Oleh:
21202244063/PBI H
Dosen Pengampu:
2022
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan, di mana gugusan pulau-pulau
kecil yang terbentang dari Sabang hingga Merauke tersebut, 75 persen
wilayahnya dikelilingi oleh perairan laut yang sangat luas. Sebagai negara
maritim, Indonesia memiliki perairan laut dengan luas sekitar 5,8 juta km2,
yang mana wilayah perairan tersebut terdiri atas laut pesisir, laut lepas,
teluk dan selat . Hal ini dipertegas dalam UUD 1945 pasal 25A yang
menyebutkan bahwa lautan di Indonesia memiliki 2,7 km2 wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif atau ZEE dan 3,2 juta km2 wilayah laut teritorial.
Selain itu, letak Indonesia yang berada pada posisi silang antara samudra
Pasifik dan Hindia, serta diapit oleh benua Australia dan benua Asia,
menyebabkan laut Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara, yaitu
India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Republik Palau,
Papua New Guinea, Australia, dan Timor Leste.
Oleh karena wilayah Indonesia dinilai cukup strategis secara
geografis, maka hal tersebut melahirkan Indonesia menjadi bangsa dengan
kekayaan sumber daya alam yang melimpah-ruah. Salah satu kekayaan
alam yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu berasal dari hasil laut yang luar
biasa, mulai dari potensi perikanan, industri kelautan, jasa kelautan,
transportasi, hingga wisata bahari. Salah satu hasil laut yang memiliki
potensi besar untuk menunjang perekonomian masyarakat Indonesia
berasal dari sektor perikanan. Hal ini dapat dilihat dari potensi ekonomi
pada sektor perikanan mencapai US$ 82 miliar per tahun. Indonesia juga
dinobatkan oleh Organisasi Pangan Dunia (FAO) sebagai negara penghasil
ikan terbesar dengan urutan ketiga setelah negara Tiongkok dan India.
Apabila hal tersebut ditelaah secara mendalam, maka sektor
perikanan di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai tulang punggung
perekonomian bangsa Indonesia. Pemanfaatan sektor perikanan ini
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sehingga
pemerintah perlu memberikan pengaturan terhadap pengelolaan perikanan.
Dalam peraturan Hukum Laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi ke dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (1982), Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa Indonesia diberikan hak
berdaulat (sovereign rights) untuk mengelola sumber daya perikanan di
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia dan Laut Lepas dengan pelaksanaan
berdasarkan standar internasional yang berlaku. Untuk mendapatkan hak
tersebut, terciptanya sebuah peraturan Undang-Undang mengenai
perikanan dilatarbelakangi oleh perjuangan para pahlawan bangsa yang
bertempur secara diplomatis dalam Deklarasi Djuanda pada 13 Desember
1957. Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik momentum bangsa
Indonesia dalam menyatakan kedaulatan atas wilayah laut Indonesia.
Meskipun Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat dalam
menentukan batas-batas wilayah, akan tetapi, melimpahnya sumber daya
perikanan di Indonesia menyebabkan pihak asing tertarik untuk
memanfaatkannya secara ilegal. Kegiatan penangkapan ikan secara illegal
tersebut disebut sebagai illegal fishing. Definisi mengenai illegal fishing
pernah dikemukakan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia.
Secara harfiah, illegal fishing merupakan kegiatan perikanan yang tidak
diatur dalam peraturan hukum yang sah dan tidak diakui oleh pemerintah.
Kegiatan illegal fishing tersebut dilakukan oleh nelayan-nelayan dari dari
negara asing yang memasuki kawasan perairan Indonesia secara ilegal.
Melalui berbagai modus operandi yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
asing tersebut, para nelayan akan memperjualbelikan hasil tangkapan ikan
dengan keuntungan berlipatganda. Salah satu contoh kasus illegal fishing
baru saja terjadi akhir-akhir ini pada kawasan Laut Natuna Utara.
Dilansir dari artikel berita CNN Indonesia yang ditulis pada hari
Jum’at (13/08/2021), disebutkan bahwa kapal ikan berbendera Vietnam
masuk ke wilayah RI sejauh 5 mil laut (nautical mile/Nm) di kawasan
Laut Natuna Utara dan diduga mencuri ikan (illegal fishing) sebanyak 2
ton (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210812212249-20-
679759/kapal-vietnam-terobos-wilayah-ri-5-nm-diduga-curi-ikan-2-ton).
Komandan KRI Kerambit-627 Letkol Laut (P) Kurniawan
menjalaskan peristiwa ini terjadi saat ia dan para prajuritnya menggelar
Operasi Tempur Laut di kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Natuna,
pada Rabu (11/08/2021). Berdasarkan pemeriksaan TNI AL, kapal
tersebut diketahui bernama TG 91115 TS. Sementara, pada Automatic
Identification System (AIS) kapal itu terdaftar sebagai
CHONGTHANHB358BA1c. TNI AL juga menemukan bahwa kapal
tersebut membawa satu nahkoda, tujuh ABK, dan 2 ton ikan campuran.
Mereka diduga telah melanggar batas ZEE karena menangkap ikan
di Landas Kontinen RI Sejauh 5 Nm. Kapal ikan Vietnam tersebut lantas
dikawal KRI Kerambit-627 menuju Lanal Ranai guna dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Panglima Komando Armada (Pangkoarmada) I
Laksda TNI Arsyad Abdullah menyebut pihaknya akan terus menggelar
operasi laut guna kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia berdasarkan
arahan Panglima TNI dan Kepala Staf TNI AL.
Dalam skala internasional, permasalahan illegal fishing menjadi
masalah besar yang sulit dihadapi. Upaya pemerintah Indonesia untuk
memberantas kapal-kapal ilegal ini, tentunya bukanlah hal yang mudah
untuk diatasi. Illegal Fishing menjadi permasalahan yang kerap terjadi di
berbagai negara, khususnya negara-negara berkembang. Hal ini ditambah
dengan operasi pemberantasan illegal fishing di negara-negara
berkembang masih dalam tahap perkembangan yang sangat terbatas,
terlebih pada kapasitas ketahanan dan pertahanan nasional yang ada di
Indonesia. Tindakan illegal fishing yang berlebihan tidak hanya
berdampak pada kestabilan negara, akan tetapi juga berdampak kepada
rakyat-rakyat kecil, khususnya nelayan dan pembudidaya ikan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya tindakan preventif dan solusi
yang efektif untuk memberantas kejahatan transnasional yang merugikan
bangsa Indonesia. Maka dari itu, pada kesempatan kali ini, penulis akan
melakukan tinjauan dan analisis mendalam mengenai isu transnasional
illegal fishing berdasarkan ide-ide dan prinsip wawasan nusantara yang
sesuai dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Dasar Teori
a. Teori Illegal Fishing
Illegal Fishing merupakan suatu istilah dalam bahasa inggris yang
terdiri dari dua kata, yaitu illegal dan fishing. Secara terminologi, kata
“Illegal” dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang terlarang, ditentang dan
tidak sah menurut hukum. Kemudian, kata “Fish” dalam bahasa indonesia
memiliki arti ikan, sedangkan kata “Fishing” didefinisikan sebagai
kegiatan menangkap atau memancing ikan sebagai mata pencaharian.
Maka dari itu, Illegal Fishing diartikan sebagai kegiatan menangkap ikan
oleh nelayan yang dilakukan dengan cara illegal, atau tidak
bertanggungjawab dan melanggar hukum yang berlaku.
Dikutip dari jurnal “Kebijakan Pemerintah Dalam Upaya
Penanganan Illegal Fishing Dalam Sudut Pandang Pertahanan Negara di
Laut” (Prakoso, Lukman Yudho; Sartono; Sianturi, Dohar: 2019, Hal 5),
berdasarkan pengertian yang ada pada International Plan of Action
(IPOA), Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang diprakarsai
oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Resposible
Fisheries, Illegal Fishing menurut dokumen tersebut terbagi dalam
beberapa kategori, yaitu: (i) kegiatan perikanan oleh orang atau kapal
asing di perairan yang menjadi yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari
negara tersebut, atau bertentangan dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan; (ii) kegiatan perikanan yang dilakukan oleh kapal
yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota dari satu
organisasi pengelolaan perikanan regional, akan tetapi dilakukan melalui
cara-cara yang bertentangan dengan pengaturan perihal pengelolaan dan
konservasi sumber daya yang diadopsi oleh organisasi tersebut, dimana
ketentuan tersebut mengikat bagi negara-negara yang menjadi anggotanya,
ataupun bertentangan dengan hukum internasional lainnya yang relevan;
dan (iii) kegiatan perikanan yang bertentangan dengan hukum nasional
atau kewajiban internasional, termasuk juga kewajiban negara-negara
anggota organisasi pengelolaan perikanan regional terhadap organisasi
tersebut.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 37/PERMEN-KP/2017 tentang Standar
Operasional Prosedur Penegakan Hukum Satuan Tugas Pemberantasan
Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing), juga mendefinisikan
Illegal Fishing sebagai kegiatan penangkapan ikan secara ilegal atau
kegiatan perikanan yang tidak sah, di mana pelaksanaan kegiatan
perikanan tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan.
Melalui pengertian tentang Illegal Fishing yang telah disebutkan,
maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari kegiatan Illegal Fishing
merupakan kegiatan perikanan yang dilaksanakan melalui cara-cara yang
bertentangan dengan pengaturan hukum dan pengaturan perundang-
undangan suatu negara. Selain melanggar pengaturan hukum suatu negara,
kegiatan Illegal Fishing juga melanggar hukum internasional yang
relevan. Kegiatan Illegal Fishing memiliki dampak yang besar bagi
kerusakan alam dan konservasi laut sebab kegiatan tersebut dapat
menghancurkan tatanan ekosistem yang berada di laut. Kegiatan ilegal ini
tentu dapat merugikan negara yang bersangkutan karena dengan
hancurnya ekosistem yang berada di laut, maka hal tersebut dapat
berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi masyarakat. Apabila kestabilan
ekonomi masyarakat terganggu, maka kestabilan nasional suatu negara
juga dapat terancam. Oleh karena itu, illegal fishing dapat dikategorikan
sebagai kejahatan transnasional yang dapat mengancam sumber daya alam
di berbagai belahan dunia.
b. Teori Hukum Kepimilikan Wilayah Laut
Dalam menentukan batas-batas wilayah suatu negara, maka
diperlukan suatu dasar hukum yang kuat sebagai kontrol yang
mengatur perlindungan kepentingan kepemilikan wilayah pada suatu
negara. Hukum yang digunakan dalam menentukan batas-batas
wilayah kelautan, yaitu hukum laut internasional. Dikutip dari Tugas
Akhir “Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Indonesia dalam
perspektif Hukum Laut Internasional” (Theohery, Deddy: 2018, Hal
13), menyebutkan bahwa Hukum Laut Internasional adalah
seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara
negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung
oleh daratan dan atau organisasi maupun subyek hukum internasional
lainnya, yang mengatur mengenai kedaulatan negara atas laut,
yuridiksi negara dan hak-hak negara atas perairan tersebut. Hukum laut
internasional mempelajari tentang aspek-aspek hukum dilaut dan
peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di laut.
Hukum laut internasional bermula pada saat Imperial Romawi
kuno sedang berada dalam puncak kejayaan Phonecia dan Rodhes.
Pada puncak kejayaan Imperial Romawi kuno inilah menjadi cikal
bakal lahirnya hukum laut Lex Rodhia sebagai pengaturan hukum atas
kekuasaan bangsa-bangsa eropa terhadap kepemilikan laut. Dalam
membagi wilayah kekuasaan, Imperium Roma mencetuskan dua
konsepsi hukum laut sebagai acuan dalam menentukan batas-batas
wilayah, yaitu sebagai berikut:
a) Res Communis, menyatakan bahwa laut adalah milik bersama
masyarakat dunia dan oleh karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki
oleh siapapun.
b) Res Nulius, menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki.
Oleh karena itu, laut dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing
Negara.
Oleh sebab itu, berdasarkan konsepsi-konsepsi hukum laut yang
dicetuskan oleh Imperium Romawi, maka pemikiran-pemikiran
Imperium Romawi tersebut menjadi suatu fundamental konsep-konsep
hukum laut yang terus berkembang hingga saat ini.
Pada zaman berikutnya di mana kehidupan masyarakat jauh
lebih modern dibandingkan dengan zaman-zaman sebelumnya, konsep
hukum laut internasional memiliki perkembangan yang cukup
signifikan dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat di
dunia. Pengaturan awal hukum laut internasional, dicetuskan pada
tahun 1930 di Den Haag melalui konferensi internasional yang
membahas tentang hukum kodifikasi kelautan. Konferensi tentang
hukum laut internasional ini, dilanjutkan dengan adanya Truman
Proclamation pada 28 September 1945 dan diperdetail melalui
konferensi Hukum Laut di Geneva (Jenewa) pada 24 Februari – 27
April 1958. Kesepakatan yang telah dirumuskan pada konferensi
Geneva Tahun 1958 menghasilkan 4 konvensi, antara lain:
a) Convention on the Territorial Sea and Contigous Zone (Konvensi
mengenai Laut Teritorial dan Zona Tambahan);
b) Convention on the High Seas (Konvensi mengenai Laut Lepas);
c) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources
of the High Seas (Konvensi mengenai Perikanan dan Perlindungan
Kekayaan Hayati Laut Lepas);
d) Convention on the Continental Shelf (Konvensi mengenai Landas
Kontinen)
Setelah melalui banyak perdebatan tentang hukum laut, maka
pada tahun 1982 akhirnya dirumuskan Konvensi Hukum Laut yang
dinaungi oleh PBB. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, laut dapat
dibagi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal, bagian planet
bumi yang berwujud laut dapat dibagi menjadi:
1) Perairan Pedalaman, yakni perairan yang berada di sisi dalam
garis pangkal.
2) Laut Teritorial, yakni jalur laut yang ada di sisi luar atau di sisi
laut garis pangkal selebar tidak lebih dari 12 Mil laut.
3) Zona Tambahan, yaitu jalur laut yang merupakan kelanjutan dari
laut territorial yang lebarnya tidak melebihi jarak 24 Mil laut dari garis
pangkal yang bersangkutan.
4) Zona Ekonomi Ekslusif, yakni jalur laut yang terletak di luar dan
berdekatan dengan laut teritorial selebar 200 mil laut dari garis pangkal
laut teritorial.
5) Laut Lepas, yakni semua bagian laut yang tidak termasuk dalam
Zona Ekonomi Ekslusif, Laut Teritorial atau Perairan Pedalaman.
(Hasyim Djalal, 1979:25).
Bagian planet bumi yang berupa laut, apabila dibagi secara
vertikal akan menghasilkan:
1) Ruang udara yang berada di atas laut
2) Kolom air laut ‘water column’
3) Dasar laut ‘sea bed’
4) Tanah di bawah dasar laut ‘subsoil’
(Djalal, 1979:29)
Dasar laut dan tanah di bawahnya, apabila dibagi secara
horizontal maka dapat menjadi seperti berikut:
1) Dasar laut dan tanah di bawahnya dari bagian laut secara
horizontal
2) Landas Kontinen, yakni dasar laut dan tanah di bawahnya sampai
kejauhan batas kontinennya (continent, argin) atau sejauh 200 mil laut
atau 350 mil laut dari garis pangkal laut territorial
3) Area Kawasan, yaitu laut dan dasar samudera dalam dan tanah di
bawahnya yang ada di luar batas juridiksi nasional.
(Sahono, Soebroto, dkk. 1983)
Sejarah lahirnya hukum laut di Indonesia diawali dengan
diikrarkannya Deklarasi Djuanda pada tahun 1957. Deklarasi Djuanda
merupakan titik momentum terbentuknya prinsip Wawasan Nusantara
yang menjadi pandangan hidup masyarakat Indonesia dalam
memahami konsep kewilayahan Republik Indonesia. Namun
sayangnya, ketentuan yang berlaku dalam Deklarasi Djuanda dinilai
sudah tidak relevan dengan kondisi kepentingan pokok di Indonesia,
baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, maupun keamanan.
Konsepsi Deklarasi Djuanda akhirnya disempurnakan oleh
undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Melalui undang-undang yang
telah diperbaharui ini, maka seluruh kepulauan di Indonesia
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara
terperinci, undang-undang tersebut dijabarkan lebih lanjut melalui
Peraturan Pemerintah No. tahun 1962 tentang lalulintas Laut Damai
Kendaraan Air Asing di wilayah perairan Indonesia. Prinsip tentang
kesatuan wilayah tersebut juga makin diperkuat melalui Keputusan
Presiden No. 103 tahun 1963, yang mengungkapkan bahwa seluruh
wilayah perairan di Indonesia merupkan Lingkungan Maritim
Indonesia.
2. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban untuk ikut
serta dalam memperkokoh keamanan dan pertahanan bangsa melalui
aksi bela negara. Aksi bela negara tersebut telah dijelaskan dalam
UUD NRI 1945 pasal 30 ayat 1, bahwasanya setiap warga negara
memiliki hak yang sama, yaitu hak untuk ikut serta dalam menjaga
pertahanan dan ketahanan negara. Dengan demikian, warga negara
Indonesia diupayakan untuk ikut serta dalam menjaga stabilitas
nasional bangsa dari ancaman dan gangguan baik dari dalam negeri,
maupun dari luar negeri. Bentuk ancaman yang dimaksud, salah satu
wujudnya dapat berupa permasalahan Illegal Fishing yang terjadi
pada Laut Nautuna Utara seperti yang telah disebutkan pada artikel di
atas. Setiap warga negara, baik aparat penegak hukum, pengusaha,
maupun masyarakat umum, wajib mengutamakan kepentingan
nasional di atas kepentingan pribadi, terutama terkait kasus Illegal
Fishing yang kerap ditungganggi oleh pihak-pihak tidak
bertanggungjawab, demi memperoleh keuntungan pribadi. Oleh
karena itu, keutuhan bangsa dan stabilitas nasional menjadi tanggung
jawab bersama seluruh lapisan masyarakat Indonesia tanpa pandang
bulu.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan mengenai kasus
Illegal Fishing, maka dapat disimpulkan bahwa Illegal Fishing masih
menjadi masalah utama yang mengancam keamanan pertahanan suatu
negara maritim dengan wilayah perairan yang luas, khususnya bangsa
Indonesia. Maraknya kasus Illegal Fishing terjadi karena lemahnya
konstitusi perundang-undangan terkait Illegal Fishing sehingga hal ini
menjadi celah bagi kapal-kapal asing untuk tetap berani memasuki
wilayah perairan di Indonesia secara ilegal. Lemahnya konstitusi tersebut,
antara lain terdapat pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 pasal 29,
yang menyebutkan bahwa orang atau badan hukum asing dapat masuk ke
wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan berdasarkan
hukum nasional dan internasional yang berlaku.
Apabila celah hukum tersebut tidak diperhatikan, maka hal ini
dapat menjadi penyebab kerugian perekonomian negara dan dapat
mengancam stabilitas nasional. Maka dari itu, pemerintah perlu
menegaskan kembali atau merekonstruksi ulang perundang-undangan
tersebut sehingga dapat lebih spesifik dalam mengatur batas-batas wilayah
di Indonesia. Untuk mewujudkan rekonstruksi ulang perundang-undangan
tersebut, diperlukan strategi diplomatik oleh negara-negara lain yang
bersangkutan. Selain itu, upaya penegakan hukum dalam memberantas
kejahatan Illegal Fishing perlu diiringi dengan bekal finansial dan fasilitas
yang memadai.
Selanjutnya, hal pendukung yang dapat menjadi tindakan preventif
dalam memberantas permasalahan Illegal Fishing, yaitu mewujudkan
keamanan dan pertahanan melalui prinsip Wawasan Nusantara. Melalui
prinsip Wawasan Nusantara, maka masyarakat Indonesia akan lebih
waspada dan lebih memperhatikan ancaman-ancaman yang dapat merusak
keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Ancaman tersebut tidak hanya
berdampak terhadap kehidupan bangsa di waktu sekarang, melainkan akan
berdampak lebih besar di masa mendatang sehingga hal ini akan
berpengaruh terhadap kualitas generasi-generasi penerus bangsa, yang
mana akan menjadi tunas perjuangan bangsa. Permasyarakatan Wasantara
dan Tannas perlu terus ditingkatkan dan diperluas jangkauannya dalam
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan oleh seluruh warga negara
Indonesia.
Apabila seluruh aspek mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
maka semakin baik pula kekuatan yang telah dibentuk untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan kedaulatan bangsa. Maka dari itu, ketahanan
nasional perlu dibina dan dipertahankan dengan berpedoman kepada
Wawasan Nusantara, sebagai bentuk bela negara masyarakat Indonesia.
Melalui ketahanan nasional pula, masyarakat dapat meningkatkan rasa
cinta kepada tanah air, serta dapat berperan aktif dalam memajukan bangsa
dan negara. Dengan ini, diharapkan bangsa Indonesia dapat menjadi
bangsa yang berdaulat secara adil dan makmur sehingga Indonesia dapat
bersaing dengan bangsa lain di kancah dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Ade Susyani, Nur Alfiyah (2018). Illegal Fishing sebagai ancaman keutuhan
bangsa Indonesia. Program Studi Geografi, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang
https://www.academia.edu/38499444/ILEGAL_FISHING_SEBAGAI_AN
CAMAN_KEUTUHAN_BANGSA_INDONESIA_docx
Asmoro, Emon Purbo (2019). Tinjauan Yuridis Normatif terhadap kapal asing
yang memasuki perairan Indonesia. UMM Institutional Repository,
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
https://eprints.umm.ac.id/50222/3/BAB%20II.pdf
Banjarani, Desia Rakhma (2020). Illegal Fishing dalam kajian Hukum Nasional
dan Hukum Internasional: Kaitannya dengan Kejahatan Transnasional.
Jurnal Vol. 42, No. 2, Agustus 2020, Fakultas Hukum, Universitas
Lampung
https://doi.org/10.24843/KP.2020.v42.i02.p04
Putri, Merisa Nur (2020). Penegakan hukum terhadap penangkapan ikan secara
Ilegal yang melibatkan negara lain. Jurnal Vol. 11, No. 1, Juni 2020,
Fakultas Hukum, Universitas Kuningan, Indonesia
https://journal.uniku.ac.id/index.php/logika/article/view/2418
CNN Indonesia (2021). Kapal Vietnam Terobos Wilayah RI 5 Nm, Diduga Curi
Ikan 2 Ton. Diakses pada 15 Mei 2022, dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210812212249-20-
679759/kapal-vietnam-terobos-wilayah-ri-5-nm-diduga-curi-ikan-
2-ton.