Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual
yang dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada
anak lainnya. Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara
komersial dalam kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk
terlibat dalam kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan
pelacuraran anak. Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta
dapat menimpa siapa saja, kekerasan seksual tidak hanya dalam bentuk kekerasan
seksual fisik, namun dapat berupa pelecehan yang berkonteks seksual melalui media
sosial dan internet
Kekerasan pada anak merupakan kasus fenomena gunung es, hanya beberapa
kasus saja yang dapat dilaporkan, dan sisanya tidak terungkap. Angka kekerasan
seksual di dunia tercatat 73 juta anak laki - laki dan 150 juta anak perempuan menjadi
korban kekerasan seksual pada anak. Beberapa negara mencatat sekitar 21 % wanita
melaporakan telah mengalami pelecehan seksual ketika usianya dibawah 15 tahun.
Setengah dari jumlah kekerasan seksual yang terjadi di dunia merupakan kekerasan
seksual pada anak dibawah usia 15 tahun, 700.000 diantaranya merupakan korban
perdagangan manusia, dan 80 % korban merupakan anak dan wanita.
Berdasarkan Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan
dan Anak) sepanjang 2019-2021, terjadi peningkatan pelaporan kasus kekerasan
terhadap perempuan maupun anak Angka laporan kasus kekerasan terhadap anak
tercatat meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus pada 2020, dan menjadi
14.517 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari
12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Sementara itu, angka
laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019,
8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021.
Kekerasan seksual memiliki dampak serius bagi korban dari segi psikologi
yaitu dapat menyebabkan penurunan harga diri, menurunnya kepercayaan diri,
kecemasan, ketakutan terhadap perkosaan atau terhadap tindak kriminal lainnya. Pada
anak dapat terjadi gejala depresi, rasa tidak berdaya, merasa terisolasi, mudah marah,
ketakutan, kecemasan, hingga penyalahgunaan zat adiktif. Dampak fisik dari
kekerasan seksual dapat berupa gangguan kehamilan akibat kehamilan yang tidak
diinginkan yang merupakan efek dari perkosaan. Kekerasan seksual juga dapat
berdampak pada kehidupan sosial korban berupa masalah dengan kebudayaan korban
yang menjadikan gangguan interaksi dengan orang sekitar, masalah harga diri dimana
dibeberapa negara pemerkosa diwajibkan menikahi korban untuk menebus kesalahan
untuk menjaga nama baik keluarga korban, hal ini cenderung menyebabkan masalah
rumah tangga, dan masalah dalam penilaian sosial.
Dampak fisik dari kekerasan seksual dapat berupa gangguan kehamilan akibat
kehamilan yang tidak diinginkan yang merupakan efek dari perkosaan, gangguan
kesehatan seksual atau reproduksi dapat berupa penyakit menular seksual, dan risiko
bunuh diri pada korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual juga dapat berdampak
pada kehidupan sosial korban berupa masalah dengan kebudayaan korban yang
menjadikan gangguan interaksi dengan orang sekitar, masalah harga diri dimana
dibeberapa negara pemerkosa diwajibkan menikahi korban untuk menebus kesalahan
untuk menjaga nama baik keluarga korban, hal ini cenderung menyebabkan masalah
rumah tangga, dan masalah dalam penilaian sosial. Dampak yang ditimbulkan oleh
kekerasan seksual tidak hanya mempengaruhi setelah korban mengalami kekerasan
seksual, namun dapat mempengaruhi sampai ke kehidupan mendatang korban,
sehingga pemulihan korban dari dampak kekerasan seksual membutuhkan waktu yang
lama.
Pengurangan risiko kekerasan seksual dapat dilakukan melalui pendidikan
ketrampilan dan pengetahuan mengenai seksualitas. Kemampuan perlindungan diri
pada anak dapat mengurangi risiko anak menjadi korban kekerasan seksual. Masa usia
dini sering dikatakan sebagai masa keemasan atau The Golden Age Moment. Usia 0
sampai dengan 8 tahun adalah masa di mana anak memiliki kemampuan penyerapan
informasi yang sangat pesat. Kepesatan kemampuan otak anak dalam menyerap
berbagai informasi di sekitarnya juga diiringi dengan rasa ingin tahu yang sangat
tinggi. Rasa ingin tahu yang sangat tinggi ditunjukkan anak dengan aktif bertanya
tentang berbagai hal yang mereka temui, serta mencari tahu berbagai jawaban yang
mereka inginkan dengan bereksplorasi. Salah satu rasa ingin tahu yang sangat tinggi
pada anak usia dini adalah berkaitan dengan seks. Anak dibawah usia 8 tahun masih
belum dapat membedakan informasi yang mengandung unsur seksual dari media
sosial dan kenyataan. Pendidikan kognitif mengenai seksualitas sangat penting untuk
diberikan pada anak usia ini untuk dapat mencegah anak salah menerima informasi
melalui media.
Pendidikan mengenai seks dini pada anak dapat diberikan dengan pemberian
pendidikan mengenai personal safety skill yaitu pendidikan seks dini yang diberikan
pada anak tentang apa saja yang dapat mereka lakukan apabila ada situasi yang
mengancam diri mereka sehingga dapat berada pada situasi aman. Pendidikan
personal safety skill pada anak dapat juga memberikan kemampuan anak dalam
melindungi dirinya sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu kekerasan seksual pada anak?
2. Apa saja bentuk kekerasan seksual pada anak?
3. Bagaimana tanda-tanda kekerasan seksual pada anak?
4. Bagaimana pencegahan kekerasan seksual pada anak?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep kekerasan seksual pada anak
2. Untuk mengetahui bentuk kekerasan seksual pada anak
3. Untuk mengetahui tanda-tanda kekerasan seksual pada anak
4. Untuk mengetahui pencegahan kekerasan seksual pada anak
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kekerasan Seksual Pada Anak


1. Pelecehan Seksual Secara Umum
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang
berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh
orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif atau rasa
malu, marah, tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban
pelecehan. Pelecehan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan
yang lebih dari pada korban. kekuasaan dapat berupa posisi pekerjaan yang
lebih tinggi, kekuasaan ekonomi, kekuasaan jenis kelamin yang satu terhadap
jenis kelamin yang lain, jumlah personal yang lebih banyak, dsb. Rentang
pelecehan seksual ini sangat luas, meliputi main mata, siulan nakal, komentar
yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan
di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat seksual,
ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan
hubungan seksual sampai perkosaan.
2. Pelecehan Seksual Pada Anak
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu  bentuk penyiksaan
anak, dimana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak
untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak  termasuk meminta
atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan
paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk  anak, menampilkan
pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak,
kontak fisik dengan alat kelamin anak kecuali dalam konteks non-seksual
tertentu seperti pemeriksaan medis, melihat alat kelamin anak tanpa kontak
fisik kecuali dalam konteks non-seksual seperti  pemeriksaan medis, atau
menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
B. Bentuk Kekerasan Seksual Pada Anak
1. Pelecehan Seksual Berupa Sentuhan
a. Pelaku memegang-megang, meraba atau mengelus organ vital anak
seperti alat kelamin, bagian pantat, dada atau payudara.
b. Pelaku memasukkan bagian tubuhnya atau benda lain ke mulut, anus,
atau kemaluan anak.
c. Pelaku memaksa anak untuk memegang bagian tubuhnya sendiri,
bagian tubuh pelaku, atau bagian tubuh anak lain.
2. Pelecehan Seksual Tidak Berupa Sentuhan
a. Pelaku mempertunjukkan bagian tubuhnya termasuk alat kelamin pada
anak atau remaja secara cabul, tidak pantas, atau tidak senonoh.
b. Pelaku mengambil gambar memfoto atau merekam anak atau remaja
dalam aktivitas yang tidak senonoh, dalam adegan seksual yang jelas
nyata, maupun adegan yang secara tersamar memancing pemikiran
seksual. Contohnya, pelaku merekam anak yang sedang membuka
bajunya.
c. Kepada anak, pelaku memperdengarkan atau memperlihatkan
visualisasi gambar, foto, video, dan semacamnya yang mengandung
muatan seks dan  pornografi. Misalnya, pelaku mengajak anak
menonton film dewasa.
d. Pelaku tidak menghargai privasi anak atau remaja, misalnya tidak
menyingkir  dan justru menonton ketika ada seorang anak mandi atau
berganti pakaian.
e. Pelaku melakukan percakapan bermuatan seksual dengan anak atau
remaja, baik  eksplisit bahasa lugas maupun implisit tersamar.
Percakapan ini bisa dilakukan melalui telepon, chatting , internet,
surat, maupun sms.

C. Tanda-tanda Kekerasan Seksual Pada Anak


Korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki dan perempuan berusia bayi
sampai usia 6 tahun. kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan
percaya. gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas.
Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan
bersikap manis dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian. Meskipun
pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-
tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka waktu
panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah
mengalami pelecehan seksual.
Tanda-tanda fisik seorang anak yang mengalami pelecehan seksual antara lain
memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit kelamin, dan sakit
kerongkongan tanpa penyebab jelas bisa merupakan indikasi seks oral. Tanda perilaku
emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat
tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan susah tidur,
mimpi buruk, dan ngompol, menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.
Anak usia prasekolah gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut :
a. Tanda fisik antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif,
keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut,
sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial kelakuan yang tiba-tiba
berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.

D. Pencegahan Kekerasan Seksual Pada Anak


1. Menjalin komunikasi dan kehangatan dengan anak
Komunikasi dapat menjadi upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak.
Dengan komunikasi, orang tua akan memberikan informasi kepada anak terkait
edukasi seksual. Sebaliknya, komunikasi juga dapat memberikan gambaran
kepada orang tua mengenai dengan siapa anaknya berinteraksi dan apa saja yang
dialami olehnya. Komunikasi yang diterapkan dengan anak, yaitu dengan
menciptakan komunikasi dua arah. Salah satu bentuk komunikasi dua arah yang
dapat dilakukan dengan anak adalah diskusi.
2. Memberikan edukasi seksual kepada anak
Meskipun edukasi seks masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat,
hal ini dapat menjadi langkah utama dalam mencegah kekerasan seksual pada
anak. Edukasi seks ini dapat memberikan pengertian bagi anak bahwa tubuhnya
merupakan ranah privat yang tidak bisa disentuh oleh orang lain tanpa
persetujuannya dan mereka berhak merasa tidak nyaman apabila ada orang lain
yang menyentuh tubuhnya.
3. Melakukan deteksi dini
Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual tidak selalu memiliki tanda
yang jelas. Beberapa anak mungkin akan berusaha menutupi apa yang dialaminya
dengan tidak menceritakan kekerasan tersebut kepada orang tua. Namun, orang
tua perlu mewaspadai hal-hal yang mencurigakan tampak pada anak dan terlihat
terus-menerus dalam jangka waktu panjang, yaitu:

a. Anak mengalami perubahan sikap yang drastis/mendadak. Hal ini bisa


dilihat apabila anak yang semula ceria dan ramah tiba-tiba menjadi
murung dan menghindari orang lain.
b. Anak mengeluhkan rasa sakit pada bagian tubuhnya, terutama pada bagian
alat kelaminnya.
c. Anak mengompol, padahal sebelumnya tidak pernah mengompol lagi.
d. Anak mengalami penurunan dalam prestasi belajar.
e. Anak meminta agar tidak ditinggalkan sendiri

Apabila orang tua mendapati tanda-tanda tersebut pada anak, jangan ragu
untuk langsung membawa anak menuju dokter anak atau psikolog anak untuk
memeriksakan kondisi fisik dan psikologisnya. 

4. Mengajarkan anak untuk membuat batasan


Batasan perlu dibicarakan dengan anak. Dalam konteks ini, anak perlu
diajarkan untuk mengatakan tidak atau menolak secara tegas apabila ada orang
lain yang ingin menyentuh tubuhnya. Anak juga perlu diajari untuk
mengungkapkan apa yang dia rasakan. Itulah cara mencegah kekerasan seksual
pada anak yang wajib diterapkan oleh orang tua. Jauhkan anak dari kekerasan
seksual yang tentu saja membahayakan.
Referensi

Humaira, D., Rohmah, N., Rifanda, N., Novitasari, K., Diena, U., & Nuqul, F. L. (2015).
Kekerasan seksual pada anak: Telaah relasi pelaku korban dan kerentanan pada anak.
Jurnal Psikoislamika, 12(2), 5-10.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (2020). Angka kekerasan


terhadap anak tinggi di masa pandemi, Kemen PPPA sosialisasikan protokol perlindungan
anak. Tersedia di: https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2738/angka-
kekerasan-terhadap-anak-tinggi-di-masa-pandemi-kemen-pppa-sosialisasikan-protokol-
perlindungan-anak.

Anda mungkin juga menyukai