Anda di halaman 1dari 5

ASAL USUL DESA KALIBAKUNG KECAMATAN

BALAPULANG

Desa Kalibakung adalah desa yang terletak didaerah Kabupaten Tegal selatan,
ketika kita menuju obyek wisata Guci tentunya kita melewatinya, berada letak selatan
Desa Yamansari dan ketika kita melewatinya kita sering kerap kali menemukan Sebuah
Tikungan – tikungan yang tajam, desa Kalibakung sendiri memiliki Tempat pariwisata
yang cukup sangat terkenal pada zaman dahulu yaitu kolam renang dan hotel yang
dibangun dengan rancangan yang unik, disekitar hotel kita dapat menikmati indahnya
sungai gung dan pegunungan yang masih nampak segar untuk dilihat.

Sejarah desa Kalibakung menurut sesepuh dari sumber yang dapat diperoleh
adalah, pada dahulu kala ada empat orang yang berkebun dan menetap di sebuah bukit
dan mereka berempat melakukan kegiatan bercocok tanam, karena mereka giat dan
rajin mereka tak menyangka usaha berkebunya telah menghasilkan sebuah kebun yang
sangat besar, sehingga tempat tersebut dinamakan kebon gede/ kebun besar.

Setelah mereka berempat sekian lama bercocok tanam mereka juga memelihara
sebuah binatang kerbau yang sangat besar dan mereka membuat sebuah kandang untuk
kerbau tersebut tapi kerbau yang besar merusak kebun mereka sehingga mereka
memindahkan kerbau tersebut diatas bukit dan mengangkat kandang kerbau tersebut
yang berukuran sangat besar hanya dengan jumlah empat orang maka dari itu ada
daerah dikalibakung sendiri yang bernama Kandang Gotong (mengangkat kandang).

Pada waktu itu belum terlintas nama Kalibakung karena nama pertama desa ini
adalah kebon gede. Awal kisah suatu hari pada malam hari mereka berempat sedang
beristirahat dan mereka mencium aroma bunga yang sangat menyengat, kemudian
mereka mencari sumber harum bunga tersebut dan mereka menemukan sebuah tanaman
bunga Bakung yang Tumbuh hidup ditengah – tengah sungai gangga (kali gung), maka
dari itu mereka menuebut daerah ini sebagai Kalibakung atau sungai bakung, sungai
yang ditumbuhi bunga bakung.

Kalibakung itulah namanya setelah itu mereka berpencar dan dari mereka
berempat kecuali satu orang tinggal pergi ke selatan barat dan utara.
Ketiga orang pergi untuk menunggu kedatangan seorang Raja dan ketiga orang
tersebut, dutengah tengah perjalanan mereka menemukan hal yang sangat aneh diutara
menemukan sebuah batu besar yang sekarang dinamakan watu karut atau batu besar,
batu tersebut ada dua buah tp yang saya lihat ada satu dan menemukan sebuah gua yang
sangat ajaib konon gua teraebut dapat pindah ke sebuah dimensi saat kita
memasukinya,orang yang pergi keselatan dia menemukan sebuah bukit yang sekarang
dinamakan bukit Siwuni bukit yang konon mengeluarkan cahaya.

Dan orang yang berjalan disebelah barat mereka menemukan batas dari
perjalananya yang hanya bisa sampai didaerah tersebut, karena kondisinya yang lemah
dan tidak bisa dilanjutkan lagi maka dari itu ada tempat daerah di Kalibakung yang
bernama Dukuh Sampe / batas tempat tinggal.

Versi K.H Hasyim – 72 Tahun (Salah satu Kyai besar di desa Kalibakung)

Pada zaman dahulu, Desa Kalibakung terletak didaerah yang sekarang


disebut dengan Blok Kebon Agung. Di Blok Kebon Agung itu terdapat kerbau
besar yang tak terlihat atau semacam makhluk halus berupa kerbau. Ada orang
yang melihat penampakan kerbau besar tersebut, sehingga daerah dimana ia
melihat penampakan itu disebut Kebo Agung, yang sekarang karena
berkembangnya zaman lebih dikenal dengan Kebon Agung. Di daerah Kebon
Agung tersebut terdapat sungai yang ditumbuhi banyak bunga Bakung. Yang
aneh dari sungai tersebut ialah aliran airnya yang berwarna putih, bukan bening.
Dan juga, meskipun sungai tersebut bertemu dengan sungai Gangga, namun
aliran airnya tetap terpisah. Hal tersebutlah yang membuat daerah tersebut
diganti namanya menjadi Desa Kalibakung.

Setelah Desa Kalibakung banyak yang menempati, akhirnya dengan


sendirinya wilayahnya meluas. Terbagi beberapa blok yang memiliki nama
sendiri-sendiri. Ada blok pengempon yang terletak di timur blok Kebon Agung
sendiri, yang sekarang bernama blok Masjid karena ada bangunan masjid Agung
Desa Kalibakung. Dinamakan blok Pengempon karena pada zaman dahulu
terdapat Empu/tukang pandhe besi. Kemudian ada blok Gudang, yang sekarang
bernama blok Tengah. Dinamakan blok Gudang karena pada zaman dahulu ada
tempat penyimpanan/gudang garam milik pemerintah yang terletak disekitar
daerah tersebut.

Terletak disebelah timur blok Gudang, terdapat blok Kepundung. Di blok


Kepundung inilah terdapat cerita mistis. Nama Kepundung adalah diambil dari
nama seorang tokoh yang ada di daerah tersebut. Tokoh tadi terkenal kaya,
banyak harta keramatnya, seperti keris. Zaman dahulu tokoh tersebut disebut
dengan “Mbah Punduh”, namun sekarang orang lebih banyak menyebutnya
“Mbah Kepundung”.

Kemudian disebelah selatan blok Kebon Agung, ada daerah bernama blok
Kandhang Gotong. Bernama Kandhang Gotong karena dahulu kala ada kandang
kambing yang diserahkan dengan cara menggotong ke blok Kebon Agung. Blok
Kandhang Gotong sekarang bernama Mangun Sari. Nama tersebut diberikan
sebagai tanda bahwa sudah ada pemisahan antara blok Kandhang Gotong yang
dahulunya menjadi satu dengan blok Kepundung. Kata Mangun Sari memiliki arti
Membangun Rasa.
ASAL USUL DESA TUWEL

Untuk menghidupi wilayah Tegal yang baru dibuka, Ki Gede Sebayu jelas
membutuhkan pasokan air untuk mengairi lahan-lahan pertanian warga. Untuk
itulah, beliau sebagai bupati pertama Tegal meminta bantuan tiga orang ‘dugdeng’
untuk mengupayakan pengairan ini. Untuk pengairan wilayah barat ke selatan,
dipercayakan kepada Mbah Mayakerti (Bumijawa), wilayah barat ke utara
dipasrahkan kepada Mbah Siketi (Dukuh Benda), dan wilayah tengah ke timur
kepada Mbah Rindik (Tuwel).

Nama asli Mbah Rindik ialah Raden Abdul Hamid, masih keturunan Sunan
Gunung Jati dan merupakan mantan pasukan Mataram. Dalam pengembaraan
gerilyanya, ia memutuskan untuk menetap di lereng bagian utara Gunung Slamet.
Sebagaimana umumnya hutan belantara, banyak bersemayam makhluk-makhluk
halus nan garang. Tentu saja Mbah Rindik musti menundukkan para mbaurekso ini
dulu sebelum bisa tenang menempati wilayah yang akan dibuka.

Beliaupun bertapa di dalam hutan, di atas sebongkah batu besar yang


kemudian dijuluki sebagai ‘Batu Sakti’. Setelah bermujahadah sekian lama, beliau
pun mampu taklukkan dedemit hutan yang menyerupa Kliwon si Ular Besar, Macan
Putih, dan Banaspati dengan perkenan Allah.

Setelah steril, beliau mulai babat alas dan membuka pemukiman baru. Makin
ramailah penghuni wilayah itu, termasuk Mbah Sinjem, kawan baik Mbah Rindik
yang merupakan pembawa panji Kraton Mataram semasa perang dahulu. Daerah ini
kemudian bernama Tuwel yang konon berasal dari kata Arab ‘thowiil’ (panjang).
Memang wilayah Desa Tuwel terbentang panjang dari selatan ke utara, ada belasan
dusun di desa ini. Masyarakat desa menjuluki beliau ‘Rindik’ sebab cara berjalan
beliau yang pelan (indik-indik). Makin lama makin terasa kebutuhan irigasi bagi
sawah-sawah warga.
Seiring dengan instruksi Ki Gede Sebayu, Mbah Rindik pun mulai menyusur
bantaran Kali Gung yang berhulu dari Gunung Slamet. Di sebuah air terjun sisi
selatan Dusun Guci, beliau bermujahadah. Tirakat beliau membuahkan hasil, atas
izin Allah memancarlah mata air panas dari balik curug yang menambah debit air
Kali Gung. Aliran sungai ini terbagi menjadi arus Kali Gung dan arus menuju
Banyumudal Suniarsih, keduanya bertemu kembali di Kalibakung yang di kemudian
hari dibuatkan bendungan oleh Ki Gede Sebayu di Desa Danawarih.

Dari aliran Kali Gung ini pulalah Mbah Rindik menggali parit sepanjang
persawahan Desa Tuwel dari ujung selatan hingga ujung utara. Hingga hari ini, parit
galian beliau menjadi sungai kecil yang masih dimanfaatkan warga desa sebagai
instrumen irigasi. Mata air panas temuan beliau pun masih memancar deras,
tepatnya di balik Curug Sigeong, dekat gerbang tiket Obyek Wisata Guci. Batu
Sakti tempat beliau bertapa, masih kokoh berdiam dikerubungi rimbunan bambu di
tepi kali kecil belakang rumah penulis. Sedangkan jasad Mbah Rindik bersama
sahabatnya, Mbah Sinjem, dimakamkan di Dusun Dukuh Tere Desa Tuwel, dekat
pemakaman umum masyarakat.

Hikayat Mbah Rindik ini baru satu dari sekian ribu kisah tokoh di kabupaten
Tegal. Ada 314 desa atau kelurahan yang terbagi menjadi 22 kecamatan di wilayah
kabupaten dan kota Tegal. Bila dalam satu desa saja ada dua hingga tiga tokoh
ulama yang bisa dicatat, bayangkan ada berapa ratus hikayat yang bisa
didokumentasikan. Inilah upaya yang hendak diikhtiarkan oleh Tim Riset
Santrijagad, menelusuri jejak para ulama sepuh yang tersebar di seantero kabupaten
dan kota Tegal.

Wilayah riset akan dibagi menjadi enam daerah; Area A (Suradadi, Warureja),
Area B (Dukuhturi, Talang, Tarub, Kramat), Area C (Slawi, Pangkah, Dukuhwaru,
Adiwerna), Area D (Lebaksiu, Margasari, Balapulang, Pagerbarang), Area E
(Bojong, Bumijawa, Jatinegara), dan Area F (Kota Tegal). Untuk itu Tim Riset
Santrijagad akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi sedulur Tegal untuk
menjadi surveyor di wilayah desa/kecamatan masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai