Anda di halaman 1dari 30

STEP 1

1. Serpiginosa : Proses yang menjalar ke suatu daerah dan terjadi penyembuhan pada daerah yang
ditinggalkan. Penyebaran yang berbentuk bulan sabit, predileksi di tungkai bawah, biasanya pada
penyakit TB kutis verukosa.
2. Tes mantoux : Salah satu tes yang digunakan untuk mendiagnosis TB, caranya yaitu menyuntikkan
suatu protein yg berasal dari kuman TB sebanyak 0,1 ml dengan jarum kecil dibawah lapisan kulit
lengan bawah kiri ,secara intrakutan.
3. Verukosa : Lesi padat seperti bunga kol (mekar), terdiri dari papul.
4. Plakat hiperkeratotik : lesi padat peninggian akibat penebalan stratum korneum.

STEP 2

1. Mengapa pada mulanya timbul bintil kecil padat dengan permukaan kasar kemudian menjalar ke
sekitarnya?
2. Mengapa di punggung tangan muncul penebalan dan permukaannnya kasar sejak 6 bulan yang lalu?
3. Mengapa kadang timbul retak pada permukaan kelainan dan keluar cairan keruh
seperti nanah?
4. Mengapa ditemukan UKK Plakat hiperkeratotik dengan permukaan verukosa dengan diameter 2-3 cm
dengan penyebaran serpiginosa?
5. Mengapa keluhan tidak disertai nyeri dan gatal?
6. Apa tujuan ditanyakannya keluhan yang diderita dengan keluarga yang menderita TB?
7. Adakah hubungan antara keluhan yang diderita pasien dengan pekerjaan pasien sebagai laboran di RS
Swasta? Kalau iya, Apa hubungannya?
8. Bagaimana cara pemeriksaan Tes Mantoux dan Histo PA?
9. DD? (Definisi, etiologi, patogenesis, Faktor resiko, Cara diagnosis (PP), Treatment)

1. TB kutis verukosa (warty tuberculosis verrucanecrogenica)


Definisi
Tuberculosis veruca verrucosa atau yang disebut sebagai Lupus verrucosus, Prosector's wart, dan
Warty tuberculosis merupakan suatu ruam kecil, berupa nodul papuler kemerahan pada kulit
yang dapat muncul 2-4 minggu setelah inokulasi oleh Mycobacterium tuberculosis pada infeksi
sebelumnya dan pada individu yang imunokompeten (Goldman, 2002)

Etiologi
Paling banyak kasus tuberculosis veruca verrucosa disebabkan oleh reinfeksi dari individu yang
ditandai dengan hipersensitif kulit dan imunitas yang baik, walaupun auto-inokulasi dari sputum
dapat menyebabkan lesi.  Karena port de entry biasanya pada sisi tauma, luka, atau tusukan pada
kulit, (luka pada ahli bedah autopsy misalnya), merupakan tempat lesi di tangan. Tetapi dapat
juga terjadi dimanapun di kulit, seperti telapak kaki, anus, dan pada anak di negara berkembang
sering terjadi pada pantat dan lutut. Hal ini karena anak-anak di negara berkembang dengan
resiko tuberkulosis yang tinggi dapat kontak langsung antara luka dan sputum tuberkulosis saat
berjalan tanpa alas kaki, duduk, atau saat bermain ditanah (Padmavathy, et al., 2007).

Patofisiologi
Ketika terpapar, lesi kulit pada penampakan luar akan menjadi verruca atau borok, hal ini akan
dibingungkan oleh jenis veruka lainnya. Lesi ini akan berubah menjadi plak anular berwarna
merah kecoklatan seiring waktu, dengan central healing dan ekspansi bertahap ke arah perifer,
dimana pada fase ini akan dipusingkan dengan  infeksi jamur seperti blastomycosis dan
chromoblastomycosis. Akan tetapi pada area tengah lesi tuberculosis veruca verrucosa akan
mengeras dan menjadi fisura, dimana pus dan bahan keratin dapat keluar dari fusura ini. Lesi
biasanya soliter, dan nodul regional tidak terpengaruh kecuali terdapat infeksi sekunder bakteri.
Lesi dapat berkembang dan menetap dalam beberapa tahun. Penyebuhan spontan dapat terjadi
dengan bekas parut (Goldman, 2002).

Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditunjang dengan pemeriksaan histologi
yang dikonfirmasi dengan isolasi M.tuberculosis pada kultur atau dengan PCR. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan gambaran klinis yang khas biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran
secara serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di
jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada
bagian yang cekung terdapat sikatriks. Selain menjalar secara serpiginosa, juga dapat menjalar ke
perifer sehingga terbentuk sikatriks di tengah.
Pemeriksaan histologi menunjukkan gambaran pseudoepitheliomatous hyperplasia  dengan
hyperkeratosis dan infiltrasi neutrofil dan limfosit. Gambaran abses didapatkan pada epidermis
dan dermis bagian atas. Dapat ditemukan epithelioid giant cells, tuberkel dan BTA jarang
ditemukan.  Pada kultur dari lesi tuberculosis kutis verukosa akan didapatkan mikobakterium.
PCR digunakan untuk mengidentifikasi DNA M. tuberculosis dalam specimen jaringan. Skin test
pada tuberkulosa kutis veerukosa akan memberikan hasil positif.

Gejala klinis
Lesi pada dewasa umumnya terdapat pada tangan terutama bagian dorsolateral dan jari-jari,
sedangkan pada anak-anak biasanya pada ekstremitas bawah dan lutut. Lesi diawali dengan halo
berwarna ungu, berkembang menjadi plak kutil yang  keras dan hyperkeratosis, pus dan material
keratin keluar dari cleft dan fisura yang terbentuk. Papul asimtomatis sering salah didiagnosa
sebagai veruka vulgaris. Pertumbuhannya lambat dan terjadi perluasan ke perifer. Lesi biasanya
soliter dan tidak melibatkan kgb regional kecuali jika terjadi infeksi sekunder. Lesi dapat
berkembang dan menetap selama bertahun-tahun. Juga bisa terjadi resolusi spontan dengan
pembentukan scar.

Bentuk TB kulit yang timbul karena infeksi eksogen pada individu dengan imunitas baik.
Perjalanan kliniknya berlangsung kronik beberapa bulan hingga tahun. Tempat predileksinya pada
tungkai bawah dan kaki. Gambaran klinis biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara
serpiginosa. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada bagian
yang cekung terdapat sikatriks. Diagnosis bandingnya adalah veruka, kromomikosis dan
sporotrikosis. Gambaran histopatologinya yaitu pada epidermis dijumpai adanya hiperkeratosis,
hipergranulosis, akantosis, dan papilomatosis diatas sebukan radang akut.

STEP 7

1. Mengapa pada mulanya timbul bintil kecil padat dengan permukaan kasar kemudian menjalar ke
sekitarnya? Di punggung tangan

Gambaran kliniknya mula-mula berupa lesi nodul kemerahan, tunggal atau multiple, yang
kemudian berubah permukaannya menjadi verokous. Lesi ini dikelilingi oleh suatu halo
hiperpigmentasi. Lesi biasanya tidak nyeri dan tanpa disertai gejala sistemik.

Sumber : Harahap, Marwali. Tuberkulosis Kutis. Ilmu Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta :
Hipokrates: 2000. P: 273-5.

Cara infeksi dari kuman M. Tuberculosis ini ada 6 macam yaitu penjalaran langsung
ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya
skrofuloderma, inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis, penjalaran secara hematogen,
misalnya tuberkulosis kutis miliaris, penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris,
penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis, misalnya
lupus vulgaris, atau bisa juga kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah
menurun atau jika ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.

Hal-hal yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik adalah sifat kuman, respon imun
tubuh saat kuman ini masuk kedalam tubuh ataupun saat kuman ini sudah berada didalam

tubuh serta jumlah dari kuman tersebut. Respon imun yang berperan pada infeksi

M. tuberculosis adalah respon imunitas selular. Sedangkan peran antibodi tidak


jelas atau tidak memberikan imunitas.
Bila terjadi infeksi oleh kuman M. Tuberculosis ini, maka kuman ini akan masuk
jaringan dan mengadakan multiplikasi intraseluler. Hal ini akan memicu terjadinya reaksi
jaringan yang ditandai dengan datang dan berkumpulnya sel-sel leukosit dan dan sel-sel
mononuklear serta terbentuknya granuloma epiteloid disertai dengan adanya nekrosis
kaseasi ditengahnya. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut
ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah
tuberculous chancre. Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma.

Sumber :Wolff, Klaus; et al. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. In:

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Edition. New York; McGraw-Hill, 2008:

1769-78

Cara infeksi ada 6 macam :


1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis,
misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi lokalnya
telah menurun, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.

Sumber :
Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005.
Pages: 64-72

IMUNITAS SELULAR
Sistem imun selular melibatkan sel T dengan limfokinnya. Sel T meliputi 80-90%
jumlahlimfosit darah tepi dari 90% jumlah limfosit timus.
Sel T hanya mempunyai sedikit imunoglobulin pada permukaannya dibandingkan dengan sel
B sehingga apabila dilakukan inkubasi dengan antiimunoglobulin manusia dan diperiksa dengan
mikroskop imunofluoresensi tidak akan terjadi fluoresensi. Namun sel T mempunyai reseptor pada
permukann selnya yang dapat berikatan dengan sel darah merah kambing. Apabila sel T diinkubasi
dengan sel darah merah kambing akan terbentuk roset yang terdiri atas beberapa sel darah merah
mengelilingi sel T.

Sebelum sel T dapat bereaksi terhadap antigen, maka antigen tersebut harus diproses serta
disajikan kepada sel T oleh makrofag atau sel langerhans. Setelah terjadi interaksi antara makrofag,
antigen, dan sel T, maka sel tersebut akan mengalami transformasi blastogenesis sehingga terjadi
peningkatan aktivitas metabolik. Selama mengalami proses transformasi tersebut sel T akan
mengeluarkan zat yang disebut sebagai limfokin yang mampu merangsang dan mempengaruhi
reaksi peradangan selular, antara lain faktor penghambat migrasi makrofag (Macrophage Inhibitory
Factor), (MIF); faktor aktivasi makrofag (Macrophage Activating Factor), (MAF); faktor kemotaktik
makrofag; faktor penghambat leukosit (Leucocyte Inhibitory Factor), (LF); Inteferon dan limfotoksin.
Mediator-mediator tersebut mampu mempengaruhi makrofag, PMN, limfosit, dan sel-sel lain
sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas lambat (tipe IV). Contoh dalam bidang penyakit kulit ialah
dermatitis kontak alergik.

Reaksi peradangan yang dipacu oleh limfokin dimulai dengan aktivasi limfosit oleh adanya
kontak dengan antigen spesifik yang mampu mengeluarkan faktor kemotaktik limfokin yang akan
membawa sel radang ke tempat kontak. Sel-sel tersebut akan ditahan di tempat aktivasi limfosit
oleh faktor penghambat migrasi makrofag dan faktor penghambat leukosit. Kemudian makrofag
akan diaktivasi oleh faktor aktivasi makrofag menjadi sel pemusnah (killer cell) yang mengakibatkan
kerusakan jaringan. Terjadi jalinan amplifikasi yang melibatkan faktor mitogenik limfosit, akan
menyebabkan limfosit lain berperan serta pada respons hipersensitivitas lambat ini. Makrofag juga
dapat berperan dalam respons imun dengan jalan mengeluarkan monokin, misalnya interleukin 1
yang melibatkan limfosit untuk berperan serta dalam reaksi peradangan tersebut. Mengikuti
terikatnya antigen spesifik dengan permukaan sel T, sel T akan mengalami proliferasi klonal untuk
memproduksi turunan limfosit yang secara genetik diprogramkan untuk bereaksi dengan antigen
spesifik yang telah mengaktivasi sel pendahulunya. Proliferasi klonal biasanya terjadi di jaringan
limfois. Sistem imun selular akan diatur oleh subset sel T, disebut sebagai sel T penekan dan sel T
penolong yang akan menambah atau menekan respins imun dan mengatur sintesis antibodi,
sehingga kedua sel tersebut di atas merupakan penghubung antara sistem imun selular dan sistem
imun humoral.

Sumber : Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI.
Jakarta. 2005. Pages: 48-49

2. Mengapa keluhan tidak disertai nyeri dan gatal?


Gambaran kliniknya mula-mula berupa lesi nodul kemerahan, tunggal atau multiple, yang
kemudian berubah permukaannya menjadi verokous. Lesi ini dikelilingi oleh suatu halo
hiperpigmentasi. Lesi biasanya tidak nyeri dan tanpa disertai gejala sistemik.

Harahap, Marwali. Tuberkulosis Kutis. Ilmu Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta : Hipokrates:
2000. P: 273-5.

3. Mengapa di punggung tangan muncul penebalan dan permukaannnya kasar sejak 6 bulan yang
lalu?

Tuberculosis veruca verrucosa atau yang disebut sebagai Lupus verrucosus, Prosector's wart, dan
Warty tuberculosis merupakan suatu ruam kecil, berupa nodul papuler kemerahan pada kulit
yang dapat muncul 2-4 minggu setelah inokulasi oleh Mycobacterium tuberculosis pada infeksi
sebelumnya dan pada individu yang imunokompeten (Goldman, 2002)
Perjalanan kliniknya berlangsung kronik beberapa bulan hingga tahun.

Penyebab penebalan stratum korneum?


Akibat pembelahan stratum germinativum sehingga stratum korneum menumpuk ?

4. Mengapa kadang timbul retak pada permukaan kelainan dan keluar cairan keruh
seperti nanah?

Ketika terpapar, lesi kulit pada penampakan luar akan menjadi verruca atau borok, hal ini akan
dibingungkan oleh jenis veruka lainnya. Lesi ini akan berubah menjadi plak anular berwarna
merah kecoklatan seiring waktu, dengan central healing dan ekspansi bertahap ke arah perifer,
dimana pada fase ini akan dipusingkan dengan  infeksi jamur seperti blastomycosis dan
chromoblastomycosis. Akan tetapi pada area tengah lesi tuberculosis veruca verrucosa akan
mengeras dan menjadi fisura, dimana pus dan bahan keratin dapat keluar dari fusura ini. Lesi
biasanya soliter, dan nodul regional tidak terpengaruh kecuali terdapat infeksi sekunder bakteri.
Lesi dapat berkembang dan menetap dalam beberapa tahun. Penyebuhan spontan dapat terjadi
dengan bekas parut (Goldman, 2002).

5. Mengapa ditemukan UKK Plakat hiperkeratotik dengan permukaan verukosa dengan diameter 2-3
cm dengan penyebaran serpiginosa?
Infeksi pada tuberculosis kutis verukosa terjadi secara eksogen, jadi kuman langsung masuk
ke dalam kulit, oleh sebab itu tempat predileksinya pada tungkai bawah dan kaki, tempat yang lebih
sering mendapat trauma, yang tersering di lutut.
Gambaran klinisnya khas sekali, biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran
serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di jurusan yang
lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikular di atas kulit eritematosa. Pada bagian yang cekung
terdapat siktriks. Selain menjalar secara serpiginosa, juga dapat menjalar ke perifer sehingga
terbentuk sikatriks ditengah.
Sumber : Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK
UI. Jakarta. 2005. Pages: 64-72
6. Apa tujuan ditanyakannya keluhan yang diderita dengan keluarga yang menderita TB?

7. Adakah hubungan antara keluhan yang diderita pasien dengan pekerjaan pasien sebagai laboran di
RS Swasta? Kalau iya, Apa hubungannya?
Pekerjaan yang mungkin berkontak langsung dengan jaringan-jaringan yang mengandung M.
Tuberculosis seperti pekerja laboratorium.

Sumber : Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit – Prof. Dr. R. S. Siregar, Sp.KK(K) – Edisi 21.

8. Bagaimana cara pemeriksaan Tes Mantoux dan Histo PA?


Cara Pemberian dan Pembacaan

Uji tuberkulin dilakukan dengan injeksi 0,1 ml PPD secara intradermal (dengan metode Mantoux) di
volar / permukaan belakang lengan bawah. Injeksi tuberkulin menggunakan jarum gauge 27 dan spuit
tuberkulin, saat melakukan injeksi harus membentuk sudut 30° antara kulit dan jarum.
Penyuntikan dianggap berhasil jika pada saat menyuntikkan didapatkan indurasi diameter 6-10 mm.
Uji ini dibaca dalam waktu 48-72 jam setelah suntikan. Hasil uji tuberkulin dicatat sebagai diameter
indurasi bukan kemerahan dengan cara palpasi. Standarisasi digunakan diameter indurasi diukur
secara transversal dari panjang axis lengan bawah dicatat dalam milimeter.2,11-12

Interpretasi Uji Tuberkulin

Untuk menginterpretasikan uji tuberkulin dengan tepat, harus mengetahui sensitiviti dan spesivisiti
juga uji ramal positif dan uji ramal negatif. Seperti pada uji diagnostik lain, uji tuberkulin mempunyai
sensitiviti 100% dan spesivisiti 100%. Uji tuberkulin dilaporkan mempunyai uji ramal positif dan
negatif 10-25% seperti tampak pada tabel 2.
Hasil uji tuberkulin negatif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut tidak terinfeksi dengan basil
TB. Selain itu dapat juga oleh karena terjadi pada saat kurang dari 10 minggu sebelum imunologi
seseorang terhadap basil TB terbentuk. Jika terjadi hasil yang negatif maka uji tuberkulin dapat
diulang 3 bulan setelah suntikan pertama.

Hasil uji tuberkulin yang positif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut sedang terinfeksi basil TB.
Terpenting disini adalah jika seseorang sedang terinfeksi M.tb apakah sedang terinfeksi atau sakit TB.
Sehingga guideline ACHA menyebutkan jika hasil uji tuberkulin positif maka harus dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan dahak. Jika hasil foto toraks tersebut normal maka
dapat dilakukan pemberian terapi TB laten, tetapi jika hasil foto toraks terjadi kelainan dan
menunjukkan ke arah TB maka dapat dimasukkan dalam M.tb aktif.

Spesivisiti uji tuberkulin dapat berubah menjadi 95-99% tergantung dari prevalensi infeksi bukan TB
pada suatu populasi. Jika spesivisiti turun akan meningkatkan resiko cross-reaction. Curley
mendapatkan spesivisiti uji tuberkulin meningkat dengan meningkatnya cut off point dengan 15 mm.
Manuhutu mendapatkan cut off point antara reactor dan non-reactor 12 mm.
Pembacaan uji tuberkulin dilakukan dalam waktu 48-72 jam, tetapi dianjurkan untuk 72 jam. Hasil
yang dilaporkan adalah indurasi lokal (bukan kemerahan) dengan palpasi, diameter transversal dan
dicatat dalam millimeter. Interpretasi ukuran diameter uji tuberkulin seperti pada tabel 2,11-15,22
Dengan dasar sensitiviti dan spesivisiti, prevalensi TB masing-masing kelompok dapat dibedakan.
Terdapat 3 cut-off point yang direkomendasikan untuk mengartikan reaksi uji tuberkulin seperti
tampak pada tabel 4.7,23

Tabel 4. Interpretasi ukuran diameter reaksi uji tuberkulin.

Indurasi ≥ 5 mm

a. Close contac dgn individu yang diketahui/suspek TB dalam waktu 2 tahun.


b. Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis.
c. Terinfeksi HIV.
d. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB.
e. Close contac dgn individu yang diketahui/ suspek TB dalam waktu 2 tahun.
f. Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis.
g. Terinfeksi HIV.
h. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB.
i. Individu yang transplantasi organ dan imuncompromised.

Indurasi ≥ 10 mm

a. Datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB.


b. Individu dengan HIV negatip tetapi pengguna napza.
c. Konversi uji tuberkulin menjadi 10 mm dalam 2 tahun
d. Individu dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB :
• DM
• Malabsorbsi
• CRF
• Tumor di leher dan kepala
• Leukemia, lymphoma
• Penurunan BB > 10%
• Silikosis

Indurasi ≥15 mm

a. Bukan resiko tinggi tertular TB


b. Konversi uji tuberkulin menjadi > 15 mm setelah 2 tahun

Sumber : The tuberkulin (Mantoux) skin test. Available at


http://www.nt.gov.au/health/cdc/fact_sheets /tb_skintest_factsheet.pdf. Acessed December 18 2005

Siapkan 0,1 ml PPD ke dalam disposable spuit ukuran 1 ml (3/8 inch 26-27 gauge)
2. Bersihkan permukaan lengan volar lengan bawah menggunakan alcohol pada daerah 2-3 inch di
bawah lipatan siku dan biarkan mengering
3. Suntikkan PPD secara intrakutan dengan lubang jarum mengarah ke atas. Suntikan yang benar akan
menghasilkan benjolan pucat, pori-pori tampak jelas seperti kulit jeruk, berdiameter 6-10 mm
4. Apabila penyuntikan tidak berhasil (terlalu dalam atau cairan terbuang keluar) ulangi suntikan pada
tempat lain di permukaan volar dengan jarak minimal 4 cm dari suntikan pertama.
5. Jangan lupa mencatat lokasi suntikan yang berhasil tersebut pada rekam medis agar tidak tertukar
saat pembacaan. Tidak perlu melingkari benjolan dengan pulpen/spidol karena dapat mengganggu
hasil pembacaan.
Catatan
a.       Perhatikan cara penyimpanan PPD sesuai petunjuk pada kemasan
b.      PPD aman bagi  bayi berapapun usianya bahkan aman pula bagi wanita hamil
c.       Tes Mantoux bukan merupakan kontra indikasi bagi:
·      Pasien yang pernah diimunisasi BCG
·      Pasien yang pernah dilakukan tes Mantoux sebelumnya dan hasilnya positif (dalam hal ini
pengulangan diperlukan karena hasil tes Mantoux sebelumnya tidak tercatat dengan baik)
·      Pasien sedang dalam kondisi demam, sakit, maupun pasien dengan imunokompromais
d.            Adanya parut yang besar pada bekas tes Mantoux sebelumnya merupakan petunjuk hasil
positif pada tes terdahulu dan tidak perlu diulang. Namun perlu ditekankan bahwa tes Mantoux
menggunakan PPD dan bukan vaksin BCG.

Pembacaan
1. Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih diutamakan pada 72 jam
·      Minta pasien control kembali jika indurasi muncul setelah pembacaan
·      Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid
·      Bila pasien tidak control dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang.
2. Tentukan indurasi (bukan eritem) dengan cara palpasi
3. Ukur diameter transversal terhadap sumbu panjang lengan dan catat sebagai pengukuran tunggal
4. Catat hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10 mm, 16 mm) serta catat pula tanggal
pembacaan dan bubuhkan nama dan tandatangan pembaca
5. Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas suntikan dapat dilakukan kompres dingin
atau pemberian steroid topikal
Catatan:
Reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulin yang munculnya cepat (immediate hypersensitivity
reactions) dapat timbul segera setelah suntikan dan biasanya menghilang dalam 24 jam. Hal ini tidak
mempunyai arti dan bukan menunjukkan hasil yang positif.

G.           INTERPRETASI TEST MANTOUX
Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm. Kemungkinan yang perlu
dipikirkan pada anak dengan hasil tersebut:
a.       Terinfeksi tuberkulosis secara alamiah
b.      Infeksi TB mencakup infeksi TB laten, sakit TB aktif, atau pasca terapi
TB.
c.       Pernah mendapat imunisasi BCG (pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun)
d.      Pada pasien usia kurang dari 5 tahun dengan riwayat vaksinasi BCG kecurigaan ke arah infeksi
alamiah TB bila hasil uji Mantoux > 15 mm.
e.       Infeksi mikobakterium atipik
Meskipun demikian, hasil uji Mantoux > 5 mm dapat dipertimbangkan positif pada pasien tertentu
seperti :
a.       Pasien dengan infeksi HIV
b.      Pasien dengan transplantasi organ atau mendapat imunosupresan jangka panjang seperti pasien
keganasan atau sindrom nefrotik

False Negative
Pasien-pasien tertentu yang terinfeksi tuberkulosis mungkin dapat menunjukkan hasil tes Mantoux
yang negatif. Kondisi demikian disebut dengan anergi. Anergi kemungkinan terjadi pada pasien:
a.       Pasien dengan status malnutrisi berat
b.      Pasien dengan infeksi berat seperti campak, cacar air, pertusis, difteri, tifoid
c.       Pasien dengan status imunokompromasi atau pasien menggunakan imunosupresan jangka
panjang seperti pasien HIV, keganasan, sindrom nefrotik dan lainnya
d.      Pasien dengan sakit TB berat seperti TB milier, meningitis TB
Mengingat masa yang diperlukan untuk terbentuknya cellular mediated immunity sejak masuknya
kuman TB adalah 2-12 minggu maka hasil negatif pada pasien dengan kontak erat penderita TB
dewasa masih mungkin pasien sedang dalam masa inkubasi.

9. DD? (Definisi, etiologi, patogenesis, Faktor resiko, Cara diagnosis (PP), Treatment)

TUBERKULOSIS KUTIS

Definisi
Tuberkulosis kutis adalah penyakit tuberkulosis pada kulit yang di Indonesia disebabkan oleh basil
Mycbacterium tuberculosis dan mikobakteria atipikal.

Epidemiologi
Penelitian di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo, skrofuloderma merupakan bentuk yang
tersering terdapat (84%), disusul oleh tuberkulosis kutis verukosa (13%), bentuk-bentuk yang lain
jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang dahulu dikatakan tidak terdapat, ternyata ditemukan,
meskipun jarang.
Tuberkulosis kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa dengan status
imunodefisiensi. Tuberkulosis kutis terjadi akibat penjalaran langsung dari organ dibawahnya
yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, hematogen, limfogen, dapat juga autoinokulasi atau
melalui kulit yang telah menurun resistensi lokalnya.
Di negara beriklim dingin seperti di Eropa bentuk yang sering terdapat adalah Lupus Vulgaris,
sedangkan di India bentuk yang tersering dijumpai adalah Skrofuloderma, disusul oleh Lupus
Vulgaris dan Tuberkulosis Kutis Verukosa.

Etiologi
Penyebab tuberkulosis kutis adalah mikobakterium obligat yang bersifat patogen terhadap
manusia, M. tuberkulosis, M. bovis, dan kadang-kadang bisa juga disebabkan oleh Bacillus
Calmette-Guerin (BCG). Penyebab utama tuberkulosis kutis di Rumah Sakit Dr.
Ciptomangunkusumo (RSCM) ialah Mycobacterium Tuberkulosis (jenis human) berjumlah 91,5%,
sisanya (8,5%) disebabkan oleh M. atipikal, yang terdiri atas golongan II atau skotokromogen,
yakni M. scrofulocaeum (80%) dan golongan IV atau rapid growers (20%). M. bovis dan M. avium
belum pernah ditemukan, demikian pula M. atipikal golongan lain.

Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya adalah kemiskinan, gizi kurang,
penggunaan obat-obatan secara intravena, dan status imunodefisiensi. Frekuensi terjadinya
penyakit ini pada wanita dan pria adalah sama. Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia
manapun, terutama di Negara – Negara berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang
termasuk Indonesia, tuberculosis kutis sering ditemukan.
Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan dan diakibatkan karena gizi yang kurang dan
sanitasi yang buruk. Prevalensinya tinggi pada anak – anak yang mengonsumsi susu yang telah
terkontaminasi Mycobacterium bovi .Tuberkulosis kutis dapat ditularkan melalui inhalasi, ingesti,
dan inokulasi langsung pada kulit dari sumber infeksi. Selain manusia, sumber infeksi kuman
tuberkulosis ini juga adalah anjing, kera dan kucing.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini sering terkait dengan faktor
lingkungannya ataupun pekerjaannya. Biasanya penyakit ini sering ditemukan pada pekerjaan
seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang yang melakukan autopsi, peternak, juru masak,
anatomis, dan pekerja lain yang mungkin berkontak langsung dengan M. tuberculosis ini, seperti
contohnya pekerja laboratorium. Sekarang, dimasa yang semakin efektifnya pengobatan
tuberkulosis sistemik, tuberkulosis kulit semakin jarang ditemui.

Bakteriologi
A. M. Tuberculosis
Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu berbentuk batang, tidak membentuk
spora, aerob, tahan asam (1,2), panjang 2-4/µ dan lebar 0,3-1,5/µ, tidak bergerak dan suhu
optimal pertumbuhan pada 37ºC
Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5 macam, yaitu:

1. Sediaan mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada pewarnaan dengan
Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika positif kuman tampak berwarna merah pada dasar yang
biru. Kalau positif belum berarti kuman tersebut M. tuberkulosis, oleh karena ada kuman lain
yang tahan asam, misalnya M. leprae.

2. Kultur
kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada suhu 37º. Jika positif koloni
tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.

3. Binatang percobaan
Dipakai marmot, percobaan tersebut memerlukan waktu 8 minggu.

4. Tes biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk membedakan jenis human dengan yang
lain. Jika tes niasin positif berarti jenis human.

5. Percobaan resistensi

B. Mikobakteria atipikal
Mikobakteria atipikal merupakan kuman tahan asam yang agak lain sifatnya dibandingkan
dengan Mycobacterium Tuberkulosis, yakni patogenitasnya rendah. Pada pembiakan umumnya
membentuk pigmen, dan tumbuh pada suhu kamar. Menurut klasifikasi Runyon (1959) kuman
tersebut dibagi menjadi 4 golongan:

1. Golongan I : Fotokromogen
Koloni dapat membentuk pigmen, bila mendapat cahaya, misalnya M. marinum dan M. kansasii.

2. Golongan II : Skotokromogen
Koloni dapat membentuk pigmen dengan atau tanpa cahaya, misalnya M. scrofulaceum.

3. Golongan III : Nonfotokromogen


Koloni tidak dapat atau sedikit membentuk pigmen, walaupun mendapat cahay contohnya M.
avium-intracellulare dan M. ulcerans.

4. Golongan IV : Rapid Gowers


Koloni tumbuh dalam beberapa hari, misalnya M. fortuitum dan M. abscessus.

Klasifikasi

Klasifikasi tuberkulosis kutis bermacam-macam. Berikut ini klasifikasi menurut PILLSBURRY


dengan sedikit perubahan.

1. Tuberkulosis kutis sejati


A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
B. Tuberkulosis kutis sekunder
 Tuberkulosis kutis miliaris
 Skrofuloderma
 Tuberkulosis kutis verukosa
 Tuberkulosis kutis gumosa
 Tuberkulosis kutis orifisialis
 Lupus vulgaris
2. Tuberkulid
A. Bentuk papul
 Lupus miliaris diseminatus fasiei
 Tuberkuloid papulonekrotika
 Liken skrofulosorum
B. Bentuk granuloma dan ulseronodulus
 Eritema nodusum
 Eritema induratum

Ada beberapa klasifikasi dari tuberkulosis kutis ini. Yang paling sering digunakan adalah klasifikasi
menurut ada atau tidaknya bakteri penyebabnya. Sehingga tuberkulosis kutis ini dibedakan
menjadi tuberkulosis kutis sejati dan tuberkuloid. Pada tuberkulosis sejati, ditemukan basil TB
pada lesinya. Sedangkan pada tuberkuloid tidak ditemukan adanya basil. Tuberkulosis sejati ini
dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Yang dimaksud dengan primer ini adalah lesi
yang terjadi karena infeksi eksogen pada penderita yang belum pernah terpapar dengan M.
Tuberculosis sebelumnya. Pada tuberkulosis sekunder, terjadi reinfeksi baik itu reinfeksi lokal
maupun general pada individu yang pernah terinfeksi sebelumnya. Yang termasuk dalam kategori
tuberkulosis sekunder adalah TB kutis miliaris, skrofuloderma, TB kutis verukosa, TB kutis
gumosa, TB kutis orifisialis, lupus vulgaris.
Adapun yang dimaksudkan dengan tuberkuloid merupakan reaksi hipersensitifitas dari individu
yang sebelumnya telah sensitif dengan kuman TB. Bentuk dari tuberkuloid ini sendiri dibagi lagi
menjadi 2 bentuk yaitu tuberkuloid dalam bentuk papul dan tuberkuloid dalam bentuk
granuloma dan ulseronodulus.

Patogenesis
Cara infeksi ada 6 macam
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis,
misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika
ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.

Gambaran Klinik dan Histopatologi

Pada umumnya, gambaran dari TB kutis ini adalah pada epidermisnya tampak adanya
hiperkeratosis dan akantosis. Pada reaksi radang yang akut, sering dengan gambaran adanya
abses di lapisan ini. Pada dermis tampak adanya nekrosis kaseosa. Gambaran klinis yang khas
menurut penyakitnya pada tuberkulosis sejati adalah sebagai berikut:

1. Tuberkulosis kutis sejati


A. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi TB primer
TB chancre atau kompleks primer TB (TB inokulasi primer)
Bentuk ini merupakan hasil inokulasi primer kuman TB pada kulit orang yang belum pernah
terkena kuman TB sebelumnya atau pada orang-orang yang tidak mempunyai imunitas terhadap
kuman TB. Kompleks lesi primer meliputi kulit dan nodus limfatikus terutama pada bayi dan anak-
anak. Jalan masuk basil tuberkel adalah paru-paru, luka kecil, kuku yang terbuka, atau luka tusuk.
Gambarannya dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus indolen, berdinding tergaung dan
disekitarnya livid. Masa tunas 2-3 minggu, limfangitis dan limfadenitis timbul beberapa minggu
hingga beberapa bulan setelah afek primer, pada waktu tersebut reaksi tuberkulin menjadi
positif. Keseluruhannya merupakan kompleks primer. Pada ulkus tersebut dapat terjadi indurasi,
karena itu disebut tuberculous chancre. Makin muda usia penderita makin berat gejalanya.
Bagian yang sering terkena adalah wajah dan ekstremitas yang berhubungan dengan
limphadenopaty regional. Biasanya ditemukan pada daerah kulit yang mudah terkena trauma.
Histopatologinya yaitu pada fase awal menunjukkan gambaran radang akut dengan nekrosis dan
banyak basil tahan asam. Pada stadium lanjut dijumpai kaseasi bersamaan dengan lenyapnya
basil.

B. Tuberkulosis kutis sekunder


2. TB miliar kulit (TB kutis miliaris diseminata)

Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan status imunokompromise. Fokus infeksi
terdapat secara khusus pada paru-paru atau selaput otak. Akan ditemukan adanya lesi primer
pada paru dan lesi yang muncul secara mendadak dan tersebar Terjadi karena penjalaran ke kulit
dari fokus di badan. Reaksi terhadap tuberkulin biasanya negatif (anergi).
Ruam di seluruh badan berupa eritema berbatas tegas, papula, vesikel, pustule, skuama atau
purpura menyeluruh dengan atau tanpa nekrosis diatasnya. Diagnosis banding dari kelainan ini
adalah sifilis sekunder dan erupsi obat. Pada pemeriksaan histopatologinya menunjukkan adanya
beberapa fokal nekrosis dan abses yang dikelilingi zona makrofag dan banyak basil tahan asam.
Pada umumnya prognosisnya buruk.
3. Skrofuloderma
Definisi
Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang timbul akibat penjalaran
perkontinuitatum dari jaringan atau organ di bawah kulit yang telah terserang penyakit
tuberculosis misalnya tuberkulosis kelenjar getah bening, tuberculosis tulang dan keduanya atau
tuberculosis epididimis atau setelah mendapatkan vaksinasi.

Patofisiologi
Pada penyakit ini biasanya menular melalui percikan air ludah dan oleh karenanya porte d’entrée
skrofuloderma di daerah leher adalah pada tonsil atau paru, jika di ketiak maka kemungkinan
porte d’entrée pada apeks pleura, jika di lipat paha porte d’entrée pada ekstrimitas bawah.
Kadang – kadang ketiga tempat predileksi tersebut terserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak
dan lipatan paha.
Skrofuloderma merupakan hasil dari adanya penjalaran jaringan di bawah kulit yang terserang
tuberculosis, biasanya kelenjar getah bening, tetapi kadang – kadang dapat juga berasal dari
tulang, atau kedua – duanya atau tuberculosis epididimis. Tuberkulosis kelenjar getah bening
tersering terjadi dan yang terkena adalah kelenjar getah bening pada supraklavikula,
submandibula, leher bagian lateral, ketiak, dan lipatan paha (jarang terjadi). Fokus primer
didapatkan pada daerah yang aliran getah beningnya bermuara pada kelenjar getah bening yang
meradang.
Penyebaran penyakit terjadi secara cepat melalui limfatik ke kelenjar getah bening dari daerah
yang sakit dan melalui aliran darah. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut
ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous
chancre. Bila kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma. Reinfeksi eksogenous bisa
terjadi meskipun jarang dan reaksinya pada host yang telah tersensitasi oleh infeksi sebelumnya
berbeda dengan mereka yang belum tersensitasi.

Gambaran Klinis
Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar getah bening (limfadenitis tuberculosis)
berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening ini konsistensinya padat pada
perabaan. Mula – mula hanya beberapa kelenjar yang diserang, lalu makin banyak dan
berkonfluensi. Selanjutnya berkembang menjadi periadenitis yang menyebabkan perlekatan
kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut mengalami perlunakan
yang tidak serentak, menyebabkan konsistensinya menjadi bermacam – macam, yaitu didapati
kelenjar getah bening melunak dan membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila
tidak disayat dan dikeluarkan nanahnya, abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut
tidak panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan, menandakan
bahwa isinya cair).
Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar
dengan menembus kulit di atasnya dengan demikian membentuk fistel. Kemudian fistel meluas
hingga mejadi ulkus yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya panjang dan tidak teratur, dan
di sekitarnya berwarna merah kebiruan, dindingnya tergaung, jaringan granulasinya tertutup oleh
pus yang purulen, jika mongering menjadi krusta warna kuning.
Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa tahun dengan
meninggalkan bekas luka (sikatriks) yang memanjang dan tidak teratur. Jembatan kulit (skin
bridge) kadang – kadang terdapat di atas sikatriks, biasanya berbentuk seperti tali yang kedua
ujungnya melekat pada sikatriks tersebut.

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik dengan melihat gambaran lesi jika
masih dalam bentuk pembesaran kelenjar getah bening diperlukan pemeriksaaan histopatologi
dan pemeriksaan penunjang lainnya untuk menyingkirkan penyebab lain selain mikrobakterium
tuberkulosis.
Pada Skrofuloderma dileher gambaran klinisnya khas, walaupun demikian aktinomikosis sering
dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di leher. Aktinomikosis biasanya
menimbulkan deformitas atau benjolan dengan beberapa muara fistel produk.
Pada stadium limfadenitis tuberkulosis sukar didiagnosis secara klinis sulit dibedakan dengan
limfadenitis non tuberkulosis lainnya, seperti limfosarkoma, leukimia, limfoma maligna,
pembesaran kelenjar getah bening post vaksinasi BCG. Jika didaerah ketiak dibedakan dengan
hidradenitis supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut
bersifat akut dan disertai dengan tanda-tanda radang akut yang jelas, terdapat gejala konstitusi
dan leukositosis. Hidradenitis supurativa, yakni infeksi oleh piokokus pada kelenjar apokrin.
Penyakit tersebut bersifat akut dan disertai dengan tanda-tanda radang akut yang jelas, terdapat
gejala konstitusi dan lukositosis. Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan sikatriks sehingga
terjadi tarikan-tarikan yang mengakibatkan retraksi ketiak.
 Skrofuloderma yang terdapat dilipatan paha kadang-kadang mirip penyakit venerik yaitu
limfogranuloma venerum (LGV). Perbedaan yang penting adalah pada LGV terdapat riwayat
kontak seksual pada anamnesia diertai gejala konstitusi dan terdapat kelima tanda radang akut.
Lokalisasinya juga berbeda-beda, pada LGV yang diserang adalah kelenjar getah bening inguinal
medial, sedangkan pada skrofuloderma menyerang getah bening inguinal lateral dan femoral.
Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di
inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma tes tuberculin
positif.

4. TB kutis verukosa (warty tuberculosis verrucanecrogenica)

Definisi
Tuberculosis veruca verrucosa atau yang disebut sebagai Lupus verrucosus, Prosector's wart, dan
Warty tuberculosis merupakan suatu ruam kecil, berupa nodul papuler kemerahan pada kulit
yang dapat muncul 2-4 minggu setelah inokulasi oleh Mycobacterium tuberculosis pada infeksi
sebelumnya dan pada individu yang imunokompeten (Goldman, 2002)

Etiologi
Paling banyak kasus tuberculosis veruca verrucosa disebabkan oleh reinfeksi dari individu yang
ditandai dengan hipersensitif kulit dan imunitas yang baik, walaupun auto-inokulasi dari sputum
dapat menyebabkan lesi.  Karena port de entry biasanya pada sisi tauma, luka, atau tusukan pada
kulit, (luka pada ahli bedah autopsy misalnya), merupakan tempat lesi di tangan. Tetapi dapat
juga terjadi dimanapun di kulit, seperti telapak kaki, anus, dan pada anak di negara berkembang
sering terjadi pada pantat dan lutut. Hal ini karena anak-anak di negara berkembang dengan
resiko tuberkulosis yang tinggi dapat kontak langsung antara luka dan sputum tuberkulosis saat
berjalan tanpa alas kaki, duduk, atau saat bermain ditanah (Padmavathy, et al., 2007).

Patofisiologi
Ketika terpapar, lesi kulit pada penampakan luar akan menjadi verruca atau borok, hal ini akan
dibingungkan oleh jenis veruka lainnya. Lesi ini akan berubah menjadi plak anular berwarna
merah kecoklatan seiring waktu, dengan central healing dan ekspansi bertahap ke arah perifer,
dimana pada fase ini akan dipusingkan dengan  infeksi jamur seperti blastomycosis dan
chromoblastomycosis. Akan tetapi pada area tengah lesi tuberculosis veruca verrucosa akan
mengeras dan menjadi fisura, dimana pus dan bahan keratin dapat keluar dari fusura ini. Lesi
biasanya soliter, dan nodul regional tidak terpengaruh kecuali terdapat infeksi sekunder bakteri.
Lesi dapat berkembang dan menetap dalam beberapa tahun. Penyebuhan spontan dapat terjadi
dengan bekas parut (Goldman, 2002).

Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik ditunjang dengan pemeriksaan histologi
yang dikonfirmasi dengan isolasi M.tuberculosis pada kultur atau dengan PCR. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan gambaran klinis yang khas biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran
secara serpiginosa, yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di
jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada
bagian yang cekung terdapat sikatriks. Selain menjalar secara serpiginosa, juga dapat menjalar ke
perifer sehingga terbentuk sikatriks di tengah.
Pemeriksaan histologi menunjukkan gambaran pseudoepitheliomatous hyperplasia  dengan
hyperkeratosis dan infiltrasi neutrofil dan limfosit. Gambaran abses didapatkan pada epidermis
dan dermis bagian atas. Dapat ditemukan epithelioid giant cells, tuberkel dan BTA jarang
ditemukan.  Pada kultur dari lesi tuberculosis kutis verukosa akan didapatkan mikobakterium.
PCR digunakan untuk mengidentifikasi DNA M. tuberculosis dalam specimen jaringan. Skin test
pada tuberkulosa kutis veerukosa akan memberikan hasil positif.

Gejala klinis
Lesi pada dewasa umumnya terdapat pada tangan terutama bagian dorsolateral dan jari-jari,
sedangkan pada anak-anak biasanya pada ekstremitas bawah dan lutut. Lesi diawali dengan halo
berwarna ungu, berkembang menjadi plak kutil yang  keras dan hyperkeratosis, pus dan material
keratin keluar dari cleft dan fisura yang terbentuk. Papul asimtomatis sering salah didiagnosa
sebagai veruka vulgaris. Pertumbuhannya lambat dan terjadi perluasan ke perifer. Lesi biasanya
soliter dan tidak melibatkan kgb regional kecuali jika terjadi infeksi sekunder. Lesi dapat
berkembang dan menetap selama bertahun-tahun. Juga bisa terjadi resolusi spontan dengan
pembentukan scar.

Bentuk TB kulit yang timbul karena infeksi eksogen pada individu dengan imunitas baik.
Perjalanan kliniknya berlangsung kronik beberapa bulan hingga tahun. Tempat predileksinya pada
tungkai bawah dan kaki. Gambaran klinis biasanya berbentuk bulan sabit akibat penjalaran secara
serpiginosa. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di atas kulit yang eritematosa. Pada bagian
yang cekung terdapat sikatriks. Diagnosis bandingnya adalah veruka, kromomikosis dan
sporotrikosis. Gambaran histopatologinya yaitu pada epidermis dijumpai adanya hiperkeratosis,
hipergranulosis, akantosis, dan papilomatosis diatas sebukan radang akut.

4.   Tuberkulosis kutis gumosa


Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen, biasanya dari paru. Kelainan kulit
berupa infiltrat subkutan, berbatas tegas yang menahun, kemudian melunak dan bersifat
destruktif. Pada awalnya kulit berwarna normal dan lama-kelamaan menjadi merah kebiruan. Lesi
tersebar berbentu makula dan papul berukuran kecil atau lesi berwarna kemerahan. Kadang-
kadang vesikuler dan terdapat krusta.
5.   Tuberkulosis kutis orifisialis
Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit tuberkulosa pada organ-organ dalam. Sesuai
dengan namanya maka lokasinya di sekitar orifisium. Pada tuberkulosis paru dapat terjadi ulkus di
mulut, bibir atau di sekitarnya. Pada tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan di sekitar
anus. Pada tuberkulosis saluran kemih, ulkus dapat ditemukan di sekitar orifisium uretra
eksternum. Ulkus berdinding tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan sekitarnya livid.
6.   Lupus vulgaris
Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai terutama pada bagian yang sering
terpapar misalnya pada wajah dan ekstremitas. Cara infeksi dapat secara endogen atau eksogen.
Gambaran klinis yang umum adalah kelompok nodus eritematosa yang berubah warna menjadi
kuning pada penekanan (apple jelly colour). Nodus-nodus tersebut berkonfluensi berbentuk plak,
bersifat destruktif, sering terjadi ulkus.
Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila mengenai muka tulang rawan hidung dapat
mengalami kerusakan. Penyembuhan spontan terjadi perlahan-lahan di suatu tempat, tetapi
terjadi perjalanan di tempat lain, yang dapat ke perifer atau serpiginosa.

2. Tuberkulid
A. Bentuk Papul
1. Lupus milliaris diseminatus fasiei
Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam berupa papul-papul bulat, biasanya
diameternya tidak melebihi 5 mm, eritematosa kemudian meninggalkan sikatriks. Pada diaskopi
memberi gambaran apple jelly colour seperti pada lupus vulgaris.

2.   Tuberkulosis papulonekrotika


Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang menderita TB pada bagian tubuh
lain. Keadaan ini terjadi karena adanya reaksi alergi terhadap basil tuberkel. Basil menyebar
secara hematogen pada orang dengan satus imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus
tuberkulosis secara klinis tidak aktif pada saat terjadinya erupsi, dan pasien sedang berada dalam
keadaan sehat. Selain berbentuk papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul.
Tempat predileksi pada muka, anggota badan bagian ekstensor, dan badan. Mula-mula terdapat
papul eritematosa yang timbul secara bergelombang, membesar perlahan-lahan dan kemudian
menjadi pustul, lalu memecah menjadi krusta dan membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8
minggu, lalu menyembuh dan meninggalkan sikatriks. Kemudian timbul lesi-lesi baru. Lama
penyakit dapat bertahun-tahun.
3.   Liken skrofulosorum
Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang menderita tuberkulosis tulang atau nodus
limfatikus. Kelainan kulit terdiri atas beberapa papul miliar, warna dapat serupa dengan kulit atau
eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri, kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-
kadang di sekitarnya terdapat skuama halus. Tempat predileksi pada dada, perut, punggung dan
daerah sacrum. Perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika sembuh tidak
meninggalkan sikatriks.
B. Bentuk Granuloma dan ulseronodulus
1.  Eritema nodusum
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada ekstremitas bagian ekstensor.
Diatasnya terdapat eritema. Banyak penyakit yang juga dapat memberi gambaran klinis sebagai
E.N., yang sering: lepra sebagai eritema nodusum leprosum, reaksi id karena Streptococcus B
Hemolyticus, alergi obat secara sistemik, dan demam reumatik.
2.  Eritema induratum
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari pembuluh darah arteri dan vena bersifat
jinak, dan disertai nekrosis lemak. Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen. Tempat
predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi sehingga terbentuk ulkus-ulkus. Kadang-
kadang tidak mengalami supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi hipotrofi berupa lekukan-
lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif.

Tuberkulosis Kutis oleh Mikobakteria Atipikal


1. GOLONGAN I
 M.marinum (swimming pool granuloma)
Epidemiologi
Mikobakteria ini pertama kali berhasil diisolasi tahun 1926 oleh Aronson dari ikan laut dalam
akuarium Philadelphia. Habitatnya di kolam renang maupun akuarium. Air yang bertemperatur
sesuai, sungai dan pantai. Vektornya adalah ikan, lumba-lumba, belut, udang, kepiting dan kutu
air.
Faktor resiko terkena infeksi dari mikobakteria ini adalah adanya riwayat trauma pada saat
memancing atau pada saat kaki atau tangan berada di dalam air. Dari survei yang dilakukan di
Perancis dari tahun 1996 sampai tahun 1998 diketahui bahwa lebih dari 84% kasus infeksi berasal
dari kolam ikan. Infeksi didapatkan ketika penderita membersihkan kolam. M. marinum dapat
bertahan di dalam air dan dapat ditemukan pada ikan yang mati, sisi kolam, dan dari pasir.
M.marinum menimbulkan kelainan nodus verukosa, dapat linear hingga menyerupai
sporotrikosis. Predileksinya ialah tempat yang banyak mendapat trauma yakni di tangan, lengan,
siku, lutut dan kaki. Lesi juga sering timbul pada daerah lengan, lutut dan kaki dari perenang,
dapat juga pada tangan dan jari-jari dari pemancing ikan. Kasus terbanyak terjadi di Swedia,
Inggris, Hawaii, dan Amerika Serikat.
Manifestasi klinik
Lesi biasanya timbul sekitar tiga minggu setelah terinfeksi. Lesi awal akan tampak seperti erosi
atau veruka dan papul atau dapat juga berbentuk plak. Lesi primer yang multipel jarang muncul.
Biasanya tidak ditemukan adanya ulserasi maupun nekrosis. Kemudian mulai akan terbentuk
ulkus yang dikelilingi krusta, abses yang supuratif atau nodul yang verukosa. Pada masa inkubasi
kadang disertai penyakit lain seperti synovitis, bursitis, arthritis dan osteomyelitis. Apabila
mengenai tendon maka akan mengurangi ruang gerak bagian tubuh tersebut. Pada beberapa
kasus memerlukan terapi pembedahan.
Perjalanan penyakit ini cenderung lambat, dan lesinya tampak tidak mengalami perubahan dalam
jangka waktu bertahun-tahun. Dari hasil histopatologi akan tampak adanya campuran reaksi
inflamasi yang disertai dengan adanya hiperkeratosis dan akantosis.
Histopatologi
Lesi akan terlihat seperti inflamasi non spesifik pada beberapa bulan, sementara lesi yang lebih
lama akan mulai terbentuk seperti granuloma dengan massa yang fibrinoid. Kadang ditemukan
Langhans’ giant cell. Basil gram negatif hanya berhasil ditemukan pada 10% kasus.
Diagnosa dan diferensial diagnosa
Diperlukan riwayat yang jelas, seperti pernah berenang atau memegang ikan dan adanya
tuberkuloid granulomatosis pada pemeriksaan histopatologi. Penyakit lain berupa adanya
granuloma di kulit dapat dipertimbangkan sebagai differensial diagnosis. Berdasarkan daerah
geografisnya, maka infeksi mikobakterial lain, blastomikosis, coccidiosis, histoplasmosis, dan
sporotrichosis dan juga nocadiosis, sifilis tersier harus dapat disingkirkan.

Pengobatan
M. marinum tidak terlalu memberikan respon dengan pengobatan dengan obat anti tuberkulosis,
tetapi sering terjadi penyembuhan spontan. Minocycline, 200 mg/hari selama satu sampai dua
bulan adalah pengobatan pilihan. Pengobatan lain menggunakan kombinasi dari
sulfamethoxazole dan trimetoprim, minosiklin dengan doksisiklin, rifampisin dengan etambutol,
dan klaritromisin, levofloksasin, atau amikain. Jangka waktu pengobatan yang tepat belum dapat
ditentukan, tetapi dari beberapa penelitian sekitar 14 minggu dengan durasi lebih lama pada
pasien dengan infeksi pada struktur tubuh yang lebih dalam.Untuk kasus yang kambuh atau
berulang, dapat dilakukan tindakan pembedahan.
 M. Kansasii
M. Kansasii dapat menimbulkan kelainan kulit sebagai nodul verukosa menyerupai sporotrikosis
atau krusta dengan ulkus yang dangkal dibawahnya. Infeksi oleh kuman ini banyak dilaporkan di
Amerika Serikat.
Epidemiologi
M. kansasii adalah jenis mikobakteria atipikal yang paling dekat hubungannya dengan M.
tuberculosis. Organisme ini biasanya berada di lingkungan, pada air yang tergenang dan hewan
liar. Penyakit kulit yang disebabkan oleh mikobakteria jenis ini biasa muncul pada orang dewasa
dengan kondisi yang mendukung seperti sedang dalam terapi menggunakan obat-obat
immunosupresan atau penderita yang immunocompromised. Tempat masuk kuman ini adalah
luka kecil atau lecet pada kulit. Belum ada bukti yang menunjukkan bahwa penyebaran
mikobakteria ini dapat dari orang ke orang.
Manifestasi klinis
Infeksi dari mikobakteria ini dapat muncul dengan beberapa bentuk. Paling sering terlihat adanya
papul-papul disekitar bentukan sporotrikhoid, kadang nodul subkutan akan terlihat pada struktur
yang lebih dalam dan dapat mengakibatkan terjadinya carpal tunnel syindrome atau penyakit
sendi lainnya. Penyebaran lesinya dapat berupa plak yang mengalami ulserasi. Pasien dengan
selulitis dan abses serta yang sedang dalam keadaan immunosupresif akan lebih mudah terkena.
Mikobakteria ini dapat membentuk berbagai bentuk lesi, tetapi terbanyak pada ekstremitas
bagian bawah. Tidak hanya sprotrichoid nodul, tapi juga papul verukosa, papulopustul dengan
tengah yang nekrosis, plak eritem, selulitis, rhinophyma, abses soliter maupun multipel.
Histopatologi
Infeksi dari mikobakteria ini secara histopatologi sangat sulit dipisahkan dengan tuberkulosis.
Tampak adanya plak eritem yang mengalami ulserasi.

Diagnosis dan differensial diagnosis


Diagnosis hanya dapat ditegakkan menggunakan kultur dari M. kansasii. Differensial diagnosisnya
termasuk sporotrikosis, tuberkulosis, dan infeksi granulomatosis lainnya.
Pengobatan
Mikobakteria ini lebih berespon terhadap obat antituberkulosis dibandingkan dengan
mikobakteria atipikal lainnya terutama terhadap streptomisin, etambutol, dan rifampisin.
Pengobatan menggunakan minosiklin hidroklorid 200 mg perharinya sudah cukup untuk infeksi
ini. Pada daerah kulit tertentu atau pada limfadenitis servikal, dapat dilakukan eksisi.9
Pengobatan dari kuman ini adalah rifampisin dan etambutol selama 9 bulan degan kelanjutan
terapi selama 15-24 bulan pada pasien yang immunocompromised. Dapat juga ditambahkan
prothionamide dan streptomisin atau suatu golongan makrolid jika pada pengobatan sebelumnya
tidak memberikan respon.
2. GOLONGAN II
 M. scrofulaceum
Infeksi oleh M. scrofulaceum berupa limfadenitis dan skrofuloderma. Gambaran klinisnya sama
dengan yang disebabkan oleh M. tuberculosis.

Epidemiologi
Organisme ini banyak ditemukan di sebelah tenggara Amerika Serikat. Biasanya terdapat pada
susu, keju dan hasil peternakan lainnya. Basil kuman dapat ditemukan pada lingkungan dengan
suhu yang hangat dan pH yang rendah. Mikobakteria ini juga ditemukan pada kulit orang yang
sehat tanpa menimbulkan suatu gejala klinis dan dapat juga ditemukan pada lesi kulit penderita
lepra.
Manifestasi klinis
Biasanya akan muncul infeksi berupa limfadenitis servikal pada anak kecil, terutama yang berusia
1 sampai 3 tahun. Nodul di daerah submandibula dan submaksila juga sering didapatkan dan
bersifat unilateral. Tidak ada suatu gejala khas kecuali nyeri sedang di daerah leher disertai
dengan adanya perbesaran kelenjar limfonodus dalam jangka waktu beberapa minggu dan
kadang berbentuk ulkus maupun fistul. Pada kebanyakan kasus menunjukkan bahwa adanya
infeksi ini tidak selalu disertai dengan gangguan pada paru maupun organ lain. Penyakit ini jinak
dan cenderung self limited.
Histopatologi
Sangat sulit dibedakan dengan tuberkulosis.

Diagnosis dan differensial diagnosis


Limfadenitis servikal unilateral pada anak dengan rontgen dada normal sudah menunjukkan
kemungkinan penyakit ini. Diagnosa pasti hanya bisa didapat melalui kultur dan biopsi.
Differensial diagnosis termasuklah semua jenis limfopati servikal, baik yang bersifat infeksius
maupun neoplasma.
Pengobatan
M. scrofulaceum tidak terlalu sensitif terhadap obat anti tuberkulosis. Terapi pilihan untuk kasus
ini hanyalah eksisi dan pembedahan. Untuk kasus yang banyak, kombinasi dari obat anti
tuberkulosis harus diberikan sampai didapatkan hasil dari uji sensitifitas. Hasil yang cukup
menggembirakan terlihat saat mengkombinasikan antara isoniazid dan rifampisin.

3. GOLONGAN III
 M. avium intracellulare
Epidemiologi
M. avium intracellulare biasanya berada bersama dengan M. scrofulaceum sehingga sering
disebut dengan MAIS (M. avium intracellulare-scrofulaceum) compleks. Infeksi terbanyak ada di
Amerika Serikat. Mikobakteria ini adalah jenis mikobakteri yang tumbuh lambat dan tumbuh
optimal pada suhu 37oC. Ditemukan di air, tanah, susu, hewan dan rumah. Traktus respiratorius
dan traktus gastrointestinal menjadi tempat masuk kuman ini sehingga dapat menginfeksi secara
sistemik. M. avium intracellulare ini biasanya menyebabkan tuberculosis paru, osteomielitis, dan
limfadenitis, jarang menyebabkan infeksi pada kulit.
Manifestasi klinis
Penyakit kulit yang disebabkan oleh M. avium intracellulare berupa plak soliter maupun multipel,
tidak terasa nyeri, kekuningan, kadang menyerupai lupus vulgaris atau nodul subkutan dengan
kecenderungan untuk terjadinya ulserasi, berjalan lambat dan kronis, mirip dengan selulitis.
Kadang juga lesi yang ada muncul sebagai bentuk sekunder M. avium intracellulare. Lesi yang
terbentuk adalah ulkus kutaneus yang generalisata, granuloma kutaneus yang multipel, lesi
infiltratif eritematosa pada ekstremitas, lesi pustuler, dengan pembengkakan pada jaringan lunak.
Histopatologi
Dari hasil pemeriksaan akan didapatkan granuloma tuberkuloid nonkaseosa. Basil tahan asam
akan ditemukan diantara giant cell di daerah ekstraseluler.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Diagnosa pasti hanya dapat ditegakkan melaui kultur. Diagnosis ditegakkan melalui kultur darah,
biopsi hati atau sumsum tulang. Pada pasien dengan lesi pada daerah kutaneus, spesimen dari
kultur atau biopsi akan memberikan hasil positif. Differensial diagnosis adalah semua jenis
granuloma kronis pada kulit.
Pengobatan
Respon terhadap obat-obatan sangat rendah. Pembedahan sebagai terapi kuratif dapat dilakukan
jika diperlukan, tetapi bila tempat yang terkena tidak memungkinkan untuk dilakukan
pembedahan maka dapat diberikan terapi obat kombinasi. Klarithromisin adalah obat anti
mikroba yang paling efektif untuk M. avium intracellulare. Semua obat anti tuberkulosa kecuali
isoniazid dan pirazinamid juga cukup efektif untuk mikobakteria ini.9
 M.haemophilum
Epidemiologi
Mikobakteria ini dengan mudah dapat berkembang pada host yang immunocompromised. Lebih
dari setengahnya adalah individu yang terkena AIDS, tetapi juga bisa mengenai orang yang
sedang mendapatkan kemoterapi. Laporan terbanyak penyakit ini yaitu pada orang yang tinggal
didekat Laut Mediterranean, dan danau Great lakes di Amerika Serikat. Habitat alami dan rute
infeksi masiih belum diketahui sampai sekarang.
Manifestasi klinis
M.haemophilum ini merupakan penyebab terjadinya erupsi subkutan yang granulomatous pada
beberapa penderita HIV. Mikobakteria ini mengakibatkan timbulnya nodul yang multipel
berwarna keunguan, multipel dan dapat tumbuh menjadi abses atau ulkus dan biasanya muncul
sebgai plak yang annuler atau pannikulitis. Lesi muncul di ekstremitas dan kadang mencapai
sendi. Gangguan ini dapat disertai dengan penurunan berat badan, tenosynovitis, efusi sendi,
osteomielitis atau gangguan pada traktus respiratorius.
Histopatologi
Secara histopatologi terlihat bahwa lesi pada kulit berupa inflamasi campuran granulomatous dan
polimorfonuklear sehingga disebut respon inflamasi dimorfik. Didapatkan granuloma supurativa
yang mengandung basil gram negatif tetapi kadang granuloma tidak terbentuk dengan sempurna
dan banyak mengandung jaringan yang nekrotik.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Diagnosa pasti baru dapat ditegakkan dari hasil kultur basil di jaringan sinovial. Differensial
diagnosis adalah infeksi mikobakteria atipikal lainnya.
Pengobatan
Pengobatannya sangat sulit. Organisme ini sensitif terhadap p-aminosalisilik dan rifampisin. Tapi
bila lesi sangat sulit hilang dan dapat relaps setelah pengobatan dihentikan maka meningkatkan
status imun adalah dasar keberhasilan dari pengobatan. Direkomendasikan menggunakan tiga
obat, clarithromisin, rifabutin dan siprofloksasin.
 M. Ulcerans (Ulkus buruli, Ulkus Bairnsdale, Ulkus Searle’s)
Pertama kali ditemukan oleh Cook di Uganda pada tahun 1897. Ditemukan pada 32 negara
diseluruh dunia. Termasuk mikobakteria ketiga terbanyak pada manusia setelah tuberkulosis dan
lepra.
Epidemiologi
Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Australia, kemudian dilaporkan pula di Meksiko, Kongo,
Uganda, dan Malaysia. Cara infeksi belum diketahui, tetapi kemungkinan berasal dari tanah, air,
tanaman atau serangga yang tinggal di dalam atau dekat air. Infeksi dapat terjadi didahului oleh
adanya luka atau cedera akibat gigitan serangga yang memungkinkan transmisi bakteri ini ke
dalam tubuh. M. ulcerans ini dapat ditemukan pada derah basah dan rawa. Penyakit ini
ditemukan paling banyak pada anak-anak dan dewasa muda, 70% penderita adalah anak dibawah
umur 15 tahun.
Patogenesis dan patologi
Setelah melalui fase laten selama dua bulan atau lebih, infeksi akan mulai mengakibatkan
rusaknya jaringan kulit. M. ulcerans ini menghasilkan toksin yang dikenal sebagai mycolactone,
suatu toksin poliketon, dan C fosfolipase. Perubahan awal adalah nekrosis akut dari dermis dan
jaringan subkutan.. Jaringan lemak ini kemudian mengalami kalsifikasi. Nekrosis di daerah dermis
ini akan berjalan secara lateral sehingga semakin mendekati bentukan suatu ulkus. Kuman akan
menghancurkan jaringan tubuh. Pada lapisan dermis yang lebih dalam, timbul vaskulitis pada
pembuluh darah yang ukurannya kecil sampai sedang.
Manifestasi klinik
Toksin yang dihasilkan oleh kuman ini akan menimbulkan nekrosis dan ulserasi pada kulit.
Kelainan kulit pertama-tama tampak sebagai nodul indolen atau abses yang kemudian menjadi
ulkus. Dindingnya menggaung, meluas disertai jaringan nekrotik, dan gambaran klinisnya mirip
ulkus tropikum. Mula-mula lesi yang timbul soliter, keras, tidak terasa adanya nyeri, nodul
subkutaneus, yang kemudian menjadi ulkus. Predileksi dari ulkus ini adalah di ekstremitas. Ulkus
dapat menjadi sangat luas, mengenai otot dan tendon dan menganggu gerak sendi. Meskipun
ulkusnya luas, tidak disertai gejala umum dan pembesaran kelenjar getah bening.
Ulkus dapat mencapai ukuran diameter beberapa sentimeter dalam jangka waktu beberapa
minggu. Dasar dari ulkus dibentuk oleh lemak yang nekrosis, dan discharge berupa cairan mukoid
jernih tanpa disertai rasa nyeri. Ulkus biasanya hanya satu. Lesi yang luas dikelilingi oleh banyak
undurasi. Ulkus dapat tumbuh dengan diameter lebih dari 25 sentimeter. Nekrosis dapat
mencapai otot ataupun tulang. Adanya fibrosis dan kalsifikasi bersamaan dengan usaha
penyembuhan oleh tubuh akan mengakibatkan timbulnya kontraktur dan deformitas berat. Tapi
sayangnya, karena ulkus ini tidak terasa nyeri dan kebanyakan pasien berada di daerah yang jauh,
maka pasien merasa tidak memerlukan pengobatan sampai kerusakan yang ditimbulkan pada
tubuh sangat besar. Keterlambatan menangani penyakit ini akan mengakibatkan amputasi,
kontraktur sendi dan kematian akibat tetanus dan sepsis.
Histopatologi
Dari histologinya akan terlihat adanya reaksi inflamasi campuran disertai dengan timbulnya
hiperkeratosis. Adanya nekrosis pada bagian sentral, terutama di daerah septa dari lemak
subkutan yang dikelilingi oleh jaringan granulasi dengan adanya giant cells, tetapi bukan xerosis
yang menyerupai tuberkel.
Diagnosis dan differensial diagnosis
Diagnosa.
Pada daerah yang epidemik, maka diagnosis penyakit ini harus dijadikan prioritas pertama.
Bagaimanapun juga biopsi dan kultur dari nodul atau ulkus di daerah subkutan harus dilakukan
untuk menegakkan diagnosis walaupun dibutuhkan waktu 6-8 minggu untuk pembiakannya.
Differensial diagnosis
Tergantung dari stage penyakitnya. Nodul yang berada di daerah subkutan harus disingkirkan
dengan granuloma karena benda asing, phykomiksis, panikulitis, vaskulitis noduler, kista sebasea,
atau tumor. Untuk yang telah mencapai stage tumbuhnya ulkus, perlu dipertimbangkan selulitis
nekrostik, blastomikosis, infeksi jamur profunda lainnya, pyoderma gangrenosum serta
pannikulitis supurativa.
Pengobatan
Masa penyembuhannya berkisar antara 6-9 bulan. Terapi pilihan adalah eksisi dari lesi awal, jika
telah timbul ulkus, maka harus dilakukan eksisi luas disertai dengan skin graft. Terapi panas,
oksigen hiperbarik, dan pengobatan menggunakan rifampisin dan trimetoprin-sulfamethoksazole
juga dapat dilakukan. Vaksinasi BCG pada populasi yang rentan akan menunjukkan keberhasilan
yang sama seperti halnya tuberkulosis dan tuberkuloid leprosy. Setelah beberapa bulan
penyembuhan terjadi disertai dengan reaksi limfositik atau granulomatosa.
Lesi harus diobati dengan tindakan pembedahan karena antibiotik kebanyakan tidak memberikan
respon terhadap penyakit ini. Beberapa obat dianggap dapat mencegah rekurensi dan metastase
dari kuman ini termasuk klaritromisin, rifampisin, siprofloksasin, dan sparfloksasin.

5. GOLONGAN IV
M. fortuitum, M. chelonae dan M. abscessus
Epidemiologi
Organisme ini bersidat saprofit dan dapat ditemukan di air, tanah, debu dan hewan. Pada kulit
dapat bersifat komensal. Prevalensi untuk menginfeksi kulit sangatlah kecil. Infeksi biasa timbul
akibat trauma sebelumnya, kontak dengan hewan, atau kontak dengan alat-alat yang
terkontaminasi.
M. fortuitum pernah diisolasikan dari abses karena suntikan. Sejak itu sering dilaporkan di
Amerika sebagai abses subkutan sesudah trauma suntikan. Pernah pula diisolasikan dari ulkus
kronik.
M. fortuitum, M. chelonae dan M. abscessus mempunyai masa pertumbuhan yang sangat
singkat, semua biasanya hidup secara berkelompok dan sifatnya fakultatif. Kontaminasi bukan
hanya pada pada air maupun tanah, tapi dapat juga pada berbagai macam material, termasuk
alat-alat bedah dan tidak selalu menimbulkan gejala klinis.
Manifestasi klinik
Ketiga organisme ini menimbulkan manifestasi klinis yang sama. Infeksi biasanya mengikuti letak
luka. Pada tempat inokulasi kuman akan terlihat adanya infiltrat berwarna merah dan sangat
nyeri, tidak ditemukan gejala lain. Lesi akan tampak sebagai suatu nodul infiltratif yang berwarna
merah gelap, sering disertai dengan adanya absess dan keluarnya cairan bening. Bentuk lesi kulit
ini cukup bervariasi mulai dari selulitis, abses dan nodul sampai terbentuk ulkus yang disertai
dengan discharge serosanguineous atau purulenta. Manifestasi lain dari penyakit ini termasuk
pneumonitis atau osteomyelitis, limfadenitis dan endokarditis post operasi.
Histopatologi
Lesi akan tampak dengan adanya leukosit polimorfonuklear pada mikroabses dan granuloma
dengan sel asing tipe giant cell sehingga disebut dengan respon inflamasi dimorfik. Akan tampak
adanya nekrosis. Basil tahan asam biasanya ditemukan pada mikroabses.
Dignosa dan pengobatan
Sama seperti kuman lainnya, diagnosa baru didapatkan dari pemeriksaan laboratorium. Biasanya
akan terlihat adanya abses dingin yang “tidak biasa” yang disertai dengan adanya reaksi benda
asing, mikosis dalam, atau berbagai bentuk osteomielitis.
Pengobatan
M. fortuitum lebih berespon dengan amikasin, sefoksitin, siprofloksasin, dan imipenem. M.
abscessus sensitif terhadap amikasin, sefoksitin, dan klarithromisin. M. chelonae justru resisten
terhadap sefoksitin dan tobramisin lebih efektif dari amikasin.

DIAGNOSIS DAN PENGOBATAN

Diagnosis

Diagnosis pada tuberculosis kutis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan
ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan bakteriologik.

1. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahui penyebabnya. Pemeriksaan bakteriologik
menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan bakteriologik yang dapat dilakukan antara lain
pemeriksaan BTA, kultur dan PCR. Pemeriksaan BTA dengan menggunakan pewarnaan Ziehl
Neelson mendeteksi kurang lebih 10.000 basil per mL. Pada pemeriksaan PCR (Polymerase Chain
Reaction) dapat juga digunakan untuk mendeteksi M. tuberculosis. Pemeriksaan kultur
menggunakan medium non sekeltif (Lowenstein-Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang
lama karena M. tuberculosis butuh waktu 3 – 4 minggu untuk berkembang biak.

2. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada gambaran histopatologi
tampak radang kronik dan jaringan nekrotik mulai dari lapisan dermis sampai subkutis tempat
ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami nekrosis kaseosa oleh sel – sel epitel dan sel – sel Datia
Langhan’s.

3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)


Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan tes tuberculin yang positif
karena tes ini hanya menunjukkan bahwa penderita pernah terinfeksi tuberculosis tetapi tidak
dapat membedakan apakah infeksi tersebut masih berlangsung aktif atau telah berlalu.

4. LED
Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini lebih penting untuk
pengamatan obat daripada untuk membantu menegakkan diagnosis.

Unsur utama dalam diagnosis klinis beragam untuk tuberkulosis kulit adalah sebagai
berikut :(7)
1. Klinis dan sejarah epidemiologi
2. Bakterioskopi-basil tahan asam pada lesi
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening. Pada
pewarnaan dengan cara Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika posistif kuman
tampak berwarna merah pada dasar yang biru. Kalau positif belum berarti kuman
tersebut M. Tuberculosis, oleh karena ada kuman lain yang tahan asam, misalnya M.
Leprae.(2)
3. Medium yang digunakan adalah Lowenstein Jensen
Metode radiometrik menggunakan CO2 sebagai prinsip bakteri yang memiliki C14
yang mengarah untuk memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk
mengembangkan koloni mikobakterium tuberkulosis. (7) Kultur dilakukan pada media
Lowenstein Jensen, pengeraman pada suhu 37oC. Jika positif koloni tumbuh dalam
waktu 8 minggu. Kalau hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis. (2)
4. Histopatologi
Awalnya perubahan dari peradangan neutrophilic akut dengan nekrosis basil banyak
yang hadir setelah 3-6 minggu yang menyusup menjadi granulomatosa dan casetion
muncul bertepatan dengan hilangnya basil.(5) Pada epidermis dijumpai
hiperkeratosis, hipergranulosis, akantosis dan papilomatosis di atas sebukan radang
akut. Pada dermis bagian atas dijumpai mikroabses. Granuloma epiteloid dengan
kaseasi dan basil tahan asam pada dermis bagian dalam.(9)
5. Tes tuberkulin – PPD (Purufied Protein Derivatives) atau Mantoux
Mempunyai arti pada usia 5 tahun ke bawah dan jika positif hanya berarti pernah
atau sedang menderita penyakit tuberkulosis Purufied Protein Derivatives
(tuberkulin human), juga dapat dites dengan tuberkulin berasal dari mikobakteria
atipikal. Hasil reaksi tuberkulin dipengaruhi oleh etiologi. Jika penyebabnya M.
Tuberculosis, maka reaksi tuberkulin human kuat, sedangkan bila penyebabnya
mikobakteria atipikal, maka reaksi tersebut lemah. Jadi antigen yang homolog akan
memberikan reaksi yang lebih kuat daripada antigen yang heterolog. Meskipun
demikian karena dapat terjadi reaksi silang, maka nilai tes tersebut kurang untuk
menentukan etiologi.(2)
6. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Di biopsi dengan asam pada kulit yang dicurigai ada mikobakterium tuberkulosis.
Hasil tes akan menggambarkan posistif (+) dan negatif (-). Jika hasil positif maka
dilanjutkan dengan penanganan dan pemeriksaan selanjutnya dengan standar obat
antibiotik yang telah ditetapkan sesuai dengan prosedur.(7)
7. Imunohistokimia, terutama immunostaining dengan antigen antibodi, lebih efektif. (7)

Harahap, Marwali. Tuberkulosis Kutis. Ilmu Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta :


Hipokrates: 2000. P: 273-5.

Pengobatan
Terapi dengan obat antituberkulosis
Prinsip Pengobatan dan tuberkulosis kutis sama dengan pengobatan tuberkulosis paru. Untuk
mencapai hasil yang baik hendakknya diperhatikan syarat sebagai berikut :
a. Pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak terjadi
resistensi.
b. Pengobatan harus dalam kombinasi, dan dalam kombinasi, dan dalam
kombinasi tersebut disertakan INH karena obat tersebut bersifat bakterisidal.

c.       Keadaan umum diperbaiki.

Obat antituberkulosis ada 2 macam, bersifat bakterisidal dan bakteriostatik. Obat yang
bakterisidal adalah INH, rifampisin, pirazinamid, dan streptomisin, sedangkan lainnya bersifat
bakteriostatik. Rifampisin dan isoniazid disebut bersifat bakterisidal lengkap karena obat tersebut
dapat memasuki seluruh populasi kuman, sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat
memasuki seluruh populasi kuman, sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat bekerja
dalam lingkungan tertentu, pirazinamid bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin
hanya bekerja dalam lingkungan basa.

Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan yaitu tahapan awal (intensif) dan tahapan
lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah untuk membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-
banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan
adalah melalui kegiatan sterilisasai membunuh kuman yang tumbuh lambat.
Selama fase intensif biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai
perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar
pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek
sterilisasi obat untuk membersikan sisa-sisa kuman dan kekambuhan. Pada pasien dengan
sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal
dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif karena
jumlah bakteri dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan awal dengan 3 obat dan fase lanjutan
dengan 2 obat untuk fase lanjutan biasanya sudah memadai. Pada pasien yang sudah diobati ada
resiko terjadinya resistensi.
Panduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan.
Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan haruslah yang masih
selektif. Pengobatan standar dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan pada
wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh
diberikan. 
Pada TBC ekstra paru dapat diberikan pengobatan TBC kategori 1 yaitu (2 HRZE/4 HR). Fase awal
diberikan selama 2 bulan  yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB
dan etambutol 15mg/kgBB. Diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk
tuberkulosis paru dan ektra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan tuberkulosis
paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.
Beberapa regimen lain dapat diberikan misalnya kombinasi 3 obat INH, Rifampisin dan
pirazinamid. Setelah 2 bulan pirazinamid dihentikan dan obat lain diteruskan, regimen ini sangat
poten. Karena ketiga obat tersebut bersifat hepatotoksik, maka sebelum pengobatan dimulai
diperiksa dulu fungsi hepar (SGOT,SGPT, dan fosfatase alkali). Dua minggu sesudah terapi
diulangi, biasanya meninggi. Bila tetap atau menurun pengobatan dilanjutkan. Akan tetapi jika
meningkat, pirazinamid dihentikan dan rifampisin diberikan selama 2 kali dengan dosis 600mg
setiap kali pemberian. Regimen lain adalah kombinasi antara INH dan rifampisin dan etambutol
yang diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin.
Untuk mikobakterium atipikal seperti M.Scofuloceum, selain obat-obatan yang telah disebutkan
dapat diberikan inosiklin 2x100mg, tetrasiklin atau eritromisin 4 atau 3 kali 500mg. Doksisiklin
2x100mg, kotrimoksasol dan rifampisin digabung dengan INH serta amikasin.
Pengobatan pada anak dapat dibedakan berdasarkan kelompok klinis. Pada anak dari segala usia
yang tidak menunjukkan gejala penyakit dan diketahui telah mempunyai infeksi tuberkulosis
primer, tujuan pengobatan adalah menyingkirkan penyebaran lesi dan membunuh kuman pada
fokus primer serta kelenjar getah bening yang terkait dengan kompleks primer.
Pengobatan terdiri dari Isoniasid 5mg/kgBB 1x sehari selama minimal 6 bulan. Mungkin dapat
juga ditemukan anak tanpa tanda penyakit akan tetapi reaksi tuberkulin positif kuat kebanyakan
anak tersebut terkena infeksi primer dibawah usia 5 tahun, kebanyakan para ahli berpendapat
untuk mengobati dengan INH saja, sehingga resiko penularan melalui darah lebih kecil.
Anak dengan penyakit paru atau tuberkulosis ekstra pulmonal seperti tuberkulosis tulang atau
sendi diobati dengan memberikan regimen selama 6 bulan dengan INH, Rifampisin dan
Pirazinamid selama 2 bulan pertama. Berikan obat tersebut dalam doisi tunggal setiap hari
sebelum makan.

Terapi Pembedahan
Pengobatan bedah pada tuberculosis kutis adalah terbatas. Lesi hyperkeratosis dan verrukosa
seperti lupus vulgaris dan tuberculosis verukosa kutis diterapi dengan electrosurgery,
cryosurgery, dan kuretase dengan electrodesiccation sebagai terapi tambahan dan terapi
farmakologi sebagai terapi primer.
Pada kasus Scrofuloderma dengan melakukan eksisi kelenjar getah bening akan tetapi perlu
dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelumnnya untuk melihat adanya keganasan. Tindakan eksisi
pada keganasan dapat memperburuk penyakit. Terapi pembedahan pada Scrofuloderma
diindikasikan untuk kasus-kasus :
1.      Terapi dengan antituberkulosa gagal.
2.      Penderita scrofuloderma disertai penurunan kekebalan tubuh.
3.      Penderita scrofuloderma berulang.
4.      Penderita scrofuloderma disertai dengan penyakit lain yang berat.
5.      Penderita scrofuloderma yang mengenai anak-anak

Terapi Non Medika Mentosa


Edukasi yang perlu disampaikan kepada pasien :
1. Bahwa pengobatan penyakit ini dalam jangka waktu lama, dan kemungkinan
efek samping dari pengobatan.
2. Pasien dianjurkan untuk minum obat secara teratur dan kontrol teratur setiap
bulan jika obat habis selama jangka waktu pengobatan
3.   Menjaga hygene peroral.

Penatalaksanaan Tuberculosis dengan kondisi penyerta lain


1. Penyakit Hepar
Tidak terdapat  perubahan dosis terapi pada pasien dengan penyakit hepar, kecuali penyakit
hepar tersebut disebabkan oleh obat-obatan tuberculosis yang diberikan. Beberapa penulis
menyarankan untuk menghindari pemakaian pirazinamid pada pasien dengan penyakir hepar,
karena pirazinamid menjadi penyebab tertinggi terhadap kejadian hepatitis yang distimulasi obat.
Beberapa penulis juga menyarankan untuk dilakukan pengetesan fungsi hepar sebagai monitor
pada penatalaksanaannya.
2. Kehamilan
Kehamilan sendiri bukan menjadi factor yang memperberat tuberculosis itu sendiri. Rifampisin
akan membuat fungsi kontrasepsi hormonal lebih rendah, jadi perlu diberitahukan pada
seseorang yang menjalani pengaturan kehamilan selama terapi obat-obatan tuberculosis.
Tuberculosis dengan kehamilan yang tidak menjalani terapi akan meningkatkan kejadian abortus
dan kejadian fetal abnormality.  US guidelines merekomendasikan batasan pemakaian
pirazinamid pada terapi tuberculosis dengan kehamilan, sedangkan UK guidelines dan WHO tidak
ada perekomendasian terhadap pemakaian pirazinamid. pemakaian pirazinamid pernah
dilaporkan mengenai kejadian toksisitasnya. Pemakaian rifampicin dengan dosis tinggi juga dapat
menyebabkan kejadian defek pada tabes neural pada hewan. Obat-obatan tersebut juga dapat
memicu kejadian hepatitis pada pasien dengan kehamilan dan pada masa nifas. Hal yang dapat
diberitahukan pada pasien adalah sebaiknya menunda kehamilan hingga terapi tuberculosis telah
komplit dilakukan.
3. Penyakit Ginjal
            Pasien dengan gangguan ginjal 10-30%  akan meningkatkan resiko untuk mendapatkan
tuberculosis. Pasien dengan penyakit ginjal yang mendapat terapi imunosupresif  atau yang akan
dilakukan transplantasi harus dipertimbangkan untuk mendapat terapi untuk tuberculosis laten.
Aminoglikosida (STM, kapreomisin dan amikasin) harus dihindari pada pasien dengan gangguan
ginjal ringan sampai berat karena meningkatkan resiko kerusakan pada ginjal. Jika penggunaan
aminoglikosida tidak bisa dihindari (misalnya pada pengobatan tb yang resisten obat) maka kadar
dalam serum harus diawasi secara ketat dan pasien diminta untuk melaporkan setiap efek
samping yang terjadi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir dan ginjal yang tersisa sudah tidak
memiliki fungsi lagi, aminoglikosida bisa digunakan tapi dengan syarat kadar obat dapat dengan
mudah dimonitor (seringkali hanya kadar amikasin yang dapat diukur).
Jika gangguan ginjal ringan, tidak ada perubahan pada dosis obat-obatan lain yang digunakan
rutin pada terapi tb. Pada insufisiensi ginjal yang berat (GFR <30), penggunaan terapi EMb
diberikan dengan dosis setengahnya (atau dihindari sekaligus). Dosis PZA 20 mg/kg/hari
(rekomendasi di Inggris) atau ¾ dosis normal (rekomendasi USA), tapi evidence yang ada tidak
banyak untuk mendukung data ini.
Apabila 2HRZ/4HR digunakan pada pasien dengan dialysis, obat harus diberikan tiap hari selama
awal high-intensity phase. Pada fase lanjutan, obat diberikan pada akhir setiap sesi hemodialisis
dan obat tidak diberikan pada hari non dialysis.
4. HIV
            Pada pasien dengan HIV , terapi HIV akan ditunda hingga terapi untuk Tuberculosis
terselesaikan. Panduan penatalaksanaan berdasarkan British Association adalah :
1. Jika CD +4 lebih dari 200 :  terapi HIV ditunda hingga terapi terhadap Tb
terselesaikan (6 Bulan)
2. Jika CD +4 100-200 : terapi HIV ditunda hingga 2 bulan terapi terhadap
tuberculosis terselesaikan.
3. CD +4 < 100 : pada keadaan ini menjadi tidak begitu jelas dan
penatalaksanaan masih menjadi pertanyaan besar.
Jika penatalaksanaan HIV  harus segera dilakukan dan pada saat tersebut pasien masih menjalani
terapi terhadap Tuberculosis, secara umum tidak terdapat terdapat interaksi secara signifikan
antara obat untuk terapi HIV dan tuberculosis. Nevirapin sebaiknya tidak digunakan bersama
rifampisin. Efavirenz mungkin dapat digunakan, tetapi dosis harus berdasarkan berat badan
pasien (600 mg perhari jika berat badan kurang dari 50 kg ; jika berat badan > 50 kg 800 mg/hari).
Level efavirens harus di lakukan pengecekan awal akan dilakukannya terapi. Protease inhibitor
seharusnya dicegah sebisa mungkin, pasien dengan pengobatan rifampisin dan protease inhibitor
dapat meningkatkan resiko kegagalan terapi ataupun kekambuhan. WHO menghimbau untuk
tidak menggunakan Thioacetazone pada pasien HIV, karena 23% mampu meningkatkan resiko
kejadian dermatitis eksfoliata.
5. Epilepsy
Penggunaan Isoniazid dihubungkan dengan peningkatan resiko terhadap kejadian kejang.
Piridoksin 10 mg/hari harus diberikan terhadap kejadian semua epilepsy  yang sedang
mendapatkan terapi isoniazid.  Tidak terdapat bukti yang nyata bahwa isoniazid mampu
mengakibatkan kejadian kejang pada pasien.
Terapi terhadap tuberculosis mampu berinteraksi dengan obat-obatan anti epilepsy dan mampu
meningkatkan kadar obat dalam serum. Terdapat suatu interaksi yang serius antara rifampisin
dan carbamazepin, rifampisin dan phenitoin, dan rifampisin dengan asam valproat.

Prognosis

Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan,
Prognosisnya baik.

Sumber :
1. Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 64-72

2. Kerdel F.A., Jimenez-Acosta A., Dermatology: Just the fact. USA: McGraw-Hill Inc.

2003. Pages: 85-86

3. Siregar R.S., Atlas berwarna saripati penyakit kulit, edisi kedua. Jakarta: EGC. 2005.

Pages: 173-179

4. Arnold, Harry,L., Odom, Richard,B., James, William,D. Andrew’s DiseaseOf The Skin.

Clinical Dermatology 8th ed. Philadelphia. W.B.Saunders Co. 1990. Pages: 375-384
5. Fitzpatrick, Thomas,B., Johnson,Richard, Alen., Wollf, Klaus., Polano, Machiel,K.,

Suurmanol, Dick. Color Atlas Synopsis Of Clinical Dermatology. Common And Serious

Disease 3rd ed. USA. McGraw Hill Co. 1997. Pages: 664-668

6. AN. Mycobacterial Skin Infections Tuberculosis of The Skin.

http://www.drmhijazy.com/english/chapters/chapter07.htm#54

7. Olawunmi A. Fatusi, Olaniyi Onayemi, Kehinde E. Adebiyi, Victor A. Adetiloye, Foluso

J. Owotade, Olumayowa A. Oninla. Tuberkulosis Cutis Orificialis (TBCO)/Lupus

Vulgaris (LV): Simultaneous Occurrence And Review Of The Literature. The Internet

Journal of Infectious Diseases. 2005. Volume 4 Number 2

8. Lebwohl M.G., Heymann W.R., Berth-Jones J., Coulson I., Treatment of Skin Disease:

Comprehensive and Theraupetic Strategis. USA: Mosby Inc. 2002. Pages: 640-641

9. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.,

Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Jakarta. 2000. Pages: 234-236

Klasifikasi Tuberkulosis Kutis? Jelaskan masing –masing jenisnya dan ciri khasnya !
Patogenesis Infeksi???
Cara penularan??? Dan penyebarannya dan penjelasannya?
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis?
Pemeriksaan penunjang lain kemungkinan ada infeksi ke organ lain?

Anda mungkin juga menyukai