Anda di halaman 1dari 23

PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

SEBAGAI PELAKSANA SEBAGIAN


KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA
OLEH:
PARSUNGKUNAN

I. Pendahuluan
Tanah sebagai benda penting bagi manusia, memegang peranan yang sangat
penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia sebagai tempat bermukim maupun
sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usaha. Kepemilikan hak atas tanah yang
sangat penting untuk menjamin hak seseorang atau suatu badan atas tanah yang
dimiliki atau dikuasainya.
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 (UUPA), merupakan
pembaharuan hukum di Indonesia bukan saja di bidang pertanahan tetapi di lain-lain
bidang hukum positif. UUPA diumumkan di dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, yang penjelasannya dimuat di dalam Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Lahirnya UUPA menghapus dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria
kolonial yang sejak Indonesia merdeka masih tetap berlaku karena Indonesia belum
mempunyai hukum agraria nasional dan dualisme hak atas tanah dihapuskan menjadi
satu sistem hukum. Sistem hukum hak atas tanah di Indonesia yang berdasarkan
hukum adat, kini tidak lagi ada perbedaan atas tanah-tanah hak adat seperti tanah hak
ulayat, gogolan, bengkok dan lain-lain, maupun tanah-tanah hak barat, seperti tanah
hak Eigendom, Erfpachtt, Opstal dan lain-lain. Hak-hak barat dikonversi menjadi hak-
hak baru yang ditentukan di dalam UUPA.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, kegiatan pendaftaran tanah menjadi
sangat penting untuk dilaksanakan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA
yang menghendaki diselenggarakannya pendaftaran hak atas tanah  di Indonesia.

1
Pengaturan mengenai pendaftaran tanah ditetapkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 
Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang
tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang
bersangkutan baik yang menyangkut data fisik maupun data yuridis tanah. Dalam
pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah  tercatat
sebelumnya maka peran PPAT sangat penting.

II. Dasar Hukum PPAT


1. UUPA No.5 Tahun 1960
Aturan hukum tentang PPAT diatur dalam UUPA Pasal 19 bahwa :
1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah
di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 Pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukaan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4) Dalam Peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan yang
tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Berdasarkan aturan di atas, PPAT berfungsi sebagai pembuat akta yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan hak baru atau membebankan
hak atas tanah, dalam rangka pendaftarannya.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, Pasal 1 ditentukan:
“PPAT yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi
wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan
hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan
“menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

2
Merujuk undang-undang di atas, dapat diketahui bahwa PPAT adalah pejabat
umum dan berwenang membuat akta otentik. Akta otentik yang dimaksud berdasarkan
Pasal 1868 B.W. adalah : “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk
yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapkan pejabat umum
yang berkuasa untuk di tempat di mana akta dibuatnya”.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Pengaturan tentang PPAT dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 ditetapkan di dalam
Pasal 37 bahwa:
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang,
hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala
Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak
milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang
dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut
Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup
untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta
Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta
Tanah, di dalam Pasal 1 menetapkan:
“PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
5. Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah
Mengenai penunjukan PPAT sementara berdasarkan Peraturan Kepala BPN
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998, Pasal 19:

(1) Penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara dilakukan dalam hal di daerah
kabupaten/kota sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi PPAT

3
(2) Keputusan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan yang pelaksanaannya
dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Wilayah.
(3) Untuk keperluan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara dimaksud
pada ayat (1), yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan
penunjukan sebagai PPAT Sementara kepada Kepala Badan dengan
melampirkan salinan atau fotocopy keputusan pengangkatan sebagai Camat
melalui Kepala Kantor Wilayah.
(4) Dalam hal keputusan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didelegasikan kepada Kepala Kantor
Wilayah, keputusan penunjukannya ditandatangani oleh Kepala Kantor
Wilayah atas nama Kepala Badan sesuai bentuk sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II.
(5) Penunjukan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara dilakukan oleh Kepala
Badan setelah diadakan penelitian mengenai kebutuhan pelayanan
masyarakat di bidang pembuatan akta di daerah-daerah terpencil.
Merujuk aturan di atas, penunjukan Camat sebagai PPAT sementara dilakukan
dalam hal di daerah kabupaten/kota sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi
PPAT. Keputusan penunjukan camat sebagai PPAT sementara oleh Kepala Badan
yang pelaksanaannnya didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.

III. Pembuatan Akta Jual Beli Oleh Pejabat Pembuat AktaTanah


Salah satu tugas pejabat, khususnya PPAT, keberadaannya diakui oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Pemerintah Nomor 37  Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Prinsip Negara hukum
menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran
dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut bahwa lalu
lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam
masyarakat.
Perbuatan hukum yang dilakukan dihadapan PPAT, akan lahir akta otentik yang
akan dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak bahwa telah dilakukan perbuatan

4
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang
dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum dimaksud.
Selain dibuat dihadapan pejabat umum, akta yang bersangkutan harus dibuat
dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat umum
dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu,
ditempat dimana akta itu dibuatnya.
Pembuatan akta PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998, Pasal 24 ditetapkan bahwa: “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pendaftaran tanah”. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Pasal 96 ditetapkan:
(1) Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) dan cara pengisiannya adalah
sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 dan terdiri dari bentuk:
a. Akta Jual Beli (lampiran 16);
b. Akta Tukar Menukar (lampiran 17);
c. Akta Hibah (lampiran 18);
d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (lampiran 19);
e. Akta Pembagian Hak Bersama (lampiran 20);
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan (lampiran 21);
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
(lampiran 22).
h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (lampiran 23);
(2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus
dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang disediakan.
(3) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 ayat (1) dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) tidak dapat dilakukan berdasarkan akta yang
pembuatannya melanggar ketentuan pada ayat (2).
Merujuk aturan di atas, dapat diketahui bahwa akta PPAT harus
mempergunakan formulir atau blanko sesuai dengan bentuk yang telah disediakan dan
cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 sampai dengan
23 peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut.
Syarat bahwa akta harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai
kewenangan untuk membuat akta, di dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998

5
Pasal 4 ayat 1 ditetapkan bahwa: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai
hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah
kerjanya”.
Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu blanko akta
jual beli diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi dari PPAT yang daerah
kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak atas tanah tersebut berada, serta telah
nama para pihak, objek jual belinya berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data
yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta tersebut oleh PPAT dibacakan kepada
para pihak dan selanjutnya setelah para pihak telah  mengerti isi dalam akta jual beli
tersebut, para pihak menandatangani  akta jual beli kemudian oleh saksi-saksi dan
PPAT.
Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT,
dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui PPAT sebelum dilakukan
penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang berkepentingan. Langkah-
langkah tersebut adalah:
1. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau
pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT
wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan
mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
2. Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan.
3. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut harus
sudah diperoleh sebelum akta dibuat.
4. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak
harus membuat pernyataan yang menyatakan:
a. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum
penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;

6
b. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi    pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana  dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah
kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b
tidak benar.
5. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan
hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum,
yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau
kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan
akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang
bersangkutan.
7. PPAT  wajib  membacakan  akta  kepada  para  pihak  yang  bersangkutan  dan
memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan
prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan
yang berlaku.
8. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika
itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut
dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk
didaftar.

7
Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, PPAT wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta
sebagaimana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan.
Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih
dahulu meminta bukti pembayaran pajak, hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Pasal 91 ayat 1 bahwa:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak”.
Konsekuensi yang akan diterima PPAT atas pelanggaran Pasal 91 ayat (1) akan
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima
ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Selain itu, berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dalam Pasal 39 PPAT
harus menolak untuk membuat akta apabila:
1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah
susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau
sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan.
2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat
keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk
tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor
Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan
oleh Kepala Desa/ Kelurahan.
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak
berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau

8
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan
hak; atau
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat
atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa
mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam penjelasan pada Pasal 39 ayat 1 Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf g misalnya larangan di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan untuk membuat akta, jika
kepadanya tidak diserahkan fotocopy surat setoran pajak penghasilan yang
bersangkutan.
Selain hal-hal di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya sebagai pembuat
akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan ketelitian dalam
memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta jual beli. Hal-hal yang
harus diperhatikan PPAT adalah:
1. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas
para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak.
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika
jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara)
3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani.
4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 
5. Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang
bersangkutan.

9
IV. Macam – Macam PPAT
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor  37 Tahun 1998, Pasal 1 Dalam
peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.
2. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT
tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah
tertentu.
4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipelihara
oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta asli, warkah pendukung akta, arsip
laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta PPAT.
7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satu
satuan daerah kerja PPAT.
8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan
seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang terletak di dalamnya.
9. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa:
a) Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan (diangkat) untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun.
b) PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya
untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT.

10
c) PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
pemerintah tertentu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah. PPAT adalah pejabat
umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,
akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberi kuasa pembebanan hak
Tanggungan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pelaksanaan administrasi pensertipikatan tanah, data pendaftaran tanah
yang tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan atau status
sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data
fisik bidang tanah maupun hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu atau
data yuridisnya. Dalam hubungan dengan tindak lanjut terhadap pencatatan data yuridis
ini, diperlukan Petugas Pembuat Akta Tanah atau PPAT yang akan menerbitkan akta
tanah. Dengan demikian, peran PPAT sangat penting dalam hubungannya dengan
maksud memudahkan pendataan, pendaftaran, memberikan hak baru, dan/atau
membebankan hak atas tanah.
Berdasarkan pengertian PPAT di atas, dapat dilihat betapa pentingnya fungsi
dan peran PPAT dalam melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang pertanahan baik
dalam pemindahan hak atas tanah, pemberian hak baru atau hak lainnya yang
berhubungan dengan hak atas tanah.

V. Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah


Pengangkatan dan penunjukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur
dalam dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 1 Tahun 2006.
Pasal 11 menetapkan bahwa:
(1) PPAT diangkat oleh Kepala Badan
(2) Untuk dapat diangkat sebagai PPAT, yang bersangkutan harus lulus ujian PPAT
yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

11
(3) Ujian PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan untuk
mengisi formasi PPAT di kabupaten/kota yang formasi PPATnya belum
terpenuhi.
Pasal 12
(1) Sebelum mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan wajib mengikuti pendidikan
dan pelatihan PPAT yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan
organisasi profesi PPAT.
(2) Pendidikan dan pelatihan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk mendapatkan calon PPAT yang professional dan memiliki
kemampuan dalam melaksanakan tugas jabatannya.
(3) Materi ujian PPAT terdiri dari :
a. Hukum Pertanahan Nasional;
b. Organisasi dan Kelembagaan Pertanahan;
c. Pendaftaran Tanah;
d. Peraturan Jabatan PPAT;
e. Pembuatan Akta PPAT; dan
f. Etika profesi.
Pasal 14
Untuk dapat mengikuti ujian PPAT, yang bersangkutan berusia paling kurang 30 (tiga
puluh) tahun dan wajib mendaftar pada panitia pelaksana ujian Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia dengan melengkapi persyaratan:
a. fotocopy KTP yang masih berlaku;
b. fotocopy sertipikat Pendidikan dan Pelatihan Pertama PPAT yang dilegalisir oleh
pejabat yang berwenang;
c. pas photo berwarna dengan ukuran 4X6 sebanyak 3 (tiga) lembar; dan
d. fotocopy ijazah S1 dan Program Pendidikan Khusus PPAT yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi yang dilegalisir oleh pejabat
yang berwenang; atau
e. fotocopy ijazah Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Magister
Kenotariatan yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
Calon PPAT yang telah lulus ujian PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 mengajukan permohonan pengangkatan sebagai PPAT kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional, selanjutnya Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan
keputusan pengangkatan PPAT. Selain PPAT sebagaimana dimaksudkan di atas,
Camat maupun Kepala Desa dapat pula menjadi PPAT di wilayahnya. Hal ini
disebabkan suatu keadaan tertentu (kondisi geografis, kondisi masyarakat setempat,

12
atau jumlah PPAT-nya belum cukup, dan lain-lain) sehingga Camat maupun Kepala
Desa ditunjuk menjadi PPAT.
Penjelasan di atas sesuai dengan Pasal 18 bahwa:
(1) Dalam hal tertentu Kepala Badan dapat menunjuk Camat dan/atau Kepala Desa
karena jabatannya sebagai PPAT Sementara.
(2) Sebelum Camat dan/atau Kepala Desa ditunjuk sebagai PPAT Sementara, yang
bersangkutan wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan
oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya
dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT.
(3) Kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikecualikan bagi Camat dan/atau Kepala Desa yang akan ditunjuk
sebagai PPAT Sementara, apabila di daerah kabupaten/kota yang bersangkutan
belum ada PPAT.

(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan
untuk menambah kemampuan PPAT Sementara dalam melaksanakan tugas
jabatannya
Dari beberapa penjelasan yang disampaikan melalui pasal-pasal tersebut di
atas, jelaslah bahwa PPAT adalah pejabat yang tugasnya berkaitan dengan
pendaftaran dan pembuatan akta tanah yang dipersiapkan dengan persyaratan
sedemikian rupa agar dapat melaksanakan tugas jabatannya. Di samping PPAT umum,
juga ada PPAT Sementara dan PPAT Khusus yang mempunyai tugas pokok dan
kewenangan sendiri-sendiri. Hal yang penting untuk dipahami pula mengenai PPAT,
bahwa sebagai pejabat yang melaksanakan tugas berkaitan dengan bidang
pendaftaran dan pembuatan akta tanah, jabatan PPAT selalu dikaitkan dengan wilayah
tertentu yang menjadi daerah kerjanya.
Pasal 5 Peraturan Kepala Badan Petanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
mengatur tentang wilayah atau daerah kerja PPAT, bahwa:
1) Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah kerja Kantor Pertanahan;
2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya
sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.
Karena fungsinya yang penting berkaitan dengan bidang pendaftaran dan
pembuatan akta tanah bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus
dilaksanakan di seluruh wilayah negara. Karena itu di wilayah yang belum cukup
terdapat PPAT, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi

13
tersebut. Adapun yang dimaksud dengan daerah yang belum cukup terdapat PPAT
adalah daerah yang jumlah PPAT nya belum memenuhi jumlah formasi yang ditetapkan
oleh Menteri sesuai dengan ketetapan dalam Pasal 14 (tentang formasi PPAT). Di
daerah yang sudah cukup terdapat PPAT dan merupakan daerah tertutup untuk
pengangkatan PPAT baru, Camat yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT
Sementara. Berdasarkan pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada
masyarakat di daerah-daerah terpencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan
apabila harus pergi ke Kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai
tanahnya. Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan tugas PPAT.
Di dalam PP Nomor 37 tahun1998, Pasal 8:
(1) PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena :
a. meninggal dunia atau
b. telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
c. diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas
sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. diberhentikan oleh Menteri.
(2) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila
tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3)
huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
Ayat 1 huruf c di atas, merupakan suatu penyelesaian dari seseorang diangkat
sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga menurut
aturan ini yang bersangkutan berhenti sebagai PPAT. Sedangkan ayat (2) merupakan
ketegasan dari PPAT sementara ataupun PPAT khusus yang tidak mungkin
melanjutkan tugas-tugasnya kalau mereka dipindahkan atau berhenti sebagai pejabat di
daerah itu baik sebagai camat atau kepala desa dan demikian pula PPAT khusus itu
dipindah ke lain jabatan atau berhenti atau pensiun sebagai pegawai negeri.
Pasal 10
(1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
14
kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang
ditunjuk;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI;
(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan
pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
(4) PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi
PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi
PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh.

VI. Tugas, Kewenangan dan Kewajiban PPAT


Tugas pokok dan kewenangan PPAT ditetapkan di dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, Pasal 2:
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Pasal 3

15
(1) PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta
otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
yang terletak di dalam daerah kerjanya.
(2) PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang
merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun dengan daerah kerja di dalam wilayah kerja jabatannya.
(3) PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai Perbuatan hukum
yang dusebut secara khusus dalam penunjukannya.
Pasal 4
(1) PPAT dapat membuat akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam
perusahaan, atau akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas
tanah dan atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya
terletak dalam satu daerah kerjanya, apabila salah satu bidang tanah atau
Satuan Rumah Susun yang menhasi obyek perbuatan hukum tersebut terletak di
dalan daerah kerjanya.

(2) Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh PPAT sesuai dengan
jumlah kabupaten/kota letak bidang tanah yang dilakukan perbuatan hukumnya,
untuk kemudian masing-masing akta PPAT tersebut didaftarkan pada Kantor
Pertanahan masing-masing.
Pasal 45
PPAT mempunyai kewajiban:
a. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
c. menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala
Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
d. menyerahkan protokol PPAT dalam hal:
1. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor
Pertanahan;
2. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT
Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
3. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT Khusus
yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
e. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan
secara sah;

16
f. membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau
hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor
Pertanahan setempat;
g. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan
dalam keputusan pengangkatan PPAT;
h. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan
cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Ketua
Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi
daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah
pengambilan sumpah jabatan;
i. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan;
j. memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya
ditetapkan oleh Kepala Badan;
k. lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 52
(1) PPAT melaksanakan tugas pembuat akta PPAT di kantornya dengan dihadiri
oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya
sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak
dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT
karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para
pihak harus hadir dihadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.

VII. Pembinaan dan Pengawasan PPAT


Pasal 65
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh
Kepala Badan.
(2) Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
pelaksanaannya oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor
Pertanahan.
Pasal 66
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Badan
sebagai berikut :
a. memberikan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan PPAT;
b. memberikan arahan pada semua pemangku kepentingan yang berkaitan
dengan ke-PPAT-an;

17
c. melakukan pembinaan dan pengawasan atas organisasi profesi PPAT agar
tetap berjalan sesuai dengan arah dan tujuannya;
d. menjalankan tindakan-tindakan lain yang dianggap perlu untuk memastikan
pelayanan PPAT tetap berjalan sebagaimana mestinya;
e. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT dan PPAT
Sementara dalam rangka menjalankan kode etik profesi PPAT.
(2) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor
Wilayah sebagai berikut:
a. menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta
petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala
Badan dan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b. membantu melakukan sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan
perundang-undangan pertanahan atau petunjuk tehnis;
c. secara periodik melakukan pengawasan ke kantor PPAT guna memastikan
ketertiban administrasi, pelaksanaan tugas dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan ke-PPAT-an.
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor
Pertanahan sebagai berikut :
a. membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan
pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah
ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;
b. memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis
kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;
c. melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional
PPAT.
Pasal 67

(1) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3), Kepala Kantor Pertanahan dapat
menugaskan staf yang membidangi ke-PPATan.
(2) Petugas yang ditugaskan untuk melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan surat tugas.
(3) PPAT wajib melayani petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
memeriksa buku daftar akta, hasil penjilidan akta dan bukti-bukti pengiriman akta
ke Kantor Pertanahan.
(4) Sebagaimana bukti bahwa daftar akta sudah diperiksa, petugas pemeriksa
mencantumkan parafnya pada setiap halaman yang sudah diperiksa dan pada
akhir halaman yang sudah diperiksa dengan dicantumkan tulisan “buku daftar

18
akta ini sudah diperiksa oleh Saya ………..” dan membubuhkan tanda tangannya
di bawah tulisan itu.
(5) Hasil pemeriksaan tersebut dicantumkan dalam Risalah Pemeriksaan
Palaksanaan Kewajiban Operasional PPAT yang dibuat sesuai contoh dalam
Lampiran X dan ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan PPAT yang
bersangkutan.

Pasal 68
(1) Apabila PPAT dalam melaksanakan tugasnya mendapat hambatan atau kendala
pelayanan di Kantor Pertanahan, PPAT yang bersangkutan dapat
menyampaikan permasalahannya langsung kepada Kepala Kantor Pertanahan
yang bersangkutan.
(2) Apabila permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
diselesaikan oleh Kepala Kantor Pertanahan, PPAT yang bersangkutan dapat
melaporkan permasalahannya kepada Kepala Kantor Wilayah setempat atau
kepada Kepala Badan melalui organisasi profesi PPAT.

VIII. Penutup
Mengingat pentingnya peran PPAT, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, Pasal 7 menetapkan bahwa:
(1) PPAT sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri.
(2) Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk
PPAT Sementara.
(3) Peraturan jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah tersendiri.

Ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan


Pejabat Pembuat Akta Tanah. Di dalam Pasal 1 angka 1 ditetapkan bahwa:
Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun.

Merujuk pasal di atas, pada dasarnya kewenangan PPAT berkaitan erat dengan
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah
susun. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan harus dibuat akta otentik. Tanpa adanya akta otentik maka secara

19
hukum perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah dan bangunan belum
sah.
Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam
Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat
bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya
suatu jual beli tanah.
Akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah
dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat
pembuktian yang lain, namun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai alat bukti yang
sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan
dapat memperoleh sertipikat walaupun jual beli tersebut sah menurut hukum.
Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk
melayani permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam
peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran  tanah serta peraturan Jabatan
PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil
keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan. 
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan
sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan
hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan.
Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap
perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta
otentik. Hal ini untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak
sehingga dapat mempertahankan haknya dari gugatan pihak manapun. Tanpa ada akta
otentik, secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan hak atas tanah dan
bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi
pihak yang memperoleh hak, akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak,
merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum
peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan
memperoleh hak tersebut.

20
Adanya akta PPAT, akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan
dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang
berwenang. Jika akta peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku  tanah, kepala
Kantor Pertanahan akan memberikan sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun tersebut kepada pembeli.
PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta
dalam peralihan hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak
tanggungan, bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan
pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan yang akan
dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan
pendaftaran tanah di Indonesia; dengan demikian PPAT sebagai pelaksana sebagian
kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia memegang peranan yang penting.

21
DAFTAR PUSTAKA

Buku
AP.Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak Milik Atas Tanah menurut
UUPA, Alumni, Bandung, 1988.
Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta,
2000.
_____, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005.
Effendi Perangin-Angin, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1994.
Hasan Wargakusuma, Hukum Agraria I, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta
Tanah.
Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah

22
Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Search Engine :
http://www.hukumonline.com

23

Anda mungkin juga menyukai