membatasi kontak langsung dengan

individu yang telah terinfeksi.

d. Tanda dan Gejala

Secara umum, konjungtivitis bakteri bermanifestasi dalam bentuk iritasi

dan pelebaran pembuluh darah (injeksi) bilateral, eksudat purulen, eksudat

purulen dengan palpebra saling melengket saat bangun tidur, dan kadang-

kadang edema palpebra. Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan

melalui tangan menular ke sisi lainnya (Garcia-Ferrer, 2008).

6
e. Diagnosis

Diagnosis konjungtivitis bakteri dapat ditegakkan melalui riwayat pasien

dan pemeriksaan mata secara menyeluruh, seperti pemeriksaan mata

eksternal, biomikroskopi menggunakan slit-lamp dan pemeriksaan

ketajaman mata. Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik

dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya

purulen, bermembran atau berpseudomembran. Pemeriksaan gram melalui

kerokan konjungtiva dan pengecatan dengan Giemsa menampilkan banyak

neutrofil polimorfonuklear (Garcia-Ferrer, 2008).

Gambar 1.2.1 Konjungtivitis bakteri

f. Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen

mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter dapat

7
memulai terapi dengan antimikroba topikal spektrum luas seperti

polymyxin-trimethoprim.

Pada setiap konjungtivitis purulen dengan diploccus gram negatif (sugestif

neisseria), harus segera diberikan terapi topikal dan sistemik. Jika kornea

tidak terkena, maka ceftriaxone 1 g yang diberikan melalui dosis tunggal

per intramuskular biasanya merupakan terapi sistemik yang adekuat. Jika

kornea terkena, maka dibutuhkan ceftriaxone parenteral, 1-2 g per hari

selama 5 hari. Pada konjungtivitis akut dan hiperakut, saccus

conjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline agar menghilangkan

sekret (Garcia-Ferrer, 2008). Beberapa antibiotik topikal lain yang biasa

digunakan adalah bacitracin, chloramphenicol, ciprofloxacin, gatifloxacin,

gentaicin, levofloxacin, moxifloxacin, neomycin dan lainnya. Selain itu,

lensa kontak juga tidak disarankan untuk dipakai sampai infeksi

disembuhkan.

g. Komplikasi

Ulserasi kornea marginal terjadi pada infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N

meningitidis, H aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Jika produk toksik

N gonorrhoeae berdifusi melalui kornea masuk ke bilik mata depan, dapat

timbul iritis toksik (Garcia-Ferrer, 2008).

8
2.2.2 Konjungtivitis Virus

a. Definisi

Konjungtivitis virus adalah inflamasi konjungtiva yang terjadi akibat

berbagai jenis virus. Penyakit ini berkisar antara penyakit berat yang dapat

menimbulkan cacat, sampai infeksi ringan yang cepat sembuh sendiri

(Garcia-Ferrer, 2008).

b. Etilogi

Virus yang paling sering menginfeksi konjungtiva adalah adenovirus.

Adenovirus dengan serotipe 3, 4, 5, dan 7 memiliki peran penting dalam

demam faringokonjungtival. Anak-anak yang mengalami infeksi ini akan

cenderung terkena infeksi saluran pernafasan atas. Adenovirus serotipe 8

dan 19 cenderung berperan pada keratokonjungtivitis epidemika (Heath,

2006).

c. Tanda dan Gejala

Manifestasi klinis utama konjungtivitis virus adalah hiperemia akut,

fotofobia, mata berarir (watery discharge) serta edema pada kelopak mata.

Pada konjungtivitis virus jenis demam faringokonjungtival umumnya

ditemukan demam 38,3°C-40°C, sakit tenggorokan dan konjungtivitis

folikular pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua

konjungtiva dan mukosa faring. Limfadenopati preaurikular (tidak nyeri

tekan) merupakan tanda yang khas. Konjungtivitis virus jenis ini lebih

sering ditemukan pada anak-anak dan mudah menular melalui kolam

9
renang ber-khlor rendah, bisa unilateral maupun bilateral (Garcia-

Ferrer,2008). Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bersifat bilateral.

Awalnya hanya mengenai satu mata saja dan biasanya mata pertama yang

terkena cenderung lebih parah. Temuan klinis pada pasien ini adalah

injeksi konjungtiva, nyeri sedang, dan mata berair yang dalam 5-14 hari

akan diikuti oleh fotofobia, keratitis epitel dan kekeruhan pada

subepitelialnya. Sensasi kornea normal dan nodus preaurikular positif

adalah tanda yang khas. Pada anak-anak, mungkin terdapat gejala sistemik

infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media dan diare

(Garcia-Ferrer, 2008).

Keratokonjungtivitis virus herpes simpleks biasanya mengenai anak kecil

dan ditandai dengan injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri dan

fotofobia ringan. Penyakit ini terjadi pada infeksi primer HSV atau saat

episode kambuh herpes mata, sering disertai keratitis herpes simpleks dan

lesi-lesi kornea bersatu membentuk ulkus dendritik (Garcia-Ferrer,2008).

Pada konjungtivitis hemoragika akut, terjadi nyeri, fotofobia, sensasi

benda asing, mata berair, kemerahan, edema palpebra hingga perdarahan

subkonjungtiva. Perdarahan yang terjadi umumnya difus, dimana pada

fase awal berupa bintik-bintik, mulai dari konjungtiva bulbaris superior

dan menyebar ke bawah. Kebanyakan pasien juga mengalami

limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva dan keratitis epitel

(Garcia-Ferrer, 2008).

10
d. Diagnosis

Dalam penegakan diagnosis, anamnesis dan pemeriksaan (baik

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan mata) harus dilakukan secara

komprehensif. Perlu ditanyakan mengenai onset, lokasi (unilateral atau

bilateral), durasi, penyakit penyerta seperti gangguan saluran nafas bagian

atas, gejala penyerta seperti fotofobia, riwayat penyakit sebelumnya, serta

riwayat keluarga. Pemeriksaan selsel radang terlihat dalam eksudat atau

kerokan yang diambil dengan spatula platina steril dari permukaan

konjungtiva kemudian di pulas dengan pulasan Gram (untuk

mengidentifikasi organisme) dan dengan pulasan Giemsa (untuk

menetapkan jenis dan morfologi sel). Pada konjungtivitis virus biasanya

banyak ditemukan sel mononuklear khususnya limfosit dalam jumlah

yang banyak (Garcia-Ferrer, 2008).

Gambar 1.2.1. Konjungtivitis virus

11
e. Terapi

Umumnya konjungtivitis yang menyerang anak-anak di atas 1 tahun dan

dewasa dapat sembuh sendiri dan mungkin tidak memerlukan terapi.

Demam faringokonjungtival biasanya sembuh sendiri dalam 2 minggu

tanpa pengobatan. (Garcia-Ferrer, 2008). Penatalaksanaan konjungtivitis

virus biasanya menggunakan kompres dingin, artificial tears, dan pada

beberapa kasus digunakan antihistamin. (Azari, 2013). Pada ulkus kornea

dilakukan debridemen (pengusapan ulkus dengan kain secara hati-hati,

penetesan obat antivirus dan penutupan mata) (Garcia-Ferrer, 2008).

2.2.3 Konjungtivitis Alergi

a. Definisi

Konjungtivitis alergi adalah konjungtivitis yang disebabkan karena adanya

reaksi humoral dari dalam tubuh, terutama reaksi hipersensitivitas tipe 1

(GarciaFerrer,2008). Secara umum, konjungtivitis alergi dibagi menjadi 4,

yaitu Konjungtivitis Alergi Seasonal, Konjungtivitis Alergi Parennial,

Keratokonjungtivitis Vernal, dan Keratokonjungtivitis Atopik (Bonini,

2009)

b. Etiologi

Konjungtivitis alergi seasonal biasanya di sebabkan oleh adanya serbuk

sari (pollen), seperti tepung sari, rumput, gulma dan lain-lain, dimana

alergen ini hanya muncul pada musim tertentu saja. Konjungtivitis alergi

parennial biasanya disebabkan oleh alergen yang biasa kita temui (tidak

12
memerlukan musim tertentu), seperti tungau. Keratokonjungtivitis vernal

hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim panas dan musim

gugur. Alergen spesifik penyebab keratokonjungtivitis vernal

berhubungan dengan sensitivitas terhadap tepung sari

c. Patofisiologi

1. Imunopatofisiologi SAC dan PAC

Secara umum, imunopatofisiologi konjungtivitis alergi seasonal

meliputi dua proses, yaitu sensitisasi dan memicu penjamu yang telah

tersensitisasi. Pada proses sensitisasi, alergen dengan ukuran partikel

kecil (pikogram) misal : polen, debu, dll menempel pada permukaan

mukosa konjungtiva. Kemudian, partikel akan di proses oleh sel

Langerhans, sel dendrit, dan MHC kelas II. Antigen akan terpecah

secara proteolitik dan berikatan pada sisi antigen-reseptor MHC kelas

II. Kemudian, dibawa oleh APC menuju sel limfosit Th0 (native)

untuk diekspresikan dan dikenali sebagai peptida antigenik. Proses ini

terjadi pada sistem drainase lokal kelenjar getah bening. Kontak

multiple dan pertukaran sitokin antara T-cell dengan APC penting

untuk memicu terjadinya reaksi tipe Th2. Sitokin yang dirilis oleh sel

limfosit Th2 (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-13 dan granulocyte-

macrophage colony stimulate factor – GM-CSF) akan menstimulasi

pembentukan IgE oleh sel B. Proses kedua ialah pencetusan reaksi

pada individu yang tersensitisasi. Paparan terhadap alergen pada

13
indiveidu yang tersensitisasi akan menyebabkan terjadinya cross-

linking Ig E pada membran sel mast, degranulasi sel dan pelepasan

histamin, tryptase, prostaglandin dan leukotrien. Mediator-mediator

inilah yang akan memicu timbulnya manifestasi klinis pada fase akut

atau fase awal. Degranulasi sel mast juga menginduksi terjadinya

aktivasi sel endotelial vaskular, ekspresi chemokin, dan adhesi

molekul seperti ‘Regulated-upon-Activation Normal T-cell Expressed

and Secreted’ (RANTES), monocytes chemotactic protein-1 (MCP-1),

intracellular adhesion molecule (ICAM-1), vascular cell adhesion

molecule (VCAM) dan p-Selectin and chemotactic factors (IL-8,

eotaxin). Faktor-faktor inilah yang menginisiasi terjadinya aktivasi sel

inflamasi pada konjungtiva. Reaksi fase lambat pada konjungtiva

muncul berjam-jam setelah paparan alergen dan ditandai oleh adanya

rekurensi atau pemanjangan gejala akibat infiltrasi eusinofil, neutrofil

dan sel limfosit T pada mukosa konjungtiva ( Bonini, 2009).

2. Patofisiologi Keratokonjungtivitis Vernal

Keratokonjungtivitis vernal sering dikaitkan dengan gangguan alergi.

Peran hipersensitivitas yang dimediasi Ig E pada VKC adalah salah

satu langkah patogenik esensial, yang didukung oleh insiden musiman,

berhubungan dengan manifestasi alergi lainnya, peningkatan jumlah

sel mast dan eusinofil pada konjungtiva, peningkatan IgE total dan

spesifik serta mediator lainnya pada serum dan air mata, serta respon

14
terapi terhadap stabilizer sel mast pada kasus keratokunjungtivitis

ringan. Namun demikian, terdapat fakta bahwa sensitisasi spesifik

tidak ditemukan pada banyak pasien, sehingga mekanisme tambahan

lain, diluar hipersensitivitas tipe 1, berhubungan dengan patogenesis

inflamasi konjungtiva pada pasien keratokonjungtivitis vernal (Bonini,

2009).

d. Tanda dan Gejala

Pasien dengan konjungtivitis “Hay Fever” biasanya mengeluhkan gatal,

kemerahan, mata berair, dan merasa “mata seolah-olah tenggelam dalam

jaringan sekitarnya”, injeksi ringan konjungtiva. Selama serangan akut

sering ditemukan kemosis berat (Garcia-Ferrer,2008). Tanda khas pada

konjungtivitis alergi parennial adalah gatal, kemerahan, dan mata bengkak

(puffy eyes), mata berair, ada sekret mukus, dan rasa terbakar (Bonini,

2009). Pada konjungtivitis vernal sering ditemukan konjungtiva putih-

susu, terdapat banyak papila halus pada konjungtiva tarsalis inferior, serta

papila raksasa mirip batu kali pada konjungtiva tarsalis superior. Mungkin

ditemukan kotoran mata berserabut dan pseudomembran (tanda Maxwell-

Lysons) (Garcia-Ferrer,2008). Gejala pada keratokonjungtivitis atopik

adalah gatal pada kedua mata dan kulit kelopak mata, mata berair dan

terdapat sensasi terbakar, fotofobia, pandangan kabur,hingga sekret mukus

yang berbentuk menyerupai tali. Pada atopik blefaritis sering ditemukan

tilosis dan pembengkakan kelopak mata dengan penampakan bersisik serta

15
disfungsi kelenjar mebumian yang berhubungan dengan mata kering

(Bonini, 2009).

e. Diagnosis

Penetapan diagnosis konjungtivitis alergi didasarkan pada anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang komprehensif. Pada anamnesis, ditanyakan

mengenai onset, durasi, unilateral atau bilateral, gejala penyerta, riwayat

penyakit sebelumnya, serta riwayat keluarga. Hal ini memiliki peran

penting seperti pada konjungtivitis vernal, dimana pasien dengan riwayat

alergi pada keluarga (hay fever, eksim,dll) memiliki kecenderungan

mengalami konjungtivitis vernal (Garcia-Ferrer, 2008).

Gambar 1.2.3. Konjungtivitis Alergi

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dengan kompres dingin membantu mengatasi gejala

gatalgatal pada pasien dengan konjungtivitis alergi. Pada konjungtivitis

16
vernal, pemulihan terbaik dicapai dengan pindah ke tempat beriklim sejuk

sehingga pasien merasa nyaman. Gejala akut pada pasien fotofobia sering

di atasi dengan penggunaan steroid sistemik atau topikal jangka pendek,

diikuti vasokonstriktor, kompres dingin dan tetes mata yang memblok

antihistamin. Obat antiinflamasi non steroid yang lebih baru, seperti

ketorolac dan lodoxamide bisa memperlambat reepitelisasi ulkus (Garcia-

Ferrer,2008).

2.2.4 Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur sering disebabkan oleh Candida albicans, namun hal ini

jarang terjadi. Umumnya terdapat bercak putih dan pada kerokan konjungtiva

akan ditemukan sel radang polimorfonuklear. Selain Candida albicans,

konjungtivitis jamur dapat pula disebabkan oleh Sporothrix schenckii,

Rhinosporidium seeberi dan Coccidioides immitis (Garcia-Ferrer,2008).

2.2.5 Konjungtivitis Chlamydial

a. Definisi

Konjungtivitis merupakan penyakit mata yang paling umum di dunia.

Konjungtivitis merupakan proses inflamasi yang ditandai dengan dilatasi

vaskuler, sel infiltrat, dan eksudat. Penyakit ini bervariasi mulai dari

hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan

banyak sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat ditandai dengan mata

berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya

menyebabkan mata rusak. Penyebab konjungtivitis antara lain alergi, zat

17
kimiawi, reaksi imun, dan infeksi. Salah satu agen infeksi yang

menyebabkan konjungtivitis adalah Chlamydia.

b. Etiologi

Chlamydial conjunctivitis disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis,

parasit intra-seluler yang memiliki DNA dan RNA. Parasit ini

menggunakan energi sel inang supaya mampu berkembang biak.

Transmisi Chlamydia terjadi jika ada kontak intim, khususnya secara

seksual. Infeksi Chlamydia pada mata disebabkan oleh terpaparnya sekret

genital melalui auto-inokulasi atau kontak seksual.

c. Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012, terdapat

131 juta kasus baru infeksi Chlamydia pada rentang usia 15 – 49 tahun,

dengan angka insidens global sebesar 38 setiap 1000 wanita dan 33 setiap

1000 pria. Selain itu, di berbagai negara angka insidens paling besar pada

remaja wanita 15-19 tahun, diikuti wanita dewasa 20 – 24 tahun.6 Center

for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan bahwa infeksi

Chlamydia pada neonatus paling sering mengenai mata, yaitu

konjungtivitis (Ophthalmia neonatorum) yang terjadi 5-12 hari setelah

lahir. Oleh karena itu, pada konjungtivitis bayi yang berusia < 30 hari,

perlu dicurigai terinfeksi Chlamydia karena pajanan pada jalan lahir ibu

yang terinfeksi.

18
d. Klasifikasi

Infeksi Chlamydia pada mata dibagi menjadi 3 kelas (Klasifikasi Jones):

1. Kelas 1 (Blinding trachoma)

Kelas ini kelompok trakoma hiperendemis disebabkan oleh Chlamydia

trachomatis serotipe A, B, Ba, dan C; biasanya berhubungan dengan

infeksi sekunder. Sumber infeksi yaitu sekret mata penderita trachoma

aktif. Penularan dapat melalui beberapa cara, antara lain: langsung

melalui udara (airborne), vektor seperti lalat, atau adanya media

penularan, misalnya tangan dokter atau paramedik yang

terkontaminasi, tonometer terkontaminasi, sapu tangan, selimut, dan

handuk.

Di daerah hiperendemis, 30–50% populasi menderita penyakit aktif

dan 10% lainnya mengalami kebutaan sebagai sequelae keratitis

mikrobial berulang, sehingga timbul typical conjunctival scarring,

entropion, dan trichiasis. Kebutaan biasanya terjadi pada penderita

berusia >40 tahun.

2. Kelas 2 (Non-blinding trachoma)

Penyebab non-blinding trachoma sama dengan penyebab kelas 1, yaitu

Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba, dan C, namun tidak ada

infeksi sekunder.

19
3. Kelas 3 (Paratrachoma)

Paratrachoma meliputi penyakit Chlamydia okulo-genital yang

disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe D hingga K. Penyakit

ini sering dijumpai pada kelompok urban dengan manifestasi adult

inclusion conjunctivitis ataupun chlamydial ophthalmia neonatorum.

Prevalensi penderita adult inclusion conjunctivitis paling banyak

berusia 15–30 tahun dan terjadi sekunder terhadap chlamydial

urethritis, cervicitis, atau proctitis; umumnya 2–19 hari setelah

pajanan. Manifestasi adult inclusion conjunctivitis meliputi scanty

muco-purulent discharge, preauricular lymph nodes, dan mengenai dua

mata. Chlamydial ophthalmia neonatorum jarang terjadi segera setelah

lahir, paling sering 5 – 14 hari postpartum. Manifestasi chlamydial

ophthalmia neonatorum berbeda dari dewasa; pada neonatus, sering

dijumpai pseudomembranes dan hyper-purulent discharge. Reaksi

folikuler tidak dijumpai karena jaringan limfoid belum sempurna

e. Diagnosis

1. Klinis

Masa inkubasi trachoma bervariasi, biasanya 5 – 21 hari. Onsetnya

sering asimptomatik, jarang akut. Jika infeksi sekunder menyertai

trachoma, dijumpai berbagai komplikasi yang mungkin pada awalnya

sulit dibedakan dari konjungtivitis bakteri akut.8 Pada trachoma tanpa

infeksi sekunder, gejalanya minimal berupa sensasi benda asing yang

20
ringan, sesekali ada lakrimasi, dan sekret mukoid sedikit. Pada

trachoma dengan infeksi sekunder terdapat gejala seperti acute

mucopurulent conjunctivitis sel epitel mati dan mukus. Corneal signs

terdiri atas: keratitis superfisial, Herbert’s follicle (folikel di limbus),

Pannus (infiltrasi kornea yang berhubungan dengan vaskulerisasi dan

terlihat di bagian atas), ulkus kornea, Herbert pits, dan opasitas kornea.

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium termasuk pewarnaan intra-cytoplasmic

inlusion (Bedson bodies) dan polymerase chain reaction (PCR). WHO

menyebutkan 3 pemeriksaan penunjang utama diagnosis Chlamydia,

yaitu direct immunofluorescence assays (DFAs), enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA), nucleic acid amplification tests

(NAATs).6,9 Bedson bodies merupakan sel komplit Chlamydia,

namun tidak seperti dinding sel bakteri konvensional. Pemeriksaan ini

lebih sensitif dengan sinar ultraviolet, tampak pewarna Chlamydia

berpendar kuning. Biakan harus dalam media sel, bukan agar padat.

Chlamydia-specific immunoglobulin A (IgA) diproduksi oleh air mata

saat konjungtiva terinfeksi. Multiplikasi Chlamydia intra-sel menjadi

antigen, sehingga merangsang respons imun. Namun, respons imun

tersebut tidak melindungi sempurna sehingga sering rekuren. Uji

serologis tidak diindikasikan pada individu yang sebelumnya memiliki

antibodi terhadap Chlamydia. Saat ini, NAATs paling

21
direkomedasikan karena sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi, serta

tidak invasif dan dapat dilakukan pada pelayanan kesehatan tingkat

primer. Namun, NAATs belum memiliki lisensi komersial.

Gambar 1.2.5 Konjungtivitis Chlamidya

f. Penatalaksanaan

Terapi empiris Chlamydia conjunctivitis meliputi pemberian topikal salep

tetrasiklin dan eritromisin atau tetrasiklin sistemik/ oral 250 mg 4 kali

sehari selama 2 minggu. Terapi empiris terutama untuk penderita yang

menunggu konfirmasi diagnosis dari pemeriksaan penunjang. Menurut

WHO, penanganan Chlamydia conjunctivitis dirangkum menjadi strategi

SAFE, yang meliputi Surgery for trichiasis, Antibiotics for active disease,

Facial hygiene, dan Environmental improvement. Pembedahan hanya

untuk mengangkat entropion dan trichiasis serta mempertahankan

22
complete lid closure dengan prinsip rotasi tarsal bilamellar.10 Antibiotik

diberikan pada penderita ataupun keluarganya, bahkan komunitas di

sekitarnya untuk menekan penyebaran infeksi. Pilihan utama antibiotik

untuk Chlamydial conjunctivitis adalah azithromisin dosis tunggal 20

mg/kgBB. Pilihan antibiotik alternatif antara lain eritromisin 500 mg 2

kali sehari selama 14 hari atau doksisiklin 100 mg 2 kali sehari selama 10

hari. Pilihan antibiotik untuk neonatus yaitu eritromisin oral 50 mg/

kgBB/hari dibagi 4 kali sehari selama 10–14 hari. Untuk ibu hamil,

azithromisin cukup aman dan efektif; doksisiklin merupakan

kontraindikasi, khususnya pada trimester kedua dan ketiga. Pilihan

alternatif adalah amoksisilin 500 mg oral 3 kali sehari selama 7 hari.

Kebersihan wajah penting, terutama untuk pencegahan. Juga penyediaan

akses air bersih, memperbaiki higienitas personal diikuti sanitas

lingkungan, dan mengontrol populasi lalat, dan perbaikan lingkungan.

g. Pencegahan

Dua hal penting dalam pencegahan adalah kontrol infeksi secara adekuat

dan edukasi pasien dengan jelas. Tindakan kontrol infeksi yaitu

pemeriksaan menggunakan sarung tangan dan pelindung, didahului serta

diakhiri dengan mencuci tangan, teknik disinfeksi secara tepat, dan

sterilisasi alat. Edukasi pasien yaitu higienitas personal dan sanitasi

lingkungan. Kebersihan menjadi aspek paling penting untuk menurunkan

transmisi Chlamydia dengan cara tidak menggunakan satu handuk

23
bersama-sama, memiliki akses air bersih dan rajin membersihkan diri,

menjaga lingkungan seraya menekan populasi lalat.

2.2.6 Oftalmia Neonatorum (Konjungtivitis bayi)

a. Definisi

Infeksi konjungtiva akibat Neisseria gonorrhoeae yang terjadi akut

dibawah 4 minggu pertama kehidupan. Kejadian konjungtivitis gonokokal

neonatal yaitu 0,3% hingga 10% tiap tahun. Prevalensi infeksi menular

seksual mempengaruhi kejadian konjungtivitis gonokokal neonatal. Tidak

adanya profilaksis yang memadai meningkatkan 30% hingga 40% ON

gonokokal dengan persalinan per vaginam oleh ibu yang terinfeksi.

b. Etiologi

Penyebab dari oftalmia neonatorum yang paling berbahaya adalah bakteri

Neisseria gonorrhoeae yang merupakan bakteri diplokokus intraselular

gram negatif. Onsetnya bersifat hiperakut dan dapat menimbulkan gejala

klinis berupa kemosis berat, sekret mata yang purulen, keterlibatan kornea

berupa ulkus dan perforasi bola mata. Konjungtivitis gonore mengenai

bayi yang ditularkan oleh ibunya dimana infeksi terjadi pada saat bayi

melewati jalan lahir. Infeksi juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu

dapat melalui tangan, sapu tangan, handuk atau sebagai auto infeksi pada

orang-orang yang menderita uretritis atau servisitis gonoroika.

c. Patofisiologi

24
Patofisiologi konjungtivitis neonatus dipengaruhi oleh anatomi jaringan

konjungtiva pada bayi baru lahir. Inflamasi pada konjungtiva dapat

menyebabkan dilatasi pembuluh darah, kemosis, dan sekresi berlebihan.

Infeksi yang terjadi cenderung lebih berat pada neonatus karena

kurangnya imunitas, tidak adanya jaringan limfoid pada konjungtiva dan

tidak adanya air mata saat lahir. Bakteri gonokokus merusak membran

yang melapisi selaput lendir terutama kanalis endoserviks dan uretra.

Infeksi ekstragenital di faring, anus, dan rektum dapat dijumpai pada

kedua jenis kelamin. Penularan terjadi melalui kontak langsung antara

mukosa ke mukosa. Risiko penularan laki-laki kepada perempuan lebih

tinggi daripada penularan perempuan kepada laki-laki terutama karena

lebih luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama

di vagina. Infeksi gonokokus dapat menyebar melalui aliran darah,

menimbulkan bakteremia Bakteremia dapat terjadi pada laki-laki maupun

perempuan. Perempuan berisiko paling tinggi mengalami penyebaran

infeksi pada saat haid karena terjadinya peningkatan pH diatas 4,5 saat

menstruasi. Penularan perinatal kepada bayi saat lahir, melalui ostium

serviks yang terinfeksi, dapat menyebabkan konjungtivitis dan akhirnya

kebutaan pada bayi apabila tidak didiagnosis dan diobati.

25
Gambar 1. Patogenesis Neisseria Gonorrhea

d. Manifestasi Klinis

Oftalmia neonatorum biasanya menyerang kedua mata secara serentak,

sedang pada bentuk yang lainnya, biasanya menyerang satu mata

kemudian menjalar ke mata yang lainnya. Pada umumnya akan terlihat

akumulasi pus, kelopak mata bayi bengkak dan lengket akibat akumulasi

pus di bawahnya, dan konjungtiva hiperemi dan kemosis.

26
Gambar 2. Sekret purulen dan edema palpebra pada bayi baru lahir dengan

konjungtivitis gonococcal

Durasi konjungtivitis dapat mengarahkan dugaan bakteri penyebab.

Neisseria gonorrhoeae menyebabkan konjungtivitis hiperakut yang terjadi

kurang dari 12 jam. Bakteri lain yang menyebabkan konjungtivitis

hiperakut antara lain Neisseria kochii dan Neisseria meningitidis. Onset

konjungtivitis neonatorum muncul saat bayi berumur 3-4 hari kehidupan

namun dapat juga saat berumur 3 minggu.

Dibedakan menjadi 3 stadium:

1. Stadium Infiltratif

Berlangsung 1-3 hari. Ditandai dengan palpebra bengkak, hiperemi,

tegang, blefarospasme. Konjungtiva palpebra hiperemi, bengkak,

infiltrative, mungkin terdapat pseudomembran di atasnya. Pada

konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtival yang hebat, kemotik.

Terdapat sekret, serous, terkadang berdarah.

2. Stadium Supuratif atau Purulen

Berlangsung 2-3 minggu. Gejala tak begitu hebat. Palpebra masih

bengkak, hiperemis, tetapi tidak begitu tegang. Blefarospasme masih

ada. Sekret bercampur darah, keluar terus menerus. Kalau palpebra

dibuka, yang khas adalah sekret akan keluar dengan mendadak, oleh

karenanya harus hati-hati bila membuka palpebra, jangan sampai

mengenai mata pemeriksa.

27
3. Stadium Konvalesen (penyembuhan), hipertrofi papil

Berlangsung 2-3 minggu. Gejala tidak begitu hebat lagi. Palpebra

sedikit bengkak, konjungtiva palpebra hiperemi, tidak infiltrative.

Konjungtiva bulbi: injeksi konjungtiva masih nyata, tidak kemotik.

Sekret jauh berkurang.

Gejala khas konjungtivitis gonore adalah reaksi inflamasi berat disertai

nyeri hebat, sekret sangat banyak dan berwarna kehijauan, edema

palpebra, hiperemi, kemosis konjungtiva serta pembesaran kelenjar limfe

preaurikular. Pada kasus berat, kornea menjadi keruh dan edema. Jika

proses berlanjut dapat terjadi nekrosis sentral, ulkus bahkan perforasi

kornea yang mengakibatkan kebutaan. Neiserria gonorrhoeae

mengeluarkan enzim protease yang dapat melisiskan kornea utuh tanpa

didahului defek epitel.

e. Diagnosis Banding

Konjungtivitis purulen pada bayi sebaiknya dibedakan dengan oftalmia

neonatorum lainnya seperti klamidia konjungtivitis (inclusion blenore),

infeksi bakteri lain, virus dan jamur. Gambaran klinis dan pemeriksaan

laboratorium akan memberikan gambaran yang khusus untuk jenis infeksi,

yang akan memperlihatkan tanda-tanda infeksi virus, jamur dan bakteri

pada pemeriksaan sitologik.

28
f. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan

sekret mata dengan pewarnaan metilen biru, di mana akan didapatkan

adanya diplokok di dalam leukosit. Kemudian dengan pemeriksaan Gram,

akan terdapat sel intraselular atau ekstraselular dengan sifat Gram negatif.

Pemeriksaan gram yang dilakukan tidak dapat membedakan antara

neisseria gonorrhoeae dengan neisseria meningitidis. Diagnosis definitif

yang dapat dikerjakan adalah kultur sekret mata. Bayi yang terinfeksi

konjungtivitis gonore sebaiknya diperiksakan infeksi concomitan lainnya

seperti HIV, klamidia dan sifilis

Gambar 2. Pewarnaan Gram konjungtiva yang menunjukkan karakteristik

Gramnegative intracellular diplococci (gonococci).

g. Penatalaksanaan

Pengobatan segera dimulai bila terlihat pada pewarnaan Gram negative

diplokok batang intraselular dan sangat dicurigai konjungtivitis gonore.

29
Bayi baru lahir yang menderita konjungtivitis gonore harus dirawat dan

diisolasi di rumah sakit. Terapinya adalah seftriakson 25-50 mg/kg/BB

secara intramuskular atau intravena dengan maksimum 125 mg dosis

tunggal. Seftriakson tidak dsarankan untuk diberikan pada neonatus

dengan hiperbilirubinemia. Terapi lainnya adalah sefotaksim 100

mg/kgBB intramuskular atau intravena. Antibiotika topikal berspektrum

luas berupa salep mata seperti gentamisin, kuinolon, kanamisin, tetrasiklin

dan kloramphenikol dapat diberikan sebagai terapi tambahan. Terapi

antibiotika topikal diindikasikan bila ada keterlibatan kornea. Pengobatan

suportif adalah membersihkan sekret mata secara rutin setiap 5 menit

menggunakan lidi kapas basah dan irigasi mata dengan NaCl steril dua

kali sehari. Pembersihan sekret mutlak dilakukan karena sekret

mengandung enzim protease yang dapat melisiskan kornea. Untuk

mengurangi iritis diberikan sulfas atropin 1% topikal 1-2 kali sehari.

Pengobatan diberhentikan bila pada pemeriksaan mikroskopik yang dibuat

setiap hari menghasilkan 3 kali berturut-turut negatif.

h. Prognosis dan komplikasi

Prognosis pada konjungtivitis neonatus pada umumnya baik bila diberikan

penanganan yang tepat. Antibiotik telah mempengaruhi prognosis secara

signifikan pada konjungtivitis neonatus, terutama pada infeksi Neisseria

gonorrhoeae. Penyulit yang dapat terjadi adalah ulkus kornea marginal

terutama bagian atas. Ulkus ini mudah perforasi akibat adanya daya lisis

30
kuman gonokok. Pada anakanak sering terjadi keratitis ataupun ulkus

kornea sehingga sering terjadi perforasi kornea. Perforasi kornea dapat

mengakibatkan endoftalmitis dan panoftalmitis sehingga terjadi kebutaan

total.

i. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara membersihkan mata bayi segera

setelah lahir dengan larutan garam fisiologik dan memberikan salep

eritromisin atau tetracyclin.

j. Edukasi

Penting untuk mengedukasi orang tua atau keluarga pasien untuk menjaga

kebersihan tangan secara rutin, ini bertujuan untuk mencegah transmisi

oftalmia neonatus. Juga penting untuk mengedukasi ibu hamil mengenai

pentingnya pemeriksaan reguler untuk mendeteksi infeksi menular seksual

seperti herpes simplex, gonorrhea, dan chlamydia untuk menurunkan

insiden oftalmia neonatus.

2.3. Pterigium

a. Definisi

Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan pertumbuhan

jaringan fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva,

menginvasi bagian superfisial dari kornea (American Academy of

Ophthalmology Staff, 2011- 2012). Pterigium biasanya berbentuk segitiga

dengan bagian cap, head, and body. Cap terletak di bagian tepi pterigium yang

31
disusun oleh ‘gray subephitelial corneal opacity’, yang juga disebut daerah

abu-abu. Bagian head pterigium adalah peninggian massa yang melekat kuat

pada jaringan episklera di bawahnya. Bagian body pterigium merupakan

jaringan fibrovaskuler yang dibatasi oleh lipatan konjungtiva normal

b. Etiopatogenesis

Konsensus mengenai patogenesis pterigium belum ditentukan, namun

menurut penelitian faktor proliferatif berperan dalam patogenesis pterigium.

Berbagai teori mengenai patogenesis pterigium adalah paparan radiasi UV ,

disfungsi permukaan bola mata, stres oksidatif, perubahan sel stem limbus,

dan adanya growth factors. Paparan terhadap radiasi UV banyak diteliti dan

berkaitan dengan epidemiologi pertumbuhan pterigium, disertai pula dengan

adanya paparan debu yang menyebabkan peradangan kronis pada permukaan

bola mata. Penelitian pada nelayan yang terpapar sinar matahari namun sedikit

terpapar oleh debu ditemukan bahwa pantulan cahaya matahari pada

permukaan air laut yang mengarah pada jalur optik transkamera saat

memasuki mata dan mengenai daerah sel stem pada limbus pada bagian dalam

mata terutama di daerah nasal. Paparan terhadap radiasi UV juga

menimbulkan stres oksidatif yang ditemukan pada jaringan pterigium

dibandingkan jaringan konjungtiva normal. Stres oksidatif menyebabkan

perubahan pada Deoxyribonucleic acid (DNA) dan disebabkan oleh

peningkatan radiasi UV ditemukan pada jaringan pterigium dibandingkan

konjungtiva normal dan berhubungan dengan kadar p53 yang meningkat.

32
Kadar p53 ini juga ditemukan lebih banyak pada bagian sel basal daripada

permukaan sel pterigium

c. Klasifikasi

Pterigium terbagi 3 tipe berdasarkan terlihat atau tidaknya pembuluh darah

episklera, T1 (tipe atrofi) bila pembuluh darah episklera terlihat jelas, T2 (tipe

intermediate) bila pembuluh darah episklera terlihat sebagian, dan T3 (tipe

fleshy) bila pembuluh darah episklera tidak terlihat seluruhnya.

Gambar 1.3 .Tipe pterigium (Gambar A pterigium tipe atrofi (T1), gambar B

pterigium tipe intermediate (T2), gambar C pterigium tipe fleshy (T3)

d. Gejala

Pterigium pada gradasi awal biasanya asimtomatik. Beberapa keluhan yang

dikeluhkan mirip dengan keluhan dry eye, yaitu berupa rasa terbakar, gatal

ataupun berair. Dengan bertambahnya progresifitas dari pterigium, ukuran lesi

semakin membesar, dan dapat menjadi keluhan secara kosmetik bagi pasien.

Pada pterigium dengan gradasi yang lebih lanjut, dapat menimbulkan

gangguan visual, akibat adanya astigmatisme ataupun karena pterigium

menutup visual aksis (Arminlari dkk., 2010).

33
e. Penatalaksanaan

1. gejala ringan dapat diberi air mata buatan

2. untuk menghilangkan, dengan tindakan pembedahan

3. pakai kacamata UltraViolet resisten

4. bila mengganggu penglihatan dilakukan tindakan bedah

f. Pencegahan

Pencegahan terbentuknya pterigium yang direkomendasikan adalah dengan

menghindari paparan radiasi UV. Di daerah di mana paparan UV tinggi,

penggunaan topi dan kacamata pelindung matahari, sangat dianjurkan

g. Komplikasi dan Prognosis

Selain berpotensi menggangu kosmetik, pada pertumbuhan pterigium lanjut

dapat berpotensi menjadi penyebab kebutaan yang memerlukan tindakan

operasi untuk perbaikan visus (Laszuarni, 2009). Penglihatan dan kosmetik

pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama

postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien seteleh 48 jam postoperasi

dapat beraktivitas kembali.

Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah kekambuhan atau

rekuren atau tumbuh ulang pterigium postoperasi. Pterigium dinyatakan

kambuh apabila setelah dilakukan operasi pengangkatan ditemukan

pertumbuhan kembali jaringan pterigium yang disertai pertumbuhan kembali

neovaskularisasi yang menjalar kearah kornea. Jangka waktu terjadinya

kekambuhan pada berbagai studi disebutkan antara 1-2 bulan sesudah

34
pengangkatan (Swastika, 2008). Pasien dengan pterigium yang mengalami

kekambuhan dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva

autograft atau transplantasi membran amnion. Simple eksisi mempunyai

tingkat rekuren yang tinggi, kira-kira 50-80%. Terapi adjuvant berupa

autograph konjungtiva untuk mencegah kekambuhan pasca eksisi. (Emilia,

2014). Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan

epithel diatas pterigium yang ada (Laszuarni, 2009).

2.4. Subkonjungtiva Hemoragic

a. Definisi

Perdarahan subkonjunctiva adalah perdarahan akibat rupturnya pembuluh

darah dibawah lapisan konjunctiva

b. Tanda dan gejala

Hematom Subkonjungtiva dapat terjadi pada keadaan-keadaan dimana

pembuluhdarah rapuh (umur, hipertensi, arteriosklerosis, konjungtivitis

hemoragic, anemia,pemakaian antikoagulan dan batuk rejan). Perdarahan

subkonjungtiva dapat juga terjadiakibat trauma langsung maupun tidak

langsung, yang kadang–kadang menutupi perforasijaringan bola mata yang

terjadi. Pada fraktur basis cranii akan terlihat hematom kacamata karna

berbentuk kacamata biru pada kedua mata. Perdarahan subkonjungtiva dapat

terjadi karena trauma mayor, minor, atau sebabyang tidak dapat dideteksi

yang terjadi pada mata bagian depan. Secara klinis, perdarahansubkonjungtiva

tampak sebagai perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah

35
konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik

kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Hal ini akan

berlangsung lebih dari 2 sampai 3 minggu.

Konjungtiva mengandung banyak pembuluh darah kecil dan rapuh yang

mudahpecah atau rusak. Ketika hal ini terjadi, darah bocor ke dalam ruang

antara konjungtivadan sklera. Perdarahan subkonjungtiva merupakan akibat

dari rupturnya pembuluh darah konjungtivalis atau episklera. Namun

kadang tidak dapat ditemukan penyebabnya (perdarahan subkonjungtiva

idiopatik). Manuver Valsava sebelumnya (misalnya, batuk,tegang, muntah-

muntah, mengejan) juga bisa menjadi penyebab perdarahan

subkonjungtiva. Penyebab lain meliputi hipertensi dan gangguan

fungsi koagulasi, misalnya karena obat antikoagulan atau penyakit leukemia.

Selain itu, infeksi umum yang berhubungan dengan demam, defisiensi

vitamin C (scurvy), trauma mata tumpul atau tajam, benda asing,

pembedahan pada mata, dan konjungtivitis juga dapat menjadi

kemungkinan penyebabnya. Berbagai macam obat-obatan seperti obat

anti inflamasi non steroid, aspirin, kontrasepsi, vitamin A dan D juga

berhubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan

subkonjungtiva juga telah dilaporkan sebagaiakibat emboli dari patah tulang

panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi jantung, dan operasi-

operasi lain.

36
c. Etiologi

Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan

perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera. Sangat

jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada

permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa penuh dibawah

konjungtiva palpebre. Ketika hematoma menjadi larut akan mengalami iritasi

mata sedang.

1. Perdarahan subkonjungtiva sendiri akan jelas terlihat, permukaannya

berwarna merah terang dan halus disekitar sklera bahkan seluruh

permukaan sklera dapat terisi darah.

2. Pada perdarahan subkonjungtiva spontan (idiopatik), tidak ada darah yang

akan keluar dari mata. Jika mengusapkan tisu ke bola mata maka tidak

akandidapati darahdi tisu tersebut.

3. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu

kemudian akan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi. Karena

struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus

di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang

biasanya memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan

pembuluh darah.

Pada pasien tertentu, harus segera dikonsulkan ke dokter spesialis mata,

misalnya jika pasien merasa nyeri pada matanya, terjadi perubahan visus

37
(misalnya, penglihatan kabur,penglihatan ganda, kesulitan melihat), terdapat

riwayat cedera atau trauma baru-baru ini,terdapat riwayat gangguan

perdarahan, atau riwayat tekanan darah tinggi

d. Diagnosa

Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu

penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma,

trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila

perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-

langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian

kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.

Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata

proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena

sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia.

Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan. Selanjutnya, periksa reaktivitas

pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan

pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika

perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien

memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan

untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial

tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit, serta

protein C dan S

38
Pasien dengan pendarahan berulang, tes laboratorium seperti Prothrombin

Time (PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) dan hitung darah

lengkap harus diperiksa untuk menyingkirkan penyakit sistemik. Tes

laboratorium ini juga penting untuk pasien yang menggunakan obat

antikoagulan seperti heparin dan warfarin, penyakit von Willebrand's,

hemofili, dan defisiensi vitamin K. Tes laboratorium PT adalah untuk

protrombin, yang merupakan protein yang diproduksi oleh hati dan yang

produksinya tergantung pada vitamin K. PT mengevaluasi mekanisme

pembekuan ekstrinsik, termasuk faktor I, II, V, VII dan X

Gambar 1.4. Subkonjungtiva Hemoragic

e. Penatalaksanaan

Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pada

bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan

sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata

buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis

39
dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi

dilakukan sesuai dengan penyebabnya.

1. Asam Traneksamat

Asam traneksamat merupakan inhibitor fibrinolitik sintetik bentuk trans

dari asamkarboksilat sikloheksana aminometil. Secara in vitro, asam

traneksamat 10 kali lebihpoten dari asam aminokaproat. Asam

traneksamat merupakan competitive inhibitor dari aktivator plasminogen

dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan

fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah lain, oleh karena itu asam

traneksamat dapat digunakan untuk membantu mengatasi perdarahan

akibat fibrinolysis yang berlebihan.

2.5. Kemotik Konjungtiva Bulbi

a. Definisi

Kemosis konjungtiva merupakan pembengkakan jaringan konjungtiva sekitar

bola mata yang kadang-kadang berbentuk balon.

b. Etiologi

Edema konjungtiva berat disertai jaringan ikat dibawahnya yang dapat terjadi

akibat kena sinar ultraviolet atau konjungtivitis alergi, eksoftalmus goiter,

fraktur orbita, ruptur sclera, fistula arteri carotid, benda asing intra orbita dan

terpajannya konjungtiva.

c. Pengobatan

Antihistamin, kompres dingin, tetes mata steroid.

40
BAB III

KESIMPULAN

Konjungtivitis adalah inflamasi pada konjungtiva yang ditandai dengan

hiperemia konjungtiva dan keluarnya discharge ocular. Kondisi lingkungan yang

tidak higienis sering dihubungkan dengan kejadian konjungtivitis. Konjungtivitis

akibat kerja disebabkan oleh infeksi, iritan dan alergi di tempat kerja. Lingkungan

kerja yang buruk, karakteristik pekerja yang berisiko dan penggunaan alat pelindung

diri (APD) yang tidak sesuai merupakan faktor yang berisiko terhadap kejadian

konjungtivitis.

Selain konjungtivitis, kelainan pada konjungtiva terdiri dari pterigium,

pseudopterigium, subkonjungtiva hemoragic, dan kemotik konjungtiva bulbi.

41
DAFTAR PUSTAKA

Aminlari, A., Singh, R. & Liang, D., 2010. Management of Pterygium. Ophthalmic

Pearls.

Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, I.R., Shetlar, D.J., 2010. Konjungtiva. Dalam: Vaughan
& Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC

Ilyas S. 2010. Ilmu penyakit mata. Anatomi dan fisiologi mata. Edisi ketiga. Jakarta:

FK UI

Ilyas S.2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata . Jakarta: FK UI

Kemenkes RI (2016). http://www.depkes.go.id/download.php%3Ffile%3D

download/pusdatin/infodatin/infodatin-penglihatan.pdf

Majmudar. (2010). Conjunctivitis, Alergic, Departement of Ophthalmology: Rush.

Presbytarian-St. Luke’s Medical Center. Diakses 09 April 2014, dari:

hhtp://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview.

Oka, P., 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata III III.,

Surabaya: Airlangga.

Paulsen F & Waschke J, 2012; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 3. Edisi 23.
Jakarta: EGC
Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC

42
Swastika, M.A., 2008. Perbedaan Kekambuhan Pasca Ekstirpasi Pterygium Metode

Bare Sclera Dengan Transplantasi Limbal Stem Sel. semarang, bagian ilmu

kesehatan mata Universitas Diponegoro, pp.1–18.

Vaughan, Asbury. 2015. Oftalmologi umum. anatomi & embriologi mata. Edisi ke-

17. Jakarta: EGC

43

Anda mungkin juga menyukai