Anda di halaman 1dari 13

ANEMIA APLASTIK

1. Pengertian
Anemia aplastik adalah suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia
pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang. Anemia aplastik
merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam tepi, akibat
terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sum-sum tulang.
Sistem limfoetik dan RES sebenarnya dalam keadaan aplastik juga tetapi
relatif lebih ringan dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoetik lainnya.
Aplasia ini dapat terjadi hanya satu, dua atau ketiga sistem hemopoetik
(eritropoetik, granulopoetik, trombopoetik)
Aplasia hanya mengenai sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia
(anemia hipoplastik) yang hanya mengenai sistem granulopoetik saja disebut
agranulositosis (penyakit Schultz), sedangkan yang mengenai sistem
trombopoetik disebut amegakariositik trombositoponik purpura (ATP).
Anemia aplastik merupakan salah satu jenis anemia yang ditandai dengan
adanya pansitopenia (defisit sel darah pada jaringan tubuh). Defisit sel darah pada
sumsum tulang ini disebabkan karena kurangnya sel induk pluripoten sehingga
sumsum tulang gagal membentuk sel-sel darah. Kegagalan sumsum tulang ini
disebabkan banyak faktor. Mulai dari induksi obat, virus, sampai paparan bahan
kimia.
Istilah-istilah lain dari anemia aplastik yang sering digunakan antara lain
anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif,
aleukia hemoragika, panmielofisis dan anemia paralitik toksik.
Kasus anemia aplastik ini sangat rendah pertahunnya. Kira-kira 2 – 5 kasus/juta
penduduk/tahun. Dan umumnya penyakit ini bisa diderita semua umur. Meski
termasuk jarang, tetapi penyakit ini tergolong penyakit yang berpotensi
mengancam jiwa dan biasanya dapat menyebabkan kematian. Pada pria penyakit
anemia aplastik ini lebih berat dibanding wanita walaupun sebenarnya
perbandingan jumlah antara pria dan wanita hampir sama. Siapa saja berpeluang
mendapat anemia aplastik ini.

2. Etiologi
Penyebab hampir sebagian besar kasus anemia aplastik bersifat idiopatik dimana
penyebabnya masih belum dapat dipastikan. Namun ada faktor-faktor yang diduga
dapat memicu terjadinya penyakit anemia aplastik ini. Faktor-faktor penyebab
yang dimaksud antara lain:
a. Faktor genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian
besar diturunkan menurut hukum Mendel meliputi :
o Anemia fanconi
o Diskeratosis bawaan
o Anemia aplastik konstitusional tanpa kelainan kulit atau
tulang
o Sindrom aplastik parsial
o Sindrom Pearson
o Sindrom Dubowitz dan lain-lain.
Diduga penyakit-penyakit ini memiliki kaitan dengan kegagalan sumsum
tulang yang mengakibatkan terjadinya pansitopenia (defisit sel darah).
Menurut sumber referensi yang lain, penyakit-penyakit yang baru saja
disebutkan merupakan bentuk lain dari anemia.
b. Zat Kimia
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Zat-zat kimia yang sering menjadi penyebab anemia aplastik
misalnya benzen, arsen, insektisida, dan lain-lain. Zat-zat kimia tersebut
biasanya terhirup ataupun terkena (secara kontak kulit) pada seseorang.
c. Obat-obatan
Obat seperti kloramfenikol diduga dapat menyebabkan anemia aplastik.
Misalnya pemberian kloramfenikol pada bayi sejak berumur 2 – 3 bulan akan
menyebabkan anemia aplastik setelah berumur 6 tahun. America Medical
Association juga telah membuat daftar obat-obat yang dapat menimbulkan
anemia aplastik. Obat-obat yang dimaksud antara lain: Azathioprine,
Karbamazepine, Inhibitor carbonic anhydrase, Kloramfenikol, Ethosuksimide,
Indomethasin, Imunoglobulin limfosit, Penisilamine, Probenesid, Quinacrine,
Obat-obat sulfonamide, Sulfonilurea, Obat-obat thiazide, Trimethadione.
Pengaruh obat-obat pada sumsum tulang diduga sebagai berikut :
 Penekanan bergantung dosis obat, reversible dan dapat diduga
sebelumnya (obat-obat anti tumor)
 Penekanan bergantung dosis, reversible, tetapi tidak dapat diduga
sebelumnya.
 Penekanan tidak bergantung dosis obat (idiosinkrasi)
d. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen. Infeksi
virus temasuk EBV, sitomegalovirus, herpes varisela zoster dan virus
hepatitis.
e. Radiasi
Radiasi juga dianggap sebagai penyebab anemia aplastik ini karena dapat
mengakibatkan kerusakan pada sel induk ataupun menyebabkan kerusakan
pada lingkungan sel induk. Contoh radiasi yang dimaksud antara lain pajanan
sinar X yang berlebihan ataupun jatuhan radioaktif (misalnya dari ledakan
bom nuklir). Paparan oleh radiasi berenergi tinggi ataupun sedang yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang akut dan
kronis maupun anemia aplastik.
f. Kelainan imunologik
Zat anti terhadap sel-sel hemopoetik dan lingkungan mikro dapat
menyebabkan anemia aplastik.
g. Anemia aplastik pada keadaan / penyakit lain
h. Kelompok idiopatik
Besarnya tergantung pada usaha mencari faktor etiologi

3. Patofisiologi
Anemia aplastik disebabkan oleh penurunan sel prekursor dalam sum-sum
tulang dan penggantian sum-sum tulang dengan lemak. Dapat terjadi secara
kongenital maupun didapat. Dapat juga idiopatik (tanpa penyebab yang jelas) dan
merupakan penyebab utama. Berbagai macam infeksi dan kehamilan dapat
mencetuskannya atau dapat pula disebabkan oleh obat, bahan kimia, atau
kerusakan radiasi. Bahan yang sering menyebabkan aplasia sum-sum tulang
meliputi benzene dan turunan benzene (misalnya perekat pesawat terbang), obat
anti tumor seperti nitrogen mustard, antimetabolit, termasuk metotrexate dan 6-
merkaptopurin dan bahan toksik seperti arsen anorganik.
Berbagai bahan yang kadang juga menyebabkan aplasia atau hipoplasia
meliputi berbagai antimikrobial, anti kejang, obat antitiroid, obat hipoglikemik
oral, antihistamin, analgetik, sedative, phenothiazine, insektisida, dan logam berat.
Yang tersering adalah antimikrobial, chloramphenicol, dan arsenik organik, anti
kejang mephenytoin ( mesantoin ) dan trimethadione ( tridione ), obat analgetik
antiinflamasi phenylbutazone, sulfonamide, dan senyawa emas.
Dalam berbagai keadaan, anemia aplastik terjadi saat obat atau bahan
kimia masuk dalam jumlah toksik. Namun, pada beberapa orang dapat timbul
pada dosis yang dianjurkan untuk pengobatan. Apabila pajanannya segera
dihentikan dapat diharapkan penyembuhan yang segera dan sempurna.
Apapun bahan penyebabnya, apabila pajanan dilanjutkan setelah tanda
hipoplasia muncul, maka depresi sum-sum tulang akan berkembang sampai titik
dimana terjadi kegagalan sempurna dan irreversibel, disinilah pentingnya
pemeriksaan angka darah sesring mungkin pada pasien yang mendapat
pengobatan atau terpajan secara teratur pada bahan kimia yang dapat
menyebabkan anemia aplastik.
Pada anemia aplastik, tidak terdapat mekanisme patogenik tunggal sel
induk hemopoetik yang multifoten berdeferensiasi menjadi sistem – sistem
eritropoetik, granulopoetik, trombopoetik, limpoetik, dan monopoetik. Sejumlah
sel induk lainnya membelah secara aktif menghasilkan sel induk baru. Sebagian
darinya dalam fase istirahat setiap saat siap berdiferensiasi kedalam berbagai
sistem tersebut. Apapun penyebab anemia aplastik, kerusakan dapat terjadi pada
sel induk yang aktif maupun yang berada dalam fase istirahat.

4. Manifestasi klinis
Awitan anemia aplastik biasanya khas yaitu bertahap ditandai oleh
kelemahan, pucat, sesak napas pada saat latihan, dan manifestasi anemia lainnya.
Apabila granulosit juga terlibat, pasien biasanya mengalami demam, faringitis
akut, atau berbagai bentuk lain sepsis dan perdarahan. Tanda fisik selain pucat dan
perdarahan kulit, biasanya tidak jelas. Pemeriksaan hitung darah menunjukkan
adanya defisiensi berbagai jenis sel darah (pansitopenia). Sel darah merah
normositik dan normokromik artinya ukuran dan warnanya normal. Sering, pasien
tidak mempunyai temuan fisik yang khas : adenopati (pembesaran kelenjar) dan
hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa).

5. Evaluasi diagnostik
Karena terjadi penurunan jumlah sel dalam sum-sum tulang, aspirasi sum-
sum tulang sering hanya menghasilkan beberapa tetes darah. Maka perlu
dilakukan biopsi untuk menentukan beratnya penurunan elemen sum-sum normal
dan penggantian oleh lemak. Abnormalitas mungkin terjadi pada sel stem,
prekursor granulosit, eritrosit, dan trombosit, akibatnya terjadi pansitopenia
(defisiensi semua elemen sel darah).
Kriteria anemia aplastik yang berat
Darah tepi :
 Granulosit         < 500/mm3
 Trombosit         < 20.000/mm3
 Retikulosit        < 1,0%
Sumsum tulang :
 Hiposeluler       < 25%

6. Penatalaksanaan pengobatan
Dua metode penanganan yang saat ini sering dilakukan yaitu :
a. Transplantasi sum – sum tulang
Transplantasi sumsum tulang ini dapat dilakukan pada pasien anemia aplastik
jika memiliki donor yang cocok HLA-nya (misalnya saudara kembar ataupun
saudara kandung). Terapi ini sangat baik pada pasien yang masih anak-anak.
Transplantasi sumsum tulang ini dapat mencapai angka keberhasilan lebih dari
80% jika memiliki donor yang HLA-nya cocok. Namun angka ini dapat
menurun bila pasien yang mendapat terapi semakin tua. Artinya, semakin
meningkat umur, makin meningkat pula reaksi penolakan sumsum tulang
donor. Kondisi ini biasa disebut GVHD atau graft-versus-host disease. Kondisi
pasien akan semakin memburuk. Dilakukan untuk memberikan persediaan
jaringan hematopoesis yang masih dapat berfungsi. Agar transplantasi dapat
berhasil, diperlukan kemampuan menyesuaikan sel donor dan resipien serta
mencegah komplikasi selama masa penyembuhan.
b. Terapi imuunosupresif
Terapi imunosupresif dapat dijadikan pilihan bagi mereka yang menderita
anemia aplastik. Terapi ini dilakukan dengan konsumsi obat-obatan. Obat-obat
yang termasuk terapi imunosupresif ini antara lain antithymocyte globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG), siklosporin A (CsA) dan
Oxymethalone.
Oxymethalon juga memiliki efek samping diantaranya, retensi garam dan
kerusakan hati. Orang dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi
transplantasi sumsum tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.
Dengan ATG diberikan untuk menghentikan fungsi imunologis yang
memperpanjang aplasia sehingga memungkinkan sum – sum tulang
mengalami penyembuhan. ATG diberikan setiap hari melalui kateter vena
sentral selama 7 sampai 10 hari. Pasien yang berespon terhadap terapi
biasanya akan sembuh dalam beberapa minggu sampai 3 bulan, tetapi respon
dapat lambat sampai 6 bulan setelah penanganan. Pasien yang mengalami
anemia berat dan ditangani secara awal selama perjalanan penyakitnya
mempunyai kesempatan terbaik berespon terhadap ATG.
c. Terapi suportif
Berperan sangat penting dalam penatalaksanaan anemia aplastik. Setiap
bahan penyebab harus dihentikan. Pasien disokong dengan transfusi sel darah
merah dan trombosit secukupnya untuk mengatasi gejala. Selanjutnya pasien
tersebut akan mengembangkan antibodi terhadap antigen sel darah merah
minor dan antigen trombosit, sehingga transfusi tidak lagi mampu menaikkan
jumlah sel. Kematian biasanya disebabkan oleh perdarahan atau infeksi,
meskipun antibiotik khusunya yang aktif terhadap basil gram negatif, telah
mengalami kemajuan besar pada pasien ini.
Pasien dengan lekopenia yang jelas ( penurunan abnormal sel darah
putih) harus dilindungi terhadap kontak dengan orang lain yang mengalami
infeksi. Antibiotik tidak boleh diberikan secara profilaksis pada pasien dengan
kadar netrofil rendah dan abnormal ( netropenia ) karena antibiotik dapat
mengakibatkan kegawatan akibat resistensi bakteri dan jamur.

7. Penatalaksanaan pencegahan
Pencegahan pengobatan yang mengakibatkan anemia aplastik sangat
penting. Karena tidak mungkin meramalkan pasien mana yang akan mengalami
reaksi samping terhadap bahan tertentu, obat yang potensial toksik hanya boleh
digunakan apabila terapi alternatif tidak tersedia. Pasien yang minum obat toksik
dalam jangka waktu lama harus memahami pentingnya pemeriksaan darah secara
periodik dan mengerti gejala apa yang harus dilaporkan.
Tindakan pencegahan dapat mencakup linkungan yang dilindungi dan
higiene yang baik. Pada perdarahan dan / atau infeksi perlu dilakukan terapi
komponen darah yaitu sel darah merah, granulosit, trombosit dan antibiotik. Agen
– agen perangsang sum-sum tulang seperti androgen diduga menimbulkan
eritropoesis. Penderita anemia aplastik kronik dapat menyesuaikan diri dengan
baik dan dapat dipertahankan pada Hb antara 8 dan 9 g dengan transfusi darah
yang periodik
KONSEP KEPERAWATAN
A. Data dasar pengkajian
1. Aktifitas / istirahat
Gejala : letih, lemah, malas, toleransi terhadap latihan rendah, kebutuhan
untuk
tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda : tachicardia, tachipnea, dispnea jika istirahat atau bekerja, apatis,
lesu, kelemahan otot dan penurunan kekuatan, atakna, tubuh tidak
tegak.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat kehilangan darah kronis, endokarditis, palpitasi
Tanda : hipotensi postural, disritmia, abnormalitas EKG, bunyi jantung
murmur,
Ekstremitas pucat, dingin, pucat dan membran mukosa
( konjunctiva, mulut, faring, bibir, dan dasar kuku ), pengisian
kapiler lambat, rambut keras.
3. Eliminasi
Gejala : riwayat pielonefritis, gagal ginjal, hematemesis, feses dengan
darah segar, melena, diare, konstipasi, penurunan haluaran urine.
Tanda : distensi abdomen
4. Makanan dan cairan
Gejala : penurunan masukan, nyeri menelan, mual, muntah, anoreksia,
penurunan berat badan
Tanda : lidah merah, membran mukosa kering, pucat, tangan kulit
kering, stomatitis.
5. Higiene
Tanda & gejala : kurang bertenaga, penampilan tidak rapi
6. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinitus, insomnia,
penurunan penglihatan, keseimbangan buruk, parestesia tangan /
kaki, sensasi dingin.
Tanda : peka rangsang, gelisah, depresi, cenderung tidur, apatis, respon
lambat dan dangkal, hemoragik retina, epitaksis, perdarahan dari
lubang – lubang koordinasi, ataksia, penurunan rasa getar
7. Keamanan
Gejala : riwayat pekerjaan terpajang terhadap bahan kimia, tidak toleran
terhadap dingin dan atau, panas penyembuhan luka buruk, sering
infeksi
Tanda : demam, keringat malam, limpadenopati, petekie, ekhimosis
8. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : kecendrungan keluarga untuk anemia, penggunaan antikonvulsan,
antibiotik, agen kemoterapi, aspirin, obat anti inflamasi

B. Diagnosa & Intervensi keperawatan


1. Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan komponen seluler untuk
pengiriman oksigen / nutrien ke sel
Tujuan : menunjukkan perfusi adekuat mis : tanda vital stabil, membran
mukosa warna merah jambu, pengisian kapiler baik, haluaran urine adekuat
Intervensi :
a. Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna
kulit/membran mukosa, dasar kuku
R/ memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi jaringan dan
membantu menentukan kebutuhan intervensi
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi
R/ meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigen untuk
kebutuhan seluler
c. Selidiki keluhan nyeri dada
R/ iskemia seluler mempengaruhi jaringan miokardial / potensial resiko
infark
d. Kaji respon verbal lambat, mudah terangsang, agitasi,
gangguan memori, bingung
R/ dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena hipoksia atau
defisiensi vitamin B12
e. Catat keluhan rasa dingin, tubuh hangat sesuai indikasi
R/ vasokonstriksi menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien /
kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk
menghindari panas berlebihan pencetus vasodilatasi
f. Awasi pemeriksaan laboratorium mis Hb, Ht dan jumlah
SDM, GDA
R/ mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan / respon terhadap
terapi
g. Berikan SDM darah lengkap/packed, produk darah sesuai
indikasi
R/ meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen, memperbaiki defisiensi
untuk menurunkan resiko perdarahan
2. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan umum, ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dan kebutuhan jaringan
Tujuan : melaporkan peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi :
a. Observasi adanya tanda kerja fisik ( takikardi, palpitasi,
takipnea, dispnea, nafas pendek, sesak nafas, pusing, kunang-kunang,
berkeringat )
R/ untuk merencanakan istirahat yang tepat
b. Bantu dalam aktifitas sehari-hari yang memungkinkan diluar
batas toleransi anak
R/ untuk mencegah kelelahan
c. Beri aktifitas bermain pengalihan
R/ meningkatkan istirahat dan tenang tetapi mencegah kebosanan dan
menarik diri
d. Rencanakan aktifitas keperawatan
R/ untuk memberikan istirahat yang cukup
e. Gunakan teknik penghematan energi mis mandi dengan
duduk
R/ mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi
penyimpangan energi dan mencegah kelemahan
f. Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi,
nyeri dada, napas pendek, kelemahan, atau pusing
R/ regangan atau stres kardiopulmonal berlebihan/stres dapat
menimbulkan dekompensasi / kegagalan
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d ketidakadekuatan
masukan besi, kegagalan atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorpsi
nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal
Tujuan : menunjukkan berat badan stabil dengan nilai laboratorium normal
Intervensi :
a. Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai
R/ mengidentifikasi defisiensi, nebduga kemungkinan intervensi
b. Observasi dan catat masukan makanan pasien
R/ mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi
makanan
c. Timbang berat badan setiap hari
R/ mengawasi penurunan berat badan atau efektifitas intervensi nutrisi
d. Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan/atau
makan diantara waktu makan
R/ makan sedikit dapat menurunkan kelemahan dan meningkatkan
pemasukan juga mencegah distensi gaster
e. Observasi/catat adanya mual/muntah
R/ gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ
f. Berikan dan bantu higiene mulut yang baik sebelum dan
sesudah makan
R/ meningkatkan napsu makan dan pemasukan oral, menurunkan
pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi
g. Berikan obat sesuai indikasi mis vitamin dan suplemen
mineral (vitamin B/C)
R/ kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan / atau adanya
masukan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi
4. Resiko kerusakan integritas kulit b/d perubahan sirkulasi dan
neurologis (anemia), defisit nutrisi
Tujuan : mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
a. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan
warna, hangat lokal, eritema, eksoriasi
R/ kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi, nutrisi, dan imobilisasi
b. Ubah posisi secara periodik dan pijat permukaan tulang bila
pasien tidak bergerak atau di tempat tidur
R/ meningkatkan sirkulasi ke semua area kulit membatasi iskemia jaringan
/ mempengaruhi hipoksia seluler
c. Ajarkan permukaan kulit kering dan bersih
R/ area lembab, terkontaminasi memberikan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan organisme patogenik
d. Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif
R/ meningkatkan sirkulasi jaringan, mencegah stasis
5. Konstipasi atau diare b/d penurunan masukan diet, perubahan proses
pencernaan, efek samping obat
Tujuan : menunjukkan pola normal dari fungsi usus
Intervensi :
a. Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah
R/ membantu mengidentifikasi penyebab/faktor pemberat dan intervensi
yang tepat
b. Auskultasi bising usus
R/ bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun pada
konstipasi
c. Dorong masukan cairan 2500-3000 ml/hr dalam toleransi
jantung
R/ membantu dalam memperbaiki konsistensi feses bila konstipasi
d. Hindari makanan yang membentuk gas
R/ menurunkan distres gastrik dan distensi abdomen
e. Konsultasi dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang
dengan tinggi serat
R/ serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorbsi air dalam alirannya
sepanjang traktus intestinal sebagai perangsang untuk defekasi
6. Resiko infeksi b/d pertahanan sekunder tidak adekuat ( penurunan
hemoglobin atau penurunan granulosit ), prosedur invasif
Tujuan : mencegah / menurunkan resiko infeksi

Intervensi :
a. Tingkatkan cuci tangan yang baik oleh pemberi perawatan
dan pasien
R/ mencegah kontaminasi silang/kolonisasi bakterial
b. Pertahankan teknik aseptik pada prosedur/perawatan luka
R/ menurunkan resiko kolonisasi/infeksi bakteri
c. Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat
R/ menurunkan resiko kerusakan kulit/jaringan dan infeksi
d. Pantau suhu, catat adanya menggigil dan takikardi dengan
atau tanpa demam
R/ adanya proses inflamasi / infeksi membutuhkan evaluasi/pengobatan
e. Amati eritema/cairan luka
R/ indikator infeksi lokal
f. Berikan antiseptik topikal, antibiotik sistemik
R/ mungkin digunakan secara profilaksis untuk menurunkan kolonisasi
atau untuk pengobatan proses infeksi lokal
7. Ansietas / takut b/d prosedur diagnostik / transfusi
Tujuan : anak menunjukkan ansietas yang minimal
Intervensi :
a. Siapkan anak untuk tes
R/ untuk menghilangkan ansietas/rasa takut
b. Tetap bersama anak selama tes dan memulai transfusi
R/ untuk memberikan dukungan dan observasi pada kemungkinan
komplikasi
c. Jelaskan tujuan pemberian komponen darah
R/ untuk meningkatkan pemahaman terhadap gangguan, tes diagnostik,
dan pengobatan
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan b/d
kurang terpajan informasi / salah interpretasi informasi
Tujuan : menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostik, dan
rencana pengobatan
Intervensi :
a. Berikan informasi tentang anemia spesifik
R/ memberi dasar pengetahuan sehingga pasien dapat membuat pilihan
yang tepat
b. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan
beratnya anemia
R/ menurunkan ansietas dan dapat meningkatkan kerjasama dalam
program terapi
c. Diskusikan pentingnya hanya meminum obat yang diresepkan
R/ kelebihan dosis obat besi dapat menjadi toksik
d. Jelaskan bahwa darah diambil untuk pemeriksaan
laboratorium tidak akan memperburuk anemia
R/ ini sering merupakan kekhawatiran yang tidak diungkapkan yang dapat
memperkuat ansietas pasien
e. Sarankan minum obat dengan makanan atau segera setelah
makan
R/ besi paling baik diabsorpsi pada lambung kosong, namun garam besi
merupakan iritan lambung dan dapat menyebabkan dispepsia, diare, dan
distensi abdomen bila diminum saat lambung kosong
f. Peringatkan tentang kemungkinan reaksi sistemik mis
kemerahan pada wajah, muntah, mual, mialgia
R/ kemungkinan efek samping terapi memerlukan evaluasi ulang untuk
pilihan dan dosis obat
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. EGC : Jakarta.


Doengoes, Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC : Jakarta
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Media Aeskulapius :
Jakarta
Price, A.S & Wilson, M. L. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi
4. EGC : Jakarta
Robbins, Stanley L. 1995. Buku Ajar Patologi II. EGC : Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. EGC : Jakarta
Staf pengajar PSIK-UH. 2008. Kumpulan Kuliah Keperawatan Anak. Makassar
Wong, Donna L. 2004. Keperawatan Pediatrik. EGC : Jakarta
http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110
-qhze241.htm

Anda mungkin juga menyukai