Anda di halaman 1dari 12

ISU AGAMA DAN RUANG PUBLIK : MAYORITAS DAN

MINORITAS DALAM KONTRUKSI MULTIKULTURALISME

Mega Asri Lestari


IAIN Palangka Raya
E-mail: megaalesta15@gmail.com

ABSTRACT
The issue of majority-minority is not a simple matter because it involves justice,
equitable public service, providing equal opportunities to people without
discriminating against the composition or number of residents and concerns the
objective conditions of the population of different cultural backgrounds whose
numbers are not balanced. On the one hand, the majority group claims to have played
a great role in building the character of the group and nation, and therefore demands
more. On the other hand, minority groups demand equal treatment and services in the
name of human rights and rights as citizens. As a result, the increase in conflict due to
the gap between the majority and the minority in social strata is growing recently.
Conflict, of course, is serious problems tham must be addressed because it can
damage the harmony life. To minimize conflict, both the majority and the minority
must aligned using multiple attempts.

Kata Kumci : Mayoritas, Minoritas, Multikulturalisme

Pendahuluan
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak hanya hidup di ruang
hampa dari berbagai interaksi sosial, menuntut adanya interaksi yang intensif dengan
manusia yang lainnya. Adanya interaksi tersebut tentunya, disadari atau tidak
disadari, akan menghadirkan benturan-benturan kepentingan ataupun sekedar
penguatan identitas suatu komunitas atas komunitas yang lainnya. Implikasinya,
kelompok yang berhasil dalam proses penguatan identitas tersebut karena adanya
dukungan sosial, baik dengan pertimbangan kuantitas ataupun kualitas, cenderung
akan memproklamirkan diri sebagai kelompok mayoritas yang disadari atau tidak
disadari akan memunculkan pula kelompok minoritas sebagai kelompok yang
umumnya dianggap sebagai komunitas sosial kelas dua yang berada dibawah
pengaruh kelompok mayoritas dalam berbagai dimensi kehidupan sosial meski
biasanya mengabaikan aspek-aspek produktivitas kelompok minoritas.
Adanya kesenjangan jarak antara kelompok mayoritas dan minoritas ini
tentunya akan menjadi suatu sandungan tersendiri demi terciptanya kestabilan
pembangunan nasional dalam kehidupan berbangsa, bernegara, beragama, dan
berkeyakinan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.
Parahnya, pengaruh kelompok mayoritas terhadap minoritas biasanya sudah
menyentuh hal-hal yang sangat prinsip kelompok yang sudah seyogyanya menjadi
hak asasi bagi komunitas yang dikategorikan sebagai kelompok minoritas. Dalam hal
keyakinan beragama misalnya, apa yang diyakini sebagai kebenaran oleh kelompok
mayoritas sebagai suatu keyakinan beragama yang normatif dan profan, harus
dihormati oleh kelompok minoritas sebagai suatu kebenaran yang tidak terbantahkan.
Sebaliknya, apabila kelompok minoritas memiliki keyakinan beragama yang berbeda
dengan kelompok mayoritas, maka mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat
yang telah melawan keyakinan arus utama sehingga berbagai tindakan provokatif dan
refresif sering mereka peroleh darikelompok mayoritas seperti pelabelan sebagai
kelompok sesat, diskriminasi dalam hal akses pada pelayanan publik, pemasungan
kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan, bahkan sampai
pada tindakan-tindakan brutal seperti pembakaran rumah ibadah, penyerangan dan
pembantaian terhadap komunitas tertentu yang semua itu merupakan suatu tindakan
yang tidak pernah dibenarkan oleh agama dan keyakinan apapun.
Dalam kajian sosiologi agama, koeksistensi mayoritas dan minoritas mendapat
ruang pembahasan dalam konteks agama dan konflik sosial sebab penyebab terjadinya
konflik adalah faktor golongan mayoritas dan minoritas agama. Faktanya, konflik
agama yang terjadi di Indonesia sering dilakukan oleh kelompok agama mayoritas
kepada kelompok agama atau kepercayaan minoritas karena kelompok minoritas
dianggap tidak memiliki ajaran yang sesuai dengan kelompok mayoritas. Oleh karena
itu, isu mayoritas minoritas menjadi penting dalam pembahasan ini.
Will Kymlica meriyatakan bahwa isu multikulturalisme sebenarnya adalah
isu-isu kelompok minoritas yang menuntut persamaan kedudukan dan kesetaraan hak
berhadapan dengan kelompok mayoritas yang dominan dan, karenanya, dianggap
mengancam. Persoalan mayoritas-minoritas bukan perkara yang sederhana karena
menyangkut persoalan keadilan, pelayanan masyarakat secara merata, pemberian
kesempatan yang sama kepada semua orang tanpa membeda-bedakan komposisi atau
jumlah penduduk.

Pengertian Mayoritas dan Minoritas


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata mayoritas adalah
jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan
dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu.
Sedangkan, minoritas menurut KBBI adalah Golongan sosial yang jumlah warganya
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat.
Versi lain dalam “Kamus English-Indonesia Dictionary”, bahwaistilah minoritas
berasal dari kata “minority”,yang berarti “golongan kecil” ataupun “laporan dari
golongan kecil”. Dengan demikian, mayoritas mengandung arti kebalikan dari kata
minoritas yaitu golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih besar dan lebih
banyak bila dibandingkan dengan golongan lain di suatu masyarakat.
Batasan Mayoritas dan minoritas adalah terminologi sosiologis untuk merujuk
kepada kuantitas individu yang terhimpun dalam kesatuan ensitas. Sebagai sebuah
konsep atau paradigma. Istilah ini sering digunakan untuk membangun kerangka
analistis relasi suatu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Disamping itu,
pengertian minoritas dan mayoritas sesungguhnya sudah mengandung makna politik,
dimana yang satu merujuk kepada kumpulan-kumplan atau pertemuan-pertemuan,
dan rapat-rapat yang berjumlah banyak, dan lazimnya supreme dalam banyak hal,
sedangkan satu lagi merujuk kepada kumpulan atau pertemuan-pertemuan individu
yang lebih sedikit, yang secara kualitas tidak mungkin lebih supreme dari yang
mayoritas.
Minoritas etnik atau ras berdasarkan kelompok agama memang selalu
digambarkan oleh pengelompokan sejumlah orang beragama tertentu, yang secara
kuantitatif (nominal/matematis) maupun kualitatif (peran dan status sosial) berbeda
dengan agama kelompok ras dominan atau mayoritas. Dari sudut pandang ilmu sosial,
pengertian minoritas tidak selalu terkait dengan jumlah anggota kelompoknya, suatu
kelompok akan dapat dianggap sebagai kelompok minoritas apabila anggota-
anggotanya memiliki kekuasaan, kontrol, perlindungan, dan pengaruh yang lemah
terhadap kehidupannya sendiri bila dibandingkan dengan anggota-anggota kelompok
dominan atau mayoritas. Dengan demikian, bisa saja suatu kelompok secara kuantitas
atau jumlah dari anggotanya merupakan mayoritas (dominan), akan tetapi dikatakan
sebagai kelompok minoritas karena kekuasaan, kontrol dan pengaruh yang dimiliki
lebih kecil dan lebih lemah dari pada kelompok yang jumlah anggotanya lebih sedikit
(minoritas).

Latar Belakang Munculnya Mayoritas dan Minoritas


Latar belakang munculnya isu mayoritas dan minoritas sesungguhnya bermula
dari pemahaman istilah kata “mayoritas” (al-Akthariyat) sebagai lawan dari pada kata
“minoritas” (al-Aqaliyat) yang diistilahkan bagi agama-agama yang mayoritas dan
minoritas adalah selindupan pihak barat ke dalam literature modern kaum Muslimin
dan merupakan hasil dari pengaruh Yahudi, Nasrani dan beberapa lainnya yang juga
menganut agama-agama monoteis, termasuk kaum Muslim dan ahli Kitab. Islam
menolak dengan tegas sektarianisme agama yang didasarkan atas pengelompokkan
mayoritas dan minoritas, dengan demikian isu-isu tentang timbulnya kelompok
minoritas dan mayoritas dalam Islam tidak ada.
Dalam UUD negara Islam yang pertama (yang berdiri di Madinah pasca hijrah
Rasulullah Saw. dari Mekah pada tahun 1H/622M), Kita dapati pasal-pasal mencapai
lima puluh dua butir. Kita temukan pasal yang berbicara tentang kaum Yahudi
berjumlah empat belas. Dalam pasal-pasal ini dijelaskan tentang penggabungan kaum
Yahudi ke dalam keseluruhan rakyat negara baru ini. Mereka dianggap sebagai satu
umat bersama kaum mukmin dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Pasal-pasal ini
mengatur persamaan hak dan kewajiban antara mereka dan kaum mukmin, serta
mengatur hak utuh mereka dalam menjalankan keyakinan agama yang berbeda
dengan kaum muslim. Dengan demikian, dalam UUD ini Kita bisa membaca satu
bentuk kodifikasi yang sudah sangat maju dalam hal pengakuan terhadap Pihak Lain,
persamaan kaum minoritas dengan kaum mayoritas, dan pengakuan prinsip pluralitas
agama di tengah warga satu negara.
Berbeda dengan paradigma Barat tentang isu-isu mayoritas dan minoritas.
Konsepsi dunia Barat tentang mayoritas dan minoritas dalam berbagai bentuknya
adalah didasarkan pada konsep barat tentang demokrasi, kekuasaan dan politik.
Sebelum masa renaissance, masyarakat Barat tidak mengenal konsep
minoritas sebagai konsep politik dan hukum. Hal ini karena aturan hukum berpijak
pada filosofi hak ketuhanan. Raja atau penguasa akan memerintah atas nama Tuhan
dan agama. Karena itu, kedaulatan merujuk kepada (milik) raja, bukan milik rakyat.
Dia yang membuat hukum sekaligus juga memerintah. Perintah (hukum)nya berlaku
dan diterima tanpa reserve. Rakyat wajib patuh dan menerima tanpa melihat lagi etnis
dan bahasa mereka.
Ketika pemikiran Barat mulai membebaskan dirinya dan memberontak dari
kungkungan gereja dan pemikiran keagamaan yang mendominasi pada abad
pertengahan, pemikiran Barat mulai mengarahkan pandangannya kepada hal yang
lebih universal, dan menempatkan individu sebagai pusat perhatian. Slogan-slogan
yang diangkat dalam revolusi Prancis, yang menjadi titik balik sejarah dalam
perjuangan antara para pemikir dan gereja, didominasi kata-kata: liberte, fraternite,
egalite (kebebasan, persaudaraan, persamaan).
Barat telah membagi kehidupan kedalam praktik-praktik spiritual dan sekular,
agama dan politik, serta agama telah direduksi menjadi sekedar praktik ritual belaka.
Barat juga memperkenalkan praktik-praktik politik dalam suatu hubungan otoritarian,
dimana masyarakat atau rakyat dijadikan sebagai sumber otoritas yang merupakan
basis demokrasi atau kekuasaan, karena Barat menolak kedaulatan Tuhan.
Dengan kata lain, karena rakyat dikenal sebagai sumber otoritas dan
kekuasaan, maka sebuah kriteria harus diperkenalkan untuk mengukur opini atau
pendapat publik, mengingat publik jarang sekali memiliki suara bulat dalam
menyikapi berbagai persoalan yang muncul, karena itu maka diperkenalkanlah isu-isu
dan kriteria mayoritas secara mutlak (di atas 50% suara) sebagai standar yang pantas,
dan bahwa prinsip demokrasi mutlak, yang terbukti sangat sulit untuk
dipraktikkan,kemudian digantikan dengan “kekuasaan mayoritas” (majoritocracy).
Sementara itu, kelompok minoritas (dengan suara kurang dari 50%) maka akan
menderita marjinalisasi kekuasaan, otoritas, kedaulatan dan hak untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan dan kekuasaan menjadi hilang.
Dengan demikian, konsep minoritas dalam konsep politik dan undang-undang
Barat merupakan produk dan hasil dari perkembangan intelektual dan politik serta
perubahan yang terjadi di Barat.
Bahkan isu-isu mayoritas dan minoritas muncul dari adanya kasta-kasta,
misalnya dalam ajaran agama Hindu memiliki sistem kasta telah mendominasi
kehidupan sosial di India selama berabad-abad dan mendapat dukungan dari Kitab-
Kitab Suci Hindu. Kasta-kasta itu adalah kasta Brahmana, Kesatria, Waisyadan Sudra.
Dari kasta-kasta itu ada yang mendominasi dan berkuasa terhadap kasta yang
lain,sehingga muncullah istilah kelompok yang minoritas dan kelompok yang
mayoritas di antara kasta-kasta tersebut. Kasta yang berkuasa atau memiliki otoritas
dianggap sebagai kelompok yang mayoritas.
Ajaran Islam juga tidak mengakui adanya pembagian masyarakat berdasarkan
kasta-kasta seperti ajaran agama Hindu. Bahkan Islam juga tidak seperti masyarakat
modern yang mengkultuskan nasionalisme sempit (minoritas) yang didasarkan pada
ras, warna kulit, latar belakang sejarah, batasan geografis, ekskulusifisme
kebudayaan, dan paham politik atau ideology sempit (persial). Justru masyarakat
Islam adalah masyarakat terbuka (ummah) yang meliputi seluruh Muslimin di seluruh
penjuru dunia dan kelompok-kelompok non Muslim yang tinggal di negri-negri
Muslim dengan tanpa melakukam diskriminasi sedikitpun, apalagi mempertentangkan
dengan isu-isu kelompok mayoritas dan minoritas.

Problematika Mayoritas-Minoritas
Pada satu pihak, kelompok mayoritas mengklaim telah memainkan peran yang
besar dalam membangun karakter kelompok dan bangsa sehingga menuntut lebih
banyak. Pada pihak lain kelompok minoritas menuntut perlakuan dan pelayanan yang
sama atas nama hak asasi dan hak sebagai warga negara. Akibatnya, terdapat
ketidakseimbangan, yaitu tuntutan kelompok minoritas sering melampaui apa yang
dapat diterima dan ditoleransi oleh kelompok mayoritas.
Akan tetapi, dalam paham multikulturalisme, isu mayoritas minoritas
merupakan isu yang paling sering dimunculkan sebagai trigger yang memicu
munculnya isu-isu lainnya. Para pendukung multikulturalisme sering memunculkan
isu ini untuk mendesak kelompok mayoritas memperlakukan kelompok minoritas
sesuai dengan kerangka pemikiran mereka. Mohammad Fathy Osman mengemukakan
bahwa pluralisme berarti bahwa kelompok kelompok minoritas dapat berperan serta
secara penuh dan setara dengan kelompok mayoritas dalam masyarakat sambil
mempertahankan identitas dan perbedaan mereka yang khas.
Berbeda dengan pernyataan Fathy Osman, Bikhu Parekh lebih realistis melihat
komposisi mayoritas minoritas dalam suatu negara. Dengan mengambil contoh di
Inggris, ia menyarankan umat non Kristen untuk menerima perlakuan istimewa
pemerintah Inggris terhadap agama Kristen Anglikan karena telah berjasa membentuk
karakter dan kebudayaan bangsa Inggris hingga sekarang. Pada kenyataannya, hingga
sekarang, pemerintah Inggris masih tetap mempertahankan hak-hak istimewa Gereja
Anglikan. Warga Inggris yang non-Kristen Anglikan tidak perlu cemburu atas
perlakuan istimewa tersebut. Mereka harus menerima hal itu sebagai sesuatu yang
wajar. Oleh karena itu, apa yang mereka lakukan adalah perjuangan atas hak-hak
mereka sendiri secara lebih proporsional, bukan gugatan atas hak-hak istimewa pada
gereja Anglikan.
Untuk kasus Indonesia, hal yang sama seharusnya menjadi pertimbangan.
Renungan Mohammad Sobary perlu disimak bahwa di antara masalah yang secara
nasional dianggap penting, masalah hubungan Islam dan non-Islam tidak kalah
penting untuk diperhatikan. Jika hubungan harmonis terlalu kompleks dan karena itu
tidak mudah diciptakan, sebaiknya kita urus diri kita masing. masing. Yang mayoritas
jangan terlalu bangga dengan posisi mayoritasnya dan tidak menampakkan
dominasinya terhadap yang minoritas. Sebaliknya, yang minoritas pun tidak perlu
menaruh curiga kepada kaum mayoritas.
Jika ada perlakuan dan fasilitas pemerintah yang agak berbeda. terhadap umat
Islam di Indonesia, hal itu harus dimengerti karena tuntutan pelayanan kepada lebih
banyak umat yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini. Pelayanan
yang sama kepada banyak orang berimplikasi pada akumulasi yang lebih banyak pula
dalam hal fasilitas dan pelayanan dan perhatian. Contoh konkret misalnya perlunya
sejumlah regulasi tentang wakaf, penyelenggaraan haji, zakat, dan pendidikan agama
akan berimplikasi pada pelayanan dan fasilitas yang harus diberikan. Hal ini tidak
bisa disebut diskriminasi karena semuanya dilakukan demi keseimbangan bagi
pelayanan publik. Jika tidak demikian, pemerintah akan menghadapi kesulitan dalam
menghadapi kompleksitas umat Islam di tengah tengah bangsa yang majemuk ini.
Jadi, memang, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat hampir selalu ada
kelompok mayoritas, baik di bidang agama, ekonomi, moral, politik, maupun lainnya.
Biasanya yang minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami
penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas sehingga akhirnya hubungan antara
kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan konflik sosial yang ditandai oleh
sikap subjektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat.
Secara umum kelompok mayoritas cenderung mempertahankan posisinya
yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan
mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan mendorong
mereka untuk melakukan penindasan dan menyia-nyiakan potensi produktif dari
kaum minoritas. Oleh sebab itu, istilah "dominasi mayoritas", bahwa pihak mayoritas
mendominasi sehingga pihak minoritas terkalahkan kepentingannya. Contohnya, yaitu
pada suatu negara yang penduduk aslinya yang mayoritas mungkin saja mengabaikan
kepentingan penduduk pendatang yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Pada sisi
sebaliknya, istilah yang benar adalah "tirani minoritas", yaitu pihak yang sedikit
jumlahnya, tetapi karena terlalu kuat menjadi sewenang-wenang dan menekan pihak
yang jumlahnya lebih banyak. Contohnya, kediktatoran. Seorang diktator, meskipun
suaranya tidak mencerminkan mayoritas rakyat, karena kekuatannya, ia menekan
mayoritas rakyat. Akan tetapi, pada umumnya yang mayoritas lebih menguasai
minoritas.
Pada umumnya kaum minoritas sering mengalami kesulitan atau hambatan
ketika berhadapan dengan kaum mayoritas. Faktor yang memengaruhi adanya
hambatan tersebut, antara lain prasangka historis, diskriminasi, dan perasaan
superioritas in-group feeling yang berlebihan. Sebagai contoh, orang-orang Jawa
yang menetap di Bandung cenderung untuk berlaku seperti layaknya orang Sunda dan
menaati semua peraturan di tempat-tempat umum, hal ini terjadi terutama pada
masyarakat Jawa menegah ke bawah.
Berkaitan dengan konflik keagamaan, seorang penganut agama minoritas
kemungkinan besar mengalami kesulitan untuk memenuhi hak religius dan sipilnya,
tetapi itu dilihat sebagai harga status minoritasnya. Hal ini karena alasan berikut.
Pertama, kelompok tersebut memiliki karakteristik etnis, religius, agama, bahasa, dan
ikatan kultural yang jelas berbeda dari mayoritas masyarakat lainnya. Kedua, jumlah
anggota kelompok tersebut lebih kecil daripada kelompok masyarakat lainnnya.
Ketiga, yang bersifat objektif adalah prinsip non-dominant, yang mengekslusifkan
kelompok dominan mayoritas dari definisi minoritas. Dalam hal ini semua kelompok
dapat dianggap minoritas, asalkan mereka berada dalam posisi nondominan dan
berkeinginan mempertahankan identitas mereka yang berbeda.

Urgensi Sistem Multikulturalisme dalam Meretas Mayoritas-Minoritas Sebagai


dasar Pembentukan Kerukunan Umat Beragama
Masyarakat plural, multikultural merupakan fenomena masyarakat modern.
Interaksi antarsuku bangsa, ras, dan etnis semakin menguat seiring dengan
pertumbuhan globalisasi dan modernisasi. Akan tetapi, peradaban agama-agama
sudah sejak lama mempraktikkan prinsip kemajemukan ini. Dalam agama Islam hal
tersebut dapat dilihat sejak Nabi Muhammad SAW. merintis terbentuknya masyarakat
di Madinah. Melalui al-Shahifah al Madinah (Madinah Charter), Nabi SAW.
berusaha mencari titik temu antar-kepentingan berbagai golongan, kabilah, dan agama
di Madinah. Langkah pertama Nabi adalah mengakui hak eksistensi berbagai
kelompok itu dalam dokumen Konstitusi Madinah. Hal sama juga dilakukan Khalifah
Umar bin Khaththab dalam sikapnya terhadap penduduk Yerussalem yang
terdokumentasikan dalam Piagam Aelia (nama lain Yerussalem).
Teladan Nabi (sunnah) secara estafet yang dipraktikkan Khalifah Umar juga
dipraktikkan pada masa Khalifah Umawi di Andalusia (Spanyol) yang
memperlakukan politik multikultur yang gemilang. Dalam catatan sejarah, Umawi
mendapat sanjungan dari Max Dimont yang menyebutnya sebagai rahmat bagi
Andalusia yang mengakhiri kezaliman dan kekelaman kolonialisme dan pemaksaan
agama pada waktu sebelumnya. Di bawah rezim pemerintahan Islam yang bertahta
selama 700 tahun, Spanyol diibaratkan sebagai negeri tiga agama dan satu tempat
tidur, yaitu orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi hidup rukun dan bersama-sama
menyertai peradaban gemilang.
Dalam paham multikulturalisme, isu mayoritas minoritas merupakan isu yang
paling sering dimunculkan sebagai trigger yang memicu munculnya isu-isu lainnya.
Para pendukung multikulturalisme sering memunculkan isu ini untuk mendesak
kelompok mayoritas memperlakukan kelompok minoritas sesuai dengan kerangka
pemikiran mereka. Mohammad Fathy Osman mengemukakan bahwa pluralisme
berarti bahwa kelompok kelompok minoritas dapat berperan serta secara penuh dan
setara dengan kelompok mayoritas dalam masyarakat sambil mempertahankan
identitas dan perbedaan mereka yang khas.
Multikulturalisme memiliki banyak pengertian. Salah satu pengertiannya
menekankan adanya penghargaan terhadap keanekaragaman di luar kebiasaan atau
budaya dominan. Pandangan multikulturalisme bermanfaat untuk mengetahui
bagaimana struktur sosial menciptakan dan menjaga budaya- budaya yang berbeda
dalam suatu masyarakat.
Menurut Azyumardi Azra, “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah
“pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan
kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas,
dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat” (Rivai 2004).
Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian
diwujudkan dalam kesadaran politik.
Dalam kerangka politik multikulturalisme, Kymlicka mengemukakan terdapat
dua aspek munculnya multikulturalisme, yakni migrasi yang masuk ke suatu daerah
dan adanya kebanggaan sebagai minoritas. Aspek pertama dialami oleh negara-
negara tujuan imigran dalam studi kasus yang diteliti pada negara Amerika Serikat,
Kanada, dan Australia. Sedangkan aspek kedua lebih bersifat pada unsur identitas
yang dimiliki oleh individu yang dirasa lebih kuat dari pada rasa nasionalismenya
(Kymlicka 2011).
Pada dasarnya semua bangsa di dunia bersifat multikultural. Adanya
masyarakat multikultural memberikan nilai tambah bagi bangsa tersebut. Keragaman
ras, etnis, suku ataupun agama menjadi karakteristik tersendiri, sebagaimana bangsa
Indonesia yang unik dan rumit karena kemajemukan suku bangsa, agama, bangsa
maupun ras. Masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang
berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau Bhinneka Tunggal Ika yang
multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat
nasional dan lokal.
Untuk kasus di Indonesia, konsep multikultural ini mencakup bagaimana nilai-
nilai Pancasila sinergis dengan fakta sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat
majemuk. Dalam konteks demokrasi, kenyataan kemajemukan menjadi persoalan
yang cukup serius. Sebab demokrasi pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi
realitas perbedaan, seperti perbedaan suku, agama, dan etnisitas yang disandang
secara askriptif oleh manusia. Oleh karena itu, usaha usaha untuk menghilangkan atau
menegaskan identitas kesukuan, kelompok agama, dan ras merupakan tindakan yang
bertolak belakang dengan nilai-nilai luhur demokrasi yang memberi ruang kebebasan
dan rasa aman (social security) sebagai ruang bagi terciptanya interaksi
antarkelompok warga secara wajar (being existence with the other).
Rasa aman dan pengakuan terhadap eksistensi dapat menjadi modal sosial bagi
berbagai kelompok etnik dan/atau etnisitas dalam menyokong proses pembangunan.
Dengan situasi yang kondusif perbedaan kelompok dan etnis serta agama berpeluang
besar untuk saling berdialog, bersimbiosis, dan dapat hidup berdampingan secara
harmonis tanpa harus kehilangan jati diri identitas primordialnya masing-masing.
Situasi yang kontras akan terjadi jika rasa aman dan ruang bebas bagi masyarakat
terusik. Pluralitas dan kemajemukan justru berbalik menjadi potensi disintegrasi
sehingga mengakibatkan lepasnya ikatan kebangsaan yang selama ini ditegakkan di
atas unsur unsur kesukuan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan integrasi nasional,
haruslah diawali dengan beberapa langkah strategis untuk melakukan pengakuan
(recognisi) serta mempelajari dan memahami persoalan SARA secara terbuka, arif,
dan jujur. Dengan demikian, dihasilkan beragam pandangan yang didasarkan pada
fakta yang sesungguhnya, bukan berdasarkan opini subjektif.
Memang, dalam masyarakat plural, kehendak bersama (common will) sulit
diraih. Kehendak untuk merawat kerukunan nasional dalam masyarakat plural sulit
diwujudkan, kecuali melalui penguatan penghormatan terhadap seluruh hak eksistensi
semua elemen masyarakat. Di sini basis legitimasi kebangsaan tidak lagi didasarkan
atas kepentingan politik dominan. Identias berbangsa harus didasarkan pada
keragaman etnis, bahasa, dan keagamaan yang dikukuhkan dengan loyalitas terhadap
seperangkat aturan hukum, ide, dan institusi politik yang dipandang adil dan efektif.
Lagi-lagi peran negara menjadi signifikan untuk menegakkan the rule of law yang
menjamin keseimbangan dan keadilan antargugus kebangsaan.

Penutup
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata mayoritas adalah jumlah
orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan
dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu.
Sedangkan, minoritas menurut KBBI adalah Golongan sosial yang jumlah warganya
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat.
Latar belakang munculnya isu mayoritas dan minoritas sesungguhnya bermula dari
pemahaman istilah kata “mayoritas” (al-Akthariyat) sebagai lawan dari pada kata
“minoritas” (al-Aqaliyat) yang diistilahkan bagi agama-agama yang mayoritas dan
minoritas adalah selindupan pihak barat ke dalam literature modern kaum Muslimin
dan merupakan hasil dari pengaruh Yahudi, Nasrani dan beberapa lainnya yang juga
menganut agama-agama monoteis, termasuk kaum Muslim dan ahli Kitab. Dengan
adanya pemahaman dan pendidikan multikulturalisme di Indonesia, memungkinkan
akan terwujudnya komunikasi lintas budaya. Artinya adanya keinginan untuk saling
mengenal antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya, sehingga hal ini akan
mengurangi gesekan-gesekan yang ditimbulkan dari perbedaan-perbedaan yang ada di
dalam membangun dan mengembangkan potensi yang ada dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Daftar Pustaka
Jamaludin, Adon Nasrullah. 2015. Agama & Konflik Sosial. Bandung : Pustaka Setia.
Susanto, Edi. 2016. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Prenamedia Group.
Umihani, Umihani. PROBLEMATIKA MAYORITAS DAN MINORITAS DALAM
INTERAKSI SOSIAL ANTAR UMAT BERAGAMA. Tazkiya, [S.l.], vol. 20, no.
02, p. 248 - 268, dec. 2019. ISSN 1411-7886. Tersedia di:
<http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/tazkiya/article/view/2374>.
Diakses: 12 Juni 2022.
Isu Mayoritas dan Minoritas. 20 Januari 2020. Rakyat Merdeka. Tersedia di:
https://rm.id/baca-berita/kolom/26611/isuisu-islam-kontemporer-25-isu-
mayoritas-dan-minoritas. Diakses : 12 Juni 2022
Rambe, Khairani Aulia. 2016. Perspektif Minoritas Kristen Di Daerah Mayoritas
Islam Terhadap Kerukunan Umat Beragama, (Studi KasusDesaBandar Setia,
Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang). Tersedia di :
http://repository.uinsu.ac.id/4715/5/BAB%20III%20KHAIRANI.pdf.
Diakses : 12 Juni 2022.
Latif, Syarifudin. 2012. MERETAS HUBUNGAN MAYORITAS-MINORITAS
DALAM PERSPEKTIF NILAI BUGIS. Al-Ulum. Vol. 12, No. 1, Hal. 97-116.
Tersedia di: https://media.neliti.com/media/publications/184319-ID-meretas-
hubungan-mayoritas-minoritas-dal.pdf. Diakses : 12 Juni 2022.
Budiman, Hikmat. 2021. Minoritas, Multikulturalisme, Minoritas. Tersedia di :
https://hikmatbudiman.id/kakophonia/files/minoritas_multikulturalisme_mode
rnitas.php. Diakses : 12 Juni 2022.
As, Zaenal Abidin. 2016. Menanamkan Konsep Multikulturalisme di Indonesia.
Dinamika Global. Vol. 01, No. 2. Tersedia di: http://fisip.unjani.ac.id/wp-
content/uploads/2017/08/MENANAMKAN-KONSEP-
MULTIKULTURALISME-DI-INDONESIA-Zaenal-Abidin-As.pdf. Diakses :
12 Juni 2022.

Anda mungkin juga menyukai