Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) +CVP
DI RUANG 5CVCU RSUD Dr SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH:
Galuh Nurul Fajriah
NIM 201904027

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BANYUWANGI
TAHUN2019-2020
LEMBAR PENGESAHAN

LaporanPendahuluandanAsuhan Keperawatan pada Pasien dengan Acute


Decompensated Heart Failure (ADHF) +CVP telah disetujui dan disahkan pada:
Hari, Tanggal :
Tempat: Ruang 5 CVCU RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Malang, 2020

Mahasiswa

Galuh Nurul Fajriah


NIM 201904027

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


STIKES Banyuwangi Ruang 5CVCU
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

( ) ( )

Kepala Ruangan

( )
KONSEP TEORI

1. DEFINISI
a. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut yang
didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala atau
tanda – tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa
disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau
ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru
tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal
jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya. ADHF muncul
bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Putra,
2012).
b. ADHF adalah didefinisikan sebagai perburukan keadaan dari simtom HF yang
biasanya disebabkan oleh edema pulmonal kardiogenik dengan akumulasi cairan
yang cepat pada paru (Pinto, 2012).
c. Gagal jantung merupakan gejala – gejala dimana pasien memenuhi ciri berikut:
gejala – gejala gagal jantung, nafas pendek yang khas selama istirahat atau saat
melakukan aktifitas, dan atau kelelahan; tanda – tanda retensi cairan seperti kongestif
pulmonal atau pembengkakan tungkai (Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E,
2006)

2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung.Penyebab yang paling
umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau hilangnya otot
jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau
berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).Penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari
pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%
(Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al, 208)
Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara
struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal dengan ketiadaan penyakit jantung
koroner, hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang
berperan terjadinya abormalitas miokard (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G,
McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al, 2008).
Menurut Joseph (2009) penyebab umum ADHF biasaya berasal dari ventrikel
kiri, disfungsi diastolik, dengan atau tanpa Coronary Artery Disease (CAD), dan
abnormalitas valvular. Meskipun sebagian pasien ADHF adalah pasien dengan riwayat
Heart Failure (HF) dan jatuh pada kondisi yang buruk, 20% pasien lainnya yang
dinyatakan ADHF tidak memiliki diagnosa HF sebelumnya.
Menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure tahun 2008, penyebab umum gagal jantung karena penyakit otot jantung
adalah sebagai berikut :
Penyakit Jantung Koroner Banyak Manifestasi
Hipertensi Sering dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel kanan
dan fraks injeksi
Kardiomiopati Faktor genetic dan non – genetic (termasuk yang
didapat seperti myocarditis)
Hypertrophic (HCM), dilated (DCM), restrictive
(RCM), arrhythmogenic right ventricular (ARVC),
yang tidak terklasifikasikan

Obat – obatan β - Blocker, calcium antagonists, antiarrhythmics,


cytotoxic agent

Toksin Alkohol, cocaine, trace elements (mercury, cobalt,


arsenik)
Endokrin Diabetes mellitus, hypo/hyperthyroidism, Cushing
syndrome, adrenal insufficiency,excessive growth
hormone, phaeochromocytoma
Nutrisional Defisiensi thiamine, selenium, carnitine. Obesitas,
kaheksia
Infiltrative Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis,
penyakit jaringan ikat
Lainnya Penyakit Chagas, infeksi HIV, peripartum
cardiomyopathy, gagal ginjal tahap akhir

Faktor risiko :
Faktor presipitasi kardiovaskular
a. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati)
b. Sindroma koroner akut
 Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia yang bertambah luas dan
disfungsi sistemik
 Komplikasi kronik IMA
 Infark ventrikel kanan
c. Krisis Hipertensi
d. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial, takikardia
supraventrikuler, dll).
e. Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup
yang sudah ada
f. Stenosis katup aorta berat
g. Tamponade jantung
h. Diseksi aorta
i. Kardiomiopati pasca melahirkan
Faktor presipitasi non kardiovaskuler
a. Volume overload
b. Infeksi terutama pneumonia atau septikemia
c. Severe brain insult
d. Pasca operasi besar
e. Penurunan fungsi ginjal
f. Asma
g. Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol
h.Feokromositoma
(Putra, 2012)
3. PATOFISIOLOGI
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung
kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi pada
mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya.Etiologi ADHF dapat
bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan
faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang
diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau
kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi
gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung (Price, 2005).

Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme


neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini
melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air. Pada
individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan
menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya telah
mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar tetap dapat
mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai ambang batas
kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis
tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF (Price, 2005).
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi
miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan
penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan
kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri)
akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan
kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal
ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru – paru. B endungan ini akan
menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema
paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru – paru
(Price, 2005).
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan
melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA untuk
mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh tidak mampu
lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan memicu penurunan
aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, akan
memicu retensi garam dan air oleh sistem renin angiotensin aldosteron. Retensi ini akan
menjadi lebih progresif karena tidak diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan
akibat proses dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung
pada oedema perifer (Price, 2005).
Sedangkan menurut Mc.Bride BF, White M, dalam Acute Decompensated Heart
Failure: Pathophysiology tahun 2010 patofisiologi ADHF yakni Ketidakmampuan dan
kegagalan jantung memompa darah secara langsung menciptakan suatu keadaan
hipovolemik relatif yang lebih dikenal dengan arterial underfilling. Selain itu respon
terhadap faktor – faktor neurohormonal (seperti sistem saraf simpatis, renin –
angiotensin – aldosterone system, arginine vasopressin dan endotelin – 1) menjadi
teraktivasi untuk mempertahankan euvolemia yang menyebabkan retensi cairan,
vasokonstriksi, atau keduanya. Pada pasien tanpa gagal jantung, respon ini untuk
mengakhiri volume cairan yang telah dipertahakan (Mc.Bride BF, White M, 2010)

Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi aktivasi sitokin proinflamasi dan


mediator – mediator apoptosis miosit. Elevasi neurohormonal dan imunomodulator yang
diamati pada pasien dengan ADHF yang dikaitkan dengan perburukan gejala gagal
jantung dan perburukan prognosis pasien .Pada pasien dengan gagal jantung, aktivasi
sistem saraf simpatik mencegah terjadinya arterial underfilling yang meningkatkan
cardiac output sampai toleransi berkembang dengan dua mekanisme. Pertama,
myocardial 1 – receptor terpisah dari second messenger protein, yang mengurangi
jumlah cyclic adenosine 5¸-monophosphate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah
interaksi reseptor ligan tertentu. Kedua, mekanisme dephosphorylation menginternalisasi
1-reseptor dalam vesikula sitoplasma di miosit tersebut.
Bahkan dengan latar belakang tingkat toleransi., peningkatan marker akut pada
katekolamin diamati di antara pasien dengan ADHF masih mengangkat cAMP miokard,
meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler dan tingkat metabolisme anaerobik. Hal
ini dapat meningkatkan risiko tachyarrhythmias ventrikel dan kematian sel
terprogram.Selain itu, overdrive simbol-menyedihkan menyebabkan ditingkatkan 1-
reseptor rangsangan tidak mengakibatkan toleransi dan meningkatkan derajat
vasokonstriksi sistemik, meningkatkan stres dinding miokard. Selanjutnya, peningkatan
vasokonstriksi sistemik mengurangi tingkat filtrasi glomerulus, sehingga memberikan
kontribusi bagi aktivasi sistem renin angiotensin aldosterone (Mc.Bride BF, White M,
2010)
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering
tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan
pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang
diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal
termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit
untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung (Lindenfeld J, 2010).
Menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic
heart failure tahun 2008, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara lain
tertera dalam tabel berikut:

Gambaran Klinis yang Gejala Tanda


Dominan
Edema perifer/ kongesti Sesak napas, kelelahan, Edema Perifer,
Anoreksia peningkatan vena
jugularis, edema
pulmonal, hepatomegaly,
asites, overload cairan
(kongesti), kaheksia
Edema pulmonal Sesak napas yang berat Crackles atau rales pada
saat istirahat paru-paru bagian atas,
efusi, Takikardia,
takipnea
Syok kardiogenik (low Konfusi, kelemahan, Perfusi perifer yang
output syndrome) dingin pada perifer buruk, Systolic Blood
Pressure (SBP) <
90mmHg, anuria atau
oliguria
Tekanan darah tinggi Sesak napas Biasanya terjadi
(gagal jantung peningkatan tekanan
hipertensif) darah, hipertrofi ventrikel
kiri
Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel
kanan, peningkatan JVP,
edema perifer,
hepatomegaly, kongesti
usus.

Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated


Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara
lain tertera dalam tabel berikut :
Volume Overload
a. Dspneu saat melakukan kegiatan
b. Orthopnea
c. Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
d. Ronchi
e. Cepat kenyang
f. Mual dan muntah
g. Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegaly
h. Distensi vena jugular
i. Reflex hepatojugular
j. Asites
k. Edema perifer

Hipoperfusi
a. Kelelahan
b. Perubahan status mental
c. Penyempitan tekanan nadi
d. Hipotensi
e. Ekstremitas dingin
f. Perburukan fungsi ginjal

Decompensasi cordis akut dapat dimanifestasikan oleh penurunan curah jantung


dan/atau pembendungan darah di vena sebelum jantung kiri atau kanan, meskipun curah
jantung mungkin normal atau kadang-kadang di atas normal.Tanda dominan gagal
jantung adalah meningkatnya volume intravaskuler.Kongesti jaringan terjadi akibat
tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah jantung dan kegagalan
jantung.Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebakan cairan mengalir dari
kapiler ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru yang dimanifestasikan dengan batuk dan
nafas pendek.Meningkatnya tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer
umum dan penambahan berat badan.Turunnya curah jantung pada gagal jantung
dimanifestasikan secara luas karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ
(perfusi rendah) untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan.Beberapa efek yang
biasanya timbul akibat perfusi rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran
terhadap aktivitas dan panas, ektremitas dingin, dan haluaran urin berkurang (oliguri).

Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal, yang pada
gilirannya akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta
peningkatan volume intravaskuler.

Dampak dari cardiac output dan kongesti yang terjadi pada sistem vena atau sistem
pulmonal antara lain:
 Lelah
 Angina
 Cemas
 penurunan aktifitas GI
 Kulit dingin dan pucat

Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antara lain :
 Dyspnea
 Batuk
 Orthopnea
 Rales paru
 Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru

Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :


 Edema perifer
 Distensi vena leher
 Hati membesar (hepatomegali)
 Peningkatan central venous pressure (CPV)

Respon terhadap kegagalan jantung :


1. Peningkatan tonus simpatis >> Peningkatan sistem saraf simpatis yang
mempengaruhi arteri dan vena jantung. Akibatnya meningkatkan aliran balik vena ke
jantung dan peningkatan kontraksi. Tonus simpatis membantu mempertahankan
tekanan darah normal
2. Retensi air dan natrium >> Bila ginjal mendeteksi adanya penurunan volume darah
yang ada untuk filtrasi, ginjal merespon dengan menahan natrium dan air dengan cara
demikian mencoba untuk meningkatkan volume darah central dan aliran balik vena.

5. KLASIFIKASI
Klasifikasi ADHF dapat dilihat melalui tabel Forrester Hemodynamic Subsets

Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology (ACC) dan


American Heart Association (AHA)2008 :
1) Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung struktural atau
tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini termasuk mereka yang
mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik, penyakit aterosklerosis atau obesitas.
2) Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling, fraksi
ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup jantung
asimptomatik.
3) Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung saat ini
atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung struktural, dyspnea, fatigue, dan
penurunan toleransi aktivitas.
4) Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat muncul saat
istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan rawat inap.

Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi 4 kelas
berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status fungsional yaitu :
1) Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik.
2) Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien merasa nyaman
saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau angina dengan
aktivitas biasa.
3) Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien merasa nyaman
saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau angina dengan
aktivitas biasa ringan.
4) Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan aktivitas fisik
apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006):
1) Laboratorium :
 Hematologi : Hb, Ht, Leukosit.
 Elektrolit : K, Na, Cl, Mg.
 Enzim Jantung (CK-MB , Troponin, LDH).
 Gangguan fungsi ginjal dan hati : B UN, Creatinin, Urine Lengkap, SGOT,
SGPT.
 Gula darah.
 Kolesterol, trigliserida.
 Analisa Gas Darah
2) Elektrokardiografi, untuk melihat adanya :
 Penyakit jantung koroner : iskemik, infark.
 Pembesaran jantung (LVH : Left Ventricular Hypertrophy).
 Aritmia.
 Perikarditis.
3) Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya :
 Edema alveolar.
 Edema interstitials.
 Efusi pleura.
 Pelebaran vena pulmonalis.
 Pembesaran jantung.
 Echocardiogram menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung
 Radionuklir.
 Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.
 Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
4) Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal Multilumen) bertujuan
untuk :
 Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru.
 Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung
 Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung.
 Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent.
 Mengetahui beratnya lesi katup jantung.
 Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner.
 Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel, fungsi
ventrikel kiri).
 Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri coroner)
5) Echocardiogram - Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung
(Putra, 2012)

7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Tirah Baring
Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti tahap akut
dan sulit disembuhkan.
2) Pemberian diuretik
Pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui
ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon pembatasan aktivitas,
digitalis dan diet rendah natrium
3) Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran balik
vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnea berat.
4) Terapi vasodilator
Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal
jantung.Obat ini berfungsi untuk memperbaiki pengosongan ventrikel dan
peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat
diturunkan dan dapat dicapai penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat.
5) Terapi digitalis
Digitalis adalah obat utama yang diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas
(inotropik) jantung dan memperlambat frekuensi ventrikel serta peningkatam efisiensi
jantung. Ada beberapa efek yang dihasilkan seperti : peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan vena dan volume darah, dan peningkatan diuresis yang
mengeluarkan cairan dan mengurangi edema.
6) Inotropik positif
 Dopamin >> Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-adrenergik
beta-adrenergik dan reseptor dopamine ini mengakibatkan keluarnya katekolamin
dari sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki kontraktilitas curah jantung dan isi
sekuncup. Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-
20 mg/kg BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja
jantung.
 Dobutamin >> Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine
memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan
tachicardi.
7) Dukungan diet (pembatasan natrium)
Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau mengurangi edema,
seperti pada hipertensi atau gagal jantung.Dalam menentukan ukuran sumber
natrium harus spesifik dan jumlahnya perlu diukur dalam milligram.

Tindakan-tindakan mekanis
 Dukungan mekanis ventrikel kiri (mulai 1967) dengan komterpulasi balon intra
aortic / pompa PBIA. Berfungsi untuk meningkatkan aliran koroner, memperbaiki
isi sekuncup dan mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri.
 Tahun 1970, dengan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Alat ini
menggantikan fungsi jantung paru. Mengakibatkan aliran darah dan pertukaran
gas. Oksigenasi membrane extrakorporeal dapat digunakan untuk memberi waktu
sampai tindakan pasti seperti bedah by pass arteri koroner, perbaikan septum atau
transplantasi jantung dapat dilakukan (Nasution, 2006).

Menurut Heart Failure Society of America tahun 2010, terapi untuk pasien ADHF dapat
berangkat dari goal treatment di bawah ini :

Discharge Planning pada pasien ADHF dapat dilakukan jika pasien dapat
memenuhi kriteria di bawah ini :
 Faktor eksaserbasi dapat ditangani.
 Pemberian obat oral stabil dalam 24 jam
 Pasien dan keluarga sudah di KIE
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri terdokumentasi.
 Adanya konseling smoking cessation.
 Kontrol ulang selama 7-10 hari setelah KRS.
 Sudah menerima semua terapi.
 Dokumentasi discharge planning sudah dibuat.
Terapi farmakologis meliputi :
a. Digitalis, untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Misal : digoxin.
b. Diuretik, untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal serta mengurangi
edema paru. Misal : furosemide ( lasix ).
c. Vasodilator, untuk mengurangi impedansi ( tekanan ) terhadap penyemburan darah
oleh ventrikel. Misal : natrium nitropusida, nitrogliserin.
d. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor ( ACE inhibitor ) adalah agen yang
menghambat pembentukan angiotensin II sehingga menurunkan tekanan darah. Obat
ini juga menurunkan beban awal ( preload ) dan beban akhir ( afterload ). Misal :
captopril, quinapril, ramipril, enalapril, fosinopril,dll.
e. Inotropik ( Dopamin dan Dobutamin )
 Dopamin digunakan untuk meningkatkan tekanan darah , curah jantung dan
produksi urine pada syok kardiogenik.
 Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor di jantung sehingga meningkatkan
kontraktilitas dan juga menyebabkan vasodilatasi sehingga mengakibatkan
penurunan tekanan darah. Dopamin dan dobutamin sering digunakan bersamaan.
ASUHAN KEPERAWATAN

1) PENGKAJIAN
Asuhan keperawatan menggunakan SDKI penyusun Tim Pokja SDKI DPP PPNI
tahun 2016 , SLKI penyusun Tim Pokja SLKI DPP PPNI tahun 2018 ,SIKI Tim
Pokja SIKI DPP PPNI tahun 2018.
a. Pengkajian Primer
1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis, pekerjaan, alamat, tempat tinggal
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian ini yang perlu dikaji adanya asal mula perkembangan suatu
penyakit, keluhan utama yaitu yang menjadi keluhan utama saat ini di derita oleh
pasien
3. Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien
4. Riwayat penyakit keluarga
Adalah anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti yang dialami pasien,
adakah anggota keluarga yang mengalami penyakit kronis lainnya
5. Riwayat psikososial dan spiritual
Bgaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga lain dan lingkungan sekitar
sebelum maupun saat sakit, apakah pasien mengalami kecemasan, rasa sakit,
karena penyakit yang dideritanya dan bagaimana pasien menggunakan koping
mekanisme untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
6.Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola eliminasi akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari,
BAK sedikit atau jarang.
b. Pola nutrisi diawali dengan mual, muntah, anoreksia, menyebabkan penurunan
berat badan dan hemoglobin pasien.
c. Pola tidur dan istirahat akan terganggu adanya takikardia karena riwayat
infeksi saluran nafas yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
d. Aktivitas akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya nyeri
akibat gangguan fungsi sendi dan kelemahan otot yakni dibantu orang lain
e. Persepsi kesehatan pasien tidak mengetahui penyebab penyakitnya, higienitas
pasien sehari-hari kurang baik.
f. Kognitif atau perceptual pasien masih dapat menerima informasi namun kurang
berkonsentrasi karena tekanan darah menurun, denyut nadi meningka, dada
berdebar-debar.
g. Persepsi diri atau konsep diri pasien mengalami gangguan karena kebutuhan
fisiologisnya terganggu sehingga aktualisasi diri tidak tercapai pada fase sakit.
h. Peran hubungan pasien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan peran
pasien pada kehidupan sehari-hari mengalami gangguan.
i. Manajemen koping atau stress pasien mengalami kecemasan yang berangsur-
angsur dapat menjadi pencetus stress. Pasien memiliki koping yang adekuat.
j. Keyakinan atau nilai pasien memiliki kepercayan, pasien masih tahap belajar
beribadah.
1) Airway
Kepatenanjalannafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan nafas, adanya benda
asing, adanya suara nafas tambahan.
2) Breathing
Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas, retraksi dada, adanya
sesak nafas, palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas, kaji adanya
suara nafas tambahan.
3) Circulation
Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan.pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
b. Pengkajian Sekunder
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia, nyeri
dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital berubah
pada aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung, bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septik, bengkak pada
kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan Nadi ;
mungkin sempit, Irama Jantung ; Disritmia, Frekuensi jantung ; Takikardia
, Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi secara inferior
ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat, terjadi, S1
dan S2 mungkin melemah, Murmur sistolik dan diastolic, Warna ;
kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung kuku ; pucat atau sianotik
dengan pengisian, kapiler lambat, Hepar ; pembesaran/dapat teraba, Bunyi
napas ; krekels, ronkhi, Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting ,
khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan
dan mudah tersinggung.
4. Eliminasi
a. Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
5. Nutrisi
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan
signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa
sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan
diuretic.
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites)
serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6. Higiene
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah
tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan
sakit pada otot.
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku
melindungi diri.
9. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis,
penggunaan bantuan pernapasan.
b. Tanda :
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10.Interaksi sosial
a. Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.
2) DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI tahun 2016)
a. Pola nafas berhubungan dengan hambatan upaya napas ditandai dengan
penggunaan otot nafas, fase ekspansi memanjang, pola nafas abnormal.
b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan afterload ditandai
dengan tekanan darah meningkat atau menurun, nadi perifer teraba lemah, CRT
>3 detik, oliguria, warna kulit pucat atau sianosis.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidkseimbangan ventilasi
perfusi ditandai dengan PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, Takikardi, pH
arteri meningkat/menurun, bunyi nafas tambahan.
d. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi ditandai
dengan edema nasarka atau edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu
singkat, jugularis venous preasure dan central venous preasure meningkat, reflek
hepatojugular positif.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring ditandai dengan frekuensi
jantung meningkat, dipsnea, tekanan darah berubah.
3) DIAGNOSA & INTERVENSI
1. Pola nafas berhubungan dengan hambatan upaya napas ditandai dengan
penggunaan otot nafas, fase ekspansi memanjang, pola nafas abnormal.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x50 menit ekspetasi
menurun/meningkat
Kriteria Hasil :
 Dipsnea menurun
 Penggunana oto bantu pernafasan menurun
 Ortopnea menurun
 Pernafasan cuping hidung menurun
Intervensi
Observasi :
a. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b. Monitor bunyi nafas tambahan (mis gurgling, mengi, wheezing, ronkhi)
c. Monitor sputum (jumlah warna dan aroma)

Terapeutik :
a. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengan head-tiil dan chin-lift
b. Posisikan semi fowler atau fowler
c. Berikan minum hangat
d. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
e. Berikan oksigen

Edukasi :
a. Anjurkan asupan airan 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
b. Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekpektoran atau mukolitik, jika perlu

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring ditandai dengan frekuensi


jantung meningkat, dipsnea, tekanan darah berubah.
Tujuan : setelah dlakukan tindakan keperawatan selam 2x24 jam ekspetasi
menurun
Kriteria hasil :
 Edema menurun
 Batuk menurun
 Dipsnea menurun
 Pucat menurun
Intervensi :
Observasi
1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
2. Monitor pola dan jam tidur
3. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapeutik
4. Sediakan lingkunan nyaman dan rendah stimulus
5. Lakukan Latihan rentang gerak pasif dan aktif
6. Derikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
7. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
8. Anjurkan tirah baring
9. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Kolaborasi
10. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan

3. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi ditandai


dengan edema nasarka atau edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu
singkat, jugularis venous preasure dan central venous preasure meningkat, reflek
hepatojugular positif
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam ekspetasi
meningkat
Kriteria hasil :
 Palpitasi menurun
 Bradikardi menurun
 Takikardia menurun
 Lelah menurun
 Edema menurun
 Pucat menurun
 Dipsnea menurun
 Berat badan menurun
 Tekanan darah membaik
 CVP membaik

Intervensi

Observasi :
a. Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis, ortopnea, dispnea, edema,
JVP/CVP meningkat, suara nad=fas tambahan)
b. Identifikasi penyebab hipervolemia
c. Monitor intake dan output cairan
d. Monitor tanda peningkatan onkotik plasma (mis, kadar protein dan
albumin)
e. Monitor keceptan infus secara ketat
Terapeutik :
a. Timbang berat badan setiap hari pada wajtu yang sama
b. Batasi asupan cairan dan garam
c. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40 derajat

Edukasi :
a. Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5 mL/kg/jam dalam 6jam
b. Anjurkan melapor jika BB bertambah >1kg dalam sehari
c. Ajarkan cara mngukur dan mecatat asupan dan haluaran cairan
d. Ajarkan cara membatasi cairan

Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian diuretik
b. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretik
c. Kolaborasi pemberian contiunous renal replacement therapy (CRRT) , jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA
Amd.Kep, R. S. (2017). Pemasangan Central Venous Presoure (CVP).
https://www.scribd.com/document/358807048/Pemasangan-Central-Venous-
Pressure-CVP: Marfel Arnold Sahoa di Akses pada tanggal 5 Februari 2020

Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. 2006. Applying Consensus Guidelines in the
Management of acute decompensated heart failure.California : 41st ASHP Midyear
Clinical Meeting. www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
Diakses pada tanggal 2 februari 2020.
Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al. 2008.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet].
http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page=
1&view=FitH.Diakses pada tanggal 2 Februari 2020.
Hanafiah, A. 2006.Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, et al. 2009. Acute decompensated heart failure:
contemporary medical management. Tex Heart Inst J. 2009 ;36:510–520.
Kirk JD. 2004. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification
Aand Treatment. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of
Pennsylvania. www.emcreg.org. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2015.
Nasuution SA, Ismail D. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Jakarta: EGC
Price A.S Wilson L.M. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit-edisi
6.Jakarta : ECG.
Putra, Semara. 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien ADHF.Jakarta : ECG.
PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : PPNI.

PPNI, T. P. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : PPNI.

PPNI, T. P. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : PPNI.

Tallaj JA, Bourge RC. 2003. The Management of Acute Decompensated Heart Failure.
Birmingham : University of Alabama. http://www.fac.org.ar.Diakses pada tanggal 2 Februari
2015
.

Anda mungkin juga menyukai