PENDAHULUAN
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat
reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut atau menahun (Ilyas,
2009).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konjungtiva
2.2.1 Anatomi
dan melekat erat pada tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
2
Gambar 1.1. Anatomi Konjungtiva
2.2.2 Histologi
stroma (adenoid dan fibrosa). Lapisan epitel terdiri atas dua hingga lima
lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Sel-sel epitel
superficial mengandung sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus
dimana sel-sel ini akan mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
2008). Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid (superficial) dan satu
tersusun longgar pada bola mata dan tersusun atas jaringan penyambung yang
3
2.2.3 Perdarahan dan Persarafan
Konjungtiva mendapat suplai aliran darah baik mealui arteri maupun vena.
Pembuluh darah arteri yang menyuplai konjungtiva berasal dari cabang arteri
posterior mengaliri vena pada kelopak mata dan vena konjungtiva anterior
2.2. Konjungtivitis
a. Definisi
b. Patofisiologi
4
mikroorganisme. Untuk mencegah terjadinya infeksi, konjungtiva memiliki
meatus nasi inferior. Disamping itu, tear film juga mengandung beta lysine,
(Soewono, 2006).
a. Definisi
bakteri umum di jumpai pada anak-anak dan dewasa dengan mata merah.
b. Etiologi
5
dan H Aegyptius dapat disertai dengan perdarahan subkonjungtiva.
c. Faktor Risiko
normal. Penyakit dengan supresi imun dan trauma juga dapat melemahkan
purulen dengan palpebra saling melengket saat bangun tidur, dan kadang-
kadang edema palpebra. Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan
6
e. Diagnosis
dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya
f. Penatalaksanaan
7
memulai terapi dengan antimikroba topikal spektrum luas seperti
polymyxin-trimethoprim.
neisseria), harus segera diberikan terapi topikal dan sistemik. Jika kornea
disembuhkan.
g. Komplikasi
8
2.2.2 Konjungtivitis Virus
a. Definisi
berbagai jenis virus. Penyakit ini berkisar antara penyakit berat yang dapat
(Garcia-Ferrer, 2008).
b. Etilogi
2006).
fotofobia, mata berarir (watery discharge) serta edema pada kelopak mata.
folikular pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok pada kedua
tekan) merupakan tanda yang khas. Konjungtivitis virus jenis ini lebih
9
renang ber-khlor rendah, bisa unilateral maupun bilateral (Garcia-
Awalnya hanya mengenai satu mata saja dan biasanya mata pertama yang
terkena cenderung lebih parah. Temuan klinis pada pasien ini adalah
injeksi konjungtiva, nyeri sedang, dan mata berair yang dalam 5-14 hari
adalah tanda yang khas. Pada anak-anak, mungkin terdapat gejala sistemik
infeksi virus, seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media dan diare
(Garcia-Ferrer, 2008).
dan ditandai dengan injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri dan
fotofobia ringan. Penyakit ini terjadi pada infeksi primer HSV atau saat
episode kambuh herpes mata, sering disertai keratitis herpes simpleks dan
(Garcia-Ferrer, 2008).
10
d. Diagnosis
11
e. Terapi
a. Definisi
2009)
b. Etiologi
sari (pollen), seperti tepung sari, rumput, gulma dan lain-lain, dimana
alergen ini hanya muncul pada musim tertentu saja. Konjungtivitis alergi
parennial biasanya disebabkan oleh alergen yang biasa kita temui (tidak
12
memerlukan musim tertentu), seperti tungau. Keratokonjungtivitis vernal
hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim panas dan musim
c. Patofisiologi
meliputi dua proses, yaitu sensitisasi dan memicu penjamu yang telah
Langerhans, sel dendrit, dan MHC kelas II. Antigen akan terpecah
II. Kemudian, dibawa oleh APC menuju sel limfosit Th0 (native)
untuk memicu terjadinya reaksi tipe Th2. Sitokin yang dirilis oleh sel
13
indiveidu yang tersensitisasi akan menyebabkan terjadinya cross-
inilah yang akan memicu timbulnya manifestasi klinis pada fase akut
sel mast dan eusinofil pada konjungtiva, peningkatan IgE total dan
spesifik serta mediator lainnya pada serum dan air mata, serta respon
14
terapi terhadap stabilizer sel mast pada kasus keratokunjungtivitis
2009).
(puffy eyes), mata berair, ada sekret mukus, dan rasa terbakar (Bonini,
susu, terdapat banyak papila halus pada konjungtiva tarsalis inferior, serta
papila raksasa mirip batu kali pada konjungtiva tarsalis superior. Mungkin
adalah gatal pada kedua mata dan kulit kelopak mata, mata berair dan
15
disfungsi kelenjar mebumian yang berhubungan dengan mata kering
(Bonini, 2009).
e. Diagnosis
f. Penatalaksanaan
16
vernal, pemulihan terbaik dicapai dengan pindah ke tempat beriklim sejuk
sehingga pasien merasa nyaman. Gejala akut pada pasien fotofobia sering
Ferrer,2008).
Konjungtivitis jamur sering disebabkan oleh Candida albicans, namun hal ini
jarang terjadi. Umumnya terdapat bercak putih dan pada kerokan konjungtiva
a. Definisi
vaskuler, sel infiltrat, dan eksudat. Penyakit ini bervariasi mulai dari
17
kimiawi, reaksi imun, dan infeksi. Salah satu agen infeksi yang
b. Etiologi
c. Epidemiologi
131 juta kasus baru infeksi Chlamydia pada rentang usia 15 – 49 tahun,
dengan angka insidens global sebesar 38 setiap 1000 wanita dan 33 setiap
1000 pria. Selain itu, di berbagai negara angka insidens paling besar pada
lahir. Oleh karena itu, pada konjungtivitis bayi yang berusia < 30 hari,
perlu dicurigai terinfeksi Chlamydia karena pajanan pada jalan lahir ibu
yang terinfeksi.
18
d. Klasifikasi
handuk.
infeksi sekunder.
19
3. Kelas 3 (Paratrachoma)
e. Diagnosis
1. Klinis
20
ringan, sesekali ada lakrimasi, dan sekret mukoid sedikit. Pada
terlihat di bagian atas), ulkus kornea, Herbert pits, dan opasitas kornea.
2. Pemeriksaan Penunjang
berpendar kuning. Biakan harus dalam media sel, bukan agar padat.
21
direkomedasikan karena sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi, serta
f. Penatalaksanaan
SAFE, yang meliputi Surgery for trichiasis, Antibiotics for active disease,
22
complete lid closure dengan prinsip rotasi tarsal bilamellar.10 Antibiotik
kali sehari selama 14 hari atau doksisiklin 100 mg 2 kali sehari selama 10
kgBB/hari dibagi 4 kali sehari selama 10–14 hari. Untuk ibu hamil,
g. Pencegahan
Dua hal penting dalam pencegahan adalah kontrol infeksi secara adekuat
23
bersama-sama, memiliki akses air bersih dan rajin membersihkan diri,
a. Definisi
neonatal yaitu 0,3% hingga 10% tiap tahun. Prevalensi infeksi menular
b. Etiologi
klinis berupa kemosis berat, sekret mata yang purulen, keterlibatan kornea
bayi yang ditularkan oleh ibunya dimana infeksi terjadi pada saat bayi
melewati jalan lahir. Infeksi juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu
dapat melalui tangan, sapu tangan, handuk atau sebagai auto infeksi pada
c. Patofisiologi
24
Patofisiologi konjungtivitis neonatus dipengaruhi oleh anatomi jaringan
tidak adanya air mata saat lahir. Bakteri gonokokus merusak membran
lebih luasnya selaput lendir yang terpajan dan eksudat yang berdiam lama
infeksi pada saat haid karena terjadinya peningkatan pH diatas 4,5 saat
25
Gambar 1. Patogenesis Neisseria Gonorrhea
d. Manifestasi Klinis
akumulasi pus, kelopak mata bayi bengkak dan lengket akibat akumulasi
26
Gambar 2. Sekret purulen dan edema palpebra pada bayi baru lahir dengan
konjungtivitis gonococcal
1. Stadium Infiltratif
dibuka, yang khas adalah sekret akan keluar dengan mendadak, oleh
27
3. Stadium Konvalesen (penyembuhan), hipertrofi papil
preaurikular. Pada kasus berat, kornea menjadi keruh dan edema. Jika
e. Diagnosis Banding
infeksi bakteri lain, virus dan jamur. Gambaran klinis dan pemeriksaan
28
f. Pemeriksaan Penunjang
akan terdapat sel intraselular atau ekstraselular dengan sifat Gram negatif.
yang dapat dikerjakan adalah kultur sekret mata. Bayi yang terinfeksi
g. Penatalaksanaan
29
Bayi baru lahir yang menderita konjungtivitis gonore harus dirawat dan
menggunakan lidi kapas basah dan irigasi mata dengan NaCl steril dua
terutama bagian atas. Ulkus ini mudah perforasi akibat adanya daya lisis
30
kuman gonokok. Pada anakanak sering terjadi keratitis ataupun ulkus
total.
i. Pencegahan
j. Edukasi
Penting untuk mengedukasi orang tua atau keluarga pasien untuk menjaga
2.3. Pterigium
a. Definisi
dengan bagian cap, head, and body. Cap terletak di bagian tepi pterigium yang
31
disusun oleh ‘gray subephitelial corneal opacity’, yang juga disebut daerah
abu-abu. Bagian head pterigium adalah peninggian massa yang melekat kuat
b. Etiopatogenesis
disfungsi permukaan bola mata, stres oksidatif, perubahan sel stem limbus,
dan adanya growth factors. Paparan terhadap radiasi UV banyak diteliti dan
bola mata. Penelitian pada nelayan yang terpapar sinar matahari namun sedikit
permukaan air laut yang mengarah pada jalur optik transkamera saat
memasuki mata dan mengenai daerah sel stem pada limbus pada bagian dalam
32
Kadar p53 ini juga ditemukan lebih banyak pada bagian sel basal daripada
c. Klasifikasi
episklera, T1 (tipe atrofi) bila pembuluh darah episklera terlihat jelas, T2 (tipe
Gambar 1.3 .Tipe pterigium (Gambar A pterigium tipe atrofi (T1), gambar B
d. Gejala
dikeluhkan mirip dengan keluhan dry eye, yaitu berupa rasa terbakar, gatal
semakin membesar, dan dapat menjadi keluhan secara kosmetik bagi pasien.
33
e. Penatalaksanaan
f. Pencegahan
pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama
34
pengangkatan (Swastika, 2008). Pasien dengan pterigium yang mengalami
a. Definisi
terjadi. Pada fraktur basis cranii akan terlihat hematom kacamata karna
terjadi karena trauma mayor, minor, atau sebabyang tidak dapat dideteksi
35
konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik
kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Hal ini akan
mudahpecah atau rusak. Ketika hal ini terjadi, darah bocor ke dalam ruang
operasi lain.
36
c. Etiologi
permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa penuh dibawah
mata sedang.
akan keluar dari mata. Jika mengusapkan tisu ke bola mata maka tidak
struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus
pembuluh darah.
misalnya jika pasien merasa nyeri pada matanya, terjadi perubahan visus
37
(misalnya, penglihatan kabur,penglihatan ganda, kesulitan melihat), terdapat
d. Diagnosa
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu
penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma,
proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena
sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia.
pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan
protein C dan S
38
Pasien dengan pendarahan berulang, tes laboratorium seperti Prothrombin
Time (PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) dan hitung darah
protrombin, yang merupakan protein yang diproduksi oleh hati dan yang
e. Penatalaksanaan
sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata
buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis
39
dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi
1. Asam Traneksamat
fibrinogen, fibrin dan faktor pembekuan darah lain, oleh karena itu asam
a. Definisi
b. Etiologi
Edema konjungtiva berat disertai jaringan ikat dibawahnya yang dapat terjadi
fraktur orbita, ruptur sclera, fistula arteri carotid, benda asing intra orbita dan
terpajannya konjungtiva.
c. Pengobatan
40
BAB III
KESIMPULAN
akibat kerja disebabkan oleh infeksi, iritan dan alergi di tempat kerja. Lingkungan
kerja yang buruk, karakteristik pekerja yang berisiko dan penggunaan alat pelindung
diri (APD) yang tidak sesuai merupakan faktor yang berisiko terhadap kejadian
konjungtivitis.
41
DAFTAR PUSTAKA
Aminlari, A., Singh, R. & Liang, D., 2010. Management of Pterygium. Ophthalmic
Pearls.
Garcia-Ferrer, F.J., Schwab, I.R., Shetlar, D.J., 2010. Konjungtiva. Dalam: Vaughan
& Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC
Ilyas S. 2010. Ilmu penyakit mata. Anatomi dan fisiologi mata. Edisi ketiga. Jakarta:
FK UI
download/pusdatin/infodatin/infodatin-penglihatan.pdf
hhtp://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview.
Oka, P., 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata III III.,
Surabaya: Airlangga.
Paulsen F & Waschke J, 2012; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 3. Edisi 23.
Jakarta: EGC
Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
42
Swastika, M.A., 2008. Perbedaan Kekambuhan Pasca Ekstirpasi Pterygium Metode
Bare Sclera Dengan Transplantasi Limbal Stem Sel. semarang, bagian ilmu
Vaughan, Asbury. 2015. Oftalmologi umum. anatomi & embriologi mata. Edisi ke-
43