Mega Asri Lestari - Uts - Sak - 2B
Mega Asri Lestari - Uts - Sak - 2B
ABSTRACT
The issue of majority-minority is not a simple matter because it involves justice,
equitable public service, providing equal opportunities to people without
discriminating against the composition or number of residents and concerns the
objective conditions of the population of different cultural backgrounds whose
numbers are not balanced. On the one hand, the majority group claims to have played
a great role in building the character of the group and nation, and therefore demands
more. On the other hand, minority groups demand equal treatment and services in the
name of human rights and rights as citizens. As a result, the increase in conflict due to
the gap between the majority and the minority in social strata is growing recently.
Conflict, of course, is serious problems tham must be addressed because it can
damage the harmony life. To minimize conflict, both the majority and the minority
must aligned using multiple attempts.
Pendahuluan
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak hanya hidup di ruang
hampa dari berbagai interaksi sosial, menuntut adanya interaksi yang intensif dengan
manusia yang lainnya. Adanya interaksi tersebut tentunya, disadari atau tidak
disadari, akan menghadirkan benturan-benturan kepentingan ataupun sekedar
penguatan identitas suatu komunitas atas komunitas yang lainnya. Implikasinya,
kelompok yang berhasil dalam proses penguatan identitas tersebut karena adanya
dukungan sosial, baik dengan pertimbangan kuantitas ataupun kualitas, cenderung
akan memproklamirkan diri sebagai kelompok mayoritas yang disadari atau tidak
disadari akan memunculkan pula kelompok minoritas sebagai kelompok yang
umumnya dianggap sebagai komunitas sosial kelas dua yang berada dibawah
pengaruh kelompok mayoritas dalam berbagai dimensi kehidupan sosial meski
biasanya mengabaikan aspek-aspek produktivitas kelompok minoritas.
Adanya kesenjangan jarak antara kelompok mayoritas dan minoritas ini
tentunya akan menjadi suatu sandungan tersendiri demi terciptanya kestabilan
pembangunan nasional dalam kehidupan berbangsa, bernegara, beragama, dan
berkeyakinan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.
Parahnya, pengaruh kelompok mayoritas terhadap minoritas biasanya sudah
menyentuh hal-hal yang sangat prinsip kelompok yang sudah seyogyanya menjadi
hak asasi bagi komunitas yang dikategorikan sebagai kelompok minoritas. Dalam hal
keyakinan beragama misalnya, apa yang diyakini sebagai kebenaran oleh kelompok
mayoritas sebagai suatu keyakinan beragama yang normatif dan profan, harus
dihormati oleh kelompok minoritas sebagai suatu kebenaran yang tidak terbantahkan.
Sebaliknya, apabila kelompok minoritas memiliki keyakinan beragama yang berbeda
dengan kelompok mayoritas, maka mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat
yang telah melawan keyakinan arus utama sehingga berbagai tindakan provokatif dan
refresif sering mereka peroleh darikelompok mayoritas seperti pelabelan sebagai
kelompok sesat, diskriminasi dalam hal akses pada pelayanan publik, pemasungan
kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinan, bahkan sampai
pada tindakan-tindakan brutal seperti pembakaran rumah ibadah, penyerangan dan
pembantaian terhadap komunitas tertentu yang semua itu merupakan suatu tindakan
yang tidak pernah dibenarkan oleh agama dan keyakinan apapun.
Dalam kajian sosiologi agama, koeksistensi mayoritas dan minoritas mendapat
ruang pembahasan dalam konteks agama dan konflik sosial sebab penyebab terjadinya
konflik adalah faktor golongan mayoritas dan minoritas agama. Faktanya, konflik
agama yang terjadi di Indonesia sering dilakukan oleh kelompok agama mayoritas
kepada kelompok agama atau kepercayaan minoritas karena kelompok minoritas
dianggap tidak memiliki ajaran yang sesuai dengan kelompok mayoritas. Oleh karena
itu, isu mayoritas minoritas menjadi penting dalam pembahasan ini.
Will Kymlica meriyatakan bahwa isu multikulturalisme sebenarnya adalah
isu-isu kelompok minoritas yang menuntut persamaan kedudukan dan kesetaraan hak
berhadapan dengan kelompok mayoritas yang dominan dan, karenanya, dianggap
mengancam. Persoalan mayoritas-minoritas bukan perkara yang sederhana karena
menyangkut persoalan keadilan, pelayanan masyarakat secara merata, pemberian
kesempatan yang sama kepada semua orang tanpa membeda-bedakan komposisi atau
jumlah penduduk.
Problematika Mayoritas-Minoritas
Pada satu pihak, kelompok mayoritas mengklaim telah memainkan peran yang
besar dalam membangun karakter kelompok dan bangsa sehingga menuntut lebih
banyak. Pada pihak lain kelompok minoritas menuntut perlakuan dan pelayanan yang
sama atas nama hak asasi dan hak sebagai warga negara. Akibatnya, terdapat
ketidakseimbangan, yaitu tuntutan kelompok minoritas sering melampaui apa yang
dapat diterima dan ditoleransi oleh kelompok mayoritas.
Akan tetapi, dalam paham multikulturalisme, isu mayoritas minoritas
merupakan isu yang paling sering dimunculkan sebagai trigger yang memicu
munculnya isu-isu lainnya. Para pendukung multikulturalisme sering memunculkan
isu ini untuk mendesak kelompok mayoritas memperlakukan kelompok minoritas
sesuai dengan kerangka pemikiran mereka. Mohammad Fathy Osman mengemukakan
bahwa pluralisme berarti bahwa kelompok kelompok minoritas dapat berperan serta
secara penuh dan setara dengan kelompok mayoritas dalam masyarakat sambil
mempertahankan identitas dan perbedaan mereka yang khas.
Berbeda dengan pernyataan Fathy Osman, Bikhu Parekh lebih realistis melihat
komposisi mayoritas minoritas dalam suatu negara. Dengan mengambil contoh di
Inggris, ia menyarankan umat non Kristen untuk menerima perlakuan istimewa
pemerintah Inggris terhadap agama Kristen Anglikan karena telah berjasa membentuk
karakter dan kebudayaan bangsa Inggris hingga sekarang. Pada kenyataannya, hingga
sekarang, pemerintah Inggris masih tetap mempertahankan hak-hak istimewa Gereja
Anglikan. Warga Inggris yang non-Kristen Anglikan tidak perlu cemburu atas
perlakuan istimewa tersebut. Mereka harus menerima hal itu sebagai sesuatu yang
wajar. Oleh karena itu, apa yang mereka lakukan adalah perjuangan atas hak-hak
mereka sendiri secara lebih proporsional, bukan gugatan atas hak-hak istimewa pada
gereja Anglikan.
Untuk kasus Indonesia, hal yang sama seharusnya menjadi pertimbangan.
Renungan Mohammad Sobary perlu disimak bahwa di antara masalah yang secara
nasional dianggap penting, masalah hubungan Islam dan non-Islam tidak kalah
penting untuk diperhatikan. Jika hubungan harmonis terlalu kompleks dan karena itu
tidak mudah diciptakan, sebaiknya kita urus diri kita masing. masing. Yang mayoritas
jangan terlalu bangga dengan posisi mayoritasnya dan tidak menampakkan
dominasinya terhadap yang minoritas. Sebaliknya, yang minoritas pun tidak perlu
menaruh curiga kepada kaum mayoritas.
Jika ada perlakuan dan fasilitas pemerintah yang agak berbeda. terhadap umat
Islam di Indonesia, hal itu harus dimengerti karena tuntutan pelayanan kepada lebih
banyak umat yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini. Pelayanan
yang sama kepada banyak orang berimplikasi pada akumulasi yang lebih banyak pula
dalam hal fasilitas dan pelayanan dan perhatian. Contoh konkret misalnya perlunya
sejumlah regulasi tentang wakaf, penyelenggaraan haji, zakat, dan pendidikan agama
akan berimplikasi pada pelayanan dan fasilitas yang harus diberikan. Hal ini tidak
bisa disebut diskriminasi karena semuanya dilakukan demi keseimbangan bagi
pelayanan publik. Jika tidak demikian, pemerintah akan menghadapi kesulitan dalam
menghadapi kompleksitas umat Islam di tengah tengah bangsa yang majemuk ini.
Jadi, memang, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat hampir selalu ada
kelompok mayoritas, baik di bidang agama, ekonomi, moral, politik, maupun lainnya.
Biasanya yang minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami
penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas sehingga akhirnya hubungan antara
kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan konflik sosial yang ditandai oleh
sikap subjektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat.
Secara umum kelompok mayoritas cenderung mempertahankan posisinya
yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan
mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan mendorong
mereka untuk melakukan penindasan dan menyia-nyiakan potensi produktif dari
kaum minoritas. Oleh sebab itu, istilah "dominasi mayoritas", bahwa pihak mayoritas
mendominasi sehingga pihak minoritas terkalahkan kepentingannya. Contohnya, yaitu
pada suatu negara yang penduduk aslinya yang mayoritas mungkin saja mengabaikan
kepentingan penduduk pendatang yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Pada sisi
sebaliknya, istilah yang benar adalah "tirani minoritas", yaitu pihak yang sedikit
jumlahnya, tetapi karena terlalu kuat menjadi sewenang-wenang dan menekan pihak
yang jumlahnya lebih banyak. Contohnya, kediktatoran. Seorang diktator, meskipun
suaranya tidak mencerminkan mayoritas rakyat, karena kekuatannya, ia menekan
mayoritas rakyat. Akan tetapi, pada umumnya yang mayoritas lebih menguasai
minoritas.
Pada umumnya kaum minoritas sering mengalami kesulitan atau hambatan
ketika berhadapan dengan kaum mayoritas. Faktor yang memengaruhi adanya
hambatan tersebut, antara lain prasangka historis, diskriminasi, dan perasaan
superioritas in-group feeling yang berlebihan. Sebagai contoh, orang-orang Jawa
yang menetap di Bandung cenderung untuk berlaku seperti layaknya orang Sunda dan
menaati semua peraturan di tempat-tempat umum, hal ini terjadi terutama pada
masyarakat Jawa menegah ke bawah.
Berkaitan dengan konflik keagamaan, seorang penganut agama minoritas
kemungkinan besar mengalami kesulitan untuk memenuhi hak religius dan sipilnya,
tetapi itu dilihat sebagai harga status minoritasnya. Hal ini karena alasan berikut.
Pertama, kelompok tersebut memiliki karakteristik etnis, religius, agama, bahasa, dan
ikatan kultural yang jelas berbeda dari mayoritas masyarakat lainnya. Kedua, jumlah
anggota kelompok tersebut lebih kecil daripada kelompok masyarakat lainnnya.
Ketiga, yang bersifat objektif adalah prinsip non-dominant, yang mengekslusifkan
kelompok dominan mayoritas dari definisi minoritas. Dalam hal ini semua kelompok
dapat dianggap minoritas, asalkan mereka berada dalam posisi nondominan dan
berkeinginan mempertahankan identitas mereka yang berbeda.
Penutup
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata mayoritas adalah jumlah
orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan
dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu.
Sedangkan, minoritas menurut KBBI adalah Golongan sosial yang jumlah warganya
jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat.
Latar belakang munculnya isu mayoritas dan minoritas sesungguhnya bermula dari
pemahaman istilah kata “mayoritas” (al-Akthariyat) sebagai lawan dari pada kata
“minoritas” (al-Aqaliyat) yang diistilahkan bagi agama-agama yang mayoritas dan
minoritas adalah selindupan pihak barat ke dalam literature modern kaum Muslimin
dan merupakan hasil dari pengaruh Yahudi, Nasrani dan beberapa lainnya yang juga
menganut agama-agama monoteis, termasuk kaum Muslim dan ahli Kitab. Dengan
adanya pemahaman dan pendidikan multikulturalisme di Indonesia, memungkinkan
akan terwujudnya komunikasi lintas budaya. Artinya adanya keinginan untuk saling
mengenal antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya, sehingga hal ini akan
mengurangi gesekan-gesekan yang ditimbulkan dari perbedaan-perbedaan yang ada di
dalam membangun dan mengembangkan potensi yang ada dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Daftar Pustaka
Jamaludin, Adon Nasrullah. 2015. Agama & Konflik Sosial. Bandung : Pustaka Setia.
Susanto, Edi. 2016. Dimensi Studi Islam Kontemporer. Jakarta : Prenamedia Group.
Umihani, Umihani. PROBLEMATIKA MAYORITAS DAN MINORITAS DALAM
INTERAKSI SOSIAL ANTAR UMAT BERAGAMA. Tazkiya, [S.l.], vol. 20, no.
02, p. 248 - 268, dec. 2019. ISSN 1411-7886. Tersedia di:
<http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/tazkiya/article/view/2374>.
Diakses: 12 Juni 2022.
Isu Mayoritas dan Minoritas. 20 Januari 2020. Rakyat Merdeka. Tersedia di:
https://rm.id/baca-berita/kolom/26611/isuisu-islam-kontemporer-25-isu-
mayoritas-dan-minoritas. Diakses : 12 Juni 2022
Rambe, Khairani Aulia. 2016. Perspektif Minoritas Kristen Di Daerah Mayoritas
Islam Terhadap Kerukunan Umat Beragama, (Studi KasusDesaBandar Setia,
Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang). Tersedia di :
http://repository.uinsu.ac.id/4715/5/BAB%20III%20KHAIRANI.pdf.
Diakses : 12 Juni 2022.
Latif, Syarifudin. 2012. MERETAS HUBUNGAN MAYORITAS-MINORITAS
DALAM PERSPEKTIF NILAI BUGIS. Al-Ulum. Vol. 12, No. 1, Hal. 97-116.
Tersedia di: https://media.neliti.com/media/publications/184319-ID-meretas-
hubungan-mayoritas-minoritas-dal.pdf. Diakses : 12 Juni 2022.
Budiman, Hikmat. 2021. Minoritas, Multikulturalisme, Minoritas. Tersedia di :
https://hikmatbudiman.id/kakophonia/files/minoritas_multikulturalisme_mode
rnitas.php. Diakses : 12 Juni 2022.
As, Zaenal Abidin. 2016. Menanamkan Konsep Multikulturalisme di Indonesia.
Dinamika Global. Vol. 01, No. 2. Tersedia di: http://fisip.unjani.ac.id/wp-
content/uploads/2017/08/MENANAMKAN-KONSEP-
MULTIKULTURALISME-DI-INDONESIA-Zaenal-Abidin-As.pdf. Diakses :
12 Juni 2022.