Anda di halaman 1dari 47

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kajian Teori

1. Pengertian Belajar

Belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri

individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan

individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi

dengan lingkungannya. Dalam bahasa asingnya: “Learning is a change in

the individual due to instruction of that individual and his environment,

which fells a need and makes him more oxpable of dealing adequately with

his environment” (W.H. Burton, 1984 dalam Usman dan Setiawati, 2013:4).

Dalam pengertian ini terdapat kata change “perubahan” yang berarti

seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan

tingkah laku, baik dalam aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun

dalam sikapnya. Perubahan tingkah laku dalam aspek pengetahuan ialah,

dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari bodoh menjadi pintar; dalam

aspek keterampilan ialah, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak terampil

menjadi terampil, dalam aspek sikap ialah, dari ragu-ragu menjadi yakin,

dari tidak sopan menjadi sopan, dari kurang ajar menjadi terpelajar. Hal ini

merupakan salah satu kriteria keberhasilan belajar diantaranya ditandai oleh

terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar. Tanpa

adanya perubahan tingkah laku, belajar dikatakan tidak berhasil atau gagal.

13
14

Ernest R. Hilgard dalam Usman dan Setiawati (2013:5), menyatakan

bahwa: “We may define learning as the process by which an activity

originates or is changed through responding to asituation, provide the

change cannot be attributed to growth or the temporary state of the

organism (as fatigue or under drugs)”. Terjemahan bebasnya ialah:

“Belajar adalah suatu proses dimana ditimbulkan atau diubahnya suatu

kegiatan karena mereaksi suatu keadaan. Perubahan itu tidak disebabkan

oleh proses pertumbuhan (kematangan) atau keadaan organisme yang

sementara (seperti kelelahan atau karena pengaruh obat-obatan)”.

Witherington dalam Usman dan Setiawati (2013:5) mengemukakan

bahwa: “Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang

menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan,

sikap, kebiasaan kepribadian atau suatu pengertian”.

Ketiga definisi tersebut menunjukkan bahwa belajar adalah suatu

proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia. Perubahan tingkah

laku ini bukan disebabkan oleh proses pertumbuhan yang bersifat fisiologis

atau proses kematangan. Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa

perubahan-perubahan dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skill),

atau dalam ketiga aspek yakni pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan

keterampilan (psikomotor). Kegiatan belajar ialah merupakan kegiatan yang

paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan. Hal ini mengandung

arti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan sangat banyak

bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa.


15

Belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam

perubahan tingkah laku melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut

aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan

tertentu (Aunurrohman, 2010:35). Slameto (2010:2) menjelaskan belajar

ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari

pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar

setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan

perilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar

(Anni, 2014:4). Ahli psikologi memandang belajar sebagai perubahan yang

dapat dilihat dan tidak peduli apakah hasil belajar tersebut menghambat atau

tidak menghambat proses adaptasi seseorang terhadap kebutuhan-kebutuhan

dengan masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan para ahli pendidikan

memandang bahwa belajar adalah proses perubahan manusia kearah tujuan

yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain. Dengan

demikian, terlihat bahwa para ahli psikologi lebih netral dalam memandang

perubahan yang terjadi akibat adanya proses belajar, tidak peduli apakah

positif atau negatif. Sedangkan para ahli pendidikan memandang perubahan

yang terjadi sesuai dengan tujuan positif yang ingin dicapai (Baharuddin &

Wahyuni, 2015:18).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, bahwa belajar dapat melalui

usaha merubah tingkah laku seseorang melalui aktivitas dengan lingkungan


16

dengan tujuan positif. Perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman

seseorang. Dalam belajar tersebut, yang diperoleh dari belajar yaitu aspek

kognitif, afektif, psikomotorik.

Pandangan seorang guru terhadap pengertian belajar mempengaruhi

tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar. Seorang guru yang

mengartikan belajar sebagai menghafal fakta tentunya akan lain cara

mengajarnya dibandingkan dengan guru lain yang mengartikan bahwa

belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku. Untuk itu penting

artinya pemahaman guru akan pengertian belajar tersebut.

2. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar tampak sebagai terjadi perubahan tingkah laku pada diri

siswa yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan,

sikap, keterampilan. Perubahan tersebut dapat diartikan terjadinya suatu

peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan

sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, sikap kurang sopan

menjadi sopan (Hamalik, 2017:155).

Menurut Susanto (2016:5), arti dari hasil belajar yaitu seluruh

perubahan yang melibatkan aspek kognitif, dan psikomotorik sebagai hasil

dari kegiatan belajar mengajar. Karena belajar adalah suatu proses seseorang

untuk berusaha mendapatkan bentuk perubahan tingkah laku yang

permanen. Kemudian untuk menguji apakah hasil belajar sudah mencapai

tujuan belajar, maka dapat dilakukan evaluasi atau penilaian terhadap hasil

belajar.
17

Menurut Rifa’i & Anni (2015:67) yang dimaksud dengan hasil

belajar yaitu perubahan tingkah laku yang didapatkan seseorang setelah

melalui pembelajaran. Aspek-aspek perubahan tingkah laku yang

didapatkan seseorang bergantung pada apa yang ia pelajari di sekolah.

Perubahan tingkah laku yang harus dicapai peserta didik setelah

melaksanakan kegiatan belajar telah dirumuskan dalam tujuan belajar.

Tujuan dari belajar adalah ingin mendapatkan pengetahuan, keterampilan

dan pemahaman sikap mental atau nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar

berarti akan menghasilkan hasil belajar. Relevan dengan uraian mengenai

tujuan belajar tersebut, maka hasil belajar itu meliputi:

a. Hal ihwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif).

b. Hal ihwal personal, kepribadian atau sikap (afektif).

c. Hal ihwal kelakuan, keterampilan atau penampilan (psikomotorik).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah

pencapaian tujuan belajar yang ditunjukkan dengan perubahan pengetahuan

siswa yang dapat diukur dengan alat penilaian yang disebut dengan tes.

Hasil belajar tersebut meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sedangkan menurut Lie (2009:19) mengemukakan bahwa hasil

belajar merupakan kulminasi dari suatu proses yang telah dilakukan dalam

belajar. Kulminasi akan selalu diiringi dengan kegiatan tindak lanjut. Hasil

belajar harus menunjukkan suatu perubahan tingkah laku atau perolehan

perilaku yang baru dari peserta didik yang bersifat menetap, fungsional,

positif, dan disadari. Bentuk perubahan tingkah laku harus menyeluruh


18

komprehensif sehingga menunjukkan perubahan tingkah laku seperti contoh

diatas.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tentang pengertian hasil belajar

dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa

dalam kegiatan belajar mengajar yang diikuti oleh perubahan perilaku

siswa.

Menurut Suprijono (2009:5-6), hasil belajar adalah merupakan pola-

pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan

keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne dalam Thobroni & Mustofa (2011:

22), hasil belajar berupa hal-hal berikut:

a. Informasi verbal, yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam

bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara

spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan ini tidak memerlukan

manipulasi simbol, pemecahan masalah, maupun penerapan aturan.

b. Keterampilan intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep

dan lambing. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan dalam hal

mengaregorasi, kemampuan analitis-sintetis fakta-konsep, dan terampil

mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual

adalah kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.

c. Strategi kognitif, yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan dari

aktivitas kognitifnya. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan

kaidah dalam memecahkan masalah.


19

d. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak

jasmani dalam koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan

penilaian terhadap objek tersebut. Sikap adalah berupa kemampuan untuk

menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan suatu

kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.

Menurut Bloom dalam Suprijono (2009:6), hasil belajar mencakup

kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

1) Domain kognitif mencakup:

a. Knowledge (pengetahuan, ingatan)

b. Chomprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh)

c. Application (menerapkan)

d. Analysis (menguraikan, menentukan hubungan)

e. Synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan)

f. Evaluating (menilai).

2) Domain Afektif mencakup:

a. Receiving (sikap menerima)

b. Responding (memberikan respons)

c. Valuing (nilai)

d. Organization (organisasi)

e. Characterization (karakterisasi)

3) Domain Psikomotor mencakup:

a. Initiatory
20

b. Pre-routine

c. Rountinized

d. Keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan

intelektual.

Selain itu, menurut Lindgren dalam Suprijono (2009:7), hasil belajar

atau pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan

perilaku secara keseluruhan bukan hanya pada salah satu aspek potensi

kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para

pakar pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak dilihat secara

fragmentatis atau terpisah, tetapi secara komprehensif.

Seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar jika ia mampu

menunjukkan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan-perubahan

tersebut dapat ditunjukkan diantaranya dari kemampuan berpikirnya,

keterampilannya, atau sikapnya terhadap suatu objek. Dalam penelitian ini

variabel hasil belajar Matematika menggunakan hasil belajar pada ranah

kognitif, karena mencakup aspek mengingat, memahami, mengaplikasikan,

menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Data yang digunakan adalah

nilai Ulangan Harian (tertulis dan lisan), dan Ulangan Tengah Semester

Genap mata pelajaran Matematika siswa di SD Kabupaten Sigi tahun ajaran

2020/2021.

3. Pengertian Pola Asuh Orang Tua


21

Pendidikan yang diterima oleh individu secara umum didapatkan

dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu lembaga

yang mendapatkan tugas dan tanggung jawab dalam pencapaian tujuan

pendidikan umum salah satunya yaitu keluarga (Sochib, 2014:2). Dalam

konteks keluarga, maka “orang tua” adalah orang dewasa (ayah dan ibu)

yang secara sadar mendidik anak-anaknya untuk mencapai kedewasaan

(Djamarah, 2014:3). Orang tua bertugas sebagai pengasuh, pembimbing,

pemelihara dan sebagai pendidik terhadap anak-anaknya. Orang tua adalah

pihak yang sering bersinggungan dengan seorang anak dalam kehidupan

sehari-hari. Dengan demikian, mulai sejak lahir sampai dewasa, orang tua

mempunyai sebuah tanggung jawab besar dalam segala hal menyangkut

perkembangan hidup anak (Rismawati, 2017:57).

Pola asuh berasal dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), pola berarti corak, model, sistem, cara kerja,

bentuk (struktur) yang tetap (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,

2007:72). Sedangkan kata “asuh” dapat berarti menjaga (merawat dan

mendidik) anak kecil, membimbing (membantu, melatih dan sebagainya),

dan memimpin (mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau

lembaga (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2007:73).

Tridhonanto (2014:5) mengartikan pola asuh orang tua merupakan

suatu keseluruhan interaksi orang tua dan anak, di mana orang tua yang

memberikan dorongan bagi anak dengan mengubah tingkah laku,

pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi orang tua agar
22

anak bisa mandiri, tumbuh serta berkembang secara sehat dan optimal,

memiliki rasa percaya diri, memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan

berorientasi untuk sukses. Pendapat lain dikemukan Djamarah (2014:51)

pola asuh orang tua merupakan kebiasaan orang tua, ayah dan atau ibu

dalam memimpin, mengasuh, dan membimbing anak dalam keluarga. Orang

tua memiliki tugas untuk mendidik, mengasuh, dan membimbing anak agar

dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Hal tersebut sejalan

dengan pendapat Djamarah (2014:51) yang menyatakan dalam konteks

keluarga, orang tua yang dimaksud adalah ayah dan atau ibu kandung

dengan tugas dan tanggung jawab mendidik anak dalam keluarga.

Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pola

asuh orang tua merupakan suatu cara yang digunakan oleh orang tua untuk

mengasuh dan mendidik anaknya, di mana hal tersebut merupakan tanggung

jawab kedua orang tua karena melalui orang tualah anak mendapatkan

pendidikan pertamanya dalam keluarga. Setiap orang tua memiliki cara dan

pola tersendiri dalam mengasuh dan mendidik anaknya. Cara dan pola

tersebut tentu akan berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang

lainnya. Menurut Slameto (2010:60) cara orang tua dalam mendidik anak

berpengaruh terhadap keberhasilan belajarnya. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Rahmawati, dkk (2014), yang menyatakan orang tua yang tidak

memperhatikan pendidikan anak, dapat berpengaruh pada perkembangan

anak. Apabila orang tua menerapkan cara mendidik anak yang tepat dan
23

sesuai dengan karakterstik anak, maka akan memengaruhi pencapaian

prestasi belajar yang diperolehnya.

Menurut Habibi (2018:81), pola asuh adalah suatu sikap dan

perbuatan orang tua dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya. Sikap dan

perbuatan orang tua tersebut meliputi cara orang tua memberikan perhatian,

kasih sayang, aturan, tanggung jawab, hadiah maupun hukuman, serta cara

orangtua menunjukkan otoritasnya terhadap anak.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan yang dimaksud

dengan pola asuh orang tua adalah cara orang tua dalam mengasuh dan

membesarkan anaknya dari kecil sampai tumbuh dewasa baik dalam

kebutuhan rohani atau jasmani. Orang tua harus bertanggung jawab dalam

setiap proses perkembangan anak. Apapun yang orang tua terapkan dalam

kehidupan anak dari lahir sampai dewasa akan terus mengalir dan tersimpan

di dalam memori anak. Pengasuhan anak akan memperoleh perkembangan

yang sangat baik apabila pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya sesuai

dengan kebutuhan dan kondisi dari setiap individu anak. Oleh karena itu,

orang tua harus lebih teliti dalam menyikapi perannya kepada anak dan

harus menerapkan pola asuh yang baik dalam mengasuh anaknya karena

seorang anak adalah aset dalam keluarga yang harus dijaga, dibimbing dan

diarahkan agar kelak menjadi anak yang memiliki kepribadian luhur dan

perkembangan intelektual yang tinggi.

Menurut Sochib (2014:15) usaha yang dilakukan oleh orang tua

dengan mengaktualisasikan penataan terhadap lingkungan fisik, lingkungan


24

social dan internal, pendidikan didalam rumah maupun diluar rumah,

berkomunikasi dengan anak-anaknya, suasana yang hangat dan baik untuk

psikologis anak, keadaan sosial dan kebudayaan, sikap yang ditunjukkan

saat bersama anak, mengawasi dan mengatur perilaku anak-anak, dan

menentukan nilai moral sebagai dasar anak dalam berperilaku, merupakan

pola asuh orang tua untuk membantu anak mengembangkan disiplin diri.

Anak menjadi baik atau buruk semua tergantung dari pola asuh

orang tua dalam keluarga. Menurut Djamarah (2014:51) kebiasaan orang tua

(ayah atau ibu) dalam memberikan pengasuhan seperti merawat serta

mendidik anak dan bimbingan seperti membantu serta melatih anak didalam

keluarga yaitu pola asuh dalam keluarga.

Menurut Tridhonanto (2014:5) semua hubungan dan komunikasi

antara orang tua dan anak, dimana anak dapat berperilaku, memperoleh ilmu

pengetahuan, dan nilai-nilai agar anak memiliki kemandirian, serta tumbuh

kembang baik, sehat dan optimal, memiliki tujuan untuk berhasil dan

sukses, bersahabat, memiliki keingintahuan, dan memiliki kepercayaan diri

yang tinggi disebut dengan pola asuh orang tua.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh

orang tua adalah interaksi atau kebiasaan orang tua terhadap anaknya yang

meliputi mendidik, membimbing, melindungi, dan memenuhi kebutuhan

anaknya yang bersifat fisik maupun non fisik untuk memberikan dorongan

maupun mengubah tingkah laku anak supaya menjadi individu yang mandiri,

bertanggung jawab serta tumbuh dan berkembang hingga mencapai proses


25

kedewasaan dengan membentuk perilaku anak sesuai dengan norma dan nilai

yang baik yang sesuai dengan kehidupan masyarakat.

4. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua

Dalam mendidik anak, masing-masing orang tua pasti memiliki cara

yang berbeda-beda. Suherman & Joni (2015:44) mengelompokkan jenis

pola asuh kedalam tiga kelompok yaitu pola asuh otoriter, demokratis, dan

permisif. Baumrind dalam Ayundhaningrum & Siagian (2017:106-107),

mengatakan bahwa pola asuh dibagi menjadi tiga yaitu pola asuh asuh

authoritative (demokratis), authoritarian (otoriter) dan permisif (permissive).

Sedangkan dalam jurnal penelitian Dewi Sri Mulyati dan Sri Nur Hayati

(2020:253-260), Menurut Baumrind (dikutip oleh Wawan Junaidi,2010),

terdapat 4 macam pola asuh orang tua dengan menambahkan satu pola asuh

dari ketiga pola asuh sebelumnya yaitu pola asuh penalaran.

Dapat dikemukakan lebih jelas mengenai empat jenis pola asuh di

atas adalah sebagai berikut:

1) Pola Asuh Demokratis (Authoritative Parenting)

Pola asuh demokratis adalah jenis pola asuh yang memberikan

sebuah kebebasan pada diri seorang anak untuk melakukan apa yang

diinginkannya dan mengungkapkan gagasan maupun pemikiran dengan

catatan seorang anak tidak akan melewati batas-batas yang telah

disepakati bersama dengan orang tua (Anggraini, dkk., 2018:32).

Keterbukaan antara orang tua dan anak, segala bentuk perasaan atau

keinginan dapat anak utarakan (Anggraini, dkk., 2018:32).


26

Pola asuh demokrasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Suyanto,

2010:94):

a) Orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri dan

mengembangkan kemampuan yang ada dalam dirinya.

b) Orang tua mengikutsertakan anak dalam pengambilan keputusan.

c) Menetapkan peraturan yang telah disetujui bersama anak, sehingga

orang tua dapat menghukum anak sesuai kesepakatan telah dibuat.

d) Orang tua lebih mengutamakan kebutuhan daripada anak, namun tetap

mengendalikan mereka.

e) Mendukung kemampuan dan bakat yang telah dimiliki anak, tidak

menuntut anak melampaui kemampuan yang dimilikinya.

f) Anak diberikan suatu kebebasan memilih suatu tindakan yang akan

dilakukannya.

g) Pendekatan kepada anak bersifat hangat.

Pola asuh demokrasi lebih banyak menerapkan pola asuhnya dengan

aspek-aspek sebagai berikut (Suyanto, 2010:95):

a) Orang tua bersikap menerima namun tetap ada pengontrolan dari

orang tua.

b) Orang tua berusaha memenuhi kebutuhan belajar anak.

c) Orang tua mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau

pertanyaan.

d) Orang tua memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang

baik dan yang buruk.


27

e) Orang tua tidak memaksakan kemampuan yang dimiliki siswa.

f) Orang tua menjadi contoh anak dalam melakukan sesuatu.

g) Orang tua selalu membimbing anak tanpa paksaan.

h) Orang tua melibatkan anak dalam membuat keputusan namun orang

tua tetap yang akan mengambil keputusan akhir.

i) Disiplin yang dilakukan anak akan dihargai oleh orang tua.

Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pola asuh demokratis ini

adalah suatu pola asuh yang memberikan kebebasan pada diri anak untuk

bertindak dan mengungkapkan segala pendapat dengan batasan-batasan

yang telah disepakati sehingga anak tersebut mampu berfikir secara

mandiri dengan emosi yang stabil.

Setiap jenis pola asuh memiliki kekurangan maupun kelebihan.

Dari ciri-ciri diatas dapat dikemukakan kelebihan dan kekurangan pola

asuh demokratis yaitu:

a. Kelebihan pola asuh demokratis yaitu:

(1) Mampu menghargai orang lain

(2) Memiliki rasa tanggung jawab

(3) Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan disekitar

(4) Dapat mengontrol emosi

(5) Pribadi yang aktif

b. Kekurangan pola asuh demokratis yaitu:

(1) Terkadang anak menjadi lepas kontrol sehingga kurang sopan

terhadap orang tuanya ketika berbicara


28

(2) Karena lepas kontrol mengakibatkan sering terjadi pertentangan

antara orang tua dan anak

(3) Menganggap segala sesutu harus berdasarkan keputusan anak dan

orang tua.

2) Pola Asuh Otoriter (Authoritarian Parenting)

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang diterapkan orang tua

dengan memprioritaskan kepribadian yang dimiliki oleh anaknya dengan

cara membuat peraturan-peraturan beserta hukuman yang akan diterima

anak apabila anak tidak patuh dan peraturan tersebut cenderung bersifat

mengancam, sehingga anak akan takut dan menuruti apa yang

dikehendaki oleh orang tua.

Pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Suyanto,

2010:96):

a) Anak harus mematuhi apa yang dikehendaki orang tua.

b) Orang tua mengawasi anakya dengan sangat ketat.

c) Orang tua hampir tidak pernah memuji anak.

d) Orang tua tidak memaklumi anaknya bila berbuat salah sedikit saja.

e) Komunikasi antara orang tua dan anak bersifat satu arah atau anak

jarang diberikan kesempatan untuk berpendapat.

Pola asuh demokrasi lebih banyak menerapkan pola asuhnya

dengan aspek-aspek sebagai berikut (Suyanto, 2010:97):

a) Orang tua memilihkan anak yang boleh berteman dengan anaknya,

sehingga anak sulit untuk bergaul dengan banyak orang.


29

b) Anak harus selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh orang tua,

tanpa mempedulikan minat dan bakat anak. Anak tidak diberi

kesempatan oleh orang tua untuk meyampaikan pendapat dan keluh

kesahnya

c) Peraturan diluar dan didalam rumah untuk anak dibuat oleh orang tua.

Walaupun tidak sesuai dengan keinginan anak, namun aturan tersebut

harus ditaati oleh anak.

d) Orang tua memberikan kesempatan untuk berinisiatif dalam bertindak

dan menyelesaikan masalah.

e) Orang tua menuntut anaknya untuk bertanggung jawab terhadap

tindakan yang dilakukannya tetapi tidak menjelaskan kepada anak

mengapa anak harus bertanggung jawab.

Dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter dalam hal ini sangat

kurang dalam hal pemberian kebebasan pada anak, semua tindakan yang

dilakukan anak harus berdasar pada keputusan orang tua. Jika anak

membantah maka orang tua kan memberikan hukuman bahkan hingga

hukuman fisik

Pola asuh otoriter memiliki kelebihan dan kekurangan dalam

setiap penerapannya, yaitu:

a. Kelebihan pola asuh otoriter

(1) Seorang anak akan menjadi disiplin dan bertanggung jawab.

(2) Anak akan senantiasa melaksanakan perintah orang tua.

(3) Anak akan selalui setia pada orang tua.


30

b. Kekurangan pola asuh otoriter

(1) Anak akan memiliki sikap suka menyendiri dan pemalu.

(2) Terlihat pasif karena jarang bergaul dengan teman-temannya.

(3) Anak sering merasa takut melakukan kesalahan sebab hukuman

dari orang tua.

3) Pola Asuh Permisif (Permissive Parenting)

Pola asuh ini memberikan segala keputusan ada pada diri anak.

Sehingga pada akhirnya pola asuh ini akan membuat anak menjadi

pribadi yang manja, kurang percaya diri, nakal, rendah diri, egois, dan

suka memaksakan kehendak yang dimiliki (Sunarty, 2015:154). Ciri-ciri

pola asuh permisif adalah sebagai berikut (Suyanto, 2010:98):

a) Orang tua memiliki sikap menerima yang tinggi namun pengawasan

terhadap anakya rendah, orang tua memberikan kelonggaran anak

untuk membuat keputusannya sendiri dan melakukan seluruh kegiatan

yang anak inginkan.

b) Anak bebas untuk mengatakan apa yang diinginkannya.

c) Anak hampir tidak pernah mendapatkan hukuman apabila apa yang

dilakukannya salah.

Kekurangan dan kelebihan pola asuh permisif dalam penerapannya

pada diri seorang anak, antara lain (Firdausy, 2017:16 dan Aminudin,

2016:16):

a. Kelebihan pola asuh permisif


31

(1) Anak tidak memiliki tekanan dari orang tuanya sebab orang tua

memberi kebebasan pada diri anak sehingga anak menjadi mudah

bergaul dengan teman sebayanya.

(2) Anak tidak selalu bergantung pada orang tua sehingga memiliki

sikap mandiri.

(3) Rasa takut pada orang tua tidak dimiliki oleh seorang anak karena

orang tua yang jarang memberikan teguran sehingga anak mampu

mengurusi dirinya sendiri.

b. Kekurangan pola asuh permisif

(1) Anak terkesan kurang memiliki harga diri

(2) Anak menjadi terlalu menuntut mengenai fasilitas pada orang tua.

(3) Anak menjadi malas, manja, dan melakukan tindakan dengan sesuka

hatinya.

(4) Orang tua yang jarang memberikan teguran mengakibatkan anak

menyalahartikan kebebasan yang diberikan dengan bertindak sesuai

keinginan.

Dapat disimpulkan bahwa pola asuh permisif adalah orang tua yang

cenderung memberika kebebasan pada anak sehingga mengakibatkan anak

menjadi tumbuh dengan sifat kurang mandiri dan lebih sering manja,

padahal anak masih sangat membutuhkan bimbingan dan arahan pada diri

pribadinya maupun dalam proses belajar.

4) Pola Asuh Penalaran


32

Di dalam jurnal Dewi Sri Mulyati dan Sri Nur Hayati (2020:253-

260) menerangkan bahwa pada pola asuh ini merupakan tipe orang tua pada

umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak –

anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka,

seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat – hemat untuk anak

mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan

psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu

memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak – anaknya.

Dari pemaparan diatas dapat dilihat pola asuh ini merupakan sebuah

pola asuh yang betul – betul mengekang hak anak – anak sehingga membuat

beban tersendiri bagi anak dan bisa jadi akan mempengaruhi tumbuh

kembang anak tersebut.

5. Pengertian Kepercayaan Diri

Percaya diri atau self confidence adalah aspek kepribadian yang

penting pada diri seseorang. Tanpa adanya kepercayaan diri maka akan

banyak menimbulkan masalah pada diri seseorang. Kepercayaan diri

merupakan atribut yang paling berharga pada diri seseorang dalam

kehidupan bermasyarakat, karena dengan adanya kepercayaan diri,

seseorang mampu mengaktualisasikan segala potensi yang ada di dalam

dirinya (Amri, 2018:157).

Percaya diri diartikan sebagai suatu keyakinan dalam diri individu

agar dapat bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Apabila

seseorang dengan rasa percaya diri rendah menimbulkan permasalahan


33

dalam berinteraksi, karena kepercayaan diri aspek penting kepribadian

seseorang yang berfungsi untuk mengungkapkan kemampuan yang dimiliki

seseorang. Rasa percaya diri sama dengan keberanian dalam menghadapi

berbagai macam bentuk masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Kepercayaan diri adalah merupakan aspek kepribadian yang didapatkan

lewat interaksi secara langsung antara individu dengan lingkungannya

(Widjaja, 2016:51).

Kepercayaan diri dalam bahasa Inggris disebut juga self confidence.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, percaya diri merupakan percaya

pada kemampuan, kekuatan, dan penilaian diri sendiri (Depdikbud, 2008

dalam Amri, 2018:159). Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek

kepribadian berupa keyakinan akan kemampuan diri seseorang sehingga

tidak terpengaruh oleh orang lain dan dapat bertindak sesuai kehendak,

gembira, optimis, cukup toleran, dan bertanggung jawab (Ghufron dan

Risnawati, 2010 dalam Amri, 2018:157).

Percaya diri merupakan modal dasar untuk pengembangan dalam

aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri). Dengan percaya

diri seseorang mampu mengenal dan memahami diri sendiri. Seseorang

yang memiliki rasa percaya diri akan selalu berusaha sekeras mungkin

untuk mengeksplorasi semua bakat yang dimilikinya. Seseorang yang

memiliki rasa percaya diri akan menyadari kemampuan yang ada pada

dirinya, mengetahui dan menyadari bahwa dirinya memiliki bakat,


34

keterampilan atau keahlian sehingga orang tersebut akan bertindak sesuai

dengan kapasitas yang dimilikinya (Ardiyana, dkk., 2019:496).

Kepercayaan diri merupakan salah satu syarat yang esensial bagi

individu untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas sebagai upaya

dalam mencapai prestasi. Namun demikian kepercayaan diri tidak tumbuh

dengan sendirinya. Kepercayaan diri tumbuh dari proses interaksi yang

sehat di lingkungan sosial individu dan berlangsung secara kontinu dan

berkesinambungan. Rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri

seseorang, ada proses tertentu didalam pribadinya sehingga terjadilah

pembentukan rasa percaya diri (Hakim, 2002 dalam Amri, 2018:157).

Menurut Lauster (2003) dalam Amri (2018:157), kepercayaan diri

merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri,

sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas

untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginan dan tanggung jawab

atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki

dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri

sendiri. Terbentuknya kemampuan percaya diri adalah suatu proses belajar

bagaimana merespon berbagai rangsangan dari luar dirinya melalui interaksi

dengan lingkungannya.

Menurut Bandura (dalam Siska & Purnamaningsih, 2003:68),

kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seseorang

bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk

memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Sementara itu Taylor dkk (dalam
35

Siska & Purnamaningsih, 2003:69) menyatakan bahwa orang yang percaya

diri memiliki sikap positif terhadap diri sendiri. Secara logis, kepercayaan

diri tinggi dapat menimbulkan rasa optimis sehingga peserta didik merasa

benar dalam menyelesaikan soal matematika, meskipun konsep yang

digunakan salah. Sedangkan kepercayaan diri sedang dan rendah dapat

menimbulkan rasa pesimis sehingga peserta didik (siswa) merasa kurang

yakin dalam menyelesaikan soal matematika. Kondisi ini memberikan

asumsi bahwa kepercayaan diri dinilai dapat menghambat dalam

menyelesaikan soal matematika. Menurut Thantaway dalam Kamus istilah

Bimbingan dan Konseling (2005:87) seperti yang dikutip oleh Tisngati &

Meifiani (2014:9), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri

seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau

melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep

diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup

diri.

Menurut Hygiene Kepercayaan Diri adalah penilaian yang relatif

tetap tentang diri sendiri, mengenai kemampuan, bakat, kepemimpinan,

inisiatif, dan sifat-sifat lain, serta kondisi-kondisi yang mewarnai perasaan

manusia (Iswidharmanjaya & Enterprise, 2014:20-21 dalam Ardiyana, dkk.,

2019:496-497). Orang yang percaya diri lebih mampu dalam menyesuaikan

diri dengan lingkungan yang baru, orang yang percaya diri biasanya akan

lebih mudah berbaur dan beradaptasi dibanding dengan yang tidak percaya

diri. Karena orang yang percaya diri memiliki pegangan yang kuat, mampu
36

mengembangkan motivasi, ia juga sanggup belajar dan bekerja keras untuk

kemajuan, serta penuh keyakinan terhadap peran yang dijalaninya, sejalan

dengan pendapat Santrock Rasa percaya diri juga disebut sebagai harga diri

atau gambaran diri, merupakan dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri.

Percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis seseorang, dimana

individu dapat mengevaluasi keseluruhan dari dirinya sehingga memberi

keyakinan kuat pada kemampuan dirinya untuk melakukan tindakan dalam

mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya (Setiawan, 2014:14 dalam

Ardiyana, dkk., 2019:497).

McPheat (2013:75) menyatakan bahwa kepercayaan diri adalah

kepercayaan bahwa seseorang memilikinya dalam kemampuan mereka

untuk berhasil dalam sebuah tugas, berdasarkan pada apakah mereka dapat

melakukan tugas di masa lalu atau tidak. Yoder & Procter (dalam

Wicaksono, 2009:101) mendefinisikan kepercayaan diri adalah ekspresi

atau ungkapan yang penuh semangat dan mengesankan dan dalam diri

seseorang untuk menunjukkan adanya harga diri, menghargai diri sendiri,

dan pemahaman terhadap diri sendiri.

Kepercayaan diri merupakan keyakinan dalam diri manusia ketika

manusia mampu mencapai kesuksesan dengan berpijak pada usahanya

sendiri selain itu kepercayaan diri juga merupakan suatu keyakinan dalam

diri manusia bahwa manusia memiliki kekuatan, kemampuan dan

keterampilan yang sebenarnya didasari oleh perasaan positif dan harga diri
37

mencapai kesuksesan berpijak pada usahanya sendiri (Suwarjo dalam

Sricahyanti, 2015:88).

Sedangkan Hendriana (2012:66) menyatakan bahwa kepercayaan

diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri

sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-

tindakannya, dapat merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang disukainya

dan bertanggung jawab atas perbuatannya, hangat dan sopan dalam

berinteraksi dengan orang lain, dapat menerima dan menghargai orang lain,

memiliki dorongan untuk berprestasi serta dapat mengenal kelebihan dan

kekurangannya. Lauster (dalam Syam & Amri, 2017:114) mengatakan

kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan

diri sendiri, sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas,

merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginan dan

tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang

lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan

kekurangan diri sendiri. Terbentuknya kemampuan percaya diri adalah suatu

proses belajar bagaimana merespon berbagai rangsangan dari luar dirinya

melalui interaksi dengan lingkungannya.

Berdasarkan pendapat ahli diatas dapat disimpulkan kepercayaan diri

adalah suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuannya untuk

melakukan hal-hal yang diinginkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Kepercayaan diri tumbuh dari rasa memiliki, percaya bahwa diri

sendiri memiliki potensi dan mengetahui seluruhnya bahwa yang dilakukan


38

adalah sesuatu perilaku yang berharga. Pada masa kanak-kanak, rasa

percaya diri merupakan aspek yang sangat penting dalam pembentukan

karakter yang nantinya akan sangat berharga dan dapat digunakan sebagai

penunjang kepribadiannya dikemudian hari. Anak-anak dengan rasa percaya

diri tinggi, mereka dapat mengutarakan gagasan atau ide yang dimilikinya

agar diterima oleh orang lain. Hal tersebut lebih baik daripada mereka yang

hanya diam tidak menyampaikan pendapat yang ada dalam pikirannya

hanya karena merasa tidak percaya diri (Kaelola, 2016:166-167).

Sedangkan Ghufron (2014:33) berpendapat seseorang tanpa rasa

kepercayaan diri yang dimiliki akan menimbulkan banyak permasalahan

pada dirinya. Dikarenakan rasa percaya diri dapat diterapkan dalam

kehidupan bermasyarakat agar seseorang mendapatkan respon positif dari

masyarakat. Kepercayaan diri sangat diperlukan oleh individu, baik anak-

anak, remaja, maupun orang tua. Percaya diri tercermin juga pada

penerimaan atas kegagalan dan melampaui rasa kecewa yang disebabkan

dalam sekejap (Krishna, 2006 dalam Amri, 2018:160). Jadi, sikap percaya

diri tidak hanya berorientasi pada sikap yakin pada kemampuan diri saja.

Dengan adanya sikap percaya diri, akan melatih diri untuk tidak putus asa

dan berjiwa besar.

Iswidharmanjaya dan Agung (2005) dalam Amri (2018:160)

mengatakan dengan kepercayaan diri yang cukup, seseorang individu akan

dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya dengan yakin dan

mantap. Kepercayaan yang tinggi sangat berperan dalam memberikan


39

sumbangan yang bermakna dalam proses kehidupan seseorang, karena

apabila individu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, maka akan timbul

motivasi pada diri individu untuk melakukan hal-hal dalam hidupnya.

Dengan kepercayaan diri, individu dapat meningkatkan kreativitas dirinya,

sikap dalam mengambil keputusan, nilai-nilai moral, sikap dan pandangan,

harapan dan aspirasi. Menurut Mastuti dan Aswi (2008) dalam Amri

(2018:160) individu yang tidak percaya diri biasanya disebabkan karena

individu tersebut tidak mendidik diri sendiri dan hanya menunggu orang

melakukan sesuatu kepada dirinya. Semakin tinggi kepercayaan diri

semakin tinggi pula apa yang ingin dicapai.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas tersebut maka dapat diambil

kesimpulan definisi dari kepercayaan diri adalah keyakinan terhadap

kemampuan sendiri untuk mampu mencapai target, keinginan, dan tujuan

untuk diselesaikan walaupun menghadapi berbagai tantangan dan masalah

serta dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Kepercayaan diri merupakan

sifat yakin dan percaya akan kemampuan diri yang dimiliki, sehingga

seseorang tidak bergantung kepada orang lain, dan mampu mengekspresikan

diri seutuhnya.

Bandura (dalam Anita, Karyasa, & Tika, 2013 seperti yang dikutip

oleh Patandung & Saragih, 2019:181) mengatakan bahwa keyakinan diri

dalam teori kognitif sosial diartikan sebagai kepercayaan diri yang dimiliki

untuk dapat menyelesaikan satu tugas yang spesifik, seperti kemampuan

untuk belajar ataupun memberikan respon. Kepercayaan diri matematika


40

adalah penilaian akan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan

masalah matematika dan mendorong untuk mencapai prestasi matematika

yang lebih baik (Arifin, 2011). Kepercayaan diri dalam pembelajaran

matematika juga dapat diartikan sebagai keyakinan akan kemampuan siswa

untuk menyelesaikan masalah matematika yakni persepsi terhadap tugas

serta pemilihan perilaku yang tepat, untuk menyelesaikan tugas yang

diberikan (Sadewi, dkk, 2012 dalam Patandung & Saragih, 2019:181).

Siswa yang memiliki kepercayaan diri yang baik mampu untuk melihat

setiap tugas yang diberikan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi

dan di selesaikan, bukan untuk dihindari (Nurfauziah, dkk., 2018).

Keyakinan siswa akan kemampuan yang dimiliki sangat membantu

dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Akan tetapi, berdasarkan pada

beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan keyakinan

siswa akan kemampuan dimiliki masih rendah. Rendahnya kepercayaan diri

siswa dalam pembelajaran ditunjukkan dengan sikap mudah menyerah

dalam menemui kesulitan selama proses pembelajaran atau pada saat

memecahkan masalah yang diberikan ataupun ketika mendapatkan materi

yang lebih sulit daripada biasanya (Subaidi, 2016). Hal ini mengakibatkan

siswa merasa tidak memiliki keyakinan untuk dapat menyelesaikan

masalah-masalah yang diberikan (Wahyuni & Miterianifa, 2019). Indikasi

rendahnya kepercayaan diri siswa juga ditunjukkan dengan kondisi siswa

yang tidak ingin mencoba lebih banyak soal matematika dan mudah
41

menyerah pada saat mendapati soal matematika yang lebih sulit (Novferma,

2016).

6. Aspek-Aspek Kepercayaan Diri

Lauster dalam Ardari (2016:55-56) menyatakan bahwa aspek-aspek

kepercayaan diri adalah sebagai berikut:

a. Ambisi normal adalah dorongan untuk mencapai hasil dengan

menyesuaikan kemampuan diri sendiri, mampu menyelesaikan tugas

dengan baik, bekerja secara efektif, dan bertanggung jawab terhadap

keputusan dan perbuatan diri sendiri.

b. Kemandirian adalah kemampua untuk membuat suatu keputusan

bertindak sesuai dengan keputusan, tidak tergantung pada orang lain.

c. Optimisme adalah sikap pantang menyerah dalam menghadapi setiap

kegagalan, memiliki pandangan dan harapan yang positif tentang diri dan

masa depan.

d. Perasaan aman adalah terbebas dari perasaan takut dan ragu-ragu

terhadap situasi di lingkungan sekitar dan mampu menghadapi situasi

dengan tenang.

e. Toleransi berarti mengerti kekurangan pada diri sendiri, memberi

kesempatan kepada orang lain untuk berpendapat, menerima pendapat

orang lain dan tidak mementingkan kehendak sendiri.

f. Keyakinan pada diri sendiri adalah keterbatasan dari penilaian dan

pengaruh
42

g. orang lain serta berani mengemukakan ide atau kehendak secara

bertanggung jawab.

B. Kajian Hasil Penelitian Relevan

Beberapa penelitian terdahulu yang mengkaji masalah pola asuh anak,

kepercayaan diri, dan hasil belajar yang dinilai memiliki relevansi sebagai

acuan untuk memperkuat keilmiahan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

Tisngati & Meifiani (2014) meneliti tentang Pengaruh Kepercayaan

Diri dan Pola Asuh Orang Tua Pada Mata Kuliah Teori Bilangan Terhadap

Prestasi Belajar. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat

ex-post facto. Instrumen yang digunakan untuk Pengumpulan data terdiri dari

kuesioner dan tes prestasi belajar matematika. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa: 1) Tidak terdapat pengaruh secara bersama-sama kepercayaan diri dan

pola asuh orang tua pada mata kuliah teori bilangan terhadap prestasi belajar

Matematika; 2) Terdapat pengaruh kepercayaan diri pada mata kuliah teori

bilangan terhadap prestasi belajar Matematika.

Fitasari, dkk (2019) meneliti tentang Pengaruh Pola Asuh Orang Tua

Terhadap Hasil Belajar Matematika Dengan Efikasi Diri Sebagai Intervening.

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah 149 siswa kelas V SD

Gugus IV Kecamatan Gianyar. Metode pengumpulan data menggunakan

teknik non tes. Jenis penelitian ini merupakan penelitian ex post facto dengan

menggunakan analisis jalur sebagai metode analisis. Hasil pengujian hipotesis

menunjukan bahwa: 1) terdapat pengaruh yang signifikan pola asuh orang tua

kategori otoriter terhadap hasil belajar matematika sebesar 25.2%; 2) terdapat


43

pengaruh yang signifikan pola asuh orang tua kategori demokratis terhadap

hasil belajar matematika sebesar 26.8%; 3) terdapat pengaruh yang signifikan

pola asuh orang tua kategori permisif terhadap hasil belajar matematika sebesar

11.6%; 4) terdapat pengaruh yang signifikan efikasi diri terhadap hasil belajar

matematika sebesar 66.6%; 5) terdapat pengaruh yang signifikan pola asuh

orang tua kategori otoriter terhadap hasil belajar matematika melalui efikasi

diri sebesar 26.3%; 6) terdapat pengaruh yang signifikan pola asuh orang tua

kategori demokratis terhadap hasil belajar matematika melalui efikasi diri

sebesar 39.3%; 7) terdapat pengaruh yang signifikan pola asuh orang tua

kategori permisif terhadap hasil belajar matematika melalui efikasi diri sebesar

25.2%.

Kusumawati, dkk. (2017) meneliti tentang Pengaruh Pola Asuh,

Lingkungan Masyarakat dan Kedisiplinan Belajar Terhadap Hasil Belajar

Siswa SD Kecamatan Badungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif dengan desain penelitian studi hipotesis. Populasi penelitian ini

adalah siswa kelas tinggi Sekolah Dasar Kecamatan Bandungan tahun

pelajaran 2016/2017 berjumlah 1.829. Dengan rentang toleransi kekeliruan 5%,

diperoleh ukuran sampel 328. Teknik sampling menggunakan single stage

cluster random sampling. Teknik pengambilan data menggunakan observasi,

kuesioner dan dokumenter. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis

statistik deskriptif dan inferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola

pola asuh orang tua memberikan pengaruh langsung secara signifikan sebesar

51% terhadap hasil belajar siswa. Lingkungan masyarakat memberikan


44

pengaruh langsung sebesar 14% terhadap hasil belajar siswa dan kedisiplinan

belajar memberikan pengaruh langsung secara signifikan sebesar 47,7%

terhadap hasil belajar siswa.

Juniarti, dkk. (2020) meneliti tentang Hubungan Antara Pola Asuh

Orang Tua dan Konsep Diri Dengan Kompetensi Pengetahuan Matematika

Siswa. Pengaruh Konsep Diri, Sikap Siswa Pada Matematika, dan Kecemasan

Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika. Jenis penelitian ini adalah

penelitian ex post facto. Populasi dari penelitian ini berjumlah 144 siswa

dengan jumlah sampel sebanyak 100 siswa diambil dengan teknik proportional

random sampling. Pengujian hipotesis menggunakan regresi sederhana dan

regresi ganda. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis menunjukkan terdapat

hubungan yang positif dan signifikan pola asuh orang tua dengan kompetensi

pengetahuan matematika (r = 0,570), terdapat hubungan yang positif dan

signifikan konsep diri dengan kompetensi pengetahuan matematika(r = 0,502),

dan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh orang tua

dan konsep diri dengan kompetensi pengetahuan matematika siswa kelas V di

SD Gugus I Kecamatan Baturiti (R = 0,741).

Handayani (2017) meneliti tentang Pengaruh Perhatian Orang Tua dan

Konsep Diri Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Penelitian ini

adalah penelitian kuantitatif asosiatif yang bertujuan untuk mengetahui

pengaruh perhatian orang tua, konsep diri siswa terhadap hasil belajar

matematika. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Wilayah binaan Kelurahan

Duren Sawit, Jakarta Timur.Sampel diambil dengan menggunakan Teknik


45

Cluster Random Sampling, terdapat 120 siswa kelas VI yang dilibatkan dalam

penelitian.Waktu pelaksanaan penelitian pada semester 2 tahun pelajaran

2016/2017.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei

dengan analisis jalur (path analysis). Instrumen pengumpulan data melalui tes

hasil belajar matematika dan kuesioner telah diuji validitas dan reliabilitasnya,

kemudian dianalisis untuk membuktikan hipotesis. Berdasarkan hasil analisis

didapat bahwa: 1) adanya pengaruh langsung positif antara perhatian orang tua

terhadap hasil belajar matematika siswa; 2) adanya pengaruh langsung positif

antara konsep diri terhadap hasil belajar matematika siswa; 3) adanya pengaruh

langsung positif antara perhatian orang tua terhadap konsep diri siswa.

Implikasi penelitian ini menunjukkan bahwa aspek perhatian orang tua dan

konsep diri siswa dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk

meningkatkan capaiannya hasil belajar matematika siswa sekolah dasar.

Amri (2018) meneliti tentang Pengaruh Kepercayaan Diri (Self

Convidence) Berbasis Ekstrakurikuler Pramuka Terhadap Prestasi Belajar

Matematika Siswa SMA Negeri 6 Kota Bengkulu. Penelitian ini merupakan

penelitian kuantitatif asosiatif, tetapi peneliti melakukan perlakuan untuk

mengumpulkan data dengan mengedarkan kuisioner, test, wawancara

terstruktur. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah Skala

Psikologi (skala kepercayaan diri) Berbasis Ekstrakurikuler Pramuka dan

dokumentasi. Penelitian dilaksanakan dengan melalui tahapan perencanaan dan

pelaksanaan. Teknik analisis data digunakan dua jenis analisis yaitu analisis

statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Berdasarkan hasil penelitian


46

dan pembahasan, kepercayaan diri (self confidence) berbasis Ekstrakurikuler

Pramuka sangat memuaskan. Sumbangan pengaruh variabel kepercayaan diri

(self confidence) berbasis Ekstrakurikuler Pramuka sebesar 94,1% sedangkan

sisanya 5,9% dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Ardiyani, dkk. (2019) meneliti tentang Pengaruh Keterlibatan Orang

Tua dan Motivasi Intrinsik Dengan Kepercayaan Diri Anak Usia Dini. Metode

yang digunakan adalah survei dengan studi korelasional dengan melibatkan

100 orang sampel. Ada tiga instrumen yang mengukur keperayaan diri anak

(rel. 875), keterlibatan orang tua (rel. 962), dan motivasi intrinsik (rel. 82).

Data telah dianalisis oleh ANOVA dua arah. Hasil penelitian mengungkapkan

bahwa ada korelasi positif dan signifikan antara variabel-variabel tersebut,

meskipun sudah dikontrol oleh korelasi orde kedua, masih signifikan di antara

mereka. Karena itu dapat disimpulkan bahwa jika kepercayaan diri anak akan

ditingkatkan, maka keterlibatan orang tua dan motivasi intrinsik harus

dipertimbangkan.

Rusnih (2018) meneliti tentang Pengaruh Kedisiplinan Belajar

Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa di Sekolah Dasar. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubugan kedisiplinan belajar terhadap hasil belajar

matematika siswa. Menggunakan metode ex post facto karena eksistensi dari

variabel yang diteliti telah terjadi. Hasil penelitian menggunakan analisis

statatistik deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata hasil kedisplinan siswa

adalah 72,22 dan tergolong cukup tinggi, rata-rata hasil belajar matematika

siswa adalah 77,97 tergolong tinggi. Hasil penelitian mengunakan korelasi


47

Pearson Product Moment menunjukkan nilai rhitung 0,799 lebih besar dari

nilai r-tabel untuk n = 36 yaitu 0,329 berarti terdapat pengaruh kedisiplinan

belajar terhadap hasil belajar siswa di SD Negeri Nusa Harapan Permai Kota

Makassar yang menjadi populasi. Hasil uji signifikan dengan α 5 % diperoleh

t-hitung 7,746 lebih besar dari ttabel 1,691, ini berarti terdapat pengaruh yang

signifikan kedisiplinan belajar terhadap hasil belajar Matematika siswa di SD

Negeri Nusa Harapan Permai Kota Makassar. Pada hakekatnya kedisiplinan

adalah hal yang dapat dilatih. Penelitian ini dapat menjadi acuan dalam melatih

kedisiplinan siswa. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membiasakan

anak untuk mengaktifkan diri dengan nilai-nilai moral untuk memiliki dan

mengembangkan disiplin diri.

Fatwati & Fakhruddiana (2019) meneliti tentang Kecenderungan Pola

Asuh Permisif dan Kepercayaan Diri Dengan Motivasi Berprestasi Pada Siswa.

Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas VII SMP sebanyak 61 orang.

Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Alat pengumpul data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Motivasi Berprestasi, Skala

Persepsi Kecenderungan Pola Asuh Permisif dan Skala Kepercayaan Diri.

Analisis data penelitian dengan menggunakan teknik analisis uji-t yaitu regresi

ganda dan korelasi parsial. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan,

hipotesis yang diajukan dalam penelitian yaitu adanya hubungan antara

kecenderungan pola asuh permisif dan kepercayaan diri dengan motivasi

berprestasi diterima dengan nilai R = 0,588, p = 0,000 (p < 0,01). Sumbangan

yang diberikan pola asuh permisif dan kepercayaan diri terhadap motivasi
48

berprestasi sebanyak 34,5%. Hasil korelasi parsial menunjukkan adanya

hubungan negatif antara kecenderungan pola asuh permisif dengan motivasi

berprestasi dan terdapat hubungan positif antara kepercayaan diri dengan

motivasi berprestasi.

Noervadila & Meiliana (2019) meneliti tentang Pengaruh Pola Asuh

Orang Tua Demokratis Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran

Matematika Kelas VII SMPN 1 Situbondo. Metode yang digunakan pada

penelitian ini adalah metode kuantitatif dimana yang diteliti adalah ada atau

tidak pengaruh pola asuh orang tua demokratis terhadap hasil belajar siswa.

Teknik pengumpulan data melalui observasi, angket, dan dokumentasi. Hasil

penelitian menunjukkan terdapat pengaruh positif dan signifikan pola asuh

orang tua demokratis terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran

matematika (SMP Negeri 1 Situbondo 2017/2018) yang ditunjukkan dengan

harga r-Tabel untuk taraf signifikansi 5% sebesar 0,151, Harga r-Hitung 0,613.

Jadi r-Hitung lebih besar dari r-Tabel (0,613 > 0,151) dan nilai 0.613

dikonsultasikan dengan tabel interprestasi yang terletak antara 0,60 – 0,799

yang berarti tingkat pengaruh pola asuh orang tua demokratis terhadap hasil

belajar siswa merupakan pengaruh kuat.

Mutiarawati (2019) meneliti tentang Pengaruh Pendekatan

Konstruktivisme Terhadap Karakter Kepercayaan Diri Siswa Dalam

Pembelajaran Matematika di SMPN 15 Kota Bekasi. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode quasi eksperimen. Populasi pada penelitian ini adalah

siswa SMPN 15 Kota Bekasi. Sampel diambil dengan menggunakan teknik


49

random sampling, dengan jumlah sampel pada penelitian ini yaitu 31 siswa.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup

sebanyak 21 butir pernyataan. Sebelum digunakan angket ini diujicobakan

terlebih dahulu untuk mengukur validitas dan reliabilitas. Berdasarkan

perhitungan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,945 dengan klasifikasi

sangat tinggi. Berdasarkan data hasil penelitian diperoleh rata-rata karakter

kepercayaan diri awal siswa, karakter kepercayaan diri akhir siswa dan selisih

pada kelas eksperimen masing-masing sebesar 6,67, 8,56 dan 1,89. Setelah

dilakukan pengujian hipotesis terhadap selisih kepercayaan diri siswa akhir

dengan kepercayaan diri siswa awal diperoleh thitung yaitu 17,782 dengan

nilai ttabel untuk α = 0,05 dan df = 31 adalah 1,645. Kriteria nilai t-hitung > t-

tabel maka dapat disimpulkan karakter kepercayaan diri akhir siswa kelas

eksperimen setelah menggunakan pendekatan konstruktivisme dalam

pembelajaran matematika lebih tinggi daripada karakter kepercayaan diri awal

siswa.

Inda (2017) meneliti tentang Keefektifan Model Aptitude Treatment

Interaction Dalam Meningkatkan Hasil Belajar dan Kepercayaan Diri. Untuk

mengakomodasi perbedaan individual siswa dalam pembelajaran dalam rangka

mengoptimalkan prestasi akademik/hasil belajar maka dikembangkanlah

model-model pembelajaran yang menekankan pada pentingnya penyesuaian

pembelajaran dengan perbedaan individual siswa. Salah satu dari model-model

tersebut adalah Aptitude Treatment Interaction (ATI) yaitu suatu model

pembelajaran yang menekankan pada penyesuaian pembelajaran (treatment)


50

dengan perbedaan kemampuan (aptitude) dan karakteristik siswa untuk

mengoptimalkan hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dalam pelajaran

matematika tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kecerdasan matematika saja.

terdapat hubungan positif antara rasa percaya diri dengan hasil belajar

matematika. Rasa percaya diri adalah suatu sikap yang dimiliki oleh seseorang

dengan keyakinan yang dimilikinya mampu untuk melakukan suatu pekerjaan.

Karakteristik sikap percaya diri yang harus dimiliki seseorang yaitu percaya

pada kemampuan sendiri, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan,

memiliki konsep diri yang positif, dan berani mengungkapkan pendapat.

Widiantari & Suarjana (2020) meneliti tentang Hubungan Antara Pola

Asuh Orang Tua Dengan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V. Jenis penelitian ini

adalah penelitian ex post facto. Populasi penelitian berjumlah 134 orang.

Sampel penelitian ini berjumlah 113 orang siswa yang diambil dengan teknik

proporsional random sampling. Data pola asuh orang tua dikumpulkan melalui

pengisian angket, sedangkan data hasil belajar IPA siswa diperoleh melalui

pencatatan dokumen. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik analisis deskriptif dan teknik analisis inferensial. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan

hasil belajar IPA siswa kelas V yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi R

sebesar 0,96 yang artinya antara pola asuh orang tua memiliki hubungan yang

sangat kuat dengan hasil belajar IPA siswa Kelas V. Pola asuh yang positif atau

menerima akan memiliki pengaruh yang baik, sehingga pola asuh ini dapat

mendukung dan memacu peningkatan hasil belajar.


51

Pakiding (2016) meneliti tentang Pengaruh Pola Asuh Orang Tua dan

Lingkungan Sekolah Terhadap Hasil Belajar Matematika Melalui Motivasi

Belajar Siswa SMK Negeri Kecamatan Samarinda Utara. Jenis penelitian ini

adalah penelitian kuantitatif menggunakan metode survei cross sectional

correlation. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei Tahun 2014.

Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X SMK Negeri Kecamatan

Samarinda Utara yang berjumlah 1.131 siswa dengan ukuran sampel 92

responden dan pengambilan sampel menggunakan siple random sampling.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dengan teknik

analisis data menggunakan analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pertama pengaruh pola asuh orang tua terhadap hasil

belajar matematika sebesar 24,9%, kedua pengaruh lingkungan sekolah

terhadap hasil belajar matematika sebesar 22,4%, ketiga pengaruh motivasi

belajar siswa terhadap hasil belajar matematika sebesar 21, 5%, keempat

pengaruh pola asuh orang tua terhadap motivasi belajar siswa sebesar 24,6%,

kelima pengaruh lingkungan sekolah terhadap motivasi belajar siswa sebesar

30,1%, keenam pengaruh pola asuh orang tua terhadap hasil belajar

matematika melalui motivasi sebesar 53%, ketujuh pengaruh lingkungan

sekolah terhadap hasil belajar matematika melalui motivasi sebesar 65% dan

kedelapan pengaruh pola asuh orang tua, lingkungan sekolah dan motivasi

terhadap hasil belajar matematika sebesar 48,3%.

Harianti & Amin (2016) meneliti tentang Pola Asuh Orang Tua dan

Lingkungan Pembelajaran Sekolah Terhadap Motivasi Belajar Siswa.


52

Penelitian ini telah dilaksanakan di Sekolah Cerdas Tampan Pekanbaru.

Sampel terdiri dari 57 siswa sekolah cerdas Tampan Pekanbaru. Pendekatan

yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kualitatif dan kuantitatif. Hasil

menunjukkan bahwa pola asuh positif dari segi kontrol orangtua (64%),

kejelasan komunikasi (61%) dan tuntutan orang tua menjadi matang (54%).

Siswa memiliki motivasi internal (68%) dan eksternal positif (55%) dalam

pembelajaran. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif antara pola asuh

terhadap motivasi belajar siswa dengan nilai signifikan 0,000 dengan koefisien

determinasi 69.1%.

Lestari, dkk (2018) meneliti tentang Pengaruh Model Pembelajaran

Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas IV Sekolah Dasar di Gugus I

Kecamatan Buleleng. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu.

Dengan rancangan factorial design (rancangan faktorial) 2x2 dan desain

penelitian post-test only control group design. Populasi penelitian ini adalah

seluruh siswa Kelas IV SD Di Gugus I Kecamatan Buleleng yang terdiri dari

210 orang yang terdiri dari 4 kelas. Sampel yang ditentukan dengan teknik

group random sampling. Data kemampuan berpikir kritis dikumpulkan dengan

tes kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar matematika ranah kognitif

menggunakan tes pilihan ganda. Data dianalisis dengan menggunakan analisis

Anava dua jalan berbantuan SPSS 17.00 for windows. Hasil Penelitian

menunjukkan bahwa: Pertama, terdapat perbedaan hasil belajar matematika

antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dengan


53

siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Kedua, terdapat

pengaruh interaksi antara model pembelajaran berbasis masalah dengan

kemampuan berpikir kritis terhadap hasil belajar matematika. Ketiga, pada

siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi, ada perbedaan hasil

belajar matematika antara siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis

masalah dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional.

Kempat, pada siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis rendah, ada

perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang mengikuti model

pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mengikuti model

pembelajaran konvensional.

Yusuf, dkk (2018) meneliti tentang Pengaruh Pola Asuh Orang Tua,

Konsep Diri dan Motivasi Belajar Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Kelas

X di SMAN Se-Kecamatan Banda Kabupaten Maluku Tengah. Populasi dalam

penelitian ini berjumlah 270 peserta didik dengan jumlah sampel 135 peserta

didik. Metode penganalisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik

deskriptif dan statistik inferensial dengan menggunakan analisis jalur (path

analysis). Teknik pengumpulan data melalui pengisian angket dan analisis

dokument. Data dianalisis statistik deskriptif untuk mendeskripsikan pola asuh

orang tua, konsep diri, dan motivasi belajar dan hasil belajar dan analisis

statistik inferensial untuk menguji hipotesis dengan menggunakan analisis jalur

(dengan taraf signifikansi α= 0,05). Hasil penelitian menunjukan bahwa (1)

pola asuh orang tua berpengaruh positif terhadap hasil belajar peserta didik

SMAN se-Kecamatan Banda Kabupaten Maluku Tengah (2) konsep diri


54

berpengaruh positif terhadap hasil belajar peserta didik SMAN se-Kecamatan

Banda Kabupaten Maluku Tengah (3) motivasi belajar berpengaruh positif

terhadap hasil belajar SMAN se-Kecamatan Banda Kabupaten Maluku Tengah

(4) Pola asuh orang tua berpengaruh positif melalui motivasi belajar terhadap

hasil belajar peserta didik SMAN se-Kecamatan Banda Kabupaten Maluku

Tengah (5) Konsep diri berpengaruh positif melalui motivasi belajar terhadap

hasil belajar peserta didik SMAN se-Kecamatan Banda Kabupaten Maluku

Tengah (6) pola asuh orang tua, konsep diri, dan motivasi belajar secara

bersama-sama berpengaruh positif terhadap hasil belajar peserta didik di

SMAN se-Kecamatan Banda Kabupaten Maluku Tengah.

Prastika (2020) meneliti tentang Pengaruh Minat Belajar Siswa

Terhadap Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SMK Yadika Bandar

Lampung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan

analisis korelasional, dengan jumlah sampel sebanyak 28 orang, yang diambil

menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen yang digunakan

adalah instrumen pengisian angket yang terdiri dari 14 soal. Dari hasil

penelitian perhitungan analisis regresi minat belajar dengan prestasi belajar

matematika diperoleh persamaan Y' = 91,101-28,685X dengan nilai t-hitung =

5,009 > t-tabel = 1,706 hal ini menunjukkan bahwa regresi X atas Y berpola

linear. Sedangkan untuk pengujian hipotesis, diperoleh koefisien korelasi X

terhadap Y koefisien determinasi sebesar -85,882 sehingga H0 ditolak pada

taraf 0,05.
55

Siregar, dkk (2021) meneliti tentang Penerapan Humanistik Melalui

Non-Verbal Reinforcement Ditinjau dari Percaya Diri Siswa Dalam

Pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Subjek penelitian

ini adalah kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran, sedangkan objek

penelitian ini adalah siswa dan guru. Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah studi kasus. Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik

analisis data statistik deskriptif kualitatif. Hasil temuan penelitian ini

mengungkapkan humanistik dengan melalui verbal reinforcement mampu

memberikan dampak yang sangat baik terhadap siswa dalam pembelajaran.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan humanistik melalui non verbal

reinforcement dinyatakan dapat berpengaruh terhadap percaya diri siswa dalam

pembelajaran.

Achdiyat (2020) meneliti tentang Pengaruh Pola Asuh Orang Tua

Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa. Metode penelitian yang

digunakan adalah metode survei dengan pendekatan kuantitatif dan analisis

anava satu jalur. Populasi dalam penelitian adalah seluruh peserta didik Kelas

XI Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Harapan Bangsa Depok, dengan

jumlah sampel 78 orang peserta didik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara tiap-tiap pola asuh orang tua

terhadap prestasi belajar matematika.

Andreana, dkk (2013) meneliti tentang Korelasi Perhatian Orang Tua

Siswa dan Kepercayaan Diri Terhadap Prestasi Belajar Siswa Mata Pelajaran

Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di SMA Negeri Se-Kota Tabanan


56

Pada Semester Genap Tahun Ajaran 2012/2013. Penelitian ini merupakan

penelitian expose-facto dengan teknik korelasi, dimana variabel penelitian

terdiri dari dua variabel bebas dan satu variabel terikat. Populasi dalam

penelitian adalah seluruh siswa di SMA Negeri se-kota Tabanan yaitu

sebanyak 1991 orang. Sampel dari penelitian ini adalah sebanyak 333 orang.

Data untuk perhatian orang tua siswa dan kepercayaan diri dikumpulkan

melalui angket. Sedangkan data prestasi belajar TIK didapatkan melalui nilai

rapot TIK siswa di SMA Negeri se-kota Tabanan semester ganjil tahun

pelajaran 2012/2013. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan

statistik parametrik dengan uji prasyarat normalitas, homogenitas, linieritas dan

keberartian arah regresi, serta multikolinieritas. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa: (1) perhatian orang tua sisiwa memiliki hubungan yang positif dan

signifikan terhadap prestasi belajar TIK sebesar 0,603 yang dikategorikan kuat

dengan sumbangan sebesar 36,33%, (2) kepercayaan diri memiliki hubungan

yang positif dan signifikan terhadap prestasi belajar TIK sebesar 0,608 yang

dikategorikan kuat dengan sumbangan sebesar 36,93%, dan (3) perhatian orang

tua siswa dan kepercayaan diri secara bersama-sama memiliki hubungan yang

positif dan signifikan terhadap prestasi belajar TIK sebesar 0,704 yang

dikategorikan kuat dengan sumbangan sebesar 49,49%.

Ridayanti & Marleni (2018) meneliti tentang Hubungan Pola Asuh

Orang Tua Dengan Prestasi Belajar Matematika Anak Usia Sekolah Pada

Semester Genap di Sekolah Dasar Negeri 1 Gunungsari. Penelitian ini

mengunakan deskritif korelational dengan rancangan cross-sectional.


57

Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Gunungsari, Kecamatan Seririt,

Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali dengan jumlah responden sebanyak 61

siswa yang dipilih secara purposive sampling. Pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mengukur variabel pola asuh

orang tua dan observasi nilai UAS matematika untuk mengukur variabel

prestasi belajar matematika anak usia sekolah di SDN 1 Gunungsari.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa: 1) orang tua

siswa yang memiliki pola asuh Positif (Demokratis) yakni sebanyak 49 orang

(80,3%), dan pola asuh Negatif (Otoriter, Permisif) sebanyak 12 orang

(19,7%), 2) 14 siswa memiliki prestasi belajar yang baik, 39 siswa memiliki

prestasi belajar cukup, dan 8 siswa memiliki prestasi belajar yang kurang, dan

3) Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan, didapatkan r-hitung sebesar

0,552 dengan signifikansi atau nilai probabilitas p = 0,000 (0<0,05) berarti H0

ditolak dan Ha diterima.

Rohana, dkk (2020) meneliti tentang Analisis Pola Asuh Orang Tua

Terhadap Prestasi Siswa Kelas V SD. Jenis Penelitian ini adalah kualitatif.

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa, orang tua siswa dan guru kelas V.

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian

menunjukan bahwa terdapat pola asuh yang berbeda-beda yang diterapkan

orang tua. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi,

wawancara, angket dan dokumentasi. Pola asuh demokratis lebih banyak

diterapkan oleh orang tua, menyusul pola asuh permisif dan otoriter. Hasil dari

penelitian ini adalah siswa dengan pola asuh demokratis dan otoriter mempuyai
58

prestasi belajar yang sangat baik dan baik. Sedangkan siswa dengan pola asuh

permisif mempunyai prestasi belajar yang kurang.

Penelitian-penelitian sebelumnya di atas telah meneliti variabel pola

asuh anak dan kepercayaan diri terhadap hasil belajar siswa secara terpisah.

Penelitian ini menggabungkan kedua variabel tersebut (pola asuh anak dan

kepercayaan diri) sebagai variabel independen yang akan diuji pengaruhnya

terhadap hasil belajar siswa.

C. Kerangka Pikir

Berdasarkan pada rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka

penulis menggambarkan alur pikir dari pengaruh pola asuh anak dan

kepercayaan diri terhadap hasil belajar Matematika siswa di SD Kabupaten

Sigi di masa Pandemi Covid 19 dalam sebuah kerangka pemikiran penelitian

seperti terlihat pada Gambar 2.1. berikut ini:

1. Pola Asuh Anak


(X1)
2. Hasil Belajar
Kepercayaan Diri Matematika
3. (Y)
(X2)
4.
Gambar 2.1.
Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterangan: Pengaruh secara parsial


Pengaruh secara simultan

D. Hipotesis Penelitian
59

Berkaitan dengan penelitian ini, maka berdasarkan rumusan masalah,

tujuan penelitian dan dukungan kerangka pikir, penulis mengajukan hipotesis

sebagai kerangka acuan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Diduga kepercayaan diri secara parsial memberikan pengaruh signifikan

terhadap hasil belajar Matematika siswa di SD Kabupaten Sigi di masa

Pandemi Covid 19.

2. Diduga pola asuh anak secara parsial memberikan pengaruh signifikan

terhadap hasil belajar Matematika siswa di SD Kabupaten Sigi di masa

Pandemi Covid 19.

3. Diduga pola asuh anak dan kepercayaan diri secara simultan memberikan

pengaruh signifikan terhadap hasil belajar Matematika siswa di SD

Kabupaten Sigi di masa Pandemi Covid 19.

4. Diduga pola asuh anak memberikan pengaruh paling dominan dibandingkan

dengan kepercayaan diri anak terhadap hasil belajar Matematika siswa di

SD Kabupaten Sigi di masa Pandemi Covid 19.

Anda mungkin juga menyukai